pidana islam

75
PERSPEKTIF PIDANA ISLAM DALAM PENERAPAN SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA Oleh : Bambang Widiyantoro A. Pendahuluan Dalam konteks pemahaman hukum pidana di dalam masyarakat seringkali tercampur perisitilahan pidana dengan pemidanaan. Sehingga pemahaman terhadap kedua istilah tersebut mengacaukan pemahaman terhadap fungsi dari keduanya. Pidana (straaf) 1) merupakan penderitaan yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui pengadilan), pada seseorang, yang secara sah telah melanggar hukum pidana, melalui proses peradilan pidana. Halim 2) menyatakan tindak pidana (delik adalah) : Suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang (pidana).” Prof. Moeljatno, SH, beliau menggunakan istilah perbuatan pidana, mengatakan bahwa suatu perbuatan pidana adalah 1) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 1. 2) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 7. 1

Upload: bambang1964

Post on 09-Aug-2015

244 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Hukum Pidana Islam

TRANSCRIPT

Page 1: Pidana Islam

PERSPEKTIF PIDANA ISLAMDALAM PENERAPAN SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIAOleh : Bambang Widiyantoro

A. Pendahuluan

Dalam konteks pemahaman hukum pidana di dalam

masyarakat seringkali tercampur perisitilahan pidana dengan

pemidanaan. Sehingga pemahaman terhadap kedua istilah tersebut

mengacaukan pemahaman terhadap fungsi dari keduanya. Pidana

(straaf) 1) merupakan penderitaan yang dijatuhkan dengan sengaja

oleh negara (melalui pengadilan), pada seseorang, yang secara sah

telah melanggar hukum pidana, melalui proses peradilan pidana.

Halim 2) menyatakan tindak pidana (delik adalah) : “Suatu perbuatan

atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh

Undang-undang (pidana).” Prof. Moeljatno, SH, beliau menggunakan

istilah perbuatan pidana, mengatakan bahwa suatu perbuatan pidana

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi

barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan

perbuatan yang oleh satu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,

asal saja alam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada

perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh

1) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 1.2) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 7.

1

Page 2: Pidana Islam

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada

orang yang menimbulkan kejadian itu.3)

Hazewinkel-Suringa mengartikan tindak pidana (strafbaarfeit) sebagai:

“Perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh UU. Suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.”

Sedangkan pemidanaan bisa diartikan sebagai proses, cara,

perbuatan memidana atau tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Pengertian pemidanaan

(hukuman) dalam istilah Arab sering disebut uqubah, yaitu bentuk

balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar

ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk

kemaslahatan manusia. Adapun hukuman secara bahasa berarti

siksa, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, bahwa kata hukum

biasanya diungkapkan dengan kata “siksa”. Misalnya Firman Allah

dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :

�د� �لع�ب و�ا �ح�ر �ال ب �ح�ر� ال ��لى �قت �ل ا ف�ي �ق�ص�اص� ال �م� �ك ع��لي �ب� �ت ك �وا آم�ن &ذ�ين� ال �ه�ا أي �ا ي��ثى �األن ب ��ثى و�األن �د� �ع�ب �ال ب

� �ك� ذل ان/ �ح�س� �إ ب �ه� ��لي إ و��أد�اء6 وف� �م�ع�ر� �ال ب �اع6 ب ف�ات ي�ء6 ش� أخ�يه� م�ن� له� ع�ف�ي� فم�ن��يم6 أل ع�ذ�اب6 ف�له� �ك� �ع�د� ذل ب �د�ى اع�ت فم�ن� ح�م�6ة و�ر� كم� ب ر� م�ن� �خ�ف�يف6 ت

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hambah dengan hamba dan wanita dengan wanita, Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendak (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi

3) Tofik Yanuar Chandra, Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Jayabaya, tanpa tahun.

2

Page 3: Pidana Islam

maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Selain kata azab di ayat tersebut, ada juga kata lain yang berarti sama

dengan siksaan yaitu kata “iqa>b” sebagaimana Firman Allah dalam

surat Ar-Ra’d ayat 6 :

�ن& و�إ �م��ثالت� ال �ه�م� �ل قب م�ن� خ��لت� و��قد� �ة� ن �ح�س� ال ل &�ئة� قب� ي �الس& ب �ك� �ع�ج��لون ت �س� و�ي�لع��قاب� ا د�يد� لش� &ك� ب ر� �ن& و�إ �م�ه�م� ظ�ل ع��لى &اس� �لن ل ة/ م�غ�ف�ر� ذو ل &ك� ب ر�

Artinya: “Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksaNya.”

Sedangkan hukuman seperti yang didefenisikan oleh Abdul Qadir

sebagai berikut: �ان� ع�ص�ي ع��لى �لج�م�اع�ة� ا �م�ص��لح�ة� ل ر� �لم��قر& ا اء� �لج�ز� ا ه�ي� ��ة �لع��قو�ب ا

ار�ع� الش& �أم�ر�

Artinya: “Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk

memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran

atas ketentuan-ketentuan syara”.

Dari beberapa bahasan tersebut dapatlah di pahami bahwa hukuman

adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai

pembalasan perbutan yang melanggar syara’, dengan tujuan untuk

memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga

untuk melindungi kepentingan individu Maksud pokok hukuman

adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia yang

menjaga mereka dari hal-hal mafsadah, karena Islam itu sebagai

3

Page 4: Pidana Islam

rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada

manusia.

Adapun syarat adanya pemidanaan adalah adanya ketentuan

perundang-undangan yang mengaturnya (syar’i), ada pelaku pidana

(maddi) dan adanya perbuatan pidana (adabi). Di dalam Islam dikenal

prinsip-prinsip dalam pemidanaan yaitu :

1. Harus sesuai dengan hukum Islam,

2. ada bukti,

3. bukan balas dendam,

4. bertujuan untuk kemaslahatan dan

5. hati-hati dalam pelaksanaan pemidanaan.

Tujuan pemidanaan sendiri dapat dikaji dalam perspektif Al-

Qur’an, hukum Islam dan tujuan hukum pada umumnya. Menurut Al-

Quran tujuan pemidanaan dapat berarti :

1. Penghinaan di dunia, maupun siksaan, baik di dunia maupun

akhirat, sebagaimana diberikan kepada pelaku perampokan (QS.

Al-Maidah (5) : 33)

2. Siksaan di dunia, maupun pembalasan, baik di dunia maupun

akhirat, sebagaimana diberikan kepada pelaku pencurian (QS. Al-

Maidah (5) : 38)

3. Pembalasan (qisas) di dunia, maupun sebagai azab, baik di dunia

maupun akhirat, sebagaimana diberikan kepada pelaku

pembunuhan dengan segaja (QS. Al-Nisa (4) : 42)

4

Page 5: Pidana Islam

Hukum Islam karena bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist mempunyai

tujuan pemidanaan yang berkaitan dengan :

1. Pencegahan umum dan khusus

Terhadap tujuan pemidanaan ini dapat diberikan sanksi yang berat

yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut, penderitaan,

penyesalan dan menjerakan, misalnya dengan pidana mati (rajam

atau salib), amputasi anggota tubuh, qisas dan hukuman cambuk.

2. Pembinaan maupun memperbaiki perilaku manusia

Terhadap tujuan ini diberikan sanksi pidana yang ringan, misalnya

dalam bentuk pembuangan, penahanan, pemasyarakatan dan

pemenjaraan.4)

Tentang tujuan pemidanaan secara umum dapat

dikelompokkan menjadi 3 yakni:

1. Teori Absolut

Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan

atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada

perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori

ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan

semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan

yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga

sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

2. Teori Relatif (tujuan)

4) Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2012, hlm. 11.

5

Page 6: Pidana Islam

Teori ini memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai

pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan

yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju

kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya,

yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan,

maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari

teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada

pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat.

Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu

preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention)

untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku

kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence)

untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa

dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang

3. Teori Gabungan.

Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural,

karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan)

dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda,

dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh

pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab

tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak

pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi

atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

6

Page 7: Pidana Islam

Dalam hukum pidana tentang pemidanaan diatur dalam Pasal

10 KUHP yang mengenal beberapa jenis pidana sebagai yaitu :

1. Pidana pokok:

a. pidana mati,

b. pidana penjara,

c. pidana kurungan,

d. pidana denda.

2. Pidana tambahan:

a. pencabutan hak-hak tertentu,

b. perampasan barang-barang tertentu,

c. pengumuman putusan Hakim.

Dalam KUHP konsep Bab III Buku I Pasal 65 dikenal beberapa

macam pidana, yaitu :

a. Pidana Pokok

1. Pidana penjara

2. Pidana tutupan

3. Pidana pengawasan

4. Pidana denda

5. Pidana kerja sosial

b. Pidana Tambahan :

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan

3. Pengumuman putusan hakim

4. Pembayaran ganti kerugian

7

Page 8: Pidana Islam

5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban

menurut hukum yang hidup dalam masyarakat

B. Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh

jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum nengenai tindak

pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang

mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari

pemahaman atas dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis.

(Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan kriminal adalah tindakan

kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan

melawan peraturan perundang-undangan.

Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang

mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan

akhirat. Syariat dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban

asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban

asasi syariat, yaitu menempatkan Allah SWT sebagai pemegang

segala hak-hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada

pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban

memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT dimaksud, harus

ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain. Al-Quran

merupakan penjelasan Allah SWT tentang syariat, sehingga disebut

Al-Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar

mempunyai empat cara dan sala satunya adalah Allah SWT

8

Page 9: Pidana Islam

memberikan penjelasan dalam bentuk nash (tekstual) tentang syariat

sesuatu, misalnya: orang yang membunuh tanpa hak hukumnya harus

dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan.

Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus

pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang berstatus janda atau

duda dan/ atau sudah menikah hukumannya adalah dirajam.

Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar,

pencurian, perampokan, penuduhan berzina, dan orang murtad. Hal-

hal seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Al-Quran.

Pemahaman jarimah (Al-jarimah, delik atau perbuatan pidana

atau tindak pidana) merupakan perbuatan yang dilarang syara’ dan

pelakunya diancam oleh Allah SWT dengan hukuman hadd (bentuk

tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya

di delegasikan syara’ kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud

dengan larangan syara’ adalah melakukan perbuatan yang dilarang

dan diancam hukuman oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang

diperintahkan dan diancam hukuman oleh syara’ bagi yang

meninggalkannya.

Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan jinayah (al-

jinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang

dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu,

jinayah bersifat umum, meliputi seluruh perbuatan pidana.

Berdasarkan pengertian inilah ulama fikih menggunakan istilah “fikih

jinayah” sebagai salah satu bidang ilmu fikih yang membahas

9

Page 10: Pidana Islam

persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut Abdul

Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan

perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta

atau yang lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk

pelanggaran yang menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu

pembunuhan, pemukulan, dan ijhad.

Sedangkan, sebagian ulama lainnya, membatasi pengertian jinayah

pada jarimah hudud dan jarimah qisas. Dengan demikian, istilah

jarimah dan jinayah dalam terminologi syara’ adalah sama. Oleh

karena itu, penamaan fikih jinayah sebagai bidang ilmu yang

membahas berbagai bentuk perbuatan/tindak pidana dalam Islam

dewasa ini adalah benar, dan sejalan dengan pengertian dan

kandungan jarimah.

Al-Qanun al-Jaza’I adalah Undang-undang yang mengatur

balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jaza’i

disebut juga al-qanun al-‘uqubat (dari kata al-‘uqubah yang berarti

hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu

hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan

negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam,

pembahasan al-qanun al-jaza’i termasuk kedalam ruang lingkup fikih

jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang

hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya

adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang

lain.

10

Page 11: Pidana Islam

Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jaza’i mencakup

segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan

hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/

tindak pidana tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu

jarimah hudud, qisas/diat dan takzir. Masing-masing mempunyai

sanksi atau ancaman hukuman yang berbeda-beda.

1. Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan).

Hudud adalah ketentuan perbuatan pidana yang telah ditetapkan

Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi hukuman terhadap

pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain

pencurian (QS.5:38), zina (QS.24:2), dan menuduh orang lain

berzina (QS.24:4). Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya

melaksanakannya saja sesuai yang dijelaskan nas.

2. Qisas/diat

Qisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan

macamnya oleh Allah SWT, tetapi pelaksanaanya diserahkan

sepenuhnya kepada manusia. Jadi manusia memiliki dan

mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan

dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut.

Qisas/diat berhubungan dengan masalah jiwa dan raga seseorang,

seperti pembunuhan dan penyiksaan. Dalam hal ini, apabila terjadi

pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga korban berhak

memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku

dengan hukuman yang serupa (qisas) atau meminta denda sebagai

11

Page 12: Pidana Islam

penyesalan dari pihak pelaku kepada keluarga korban (diat).

Bahkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku tanpa menuntut

balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari saksi hukuman

(QS.2:178).

3. Takzir

Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak

dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap

pelaku. Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan

hukuman takzir ini adalah pemerintah (melalui Hakim Pengadilan).

Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan

kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup

luas. Selain yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunah,

pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman

takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk

hudud dan qisas/diat. Sebagai ‘ulill-amri, pemerintah berhak

memutuskan sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi

masyarakatnya. Di sinilah peluang pemerintah untuk merumuskan

undang-undang hukum pidana yang dengan semangat nas. Karena

itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu

ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas

yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini yaitu :

a. Asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut ke belakang,

artinya, tidak ada satu perbuatanpun yang dapat dihukum

kecuali ada undang-undang yang mengaturnya.

12

Page 13: Pidana Islam

Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang

dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat

dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak

dapat menafsirkan secara luas nas Al-Qur’an maupun As-

Sunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak

boleh menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan

dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam.

Jika dikaji ketentuan pada hukum pidana umum (KUHP)

dengan pidana dalam hukum Islam, maka terdapat sinkronisasi

diantara keduanya :

1. Qisas

a. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, merupakan

kejahatan terhadap jiwa atau hilangnya nyawa, sehingga dapat

diberikan sanksi pidana : mati, penjara seumur hidup atau

penjara 20 tahun.

b. Pasal 140 (3) KUHP, tentang kejahatan terhadap negara

sahabat dan kepala negara/wakilnya pada tindak pidana

pembunuhan. Sanksi pidananya : pidana mati, penjara seumur

hidup atau penjara 20 tahun.

c. Pasal 444, KUHP, tentang kejahatan pelayaran pada

pembajakan yang berakibat hilangnya nyawa. Sanksi pidananya

: pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.

13

Page 14: Pidana Islam

d. Pasal 302 ayat (3) KUHP tentang terorisme (matinya orang).

Sanksi pidananya : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara

20 tahun, atau minimal lima tahun.

Pasal-pasal tersebut adalah qisas sesuai (QS. Al-Baqarah (2): 178)

dan al-Maidah (5): 45)

2. Takzir

a. Pasal 242 KUHP, tentang sumpah dan keterangan palsu.

Sanksi pidananya : penjara tujuh sampai sembilan tahun

b. Pasal 310-321 KUHP, tentang penghinaan. Sanksi pidananya :

penjara sembilan bulan sampai satu tahun empat bulan.

c. Pasal 332-333 KUHP, tentang membuka rahasia. Sanksi

pidananya : penjara tujuh sampai 12 tahun.

d. Pasal 375 KUHP, tentang sumpah/keterangan palsu. Sanksi

pidananya : maksimal penjara tujuh sampai sembilan tahun

e. Pasal 457-459 KUHP, tentang pembocoran rahasia. Sanksi

pidananya: pidana penjara maksimal lima tahun, minimal satu

tahun.

f. Pasal 508 KUHP, tentang perbuatan curang (penipuan). Sanksi

pidananya adalah penjara empat tahun.

3. Hudud

a. Pasal 199 KUHP, tentang Makar menghilangkan nyawa,

merampas kemerdekaan dan menjadikan tidak cakap presiden

dan wakilnya. Sanksi pidananya adalah pidana mati, penjara

seumur hidup, penjara 20 tahun, atau minimal lima tahun.

14

Page 15: Pidana Islam

b. Pasal 204 KUHP, terkait hubungan Negara/organisasi asing

untuk memusuhi negara Indonesia. Sanksi pidananya adalah

pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau

minimal penjara lima tahun.

c. Pasal 218 ayat (3) KUHP, terkait menyerahkan kepada musuh,

menghancurkan tempat penjagaan sebagai perbekalan perang

Indonesia dan disersi di kalangan tentara. Sanksi pidananya

adalah pidana Mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun,

atau penjara minimal lima tahun.

d. Pasal 231 ayat (2) KUHP, tentang Makar menghilangkan

nyawa, merampas kemerdekaan presiden dan wakil negara

sahabat yang berakibat matinya. Sanksi pidananya adalah

pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau

paling singkat tiga tahun.

Jika dikaji dalam KUHP konsep maka juga terlihat adanya sinkronisasi

dengan hukum pidana Islam ini.

Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana

langsung merujuk kepada petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Disamping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim

yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam

perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap

pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi

SAW. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan

dilanjutkan oleh Al-Kulafa’ar-Rasyidun sebagai pemimpin umat Islam,

15

Page 16: Pidana Islam

yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang

oleh khalifah sendiri.

C. Penerapan Pidana Islam Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia

Berbicara tentang penerapan syariat Islam, tidak terlepas pada

berbagai gerakan-gerakan Islam yang tidak pernah lelah

menyuarakan diberlakukannya syariat Islam, mulai dari yang

tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang

menginginkan penerapan itu sekarang juga, sampai pada yang

memberikan toleransi terhadap penerapan secara bertahap atau

setelah siap infrastrukturnya.5) Ini menunjukkan bahwa dikalangan

internal Islam sendiri terdapat berbagai versi yang muncul dengan

berbagai aspirasi dalam menanggapi isu diberlakukannya syari’at

Islam di Indonesia.

Perdebatan mengenai peluang penerapan syariat Islam di

Indonesia, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah

berkesudahan sejak sidang BPUPKI/PPKI pada tahun 1945. Pada

masa pasca Orde Baru, masalah ini muncul kembali melalui

perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD. Dua fraksi

partai Islam yaitu Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan

Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) dalam pemandangan umum

bersikeras untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam Batang

Tubuh UUD 1945, khususnya pasal 29.6)

5) http://www.menaraislam.com6) Lihat, Arskal Salim, Penerapan Syariat Bukan Negara Islam, dalam http://www.islamlib.com

16

Page 17: Pidana Islam

Penerapan hukum Islam atau syariah sebetulnya bukanlah hal

baru. Telah sejak lama hal tersebut dipraktekkan oleh beberapa

negara muslim, seperti Arab Saudi, Afghanistan, dan Sudan. Pada

tingkat lokal, syariat Islam juga diberlakukan di Zamfara, sebuah

provinsi di Nigeria. Undang-undang Islam di negara-negara ini secara

keras diberlakukan, terutama menyangkut hukum pidana (hudud).

Agaknya, persoalan pidanalah yang menjadi ciri khas apakah sebuah

negara muslim dianggap menerapkan syariat Islam atau tidak.

Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber

hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum Islam dan

hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba untuk

mejadi hukum nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum.7)

Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan

warga negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif tata

hukum Indonesia, fungsi negara adalah melindungi setiap agama dan

pemeluknya melalui penjaminan pelaksanaan ibadah, memberikan

dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat beragama.

Agama haruslah menjadi landasan moral, karenanya setiap peraturan

dan perundang-undangan yang bertentangan dengan moral dan

agama seharusnya dikesampingkan. Secara normatif, menjalankan

syariat Islam secara kaffah merupakan perintah Allah, dan

7) A. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Edisi: I, Ghalia Indonesia, Bogor, April 2006), h. 9

17

Page 18: Pidana Islam

mengabaikannya dikategorikan sebagai manusia kafir, zalim, atau

fasik.8)

Dalam benak beberapa kelompok Islamis, hukum Islam

memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama

menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i.

Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut

bisa dianggap sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat Islam

secara luas nampaknya kurang begitu bersemangat dengan isu

penerapan hukum Islam ini.

Beberapa konsep dimungkinkannya penerapan hokum di

Inonesia adalah

1. Syariat Islam tentang penataan hukum

Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada

Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah

teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan

diberlakukan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan

masyarakat serta keseimbangan antara kewajiban dan hak. Syariat

Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia sampai

akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu

negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam.

Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang

8) Lihat Ibdi, h. 2. “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, (Q.s; al-Maidah/5:44). “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”, (Q.s; al-Maidah/5:45), “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”, (Q.s; al-Maidah/5:47).

18

Page 19: Pidana Islam

merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum

berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari

segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan

merupakan prinsip yang wajib diberlakukan.9)

Secara konseptual terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang

mencakup penataan dan penerapan hukum Islam bagi orang Islam.

Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada orang yang

beriman agar menjalankan hukumnya.10)

Para ahli hukum di Indonesia mempelajari tentang teori-teori

penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku

di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori ini

menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk,

masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator

bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama

Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan

rasul-Nya.11)

Membicarakan tentang teori-teori permberlakuan hukum Islam,

maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur-

unsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari

hukum nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya

politisasi hukum yang dilakukan oleh kolonial Belanda kearah

9) H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991), h. 95-14910) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 6711) Ibid, h. 68

19

Page 20: Pidana Islam

mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya,

menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan

dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum

Indonesia.12)

Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran,

bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia

ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran

tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari

Allah sebagai pencipta syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Qur’an.

Al-Qur’an merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku

untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik,

dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Qur’an itu memerlukan

penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis.

Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam

bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah.13)

Manakalah terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan hukum yang

dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya dalam al-Qur’an dan as-sunnah,

maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia,

melalui metode ijtihad.

Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap

orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah.14)

12) Ibid. 13) Ibid.14) “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah/2:208)

20

Page 21: Pidana Islam

Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang

penataan dan penerapan hukum Islam, menegskan bahwa orang

Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan

rasul-Nya serta kepada pemerintah. Orang Islam tidak dibenarkan

mengambil pilihan hukum lain manakala Allah dan rasul-Nya telah

menetapkan hukum yang pasti dan jelas.15) Apabila mengabil

pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan

fasik.16) Oleh karena itu dari segi syariat Islam semestinya berlaku

teori penataan hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum

Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah.

Oleh karena itu tanpa dikaitan dengan keberadaan hukum di

masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada prinsip

bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata

dalam masyarakat ada norma-norma hukum adat atau hukum

Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka

akan muncul masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang

akan diterapkan dalam lingkungan masyarakat, hal ini sangat

tergantung pada politik hukum pemerintah atau politik hukum dalam

konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pemerintah

dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori

15) “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. al-Ahzab/33:36)16) “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, (Q.s; al-Maidah/5:44). “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”, (Q.s; al-Maidah/5:45), “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”, (Q.s; al-Maidah/5:47)

21

Page 22: Pidana Islam

penataan hukum atau prinsip syariat Islam juga.17) Dalam posisi ini,

maka ketaatan terhadap pemerintah dalam memberlakukan hukum

positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat, bagi

umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak

bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.

2. Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum

Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang

orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds

of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto18) bahwa orang Islam jika

menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas

hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara

sosilogis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas

hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun

ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat

bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing.

Selain Gibb, Charles J. Adams,19) mengungkapkan bahwa hukum

Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena

sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan

kehidupan muslim. Berbeda degan cara mempelajari hokum-hukum

lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan khusus,

17) “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ((Q.s; an-Nisaa’/4:59)18) H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 11419) Charles J. Adams, dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet:VII, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 1999), h. 11

22

Page 23: Pidana Islam

sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa

yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga

termasuk masalah sosial lain diluar wilayah yang dikatakan law itu.

Sebagai sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah

menerima Islam, semua orang Islam akan terus menjalankan

syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit

memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi

tuntutan hukum dan moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat

Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme ajaran atau

ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya

sampai mati.20)

Dari gambaran diatas terlihat bahwa hukum Islam tidak dapat

dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari

masyarakat Islam. Bahkan sebagaimana dikatakan Gibb bahwa

hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya

masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama

bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima Islam

sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas

serta kekuatan mengikat hukum Islam terhadap mereka.

3. Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu (RIC)

Teori Receptie in Complexu diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk

Willem Christian Van den Berg yang mengatakan bahwa, bagi

orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah

20) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 73

23

Page 24: Pidana Islam

memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat

penyimpangan-peyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum

kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-

hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam.21)

Teori Receptie in Complexu (RIC) menyatakan bahwa hukum adat

bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi

menurut teori ini bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang

beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi

penduduk asli yang beragama Khatolik adalah hukum Khatolik,

demikian juga bagi penganut agama lain.22)

Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan

orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan

ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini

telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van

Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het

Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie.23)

Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca

kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum

Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas

hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum

Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi

juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi.

21) Ibid, h. 73-7422) http://makalahdanskripsi.blogspot.com, Makalah Hukum Islam I ( teori receptio in complexu) 23) Ibid.

24

Page 25: Pidana Islam

Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem

hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara

legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam

mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat

pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-

undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih –

yang dianggap representative telah disahkan oleh pemerintah

Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.24)

Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan

nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga

peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini

mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka

kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung

(subtansi hukumnya).

4. Syariat Islam dan Teori Receptie

Teori Receptie diperkenalkan oleh Prof. Christian Snouck

Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa bagi

rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, hukum Islam

berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh

masyarakat sebagai hukum adat.25)

24) Ibid.25) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 78

25

Page 26: Pidana Islam

Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya

pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani

yang berpengaruh di Indonesia. Beliau menyampaikan usul kepada

pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam,

yang dikenal dengan Islam Policy. Rumusan kebijakan terhadap

hukum Islam antara lain :

a. Dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda

hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan penuh

tanpa syarat bagi orang Islam.

b. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia

Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan

rakyat yang berlaku.

c. Dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya

ideologi yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan

Islamisme, yang mempunyai tujuan mencari kekuatan-kekuatan

lain dalam mengahadapi pemerintah Hindia Belanda.26)

Menurut Dr. Alfian,27) teori receptive berpijak pada asumsi dan

pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan

yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka

penjahahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak

akan timbul guncagan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah

Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus

mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum

26) Abu Bakar Aceh, dalam, H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 12427) Alfian (editor), Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh, (LP3S, Jakarta, 1997), h. 207-209

26

Page 27: Pidana Islam

adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk

mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.

Melalui kebijakan ini, Hurgronye telah berhasil meminimalisasi

hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup

di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat

rendahan.

5. Syariat Islam dan Teori Receptie Exit

Teori Receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye mendapat

tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah oleh

Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah

satu penentangnya adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa

setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, melalui Pasal II

Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan

bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama

jiwanya tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan

perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang

mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak berlaku lagi

karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie

harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Hazairin menyebut teori Receptie adalah “teori iblis”.28)

Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori

Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa; (1) teori

Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara

28) H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 127-128

27

Page 28: Pidana Islam

Indonesia sejak tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD. 1945 pasal 29

ayat 1, maka Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional

yang salah satu sumbernya adalah hukum agama, (3) sumber

hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi

pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata

maupun hukum pidana sebagai hukum nasional.29)

Pemikirian Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman

dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang sejalan

dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori

Penataan otoritas hukum dan juga mempertajan teori receptive in

complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya

terhadap kebijakan hukum Islam di Indonesia.

Pemikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus

merupakan upaya menentang atau meng-exit teori receptive yang

memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima

sebagai hukum bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus

exit dari sistem hukum nasional karena dianggap bertentangan

dengan al-Qur’an dan sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi

negara Indonesia.

6. Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario

Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, yang mengemukakan

perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan

dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia.

29) Ibid.

28

Page 29: Pidana Islam

Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang

kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan

hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang

berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai

berikut :

a. bagi orang Islam berlaku hukum Islam,

b. hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-

cita batin, dan moralnya,

c. hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan

dengan agama Islam dan hukum Islam.30)

Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang

kebalikan dari teori receptive. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di

Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada Pancasila dan UUD.

1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum

agamanya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, aturan-aturan

itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan

dengan hukum Islam.

Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan

norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat

bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang

30) Selengkapnya lihat, H. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Bina Aksara, 1980), h. 15-70

29

Page 30: Pidana Islam

Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan

Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.31)

Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan

keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori receptio a

contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan

hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan

dengan hukum Islam.

7. Syariat Islam dan Teori Eksistensi

Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A,32) yang

berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan

hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya

hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan,

bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum

nasional ialah sebagai berikut ;

a. merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia,

b. keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh

hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional,

c. norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring

bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan

d. sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional

Indonesia.

31) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 8532) Teori Eksistensi ini adalah hasil pemikiran Ichtijanto yang ditulis dalam sebuah judul: Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, salah satu subjudulnya: Hukum Islam Ada dalam Hukum Nasional (Teori Eksistensi). Lihat, Cik Hasan Bisri, Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan, (Rosda Karya, Bandung, 1991), h. 137

30

Page 31: Pidana Islam

Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan

perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum

Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan

hukum Islam yang berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak,

sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya besar Islam, selalu ditatai

oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan

yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional,

maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis

dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.33)

Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak

melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku

saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan

hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam

yang tercantum dalam hukum nasional.

Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada di

dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya.

Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan

terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai

bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-

undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan

perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum

Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih

33) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 89

31

Page 32: Pidana Islam

tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan,

seperti isra miraj, nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.

Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya, ada yang disebut

hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum positif adalah

hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang

di cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum

menjadi hukum positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di

Indonesia yang menjadi hukum positif hanya yang berkaitan dengan

hukum privat, yaitu ubudiah dan muamalah. Sedangkan yang

berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih

menjadi hukum yang di cita-citakan.

Persoalan seputar penting tidaknya syariat Islam dilegislasikan

menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang kerap

melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu

banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat

dipastikan bahwa pendapat para ahli tersebut banyak dipengaruhi

oleh faktor-faktor politis, sosiologis, kultural, ideologis, dan religiositas.

Azyumardi Azra34) misalnya, dalam menanggapi soal kemungkinan

positifasi syariat Islam menjadi hukum nasional, mengungkapkan

bahwa, yang harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam Indonesia

yang bukan merupakan realitas monolitik, tapi adalah realitas yang

beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya,

keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas

34) Lihat, wawancara Azyumardi Azra, dalam http://www.islamlib.com

32

Page 33: Pidana Islam

sosilogis ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas.

Artinya hukum Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin

juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan masyarakat muslim

yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak

sebagaimana yang diharapkan.

Selain itu, menurut Azyumardi Azra, perbedaan mazhab fikih

juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa di dalam soal

fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari dulu

sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di

dalam fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi

soal hukum rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut

berpendapat, hukum rajam adalah hukuman maksimal. Padahal kalau

hukum rajam itu menjadi hukum yang maksimal, maka salah satu

filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat hukum adalah

menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena

kalau hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari

hukum menjadi hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.35)

Juhaya S. Praja, pendapatnya dalam merespon wacana

dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam

kerangka sistem hukum nasional mengatakan bahwa, walaupun

dalam praktek tidak lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam

masih memiliki arti besar bagi kehidupan pemeluknya. Setidaknya,

ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja menyebabkan hukum

35) Ibid.

33

Page 34: Pidana Islam

Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa.

Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang

mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa

yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah,

anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan

hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi

bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang

masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga

peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan

yang masih mempunyai pengaruh cukup besar. 36)

Pendapat yang berbeda disampaikan Habib Riziq Shihab,

menurutnya penerapan hukum Islam harus formalistik-legalistik

melalui institusi Negara. dikatakan bahwa syariat Islam secara formal

harus diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial. Tidak

ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya

ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang penting

substantinya, formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi,

maka substansi bisa diamalkan. Juga diungkapkan pendapat Imam al-

Ghazali yang berbicara tentang tata Negara Islam, bahwa “agama

adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang

tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti

36) Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, (Rosda Karya, Bandung, 1991), h. xv

34

Page 35: Pidana Islam

akan hilang.” Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh memisahkan

agama dengan kekuasaan.37)

Syariat Islam selama ini masih dipahami oleh sebagian orang

sebagai hukum normatif yang tidak mempunyai sanksi yuridis atau

kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang bersifat normatif

hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan

sanksi moral dari masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat

Islam sebagai hukum Islam diserahkan kepada tingkat akidah

seseorang. Hal itu menjadi kontraproduktif ketika bengsa ini hendak

memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Kesalahpahaman

tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral

ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan

sebagai tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah

kepada umat manusia untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Kekuatan

syariat Islam dalam menata ketertiban dan kedamaian masyarakat

selain yang bersifat normatif dalam bidang ubudiah dan muamalah,

juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar segala hak-hak

masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Oleh karena itu, hukum

pidana Islam sebagai hukum publik harus dilegislasi menjadi hukum

positif.38)

37) Lihat wawancara dengan Khamami Zadan dan Efendi Edyar bertajuk Jika Syariah Islam Jalan, Maka Jadi Negara Islam, dalam LAKPESDAM-TAF, Tashwirul Afkar, (Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan), (Edisi No. 12, tahun 2002), h. 99-10038) A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, h. 96

35

Page 36: Pidana Islam

Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau

kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam menyangkut

penerapan pidana Islam di Indonesia ;39)

1. Jumlah umat Islam cukup signifikan.

2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan

diterapkannya syariat Islam.

3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan

Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga

mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara

alternatif itu ialah Islam.

4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-

partai politik Islam di beberapa negeri muslim.

5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka

menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya

bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam

atas kembalinya masa kejayaan mereka.

Adapun hambatan-hambatan dalam usaha penerapan syariat

Islam menyangkut penerapan pidana Islam di Indonesia adalah :

1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal

memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah

para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama

yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka

senantiasa menyebarluaskan pandangan yang negatif tentang

39) www.menaraislam.com, Strategi Menuju Penerapan Syariat Islam

36

Page 37: Pidana Islam

Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam

dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi

pengungkungan kaum wanita dan kekerasan).

2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis

kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena

akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering

disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam

disebut sebagai ahlul ma’aashiy.

3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena

belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan

pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam

disebut sebagai ahlul jahl.

4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga

berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula

muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam

dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-

beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan

apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama

lain.

Jika dikaji kembali dari keseluruhan pembahasan yang ada

sebelumnya, maka hasil akhir yang diinginkan adalah munculnya

keadilan Islami dan Maqasid Al Syariah di Indonesia.

Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang

keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan

37

Page 38: Pidana Islam

buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung

pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui

baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-

perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul.

Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang

bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan

keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua

mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu : mu`tazilah dan

asy`ariyah.

Pandangan dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai

yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil.

Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional

yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada wahyu.

Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga

mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif.

Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter

khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia

sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang

lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan

Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu

dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi

dalam kemampuan individu. Keadilan Islam berpihak pada kesamaan

kesempatan dan mendorong kompetisi. Keadilan Islam menjamin

38

Page 39: Pidana Islam

kehidupan minimum bagi setiap orang dan menentang kemewahan,

tetapi tidak mengharapkan kesamaan kekayaan.40) 

Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya

dalam merumuskan hukum Islam.41) Sementara menurut Wahbah al

Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang

tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya.

Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan

rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan

hukum.42) Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu,

yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.43)

Maqasid Al Syariah, yang secara substansial mengandung

kemashlahatan, menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut

pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al

mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al

Syariah mengandung empat aspek, yaitu:44)

1. Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan

manusia di dunia dan akhirat.

2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.

3. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.

40) http://diqa-butarbutar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html 41) Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 hal.29242) Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 hal. 22543) Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 22544) Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hal.43

39

Page 40: Pidana Islam

4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan

hukum.

Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah

mengandung empat aspek pula, yaitu:45)

1. Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan

relativitas atau keabsolutannya.

2. Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan

oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa

dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan

kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan

kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara

menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah

(bisa dipahami orang awam).

3. Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan,

kesulitan dan lain-lain.

4. Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan

ta'abud.

Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua

macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah

dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Tetapi dalam

pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk

memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal

yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam

45) Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997 hal 251

40

Page 41: Pidana Islam

menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun

akhirat.46)

Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam

lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang

mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan

setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.47)12

Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini,

dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat

dan al tahsinat.48)

1. Kebutuhan dhoruriyat

Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut

juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak

terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik

di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang

termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa,

kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal

pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum

apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak

lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti

kewajiban qisas: تتقون لعلكم األلباب يأولى حياة القصاص فى ولكم

46) Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71 47) Ibid. hal. 110.48) Ibid, baca juga: Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal 292-294.

41

Page 42: Pidana Islam

Artinya : "Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup

bagimu hai orang-orang yang bertakwa" 48)

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena

dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat

dihilangkan.

2. Kebutuhan al hajiyat

Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika

kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai

terancam. Namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam

menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah

(keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan

contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh

pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda)

bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan

hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena

terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.

3. Kebutuhan al tahsinat

Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi

salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan

kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa

kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal

yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal

yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan

48) Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.

42

Page 43: Pidana Islam

yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai

bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah

SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan

kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke

masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan

penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.

Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:49)

1. Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan

dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas.

Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah

pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya

diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan

serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan

tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin

keselamatan jiwa, dan lain-lain.

2. Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat

mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga

mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada

suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia,

meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah

membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di

siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus

berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini

49) Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153

43

Page 44: Pidana Islam

diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau

memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang

gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya.

Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah

kemashlahatan agama.

3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait

dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh

untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-

barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul

kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh

diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan

mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli,

nikah, hibah dan lain sebagainya.

Al Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:50)

1. Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di

dunia ini dan di akhirat.

2. Syari' menghendaki masalih harus mutlak

Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah

dilembagakan harus abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam

hubungannya dengan segala macam kewajiban (takalif), subjek

hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).

Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan

universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif

50) Muhammad Khalid Mas'ud, Op.cit. hal. 238.

44

Page 45: Pidana Islam

dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan

suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi,

keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan

individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah

akan makna relatif dan subjektif, yang bukan merupakan

pertimbangan syari' dalam mashlahah, meski mungkin

dipertimbangkan dalam budaya adat.

Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh

takhalluf (memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman

diberlakukan berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya

hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan

mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak

dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan

orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan

umum tentang hukuman.

Kemashlahatan asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu

yaitu terciptanya penghambaan seorang mukallaf kepada Allah dan

ma'rifat billah.51) Al Buthi mendasarkan pada dalil :

الدنيا من نصيبك تنس وال األخرة الدار الله أتاك فيما .......وابتغ

Artinya : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah

kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu

melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …".52)

51) Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.52) Al qur'an: Al Qashash 77.

45

Page 46: Pidana Islam

Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa

pernyataan la tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia

yang berfaedah bagi akhiratnya.

Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan

dua hal yang keluar dari kriteria mashlahah:53)

1. Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan

penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari

ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina, melampaui

batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara' dan

lain-lain.

2. Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi

mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik

berdasar hadits: "innamal a'malu binniyat".

Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya

bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana

Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah

mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar

kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang

universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang

diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.

Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan

karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam

masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal:54)

53) Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.54) Ibid, hal 108.

46

Page 47: Pidana Islam

1. Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial

dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim

sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas

ulama.

2. Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al

Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu

dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari

kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran

substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.

Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu

alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits,

menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum

terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al

Hadits.55)

Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini,

menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum

tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa

metode pengambilan hukum. Namun begitu, hampir keseluruhan

metode yang dipertentangkan/ tidak disepakati oleh ulama, adalah

karena faktor pengaruh teologi.

D. Kesimpulan

Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, dapat dikatakan

bahwa syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang

55) Taufik Abdullah (ketua editor), op cit. hal 294

47

Page 48: Pidana Islam

dilaksanakan secara ritual saja, tetapi merupakan pragmatisme ajaran

yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia dalam mencapai

keadilan dalam ke-Islaman dan Maqasid Al Syariah.

Khususnya di Indonesia, menyangkut pelangsanaan pemidanaan, bila

syariat Islam tidak dapat dilaksanakan secara kolektif melalui

formalisasi atau otoritas negara, maka syariat Islam harus

dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah. Pelaksanaan

syariat Islam secara individual memang hanya bisa pada tataran

normatif yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan

penegakan hukum Islam yang berhubungan dengan hukum publik,

memang tetap mesti ada campur tangan negara, tentunya dengan

mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis sehingga dapat

mendukung proses implementasinya.

48

Page 49: Pidana Islam

DAFTAR PUSTAKA

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005).

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002)

Tofik Yanuar Chandra, Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Jayabaya, tanpa tahun.

Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2012.Arskal Salim, Penerapan Syariat Bukan Negara Islam, dalam

http://www.islamlib.comA. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam

Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Edisi: I, Ghalia Indonesia, Bogor, April 2006).

H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991).

Alfian, Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh, (LP3S, Jakarta, 1997).Charles J. Adams, dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu

Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet:VII, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 1999).

H. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Bina Aksara, 1980).

Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, (Rosda Karya, Bandung, 1991).

Khamami Zadan dan Efendi Edyar bertajuk Jika Syariah Islam Jalan, Maka Jadi Negara Islam, dalam LAKPESDAM-TAF, Tashwirul Afkar, (Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan), (Edisi No. 12, Tahun 2002).

(Q.s; al-Maidah/5:44). “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”

(Q.s; al-Maidah/5:45), “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”

(Q.s; al-Maidah/5:47). “…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”

(Q.S. al-Baqarah/2:208). “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

(Q.S. al-Ahzab/33:36). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”

49

Page 50: Pidana Islam

(Q.s; an-Nisaa’/4:59). “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3.Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,

terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999.Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al

Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997.

Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992.

Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153

http://diqa-butarbutar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html http://makalahdanskripsi.blogspot.com, Makalah Hukum Islam I ( teori receptio in

complexu)http://www.islamlib.comwww.menaraislam.com, Strategi Menuju Penerapan Syariat Islamhttp://www.menaraislam.com

50

Page 51: Pidana Islam

PERSPEKTIF PIDANA ISLAM

DALAM PENERAPAN SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA

TUGAS

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan

Dr. H. Tata Fathurrohman, SH. MH.

Untuk matakuliah Filsafat Hukum Islam

Disusun Oleh

Nama : BAMBANG WIDIYANTORO

NPM : 30040012019-02433

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

JANUARI 2013

51