pidana revisi
TRANSCRIPT
KOMENTAR KRITIS ATAS TERPENUHINYA
SYARAT TINDAK PIDANA KORPORASI DAN APAKAH SAMA TINDAK PIDANA
KORPORASI DENGAN PENYERTAAN
1. Komentar Kritis Mengenai Terpenuhinya Syarat Tindak Pidana Korporasi
Menurut Black’s Law Dictionary, kejahatan korporasi atau corporate crime adalah
any criminal offense commited by and hence chargeable to a corporation because of
activities of its officers or employes, e.g. price fixing, toxic waste dumping, and often referred
to as “white collar crime1” Yang pengertiannya dalam bahasa Indonesia adalah pelanggaran
kriminal apapun yang dilakukan dan bisa dibebankan kepada korporasi karena perbuatan dari
pegawainya, semisal penetapan harga, pembuangan limbah beracun dan sering disebut
“kejahatan kerah putih.”
Di Indonesia sendiri, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang ada, hanya
mengatur tentang kejahatan konvensional seperti mencuri, membunuh dan sebagainya. Lebih
dari itu, subjek pelaku pidana hanyalah orang sebagai naturalijjke person, sehingga korporasi
atau badan hukum dianggap tidak bisa melakukan tindakan pidana. Akan tetapi, hal tersebut
mau tidak mau harus berubah. Roda ekonomi yang sangat cepat berputar membuat semakin
banyak korporasi berdiri dan bersaing satu sama lain. Dari persaingan tersebut, tidak jarang
muncul permasalahan- permasalahan salah satunya tindak pidana.
Menurut Sally S. Simpson, ada beberapa pilar yang dapat dijadikan parameter
terjadinya suatu tindak pidana korporasi. (1) tindakan ilegal dari korporasi dan agennya yang
berbeda dengan perilaku kriminal biasa. Tindakan ilegal ini meliputi ranah hukum pidana,
hukum perdata, dan hukum administrasi. (2) korporasi dan perwakilannya termasuk sebagai
pelaku kejahatan. (3) motif dilakukan kejahatan untuk keuntungan organisasional2.
Bahwa tindak pidana korporasi memiliki beberapa hal yang berbeda dengan tindakan
kriminal biasa. Selain bentuk tindakannya yang berbeda yakni tindak pidana korporasi yang
lebih khusus, juga berbeda dalam intensi melakukan kejahatan. Intensi atau motif yang
dimaksud akan membawa keuntungan operasional bagi perusahaan, semisal dalam kasus
1 Henry Campbell Black; Black’s Law Dictionary; West Publishing Co.; St. Paul Minnessota; 1990; ed. 6 hal. 339. 2 Sally S. Simpson; Strategy, Structure and Corporate Crime; 4 Advances in Criminological Theory 171; 1993
1
pencemaran lingkungan. Keuntungannya adalah tidak usah mengeluarkan biaya tambahan
untuk restorasi lingkungan.
Orang biasa memang bisa melakukan tindakan yang sama, berbeda dengan korporasi,
bahwa intensi tersebut harus datang dari direksi dan pelaksana roda perusahaan lain. Bahwa
direksi dapat bertindak atas nama perusahaan, dan direksi tidak memiliki atasan lagi yang
memerintahkan tindakan tersebut.
Terkait dengan kasus pidana lingkungan pencemaran Waduk Saguling, akan
dipaparkan terlebih dahulu pasal 46 dalam UU No. 23/ 1997.
Pasal 46 jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan
pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam
pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua- duanya.
Bahwa dalam pasal ini diintroduksi bentuk tindak pidana korporasi dalam pencemaran
lingkungan hidup, yang diperjelas melalui kata- kata badan hukum. Hal ini diperlihatkan
dalam pertimbangan hakim: “menimbang bahwa dengan menghubungkan jo pasal 46 UU 23
tahun 1997, maka yang dimaksud “barang siapa” dalam perkara ini adalah atas nama badan
hukum, mereka yang memberi perintah atau pimpinan dalam perbuatan tersebut. Sehingga
dalam implementasi kasus pencemaran Waduk Saguling ini, tidak diputus terhadap korporasi
tetapi lebih kepada direktur utama PT. SSM dan kabag maintenance PT. SSM.
Dapat disimpulkan bahwa dari pertimbangan ini, majelis hakim seakan- akan setuju
dengan korporasi PT. SSM yang melakukan kesalahan, tapi sanksinya ditujukan kepada
pemberi perintah atau pimpinan dalam hal ini Terdakwa I dan Terdakwa II. Dalam
pertimbangan lain ditunjukan: “menimbang bahwa karena kedua orang terdakwa telah
terbukti bersalah melakukan tindak pidana lingkungan maka mereka harus dihukum sesuai
dengan kesalahannya tersebut.”
2
Sehingga dalam putusannya pun, hanya terdakwa I dan terdakwa II yang terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Padahal menurut kami, PT.
Senayan Sandang Makmur pun harus ikut turut dinyatakan bersalah melakukan tindak
pidana. Sehingga dapat disimpulkan, majelis hakim tampak kebingungan dalam membuat
amar putusan terhadap kasus ini.
Sementara itu, menurut kami, dalam tindak pidana pencemaran Waduk Saguling ini,
PT. Senayan Sandang Makmur terbukti melakukan tindak pidana korporasi. Hal ini
dibuktikan dengan adanya perbuatan yang memang melanggar pasal 43, yakni sengaja
melakukan perbuatan dalam pasal 43 yaitu melepaskan atau membuang zat yang berbahaya
atau beracun masuk ke dalam air permukaan, padahal mengetahui bahwa perbuatan tersebut
dapat menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Kami setuju dengan pertimbangan hakim terhadap pemenuhan unsur tindak pidana
dalam pasal ini yakni: (1) tidak segera menutup saluran yang menyebabkan adanya aliran
limbah yang langsung menuju selokan desa Pasirpaku. (2) tidak segera membuat saluran
tersendiri air limbah rumah tangga yang melalui lokasi PT. SSM sehingga bercampur dengan
air limbah PT. SSM. (3) tidak segera memperbaiki IPAL yang ada sehingga dapat
menampung dan memproses seluruh limbah yang ada mengalir ke PT. SSM artinya kapasitas
yang harus diperbesar.
Akan tetapi, kami kurang setuju dengan pertimbangan hakim mengenai pasal 46 UU
no 23 tahun 1997. Hakim langsung memutuskan bahwa yang dimaksud badan hukum adalah
terdakwa I dan terdakwa II secara bersama- sama. Menurut kami, memang sudah benar
bahwa intensi untuk melakukan tindak pidana adalah tidak ada karena kealpaan, akan tetapi
PT. SSM seharusnya dikenai suatu pertanggungjawaban pidana karena kegiatannya ini.
Bukan terdakwa I dan terdakwa II saja.
Tetapi hal ini dapat dipahami, sebab dalam hukum Indonesia terdapat anomali yang
menyebabkan kebingungan teori pemidanaan untuk korporasi ini, karena yang dipidana
sebenarnya adalah badan hukumnya, tetapi yang dapat menjalaninya ialah organ-organnya,
sehingga wajar jika kita saja yang mengkritisi ini menemui kebingungan mengenai
keanomalian UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut, apalagilah hakim yang memang
umumnya hanya mengandalkan pemahaman normatif saja tanpa aktif menggali pengertian
baru atau penemuan hukum.
3
Sehingga dalam putusannya, menurut kami yang ideal adalah (1) menyatakan
terdakwa I dan terdakwa II dan PT. Senayan Sandang Makmur (SSM) terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. (2) menghukum terdakwa I dan terdakwa II
dengan pidana penjara selama empat bulan. (3) menghukum PT. Senayan Sandang Makmur
agar membayar denda sebesar sepuluh juta rupiah. (4) menghukum PT. Senayan Sandang
Makmur membayar biaya perkara sebesar tiga puluh ribu rupiah.
Terdakwa I dan Terdakwa II ikut dipidana menurut kami mengacu kepada teori
pemidanaan “Direct Liability (doctrine of identification)”. Dimana kedua orang tersebut
sebagai pribadi hukum kodrati (individu) dipidana karena dianggap sebagai otak perusahaan,
dimana tindakannya merepresentasikan keinginan dan pemikiran perusahaan menurut doktrin
yang berkembang dari kasus Tesco Supermarket Ltd v Nattrass yang dikemukakan oleh Lord
Reid. Sedangkan PT. SSM dipidana karena memang yang melakukannya ialah badan hukum
tersebut.
Pengenaan sanksi badan kepada terdakwa I dan II memang cukup masuk akal sebab
korporasi yang tidak memiliki badan fisik tidak bisa menjalani hukuman tersebut, sehingga
organnya yang menjalani hukumannya . Namun menjadi ideal dan tepat bila hukuman denda
dikenakan kepada korporasi, dengan jumlah yang perlu diperbesar juga, agar dapat
menimbulkan efek jera hasil kerugian operasional yang didapatkan.
2. Apakah Sama Tindak Pidana Korporasi Dengan Penyertaan
Setelah kita mengetahui secara jelas pengertian dan penjelasan tindak pidana
korporasi yang telah dipaparkan pada poin pertama, saatnya kita mengetahui secara rinci juga
mengenai penjelasan dari penyertaan itu sendiri.
Penyertaan adalah terlibatnya lebih 1 orang dalam 1 tindak pidana (sebelum atau
saat suatu tindak pidana terjadi). Dasar terbentuknya penyertaan secara garis besar ada 2
yakni:
Dasar memperluas dapat dipidananya seseorang adalah penyertaan dipandang sebagai
persoalan pertanggungjawaban pidana dan penyertaan bukan merupakan suatu delik
karena bentuknya tidak sempurna.3
3 Pendapat dari ahli hukum pidana yakni Simons, Van Hattum, dan Hazewinkel-Suringa
4
Dasar memperluas dapat dipidananya suatu perbuatan adalah penyertaan dianggap
suatu bentuk khusus dari tindak pidana dan penyertaan merupakan suatu bentuk delik
yang istimewa.4
Macam-macam golongan penyertaan menurut KUHP di Indonesia adalah:
a. Pembuat/dader (pasal 55), dipidana sebagai pelaku:
1. Yang melakukan/pelaku (pleger)
2. Yang menyuruh lakukan (doen pleger)
3. Yang turut serta (medepleger)
4. Yang mengganjurkan/ penggerak/
pembujuk/pemancing (uitlokker)
b. Pembantu/medeplichtige (pasal 56 dan 57):
1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan
2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
Bentuk-bentuk penyertaan itu sendiri terdiri atas:
1. Menyuruh melakukan (doen plegen).
• seseorang hendak melakukan tindak pidana, tp tidak mau melakukannya sendiri,
melainkan menyuruh orang lain untuk melakukannya;
• Yang menyuruh diancam pidana sebagai pelaku;
• Yang disuruh/pelaku langsung (pelaku materil), tidak diancam pidana karena
hilangnya unsur kesalahan (adanya dasar penghapus pidana berupa dasar pemaaf);
• Yang disuruh hanya menjadi alat belaka dan melakukan tindakan itu krn
ketidaktahuan/kekeliruan/adanya paksaan.
2. Turut melakukan (medeplegen).
Kemungkinan :
• Beberapa org bersama-sama melakukan tindak pidana ;
• Semua dr mereka yang terlibat memenuhi semua unsur;
• Ada yang memenuhi semua unsur, ada yang sebagian unsur, bahkan ada yg tidak
memenuhi unsur sama sekali;
• Semua hanya memenuhi sebagian unsur saja;
Syarat :
4 Pendapat dari ahli hukum pidana yakni Pompe, Moeljatno, dan Roeslan Saleh
5
1. Kerjasama secara sadar, tdk perlu ada kesepakatan tapi harus ada kesengajaan
untuk bekerja sama dan mencapai tujuan yang sama berupa terjadinya suatu
tindak pidana dan permufakatan jahat. Kerjasama secara fisik, ada
pelaksanaan bersama, perbuatan pelaksanaan à perbuatan yg langsung
menyebabkan selesainya suatu delik.
3. Menggerakkan (uitlokken, uitlokking).
Syarat :
• Ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana;
• Dengan upaya-upaya yang diatur secara limitatif dalam ps. 55 ayat (1) butir 2 KUHP :
pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan, pengaruh, kekerasan, ancaman
kekerasan atau tipu daya atau dgn memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan.
• Ada yang tergerak utk melakukan tindak pidana dgn upaya2 di atas;
• Yang digerakkan dpt dipertanggungjawabkan mnrt Hukum Pidana;
• Yang menggerakkan bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul.
4. Membantu melakukan (medeplichtigheid).
Dasar hukumnya pasal 56 dan 57 KUHP Indonesia. Syaratnya:
• Harus dilakukan dengan sengaja
• Menurut Pasal 56, ada 2 jenis:
1. Membantu sebelum TP dilakukan sarananya: kesempatan, daya upaya
(alat), keterangan
2. Membantu pada saat TP dilakukan sarananya: boleh apa saja
• Yang dipidana hanya membantu melakukan kejahatan (lihat Pasal 56 dan Pasal 60
KUHP)
• Ancaman pidana maksimal bagi seorang pembantu: pidana bagi pelaku kejahatan
dikurangi 1/3-nya
Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai:
1. Yang melakukan;
2. Yang menyuruh melakukan;
3. Yang turut melakukan;
4. Yang menggerakkan/menganjurkan untuk melakukan; dan
5. Yang membantu melakukan.
6
Poin nomor 1 s.d. 4 dikatagorikan sebagai “pelaku” (pembuat) (Pasal 55 KUHP):
Pelaku: memenuhi semua unsur delik
Dianggap sebagai sebagai pelaku:
memenuhi sebagian unsur delik;
sama sekali tidak memenuhi unsur delik; dan
Pidananya sama dengan pelaku.
Poin nomor 5 : pembantu (Pasal 56, 57 KUHP).
Setelah kita mengetahui secara jelas mengenai tindak pidana korporasi dan penyertaan
seperti apa, kita harus melihat apakah pertimbangan hakim didalam perkara Waduk Saguling
tersebut cocok menggunakan tindak pidana korporasi atau penyertaan. Jika dilihat dari unsur-
unsur yang dibuktikan didalam persidangan, maka terlihat bahwa sangatlah berbeda diantara
keduanya. Mulai dari syarat, unsur, dan pengenaan pasal penjeratnya. Sangatlah tepat hakim
mengenakan tindak pidana korporasi pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, didasarkan dari analisis teori “Direct Liability (doctrine of
identification)”.
KOMENTAR KRITIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI
PEMBUKTIAN UNSUR-UNSUR PIDANA
Asas dalam hukum pidana disebutkan bahwa tidak ada tindak pidana jika tidak ada
kesalahan. Hal ini merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal
dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini
tergantung dari persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut pelaku mempunyai
kesalahan atau tidak. Unsur kesalahan tersebut ada yang disebut dengan mens rea yang
mempunyai definisi sebagai unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental
element) (Jones dan Card).Kesalahan dan unsur-unsurnya Kesalahan adalah merupakan
terjemahan dari perkataan (bahasa) Belanda yaitu “Schuld” yang mempunyai arti menurut
pengertian dalam hukum pidana berbentuk kesengajaan (dolus) (opzet) dan kealpaan (culpa).
Selain itu, kesalahan juga telah diartikan oleh para pakar, yaitu diantaranya;
1. Simons, menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban pidana adalah
kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya
yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya. Sehubungan
dengan uraian tersebut beliau mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan pada pelaku
7
harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku,
yaitu;a. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)b. Hubungan
kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkanc.
Dolus atau Culpa
2. Utrecht, menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut
hukum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu:a. Kemampuan
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuatb. Suatu sikap psykhis
pembuat berhubung dengan kelakuannya, yakni:i. Kelakuan disengaja (anasir
sengaja), danii. Kelakuan adalah suatu sikap kurang berhati-hati atau lalai (anasir
kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin).c. Tidak ada alasan-alasan yang
menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir
toerekeningsvatbaarheid).
Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang
dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang- undang. Jika
dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan
atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada
alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Jika
dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Dipakainya ketentuan pidana dalam sebuah undang-undang sesungguhnya merupakan
sebuah hal terakhir yang dapat ditempuh untuk melakukan penegakan lingkungan hidup.
Seringkali dikatakan sebagai ultimum remedium. Dalam kasus lingkungan hidup, yang harus
dipatuhi paling utama ialah ketentuan mengenai lingkungan hidup itu sendiri, jika tidak
dipatuhi maka bekerjalah hukum pidana tersebut sebagai jalan terakhir atau ultimum
remedium.
Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut. Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam berbagai macam delik yang
membeda-bedakan perbuatan tersebut, misalnya delik materil. Delik formil ialah Tekanan
perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan
akibatnya, sedangkan delik materil ialah ditekankan pada akibat dari suatu sikap tindak atau
8
perikelakuan5.
Moeljatno menyebutkan bahwa mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu
perbuatan pidana adalah sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang objektif;
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Untuk dapat dijatuhi pidana dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran
yaitu ajaran (aliran) monisme dan ajaran (aliran) dualisme.
Ajaran monisme: Pandangan monisme memiliki akar historis yang berasal dari ajaran
finale handlungslehre yang dipopulerkan oleh Hans Welzel pada tahun 1931. Inti ajaran
finale handlungslehre menyatakan bahwa kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan dari perbuatan. Eksistensi kesengajaan yang termasuk dalam perbuatan
disebabkan argumentasi utama finale handlungslehre, bahwa setiap perbuatan pidana harus
didasari intensionalitas untuk mencapai tujuan tertentu sehingga perbuatan tersebut dianggap
sebagai perbuatan final (final-subyektif). Dalam konteks ini, setiap bentuk perbuatan
naturalistis yang ditentukan berdasarkan hubungan kausal tidak termasuk dalam perbuatan
pidana.Karenanya, perbuatan pidana hanya ditujukan kepada perbuatan dan akibat yang
ditimbulkan berdasarkan penetapan kesengajaan pelaku.
Tujuan utama finale handlungslehre adalah menyatukan perbuatan pidana dan
kesalahan, serta melepaskan perbuatan pidana dari konteks kausalitas. Dengan kata lain,
”perbuatan adalah kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan
kepada akibat-akibat tertentu. Jadi kesadaran atas tujuan, kehendak yang mengandalikan
kejadian-kejadian yang bersifat kausal itu adalah suatu ”rugggeraat” dari suatu perbuatan
final.
Ajaran dualisme: Berbeda dengan monisme yang menjadikan kesalahan (kesengajaan)
sebagai unsur subyektif dari perbuatan pidana, pandangan dualistis tentang delik bersikeras
memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, 5 Mengenal Hukum Pidana, http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/1918101-mengenal-hukum-pidana/ diakses pada Minggu, 6 Mei 2012 pukul 12.47 WIB
9
unsur obyektif hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana. Atas dasar itu, perbuatan
pidana hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu perbuatan dijatuhi pidana.
Sedangkan unsur subyektif hanya dapat dikandung dalam pertanggungjawaban pidana yang
ditujukan kepada pembuat melalui celaan yang diobyektifkan. Karenanya, pemidanaan hanya
diterapkan kepada pembuat setelah terbukti melakukan perbuatan pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Dalam konteks ini, ajaran dualistis
menolak adagium actus non facit reum nisi mens sit rea (an act does not make a person
guilty unless his mind is guilty) dengan alasan bahwa asas ini menyatukan actus reus dan
mens rea sebagaimana dipahami ajaran monistis yang banyak dianut di negara-negara
common law system seperti Inggris dan Amerika.
Dalam pemahaman dualistis, dimungkinkan terjadinya perbuatan pidana meskipun
tidak ada seorang pun yang dapat dipersalahkan atas perbuatan tersebut sehingga pembuat
harus dilepas dari tuntutan hukum. Namun, apabila terdapat seseorang yang dapat
dipersalahkan atas perbuatan tersebut, maka pembuat dapat dipidana. Karena itu, actus reus
hanya menyangkut perbuatan yang meliputi unsur-unsur obyektif. Sementara itu, mens rea
berkaitan dengan pertanggungjawaban (dapat dipidananya pembuat).6
Dalam sebuah tindak pidana, dapat kita kelompokkan apakah merupakan tindak
pidana umum atau khusus dari ketentuan hukum yang dipakai atau dasar hukum yang
dipakai.
Tindak pidana umum ialaha tindak pidana yang sudah diintrodusir sejak dahulu yaitu
dicerminkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, dimana tindak pidana
yang terangkum di dalamnya merupakan tindak pidana maupun pelanggaran yang merupakan
hal umum. Sedangkan tindak pidana yang perumusan pidananya terdapat di luar ketentuan
KUHP dewasa ini dikelompokkan menjadi tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang
dipakai ialah khusus di luar ketentuan KUHP yang secara klasik mengintrodusir macam-
macam tindak pidana.
6. DUALISME TENTANG DELIK: SEBUAH KECENDERUNGAN BARU DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA (draft), http://hukumpidana.blogspot.com/2007/04/dualisme-tentang-delik-sebuah.html diakses pada Minggu 6 Mei 2012 pukul 14.25 WIB
10
Dalam kasus Waduk Saguling ini, yang dipakai ialah ketentuan pidana dalam undang-
undang mengenai lingkungan hidup saat itu, yaitu UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan pidana dicakup dalam Bab IX Pasal 41 – 48
undang-undang ini.
Ketentuan pidana yang diperkenalkan dalam undang-undang ini juga mengenal
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana lingkungan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yaitu:
(a) telah secara jelas mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana;
(b) korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana lingkungan ketika tindak pidana itu
dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain,
yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain;
(c) yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah: pertama, korporasi yang
meliputi: badan hukum; perseroan; perserikatan; yayasan; atau organisasi lain; kedua, Yang
melakukan perintah untuk melakukan tindak pidana (yang bertindak sebagai pemimpin);
ketiga, kedua-duanya. Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dibandingkan dengan kebijakan formulasi
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan yang lain,
terlihat lebih lengkap, karena: Pertama, dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan
Hidup sudah jelas perumusan tentang subjek tindak pidana korporasi. Kedua, sudah ada
perumusan tentang kapan tindak pidana korporasi terjadi. Ketiga, sudah ada rumusan tentang
siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana lingkungan.7
Pasal-pasal yang didakwakan jaksa kepada Terdakwa I dan Terdakwa II ialah:
Primer: Pasal 41 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Subsidair: Pasal 43 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Lebih Subsidair: Pasal 44 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 jo. Pasal 55 ayat 1 ke-
1 KUHP
7 Dwikora, Buyung, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. Abstrak Masters thesis, program Pascasarjana Universitas Diponegoro http://eprints.undip.ac.id/16888/ diakses pada Minggu, 6 Mei 2012 pukul 17.18 WIB
11
Lebih subsidair lagi : Pasal 42 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP.
Untuk membuktikan apakah terjadi tindak pidana, maka kita harus membuktikan adanya
kesalahan terlebih dahulu.
Dari keterangan saksi dan juga alat bukti surat berupa hasil pemeriksaan sampel air,
memang didapati kesalahan dari pihak terdakwa baik Terdakwa I maupun Terdakwa II, hal
ini dikarenakan Terdakwa I selaku direktur utama tidak mengarahkan bawahannya yaitu
Terdakwa II untuk memperbaiki adanya kerusakan pada saluran yang menuju saluran
pembuangan yang melalui IPAL, dan malah ditemukan saluran by pass atau saluran yang
mengalirkan langsung pembuangan ke got yang mengalir ke Waduk Saguling. Hal ini
dibenarkan oleh saksi Mangara Sagala, bahwa pimpinan perusahaan tidak keberatan dengan
adanya saluran by pass tersebut, dan ditambah lagi dengan kesaksian Saksi Habinsaran
Justien Sagala yang menyebutkan bahwa ada saluran di bawah beton yang tidak mengalirkan
limbah menuju saluran untuk proses IPAL, hanya saja menurut Habinsaran saluran tersebut
baru beroperasi setelah dua saluran utama yang mengalirkan ke saluran menuju IPAL rusak.
Hal ini menunjukkan dua hal, yaitu adanya pembiaran pimpinan perusahaan untuk
menggerakkan bawahan yang terkait dengan urusan memperbaiki saluran limbah menuju
saluran IPAL tersebut. Namun, sekaligus hal itu menunjukkan bahwa ada unsur kesengajaan
dimana adanya satu saluran yang tidak menuju saluran berproses IPAL memang dibuat dan
hal itu diketahui oleh pimpinan perusahaan yaitu Terdakwa I.
Maka pembuktian kesalahan seharusnya memperhatikan adanya pembuatan saluran
tanpa proses IPAL satu ini, dimana saluran tersebut tidak mungkin dengan demikian saja
terbentuk melainkan dibentuk dengan perbuatan tangan manusia, sehingga kelalaian
memperbaiki dua saluran limbah berproses IPAL bisa dikesampingkan mengingat adanya
perbuatan membuat saluran tanpa proses IPAL atau dengan kata lain ada kesengajaan di
dalamnya.
Akibat dari limbah juga sudah diketahui dengan pasti oleh perusahaan dalam hal ini
pimpinan perusahaan, hal ini dapat dilihat dari kesaksian Daeng Wani Giyanti, dimana
Terdakwa II lah yang memberi anjuran untuk membeli obat-obatan pengolahan limbah,
dengan kata lain Terdakwa II mengerti mengenai bahaya dari limbah tersebut jika masuk ke
12
dalam air yang dipakai oleh manusia, dalam hal ini, Terdakwa I juga dianggap secara logis
mengetahui bahwa limbah berbahan kimia yang dihasilkan perusahaannya pasti berbahaya
bagi manusia jika bercampur dengan air yang dikonsumsi oleh manusia.
Mengingat kesengajaan dan diketahuinya akibat jika perbuatan sengaja tersebut
dilakukan, maka seharusnya menurut hemat penulis, terpenuhilah Pasal 41 UU No. 23 tahun
1997, hanya saja memang tepat jika Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP seharusnya tidak usah
dicantumkan juga, karena hubungan pekerjaannya ialah fungsional dan tidak digerakkan di
sini, melainkan Terdakwa II yang berurusan dengan saluran tersebut memperbuat saluran
tanpa proses IPAL tersebut dan Terdakwa I malah diam saja tidak menegurnya.
Terlepas dari kesalahan jaksa yang mencantumkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang
tidak dapat dibuktikkan unsurnya tersebut, seharusnya memang Pasal 41 ayat (1) tersebut
terpenuhi. Pasal ini ialah berdelik materil, ditekankan akibatnya yaitu pencemaran atau
pengrusakan lingkungan hidup yang terpenuhi dengan terlampauinya baku mutu yang
diperkenankan, terlepas dari apakah terlampauinya itu sedikit atau banyak, yang penting
terlampaui, artinya lingkungan sudah tercemar.
Terlepas pula dari adanya data penyelidikan adanya limbah rumah tangga yang
mengalir ke lokasi perusahaan dan bercampur dengan limbahnya, belum lagi adanya
perusahaan lain di sekitar lokasi perusahaan tersebut, kesalahan ditekankan adanya
pembuatan saluran tanpa IPAL yang jelas-jelas disengaja, tidak mungkin saluran dengan
sendirinya terbentuk, sehingga ada kesalahan yaitu kesengajaan membuat di luar dari yang
seharusnya dibuat, sehingga seharusnya Pasal 41 ayat (1) tersebut terpenuhi.
Pembuktian yang menjadi dasar pertimbangan hakim tidak disimak dengan cermat
oleh hakim, seharusnya ada pertimbangan tersirat yang dapat diambil dari bukti-bukti yang
diajukan.
Dakwaan Primair, Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 46 UU No.23/Th.1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup jo Pasal 55 ayat(1) Kuhp
Dalam pertimbangannya Majelis hakim menguraikan unsur Pasal 41 ayat (1) UU
No.23/Th.1997, sbb:
Unsur Pasal 41
13
(1) Barang siapa
(2) secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
Unsur barang siapa dalam kasus kali ini hakim hubungkan dengan Pasal 46 UU 23 Tahun
1997, sehingga yang dimaksud dengan “Barang Siapa” dalam perkara ini adalah atas nama
badan hukum, mereka yang memberi perintah atau pimpinan dalam perbuatan tersebut.
Dalam dakwaan dan berkas perkara ini, Terdakwa 1.RINO TURINO CHERNAWAN Bin
CHERNAWAN dalam kedudukannya sebagai Direktur Utama PT. Senayan Sandang
Makmur dan Terdakwa 2 DJUWITO Bin MARGONO selaku Kepala Bagian Maintenance
dan juga sebagai Pejabat Kepala Pelaksana Pengolahan IPAL pada PT. SSM dergan demikian
kedua orang Terdakwa berkedudukan atas nama Badan Hukum yaitu perusahaan tekstil PT
Senayan Sandang Makmur yang berlokasi di Jl. Pasirpaku Rt. 01 Rw. 01 Desa Pasirpaku,
Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung.
Beberapa alasan mengapa seharusnya hakim tidak hanya menghukum individu yang
yang berada dalam perusahaan tersebut tapi juga turut serta menghukum PT . SSM selaku
perusahaan atau badan hukum yang terlibat dalam kasus ini :
- Telah diatur pada pasal 46 UU NO 23 tahun 1997 bahwa Apabila sebuah perbuatan
pencemaran lingkungan dilakukan atas nama badan hukum, maka tuntutan diberikan
Terhadap Organisasi Maupun yang bertindak sebagai pemberi perintah atau
pemimpin
Dari hal tersebut dapat disimpulkan beberapa hal lagi sebagai berikut :
- Dalam Undang-Undang tersebut telah jelas disebutkan bahwa yang harus dituntut
apabila atas nama badan hukum adalah organisasinya dan pemberi perintah atau
pemimpin, terdapat kata maupun yang itu berarti kedua-keduanya baik organisasi
maupun individu yang terlibat harus dihukum bukan salah satu pihak saja.
- Kedua bahwa keterlibatan perusahaan tersebut telah jelas terbukti.
- Bahwa terhadap kasus ini yang diuntungkan secara langsung ialah perusahaan
tersebut itu sendiri bukan hanya individu yang terlibat, dan hal ini tidak akan terjadi
apabila bukan karena demi keuntungan perusahaan tersebut
- Secara yuridis apa yang terkandung dalam pasal 46 tersebut telah menyebutkan
bagaimana penyertaan pihak-pihak terkait perusahaan tersebut dengan jelas.
- Dan pasal UU terkait pasal 46 tersebut merupakan lex specialis dimana hakim
seharusnya dapat menyampingkan KUHP karena UU NO 23 1997 telah membahas
14
secara detail mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan terutama pencemaran
oleh korporasi dan bagaimana menuntut individu yang turut serta terhadap
terlaksananya pencemaran tersebut.
Penggunaan Pasal 46 UU 23 Tahun 1997, kami nilai tepat karena Direktur Utama PT.
SSM, yaitu Terdakwa I RINO TURINOCHERNAWAN bin CHERNAWAN adalah
pimpinan yang bertanggung jawab pada operasional perusahan, Terdakwa 1 sebagai pemberi
perintah atau pimpinan, Terdakwa 1 berhak dan berwenang menentukan kebijakan
perusahaan dalam proses pengolahan limbah Sementara Terdakwa 2 DJUWITO sebagai
Kepala Pelaksana IPAL, mengawasi pengolahan dan pembuangan limbah serta menerima
laporan hasil pengolahan limbah cair dari operator IPAL. Kedua Terdakwa adalah pelaku
fungsional artinya meskipun secara fisik mereka tidak melalaikan tindak pidana lingkungan,
akan, tetapi mereka sebagai pimpinan / pemberi perintah dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukum pidana, tindak pidana tersebut dilakukan dalam kerangka kerja
fungsi kedua Terdakwa guna mencapai tujuan,misalnya dalam hal iniuntuk mengurangi biaya
produksi sehingga meningkatkan keuntungan perusahaan.
Selain itu hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa penambahan pasal 55 (1) ke
1 KUHP oleh JPU menurut majelis hakim merupakan sesuatu yang berlebihan, dengan
demikian untuk selanjutnya pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP tidak akan dipertimbangkan lagi
oleh karena kedua orang Terdakwa, dalam proses pelaksanaan IPAL di PT. SSM sangat erat
hubungannya satu dengan lain dan keduanya berperan sebagai pemimpin agar air limbah
yang dihasilkan sesuai dengan aturan baku mutu limbah.
Menurut kami, tindakan yang dilakukan oleh majelis hakim juga tepat selain karena
doktrin tindak pidana korporasi tidak akan sesuai jika dipadu dengan Pasal 55 ayat (1)
KUHP, juga karena tindak pidana dalam UU No.23/Th.1997 tentang pengelolaan lingkungan
hidup tergolong ke dalam Tindak Pidana Khusus bila kita hubungkan dengan sifatnya.
Hukum pidana sendiri berdasarkan pada sifatnya terdiri atas :
1. Hukum pidana umum
Hukum pidana ini berlaku untuk semua orang, seperti yang didalam KUHP
yang berlaku umum.
2. Hukum pidana khusus
Hukum pidana yang mana ditujukan pada orang-orang tertentu. Berbicara
mengenai pidana khusus artinya menyangkut tentang pidana materiel dan
formil.
15
Hukum pidana khusus menurut Pompe8, hukum pidana khusus dapat berupa
pelakunya yang khusus, atau perbuatannya. Selanjutnya Pompe berpendapat
ketentuan diluar KUHP, maka merupakan hukum pidana khusus. Hal ini sesuai
dengan adagium lex specialis derogat lex generali (ketentuan khusus
mengeyampingkan ketentuan yang umum).
Tindak Pidana Khusus adalah Undang-Undang pidana yang berada diluar hukum
pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum baik dari segi
hukum pidana materil maupun formal.
Kriteria tindak pidana khusus 9:
1. Mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat
dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.
2. Dilihat dari substansi dan berlaku bagi siapapun.
3. Penyimpangan ketentuan hukum pidana
4. Undang-Undang tersendiri
Jika melihat dari kriteria di atas maka tindak pidana yang terdapat dalam UU
No.23/Th.1997 merupakan indak pidana khusus, karena:
1. Tindak pidana yang terdapat dalam UU No.23/Th.1997, mengatur perbuatan tertentu
dalam arti khusus tindak pidana di bidang lingkungan hidup
2. Aturan – aturan yang terdapat dalam UU No.23/Th.1997 berlaku bagi siapapun di
wilayah teritorial NKRI
3. Dalam UU No.23/Th.1997, terdapat subyek tindak pidana baru yaitu badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain sementara itu subyek hukum ini
tidak diatur dalam KUHP.
4. UU No 23/ Th. 1997 merupakan Undang- undang tersendiri yang terpisah dari KUHP
Dalam perkara ini, Tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa semuanya berasal
dari UU No.23/Th.1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Tindak pidana mengenai
lingkungan hidup ini tidak diatur di dalam KUHP. Oleh karena itu asas Lex specialis derogat
8 Andi Hamzah, PERKEMBANGAN PIDANA KHUSUS, (Jakarta:PT.Rineka Cipta, 1991), hlm. 2. 9http://lielylaw.multiply.com/journal/item/77/ Pengertian_Tindak_Pidana_Khusus_Dikaitkan_dengan_Pasal_63_ayat_2_KUHP_dan_Pasal_103_KUHP?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem dibuat pada tanggal 25 Agu ’11 1:04 AM, diakses pada tanggal 05 Mei ’12 14:57 PM.
16
legi generali berlaku dan dengan sendirinya dipakailah ketentuan yang ada pada UU
No.23/Th.1997. Akan sangat aneh jika kemudian pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP mengenai
penyertaan di kaitkan dengan perkara ini karena di dalam KUHP tidak diatur mengenai
tindak pidana yang dilakukan atas nama badan hukum seperti yang ada dalam perkara ini.
Selain itu dalam pasal 46 UU 23 Tahun 1997 UU No.23/Th.1997 telah terdapat aturan
khusus mengenai tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh atau atas nama badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain sehingga penggunaan pasal 55
(1) ke 1 KUHP tidak diperlukan.
Kemudian pada unsur “secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan
yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Hakim berpendapat
bahwa unsur ini tidak terpenuhi karena perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau
perusakan lingkungan hidup dalam perkara ini bukan hanya di sebabkan oleh PT SSM
sendiri, tetapi banyak perusahaan tekstil lain dan juga limbah rumah tangga dari masyarakat
sekitar yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup
sehingga tidak ada hubungan langsung kausalitas dari perbuatan PT SSM dengan
tercemarnya lingkungan hidup di sekitar Desa Pasirpaku. Kami pun sependapat dengan
pembuktian dan pendapat hakim.
Dakwaan Subsidair, Pasal 43 ayat (1) jo Pasal 46 UU No.23/Th.1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup jo Pasal 55 ayat(1) Kuhp
Dalam pertimbangannya Majelis hakim menguraikan unsur Pasal 43 ayat (1) UU
No.23/Th.1997, sbb:
- Dengan Melanggar ketentuan yang berlaku
- Sengaja melepaskan atau membuang zat, energi,dan/atau komponen lain yang
berbahaya atau beracun masuk di atasatau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke
dalam air permukaan
- padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwaperbuatan tersebut
dapat menimbulkan pencemaran dan/atauperusakan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan umumatau nyawa orang lain.
Dalam Dakwaan ini, Majelis hakim mengatakan bahwa unsur dengan sengaja dalam
dakwaan ini tidak terpenuhi. Menurut Majelis hakim unsur dengan sengaja tidak terpenuhi
karena pencemaran yang terjadi di selokan Desa Pasirpaku dan mengalir ke Waduk Saguling
17
bukan hanya terjadi akibat adanya pembuangan limbah tanpa melalui IPAL yang dilakukan
oleh PT SSM tetapi juga karena adanya air limbah rumah tangga yang turut mencemarinya.
Kami tidak setuju akan pendapat Majelis Hakim kali ini. Menurut kami Majelis hakim
tidak bisa membedakan antara delik formil dan delik materil dalam hukum pidana. Majelis
hakim berpendapat bahwa unsur dengan sengaja yang terdapat pada Pasal 43 ayat (1) UU
No.23/Th.1997merupakan unsur yang membuktikan hubungan kausalitas antara penyebab
terjadinya pencemaran dan pencemaran yang terjadi(akibat). Padahal menurut kami Pasal 43
ayat (1) UU No.23/Th.1997 merupakan suatu delik formil.
Selain itu, Alasan mengapa dakwaan subsidair tersebut tidak terbukti yang disebutkan
majelis hakim ialah antara lain karena
- limbah rumah tangga bercampur dengan limbah PT SSM.
- Limbah rumah tangga lebih berbahaya.
- Limbah yang dibuang PT SSM hanya sedikit diatas ambang batas normal.
Alasan tersebutlah yang membuat hakim menyimpulkan bahwa tidak ada unsur kesengajaan
oleh PT SSM untuk Melepaskan zat berbahaya ke dalam saluran pembuangan tersebut.
Menurut kami faktor-faktor yang disebutkan diatas tidaklah mengaburkan unsur
kesengajaan melepaskan zat. Faktor-faktor yang disebut diatas hanyalah mengenai efek yang
terjadi akibat pembuangan zat berbahaya bukan unsur kesengajaan pembuangan unsur zat
berbahaya. Karena pada pasal 43 tersebut hanya disebutkan kesengajaan pelepasan zat
berbahaya hanya pelepasan saja, bukan kesengajaan untuk memberikan efek pembuangan zat
berbahaya tersebut apakah setelah dibuang nanntinya memberikan efek atau tidak.
Berarti dengan membuang zat berbahaya saja seharusnya telah cukup membuktikan
unsur sengaja dari perbuatan tersebut, satu hal lagi bahwa dikatakan zat yang dibuang hanya
sedikit melewati ambang batas, hal tersebut menurut kami tidak menghilangkan unsur zat
berbahaya yang dibuang, karena berarti dibuatnya ketentuan ambang batas berbahaya
tersebut apabila telah melewati sedkitpun batas maka ia telah dapat disebut berbahaya.
Apabila ada toleransi sedikti melewati batas dianggap mengurangi kesalahan maka akan
menimbulkan preseden buruk bagi perlindungan lingkungan nantinnya. Bila kita
menghubungkan dengan adanya Yaitu berdasarkan dari SK. Gubernur Jawa Barat No. 6
tahun 1999 tentang batas maksimum air limbah tekstil yaitu BOD :
BOD – standarnya 60 ppm
COD – standarnya 150 ppm
TSS – standarnya 50 ppm
18
PH – standarnya 50 ppm
PH – standarnya 6,0 – 9,0 ppm
Bila kita membandigkan dengan hasil pemeriksaan pada saluran inlet dan outlet yaitu
Pada saluran inlet :
BOD – hasilnya 65 ppm
COD – hasilnya 170 ppm
TSS – hasilnya 48 ppm
PH – 8,2
Pada saluran outlet :
BOD – hasilnya 61 ppm
COD – hasilnya 162 ppm
TSS – 98 ppm
PH – 8,2
Dalam hal ini terlihat bahwa PT SSM hanya sedikit melampaui baku mutu yang
dipersyaratkan pada SK. Gubernur Jawa Barat No. 6 tahun 1999 tersebut. Hal ini pula
ditambah bahwa berdasarkan pemantauan di lapangan bahwa di lokasi pembuangan limbah
tersebut ternyata terdapat juga limbah Rumah Tangga yang dapat saja mempengaruhi kadar
limbah yang dibuang oleh limbah PT SSM. Selain itu, dilokasi dimana PT SSM mempunyai
pabrik terdapat pula usaha – usaha pabrik lain yang berdiri. Oleh sebab itu, hal inilah yang
menjadi pertimbangan bahwa berdasrkan hasil pmeriksaan yang mengatakan bahwa hasil dari
limbah PT. SSM dianggap sebagai hal yang tidak sengaja. Hal ini disebabkan bahwa hasil
pemeriksaan yang dilakukan terhadap PT SSM yang hanya sedikit melewai ambang batas
dapat disebutkan sebagai sebuah hasil yang diakibatkan terdapat banyaknya perusahaan yang
berdiri dan membuang limbah ditempat yang sama dengan PT SSM serta adanya juga limbah
rumah tangga. Namun seperti yang sudah kami sampaikan diatas bahwa hal ini seharusya
tidak menjadi suatu alasan yang membuat disebut sebagai hal yang tidak sengaja karena
pada dasarnya PT SSM telah melakukan kesalahan dengan membuang limbah yang melewati
batas BOD.
Lagipula, logikanya, jika unsur primer saja sudah terpenuhi maka pastilah subsider
juga terpenuhi.
Bila kita hubungkan dengan Jenis-jenis delik menurut ilmu pengetahuan yaitu10 :
1. Delik formil
10 Satochid Kartanegara, HUKUM PIDANA:KUMPULAN KULIAH PORF. SATOCHID KARTANEGARA DAN PENDAPAT2 PARA AHLI HUKUM TERKEMUKA, (Jakarta:Balai Lektur Mahasiswa, 1999), hlm. 135.
19
Delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana dengan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang. Delik formil dalam kasus ini adalah Pasal 43 (1) UU. No.
23/Th.1997 yang dijadikan dakwaan subsidier, dimana merumuskan sebagai
berikut :
“(1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, dan/atau komponen
lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke
dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor,
memperdagangkan,mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan
instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk
menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum
atau nyawa orang lain, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). “
Pada delik formil pembuktiannya adalah pada tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh pelaku dalalm hal yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup dimana membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
Pembuktian pada delik formil, khususnya mengenai pasal ini adalah pada tindakan
melepaskan atau membuang zat yang berbahaya dan beracun ke dalam air
permukaan yang melanggar aturan undang-undang. Dengan demikian cukup
dibuktikan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut limbahnya melampaui ambang
batas yang ditetapkan oleh baku mutu efluen, yang pengukurannya dapat dilakukan
di tempat penggelontoran limbah.
Pertimbangan hakim dalam pembuktian unsur sengaja melepaskan atau membuang
zat, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke
dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, merupakan unsur dalam
delik formil yang harus dibuktikan bahwa adanya tindakan-tindakan yang dapat
menimbulkan pencemaran. Dalam hal ini, berdasarkan hasil laboratorium dan saksi
ahli yang diajukan ke persidangan dengan alat uji pada sampel melalui inlet dan
outlet dari sampel air waduk membuktikan bahwa hanya sedikit yang terbukti
diambang batas normal, bahwa limbah rumah tangga turut bercampur dengan
limbah PT. SSM dan menurut saksi ahli Prof Dr, Enri Darmanhuri bahwa limbah
rumah tangga justru lebih berbahaya kadarnya dari pada limbah PT. SSM sehingga
menurut pertimbangan hakim untuk delik tersebut tidak dapat dikualifikasikan
20
sebagai sebuah tindakan yang disengaja membuang zat berbahaya ke saluran desa
pasir paku. Namun dengan membuktikan dakwaan lebih subsidair pada pasal 44
ayat 1 UU. Pdengan unsur :
- melanggar peraturan undang-undang yang berlaku
- kareana kealfaanya melakukan perbuatan pada pasal 43.
Kealfaan menurut hukum pidana adalah sikap tidak hati-hati, tidak melakukan
perbuatan pencegahan yang seyogyannya dilakukan dilakukan atau ceroboh.
Faktannya terungkap PT SSM tidak segera menutup saluran yang menyebabkan
adanya limbah menuju selokan desa Pasirpaku, serta tidak serta merta membuat
saluran sendiri serta tidak segera memperbaiki IPAL yang ada, dengan tidak
melakukan perbuatan tersebut maka delik formil yang dilakukan telah sempurna
dilakukan sehingga unsur kealpaan telah tepat dibuktikan oleh hakim sehingga
pasal 44 ayat 1 telah terpenuhi.
2. Delik materiil
Delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang.
Dalam delik lingkungan yaitu pasal 41 UU No.23/Th.1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPLH) merupakan delik materil, dimana
adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pencemar dengan akibat
pencermarannya. Di dalam kasus pidana Pencemaran Waduk Saguling tersebut,
delik formil digunakan sebagai dakwaan primair yaitu Pasal 41 ayat (1) yang
merumuskan sebagai berikut :
“(1) barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pembuktian dalam pasal tersebut adalah suatu usaha dan/atau kegiatan
mengakibatkan pencemaran akibat baku mutu ambien sungai telah terlampaui
ambang batasnya.
Terdakwa I dan II didakwa dengan dakwaan primer dengan pasal 41(1) yang
merupakan delik materiil. Dalam pertimbangan hakim tentang unsur sengaja
melakukan perbuatan yang mengakibatkan dan/atau perusakan lingkungan hidup
tidak terbukti. Dalam membuktikan unsur tersebut, maka perlu melihat pada
apakah terjadi tindakan yang mengakibatkan pencemaran yang dalam hal ini
pencemaran air atau tidak. Sependapat dengan pertimbangan hakim, bahwa
21
dikarenakan tidak dihadirkannya alat bukti yang menunjukkan adanya pencemaran
air akibat tindakan PT SSM dalam pembuangan limbah yang melewati ambang
batas maka unsur tersebut tidak dapat dibuktikan.
Terkait dengan pertimbangan hukum atas unsur mengakibatkan pencemaran di atas
merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam delik materiil, bahwa usaha dan/atau
kegiatan baru dapat dikatakan sebagai delik apabika menimbulkan sebuah akibat.
Oleh karena itu, karena sampel yang digunakan dalam pengujian kadar limbah
bukan pada media lingkungan air sungai namun sampel yang pakai adalah inlet dan
outlet pada IPAL. Sehingga tidak dapat diketahui pencemaran air yang terjadi di
waduk Siguling, dan tepat kiranya unsur ini tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan.
Beberapa alasan mengapa seharusnya hakim tidak hanya menghukum individu yang
yang berada dalam perusahaan tersebut tapi juga turut serta menghukum PT . SSM selaku
perusahaan atau badan hukum yang terlibat dalam kasus ini :
- Telah diatur pada pasal 46 UU NO 23 tahun 1997 bahwa Apabila sebuah perbuatan
pencemaran lingkungan dilakukan atas nama badan hukum, maka tuntutan diberikan
Terhadap Organisasi Maupun yang bertindak sebagai pemberi perintah atau
pemimpin
Dari hal tersebut dapat disimpulkan beberapa hal lagi sebagai berikut :
- Dalam Undang-Undang tersebut telah jelas disebutkan bahwa yang harus dituntut
apabila atas nama badan hukum adalah organisasinya dan pemberi perintah atau
pemimpin, terdapat kata maupun yang itu berarti kedua-keduanya baik organisasi
maupun individu yang terlibat harus dihukum bukan salah satu pihak saja.
- Kedua bahwa keterlibatan perusahaan tersebut telah jelas terbukti.
- Bahwa terhadap kasus ini yang diuntungkan secara langsung ialah perusahaan
tersebut itu sendiri bukan hanya individu yang terlibat, dan hal ini tidak akan terjadi
apabila bukan karena demi keuntungan perusahaan tersebut
- Secara yuridis apa yang terkandung dalam pasal 46 tersebut telah menyebutkan
bagaimana penyertaan pihak-pihak terkait perusahaan tersebut dengan jelas.
- Dan pasal UU terkait pasal 46 tersebut merupakan lex specialis dimana hakim
seharusnya dapat menyampingkan KUHP karena UU NO 23 1997 telah membahas
secara detail mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan terutama pencemaran
22
oleh korporasi dan bagaimana menuntut individu yang turut serta terhadap
terlaksananya pencemaran tersebut.
Seharusnya Dakwaan subsidair terbukti.
Alasan mengapa dakwaan subsidair tersebut tidak terbukti yang disebutkan majelis
hakim ialah antara lain karena
- limbah rumah tangga bercampur dengan limbah PT SSM.
- Limbah rumah tangga lebih berbahaya.
- Limbah yang dibuang PT SSM hanya sedikit diatas ambang batas normal.
Alasan tersebutlah yang membuat hakim menyimpulkan bahwa tidak ada unsur kesengajaan
oleh PT SSM untuk Melepaskan zat berbahaya ke dalam saluran pembuangan tersebut.
Menurut kami faktor-faktor yang disebutkan diatas tidaklah mengaburkan unsur
kesengajaan melepaskan zat. Faktor-faktor yang disebut diatas hanyalah mengenai efek yang
terjadi akibat pembuangan zat berbahaya bukan unsur kesengajaan pembuangan unsur zat
berbahaya. Karena pada pasal 43 tersebut hanya disebutkan kesengajaan pelepasan zat
berbahaya hanya pelepasan saja, bukan kesengajaan untuk memberikan efek pembuangan zat
berbahaya tersebut apakah setelah dibuang nanntinya memberikan efek atau tidak.
Berarti dengan membuang zat berbahaya saja seharusnya telah cukup membuktikan
unsur sengaja dari perbuatan tersebut, satu hal lagi bahwa dikatakan zat yang dibuang hanya
sedikit melewati ambang batas, hal tersebut menurut kami tidak menghilangkan unsur zat
berbahaya yang dibuang, karena berarti dibuatnya ketentuan ambang batas berbahaya
tersebut apabila telah melewati sedkitpun batas maka ia telah dapat disebut berbahaya.
Apabila ada toleransi sedikti melewati batas dianggap mengurangi kesalahan maka akan
menimbulkan preseden buruk bagi perlindungan lingkungan nantinnya. Lagipula, logikanya,
jika unsur primer saja sudah terpenuhi maka pastilah subsider juga terpenuhi.
KOMENTAR KRITIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI
PEMBUKTIAN KAUSALITAS DAN KESENGAJAAN
Dalam putusan Nomor 50/Pid.B/2004/PN.BB. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale
Bandung menjatuhkan putusan bersalah kepada kedua terdakwa, yaitu Rino Turino
Chernawan selaku Direktur Utama PT. Senayan Sandang Makmur, dan Djuwito Bin
23
Margono selaku Kepala Bagian Maintenance PT yang sama. Keduanya dinyatakan bersalah
sesuai pasal 42 ayat (1) jo pasal 46 UU No.23/1997 jo. Pasal 55(1) ke 1 e KUHP.
Teori dalam hukum pidana yang menyangkut kausalitas merupakan ajaran yang
mencari sebab dari timbulnya suatu akibat dari delik yang dilakukan pelaku. Beberapa teori
kausalitas yang dikenal yaitu :
Teori Von Buri : faktor penyebab adalah semua faktor yang tidak dapat dihilangkan
dari rangkaian faktor-faktor yang lain (Conditio Sine Qua Non) atau kondisi yang
harus ada. Setiap faktor tidak dapat dikesampingkan (teori ekuivalensi).
Teori Von Kries : semua syarat yang ada dicari yang sepadan dan selayaknya (teori
adequaat). Hal yang dapat timbul dari peristiwa pidana sudah dapat diperkirakan atau
diketahui sebelumnya oleh pelaku.
Teori Rumelin : yang dimaksud penghitungan yang layak bukan hanya apa yang
diketahui pelaku, tetapi juga apa yang diketahui hakim walaupun tidak diketahui
pelaku (teori keseimbangan objektif).
Menurut Prof. Moeljatno hubungan sebab-akibat antara suatu perbuatan seseorang
dengan akibat, yang dalam hal ini dalam pencemaran lingkungan harus merujuk pada
ketentuan sebagai berikut :
1. Di dalam menentukan ada tidaknya suatu hubungan kausal harus dipertimbangkan
semua hal ihwal dan keadaan, bukan saja di sekitar perbuatan dan alat yang dipakai
untuk melakukan perbuatan pada saat sebelum terjadinya akibat, tetapi juga segala
hal ihwal dan keadaan disekitar korban yang bersangkutan yang (baru) diketahui
setelah terjadinya akibat.
2. Dalam hal mempertimbangkan ada tidaknya hubungan kausal dengan mengingat
semua hal ihwal dan keadaan yang (baru) dapat diketahui setelah terjadinya akibat,
yang menentukkan bukanlah akan atau logika manusia pada umumnya dan bukan
juga akan atau logika hakim yang memeriksa perkara, tetapi akal atau logika yang
dicapai melalui ilmu pengetahuan yang objektif, yaitu para ahli di bidang ilmu
pengetahuan yang memiliki kompetensi keahlian dalam hal menilai hubungan kausal
suatu hal yang menjadi keahliannya.
3. Untuk hukum pidana tidak semua faktor atau syarat harus diperhitungkan untuk
menjadi sebab dari suatu akibat, melainkan hanya hal-hal penting saja yang
memberikan pengaruh terhadap perubahan dalam proses keadaan alam yang menuju
pada arah mendekati akibat.
24
4. Faktor perubahan yang menjadi sebab tidak selalu berupa satu perbuatan (atau tidak
berbuat) atau kejadian, tetapi ada kalanya dapat juga terdiri dari dua perbuatan atau
lebih.
Dalam kasus waduk Saguling, kedua terdakwa dinyatakan bersalah dan memenuhi
unsur dalam dakwaan lebih subsidair lagi dari penuntut umum, yaitu pasal 44 ayat (1) jo
pasal 46 UU No.23/1997 jo. Pasal 55(1) ke 1 e KUHP. Pasal 44 ayat (1) berbunyi :
Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena
kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Unsur kausalitas sebagaimana telah disebutkan diatas, digunakan untuk mencari tahu
sebab dari sebuah akibat. Penekanannya ada pada akibat suatu perbuatan dimana delik
materiil terdapat dalam pasal 41 dan 42 UU No.23/1997. Kedua pasal ini menekankan pada
terjadinya pencemaran / perusakan lingkungan hidup tanpa memperhatikan tindakan apa yang
dilakukan untuk mencapai akibat tersebut. Pasal 41 diletakkan pada dakwaan primer
sedangkan pasal 42 digunakan penuntut umum dalam dakwaan lebih-lebih subsider.
IPAL (Instalasai Pengolahan Air Limbah) sangat dibutuhkan PT Senayan Sandang
Makmur mengingat sebagai usaha yang bergerak di bidang indusrti tekstil pastinya
menggunakan zat kimia dan mengeluarkan limbah cair yang oleh PT ke selokan pasir paku
yang arahnya menuju Waduk Saguling. Berdasarkan sampel yang telah diambil oleh pihak
berwenang di beberapa titik sekitar maupun dalam PT dan ditambah keterangan saksi ahli
Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri Bin H. Madani dan Ir Ari Sudijanto, MSE, ditemukan
pelanggaran jumlah batas maksimum zat tertentu, diantaranya kadar BOD dan COD serta
TSS PT Senayan Sandang Makmur telah melampaui batas maksimum untuk air limbah
tekstil. Begitu juga hasil temuan pada keadaan sungai yang menjadi ujung pembuangan PT
ini dimana melampaui kadar maksimum yang diperbolehkan sesuai SK Gubernur Jawa Barat
No. 39 Tahun 2000. Salah satu penyebab dilampauinya kadar yang diperbolehkan yaitu
karena limbah tidak dikelola melalui IPAL.
Jika disambungkan dengan teori Prof. Moeljatno maka dapat dikatakan sebagai
berikut : pencemaran memang terjadi di Waduk Saguling, salah satunya adalah karena
pembuangan limbah cair PT Senayan Sandang Makmur yang tidak melalui IPAL, melainkan
langsung dialirkan. Perlu diingat, selain limbah yang dihasilkan PT SSM, limbah rumah
tangga dan perusahaan lain juga dibuang ke saluran Pasirpaku. Menurut saksi ahli Drs. Ir.
25
Enri, limbah keluarga justru dapat meghasilkan limbah yang lebih tinggi kadarnya dari yang
dihasilkan PT SSM. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencemaran yang terjadi di
Waduk Saguling bukanlah sebab dari limbah cair buangan PT SSM semata sehingga
terdakwa tidak bisa dijerat dengan pasal 41 atau 42 UU No.23/1997.
Kesengajaan dalam hukum pidana disebut dengan dolus menurut Memorie van
Toelichting (MvT) yaitu willens and wetens (menghendaki dan mengetahui), yang artinya
seseorang yang melakukan perbuatan sudah menghendaki atas timbulnya suatu akibat yang
merupakan tujuan dan ia mengetahui jika perbuatan yang ia lakukan dapat berdampak
sebagaimana yang ia inginkan. Bentuk kesengajaan menurut doktrin ada tiga yaitu
kesengajaan sebagai tujuan, kesengajaan dengan keinsyafan kepastian dan kesengajaan
dengan keinsyafan kemungkinan. Jenis kesalahan selain kesengajaan yaitu kelalaian (culpa).
Culpa yaitu suatu kondisi dimana pelaku seharusnya tahu akan tetapi ia tidak tahu atau
mengetahui tetapi tidak cukup tahu. Culpa dapat dibedakan menjadi culpa yang disadari dan
yang tidak disadari.
Dihubungkan dengan kasus Waduk Saguling, terdakwa 1 selaku Direktur Utama PT
Senayan Sandang Makmur dan terdakwa 2 yang berkedudukan sebagai Kepala Bagian
Maintenance yang bertindak sebagai kepala Pelaksanaan Pengolahan IPAL. Penulis
berpendapat keterangan yang diberi kedua terdakwa ini terkesan saling melemparkan
tanggung jawab. Secara logika, kedua orang ini adalah mereka yang memegang peranan
penting di perusahaan dan itu mencakup mengenai IPAL dan limbah pabrik. Terdakwa 1
mengaku tidak mengetahui ada saluran air limbah By Pass sedangkan terdakwa 2 tidak
mengetahui adanya kebocoran. Kedua hal tersebut merupakan hal yang vital yang
berhubungan dengan limbah perusahaan dan apabila dilanggar maka hasilnya adalah
bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Penulis berpendapat kedua terdakwa kurang tepat dikenakan pasal 44 ayat (1) UU
23/1997. Tindakan terdakwa termasuk dalam culpa yang disadari dimana terdakwa sadar
akan akibat dari perbuatannya yaitu dapat mencemari lingkungan tetapi ia kurang hati-hati
dan tidak menghendaki pencemaran lingkungan (pencemaran bukanlah tujuan utama PT
SSM). Berdasarkan pengertian dari Mens Rhea terlihat bahwa kedua terdakwa mengetahui
bahwa bila limbah tidak melewati IPAL terlebih dahulu dapat terjadi pencemaran. Oleh sebab
itu, telah terjadi mens rhea. Hal ini dibuktikan dengan pasal yang terjerat yaitu pasal 44 UU
23/1997 yang terdapat unsur culpa yang menurut Utrecht menjadi salah satu unsur dari Mens
Rhea. Perlu diingat bahwa culpa yang disadari sangat mirip dengan kesengajaan, sehingga
sebenarnya kalau dianalisis maka Pasal 41 atau 43 pun sebenarnya sudah menjerat pelaku.
26
Beda Pasal 41 dan 43 adalah Pasal 41 adalah delik materil, ditekankan pada akibat,
sedangkan Pasal 43 adalah delik formil. Pasal 41 terpenuhi karena sengaja dan menimbulkan
akibat, sedangkan Pasal 43 juga pasti terpenuhi karena selain jika primer terbukti maka
subsider juga terbukti, juga perlu ditelaah di sini dalam hal ada beberapa perusahaan atau
rumah-rumah yang membuang limbah, maka secara formil PT. SSM yang “melakukan”
pembuangan tanpa melalui IPAL tersebut menjadi subjek yang paling tertuduh karena secara
sengaja melakukan pembuangan.
Beberapa alasan mengapa seharusnya hakim tidak hanya menghukum individu yang
yang berada dalam perusahaan tersebut tapi juga turut serta menghukum PT . SSM selaku
perusahaan atau badan hukum yang terlibat dalam kasus ini :
- Telah diatur pada pasal 46 UU NO 23 tahun 1997 bahwa Apabila sebuah perbuatan
pencemaran lingkungan dilakukan atas nama badan hukum, maka tuntutan diberikan
Terhadap Organisasi Maupun yang bertindak sebagai pemberi perintah atau
pemimpin
Dari hal tersebut dapat disimpulkan beberapa hal lagi sebagai berikut :
- Dalam Undang-Undang tersebut telah jelas disebutkan bahwa yang harus dituntut
apabila atas nama badan hukum adalah organisasinya dan pemberi perintah atau
pemimpin, terdapat kata maupun yang itu berarti kedua-keduanya baik organisasi
maupun individu yang terlibat harus dihukum bukan salah satu pihak saja.
- Kedua bahwa keterlibatan perusahaan tersebut telah jelas terbukti.
- Bahwa terhadap kasus ini yang diuntungkan secara langsung ialah perusahaan
tersebut itu sendiri bukan hanya individu yang terlibat, dan hal ini tidak akan terjadi
apabila bukan karena demi keuntungan perusahaan tersebut
- Secara yuridis apa yang terkandung dalam pasal 46 tersebut telah menyebutkan
bagaimana penyertaan pihak-pihak terkait perusahaan tersebut dengan jelas.
- Dan pasal UU terkait pasal 46 tersebut merupakan lex specialis dimana hakim
seharusnya dapat menyampingkan KUHP karena UU NO 23 Tahun 1997 telah
membahas secara detail mengenai tindak pidana pencemaran lingkungan terutama
pencemaran oleh korporasi dan bagaimana menuntut individu yang turut serta
terhadap terlaksananya pencemaran tersebut.
27
Daftar Pustaka
DUALISME TENTANG DELIK: SEBUAH KECENDERUNGAN BARU DALAM
HUKUM PIDANA INDONESIA (draft), http://hukumpidana.blogspot.com/2007/04/dualisme-
tentang-delik-sebuah.html diakses pada Minggu 6 Mei 2012 pukul 14.25 WIB
Dwikora, Buyung, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM
UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN
28
HIDUP. Abstrak Masters thesis, program Pascasarjana Universitas Diponegoro
http://eprints.undip.ac.id/16888/ diakses pada Minggu, 6 Mei 2012 pukul 17.18 WIB
Mengenal Hukum Pidana, http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/1918101-
mengenal-hukum-pidana/ diakses pada Minggu, 6 Mei 2012 pukul 12.47 WIB
Moeljatno., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,
Jakarta: Bina Aksara, 1983
-------------- Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Henry Campbell Black; Black’s Law Dictionary; West Publishing Co.; St. Paul
Minnessota; 1990; ed. 6.
Sally S. Simpson; Strategy, Structure and Corporate Crime; 4 Advances in
Criminological Theory 171; 1993
Satochid Kartanegara, HUKUM PIDANA:KUMPULAN KULIAH PORF. SATOCHID
KARTANEGARA DAN PENDAPAT2 PARA AHLI HUKUM TERKEMUKA, (Jakarta:Balai
Lektur Mahasiswa, 1999)
Andi Hamzah, PERKEMBANGAN PIDANA KHUSUS, (Jakarta:PT.Rineka Cipta,
1991)
http://lielylaw.multiply.com/journal/item/77/
Pengertian_Tindak_Pidana_Khusus_Dikaitkan_dengan_Pasal_63_ayat_2_KUHP_dan_Pasal
_103_KUHP?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem diakses pada tanggal 05 Mei
’12 14:57 PM.
29