pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

15
Pluralitas dan Integrasi Nasional dalam Struktur Sosial Masyarakat Indonesia Indonesia sebagai bangsa yang diidentifikasi memiliki kemajemukan masyarakat berdasar pada agama, suku, adat, budaya, dan kondisi kekinian yang dipengaruhi oleh ekonomi. Menurut Parsudi Suparlan (dalam Rustanto, t.t), “Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang dicirikan pada wujud pentingnya kesukubangsaan sebagai identitas diri”. Kemajemukan itulah yang nantinya melahirkan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial masyarakat adalah model pelapisan masyarakat atau penggolongan masyarakat dalam segmen-segmen berdasar karakteristik tertentu, yang kemudian membudaya. Struktur sosial masyarakat berperan sebagai pembeda dan pengelompokkan penduduk atau masyarakat dalam jenjang sosial yang bersifat hierarkis (Herwanto, 2013). Sebagai masyarakat plural sejak zaman Hindia-Belanda, Indonesia berada dalam kondisi keberagaman tinggi (Furnivall dalam Nasikun, 1995). Kemajemukan diniali sebagai bentuk identitas nasional bangsa. Plural Societies adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Secara politik, masyarakat masjemuk Indonesia diidentifikasi dengan tanda ketiadaan kehendak bersama (common will), berfokus pada sekumpulan individu dari pada suatu kesatuan organis, serta dalam kehidupan ekonomi, ditandai sengan ketiadaan kesamaan terhadap permintaan sosial bersama (common social demand). Menurut Pierre L van de Berghe, karakteristik masyarakat plural sebagai sifat dasar kemajemukan yakni : (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok ynag seringkali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain; (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer; (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; (4) secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok satu dengan kelompok yang lain; (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh

Upload: camila-cabelo

Post on 07-Jan-2017

245 views

Category:

Education


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

Pluralitas dan Integrasi Nasional dalam Struktur Sosial Masyarakat Indonesia

Indonesia sebagai bangsa yang diidentifikasi memiliki kemajemukan masyarakat berdasar pada agama, suku, adat, budaya, dan kondisi kekinian yang dipengaruhi oleh ekonomi. Menurut Parsudi Suparlan (dalam Rustanto, t.t), “Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang dicirikan pada wujud pentingnya kesukubangsaan sebagai identitas diri”. Kemajemukan itulah yang nantinya melahirkan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial masyarakat adalah model pelapisan masyarakat atau penggolongan masyarakat dalam segmen-segmen berdasar karakteristik tertentu, yang kemudian membudaya. Struktur sosial masyarakat berperan sebagai pembeda dan pengelompokkan penduduk atau masyarakat dalam jenjang sosial yang bersifat hierarkis (Herwanto, 2013). Sebagai masyarakat plural sejak zaman Hindia-Belanda, Indonesia berada dalam kondisi keberagaman tinggi (Furnivall dalam Nasikun, 1995). Kemajemukan diniali sebagai bentuk identitas nasional bangsa. Plural Societies adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Secara politik, masyarakat masjemuk Indonesia diidentifikasi dengan tanda ketiadaan kehendak bersama (common will), berfokus pada sekumpulan individu dari pada suatu kesatuan organis, serta dalam kehidupan ekonomi, ditandai sengan ketiadaan kesamaan terhadap permintaan sosial bersama (common social demand).  Menurut Pierre L van de Berghe, karakteristik masyarakat plural sebagai sifat dasar kemajemukan yakni : (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok ynag seringkali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain; (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer; (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; (4) secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok satu dengan kelompok yang lain; (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bdang ekonomi, serta; (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Secara fungsional konservatif, strukur sosial diperlukan demi mengupayakan terpenuhinya runtutan interdependensi kompleks. Menurut pendekatan ini, startifikasi bertanggung jawab dalam usaha pengisian jabatan, bersifat inhern dan diperlukan demi kelangsungan sistem. Hal ini bertolak belakang dengan model pendekatan konflik, bahwa pelapisan yang ada adalah ulah kelompok-kelompok elitis yang berkuasa secara sengaja untuk mempertahankan dominansinya hingga menimbulkan bentukan sosial yang diskriminatif. Dalam ilmu sosiologi, dasar dan inti pelapisan sosial adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban serta kewajiban dan tanggung jawab di antara anggota masyarakat. Yang perlu di garis bawahi adalah korelasi anatara kemajuan dengan strata sosial, bahwa semakin maju suatu masyarakat, berbanding lurus dengan tingkat

Page 2: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

kompleksitas pelapisan sosial yang terjadi di dalamnya (Herwanto, 2013). Pelapisan masyarakat sejatinya telah ada sejak manusia mengenal kehidupan bersama dalam organisasi sosial, dan atas kesadaran saling membutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.Struktur sosial masyarakat dikategorikan dalam dua jenis yakni secara horizontal dan vertikal (Nasikun, 1995). Mengacu pada model horizontal, kemajemukan masyarakat Indonesia dihasilkan atas pluralitas tinggi terhadap suku, ras, budaya, dan agama. Dalam hal ini, tingginya tingkat kemajemukan secara horizontal dinilai dapat memperkaya aspek budaya Indonesia. Mengingat perbedaan ini tidak dapat dipisahkan dengan bentukan Indonesia yang mengupayakannya untuk ada. Hal ini dapat terlihat bagaimana faktor geografis berperan mensegmentasikan budaya masing-masing daerah. Bukan hanya bagaimana geografis wilayah Indonesia yang berbentuk kesatuan kepulauan, namun juga mengenai pengaruh topografi hingga klimatologis. Perbedaan mendasar seperti disebutkan di atas menjadikan Indonesia kaya akan model adat kedaerahan. Banyak cabang yang terlahir dari perbedaan ekologis seperti kontur tanah dan curah hujan yang berpengaruh pada bentukan mayoritas pekerjaan. Seperti model ladang di luar jawa atau shifting cultivation dan wet rice cultivation, pertanian lahan basah yang berkembang di daerah jawa-bali (Rustanto, t.t). Sejatinya, karakteristik struktur majemuk horizontal dapat mengintegrasikan dominasi budaya pluralitas di Indonesia dalam satu kesatuan toleransi. Perbedaan bukan ditujukan untuk saling menghegemoni dan mensubordinat atau memarginalkan budaya lain, namun seiring dengan kemajuan yang diupayakan pemerintah, pluralitas budaya sebagai karakteristik nasional mampu memicu dan bertindak sebagai promotor kesatuan atas Bhineka Tunggal Ika, sebagai amunisi kekuatan pertahanan dan perlawanan terhadap agresi asing (Jackson & Sorensen, 1999).            Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia digolongka dalam model ekstrimis lapisan atas dan lapisan bawah. Di antara keduanya memiliki kecanggungan yang tajam (Nasikun, 1995). Model struktur majemuk masyarakat secara vertikal cenderung didominasi oleh faktor ekonomi. Ekonomi menggerakkan besar pendapatan yang mempengaruhi bentuk gaya hidup yang pada akhirnya dapat diidentifikasi secara jelas bagaimana kalangan borjuis menikmati fasilitas penunjang sebagai penganut sosialita dengan mudah, namun di sisi lain ketidaksemerataan potensi yang menghasilkan bentuk ketimpangan tajam berimbas pada kalangan proletar. Kelas bawah cenderung berkutat pada posisinya yang bahkan sulit untuk memenuhi tuntutan pokoknya. Pada praktiknya, pandangan vertikal memiliki konsekuensi terhadap adanya bentuk konflik sosial (Nasikun, 1995). Hal  ini terjadi akibat perbedaan pemahaman dan penyalahgunaan kepemilikan aspek kekuatan oleh beberapa pihak. Kecemburuan sosial antara masyarakat bawah terhadap pihak atas mampu mendorong berbagai pergolakan sebagai alasan adanya kekecewaan terhadap sistem ekonomi kompleks. Model horizontal tak pelak juga mampu menimbulkan disintegrasi sosial. Sepertihalnya permasalahan panjang yang melibatkan penganut Syiah dan Su’ni yang terjadi di ranah Madura beberapa waktu lalu.

Page 3: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

            Menurut Nasikun (1995), karakter nasional yang dibangun dari pluralitas atas ketidaksamaan dalam masyarakat sejatinya dapat mendorong terjadinya ketidakharmonisan hingga berujung pada potensi konfliktual. Perbedaan identitas mampu melahirkan pemahaman yang berbeda. Kecurigaan dan aksi saling menjatuhkan akan berimbas pada ketidakselarasan kepentingan yang akan hadir memecah integrasi kesatuan, dan membentuk gesekan antar budaya sosial. Menilik pada disintegrasi sebagai konsekuensi logis, tidak meniadakan kekuatan pluralitas yang mampu menguatkan sistem nasional ketika diolah dan dikomandoi oleh sistematika aturan yang tidak terkesan tumpang tindih. Secara jelas struktur majemuk masyarakat Indonesia telah disegmentasikan sejak zaman kolonial. Pada masanya, penjajahan di Indonesia mengkategorikan segala aspek seperti hak pendidikan, kesehatan, dan hukum pada pembagian golongan yakni, golongan satu yang dikuasai pihak Belanda dan keturunannya, golongan akhir oleh bangsa pribumi, serta di antara keduanya terdapat kalangan China Tionghoa yang memiliki keistimewaan berarti (Nasikun, 1995). Saat itu, bentukan golongan dalam struktur masyarakat tidak menimbulkan konfliktual yang tajam, meski tidak juga meniadakan gerakan aspiratif pribumi dalam permasalahan perbedaan pengakuan dan kesempatan di berbagai bagian. Namun, pada masa kolonial, masyarakat Indonesia terintegrasi dalam cakupan kedaerahan, berusaha mendobrak peranan dominan pihak asing, bukan pergolakan kesatuan yang sering terjadi saat ini. Di mana masyarakat Indonesia kehilangan pemahaman penuh mengenai toleransi dan kesatuan, serta seakan terhipnotis untuk saling mendominasi dan mengabaikan semangat integrasi nasional. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang tersegmen dalam kelompok-kelompok, yang memiliki entitas berbeda, hidup bersama dalam kesatuan wilayah hukum namun dipetakan ke dalam golongan atas dasar garis budaya (Rustanto, t.t). Struktur masyarakat Indonesia yang hadir atas kemajemukan dan pluralitas sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan agenda konflik yang dapat menjadi boomerang pecahnya kesatuan nasional. Semakin tingginya model perbedaan berbanding lurus terhadap konsekuensi logisnya. Namun, dalam pandangan optimisme, sejak Indonesia merdeka dengan berdiri di atas empat pilar utama, bertindak sebagai landasan berpikir dan pemahaman bahwa kemajemukan dapat menjadi alasan untuk menatap masa depan bangsa dalam integrasi nasional yang saling menguatkan oleh sikap tolerir dan kesadaran sebagai satu kesatuan yang terikat dalam instrumen hukum Indonesia. Karena itulah, kemudian Indonesia membawa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang diambil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Karena Indonesia itu beragam, karena Indonesia itu kaya, karena Indonesa itu satu. Penulis mengharapkan adanya kesadaran pluralitas secara rasional, mengedepankan saling menghargai demi terwujudnya kesatuan persatuan bangsa. Serta optimisme kuat, mengolah keberagaman dalam suatu wadah entitas karakter nasional sebagai national power bangsa Indonesia.

 

Page 4: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

Referensi :Herwanto. 2013. Kuliah Pengantar Sosiologi : “Stratifikasi Sosial”. Mata Kuliah Pengantar Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya.Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Nasikun. 1995. Struktur Majemuk Indonesia dalam Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, pp. 27-50,Nasikun. 1995. Struktur Masyarakat Indonesia dalam Masalah Integrasi Nasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, pp. 61-87Rustanto, Bambang. t.t. [online] Struktur Masyarakat Majemuk dalam Mata Kuliah Peksos dengan Masyarakat Multikultur STKS Bandung.  

Page 5: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A. STRUKTUR SOSIAL PLURALIS

 

Indonesia sebuah negara yang terkenal akan pluralitas dan keberagaman budaya maupun etnis yang menjadikan masyarakat dalam negara ini tergolong memiliki struktur sosial yang majemuk. Clifford Geertz (1963 dalam Nasikun, 1995) mengungkapkan bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi ke dalam sub-sub sistem yang berdiri sendiri, yakni masing-masing dari sub-sistem tersebut terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial atau dengan kata lain masyarakat majemuk adalah masyarakat yang struktur sosialnya memiliki sub-sub kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam tulisan ini, penulis setuju dengan pendapat dari Nasikun mengenai struktur sosial masyarakat Indonesia yang ditandai oleh dua ciri yakni ciri horizontal dan ciri vertikal, kemudian penulis juga setuju dengan pendapat dari Nasikun yang mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan pluralitas di Indonesia khususnya faktor geografis.

 

Nasikun (1995) menyebutkan bahwa kemajemukan struktur sosial di Indonesia ditandai oleh dua ciri yakni horizontal dan vertikal. Ciri struktur horizontal yang dimaksud adalah bahwa struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, dan adat istiadat kedaerahan. Selanjutnya ciri struktur vertikal yang dimaksud adalah struktur sosial masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Dari kedua hal tersebut, penulis beropini bahwasannya secara umum dapat terlihat bahwa dalam ciri struktur horizontal lebih menitik beratkan terhadap diferensiasi sosial sebagai akibat dari pluralitas dari segi ras, etnis, agama maupun budaya sedangkan pada ciri struktur vertikal adalah bentuk dari stratifikasi sosial. Lebih lanjut Nasikun (1995) yang mengungkapkan ada beberapa faktor penyebab pluralitas di Indonesia, yakni: (1) Keadaan geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan yang terbentang luas dari sabang hingga merauke, yakni bahwa luasnya kepulauan yang ada di Indonesia dihuni oleh berbagai golongan ras dan etnis yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional serta akan memandang diri mereka masing-masing sebagai suatu jenis kelompok tersendiri. Pendapat dari Nasikun ini juga didukung oleh Hefner (2005) yang mengatakan bahwa keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia kurang lebih terdiri dari 3.000 pulau dan kurang lebih 300 suku yang masing-masing memiliki bahasa dan identitas yang berbeda. (2) Letak geografis Indonesia yang berada di antara dua samudera

Page 6: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

yaitu Pasifik dan Hindia, yakni merupakan jalur perdagangan laut antar negara, yang membuat Indonesia menjadi salah satu sasaran tempat berdagang oleh pedagang-pedagang dari luar negeri sekaligus menyebarkan agama dan kepercayaan yang mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. (3) Perbedaan iklim dan struktur tanah yang ketiganya menciptakan sebuah pluralitas agama, ekonomi, sosial budaya, serta regional (Nasikun, 1995).

 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ciri struktur vertikal lebih menitik beratkan pada stratifikasi sosial. Pada dasarnya stratifikasi sosial yang ada di Indonesia juga dapat dilihat pada stratifikasi era kolonialisme Belanda yang membagi-bagi ras bahwa bangsa Belanda berada di tingkat pertama dalam stratifikasi sosial, orang-orang Tionghoa berada di tingkatan kedua, dan orang-orang pribumi berada pada tingkatan terakhir (Nasikun, 1995). Berlanjut pada era penjajahan Jepang, yang mengubah struktur sosial menjadi Jepang pada urutan pertama, kemudian bangsa Indonesia ditempat kedua diikuti dengan bangsa Eropa pada tingkatan terakhir. Namun seiring dengan berjalannya waktu, struktur sosial masyarakat Indonesia juga turut berubah pasca kemerdekaan yakni tidak adanya urutan stratifikasi yang membanding-bandingkan antara satu ras dengan yang lainnya. Namun pluralitas yang ada tidak akan terlepas dari adanya konflik sosial. Nasikun (1995) mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi pada era penjajahan berbeda dengan era pasca kemerdekaan, yakni konflik yang terjadi karena pluralitas pada saat penjajahan lebih ke arah konflik yang bersifat eksklusif yaitu masalah timbulnya pertentangan didalam pembagian status, kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas pada masyarakat. Sedangkan konflik yang terjadi pada era pasca kemerdekaan merupakan konflik antar golongan-golongan yang bersifat silang-menyilang atau dengan kata lain konflik yang disebabkan adanya pluralitas sesudah masa kemerdekaan dipicu oleh adanya perbedaan-perbedaaan internal di antara golongan pribumi itu sendiri (Nasikun, 1995).

 

Ditengah konflik sosial yang begitu kompleks, terdapat nilai-nilai asli Indonesia yang terkandung didalam struktur sosial masyarakat. Wahid (1981) mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mampu menciptakan keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan dan menjunjung tinggi perdamaian, hal ini sesuai dengan semboyan pancasila bahwa berbeda-beda tapi tetap satu dengan gotong royong sebagai implementasi untuk bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai konflik sosial tanpa meninggalkan identitas golongan masing-masing. Namun hal ini perlahan mulai pudar, dikarenakan nilai pancasila tidak sepenuhnya dapat diterapkan di masyarakat untuk menyelesaikan berbagai konflik, seperti konflik etnis dan agama yang masih menjadi permasalahan utama di Indonesia (Hefner, 2005).

 

Page 7: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

 

B. INTEGRASI NASIONAL

Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang

ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari

kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa

karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya

budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah

keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru.

Page 8: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

Faktor-Faktor Pendorong Integrasi Nasional sebagai berikut:

1. Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.

2.  Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam

Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

3. Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan

merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.

4. Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh

banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.

5. Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan,

Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa

kesatuan bahasa Indonesia.

Faktor-Faktor Penghambat Integrasi Nasional sebagai berikut:

1) Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor

kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama

yang dianut, ras dan sebagainya.

2) Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh

lautan luas.

3) Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong

keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar

negeri.

4) Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil

pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah

SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan,

demonstrasi dan unjuk rasa.

5) Adanya paham “etnosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan

kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.

Contoh Wujud Integrasi Nasional, antara lain sebagai berikut:

a) Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta oleh Pemerintah Republik

Indonesia yang diresmikan pada tahun 1976. Di kompleks Taman Mini Indonesia Indah

terdapat anjungan dari semua propinsi di Indonesia (waktu itu ada 27 provinsi). Setiap

Page 9: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

anjungan menampilkan rumah adat beserta aneka macam hasil budaya di provinsi itu,

misalnya adat, tarian daerah, alat musik khas daerah, dan sebagainya.

b) Sikap toleransi antarumat beragama, walaupun agama kita berbeda dengan teman,

tetangga atau saudara, kita harus saling menghormati.

c) Sikap menghargai dan merasa ikut memiliki kebudayan daerah lain, bahkan mau

mempelajari budaya daerah lain, misalnya masyarakat Jawa atau Sumatra, belajar menari

legong yang merupakan salah satu tarian adat Bali. Selain anjungan dari semua propinsi

di Indonesia, di dalam komplek Taman Mini Indonesia Indah juga terdapat bangunan

tempat ibadah dari agama-agama yang resmi di Indonesia, yaitu masjid (untuk agama

Islam), gereja (untuk agama Kristen dan Katolik), pura (untuk agama Hindu) dan wihara

(untuk agama Buddha). Perlu diketahui, bahwa waktu itu agama resmi di Indonesia baru

5 (lima) macam.

Contoh-Contoh Pendorong Integrasi Nasional :

a. Adanya rasa keinginan untuk bersatu agar menjadi negara yang lebih maju dan tangguh di

masa yang akan datang.

b. Rasa cinta tanah air terhadap bangsa Indonesia

c. Adanya rasa untuk tidak ingin terpecah belah, karena untuk mencari kemerdekaan itu

adalah hal yang sangat sulit.

d.  Adanya sikap kedewasaan di sebagian pihak, sehingga saat terjadi pertentangan pihak ini

lebih baik mengalah agar tidak terjadi perpecahan bangsa.

e. Adanya rasa senasib dan sepenanggungan

f. Adanya rasa dan keinginan untuk rela berkorban bagi bangsa dan negara demi terciptanya

kedamaian

Bentuk Integrasi Nasional sebagai berikut :

§  Asimilasi, yaitu pembauran kebudayaan yang disertai ciri khas kebudayaan asli.

§  Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan

asli

Integrasi nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur suatu bangsa dengan

pemerintah dan wilayahnya (saafroedin bahar, 1998). “mengintegrasikan berarti membuat

atau menyempurnakan dengan jalan terpusah-pisah. Menurut howard wrigins (1996),

integrasi berarti penyatuan bangsa-bangsa yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu

Page 10: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

keseluruhan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak

menjadi suatu bangsa. Jadi menurutnya, integrasi bangsa dilihatnya sebagai peralihan dari

banyak masyarakat kecil menjadi suatu masyarakat yang besar.

Tentang integrasi, myron weiner (1971) memberikan lima definisi mengenai integrasi yaitu :

a.       Integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial dalam

suatu wilayah dan proses pembentukan identitas nasional, membangun rasa kebangsaan

dengan cara menghapus kesetiaan pada ikatan-ikatan yang yang lebih sempit.

b.      Integrasi menunjuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat diatas

unit-unit sosial yang lebih kecil yang betanggotakan kelompok-kelompok sosial budaya

masyarakat tertentu.

c.       Integrasi menunjuk pada masalah menghubungkan antara pemerintah dengan yang

diperintah. Mendekatkan perbedaan-perbedaan mengenai aspirasi dan nilai pada kelompok

elit dan massa.

d.      Integrasi menunjuk pada adanya konsensus terhadap nilai yang minimum yang diperlukan

dalam memelihara tertib sosial.

e.       Integrasi menunjuk pada penciptaan tingkah laku yang terintegrasi dan yang diterima demi

mencapai tujuan bersama.

Sejalan dengan definisi tersebut, myron weiner membedakan lima tipe integrasi

nasional, integrasi wilayah, integrasi nilai, integrasi elit massa, dan integrasi tingkah laku

(tindakan integratif). Integrasi merupakan upaya menyatukan bangsa-bangsa yang berbeda

dari suatu masyarakat menjadi satu bangsa.

Howard Wriggins (1996) menyebut adanya pendekatan atau cara bagaimana para

pemimpin politik mengembangkan integrasi bangsa. Kelima pendekatan yang selanjutnya

disebut sebagai faktor yang menentukan tingkat integrasi suatu bangsa yaitu :

1)      Adanya ancaman dari luar

2)      Gaya politik kepemimpinan

3)      Kekuatan lembaga-lembaga politik

4)      Ideologi nasional

5)      Kesempatan pembangunan ekonomi

Sunyoto Usman (1998) menyatakan bahwa suatu kelompok masyarakat dapat terintegrasi

apabila :

Page 11: Pluralitas dan integrasi nasional dalam struktur sosial masyarakat indonesia

1.      Masyarakat dapat menentukan dan menyepapakati nilai-nilai fundamental yang dapat

dijadikan rujukan bersama

2.      Masyarakat terhimpun dalam unit sosial sekaligus memiliki “croos cutting loyality”

3.      Masyarakat berada saling ketergantungan diantara unit-unit sosial yang terhimpun di

dalamnya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya pluralitas dan kemajemukan struktrur sosial di Indonesia pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh faktor geografis khususnya bentuk kepulauan yang membagi wilayah Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang memiliki beragam kebudayaan. Namun keberagaman dan pluralitas yang ada tidak terlepas dari adanya berbagai konflik sosial yang disebabkan oleh adanya fragmentasi antar ras maupun etnis. Hal ini juga tidak terlepas dari permasalahan utama mengenai konflik agama dan etnis yang tidak dapat sepenuhnya diselesaikan dengan nilai-nilai Pancasila dikarenakan nilai-nilai Pancasila tidak sepenuhnya dapat diterapkan di masyarakat.