positivisme comte

32
Positivisme Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam. POSITIVISME DAN PERKEMBANGANNYA 31Mar2008 Filed under: Epistemology, Paradigm and Perspective Author: Arif Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu: 1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

Upload: agieb-bagraf

Post on 16-Jan-2016

58 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Positivisme

Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

POSITIVISME DAN PERKEMBANGANNYA

31Mar2008 Filed under: Epistemology, Paradigm and Perspective Author: Arif

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Positivisme Logis

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Auguste Comte dan Positivisme

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.

Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.

Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta 2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup 3. Metode ini berusaha ke arah kepastian 4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan

tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

Daftar Pustaka

Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996

Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954

Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994

Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983

Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989

Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper Torchbooks, USA, 1967

Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996

KARL RAIMUND POPPER

31Mar2008 Filed under: Epistemology, Philosophers Author: Arif

Ketika Ia Hidup

Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.

Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disama.

Setelah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan “segala cara” dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.

Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teaori Newton dengan munculnya Teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang gikemukakan oleh Einstein. Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.

Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.

Tokoh lain yang cukup berpengaruh pada Popper yang berkaitan dengan perkembangan pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang profesor psikologi di Universitas Wina. Buhler memperkenalkan pada Popper tentang 3 tingkatan fungsi bahasa, yaitu fungsi ekspresif, fungsi stimulatif, dan fungsi deskriptif. Dua fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia dan binatang sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa manusia dan bahkan tidak selalu hadir. Dan pada perkembangannya Popper menambahkan fungsi keempat yaitu fungsi argumentatif, yang dianggapnya terpenting karena merupakan basis pemikiran kritis.

Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.

Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.

Karya-karyanya 1. Logik der Forschung tahun 1934

2. The Open Society and Its Enemies I, II; The Poverty of Historicism tahun 1957 3. The Logic of Scientific Discovery tahun 1959 4. Conjectures and Refutations: the Growth of Scientific Knowledge tahun 1963 5. Objective Knowledge, an Evolutionary Approach tahun 1972 6. The Philosophy of Karl Popper tahun 1974

Kritiknya terhadap Positivisme Logis

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan

pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

Pemikirannya : Asas Falsifiabilitas

Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan adalah titik permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia sebagai jawaban atas masalah pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan dan pengiraan dan tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang secermat-cermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya.

Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.

Keterbukaan untuk diuji atau falsifiabilitas sebagai tolok ukur mempunyai implikasi bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang dan selalu dapat diperbaiki, dan pengetahuan yang tidak terbuka untuk diuji tidak ada harapan untuk berkembang, dan sifatnya biasanya dogmatis serta tidak dapat digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.

Adapun bagan mengenai metode falsifiabilitas yang dikemukankan oleh Popper dapat ditunjukkan sebagai berikut : Tahap 1: P1 – TT – EE – P2 Tahap 2: P2 – TT1 – EE1 – P3 Tahap … dst….. Keterangan :

P1 : Permasalahan/ Problem Awal TT : Tentative Theory EE : Error Elimination P2 : Problem baru TT1 : Tentative theory ke dua

EE1 : Error Elimination ke dua P3 : Problem baru

Dari bagan ini terlihat bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang mengikuti alur diatas dan penjelasan ini akan lebih jelas lagi dengan menyimak penjelasn yang berikut.

Proses Pengembangan Pengetahuan Ilmiah

Popper menekankan bahwa pengalaman merupakan unsur yang paling menentukan dan pengalaman tidak mengenai sesuatu yang berdiri sendiri yang dapat dipakai sebagai tolok ukur atau batu uji mutlak buat pembuktian atau embenaran suatu teori atay pernyataan, melainkan mengenai cara menguji, atau metode penelitian itu sendiri. Jadi Popper mengatakan bahwa pengalaman saman dengan pengujian dan pengujian sama dengan metode penelitian.

Popper juga mengungkapkan adanya tahap-tahap pengembangan pengetahuan ilmiah, yaitu tahap 1, Penemuan masalah, ilmu pengetahuan mulai dari satu masalah yang bermula dari suatu penyimpangan, dan penyimpangan ini mengakibatkan orang terpaksa mempertanyakan keabsahan perkiraan itu dan ini merupakan masalah pengetahuan. Tahap 2, Pembuatan Teori, langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu Teori sebagai jawabannya yang merupakan hasil daya cipta pikiran manusia dan sifatnya percobaan atau terkaan. Teori sifatnya lebih abstrak dari masalah. Tahap 3, Perumusan ramalan atau hipotesis, Teori selanjutnya digunakan untuk menurunkan ramalan atau hipotesis spesifik secara deduktif dan ini ditujukan kepada kenyataan empiris tertentu. Tahap 4, Pengujuan ramalan atau hipotesis, selanjutnya hipotesis diuji melalui pengamatan dan eksperimen tujuannya adalah mengumpulkan keterangan empiris dan menunjukkan ketidakbenarannya. Tahap 5, Penilaian hasil, tujuan menilai benar tidaknya suatu teori oleh Popper dinamakan pernyataan dasar yang menggambarkan hasil pengujian. Pernyataan dasar ini memainkan peranan khusus yaitu pernyataan yang bertentangan dengan teori, dan ini semacam petunjuk ketidakbenaran potensial dari teori yang ada. Dalam tahap ke 5 ini terdapat dua kemungkinan, pertama, teori ini diterima

sehingga tidak berhasil ditunjukkan ketidakbenarannya dan untuk sementara teori ini dapat dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah sampai pada suatus aat dapat dirobohkan dengan menyusun suatu pengujian yang lebih cermat. Kemungkinan kedua, adalah teori ini ditolak sehingga terbukti bahwa ketidakbenarannya dan konsekuensinya muncul masalah baru dan harus segera dibentuk teori baru untuk mengatasinya. Tahap 6, Pembuatan Teori Baru, dengan ditolaknya teori lama maka muncullah masalah baru yang membutuhkan teori baru untuk mengatsinya dan sifat dari teori ini tetap abstrak dan merupakan perkiraan atau dugaan sehingga merupakan suatu percobaan yang harus tetap diuji.

Dari penjelasan diatas bahwa untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah tentunya manusia tidka akan lepas dari kegiatan percobaan, kesalahan, terkaan dan penolakan yang silih berganti dan menurut Popper teori adalah unsur tetap dalam evolusi manusia dan teori pula adalah unsur rasio dan bagian dari pembawaan manusia.

Menurut Popper filsafat ilmu pengetahuan tidak lain merupakan suatu pengujian untuk memberikan alasan atau argumentasi untuk memilih teori satu dan membuang teori yang lain dan bukan mengenai pembenaran suatu teori. Dan apa yang dapat dibuat tidak lain hanya mengadakan pilihan rasional dalam keputusan tentang suatu pernyataan. Filsafat ilmu pengetahuan hanya dapat berbicara tentang pengetahuan dalam arti kata produksi, sedangkan masalah bagaimana pengetahuan itu dihasilkan atau ditemukan tidak bisa menjadi pokok pembicaraan oleh karena meliputi “intuisi kreatif” yang tidak terbuka untuk ditelaah.

Apa yang dimaksud oleh Popper Rasionalisme Kritis adalah memberikan kebebasan pada manusia untuk berfikir penuh kepada manusia. Pikiran manusia merupakan percobaan atau terkaan belaka. Untuk memperbaiki nasibnya manusia dituntut mengembangkan pengetahuan ilmiah dengan cara mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang tersimpan dalam pikirannya sendiri. Teori disatu pihak hanyalah alat untuk mencapai pikiran yang lain dan lebih tepat. Teori pada hakekatnya merupakan jalan menuju fakta-fakta baru. Tugas Ilmuwan menurut Popper adalah membebaskan manusia dari terkaan dan ia dituntut untuk berkarya dan

menciptakan fakta barusehingga dengan cara ini manusia dapat dibebaskan dari cengkraman kesalahan.

Kritik terhadap Popper

Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Kunt ia melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu dilihat dari masa lalu dan jika demikian maka apa yang diungkapkan oleh Popper tidak sesuai. Kunt mengungkapkan bahwa perkembang ilmu pengetahuan itu melalui 2 tahapan, yaitu tahap normal dan tahap revolusi.

Tahap normal ditandai dengan kesepahaman dikalangan ilmuwan tentang permasalahan yang pantas diteliti maupun syarat0syarat yang harus dipenuhi supaya hasil penelitian dapat diterima. Dengan adanya kesepakatan ini maka metode yang digunakannya pun berdasarkan kesepakatan. Karena ada kesepakatan diantara ilmuwan maka setiap fakta baru yang muncul akan segera diketahui keberadaannya. Namun ketika f\suatu fakta baru muncul dan dianggap menyimpang karena tidak dapat diteliti dengan menggunakan paradigman yang dianut, maka tidaks egera mengganti paradigma yang lama dengan yang baru seperti apa yang dikatakan oleh Popper tetapi semua ilmuwan itu mencoba berdialog dan membicarakan hal ini guna menetapkan paradigman baru yang akan dipakai, dan jika pada perbincangan itu tidak bisa dijelaskan tentang fakta yang baru ini maka barulah keabsahan yang menyimpang mulai diakui dan timbul akan paradigma baru. Dan ini merupakan permulaan dari tahap revolusi.

Ciri khas dari tahap revolusi adalah tiadanya satu paradigma yang berperan sebagai titik orientasi yang tetap dan juga jatuhnya syarat-syarat yang dianggap harus dipenuhi untuk suatu penelitian, atau menurut Kunt dinamakan Anomali. Dengan demikian maka penjelasan untuk pengertian paradigma dan perkembangan ilmu pengetahuan yang menyertainya harus bersifat sosiologis.

Kritik kedua dilontarkan oleh Winch, ia mengatakan bahwa asumsi dasar Popper tentang tujuan ilmu pengetahuan tidaklah benar karena tujuan ilmu pengetahuan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan berkesatuan

(Einheitswissenschaft), dan menurut Winch antara ilmu alam dan ilmu sosial terdapat perbedaan yang mendasar sehingga kenyataan yang ingin dideskripsikan dan dijelaskan oleh ilmu sosial menunjukkan sifat lain dari ilmu alam sehingga tidak dapat dijelaskan dengan hukum-hukum abstrak dan universal. Ilmu sosial umumnya bertugas memberikan interpretasi, yakni harus menerangkan “pengertian” konsep yang berkaitan dengan kelakuan manusia dan metode yang paling cocok untuk itu harus bersifat interpretatif dan berdasarkan apa yang lazim dinamakan “verstehen”. Asas filsafat ilmu pengetahuan yang mendasari ilmu alam tidak dapat dianggap berlaku untuk ilmu-ilmu sosial.

Daftar Pustaka

Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989

Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996

LOGIKA SEBAGAI ESENSI DARI FILSAFAT

7Nov2008 Filed under: Epistemology, Philosophers, Philosophy Author: Arif

Riwayat Hidup

Betrand Russell lahir pada tahun 1872, Ia lahir dari kalangan bangsawan. Pada usia 2 tahun Ia kehilangan ibunya dan berselang 2 tahun kemudian Ia kehilangan ayahnya. Maka setelah kematian yang berturut-turut ini, Ia tinggal bersama dengan orang tua ayahnya.

Singkat cerita Ia menempuh pendidikan di bidang ilmu pasti dan filsafat di Universitas Cambridge, gurunya diantaranya Alfred North Whitehead dan di Cambridge Ia bertemu dengan George Edward Moore yang kemudian menjadi sahabatnya.

Selama hidupnya Ia sangat produktif dalam menulis buku, kurang lebih 71 buku dan brosur, yang membahas tentang berbagai macam permasalaham mulai dari filsafat, pendidikan masalah moral, agama, sejarah dan politik.

Antara tahun 1911-1915 Russell mengajar di Universitas Cambridge. Karena pada tahun 1916 Ia keluar dari Cambridge karena Ia dihukum sebab menolak untuk mengikuti wajib militer, bahkan sampai dipenjara karena Ia mempropagandakan pasifisme pada tahun 1918. Setelah Ia tidak mengajar lagi di Cambridge sebagai dosen tetap, Ia selalu menjadi dosen tamu bahkan sampai memberi ceramah-ceramah di berbagai Universitas di Amerka Serikat.

Ia memang manusia yang penuh dengan gagasan-gagasan, bahkan gagasan-gagasannya tentang pendidikan coba Ia terapkan bersama istrinya dengan mendirikan sekolah yang menganut sistem pendidikan progresif.

Ia juga aktif dalam aksi-aksi melawan persenjataan nuklir. Bahkan sempat Ia menulis beberapa buku tentang permasalahan nuklir ini.

Menjelang akhir hidupnya Ia menerbitkan buku yang mengungkapkan kejahatan operang yang dilakukan oleh tentang Amerika di Vietnam. Dan Ia juga mendirikan Pengadilan Internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan perang, salah seorang anggotanya adalah Jean Paul Sartre.

Pada tahun 1970 Russell meninggal dunia, dan seluruh bukunya diwariskan pada Universitas McMaster, Hamilton, Ontario , Kanada yang Ia gabungkan sendiri ke dalam The Collected Papaers of Bertrand Russell sebanyak 14 jilid ditambah Bibliography sebanyak 3 jilid.

Berikut ini beberapa karya Bertrand Russell lainnya, seperti The Analysis of Mind (1921), The Analysis of Matter (1927) dan juga Human Knowledge, Its Scope and Limits (1948). Buku yang juga cukup terkenal adalah A History of Western Philosophy (1945)

Tesis-tesis:

Berikut ini beberapa tesis yang dapat diangkat dalam buku Our Knowledge of The External World: As a Field for Scientific Method in Philoshophy

1. Logika sebagai Esensi dari Filsafat. 2. Teori tentang Kontinuitas. 3. Teori Positif tentang Ketidakberhinggaan.

Logika sebagai Esensi dari Filsafat

Permasalahan yang selama ini dihadapi oleh pada filusuf menurut Russell adalah karena para filusuf terkadang terlalu berlebihan dan selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang terbaik. Walaupun keadaan ini tidak mungkin bisa dicapai karena para filusuf yang ada selama ini kurang tepat melihat permasalahan filsafat dan metode-metode yang digunakan untuk memecahkan permasalahan filsafat.

Menurut Russell permasalahan-permasalahan filsafat dan metode-metode filsafat selama ini tidak mudah untuk dipahami atau dirumuskan oleh sekolah-sekolah yang ada, banyak permasalahan-permasalahan

tradisionalyang belum dapat dipecahkan oleh pengetahuan yang sekarang ada. Bahkan ada beberapa permasalahan yang sudah mulai di tinggalkan namun sebenarnya masih bisa dipecahkan melalui metode-metode yang tepat dengan tingkat pengetahuan yang lebih maju.

Dalam merumuskan permasalahan ini, Russell menoba membaginya ke dalam 3 tipe besar yaitu tipe pertama disebut sebagai tipe tradisional klasik yang diwakili oleh pemikiran Kant dan Hegel, periode ini menekankan pada kecenderungan untuk mengadopsi pemecahan permasalahan yang terjadi sekarang dengan metode-metode dan hasil-hasil yang telah dicapai pada masa Plato dan lainnya. Tipe kedua adalah Evolusionisme, yang dimulai dari pemikiran Darwin hingga Herbert Spencer. Namun pada perkembangan selanjutnya didominasi oleh pemikiran William James dan M Bergson. Dan Tipe Ketiga adalah yang disebut Logika Atomisme, yang melihat filsafat melalui metode kritis matematika.

Pada tipe Tradisional Klasik perhatian utamanya adalah para filusuf Yunani yang menekankan pada rasio sebagai perhatian utamanya. Metode deduksi apriori digunakan dalam tipe ini untuk mengkaji fenomena yang ada. semua realita adalah suatu kesatuan dan tidak ada perubahan. Sense yang ada dalam dunia merupakan ilusi. Keganjilan dari hasil yang diperoleh oleh para filusuf tidak membuat mereka merasa cemas karena bagi mereka rasio merupakan satu-satunya keabsahan yang sahih.

Ketika para filusuf yang mereka jadikan acuan meninggal, maka ajaran mereka terus dipertahankan dengan menggunakan kekuasaan, tradisi, kekuatan hukum dan juga kekuatan yang selama ini masih ada yaitu otoritas agama.

Di Inggris, rasio apriori ini digunakan untuk mengungkapkan rahasia tentang dunia dan dapat membuktikan kenyataan seperti apa yang di tampakkan. Logika dalam tipe Tradisional Klasik ini di konstruksikan melalui proses negasi. Logika dibuat untuk mengutuk mereka semua untuk menerima fenomena dan fenomena diungkapkan untuk sadar akan

dunianya. Dunia dibentuk oleh logika dengan sedikit peran dari pengalaman.

Dunia, menurut tipe ini, merupakan ”organic unity”, dimana bagian-bagiannya yang berbeda bergabung menjadi satu dan bekerja sama karena mereka sadar bahwa mereka berada dalam satu tempat yang sama sebagai satu kesatuan. Intinya tipe ini merupakan penggabungan antara pemikiran Yunani yang menekankan pada rasio dan abad pertengahan yang menkankan pada kesempurnaan alam semesta.

Pada tipe Evolusionisme, percaya pada dirinya yang mendasarkan pada ilmu pengetahuan, Sebuah pembebasan dari harapan-harapan, memberikan inspirasi dalam menghidupkan kembali kekuatan manusia. Evolusionisme ini bukan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, dan juga bukan metode untuk memecahkan masalah. Filsafat ilmiah yang sesungguhnya adalah suatu yang lebih kuat sekaligus lebih longgar, menguak harapan-harapan tentang keduaniaan dan membutuhkan beberapa disiplin supaya berhasil dalam mempraktekkannya.

Logika, matematika, fisika hilang dalam tipe ini disebabkan karena mereka terlalu statis. Apa yang nyata adalah sesuatu yang mendesak dan bergerak menuju pada satu tujuan. Terdapat 2 kritik terhadap hal ini, diantaranya, pertama, kebenaran tidak mengikuti apa yang telah dihasilkan ilmu pengetahuan yang selalu memperhatikan fakta yang mengalami evolusi. Kedua, motif dan kepentingan di inspirasikan oleh praktek-praktek eklusif.

Hal yang paling penting dalam tipe Evolusionisme adalah pertanyaan tentang tujuan manusia atau setidaknya tentang tujuan hidup manusia. Evolusionisme lebih tertarik pada moralitas dan kebahagiaan dari pada pemngetahuan semata.

Pada awalnya Russell sudah mulai menampakkan penyerangan pada idealismedengan memihak pada akal sehat (common sense) dan Ia lebih menekankan pada analisis logis. Namun setelah buku ini dikeluarkan maka Russell sudah mulai beralih dari common sense ke pada ilmu pengetahuan, maksudnya adalah dalam berfilsafat atau dalam

memecahkan permasalahan filsafat harus mengacu pada ilmu pengetahuan yang ketat dan kritis.

Tipe Logika Atomisme ini mempunyai tujuan untuk mengupas habis struktur hakiki bahasa dan dunia. Tujuan ini dicapai melalui jalan analisis. Menurut Russell filsafat bertugas menganalisa fakta-fakta. Filsafat harus melukiskan jenis-jenis fakta yang ada. Bagi Russell fakta-fakta tidak dapat bersifat benar dan salah yang mengandung dan bisa dikatakan benar dan salah adalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta-fakta. Atau dengan kata lainproposisi-proposisi merupakan simbol dan tidak merupakan sebagian dunia. Dimana suatu proposisi terdiri dari kata-kata, yang menunjukkan kepada data inderawi (sense-data) dan universalia (universalis), yaitu ciri-ciri atau relasi-relasi.

Ada yang disebut proposisi atomis, dimana proposisi ini sama sekali tidak mengandung unsur-unsur majemuk. Suatu proposisi atomis mengungkapkan suatu fakta atomis. Dengan demikian Russell menyimpulkan bahwa bahasa sepadan dengan dunia. Dengan kata lain melalui bahassa kita dapat menemukan fakta-fakta jenis mana yang ada. Menurur Russell bahasa menggambarkan realitas. Namun bahasa yang Ia maksud adalah bahasa sempurna, yang terlepad dari kedwiartian dan kekaburan, yaitu bahasa logis yang dirumuskan dalam principia mathematica.

Dengan proposisi-proposisi atomis kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk, misalnya dengan menggunakan proposisi-proposisi atomis kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk, misalnya dengan menggunakan kata ”dan” atau ”atau”. Yang dihasilkan adalah suatu proposisi molekuler (molecular proposition). Tetapi tidak ada fakta molekuler yang hanya menunjuk pada fakta-fakta atomis.

Kebenaran atau ketidak benaran suatu proposisi molekuler tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-proposisi atomis yang terdapat di dalamnya. Jadi fakta-fakta yang atomis menentukan benar tidaknya proposisi apa pun juga. Atau perkataan Russell adalah ”molecular proposition are truth-function’s of propositions.

Russell sadar bahwa dalam argumennya ini juga ada beberapa kelemahan yang masih dapat dihindari, hal ini ditunjukkan bahwa bagi Russell masih ada fakta umum. Seperti pernyataan-pernyataan umum yang tidak harus dibentuk oleh proposisi atomis seperti semua orang akan mati, dari proposisi ini pernyataan ini benar karena bukan terdiri dari serangkaian fakta-fakta atomis tetapi proposisi ini benar karena adanya fakta umum yang berlaku benar.

Hal kedua Russell juga mengakui adanya fakta-fakta negatif., karena itulah satu-satunya cara untuk menerangkan kebenaran dan ketidakbenaran proposisi-proposisi negatif. Dan terakhir Russell harus mengakui adanya fakta-fakta khusus yang lebih mengacu pada suatu kepercayaan atau suatu fakta psikis (mental fact)

Kritik-kritik terhadap Teori Atomisme Logis

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa atomisme logis mengandung suatu metafisika, alasannya adalah teori ini mau menjelaskan struktur hakiki dari bahasa dan dunia, atau dengan kata lain teori ini menjelaskan bagaimana akhirnya halnya dengan realitas seluruhnya.

Dunia dapat diasalkan kepada fakta-fakta atomis, jelas sekali merupkana suatu pendapat metafisis. Metafisika yang terdapat dalam teori Russell merupakan suatu pluralisme radikal, sama sekali bertentangan dengan monisme yang menandai idealisme, khususnya idealisme Bradley.

Atomisme logis menggunakan suatu kriterium untuk menentukan makna. Suatu proposisi mengandung makna kalau dapat ditunjukkan suatu fakta atomis yang sepadan dengannya atau kalau suatu proposisi majemuk terdiri dari proposisi-proposisi atomis yang masing-masing sepadan dengan suatu fakta atomis. Akan tetapi proposisi yang dinyatakan oleh atomisme logis tidak dapat disamakan dengan kedua jenis proposisi ini.

Tidak ada fakta atomis yang membuat proposisi-proposisi yang membentuk teori proposisi atomisme logis itu menjadi benar atau tidak benar. Akibatnya perlu disimpulkan bahwa proposisi-proposisi atomisme

logis sendiri tidak bermakna. Dan Russell sendiri tidak memberikan penyelesaiannya karena Ia telah beralih kepada pembahasan yang lain.

Analisa Kritis

Mengenai pendapat Russell tentang tipe Tradisional Klasik memang ada benarnya karena pada tipe ini mereka lebih menekankan pada pemikiran-pemikiran yang sudah lama adanya, dan belum tentu tepat dan dapat menentukan benar atau salah suatu fakta. Dengan kata lain pendekatan filsafat yang sudah usang belum tentu tepat untuk diterapkan pada masa tertentu, terkadang apa yang ditawarkan oleh filusuf-filisuf terdahulu haya dapat berlaku pada jamannya.

Memang logika pada saat ini sudah digunakan, karena Aristoteles sudah memulainya, namun logika disini digunakan hanya untuk mengkonstruksi fakta melalui negasi saja. Atau dengan kata lain dunia dibentuk melalui pernyataan saja tanpa memperhatikan pengalaman yang kongkrit.

Pada dasarnya pendekatan yang ditawarkan oleh Russell adalah pendekatan logika yang atomis, dimana pendekatan ini lebih mengandalkan pendekatan yang sangat matematis. Disatu sisi pendekatan yang dilihat dari sudut matematis lebih sistematis. Biasanya filsafat dan permasalahannya jika dikaji dengan menggunakan pendekatan yang secara sistematis umumnya lebih sistematis, alur berfikir sangat runtut.

Namun kelemahannya ada beberapa permasalahan filsafat yang tidak dapat didekati dengan pendekatan yang bersifat matematis seperti metafisis, atau mengenai ontologi. Maka kebanyakan para filusuf yang menekankan kajian filsafatnya dengan metode logika, mereka tidak terlalu ambil pusing dengan metefisis atau segala hal yang berbau dengan idealisme. Sesuatu itu harus dapat dipertanggungjawabkan dengan proposisi-proposisi yang tepat dan benar. Sehingga fakta-fakta yang hadir dapat diwakilkan dengan proposisi-proposisi yang benar dan sahih.

Sayangnya Russell kurang membahas lebih lanjut berkenaan dengan kekuarngan teorinya.

Daftar Pustaka

Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Russell, Bertrand. 1993. Our Knowledge of The External World: As a Field for Scientific Method in Philoshophy. London: Routedge

AUGUSTE COMTE

5Jun2008 Filed under: Philosophers, Social Philosophy Author: Arif

Riwayat Hidup

Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak.

Comte akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.

Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidupa dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis sangat mahal.

Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas, yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu masyarakat positifis.

Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang tersu berkesinambungan sehingga Comte sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial.

Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya.

Konteks Sosial dan Lingkungan Intelektual

Untuk memahami pemikiran Auguste Comte, kita harus mengkaitkan dia dengan faktor lingkungan kebudayaan dan lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan sikap individualis.

Lingkungan intelektual Perancis diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang lebih berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Para peminat filsafat sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana yang dapat diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan. Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah integrasi dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau, De Bonald.

Dua tokoh filusuf sejarah yang mempengaruhi Comte adalah turgot dan Condorcet. Turgot merumuskan dua hukum yang berkaitan dengan kemajuan. Yang pertama berisi dalil bahwa setiap langkah berarti percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap perkembangan intelektual, pertama, orang pertama menemukan sebab-sebab adanya gejala-gejala dijelaskan dalam kegiatan mahluk-mahluk rohaniah, kedua, gejala-gejala dijelaskan dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga

orang menggunakan matematika dan eksperimen. Menurut Condorcet, Studi sejarah mempunyai dua tujua, pertama, adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan asal saja hukum-hukumnya dapat diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya Sejarah). Tujuan kedau adalah untuk menggantikan harapan masa depan yang ditentukan oleh wahyu dengan harapan masa depan yang bersifat sekuler. Menurut Condorcet ada tiga tahap perkembangan manusia yaitu membongkar perbedaan antar negara, perkembangan persamaan negara, dan ketiga kemajuan manusia sesungguhnya. Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa belajar sejarah itu dapat melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan pada kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan peradaban manusia, da menganalisa kemajuan pemahaman manusia terhadap alamnya.

Dan penulis yang meminati masalah penataan masyarakat, Comte dipengaruhi oleh de Bonald, dimana ia mempunyai pandangan skeptis dalam memandang dampak yang ditimbulkan revolusi Perancis. Baginya revolusi nii hanya menghasilkan keadaan masyarakat yang anarkis dan individualis. De Bonald memakai pendekatan organis dalam melihat kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok orang yang diterangi semangat Gereja. Individu harus tunduk pada masyarakat.

Comte dan Positivisme

Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.

Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme),

tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.

Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta 2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-

syarat hidup 3. Metode ini berusaha ke arah kepastian 4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial da[at digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.

Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organisk yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.

Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini [eneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.

Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu, pertama, Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.

Kedua, Tahap Metafisik merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi. Ketiga, Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan

memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.

Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.

Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini).

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat dasar dari suatu organisasi sosial suatu masyarakat sangat tergantung pada pola-pola berfikir yang dominan serta gaya intelektual masyarakat itu. Dalam perspektif Comte, struktur sosial sangat mencerminkan epistemologi yang dominan, dan Comte percaya bahwa begitu intelektual dan pengetahuan kita tumbuh maka masyarakat secara otomatis akan ikut bertumbuh pula.

Perkembangan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan yang lainnya selalu mengikuti hukum alam yang empiris sifatnya dan Comte merumuskan ke dalam 3 tahapan yaitu tahap Teologis, Metafisik dan Positif. Dimana dalam tahap teologis dimana pengetahuan absolut mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan dari

tindakan langsung dari hal-hal supranatural. Tahap metafisik mulai ada perubahan bukan kekuatan suoranatural yang menentukan tetapi kekuatan abstrak, hal yang nyata melekat pada semua benda. Dan fase positif, sudah meninggalkan apa-apa yang dipikirkan dalam dua tahap sebelumnya dan lebih memusatkan perhatiannya pada hukum-hukum alam.

Jika ditilik dari penjelasan diatas maka bentuk dari perkembnagan sejarah Auguste Comte sulit untuk dipastikan apak mengikuti alur linier atau mengikuti alur spiral tetapi yang jelas Comte tidak terlalu murni menggunakan kedau alur tersebut, yang pasti ia mengarah pada progresifitas dimana masyarakat positif merupakan cita-cita akhirnya yang sebelum nya harus melalui 2 tahapan dibawahnya, yaitu tahap Teologis dan Metafisik

Pustaka

Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954

Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987

Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat 2, Cet. 14, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994

Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983

Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper Torchbooks, USA, 1967

"KNOWLEDGE IS POWER"

Resensi atas Buku Tulisan Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Maumere, Penerbit Ledalero, 2007. Buku bisa didapatkan di Toko Gramedia.

Dewasa ini, peran ilmu pengetahuan sangatlah besar mempengaruhi hidup manusia. Semua hal, mulai dari pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir, transportasi, komunikasi, dan memasak nasi pun tidak bisa lepas dari kontribusi ilmu pengetahuan.

Relasi antar manusia berkembang pesat, karena kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang luar biasa cepat. Orang di kutub Utara bisa berbincang-bincang santai dengan orang di Afrika Selatan tanpa harus bingung memikirkan perbedaan jarak dan waktu.

Dunia medis pun berkembang pesat. Jika seratus tahun yang lalu, penyakit flu bisa membawa kematian, maka sekarang ini, hal tersebut nyaris tidak lagi menjadi kekhawatiran, kecuali kalau flu burung tentunya.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan juga memiliki dampak negatif bagi manusia. Dampak negatif ini bisa dilihat mulai dari pencemaran lingkungan, penciptaan senjata pemusnah massal yang bisa melenyapkan jutaan manusia dalam sekejap mata, sampai radiasi yang bisa merusak mata kita yang berasal dari monitor komputer.

Bagaimanakah hal ini harus ditanggapi? Salah satu cara untuk menanggapi semua isu ini secara sistematis dan rasional adalah dengan melalui refleksi filsafat ilmu pengetahuan, suatu cabang filsafat yang hendak merefleksikan logika internal ilmu pengetahuan dalam bentuk

koherensi teori dan aspek-aspek yang mendasarinya, ataupun dampak eksternal dalam bentuk efeknya bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Sebagai suatu cabang filsafat”, demikian tulis Mikhael Dua, “kegiatan filsafat ilmu pengetahuan tidaklah baru. Sejarah ilmu pengetahuan selalu dibarengi dengan refleksi tentang hakekat dan fungsi ilmu pengetahuan” (hal. 3) Menurut Mikhael Dua, semua bentuk ilmu pengetahuan sudah selalu berada bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, perannya tidak lagi bisa diabaikan.

Positivisme di dalam Ilmu Pengetahuan

Buku Mikhael Dua ini tampaknya lebih mau menanggapi isu pertama, yakni suatu refleksi terhadap logika internal ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seluruh buku ini bisa dilihat sebagai pembongkaran internal analitis terhadap paradigma posivitisme yang, terutama di Indonesia, tampaknya masih melekat di dalam asumsi dasar para ilmuwan kita.

Apa itu positivisme? Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi.

Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas metodenya. Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang

juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu-ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak memadai.

Kritik Terhadap Positivisme

Yang juga dikritik oleh Mikhael Dua adalah suatu aliran filsafat yang disebut sebagai positivisme logis, atau juga disebut sebagai positivisme modern, yakni suatu aliran pemikiran yang berpendapat bahwa “tugas utama filsafat adalah berpikir secara positivistis dan memandang tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris” (hal. 31).

Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael Dua tampak selalu ‘bertegangan’ dengan paradigma positivisme ini, baik secara jelas maupun secara implisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti Karl Popper dengan teori falsifikasinya (hal. 51-80), Hempel (hal. 83-105), Thomas Kuhn (hal. 109-137), dan beberapa pemikir lainnya, Mikhael Dua tampak menabuh genderang perang terhadap positivisme!

Lalu, apa implikasi dari refleksi ini bagi kehidupan manusia secara keseluruhan? Setidaknya, ada dua. Yang pertama, kritik terhadap positivisme logis maupun positivisme klasik hendak menyelamatkan manusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya ke dalam data-data empiris dan analisis-analisis logis semata, sekaligus memberi ruang untuk pengetahuan yang secara dialektis mampu mencakup keseluruhan (hal. 226).

Yang kedua, refleksi yang dilakukan Mikhael Dua ini juga dapat membantu kita untuk menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam totalitas kehidupan manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis. “Tidak ada sebuah teori”, demikian tulisnya, “yang berdiri sendiri tanpa dilihat dalam kerangka dialektis tersebut… dengan teori-teori yang lain.” (hal. 240)

Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah bagian dari totalitas kehidupan manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput dari cacat-cacat yang pada akhirnya bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Refleksi metodologis terhadap ilmu pengetahuan sangatlah perlu, sehingga kita bisa secara kritis menanggapi berbagai isu –isu yang tentang ilmu pengetahuan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori ilmiah, sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan manusia***

Penulis Reza Antonius Alexander Wattimena, Pengajar Filsafat Ilmu Universitas Atma Jaya, Jakarta