pidana revisi

46
KOMENTAR KRITIS ATAS TERPENUHINYA SYARAT TINDAK PIDANA KORPORASI DAN APAKAH SAMA TINDAK PIDANA KORPORASI DENGAN PENYERTAAN 1. Komentar Kritis Mengenai Terpenuhinya Syarat Tindak Pidana Korporasi Menurut Black’s Law Dictionary, kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense commited by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employes, e.g. price fixing, toxic waste dumping, and often referred to as “white collar crime 1 Yang pengertiannya dalam bahasa Indonesia adalah pelanggaran kriminal apapun yang dilakukan dan bisa dibebankan kepada korporasi karena perbuatan dari pegawainya, semisal penetapan harga, pembuangan limbah beracun dan sering disebut “kejahatan kerah putih.” Di Indonesia sendiri, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang ada, hanya mengatur tentang kejahatan konvensional seperti mencuri, membunuh dan sebagainya. Lebih dari itu, subjek pelaku pidana hanyalah orang sebagai naturalijjke person, sehingga korporasi atau badan hukum dianggap tidak bisa melakukan tindakan pidana. Akan tetapi, hal tersebut mau tidak mau harus berubah. Roda ekonomi yang sangat cepat berputar membuat semakin banyak korporasi berdiri dan bersaing satu sama lain. Dari persaingan tersebut, tidak jarang muncul permasalahan- permasalahan salah satunya tindak pidana. 1 Henry Campbell Black; Black’s Law Dictionary; West Publishing Co.; St. Paul Minnessota; 1990; ed. 6 hal. 339. 1

Upload: fadhly-hafiz

Post on 24-Jul-2015

398 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pidana Revisi

KOMENTAR KRITIS ATAS TERPENUHINYA

SYARAT TINDAK PIDANA KORPORASI DAN APAKAH SAMA TINDAK PIDANA

KORPORASI DENGAN PENYERTAAN

1. Komentar Kritis Mengenai Terpenuhinya Syarat Tindak Pidana Korporasi

Menurut Black’s Law Dictionary, kejahatan korporasi atau corporate crime adalah

any criminal offense commited by and hence chargeable to a corporation because of

activities of its officers or employes, e.g. price fixing, toxic waste dumping, and often referred

to as “white collar crime1” Yang pengertiannya dalam bahasa Indonesia adalah pelanggaran

kriminal apapun yang dilakukan dan bisa dibebankan kepada korporasi karena perbuatan dari

pegawainya, semisal penetapan harga, pembuangan limbah beracun dan sering disebut

“kejahatan kerah putih.”

Di Indonesia sendiri, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang ada, hanya

mengatur tentang kejahatan konvensional seperti mencuri, membunuh dan sebagainya. Lebih

dari itu, subjek pelaku pidana hanyalah orang sebagai naturalijjke person, sehingga korporasi

atau badan hukum dianggap tidak bisa melakukan tindakan pidana. Akan tetapi, hal tersebut

mau tidak mau harus berubah. Roda ekonomi yang sangat cepat berputar membuat semakin

banyak korporasi berdiri dan bersaing satu sama lain. Dari persaingan tersebut, tidak jarang

muncul permasalahan- permasalahan salah satunya tindak pidana.

Menurut Sally S. Simpson, ada beberapa pilar yang dapat dijadikan parameter

terjadinya suatu tindak pidana korporasi. (1) tindakan ilegal dari korporasi dan agennya yang

berbeda dengan perilaku kriminal biasa. Tindakan ilegal ini meliputi ranah hukum pidana,

hukum perdata, dan hukum administrasi. (2) korporasi dan perwakilannya termasuk sebagai

pelaku kejahatan. (3) motif dilakukan kejahatan untuk keuntungan organisasional2.

Bahwa tindak pidana korporasi memiliki beberapa hal yang berbeda dengan tindakan

kriminal biasa. Selain bentuk tindakannya yang berbeda yakni tindak pidana korporasi yang

lebih khusus, juga berbeda dalam intensi melakukan kejahatan. Intensi atau motif yang

dimaksud akan membawa keuntungan operasional bagi perusahaan, semisal dalam kasus

1 Henry Campbell Black; Black’s Law Dictionary; West Publishing Co.; St. Paul Minnessota; 1990; ed. 6 hal. 339. 2 Sally S. Simpson; Strategy, Structure and Corporate Crime; 4 Advances in Criminological Theory 171; 1993

1

Page 2: Pidana Revisi

pencemaran lingkungan. Keuntungannya adalah tidak usah mengeluarkan biaya tambahan

untuk restorasi lingkungan.

Orang biasa memang bisa melakukan tindakan yang sama, berbeda dengan korporasi,

bahwa intensi tersebut harus datang dari direksi dan pelaksana roda perusahaan lain. Bahwa

direksi dapat bertindak atas nama perusahaan, dan direksi tidak memiliki atasan lagi yang

memerintahkan tindakan tersebut.

Terkait dengan kasus pidana lingkungan pencemaran Waduk Saguling, akan

dipaparkan terlebih dahulu pasal 46 dalam UU No. 23/ 1997.

Pasal 46 jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau

atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan

pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam

pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau

organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan

tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau

terhadap kedua- duanya.

Bahwa dalam pasal ini diintroduksi bentuk tindak pidana korporasi dalam pencemaran

lingkungan hidup, yang diperjelas melalui kata- kata badan hukum. Hal ini diperlihatkan

dalam pertimbangan hakim: “menimbang bahwa dengan menghubungkan jo pasal 46 UU 23

tahun 1997, maka yang dimaksud “barang siapa” dalam perkara ini adalah atas nama badan

hukum, mereka yang memberi perintah atau pimpinan dalam perbuatan tersebut. Sehingga

dalam implementasi kasus pencemaran Waduk Saguling ini, tidak diputus terhadap korporasi

tetapi lebih kepada direktur utama PT. SSM dan kabag maintenance PT. SSM.

Dapat disimpulkan bahwa dari pertimbangan ini, majelis hakim seakan- akan setuju

dengan korporasi PT. SSM yang melakukan kesalahan, tapi sanksinya ditujukan kepada

pemberi perintah atau pimpinan dalam hal ini Terdakwa I dan Terdakwa II. Dalam

pertimbangan lain ditunjukan: “menimbang bahwa karena kedua orang terdakwa telah

terbukti bersalah melakukan tindak pidana lingkungan maka mereka harus dihukum sesuai

dengan kesalahannya tersebut.”

2

Page 3: Pidana Revisi

Sehingga dalam putusannya pun, hanya terdakwa I dan terdakwa II yang terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Padahal menurut kami, PT.

Senayan Sandang Makmur pun harus ikut turut dinyatakan bersalah melakukan tindak

pidana. Sehingga dapat disimpulkan, majelis hakim tampak kebingungan dalam membuat

amar putusan terhadap kasus ini.

Sementara itu, menurut kami, dalam tindak pidana pencemaran Waduk Saguling ini,

PT. Senayan Sandang Makmur terbukti melakukan tindak pidana korporasi. Hal ini

dibuktikan dengan adanya perbuatan yang memang melanggar pasal 43, yakni sengaja

melakukan perbuatan dalam pasal 43 yaitu melepaskan atau membuang zat yang berbahaya

atau beracun masuk ke dalam air permukaan, padahal mengetahui bahwa perbuatan tersebut

dapat menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.

Kami setuju dengan pertimbangan hakim terhadap pemenuhan unsur tindak pidana

dalam pasal ini yakni: (1) tidak segera menutup saluran yang menyebabkan adanya aliran

limbah yang langsung menuju selokan desa Pasirpaku. (2) tidak segera membuat saluran

tersendiri air limbah rumah tangga yang melalui lokasi PT. SSM sehingga bercampur dengan

air limbah PT. SSM. (3) tidak segera memperbaiki IPAL yang ada sehingga dapat

menampung dan memproses seluruh limbah yang ada mengalir ke PT. SSM artinya kapasitas

yang harus diperbesar.

Akan tetapi, kami kurang setuju dengan pertimbangan hakim mengenai pasal 46 UU

no 23 tahun 1997. Hakim langsung memutuskan bahwa yang dimaksud badan hukum adalah

terdakwa I dan terdakwa II secara bersama- sama. Menurut kami, memang sudah benar

bahwa intensi untuk melakukan tindak pidana adalah tidak ada karena kealpaan, akan tetapi

PT. SSM seharusnya dikenai suatu pertanggungjawaban pidana karena kegiatannya ini.

Bukan terdakwa I dan terdakwa II saja.

Tetapi hal ini dapat dipahami, sebab dalam hukum Indonesia terdapat anomali yang

menyebabkan kebingungan teori pemidanaan untuk korporasi ini, karena yang dipidana

sebenarnya adalah badan hukumnya, tetapi yang dapat menjalaninya ialah organ-organnya,

sehingga wajar jika kita saja yang mengkritisi ini menemui kebingungan mengenai

keanomalian UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut, apalagilah hakim yang memang

umumnya hanya mengandalkan pemahaman normatif saja tanpa aktif menggali pengertian

baru atau penemuan hukum.

3

Page 4: Pidana Revisi

Sehingga dalam putusannya, menurut kami yang ideal adalah (1) menyatakan

terdakwa I dan terdakwa II dan PT. Senayan Sandang Makmur (SSM) terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. (2) menghukum terdakwa I dan terdakwa II

dengan pidana penjara selama empat bulan. (3) menghukum PT. Senayan Sandang Makmur

agar membayar denda sebesar sepuluh juta rupiah. (4) menghukum PT. Senayan Sandang

Makmur membayar biaya perkara sebesar tiga puluh ribu rupiah.

Terdakwa I dan Terdakwa II ikut dipidana menurut kami mengacu kepada teori

pemidanaan “Direct Liability (doctrine of identification)”. Dimana kedua orang tersebut

sebagai pribadi hukum kodrati (individu) dipidana karena dianggap sebagai otak perusahaan,

dimana tindakannya merepresentasikan keinginan dan pemikiran perusahaan menurut doktrin

yang berkembang dari kasus Tesco Supermarket Ltd v Nattrass yang dikemukakan oleh Lord

Reid. Sedangkan PT. SSM dipidana karena memang yang melakukannya ialah badan hukum

tersebut.

Pengenaan sanksi badan kepada terdakwa I dan II memang cukup masuk akal sebab

korporasi yang tidak memiliki badan fisik tidak bisa menjalani hukuman tersebut, sehingga

organnya yang menjalani hukumannya . Namun menjadi ideal dan tepat bila hukuman denda

dikenakan kepada korporasi, dengan jumlah yang perlu diperbesar juga, agar dapat

menimbulkan efek jera hasil kerugian operasional yang didapatkan.

2. Apakah Sama Tindak Pidana Korporasi Dengan Penyertaan

Setelah kita mengetahui secara jelas pengertian dan penjelasan tindak pidana

korporasi yang telah dipaparkan pada poin pertama, saatnya kita mengetahui secara rinci juga

mengenai penjelasan dari penyertaan itu sendiri.

Penyertaan adalah terlibatnya lebih 1 orang dalam 1 tindak pidana (sebelum atau

saat suatu tindak pidana terjadi). Dasar terbentuknya penyertaan secara garis besar ada 2

yakni:

Dasar memperluas dapat dipidananya seseorang adalah penyertaan dipandang sebagai

persoalan pertanggungjawaban pidana dan penyertaan bukan merupakan suatu delik

karena bentuknya tidak sempurna.3

3 Pendapat dari ahli hukum pidana yakni Simons, Van Hattum, dan Hazewinkel-Suringa

4

Page 5: Pidana Revisi

Dasar memperluas dapat dipidananya suatu perbuatan adalah penyertaan dianggap

suatu bentuk khusus dari tindak pidana dan penyertaan merupakan suatu bentuk delik

yang istimewa.4

Macam-macam golongan penyertaan menurut KUHP di Indonesia adalah:

a. Pembuat/dader (pasal 55), dipidana sebagai pelaku:

1. Yang melakukan/pelaku (pleger)

2. Yang menyuruh lakukan (doen pleger)

3. Yang turut serta (medepleger)

4. Yang mengganjurkan/ penggerak/

pembujuk/pemancing (uitlokker)

b. Pembantu/medeplichtige (pasal 56 dan 57):

1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan

2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Bentuk-bentuk penyertaan itu sendiri terdiri atas:

1. Menyuruh melakukan (doen plegen).

• seseorang hendak melakukan tindak pidana, tp tidak mau melakukannya sendiri,

melainkan menyuruh orang lain untuk melakukannya;

• Yang menyuruh diancam pidana sebagai pelaku;

• Yang disuruh/pelaku langsung (pelaku materil), tidak diancam pidana karena

hilangnya unsur kesalahan (adanya dasar penghapus pidana berupa dasar pemaaf);

• Yang disuruh hanya menjadi alat belaka dan melakukan tindakan itu krn

ketidaktahuan/kekeliruan/adanya paksaan.

2. Turut melakukan (medeplegen).

Kemungkinan :

• Beberapa org bersama-sama melakukan tindak pidana ;

• Semua dr mereka yang terlibat memenuhi semua unsur;

• Ada yang memenuhi semua unsur, ada yang sebagian unsur, bahkan ada yg tidak

memenuhi unsur sama sekali;

• Semua hanya memenuhi sebagian unsur saja;

Syarat :

4 Pendapat dari ahli hukum pidana yakni Pompe, Moeljatno, dan Roeslan Saleh

5

Page 6: Pidana Revisi

1. Kerjasama secara sadar, tdk perlu ada kesepakatan tapi harus ada kesengajaan

untuk bekerja sama dan mencapai tujuan yang sama berupa terjadinya suatu

tindak pidana dan permufakatan jahat. Kerjasama secara fisik, ada

pelaksanaan bersama, perbuatan pelaksanaan à perbuatan yg langsung

menyebabkan selesainya suatu delik.

3. Menggerakkan (uitlokken, uitlokking).

Syarat :

• Ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana;

• Dengan upaya-upaya yang diatur secara limitatif dalam ps. 55 ayat (1) butir 2 KUHP :

pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan, pengaruh, kekerasan, ancaman

kekerasan atau tipu daya atau dgn memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan.

• Ada yang tergerak utk melakukan tindak pidana dgn upaya2 di atas;

• Yang digerakkan dpt dipertanggungjawabkan mnrt Hukum Pidana;

• Yang menggerakkan bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul.

4. Membantu melakukan (medeplichtigheid).

Dasar hukumnya pasal 56 dan 57 KUHP Indonesia. Syaratnya:

• Harus dilakukan dengan sengaja

• Menurut Pasal 56, ada 2 jenis:

1. Membantu sebelum TP dilakukan sarananya: kesempatan, daya upaya

(alat), keterangan

2. Membantu pada saat TP dilakukan sarananya: boleh apa saja

• Yang dipidana hanya membantu melakukan kejahatan (lihat Pasal 56 dan Pasal 60

KUHP)

• Ancaman pidana maksimal bagi seorang pembantu: pidana bagi pelaku kejahatan

dikurangi 1/3-nya

Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai:

1. Yang melakukan;

2. Yang menyuruh melakukan;

3. Yang turut melakukan;

4. Yang menggerakkan/menganjurkan untuk melakukan; dan

5. Yang membantu melakukan.

6

Page 7: Pidana Revisi

Poin nomor 1 s.d. 4 dikatagorikan sebagai “pelaku” (pembuat) (Pasal 55 KUHP):

Pelaku: memenuhi semua unsur delik

Dianggap sebagai sebagai pelaku:

memenuhi sebagian unsur delik;

sama sekali tidak memenuhi unsur delik; dan

Pidananya sama dengan pelaku.

Poin nomor 5 : pembantu (Pasal 56, 57 KUHP).

Setelah kita mengetahui secara jelas mengenai tindak pidana korporasi dan penyertaan

seperti apa, kita harus melihat apakah pertimbangan hakim didalam perkara Waduk Saguling

tersebut cocok menggunakan tindak pidana korporasi atau penyertaan. Jika dilihat dari unsur-

unsur yang dibuktikan didalam persidangan, maka terlihat bahwa sangatlah berbeda diantara

keduanya. Mulai dari syarat, unsur, dan pengenaan pasal penjeratnya. Sangatlah tepat hakim

mengenakan tindak pidana korporasi pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, didasarkan dari analisis teori “Direct Liability (doctrine of

identification)”.

KOMENTAR KRITIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI

PEMBUKTIAN UNSUR-UNSUR PIDANA

Asas dalam hukum pidana disebutkan bahwa tidak ada tindak pidana jika tidak ada

kesalahan. Hal ini merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal

dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini

tergantung dari persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut pelaku mempunyai

kesalahan atau tidak. Unsur kesalahan tersebut ada yang disebut dengan mens rea yang

mempunyai definisi sebagai unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental

element) (Jones dan Card).Kesalahan dan unsur-unsurnya Kesalahan adalah merupakan

terjemahan dari perkataan (bahasa) Belanda yaitu “Schuld” yang mempunyai arti menurut

pengertian dalam hukum pidana berbentuk kesengajaan (dolus) (opzet) dan kealpaan (culpa).

Selain itu, kesalahan juga telah diartikan oleh para pakar, yaitu diantaranya;

1. Simons, menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban pidana adalah

kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya

yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya. Sehubungan

dengan uraian tersebut beliau mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan pada pelaku

7

Page 8: Pidana Revisi

harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku,

yaitu;a. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)b. Hubungan

kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkanc.

Dolus atau Culpa

2. Utrecht, menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut

hukum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu:a. Kemampuan

bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuatb. Suatu sikap psykhis

pembuat berhubung dengan kelakuannya, yakni:i. Kelakuan disengaja (anasir

sengaja), danii. Kelakuan adalah suatu sikap kurang berhati-hati atau lalai (anasir

kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin).c. Tidak ada alasan-alasan yang

menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir

toerekeningsvatbaarheid).

Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang

dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang- undang. Jika

dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan

atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada

alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Jika

dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu

bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Dipakainya ketentuan pidana dalam sebuah undang-undang sesungguhnya merupakan

sebuah hal terakhir yang dapat ditempuh untuk melakukan penegakan lingkungan hidup.

Seringkali dikatakan sebagai ultimum remedium. Dalam kasus lingkungan hidup, yang harus

dipatuhi paling utama ialah ketentuan mengenai lingkungan hidup itu sendiri, jika tidak

dipatuhi maka bekerjalah hukum pidana tersebut sebagai jalan terakhir atau ultimum

remedium.

Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan

hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut. Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam berbagai macam delik yang

membeda-bedakan perbuatan tersebut, misalnya delik materil. Delik formil ialah Tekanan

perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang  tanpa merumuskan

akibatnya, sedangkan delik materil ialah ditekankan pada akibat dari suatu sikap tindak atau

8

Page 9: Pidana Revisi

perikelakuan5.

Moeljatno menyebutkan bahwa mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu

perbuatan pidana adalah sebagai berikut:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

d. Unsur melawan hukum yang objektif;

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Untuk dapat dijatuhi pidana dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran

yaitu ajaran (aliran) monisme dan ajaran (aliran) dualisme.

Ajaran monisme: Pandangan monisme memiliki akar historis yang berasal dari ajaran

finale handlungslehre yang dipopulerkan oleh Hans Welzel pada tahun 1931. Inti ajaran

finale handlungslehre menyatakan bahwa kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak

terpisahkan dari perbuatan. Eksistensi kesengajaan yang termasuk dalam perbuatan

disebabkan argumentasi utama finale handlungslehre, bahwa setiap perbuatan pidana harus

didasari intensionalitas untuk mencapai tujuan tertentu sehingga perbuatan tersebut dianggap

sebagai perbuatan final (final-subyektif). Dalam konteks ini, setiap bentuk perbuatan

naturalistis yang ditentukan berdasarkan hubungan kausal tidak termasuk dalam perbuatan

pidana.Karenanya, perbuatan pidana hanya ditujukan kepada perbuatan dan akibat yang

ditimbulkan berdasarkan penetapan kesengajaan pelaku.

Tujuan utama finale handlungslehre adalah menyatukan perbuatan pidana dan

kesalahan, serta melepaskan perbuatan pidana dari konteks kausalitas. Dengan kata lain,

”perbuatan adalah kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan

kepada akibat-akibat tertentu. Jadi kesadaran atas tujuan, kehendak yang mengandalikan

kejadian-kejadian yang bersifat kausal itu adalah suatu ”rugggeraat” dari suatu perbuatan

final. 

Ajaran dualisme: Berbeda dengan monisme yang menjadikan kesalahan (kesengajaan)

sebagai unsur subyektif dari perbuatan pidana, pandangan dualistis tentang delik bersikeras

memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, 5 Mengenal Hukum Pidana, http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/1918101-mengenal-hukum-pidana/ diakses pada Minggu, 6 Mei 2012 pukul 12.47 WIB

9

Page 10: Pidana Revisi

unsur obyektif hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana. Atas dasar itu, perbuatan

pidana hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu perbuatan dijatuhi pidana.

Sedangkan unsur subyektif hanya dapat dikandung dalam pertanggungjawaban pidana yang

ditujukan kepada pembuat melalui celaan yang diobyektifkan. Karenanya, pemidanaan hanya

diterapkan kepada pembuat setelah terbukti melakukan perbuatan pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Dalam konteks ini, ajaran dualistis

menolak adagium actus non facit reum nisi mens sit rea (an act does not make a person

guilty unless his mind is guilty) dengan alasan bahwa asas ini menyatukan actus reus dan

mens rea sebagaimana dipahami ajaran monistis yang banyak dianut di negara-negara

common law system seperti Inggris dan Amerika.

Dalam pemahaman dualistis, dimungkinkan terjadinya perbuatan pidana meskipun

tidak ada seorang pun yang dapat dipersalahkan atas perbuatan tersebut sehingga pembuat

harus dilepas dari tuntutan hukum. Namun, apabila terdapat seseorang yang dapat

dipersalahkan atas perbuatan tersebut, maka pembuat dapat dipidana. Karena itu, actus reus

hanya menyangkut perbuatan yang meliputi unsur-unsur obyektif. Sementara itu, mens rea

berkaitan dengan pertanggungjawaban (dapat dipidananya pembuat).6

Dalam sebuah tindak pidana, dapat kita kelompokkan apakah merupakan tindak

pidana umum atau khusus dari ketentuan hukum yang dipakai atau dasar hukum yang

dipakai.

Tindak pidana umum ialaha tindak pidana yang sudah diintrodusir sejak dahulu yaitu

dicerminkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, dimana tindak pidana

yang terangkum di dalamnya merupakan tindak pidana maupun pelanggaran yang merupakan

hal umum. Sedangkan tindak pidana yang perumusan pidananya terdapat di luar ketentuan

KUHP dewasa ini dikelompokkan menjadi tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang

dipakai ialah khusus di luar ketentuan KUHP yang secara klasik mengintrodusir macam-

macam tindak pidana.

6. DUALISME TENTANG DELIK: SEBUAH KECENDERUNGAN BARU DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA (draft), http://hukumpidana.blogspot.com/2007/04/dualisme-tentang-delik-sebuah.html diakses pada Minggu 6 Mei 2012 pukul 14.25 WIB

10

Page 11: Pidana Revisi

Dalam kasus Waduk Saguling ini, yang dipakai ialah ketentuan pidana dalam undang-

undang mengenai lingkungan hidup saat itu, yaitu UU No. 23 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan pidana dicakup dalam Bab IX Pasal 41 – 48

undang-undang ini.

Ketentuan pidana yang diperkenalkan dalam undang-undang ini juga mengenal

pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana lingkungan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yaitu:

(a) telah secara jelas mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana;

(b) korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana lingkungan ketika tindak pidana itu

dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain,

yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau

organisasi lain;

(c) yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah: pertama, korporasi yang

meliputi: badan hukum; perseroan; perserikatan; yayasan; atau organisasi lain; kedua, Yang

melakukan perintah untuk melakukan tindak pidana (yang bertindak sebagai pemimpin);

ketiga, kedua-duanya. Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dibandingkan dengan kebijakan formulasi

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan yang lain,

terlihat lebih lengkap, karena: Pertama, dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan

Hidup sudah jelas perumusan tentang subjek tindak pidana korporasi. Kedua, sudah ada

perumusan tentang kapan tindak pidana korporasi terjadi. Ketiga, sudah ada rumusan tentang

siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana lingkungan.7

Pasal-pasal yang didakwakan jaksa kepada Terdakwa I dan Terdakwa II ialah:

Primer: Pasal 41 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Subsidair: Pasal 43 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Lebih Subsidair: Pasal 44 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 jo. Pasal 55 ayat 1 ke-

1 KUHP

7 Dwikora, Buyung, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. Abstrak Masters thesis, program Pascasarjana Universitas Diponegoro http://eprints.undip.ac.id/16888/ diakses pada Minggu, 6 Mei 2012 pukul 17.18 WIB

11

Page 12: Pidana Revisi

Lebih subsidair lagi : Pasal 42 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 jo. Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP.

Untuk membuktikan apakah terjadi tindak pidana, maka kita harus membuktikan adanya

kesalahan terlebih dahulu.

Dari keterangan saksi dan juga alat bukti surat berupa hasil pemeriksaan sampel air,

memang didapati kesalahan dari pihak terdakwa baik Terdakwa I maupun Terdakwa II, hal

ini dikarenakan Terdakwa I selaku direktur utama tidak mengarahkan bawahannya yaitu

Terdakwa II untuk memperbaiki adanya kerusakan pada saluran yang menuju saluran

pembuangan yang melalui IPAL, dan malah ditemukan saluran by pass atau saluran yang

mengalirkan langsung pembuangan ke got yang mengalir ke Waduk Saguling. Hal ini

dibenarkan oleh saksi Mangara Sagala, bahwa pimpinan perusahaan tidak keberatan dengan

adanya saluran by pass tersebut, dan ditambah lagi dengan kesaksian Saksi Habinsaran

Justien Sagala yang menyebutkan bahwa ada saluran di bawah beton yang tidak mengalirkan

limbah menuju saluran untuk proses IPAL, hanya saja menurut Habinsaran saluran tersebut

baru beroperasi setelah dua saluran utama yang mengalirkan ke saluran menuju IPAL rusak.

Hal ini menunjukkan dua hal, yaitu adanya pembiaran pimpinan perusahaan untuk

menggerakkan bawahan yang terkait dengan urusan memperbaiki saluran limbah menuju

saluran IPAL tersebut. Namun, sekaligus hal itu menunjukkan bahwa ada unsur kesengajaan

dimana adanya satu saluran yang tidak menuju saluran berproses IPAL memang dibuat dan

hal itu diketahui oleh pimpinan perusahaan yaitu Terdakwa I.

Maka pembuktian kesalahan seharusnya memperhatikan adanya pembuatan saluran

tanpa proses IPAL satu ini, dimana saluran tersebut tidak mungkin dengan demikian saja

terbentuk melainkan dibentuk dengan perbuatan tangan manusia, sehingga kelalaian

memperbaiki dua saluran limbah berproses IPAL bisa dikesampingkan mengingat adanya

perbuatan membuat saluran tanpa proses IPAL atau dengan kata lain ada kesengajaan di

dalamnya.

Akibat dari limbah juga sudah diketahui dengan pasti oleh perusahaan dalam hal ini

pimpinan perusahaan, hal ini dapat dilihat dari kesaksian Daeng Wani Giyanti, dimana

Terdakwa II lah yang memberi anjuran untuk membeli obat-obatan pengolahan limbah,

dengan kata lain Terdakwa II mengerti mengenai bahaya dari limbah tersebut jika masuk ke

12

Page 13: Pidana Revisi

dalam air yang dipakai oleh manusia, dalam hal ini, Terdakwa I juga dianggap secara logis

mengetahui bahwa limbah berbahan kimia yang dihasilkan perusahaannya pasti berbahaya

bagi manusia jika bercampur dengan air yang dikonsumsi oleh manusia.

Mengingat kesengajaan dan diketahuinya akibat jika perbuatan sengaja tersebut

dilakukan, maka seharusnya menurut hemat penulis, terpenuhilah Pasal 41 UU No. 23 tahun

1997, hanya saja memang tepat jika Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP seharusnya tidak usah

dicantumkan juga, karena hubungan pekerjaannya ialah fungsional dan tidak digerakkan di

sini, melainkan Terdakwa II yang berurusan dengan saluran tersebut memperbuat saluran

tanpa proses IPAL tersebut dan Terdakwa I malah diam saja tidak menegurnya.

Terlepas dari kesalahan jaksa yang mencantumkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang

tidak dapat dibuktikkan unsurnya tersebut, seharusnya memang Pasal 41 ayat (1) tersebut

terpenuhi. Pasal ini ialah berdelik materil, ditekankan akibatnya yaitu pencemaran atau

pengrusakan lingkungan hidup yang terpenuhi dengan terlampauinya baku mutu yang

diperkenankan, terlepas dari apakah terlampauinya itu sedikit atau banyak, yang penting

terlampaui, artinya lingkungan sudah tercemar.

Terlepas pula dari adanya data penyelidikan adanya limbah rumah tangga yang

mengalir ke lokasi perusahaan dan bercampur dengan limbahnya, belum lagi adanya

perusahaan lain di sekitar lokasi perusahaan tersebut, kesalahan ditekankan adanya

pembuatan saluran tanpa IPAL yang jelas-jelas disengaja, tidak mungkin saluran dengan

sendirinya terbentuk, sehingga ada kesalahan yaitu kesengajaan membuat di luar dari yang

seharusnya dibuat, sehingga seharusnya Pasal 41 ayat (1) tersebut terpenuhi.

Pembuktian yang menjadi dasar pertimbangan hakim tidak disimak dengan cermat

oleh hakim, seharusnya ada pertimbangan tersirat yang dapat diambil dari bukti-bukti yang

diajukan.

Dakwaan Primair, Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 46 UU No.23/Th.1997 tentang pengelolaan

lingkungan hidup jo Pasal 55 ayat(1) Kuhp

Dalam pertimbangannya Majelis hakim menguraikan unsur Pasal 41 ayat (1) UU

No.23/Th.1997, sbb:

Unsur Pasal 41

13

Page 14: Pidana Revisi

(1) Barang siapa

(2) secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

Unsur barang siapa dalam kasus kali ini hakim hubungkan dengan Pasal 46 UU 23 Tahun

1997, sehingga yang dimaksud dengan “Barang Siapa” dalam perkara ini adalah atas nama

badan hukum, mereka yang memberi perintah atau pimpinan dalam perbuatan tersebut.

Dalam dakwaan dan berkas perkara ini, Terdakwa 1.RINO TURINO CHERNAWAN Bin

CHERNAWAN dalam kedudukannya sebagai Direktur Utama PT. Senayan Sandang

Makmur dan Terdakwa 2 DJUWITO Bin MARGONO selaku Kepala Bagian Maintenance

dan juga sebagai Pejabat Kepala Pelaksana Pengolahan IPAL pada PT. SSM dergan demikian

kedua orang Terdakwa berkedudukan atas nama Badan Hukum yaitu perusahaan tekstil PT

Senayan Sandang Makmur yang berlokasi di Jl. Pasirpaku Rt. 01 Rw. 01 Desa Pasirpaku,

Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung.

Beberapa alasan mengapa seharusnya hakim tidak hanya menghukum individu yang

yang berada dalam perusahaan tersebut tapi juga turut serta menghukum PT . SSM selaku

perusahaan atau badan hukum yang terlibat dalam kasus ini :

- Telah diatur pada pasal 46 UU NO 23 tahun 1997 bahwa Apabila sebuah perbuatan

pencemaran lingkungan dilakukan atas nama badan hukum, maka tuntutan diberikan

Terhadap Organisasi Maupun yang bertindak sebagai pemberi perintah atau

pemimpin

Dari hal tersebut dapat disimpulkan beberapa hal lagi sebagai berikut :

- Dalam Undang-Undang tersebut telah jelas disebutkan bahwa yang harus dituntut

apabila atas nama badan hukum adalah organisasinya dan pemberi perintah atau

pemimpin, terdapat kata maupun yang itu berarti kedua-keduanya baik organisasi

maupun individu yang terlibat harus dihukum bukan salah satu pihak saja.

- Kedua bahwa keterlibatan perusahaan tersebut telah jelas terbukti.

- Bahwa terhadap kasus ini yang diuntungkan secara langsung ialah perusahaan

tersebut itu sendiri bukan hanya individu yang terlibat, dan hal ini tidak akan terjadi

apabila bukan karena demi keuntungan perusahaan tersebut

- Secara yuridis apa yang terkandung dalam pasal 46 tersebut telah menyebutkan

bagaimana penyertaan pihak-pihak terkait perusahaan tersebut dengan jelas.

- Dan pasal UU terkait pasal 46 tersebut merupakan lex specialis dimana hakim

seharusnya dapat menyampingkan KUHP karena UU NO 23 1997 telah membahas

14

Page 15: Pidana Revisi

secara detail mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan terutama pencemaran

oleh korporasi dan bagaimana menuntut individu yang turut serta terhadap

terlaksananya pencemaran tersebut.

Penggunaan Pasal 46 UU 23 Tahun 1997, kami nilai tepat karena Direktur Utama PT.

SSM, yaitu Terdakwa I RINO TURINOCHERNAWAN bin CHERNAWAN adalah

pimpinan yang bertanggung jawab pada operasional perusahan, Terdakwa 1 sebagai pemberi

perintah atau pimpinan, Terdakwa 1 berhak dan berwenang menentukan kebijakan

perusahaan dalam proses pengolahan limbah Sementara Terdakwa 2 DJUWITO sebagai

Kepala Pelaksana IPAL, mengawasi pengolahan dan pembuangan limbah serta menerima

laporan hasil pengolahan limbah cair dari operator IPAL. Kedua Terdakwa adalah pelaku

fungsional artinya meskipun secara fisik mereka tidak melalaikan tindak pidana lingkungan,

akan, tetapi mereka sebagai pimpinan / pemberi perintah dapat dimintakan

pertanggungjawaban hukum pidana, tindak pidana tersebut dilakukan dalam kerangka kerja

fungsi kedua Terdakwa guna mencapai tujuan,misalnya dalam hal iniuntuk mengurangi biaya

produksi sehingga meningkatkan keuntungan perusahaan.

Selain itu hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa penambahan pasal 55 (1) ke

1 KUHP oleh JPU menurut majelis hakim merupakan sesuatu yang berlebihan, dengan

demikian untuk selanjutnya pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tidak akan dipertimbangkan lagi

oleh karena kedua orang Terdakwa, dalam proses pelaksanaan IPAL di PT. SSM sangat erat

hubungannya satu dengan lain dan keduanya berperan sebagai pemimpin agar air limbah

yang dihasilkan sesuai dengan aturan baku mutu limbah.

Menurut kami, tindakan yang dilakukan oleh majelis hakim juga tepat selain karena

doktrin tindak pidana korporasi tidak akan sesuai jika dipadu dengan Pasal 55 ayat (1)

KUHP, juga karena tindak pidana dalam UU No.23/Th.1997 tentang pengelolaan lingkungan

hidup tergolong ke dalam Tindak Pidana Khusus bila kita hubungkan dengan sifatnya.

Hukum pidana sendiri berdasarkan pada sifatnya terdiri atas :

1. Hukum pidana umum

Hukum pidana ini berlaku untuk semua orang, seperti yang didalam KUHP

yang berlaku umum.

2. Hukum pidana khusus

Hukum pidana yang mana ditujukan pada orang-orang tertentu. Berbicara

mengenai pidana khusus artinya menyangkut tentang pidana materiel dan

formil.

15

Page 16: Pidana Revisi

Hukum pidana khusus menurut Pompe8, hukum pidana khusus dapat berupa

pelakunya yang khusus, atau perbuatannya. Selanjutnya Pompe berpendapat

ketentuan diluar KUHP, maka merupakan hukum pidana khusus. Hal ini sesuai

dengan adagium lex specialis derogat lex generali (ketentuan khusus

mengeyampingkan ketentuan yang umum).

   Tindak Pidana Khusus adalah Undang-Undang pidana yang berada diluar hukum

pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum baik dari segi

hukum pidana materil maupun formal.

Kriteria tindak pidana khusus 9:

1.    Mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat

dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.

2.    Dilihat dari substansi dan berlaku bagi siapapun.

3.    Penyimpangan ketentuan hukum pidana

4.    Undang-Undang tersendiri

Jika melihat dari kriteria di atas maka tindak pidana yang terdapat dalam UU

No.23/Th.1997 merupakan indak pidana khusus, karena:

1. Tindak pidana yang terdapat dalam UU No.23/Th.1997, mengatur perbuatan tertentu

dalam arti khusus tindak pidana di bidang lingkungan hidup

2. Aturan – aturan yang terdapat dalam UU No.23/Th.1997 berlaku bagi siapapun di

wilayah teritorial NKRI

3. Dalam UU No.23/Th.1997, terdapat subyek tindak pidana baru yaitu badan hukum,

perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain sementara itu subyek hukum ini

tidak diatur dalam KUHP.

4. UU No 23/ Th. 1997 merupakan Undang- undang tersendiri yang terpisah dari KUHP

Dalam perkara ini, Tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa semuanya berasal

dari UU No.23/Th.1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Tindak pidana mengenai

lingkungan hidup ini tidak diatur di dalam KUHP. Oleh karena itu asas Lex specialis derogat

8 Andi Hamzah, PERKEMBANGAN PIDANA KHUSUS, (Jakarta:PT.Rineka Cipta, 1991), hlm. 2. 9http://lielylaw.multiply.com/journal/item/77/ Pengertian_Tindak_Pidana_Khusus_Dikaitkan_dengan_Pasal_63_ayat_2_KUHP_dan_Pasal_103_KUHP?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem dibuat pada tanggal 25 Agu ’11 1:04 AM, diakses pada tanggal 05 Mei ’12 14:57 PM.

16

Page 17: Pidana Revisi

legi generali berlaku dan dengan sendirinya dipakailah ketentuan yang ada pada UU

No.23/Th.1997. Akan sangat aneh jika kemudian pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP mengenai

penyertaan di kaitkan dengan perkara ini karena di dalam KUHP tidak diatur mengenai

tindak pidana yang dilakukan atas nama badan hukum seperti yang ada dalam perkara ini.

Selain itu dalam pasal 46 UU 23 Tahun 1997 UU No.23/Th.1997 telah terdapat aturan

khusus mengenai tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh atau atas nama badan

hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain sehingga penggunaan pasal 55

(1) ke 1 KUHP tidak diperlukan.

Kemudian pada unsur “secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan

yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Hakim berpendapat

bahwa unsur ini tidak terpenuhi karena perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau

perusakan lingkungan hidup dalam perkara ini bukan hanya di sebabkan oleh PT SSM

sendiri, tetapi banyak perusahaan tekstil lain dan juga limbah rumah tangga dari masyarakat

sekitar yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup

sehingga tidak ada hubungan langsung kausalitas dari perbuatan PT SSM dengan

tercemarnya lingkungan hidup di sekitar Desa Pasirpaku. Kami pun sependapat dengan

pembuktian dan pendapat hakim.

Dakwaan Subsidair, Pasal 43 ayat (1) jo Pasal 46 UU No.23/Th.1997 tentang

pengelolaan lingkungan hidup jo Pasal 55 ayat(1) Kuhp

Dalam pertimbangannya Majelis hakim menguraikan unsur Pasal 43 ayat (1) UU

No.23/Th.1997, sbb:

- Dengan Melanggar ketentuan yang berlaku

- Sengaja melepaskan atau membuang zat, energi,dan/atau komponen lain yang

berbahaya atau beracun masuk di atasatau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke

dalam air permukaan

- padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwaperbuatan tersebut

dapat menimbulkan pencemaran dan/atauperusakan lingkungan hidup atau

membahayakan kesehatan umumatau nyawa orang lain.

Dalam Dakwaan ini, Majelis hakim mengatakan bahwa unsur dengan sengaja dalam

dakwaan ini tidak terpenuhi. Menurut Majelis hakim unsur dengan sengaja tidak terpenuhi

karena pencemaran yang terjadi di selokan Desa Pasirpaku dan mengalir ke Waduk Saguling

17

Page 18: Pidana Revisi

bukan hanya terjadi akibat adanya pembuangan limbah tanpa melalui IPAL yang dilakukan

oleh PT SSM tetapi juga karena adanya air limbah rumah tangga yang turut mencemarinya.

Kami tidak setuju akan pendapat Majelis Hakim kali ini. Menurut kami Majelis hakim

tidak bisa membedakan antara delik formil dan delik materil dalam hukum pidana. Majelis

hakim berpendapat bahwa unsur dengan sengaja yang terdapat pada Pasal 43 ayat (1) UU

No.23/Th.1997merupakan unsur yang membuktikan hubungan kausalitas antara penyebab

terjadinya pencemaran dan pencemaran yang terjadi(akibat). Padahal menurut kami Pasal 43

ayat (1) UU No.23/Th.1997 merupakan suatu delik formil.

Selain itu, Alasan mengapa dakwaan subsidair tersebut tidak terbukti yang disebutkan

majelis hakim ialah antara lain karena

- limbah rumah tangga bercampur dengan limbah PT SSM.

- Limbah rumah tangga lebih berbahaya.

- Limbah yang dibuang PT SSM hanya sedikit diatas ambang batas normal.

Alasan tersebutlah yang membuat hakim menyimpulkan bahwa tidak ada unsur kesengajaan

oleh PT SSM untuk Melepaskan zat berbahaya ke dalam saluran pembuangan tersebut.

Menurut kami faktor-faktor yang disebutkan diatas tidaklah mengaburkan unsur

kesengajaan melepaskan zat. Faktor-faktor yang disebut diatas hanyalah mengenai efek yang

terjadi akibat pembuangan zat berbahaya bukan unsur kesengajaan pembuangan unsur zat

berbahaya. Karena pada pasal 43 tersebut hanya disebutkan kesengajaan pelepasan zat

berbahaya hanya pelepasan saja, bukan kesengajaan untuk memberikan efek pembuangan zat

berbahaya tersebut apakah setelah dibuang nanntinya memberikan efek atau tidak.

Berarti dengan membuang zat berbahaya saja seharusnya telah cukup membuktikan

unsur sengaja dari perbuatan tersebut, satu hal lagi bahwa dikatakan zat yang dibuang hanya

sedikit melewati ambang batas, hal tersebut menurut kami tidak menghilangkan unsur zat

berbahaya yang dibuang, karena berarti dibuatnya ketentuan ambang batas berbahaya

tersebut apabila telah melewati sedkitpun batas maka ia telah dapat disebut berbahaya.

Apabila ada toleransi sedikti melewati batas dianggap mengurangi kesalahan maka akan

menimbulkan preseden buruk bagi perlindungan lingkungan nantinnya. Bila kita

menghubungkan dengan adanya Yaitu berdasarkan dari SK. Gubernur Jawa Barat No. 6

tahun 1999 tentang batas maksimum air limbah tekstil yaitu BOD :

BOD – standarnya 60 ppm

COD – standarnya 150 ppm

TSS – standarnya 50 ppm

18

Page 19: Pidana Revisi

PH – standarnya 50 ppm

PH – standarnya 6,0 – 9,0 ppm

Bila kita membandigkan dengan hasil pemeriksaan pada saluran inlet dan outlet yaitu

Pada saluran inlet :

BOD – hasilnya 65 ppm

COD – hasilnya 170 ppm

TSS – hasilnya 48 ppm

PH – 8,2

Pada saluran outlet :

BOD – hasilnya 61 ppm

COD – hasilnya 162 ppm

TSS – 98 ppm

PH – 8,2

Dalam hal ini terlihat bahwa PT SSM hanya sedikit melampaui baku mutu yang

dipersyaratkan pada SK. Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999 tersebut. Hal ini pula

ditambah bahwa berdasarkan pemantauan di lapangan bahwa di lokasi pembuangan limbah

tersebut ternyata terdapat juga limbah Rumah Tangga yang dapat saja mempengaruhi kadar

limbah yang dibuang oleh limbah PT SSM. Selain itu, dilokasi dimana PT SSM mempunyai

pabrik terdapat pula usaha – usaha pabrik lain yang berdiri. Oleh sebab itu, hal inilah yang

menjadi pertimbangan bahwa berdasrkan hasil pmeriksaan yang mengatakan bahwa hasil dari

limbah PT. SSM dianggap sebagai hal yang tidak sengaja. Hal ini disebabkan bahwa hasil

pemeriksaan yang dilakukan terhadap PT SSM yang hanya sedikit melewai ambang batas

dapat disebutkan sebagai sebuah hasil yang diakibatkan terdapat banyaknya perusahaan yang

berdiri dan membuang limbah ditempat yang sama dengan PT SSM serta adanya juga limbah

rumah tangga. Namun seperti yang sudah kami sampaikan diatas bahwa hal ini seharusya

tidak menjadi suatu alasan yang membuat disebut sebagai hal yang tidak sengaja karena

pada dasarnya PT SSM telah melakukan kesalahan dengan membuang limbah yang melewati

batas BOD.

Lagipula, logikanya, jika unsur primer saja sudah terpenuhi maka pastilah subsider

juga terpenuhi.

Bila kita hubungkan dengan Jenis-jenis delik menurut ilmu pengetahuan yaitu10 :

1. Delik formil

10 Satochid Kartanegara, HUKUM PIDANA:KUMPULAN KULIAH PORF. SATOCHID KARTANEGARA DAN PENDAPAT2 PARA AHLI HUKUM TERKEMUKA, (Jakarta:Balai Lektur Mahasiswa, 1999), hlm. 135.

19

Page 20: Pidana Revisi

Delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu

perbuatan yang dilarang. Delik formil dalam kasus ini adalah Pasal 43 (1) UU. No.

23/Th.1997 yang dijadikan dakwaan subsidier, dimana merumuskan sebagai

berikut :

“(1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan

yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, dan/atau komponen

lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke

dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor,

memperdagangkan,mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan

instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk

menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum

atau nyawa orang lain, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). “

Pada delik formil pembuktiannya adalah pada tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh pelaku dalalm hal yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup dimana membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.

Pembuktian pada delik formil, khususnya mengenai pasal ini adalah pada tindakan

melepaskan atau membuang zat yang berbahaya dan beracun ke dalam air

permukaan yang melanggar aturan undang-undang. Dengan demikian cukup

dibuktikan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut limbahnya melampaui ambang

batas yang ditetapkan oleh baku mutu efluen, yang pengukurannya dapat dilakukan

di tempat penggelontoran limbah.

Pertimbangan hakim dalam pembuktian unsur sengaja melepaskan atau membuang

zat, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke

dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, merupakan unsur dalam

delik formil yang harus dibuktikan bahwa adanya tindakan-tindakan yang dapat

menimbulkan pencemaran. Dalam hal ini, berdasarkan hasil laboratorium dan saksi

ahli yang diajukan ke persidangan dengan alat uji pada sampel melalui inlet dan

outlet dari sampel air waduk membuktikan bahwa hanya sedikit yang terbukti

diambang batas normal, bahwa limbah rumah tangga turut bercampur dengan

limbah PT. SSM dan menurut saksi ahli Prof Dr, Enri Darmanhuri bahwa limbah

rumah tangga justru lebih berbahaya kadarnya dari pada limbah PT. SSM sehingga

menurut pertimbangan hakim untuk delik tersebut tidak dapat dikualifikasikan

20

Page 21: Pidana Revisi

sebagai sebuah tindakan yang disengaja membuang zat berbahaya ke saluran desa

pasir paku. Namun dengan membuktikan dakwaan lebih subsidair pada pasal 44

ayat 1 UU. Pdengan unsur :

- melanggar peraturan undang-undang yang berlaku

- kareana kealfaanya melakukan perbuatan pada pasal 43.

Kealfaan menurut hukum pidana adalah sikap tidak hati-hati, tidak melakukan

perbuatan pencegahan yang seyogyannya dilakukan dilakukan atau ceroboh.

Faktannya terungkap PT SSM tidak segera menutup saluran yang menyebabkan

adanya limbah menuju selokan desa Pasirpaku, serta tidak serta merta membuat

saluran sendiri serta tidak segera memperbaiki IPAL yang ada, dengan tidak

melakukan perbuatan tersebut maka delik formil yang dilakukan telah sempurna

dilakukan sehingga unsur kealpaan telah tepat dibuktikan oleh hakim sehingga

pasal 44 ayat 1 telah terpenuhi.

2. Delik materiil

Delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang.

Dalam delik lingkungan yaitu pasal 41 UU No.23/Th.1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPLH) merupakan delik materil, dimana

adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pencemar dengan akibat

pencermarannya. Di dalam kasus pidana Pencemaran Waduk Saguling tersebut,

delik formil digunakan sebagai dakwaan primair yaitu Pasal 41 ayat (1) yang

merumuskan sebagai berikut :

“(1) barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan

perbuatan yang mengakibatkan pencemran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Pembuktian dalam pasal tersebut adalah suatu usaha dan/atau kegiatan

mengakibatkan pencemaran akibat baku mutu ambien sungai telah terlampaui

ambang batasnya.

Terdakwa I dan II didakwa dengan dakwaan primer dengan pasal 41(1) yang

merupakan delik materiil. Dalam pertimbangan hakim tentang unsur sengaja

melakukan perbuatan yang mengakibatkan dan/atau perusakan lingkungan hidup

tidak terbukti. Dalam membuktikan unsur tersebut, maka perlu melihat pada

apakah terjadi tindakan yang mengakibatkan pencemaran yang dalam hal ini

pencemaran air atau tidak. Sependapat dengan pertimbangan hakim, bahwa

21

Page 22: Pidana Revisi

dikarenakan tidak dihadirkannya alat bukti yang menunjukkan adanya pencemaran

air akibat tindakan PT SSM dalam pembuangan limbah yang melewati ambang

batas maka unsur tersebut tidak dapat dibuktikan.

Terkait dengan pertimbangan hukum atas unsur mengakibatkan pencemaran di atas

merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam delik materiil, bahwa usaha dan/atau

kegiatan baru dapat dikatakan sebagai delik apabika menimbulkan sebuah akibat.

Oleh karena itu, karena sampel yang digunakan dalam pengujian kadar limbah

bukan pada media lingkungan air sungai namun sampel yang pakai adalah inlet dan

outlet pada IPAL. Sehingga tidak dapat diketahui pencemaran air yang terjadi di

waduk Siguling, dan tepat kiranya unsur ini tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan.

Beberapa alasan mengapa seharusnya hakim tidak hanya menghukum individu yang

yang berada dalam perusahaan tersebut tapi juga turut serta menghukum PT . SSM selaku

perusahaan atau badan hukum yang terlibat dalam kasus ini :

- Telah diatur pada pasal 46 UU NO 23 tahun 1997 bahwa Apabila sebuah perbuatan

pencemaran lingkungan dilakukan atas nama badan hukum, maka tuntutan diberikan

Terhadap Organisasi Maupun yang bertindak sebagai pemberi perintah atau

pemimpin

Dari hal tersebut dapat disimpulkan beberapa hal lagi sebagai berikut :

- Dalam Undang-Undang tersebut telah jelas disebutkan bahwa yang harus dituntut

apabila atas nama badan hukum adalah organisasinya dan pemberi perintah atau

pemimpin, terdapat kata maupun yang itu berarti kedua-keduanya baik organisasi

maupun individu yang terlibat harus dihukum bukan salah satu pihak saja.

- Kedua bahwa keterlibatan perusahaan tersebut telah jelas terbukti.

- Bahwa terhadap kasus ini yang diuntungkan secara langsung ialah perusahaan

tersebut itu sendiri bukan hanya individu yang terlibat, dan hal ini tidak akan terjadi

apabila bukan karena demi keuntungan perusahaan tersebut

- Secara yuridis apa yang terkandung dalam pasal 46 tersebut telah menyebutkan

bagaimana penyertaan pihak-pihak terkait perusahaan tersebut dengan jelas.

- Dan pasal UU terkait pasal 46 tersebut merupakan lex specialis dimana hakim

seharusnya dapat menyampingkan KUHP karena UU NO 23 1997 telah membahas

secara detail mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan terutama pencemaran

22

Page 23: Pidana Revisi

oleh korporasi dan bagaimana menuntut individu yang turut serta terhadap

terlaksananya pencemaran tersebut.

Seharusnya Dakwaan subsidair terbukti.

Alasan mengapa dakwaan subsidair tersebut tidak terbukti yang disebutkan majelis

hakim ialah antara lain karena

- limbah rumah tangga bercampur dengan limbah PT SSM.

- Limbah rumah tangga lebih berbahaya.

- Limbah yang dibuang PT SSM hanya sedikit diatas ambang batas normal.

Alasan tersebutlah yang membuat hakim menyimpulkan bahwa tidak ada unsur kesengajaan

oleh PT SSM untuk Melepaskan zat berbahaya ke dalam saluran pembuangan tersebut.

Menurut kami faktor-faktor yang disebutkan diatas tidaklah mengaburkan unsur

kesengajaan melepaskan zat. Faktor-faktor yang disebut diatas hanyalah mengenai efek yang

terjadi akibat pembuangan zat berbahaya bukan unsur kesengajaan pembuangan unsur zat

berbahaya. Karena pada pasal 43 tersebut hanya disebutkan kesengajaan pelepasan zat

berbahaya hanya pelepasan saja, bukan kesengajaan untuk memberikan efek pembuangan zat

berbahaya tersebut apakah setelah dibuang nanntinya memberikan efek atau tidak.

Berarti dengan membuang zat berbahaya saja seharusnya telah cukup membuktikan

unsur sengaja dari perbuatan tersebut, satu hal lagi bahwa dikatakan zat yang dibuang hanya

sedikit melewati ambang batas, hal tersebut menurut kami tidak menghilangkan unsur zat

berbahaya yang dibuang, karena berarti dibuatnya ketentuan ambang batas berbahaya

tersebut apabila telah melewati sedkitpun batas maka ia telah dapat disebut berbahaya.

Apabila ada toleransi sedikti melewati batas dianggap mengurangi kesalahan maka akan

menimbulkan preseden buruk bagi perlindungan lingkungan nantinnya. Lagipula, logikanya,

jika unsur primer saja sudah terpenuhi maka pastilah subsider juga terpenuhi.

KOMENTAR KRITIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI

PEMBUKTIAN KAUSALITAS DAN KESENGAJAAN

Dalam putusan Nomor 50/Pid.B/2004/PN.BB. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale

Bandung menjatuhkan putusan bersalah kepada kedua terdakwa, yaitu Rino Turino

Chernawan selaku Direktur Utama PT. Senayan Sandang Makmur, dan Djuwito Bin

23

Page 24: Pidana Revisi

Margono selaku Kepala Bagian Maintenance PT yang sama. Keduanya dinyatakan bersalah

sesuai pasal 42 ayat (1) jo pasal 46 UU No.23/1997 jo. Pasal 55(1) ke 1 e KUHP.

Teori dalam hukum pidana yang menyangkut kausalitas merupakan ajaran yang

mencari sebab dari timbulnya suatu akibat dari delik yang dilakukan pelaku. Beberapa teori

kausalitas yang dikenal yaitu :

Teori Von Buri : faktor penyebab adalah semua faktor yang tidak dapat dihilangkan

dari rangkaian faktor-faktor yang lain (Conditio Sine Qua Non) atau kondisi yang

harus ada. Setiap faktor tidak dapat dikesampingkan (teori ekuivalensi).

Teori Von Kries : semua syarat yang ada dicari yang sepadan dan selayaknya (teori

adequaat). Hal yang dapat timbul dari peristiwa pidana sudah dapat diperkirakan atau

diketahui sebelumnya oleh pelaku.

Teori Rumelin : yang dimaksud penghitungan yang layak bukan hanya apa yang

diketahui pelaku, tetapi juga apa yang diketahui hakim walaupun tidak diketahui

pelaku (teori keseimbangan objektif).

Menurut Prof. Moeljatno hubungan sebab-akibat antara suatu perbuatan seseorang

dengan akibat, yang dalam hal ini dalam pencemaran lingkungan harus merujuk pada

ketentuan sebagai berikut :

1. Di dalam menentukan ada tidaknya suatu hubungan kausal harus dipertimbangkan

semua hal ihwal dan keadaan, bukan saja di sekitar perbuatan dan alat yang dipakai

untuk melakukan perbuatan pada saat sebelum terjadinya akibat, tetapi juga segala

hal ihwal dan keadaan disekitar korban yang bersangkutan yang (baru) diketahui

setelah terjadinya akibat.

2. Dalam hal mempertimbangkan ada tidaknya hubungan kausal dengan mengingat

semua hal ihwal dan keadaan yang (baru) dapat diketahui setelah terjadinya akibat,

yang menentukkan bukanlah akan atau logika manusia pada umumnya dan bukan

juga akan atau logika hakim yang memeriksa perkara, tetapi akal atau logika yang

dicapai melalui ilmu pengetahuan yang objektif, yaitu para ahli di bidang ilmu

pengetahuan yang memiliki kompetensi keahlian dalam hal menilai hubungan kausal

suatu hal yang menjadi keahliannya.

3. Untuk hukum pidana tidak semua faktor atau syarat harus diperhitungkan untuk

menjadi sebab dari suatu akibat, melainkan hanya hal-hal penting saja yang

memberikan pengaruh terhadap perubahan dalam proses keadaan alam yang menuju

pada arah mendekati akibat.

24

Page 25: Pidana Revisi

4. Faktor perubahan yang menjadi sebab tidak selalu berupa satu perbuatan (atau tidak

berbuat) atau kejadian, tetapi ada kalanya dapat juga terdiri dari dua perbuatan atau

lebih.

Dalam kasus waduk Saguling, kedua terdakwa dinyatakan bersalah dan memenuhi

unsur dalam dakwaan lebih subsidair lagi dari penuntut umum, yaitu pasal 44 ayat (1) jo

pasal 46 UU No.23/1997 jo. Pasal 55(1) ke 1 e KUHP. Pasal 44 ayat (1) berbunyi :

Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena

kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dancam dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00

(seratus juta rupiah).

Unsur kausalitas sebagaimana telah disebutkan diatas, digunakan untuk mencari tahu

sebab dari sebuah akibat. Penekanannya ada pada akibat suatu perbuatan dimana delik

materiil terdapat dalam pasal 41 dan 42 UU No.23/1997. Kedua pasal ini menekankan pada

terjadinya pencemaran / perusakan lingkungan hidup tanpa memperhatikan tindakan apa yang

dilakukan untuk mencapai akibat tersebut. Pasal 41 diletakkan pada dakwaan primer

sedangkan pasal 42 digunakan penuntut umum dalam dakwaan lebih-lebih subsider.

IPAL (Instalasai Pengolahan Air Limbah) sangat dibutuhkan PT Senayan Sandang

Makmur mengingat sebagai usaha yang bergerak di bidang indusrti tekstil pastinya

menggunakan zat kimia dan mengeluarkan limbah cair yang oleh PT ke selokan pasir paku

yang arahnya menuju Waduk Saguling. Berdasarkan sampel yang telah diambil oleh pihak

berwenang di beberapa titik sekitar maupun dalam PT dan ditambah keterangan saksi ahli

Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri Bin H. Madani dan Ir Ari Sudijanto, MSE, ditemukan

pelanggaran jumlah batas maksimum zat tertentu, diantaranya kadar BOD dan COD serta

TSS PT Senayan Sandang Makmur telah melampaui batas maksimum untuk air limbah

tekstil. Begitu juga hasil temuan pada keadaan sungai yang menjadi ujung pembuangan PT

ini dimana melampaui kadar maksimum yang diperbolehkan sesuai SK Gubernur Jawa Barat

No. 39 Tahun 2000. Salah satu penyebab dilampauinya kadar yang diperbolehkan yaitu

karena limbah tidak dikelola melalui IPAL.

Jika disambungkan dengan teori Prof. Moeljatno maka dapat dikatakan sebagai

berikut : pencemaran memang terjadi di Waduk Saguling, salah satunya adalah karena

pembuangan limbah cair PT Senayan Sandang Makmur yang tidak melalui IPAL, melainkan

langsung dialirkan. Perlu diingat, selain limbah yang dihasilkan PT SSM, limbah rumah

tangga dan perusahaan lain juga dibuang ke saluran Pasirpaku. Menurut saksi ahli Drs. Ir.

25

Page 26: Pidana Revisi

Enri, limbah keluarga justru dapat meghasilkan limbah yang lebih tinggi kadarnya dari yang

dihasilkan PT SSM. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencemaran yang terjadi di

Waduk Saguling bukanlah sebab dari limbah cair buangan PT SSM semata sehingga

terdakwa tidak bisa dijerat dengan pasal 41 atau 42 UU No.23/1997.

Kesengajaan dalam hukum pidana disebut dengan dolus menurut Memorie van

Toelichting (MvT) yaitu willens and wetens (menghendaki dan mengetahui), yang artinya

seseorang yang melakukan perbuatan sudah menghendaki atas timbulnya suatu akibat yang

merupakan tujuan dan ia mengetahui jika perbuatan yang ia lakukan dapat berdampak

sebagaimana yang ia inginkan. Bentuk kesengajaan menurut doktrin ada tiga yaitu

kesengajaan sebagai tujuan, kesengajaan dengan keinsyafan kepastian dan kesengajaan

dengan keinsyafan kemungkinan. Jenis kesalahan selain kesengajaan yaitu kelalaian (culpa).

Culpa yaitu suatu kondisi dimana pelaku seharusnya tahu akan tetapi ia tidak tahu atau

mengetahui tetapi tidak cukup tahu. Culpa dapat dibedakan menjadi culpa yang disadari dan

yang tidak disadari.

Dihubungkan dengan kasus Waduk Saguling, terdakwa 1 selaku Direktur Utama PT

Senayan Sandang Makmur dan terdakwa 2 yang berkedudukan sebagai Kepala Bagian

Maintenance yang bertindak sebagai kepala Pelaksanaan Pengolahan IPAL. Penulis

berpendapat keterangan yang diberi kedua terdakwa ini terkesan saling melemparkan

tanggung jawab. Secara logika, kedua orang ini adalah mereka yang memegang peranan

penting di perusahaan dan itu mencakup mengenai IPAL dan limbah pabrik. Terdakwa 1

mengaku tidak mengetahui ada saluran air limbah By Pass sedangkan terdakwa 2 tidak

mengetahui adanya kebocoran. Kedua hal tersebut merupakan hal yang vital yang

berhubungan dengan limbah perusahaan dan apabila dilanggar maka hasilnya adalah

bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Penulis berpendapat kedua terdakwa kurang tepat dikenakan pasal 44 ayat (1) UU

23/1997. Tindakan terdakwa termasuk dalam culpa yang disadari dimana terdakwa sadar

akan akibat dari perbuatannya yaitu dapat mencemari lingkungan tetapi ia kurang hati-hati

dan tidak menghendaki pencemaran lingkungan (pencemaran bukanlah tujuan utama PT

SSM). Berdasarkan pengertian dari Mens Rhea terlihat bahwa kedua terdakwa mengetahui

bahwa bila limbah tidak melewati IPAL terlebih dahulu dapat terjadi pencemaran. Oleh sebab

itu, telah terjadi mens rhea. Hal ini dibuktikan dengan pasal yang terjerat yaitu pasal 44 UU

23/1997 yang terdapat unsur culpa yang menurut Utrecht menjadi salah satu unsur dari Mens

Rhea. Perlu diingat bahwa culpa yang disadari sangat mirip dengan kesengajaan, sehingga

sebenarnya kalau dianalisis maka Pasal 41 atau 43 pun sebenarnya sudah menjerat pelaku.

26

Page 27: Pidana Revisi

Beda Pasal 41 dan 43 adalah Pasal 41 adalah delik materil, ditekankan pada akibat,

sedangkan Pasal 43 adalah delik formil. Pasal 41 terpenuhi karena sengaja dan menimbulkan

akibat, sedangkan Pasal 43 juga pasti terpenuhi karena selain jika primer terbukti maka

subsider juga terbukti, juga perlu ditelaah di sini dalam hal ada beberapa perusahaan atau

rumah-rumah yang membuang limbah, maka secara formil PT. SSM yang “melakukan”

pembuangan tanpa melalui IPAL tersebut menjadi subjek yang paling tertuduh karena secara

sengaja melakukan pembuangan.

Beberapa alasan mengapa seharusnya hakim tidak hanya menghukum individu yang

yang berada dalam perusahaan tersebut tapi juga turut serta menghukum PT . SSM selaku

perusahaan atau badan hukum yang terlibat dalam kasus ini :

- Telah diatur pada pasal 46 UU NO 23 tahun 1997 bahwa Apabila sebuah perbuatan

pencemaran lingkungan dilakukan atas nama badan hukum, maka tuntutan diberikan

Terhadap Organisasi Maupun yang bertindak sebagai pemberi perintah atau

pemimpin

Dari hal tersebut dapat disimpulkan beberapa hal lagi sebagai berikut :

- Dalam Undang-Undang tersebut telah jelas disebutkan bahwa yang harus dituntut

apabila atas nama badan hukum adalah organisasinya dan pemberi perintah atau

pemimpin, terdapat kata maupun yang itu berarti kedua-keduanya baik organisasi

maupun individu yang terlibat harus dihukum bukan salah satu pihak saja.

- Kedua bahwa keterlibatan perusahaan tersebut telah jelas terbukti.

- Bahwa terhadap kasus ini yang diuntungkan secara langsung ialah perusahaan

tersebut itu sendiri bukan hanya individu yang terlibat, dan hal ini tidak akan terjadi

apabila bukan karena demi keuntungan perusahaan tersebut

- Secara yuridis apa yang terkandung dalam pasal 46 tersebut telah menyebutkan

bagaimana penyertaan pihak-pihak terkait perusahaan tersebut dengan jelas.

- Dan pasal UU terkait pasal 46 tersebut merupakan lex specialis dimana hakim

seharusnya dapat menyampingkan KUHP karena UU NO 23 Tahun 1997 telah

membahas secara detail mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan terutama

pencemaran oleh korporasi dan bagaimana menuntut individu yang turut serta

terhadap terlaksananya pencemaran tersebut.

27

Page 28: Pidana Revisi

Daftar Pustaka

DUALISME TENTANG DELIK: SEBUAH KECENDERUNGAN BARU DALAM

HUKUM PIDANA INDONESIA (draft), http://hukumpidana.blogspot.com/2007/04/dualisme-

tentang-delik-sebuah.html diakses pada Minggu 6 Mei 2012 pukul 14.25 WIB

Dwikora, Buyung, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM

UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

28

Page 29: Pidana Revisi

HIDUP. Abstrak Masters thesis, program Pascasarjana Universitas Diponegoro

http://eprints.undip.ac.id/16888/ diakses pada Minggu, 6 Mei 2012 pukul 17.18 WIB

Mengenal Hukum Pidana, http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/1918101-

mengenal-hukum-pidana/ diakses pada Minggu, 6 Mei 2012 pukul 12.47 WIB

Moeljatno., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,

Jakarta: Bina Aksara, 1983

-------------- Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Henry Campbell Black; Black’s Law Dictionary; West Publishing Co.; St. Paul

Minnessota; 1990; ed. 6.

Sally S. Simpson; Strategy, Structure and Corporate Crime; 4 Advances in

Criminological Theory 171; 1993

Satochid Kartanegara, HUKUM PIDANA:KUMPULAN KULIAH PORF. SATOCHID

KARTANEGARA DAN PENDAPAT2 PARA AHLI HUKUM TERKEMUKA, (Jakarta:Balai

Lektur Mahasiswa, 1999)

Andi Hamzah, PERKEMBANGAN PIDANA KHUSUS, (Jakarta:PT.Rineka Cipta,

1991)

http://lielylaw.multiply.com/journal/item/77/

Pengertian_Tindak_Pidana_Khusus_Dikaitkan_dengan_Pasal_63_ayat_2_KUHP_dan_Pasal

_103_KUHP?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem diakses pada tanggal 05 Mei

’12 14:57 PM.

29