pidana islam
DESCRIPTION
Hukum Pidana IslamTRANSCRIPT
PERSPEKTIF PIDANA ISLAMDALAM PENERAPAN SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIAOleh : Bambang Widiyantoro
A. Pendahuluan
Dalam konteks pemahaman hukum pidana di dalam
masyarakat seringkali tercampur perisitilahan pidana dengan
pemidanaan. Sehingga pemahaman terhadap kedua istilah tersebut
mengacaukan pemahaman terhadap fungsi dari keduanya. Pidana
(straaf) 1) merupakan penderitaan yang dijatuhkan dengan sengaja
oleh negara (melalui pengadilan), pada seseorang, yang secara sah
telah melanggar hukum pidana, melalui proses peradilan pidana.
Halim 2) menyatakan tindak pidana (delik adalah) : “Suatu perbuatan
atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh
Undang-undang (pidana).” Prof. Moeljatno, SH, beliau menggunakan
istilah perbuatan pidana, mengatakan bahwa suatu perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan
perbuatan yang oleh satu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,
asal saja alam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada
perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
1) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 1.2) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 7.
1
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada
orang yang menimbulkan kejadian itu.3)
Hazewinkel-Suringa mengartikan tindak pidana (strafbaarfeit) sebagai:
“Perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh UU. Suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.”
Sedangkan pemidanaan bisa diartikan sebagai proses, cara,
perbuatan memidana atau tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Pengertian pemidanaan
(hukuman) dalam istilah Arab sering disebut uqubah, yaitu bentuk
balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar
ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk
kemaslahatan manusia. Adapun hukuman secara bahasa berarti
siksa, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, bahwa kata hukum
biasanya diungkapkan dengan kata “siksa”. Misalnya Firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :
�د� �لع�ب و�ا �ح�ر �ال ب �ح�ر� ال ��لى �قت �ل ا ف�ي �ق�ص�اص� ال �م� �ك ع��لي �ب� �ت ك �وا آم�ن &ذ�ين� ال �ه�ا أي �ا ي��ثى �األن ب ��ثى و�األن �د� �ع�ب �ال ب
� �ك� ذل ان/ �ح�س� �إ ب �ه� ��لي إ و��أد�اء6 وف� �م�ع�ر� �ال ب �اع6 ب ف�ات ي�ء6 ش� أخ�يه� م�ن� له� ع�ف�ي� فم�ن��يم6 أل ع�ذ�اب6 ف�له� �ك� �ع�د� ذل ب �د�ى اع�ت فم�ن� ح�م�6ة و�ر� كم� ب ر� م�ن� �خ�ف�يف6 ت
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hambah dengan hamba dan wanita dengan wanita, Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendak (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
3) Tofik Yanuar Chandra, Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Jayabaya, tanpa tahun.
2
maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Selain kata azab di ayat tersebut, ada juga kata lain yang berarti sama
dengan siksaan yaitu kata “iqa>b” sebagaimana Firman Allah dalam
surat Ar-Ra’d ayat 6 :
�ن& و�إ �م��ثالت� ال �ه�م� �ل قب م�ن� خ��لت� و��قد� �ة� ن �ح�س� ال ل &�ئة� قب� ي �الس& ب �ك� �ع�ج��لون ت �س� و�ي�لع��قاب� ا د�يد� لش� &ك� ب ر� �ن& و�إ �م�ه�م� ظ�ل ع��لى &اس� �لن ل ة/ م�غ�ف�ر� ذو ل &ك� ب ر�
Artinya: “Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksaNya.”
Sedangkan hukuman seperti yang didefenisikan oleh Abdul Qadir
sebagai berikut: �ان� ع�ص�ي ع��لى �لج�م�اع�ة� ا �م�ص��لح�ة� ل ر� �لم��قر& ا اء� �لج�ز� ا ه�ي� ��ة �لع��قو�ب ا
ار�ع� الش& �أم�ر�
Artinya: “Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk
memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran
atas ketentuan-ketentuan syara”.
Dari beberapa bahasan tersebut dapatlah di pahami bahwa hukuman
adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai
pembalasan perbutan yang melanggar syara’, dengan tujuan untuk
memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga
untuk melindungi kepentingan individu Maksud pokok hukuman
adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia yang
menjaga mereka dari hal-hal mafsadah, karena Islam itu sebagai
3
rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada
manusia.
Adapun syarat adanya pemidanaan adalah adanya ketentuan
perundang-undangan yang mengaturnya (syar’i), ada pelaku pidana
(maddi) dan adanya perbuatan pidana (adabi). Di dalam Islam dikenal
prinsip-prinsip dalam pemidanaan yaitu :
1. Harus sesuai dengan hukum Islam,
2. ada bukti,
3. bukan balas dendam,
4. bertujuan untuk kemaslahatan dan
5. hati-hati dalam pelaksanaan pemidanaan.
Tujuan pemidanaan sendiri dapat dikaji dalam perspektif Al-
Qur’an, hukum Islam dan tujuan hukum pada umumnya. Menurut Al-
Quran tujuan pemidanaan dapat berarti :
1. Penghinaan di dunia, maupun siksaan, baik di dunia maupun
akhirat, sebagaimana diberikan kepada pelaku perampokan (QS.
Al-Maidah (5) : 33)
2. Siksaan di dunia, maupun pembalasan, baik di dunia maupun
akhirat, sebagaimana diberikan kepada pelaku pencurian (QS. Al-
Maidah (5) : 38)
3. Pembalasan (qisas) di dunia, maupun sebagai azab, baik di dunia
maupun akhirat, sebagaimana diberikan kepada pelaku
pembunuhan dengan segaja (QS. Al-Nisa (4) : 42)
4
Hukum Islam karena bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist mempunyai
tujuan pemidanaan yang berkaitan dengan :
1. Pencegahan umum dan khusus
Terhadap tujuan pemidanaan ini dapat diberikan sanksi yang berat
yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut, penderitaan,
penyesalan dan menjerakan, misalnya dengan pidana mati (rajam
atau salib), amputasi anggota tubuh, qisas dan hukuman cambuk.
2. Pembinaan maupun memperbaiki perilaku manusia
Terhadap tujuan ini diberikan sanksi pidana yang ringan, misalnya
dalam bentuk pembuangan, penahanan, pemasyarakatan dan
pemenjaraan.4)
Tentang tujuan pemidanaan secara umum dapat
dikelompokkan menjadi 3 yakni:
1. Teori Absolut
Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan
atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada
perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori
ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan
yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga
sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
2. Teori Relatif (tujuan)
4) Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2012, hlm. 11.
5
Teori ini memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan
yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya,
yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan,
maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari
teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana
pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada
pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat.
Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu
preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention)
untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku
kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence)
untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa
dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang
3. Teori Gabungan.
Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural,
karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan)
dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda,
dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh
pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab
tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak
pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi
atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
6
Dalam hukum pidana tentang pemidanaan diatur dalam Pasal
10 KUHP yang mengenal beberapa jenis pidana sebagai yaitu :
1. Pidana pokok:
a. pidana mati,
b. pidana penjara,
c. pidana kurungan,
d. pidana denda.
2. Pidana tambahan:
a. pencabutan hak-hak tertentu,
b. perampasan barang-barang tertentu,
c. pengumuman putusan Hakim.
Dalam KUHP konsep Bab III Buku I Pasal 65 dikenal beberapa
macam pidana, yaitu :
a. Pidana Pokok
1. Pidana penjara
2. Pidana tutupan
3. Pidana pengawasan
4. Pidana denda
5. Pidana kerja sosial
b. Pidana Tambahan :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan
3. Pengumuman putusan hakim
4. Pembayaran ganti kerugian
7
5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat
B. Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh
jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum nengenai tindak
pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang
mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari
pemahaman atas dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis.
(Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan kriminal adalah tindakan
kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan
melawan peraturan perundang-undangan.
Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang
mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan
akhirat. Syariat dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban
asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban
asasi syariat, yaitu menempatkan Allah SWT sebagai pemegang
segala hak-hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada
pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban
memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT dimaksud, harus
ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain. Al-Quran
merupakan penjelasan Allah SWT tentang syariat, sehingga disebut
Al-Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar
mempunyai empat cara dan sala satunya adalah Allah SWT
8
memberikan penjelasan dalam bentuk nash (tekstual) tentang syariat
sesuatu, misalnya: orang yang membunuh tanpa hak hukumnya harus
dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan.
Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus
pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang berstatus janda atau
duda dan/ atau sudah menikah hukumannya adalah dirajam.
Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar,
pencurian, perampokan, penuduhan berzina, dan orang murtad. Hal-
hal seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Al-Quran.
Pemahaman jarimah (Al-jarimah, delik atau perbuatan pidana
atau tindak pidana) merupakan perbuatan yang dilarang syara’ dan
pelakunya diancam oleh Allah SWT dengan hukuman hadd (bentuk
tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya
di delegasikan syara’ kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud
dengan larangan syara’ adalah melakukan perbuatan yang dilarang
dan diancam hukuman oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan dan diancam hukuman oleh syara’ bagi yang
meninggalkannya.
Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan jinayah (al-
jinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang
dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu,
jinayah bersifat umum, meliputi seluruh perbuatan pidana.
Berdasarkan pengertian inilah ulama fikih menggunakan istilah “fikih
jinayah” sebagai salah satu bidang ilmu fikih yang membahas
9
persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut Abdul
Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan
perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta
atau yang lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk
pelanggaran yang menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu
pembunuhan, pemukulan, dan ijhad.
Sedangkan, sebagian ulama lainnya, membatasi pengertian jinayah
pada jarimah hudud dan jarimah qisas. Dengan demikian, istilah
jarimah dan jinayah dalam terminologi syara’ adalah sama. Oleh
karena itu, penamaan fikih jinayah sebagai bidang ilmu yang
membahas berbagai bentuk perbuatan/tindak pidana dalam Islam
dewasa ini adalah benar, dan sejalan dengan pengertian dan
kandungan jarimah.
Al-Qanun al-Jaza’I adalah Undang-undang yang mengatur
balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jaza’i
disebut juga al-qanun al-‘uqubat (dari kata al-‘uqubah yang berarti
hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu
hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan
negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam,
pembahasan al-qanun al-jaza’i termasuk kedalam ruang lingkup fikih
jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang
hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya
adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang
lain.
10
Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jaza’i mencakup
segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan
hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/
tindak pidana tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu
jarimah hudud, qisas/diat dan takzir. Masing-masing mempunyai
sanksi atau ancaman hukuman yang berbeda-beda.
1. Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan).
Hudud adalah ketentuan perbuatan pidana yang telah ditetapkan
Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi hukuman terhadap
pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain
pencurian (QS.5:38), zina (QS.24:2), dan menuduh orang lain
berzina (QS.24:4). Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya
melaksanakannya saja sesuai yang dijelaskan nas.
2. Qisas/diat
Qisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan
macamnya oleh Allah SWT, tetapi pelaksanaanya diserahkan
sepenuhnya kepada manusia. Jadi manusia memiliki dan
mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan
dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut.
Qisas/diat berhubungan dengan masalah jiwa dan raga seseorang,
seperti pembunuhan dan penyiksaan. Dalam hal ini, apabila terjadi
pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga korban berhak
memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku
dengan hukuman yang serupa (qisas) atau meminta denda sebagai
11
penyesalan dari pihak pelaku kepada keluarga korban (diat).
Bahkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku tanpa menuntut
balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari saksi hukuman
(QS.2:178).
3. Takzir
Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak
dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap
pelaku. Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan
hukuman takzir ini adalah pemerintah (melalui Hakim Pengadilan).
Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan
kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup
luas. Selain yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunah,
pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman
takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk
hudud dan qisas/diat. Sebagai ‘ulill-amri, pemerintah berhak
memutuskan sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi
masyarakatnya. Di sinilah peluang pemerintah untuk merumuskan
undang-undang hukum pidana yang dengan semangat nas. Karena
itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu
ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas
yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini yaitu :
a. Asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut ke belakang,
artinya, tidak ada satu perbuatanpun yang dapat dihukum
kecuali ada undang-undang yang mengaturnya.
12
Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang
dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat
dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak
dapat menafsirkan secara luas nas Al-Qur’an maupun As-
Sunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak
boleh menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam.
Jika dikaji ketentuan pada hukum pidana umum (KUHP)
dengan pidana dalam hukum Islam, maka terdapat sinkronisasi
diantara keduanya :
1. Qisas
a. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, merupakan
kejahatan terhadap jiwa atau hilangnya nyawa, sehingga dapat
diberikan sanksi pidana : mati, penjara seumur hidup atau
penjara 20 tahun.
b. Pasal 140 (3) KUHP, tentang kejahatan terhadap negara
sahabat dan kepala negara/wakilnya pada tindak pidana
pembunuhan. Sanksi pidananya : pidana mati, penjara seumur
hidup atau penjara 20 tahun.
c. Pasal 444, KUHP, tentang kejahatan pelayaran pada
pembajakan yang berakibat hilangnya nyawa. Sanksi pidananya
: pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.
13
d. Pasal 302 ayat (3) KUHP tentang terorisme (matinya orang).
Sanksi pidananya : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara
20 tahun, atau minimal lima tahun.
Pasal-pasal tersebut adalah qisas sesuai (QS. Al-Baqarah (2): 178)
dan al-Maidah (5): 45)
2. Takzir
a. Pasal 242 KUHP, tentang sumpah dan keterangan palsu.
Sanksi pidananya : penjara tujuh sampai sembilan tahun
b. Pasal 310-321 KUHP, tentang penghinaan. Sanksi pidananya :
penjara sembilan bulan sampai satu tahun empat bulan.
c. Pasal 332-333 KUHP, tentang membuka rahasia. Sanksi
pidananya : penjara tujuh sampai 12 tahun.
d. Pasal 375 KUHP, tentang sumpah/keterangan palsu. Sanksi
pidananya : maksimal penjara tujuh sampai sembilan tahun
e. Pasal 457-459 KUHP, tentang pembocoran rahasia. Sanksi
pidananya: pidana penjara maksimal lima tahun, minimal satu
tahun.
f. Pasal 508 KUHP, tentang perbuatan curang (penipuan). Sanksi
pidananya adalah penjara empat tahun.
3. Hudud
a. Pasal 199 KUHP, tentang Makar menghilangkan nyawa,
merampas kemerdekaan dan menjadikan tidak cakap presiden
dan wakilnya. Sanksi pidananya adalah pidana mati, penjara
seumur hidup, penjara 20 tahun, atau minimal lima tahun.
14
b. Pasal 204 KUHP, terkait hubungan Negara/organisasi asing
untuk memusuhi negara Indonesia. Sanksi pidananya adalah
pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau
minimal penjara lima tahun.
c. Pasal 218 ayat (3) KUHP, terkait menyerahkan kepada musuh,
menghancurkan tempat penjagaan sebagai perbekalan perang
Indonesia dan disersi di kalangan tentara. Sanksi pidananya
adalah pidana Mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun,
atau penjara minimal lima tahun.
d. Pasal 231 ayat (2) KUHP, tentang Makar menghilangkan
nyawa, merampas kemerdekaan presiden dan wakil negara
sahabat yang berakibat matinya. Sanksi pidananya adalah
pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau
paling singkat tiga tahun.
Jika dikaji dalam KUHP konsep maka juga terlihat adanya sinkronisasi
dengan hukum pidana Islam ini.
Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana
langsung merujuk kepada petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Disamping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim
yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam
perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap
pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi
SAW. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan
dilanjutkan oleh Al-Kulafa’ar-Rasyidun sebagai pemimpin umat Islam,
15
yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang
oleh khalifah sendiri.
C. Penerapan Pidana Islam Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia
Berbicara tentang penerapan syariat Islam, tidak terlepas pada
berbagai gerakan-gerakan Islam yang tidak pernah lelah
menyuarakan diberlakukannya syariat Islam, mulai dari yang
tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang
menginginkan penerapan itu sekarang juga, sampai pada yang
memberikan toleransi terhadap penerapan secara bertahap atau
setelah siap infrastrukturnya.5) Ini menunjukkan bahwa dikalangan
internal Islam sendiri terdapat berbagai versi yang muncul dengan
berbagai aspirasi dalam menanggapi isu diberlakukannya syari’at
Islam di Indonesia.
Perdebatan mengenai peluang penerapan syariat Islam di
Indonesia, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah
berkesudahan sejak sidang BPUPKI/PPKI pada tahun 1945. Pada
masa pasca Orde Baru, masalah ini muncul kembali melalui
perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD. Dua fraksi
partai Islam yaitu Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan
Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) dalam pemandangan umum
bersikeras untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam Batang
Tubuh UUD 1945, khususnya pasal 29.6)
5) http://www.menaraislam.com6) Lihat, Arskal Salim, Penerapan Syariat Bukan Negara Islam, dalam http://www.islamlib.com
16
Penerapan hukum Islam atau syariah sebetulnya bukanlah hal
baru. Telah sejak lama hal tersebut dipraktekkan oleh beberapa
negara muslim, seperti Arab Saudi, Afghanistan, dan Sudan. Pada
tingkat lokal, syariat Islam juga diberlakukan di Zamfara, sebuah
provinsi di Nigeria. Undang-undang Islam di negara-negara ini secara
keras diberlakukan, terutama menyangkut hukum pidana (hudud).
Agaknya, persoalan pidanalah yang menjadi ciri khas apakah sebuah
negara muslim dianggap menerapkan syariat Islam atau tidak.
Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber
hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum Islam dan
hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba untuk
mejadi hukum nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum.7)
Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan
warga negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif tata
hukum Indonesia, fungsi negara adalah melindungi setiap agama dan
pemeluknya melalui penjaminan pelaksanaan ibadah, memberikan
dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat beragama.
Agama haruslah menjadi landasan moral, karenanya setiap peraturan
dan perundang-undangan yang bertentangan dengan moral dan
agama seharusnya dikesampingkan. Secara normatif, menjalankan
syariat Islam secara kaffah merupakan perintah Allah, dan
7) A. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Edisi: I, Ghalia Indonesia, Bogor, April 2006), h. 9
17
mengabaikannya dikategorikan sebagai manusia kafir, zalim, atau
fasik.8)
Dalam benak beberapa kelompok Islamis, hukum Islam
memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama
menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i.
Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut
bisa dianggap sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat Islam
secara luas nampaknya kurang begitu bersemangat dengan isu
penerapan hukum Islam ini.
Beberapa konsep dimungkinkannya penerapan hokum di
Inonesia adalah
1. Syariat Islam tentang penataan hukum
Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada
Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah
teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan
diberlakukan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan
masyarakat serta keseimbangan antara kewajiban dan hak. Syariat
Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia sampai
akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu
negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam.
Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang
8) Lihat Ibdi, h. 2. “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, (Q.s; al-Maidah/5:44). “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”, (Q.s; al-Maidah/5:45), “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”, (Q.s; al-Maidah/5:47).
18
merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum
berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari
segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan
merupakan prinsip yang wajib diberlakukan.9)
Secara konseptual terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang
mencakup penataan dan penerapan hukum Islam bagi orang Islam.
Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada orang yang
beriman agar menjalankan hukumnya.10)
Para ahli hukum di Indonesia mempelajari tentang teori-teori
penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku
di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori ini
menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk,
masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator
bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama
Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan
rasul-Nya.11)
Membicarakan tentang teori-teori permberlakuan hukum Islam,
maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur-
unsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari
hukum nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya
politisasi hukum yang dilakukan oleh kolonial Belanda kearah
9) H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991), h. 95-14910) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 6711) Ibid, h. 68
19
mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya,
menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan
dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum
Indonesia.12)
Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran,
bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia
ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran
tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari
Allah sebagai pencipta syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku
untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik,
dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Qur’an itu memerlukan
penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis.
Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam
bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah.13)
Manakalah terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan hukum yang
dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya dalam al-Qur’an dan as-sunnah,
maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia,
melalui metode ijtihad.
Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap
orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah.14)
12) Ibid. 13) Ibid.14) “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah/2:208)
20
Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang
penataan dan penerapan hukum Islam, menegskan bahwa orang
Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan
rasul-Nya serta kepada pemerintah. Orang Islam tidak dibenarkan
mengambil pilihan hukum lain manakala Allah dan rasul-Nya telah
menetapkan hukum yang pasti dan jelas.15) Apabila mengabil
pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan
fasik.16) Oleh karena itu dari segi syariat Islam semestinya berlaku
teori penataan hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum
Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah.
Oleh karena itu tanpa dikaitan dengan keberadaan hukum di
masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada prinsip
bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata
dalam masyarakat ada norma-norma hukum adat atau hukum
Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka
akan muncul masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang
akan diterapkan dalam lingkungan masyarakat, hal ini sangat
tergantung pada politik hukum pemerintah atau politik hukum dalam
konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pemerintah
dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori
15) “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. al-Ahzab/33:36)16) “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, (Q.s; al-Maidah/5:44). “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”, (Q.s; al-Maidah/5:45), “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”, (Q.s; al-Maidah/5:47)
21
penataan hukum atau prinsip syariat Islam juga.17) Dalam posisi ini,
maka ketaatan terhadap pemerintah dalam memberlakukan hukum
positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat, bagi
umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak
bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.
2. Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang
orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds
of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto18) bahwa orang Islam jika
menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas
hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara
sosilogis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas
hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun
ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat
bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing.
Selain Gibb, Charles J. Adams,19) mengungkapkan bahwa hukum
Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena
sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan
kehidupan muslim. Berbeda degan cara mempelajari hokum-hukum
lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan khusus,
17) “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ((Q.s; an-Nisaa’/4:59)18) H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 11419) Charles J. Adams, dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet:VII, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 1999), h. 11
22
sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa
yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga
termasuk masalah sosial lain diluar wilayah yang dikatakan law itu.
Sebagai sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah
menerima Islam, semua orang Islam akan terus menjalankan
syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit
memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi
tuntutan hukum dan moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat
Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme ajaran atau
ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya
sampai mati.20)
Dari gambaran diatas terlihat bahwa hukum Islam tidak dapat
dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat Islam. Bahkan sebagaimana dikatakan Gibb bahwa
hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya
masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama
bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima Islam
sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas
serta kekuatan mengikat hukum Islam terhadap mereka.
3. Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu (RIC)
Teori Receptie in Complexu diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk
Willem Christian Van den Berg yang mengatakan bahwa, bagi
orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah
20) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 73
23
memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat
penyimpangan-peyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum
kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-
hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam.21)
Teori Receptie in Complexu (RIC) menyatakan bahwa hukum adat
bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi
menurut teori ini bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang
beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi
penduduk asli yang beragama Khatolik adalah hukum Khatolik,
demikian juga bagi penganut agama lain.22)
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan
orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan
ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini
telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van
Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het
Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie.23)
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca
kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum
Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas
hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum
Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi
juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi.
21) Ibid, h. 73-7422) http://makalahdanskripsi.blogspot.com, Makalah Hukum Islam I ( teori receptio in complexu) 23) Ibid.
24
Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem
hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara
legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam
mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat
pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-
undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih –
yang dianggap representative telah disahkan oleh pemerintah
Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.24)
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan
nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga
peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini
mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka
kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung
(subtansi hukumnya).
4. Syariat Islam dan Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh Prof. Christian Snouck
Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa bagi
rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, hukum Islam
berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh
masyarakat sebagai hukum adat.25)
24) Ibid.25) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 78
25
Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya
pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani
yang berpengaruh di Indonesia. Beliau menyampaikan usul kepada
pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam,
yang dikenal dengan Islam Policy. Rumusan kebijakan terhadap
hukum Islam antara lain :
a. Dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda
hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan penuh
tanpa syarat bagi orang Islam.
b. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia
Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan
rakyat yang berlaku.
c. Dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya
ideologi yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan
Islamisme, yang mempunyai tujuan mencari kekuatan-kekuatan
lain dalam mengahadapi pemerintah Hindia Belanda.26)
Menurut Dr. Alfian,27) teori receptive berpijak pada asumsi dan
pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan
yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka
penjahahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak
akan timbul guncagan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus
mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum
26) Abu Bakar Aceh, dalam, H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 12427) Alfian (editor), Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh, (LP3S, Jakarta, 1997), h. 207-209
26
adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk
mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.
Melalui kebijakan ini, Hurgronye telah berhasil meminimalisasi
hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup
di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat
rendahan.
5. Syariat Islam dan Teori Receptie Exit
Teori Receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye mendapat
tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah oleh
Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah
satu penentangnya adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa
setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, melalui Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan
bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama
jiwanya tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan
perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang
mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak berlaku lagi
karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie
harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Hazairin menyebut teori Receptie adalah “teori iblis”.28)
Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori
Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa; (1) teori
Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara
28) H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 127-128
27
Indonesia sejak tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD. 1945 pasal 29
ayat 1, maka Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional
yang salah satu sumbernya adalah hukum agama, (3) sumber
hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi
pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata
maupun hukum pidana sebagai hukum nasional.29)
Pemikirian Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman
dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang sejalan
dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori
Penataan otoritas hukum dan juga mempertajan teori receptive in
complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya
terhadap kebijakan hukum Islam di Indonesia.
Pemikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus
merupakan upaya menentang atau meng-exit teori receptive yang
memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima
sebagai hukum bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus
exit dari sistem hukum nasional karena dianggap bertentangan
dengan al-Qur’an dan sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi
negara Indonesia.
6. Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, yang mengemukakan
perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan
dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia.
29) Ibid.
28
Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang
kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan
hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang
berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai
berikut :
a. bagi orang Islam berlaku hukum Islam,
b. hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-
cita batin, dan moralnya,
c. hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan
dengan agama Islam dan hukum Islam.30)
Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang
kebalikan dari teori receptive. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di
Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada Pancasila dan UUD.
1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum
agamanya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, aturan-aturan
itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan
norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat
bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang
30) Selengkapnya lihat, H. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Bina Aksara, 1980), h. 15-70
29
Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan
Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.31)
Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan
keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori receptio a
contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan
hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
7. Syariat Islam dan Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A,32) yang
berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan
hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya
hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan,
bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum
nasional ialah sebagai berikut ;
a. merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia,
b. keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh
hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional,
c. norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan
d. sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional
Indonesia.
31) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 8532) Teori Eksistensi ini adalah hasil pemikiran Ichtijanto yang ditulis dalam sebuah judul: Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, salah satu subjudulnya: Hukum Islam Ada dalam Hukum Nasional (Teori Eksistensi). Lihat, Cik Hasan Bisri, Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan, (Rosda Karya, Bandung, 1991), h. 137
30
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan
perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum
Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan
hukum Islam yang berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak,
sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya besar Islam, selalu ditatai
oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan
yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional,
maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis
dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.33)
Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak
melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku
saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan
hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam
yang tercantum dalam hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada di
dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya.
Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan
terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai
bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-
undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan
perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum
Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih
33) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 89
31
tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan,
seperti isra miraj, nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.
Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya, ada yang disebut
hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum positif adalah
hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang
di cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum
menjadi hukum positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di
Indonesia yang menjadi hukum positif hanya yang berkaitan dengan
hukum privat, yaitu ubudiah dan muamalah. Sedangkan yang
berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih
menjadi hukum yang di cita-citakan.
Persoalan seputar penting tidaknya syariat Islam dilegislasikan
menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang kerap
melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu
banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat
dipastikan bahwa pendapat para ahli tersebut banyak dipengaruhi
oleh faktor-faktor politis, sosiologis, kultural, ideologis, dan religiositas.
Azyumardi Azra34) misalnya, dalam menanggapi soal kemungkinan
positifasi syariat Islam menjadi hukum nasional, mengungkapkan
bahwa, yang harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam Indonesia
yang bukan merupakan realitas monolitik, tapi adalah realitas yang
beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya,
keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas
34) Lihat, wawancara Azyumardi Azra, dalam http://www.islamlib.com
32
sosilogis ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas.
Artinya hukum Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin
juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan masyarakat muslim
yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak
sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu, menurut Azyumardi Azra, perbedaan mazhab fikih
juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa di dalam soal
fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari dulu
sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di
dalam fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi
soal hukum rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut
berpendapat, hukum rajam adalah hukuman maksimal. Padahal kalau
hukum rajam itu menjadi hukum yang maksimal, maka salah satu
filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat hukum adalah
menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena
kalau hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari
hukum menjadi hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.35)
Juhaya S. Praja, pendapatnya dalam merespon wacana
dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam
kerangka sistem hukum nasional mengatakan bahwa, walaupun
dalam praktek tidak lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam
masih memiliki arti besar bagi kehidupan pemeluknya. Setidaknya,
ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja menyebabkan hukum
35) Ibid.
33
Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa.
Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang
mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa
yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah,
anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan
hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi
bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang
masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga
peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan
yang masih mempunyai pengaruh cukup besar. 36)
Pendapat yang berbeda disampaikan Habib Riziq Shihab,
menurutnya penerapan hukum Islam harus formalistik-legalistik
melalui institusi Negara. dikatakan bahwa syariat Islam secara formal
harus diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial. Tidak
ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya
ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang penting
substantinya, formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi,
maka substansi bisa diamalkan. Juga diungkapkan pendapat Imam al-
Ghazali yang berbicara tentang tata Negara Islam, bahwa “agama
adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang
tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti
36) Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, (Rosda Karya, Bandung, 1991), h. xv
34
akan hilang.” Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh memisahkan
agama dengan kekuasaan.37)
Syariat Islam selama ini masih dipahami oleh sebagian orang
sebagai hukum normatif yang tidak mempunyai sanksi yuridis atau
kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang bersifat normatif
hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan
sanksi moral dari masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat
Islam sebagai hukum Islam diserahkan kepada tingkat akidah
seseorang. Hal itu menjadi kontraproduktif ketika bengsa ini hendak
memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Kesalahpahaman
tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral
ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan
sebagai tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah
kepada umat manusia untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Kekuatan
syariat Islam dalam menata ketertiban dan kedamaian masyarakat
selain yang bersifat normatif dalam bidang ubudiah dan muamalah,
juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar segala hak-hak
masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Oleh karena itu, hukum
pidana Islam sebagai hukum publik harus dilegislasi menjadi hukum
positif.38)
37) Lihat wawancara dengan Khamami Zadan dan Efendi Edyar bertajuk Jika Syariah Islam Jalan, Maka Jadi Negara Islam, dalam LAKPESDAM-TAF, Tashwirul Afkar, (Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan), (Edisi No. 12, tahun 2002), h. 99-10038) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, h. 96
35
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau
kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam menyangkut
penerapan pidana Islam di Indonesia ;39)
1. Jumlah umat Islam cukup signifikan.
2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan
diterapkannya syariat Islam.
3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan
Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga
mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara
alternatif itu ialah Islam.
4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-
partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka
menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya
bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam
atas kembalinya masa kejayaan mereka.
Adapun hambatan-hambatan dalam usaha penerapan syariat
Islam menyangkut penerapan pidana Islam di Indonesia adalah :
1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal
memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah
para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama
yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka
senantiasa menyebarluaskan pandangan yang negatif tentang
39) www.menaraislam.com, Strategi Menuju Penerapan Syariat Islam
36
Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam
dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi
pengungkungan kaum wanita dan kekerasan).
2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis
kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena
akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering
disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam
disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena
belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan
pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam
disebut sebagai ahlul jahl.
4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga
berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula
muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam
dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-
beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan
apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama
lain.
Jika dikaji kembali dari keseluruhan pembahasan yang ada
sebelumnya, maka hasil akhir yang diinginkan adalah munculnya
keadilan Islami dan Maqasid Al Syariah di Indonesia.
Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang
keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan
37
buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung
pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui
baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-
perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul.
Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang
bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan
keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua
mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu : mu`tazilah dan
asy`ariyah.
Pandangan dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai
yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil.
Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional
yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada wahyu.
Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga
mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif.
Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter
khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia
sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang
lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan
Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu
dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi
dalam kemampuan individu. Keadilan Islam berpihak pada kesamaan
kesempatan dan mendorong kompetisi. Keadilan Islam menjamin
38
kehidupan minimum bagi setiap orang dan menentang kemewahan,
tetapi tidak mengharapkan kesamaan kekayaan.40)
Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya
dalam merumuskan hukum Islam.41) Sementara menurut Wahbah al
Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang
tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya.
Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan
rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan
hukum.42) Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu,
yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.43)
Maqasid Al Syariah, yang secara substansial mengandung
kemashlahatan, menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut
pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al
mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al
Syariah mengandung empat aspek, yaitu:44)
1. Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan
manusia di dunia dan akhirat.
2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
40) http://diqa-butarbutar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html 41) Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 hal.29242) Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 hal. 22543) Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 22544) Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hal.43
39
4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan
hukum.
Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah
mengandung empat aspek pula, yaitu:45)
1. Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan
relativitas atau keabsolutannya.
2. Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan
oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa
dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan
kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan
kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara
menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah
(bisa dipahami orang awam).
3. Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan,
kesulitan dan lain-lain.
4. Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan
ta'abud.
Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua
macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah
dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Tetapi dalam
pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk
memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal
yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam
45) Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997 hal 251
40
menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun
akhirat.46)
Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam
lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang
mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan
setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.47)12
Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini,
dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat
dan al tahsinat.48)
1. Kebutuhan dhoruriyat
Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut
juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak
terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik
di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang
termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa,
kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal
pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum
apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak
lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti
kewajiban qisas: تتقون لعلكم األلباب يأولى حياة القصاص فى ولكم
46) Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71 47) Ibid. hal. 110.48) Ibid, baca juga: Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal 292-294.
41
Artinya : "Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu hai orang-orang yang bertakwa" 48)
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena
dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat
dihilangkan.
2. Kebutuhan al hajiyat
Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai
terancam. Namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam
menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah
(keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan
contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh
pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda)
bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan
hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena
terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
3. Kebutuhan al tahsinat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi
salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan
kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa
kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal
yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal
yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan
48) Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.
42
yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai
bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah
SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan
kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke
masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan
penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.
Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:49)
1. Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan
dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas.
Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah
pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya
diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan
serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan
tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin
keselamatan jiwa, dan lain-lain.
2. Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat
mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga
mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada
suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia,
meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah
membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di
siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus
berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini
49) Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153
43
diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau
memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang
gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya.
Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah
kemashlahatan agama.
3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait
dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh
untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-
barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul
kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh
diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan
mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli,
nikah, hibah dan lain sebagainya.
Al Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:50)
1. Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di
dunia ini dan di akhirat.
2. Syari' menghendaki masalih harus mutlak
Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah
dilembagakan harus abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam
hubungannya dengan segala macam kewajiban (takalif), subjek
hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).
Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan
universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif
50) Muhammad Khalid Mas'ud, Op.cit. hal. 238.
44
dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan
suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi,
keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan
individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah
akan makna relatif dan subjektif, yang bukan merupakan
pertimbangan syari' dalam mashlahah, meski mungkin
dipertimbangkan dalam budaya adat.
Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh
takhalluf (memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman
diberlakukan berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya
hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan
mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak
dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan
orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan
umum tentang hukuman.
Kemashlahatan asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu
yaitu terciptanya penghambaan seorang mukallaf kepada Allah dan
ma'rifat billah.51) Al Buthi mendasarkan pada dalil :
الدنيا من نصيبك تنس وال األخرة الدار الله أتاك فيما .......وابتغ
Artinya : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …".52)
51) Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.52) Al qur'an: Al Qashash 77.
45
Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa
pernyataan la tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia
yang berfaedah bagi akhiratnya.
Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan
dua hal yang keluar dari kriteria mashlahah:53)
1. Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan
penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari
ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina, melampaui
batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara' dan
lain-lain.
2. Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi
mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik
berdasar hadits: "innamal a'malu binniyat".
Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya
bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana
Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah
mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar
kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang
universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang
diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.
Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan
karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam
masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal:54)
53) Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.54) Ibid, hal 108.
46
1. Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial
dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim
sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas
ulama.
2. Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al
Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu
dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari
kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran
substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.
Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu
alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits,
menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum
terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al
Hadits.55)
Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini,
menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum
tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa
metode pengambilan hukum. Namun begitu, hampir keseluruhan
metode yang dipertentangkan/ tidak disepakati oleh ulama, adalah
karena faktor pengaruh teologi.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, dapat dikatakan
bahwa syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang
55) Taufik Abdullah (ketua editor), op cit. hal 294
47
dilaksanakan secara ritual saja, tetapi merupakan pragmatisme ajaran
yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia dalam mencapai
keadilan dalam ke-Islaman dan Maqasid Al Syariah.
Khususnya di Indonesia, menyangkut pelangsanaan pemidanaan, bila
syariat Islam tidak dapat dilaksanakan secara kolektif melalui
formalisasi atau otoritas negara, maka syariat Islam harus
dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah. Pelaksanaan
syariat Islam secara individual memang hanya bisa pada tataran
normatif yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan
penegakan hukum Islam yang berhubungan dengan hukum publik,
memang tetap mesti ada campur tangan negara, tentunya dengan
mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis sehingga dapat
mendukung proses implementasinya.
48
DAFTAR PUSTAKA
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005).
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002)
Tofik Yanuar Chandra, Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Jayabaya, tanpa tahun.
Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2012.Arskal Salim, Penerapan Syariat Bukan Negara Islam, dalam
http://www.islamlib.comA. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Edisi: I, Ghalia Indonesia, Bogor, April 2006).
H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991).
Alfian, Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh, (LP3S, Jakarta, 1997).Charles J. Adams, dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet:VII, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 1999).
H. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Bina Aksara, 1980).
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, (Rosda Karya, Bandung, 1991).
Khamami Zadan dan Efendi Edyar bertajuk Jika Syariah Islam Jalan, Maka Jadi Negara Islam, dalam LAKPESDAM-TAF, Tashwirul Afkar, (Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan), (Edisi No. 12, Tahun 2002).
(Q.s; al-Maidah/5:44). “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”
(Q.s; al-Maidah/5:45), “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”
(Q.s; al-Maidah/5:47). “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”
(Q.S. al-Baqarah/2:208). “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
(Q.S. al-Ahzab/33:36). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
49
(Q.s; an-Nisaa’/4:59). “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3.Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999.Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al
Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997.
Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992.
Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153
http://diqa-butarbutar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html http://makalahdanskripsi.blogspot.com, Makalah Hukum Islam I ( teori receptio in
complexu)http://www.islamlib.comwww.menaraislam.com, Strategi Menuju Penerapan Syariat Islamhttp://www.menaraislam.com
50
PERSPEKTIF PIDANA ISLAM
DALAM PENERAPAN SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA
TUGAS
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan
Dr. H. Tata Fathurrohman, SH. MH.
Untuk matakuliah Filsafat Hukum Islam
Disusun Oleh
Nama : BAMBANG WIDIYANTORO
NPM : 30040012019-02433
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
JANUARI 2013
51