pewarna alami batik dari tanaman nila (indigofera

40
i PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera) DENGAN METODE PENGASAMAN TUGAS AKHIR disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya Program Studi Teknik Kimia Oleh A. Amar Mualimin 5511310002 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

Upload: vuongduong

Post on 21-Jan-2017

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

i

PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA

(Indigofera) DENGAN METODE PENGASAMAN

TUGAS AKHIR

disajikan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Ahli Madya Program Studi Teknik Kimia

Oleh

A. Amar Mualimin

5511310002

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013

Page 2: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama Mahasiswa : A. Amar Mualimin

NIM : 5511310002

Tugas Akhir

Judul : Pewarna Alami Batik Dari Tanaman Nila (Indigofera)

--------- -Dengan Metode Pengasaman

telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian tugas

akhir.

Pembimbing

Prima Astuti Handayani, S.T., M.T.

NIP. 197203252000032001

Page 3: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Tugas Akhir

Judul : Pewarna Alami Batik Dari Tanaman Nila (Indigofera)

----------Dengan Metode Pengasaman

Oleh : A. Amar Mualimin

NIM 5511310002

telah dipertahankan dalam sidang Tugas Akhir Program Studi Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang, dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Dekan Fakultas Teknik Ketua Prodi Teknik Kimia DIII

Drs. Muhammad Harlanu, M. Pd. Prima Astuti Handayani, S.T., M.T.

NIP. 196602151991021001 NIP. 197203252000032001

Penguji Pembimbing

Dr. Megawati, S.T., M.T. Prima Astuti Handayani, S.T., M.T.

NIP. 197211062006042001 NIP. 197203252000032001

Page 4: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Hargailah orang lain jika kamu ingin dihargai.

Apa yang kamu inginkan belum tentu menjadi apa yang kamu butuhkan,

apa yang kamu butuhkan belum tentu menjadi apa yang kamu harapkan,

sedikit berharap, perbanyaklah bersyukur. Sesungguhnya Tuhan telah

memberikan apa yang tidak kamu inginkan tapi apa yang benar-benar

kamu butuhkan.

PERSEMBAHAN

1. Bapak, Ibu dan saudara-saudaraku tercinta

2. Dosen-dosenku

3. Teman-temanku

4. Almamaterku

Page 5: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

v

INTISARI

Mualimin, A. Amar. 2013. Pewarna Alami Batik Dari Tanaman Nila

(Indigofera) Dengan Metode Pengasaman. Tugas Akhir. Program Studi Teknik

Kimia DIII, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.

Indigo merupakan zat warna biru alami batik yang diambil dari daun

tanaman nila, yang ramah lingkungan dan tidak bersifat karsinogenik. Untuk

dapat mengambil zat warna indigo, glikosida indikan yang terkandung pada daun

tanaman nila dihidrolisis terlebih dahulu menjadi indoksil dan glukosa. Hidrolisis

dapat menggunakan enzim atau asam mineral encer. Indoksil kemudian dioksidasi

menjadi indigo. Pemungutan zat warna biru dari tanaman nila dilakukan dengan

metode pengasaman. Pengamatan dilakukan pada variasi konsentrasi asam

klorida, waktu aerasi, jenis asam dan jenis zat pengikat.

Bahan yang digunakan adalah daun indigo yang baru berumur ± 2 bulan,

aquades, asam klorida, asam sulfat, sodium hidroksida, gula jawa, kapur, tawas

dan tunjung. Alat yang digunakan pada aerasi adalah glass beaker dan air pump

daun nila direndam dalam asam dengan konsentrasi tertentu selama 24 jam. Filtrat

hasil rendaman kemudian dioksidasi dengan cara mengalirkan udara pada filtrat

menggunakan air pump selama 12 jam. Aplikasi sampel dilakukan dengan

pencelupan kain pada larutan zat pengikat tunjung, tawas dan kapur.

Hasil percobaan diperoleh bahwa semakin lama waktu aerasi, kadar indigo

yang dihasilkan semakin tinggi. Konsentrasi asam klorida yang menghasilkan

kadar indigo paling tinggi adalah pada konsentrasi 0,01 M dengan kadar indigo

mencapai 26,88 ppm. Asam sulfat 0,01 M menghasilkan kadar indigo yang tinggi

yaitu 29,20 ppm, dibandingkan dengan asam klorida 0,01 M. Penggunaan jenis

zat pengikat pada aplikasi kain, memberikan kenampakan warna yang berbeda-

beda. Dengan zat pengikat tunjung menghasilkan warna biru tua kehijauan, kapur

menghasilkan warna biru muda dan tawas menghasilkan warna biru.

Page 6: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

vi

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat, taufik, dan

hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penyususnan tugas akhir dengan judul,

“Pewarna Alami Batik Dari Tanaman Nila (Indigofera) Dengan Metode

Pengasaman”.

Tugas akhir ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ahli

Madya pada Program Studi Teknik Kimia DIII Fakultas Teknik Universitas

Negeri Semarang. Penulis menyadari bahwa selesainya tugas ini adalah karena

adanya dorongan, bantuan, dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Muhammad Harlanu, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Teknik

Universitas Negeri Semarang.

2. Prima Astuti Handayani, S.T., M.T. selaku Ketua Program Studi D3

Teknik Kimia sekaligus sebagai dosen pembimbing tugas akhir ini.

3. Dr. Megawati, S.T., M.T. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

masukan dan pengarahan dalam penyempurnaan penyusunan Tugas Akhir.

4. Bapak, Ibu dan keluargaku terima kasih atas curahan kasih sayang dan

perhatiannya dalam mendidik dan membesarkanku serta doa yang selalu

menyertaiku.

5. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu hingga

terselesaikannya tugas akhir ini.

Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan bagi perkembangan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan semoga Allah SWT membalas dengan

imbalan yang setimpal bagi pihak-pihak yang telah membantu berupa apapun,

baik materi maupun doa.

Semarang, Februari 2013

Penulis

Page 7: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................................ iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................... iv

INTI SARI ................................................................................................................ v

PRAKATA ............................................................................................................. vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2 Permasalahan ............................................................................. 3

1.3 Tujuan ........................................................................................ 3

1.4 Manfaat ...................................................................................... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................ 5

2.1 Batik ........................................................................................... 5

2.2 Pewarna Alami Batik ................................................................. 6

2.3 Tanaman Nila (indigofera) ......................................................... 7

2.4 Pemungutan Zat Warna Indigo ................................................... 9

2.5 Analisis Kadar Indigo Dengan Spektrofotometri UV-VIS ......... 9

BAB III PROSEDUR KERJA ...................................................................... 11

3.1 Alat ........................................................................................... 11

3.2 Bahan ....................................................................................... 11

3.3 Rangkaian Alat ........................................................................ 12

3.4 Cara Kerja ................................................................................ 12

3.4.1 Variasi Konsentrasi Asam Klorida Dan Jenis Asam Dalam

Larutan Rendemen ................................................................ 12

Page 8: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

viii

3.4.2 Aplikasi Pada Kain ................................................................. 13

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 14

4.1 Pengaruh Waktu Aerasi Terhadap Kadar Indigo ...................... 14

4.2 Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo ............... 15

4.3 Pengaruh Jenis Asam Terhadap Kadar Indigo…... ................... 15

4.4 Pengaruh Zat Pengikat .............................................................. 17

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 19

5.1 Simpulan ................................................................................... 19

5.2 Saran ......................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 20

LAMPIRAN ........................................................................................................... 22

Page 9: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

ix

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Perbedaan Zat Pewarna Sintetis dan Alami ...................................................... 6

4.1 Data Kadar Indigo Dengan Waktu Aerasi ...................................................... 15

4.2 Data Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo ............................ 15

4.3 Data Kadar Indigo Perendaman dengan Asam Klorida dan Asam Sulfat ...... 16

4.4 Data Perubahan Warna Yang Dihasilkan oleh Zat Pengikat .......................... 18

Page 10: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Struktur Zat Warna Indigo ............................................................................... 8

3.1 Rangkaian Alat Proses Oksidasi ..................................................................... 12

4.1 Data Kadar Indigo Dengan Waktu Aerasi ...................................................... 15

4.2 Data Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo ............................ 16

4.3 Data Kadar Indigo Perendaman dengan Asam Klorida dan

Asam Sulfat .................................................................................................... 17

Page 11: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Cara Kerja Pemungutan Zat Warna Indigo Dengan Pengasaman .................. 22

2. Cara Kerja Aplikasi Pada Kain ....................................................................... 23

3. Data Pengamatan Selama Proses Pemungutan Zat Warna Indigo .................. 24

4. Data Hasil Uji Spektrofotometri UV-VIS Laboratorium MIPA UNNES ...... 25

5. Dokumentasi Proses Pemungutan Pewarna Alami ......................................... 26

Page 12: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batik merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang sudah diakui

UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 sebagai salah satu warisan tak benda

bangsa Indonesia. Batik pada dasarnya adalah teknik menghias permukaan tekstil

dengan cara menahan pewarna. Dapat dikatakan bahwa teknik ini dijumpai

dimana saja dan merupakan salah satu tahapan pencapaian dalam peradaban

manusia. Di pulau Jawa teknik tersebut menggunakan alat yang bernama canting

untuk menggoreskan motif-motif dengan lilin di atas sehelai kain. Konon Batik

berasal dari kata BATHIK (bahasa Jawa) yang secara etimologi berasal dari kata

Jawa kuno yang berarti dengan teliti atau cermat (Rini, dkk 2011).

Pada mulanya semua bahan pewarnaan batik dibuat dari bahan-bahan

alami yang berasal dari lingkungan setempat. Bahan pewarnaan alami tersebut

juga lazim digunakan untuk karya-karya seni lain di kepulauan Nusantara. Sumber

bahan pewarna yang digunakan adalah bagian kulit kayu, buah, bunga dan akar

suatu tanaman. Di awal abad ke-20 warna sintetis/kimia mulai digunakan luas

oleh pengrajin-pengrajin batik di Pekalongan (Rini, dkk 2011).

Teknik pewarnaan sintetis/kimia menggeser teknik pewarnaan alami

karena proses pengerjaan jauh lebih mudah, dan warna yang dihasilkan lebih

beragam. Media kain yang digunakan pada awalnya adalah kain katun, karena

pada dasarnya warna-warna alami hanya dapat terserap sempurna pada bahan

baku serat alami. Seiring bergesernya waktu, kebutuhan kain batik semakin

meningkat, dan produksi kain batik yang menggunakan bahan pewarna

sintetis/kimia juga meningkat. Hal tersebut akan menimbulkan masalah baru yaitu

masalah pencemaran lingkungan. Pembuangan limbah pewarna sintetis/kimia ke

sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu akan merusak lingkungan di daerah

sekitar sentra-sentra industri batik (Rini, dkk 2011).

Page 13: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

2

Limbah tersebut terutama berasal dari proses pewarnaan batik yang masih

menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya.

Pewarna-pewarna berbahan kimia itu tergolong tidak ramah lingkungan. Apabila

mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan itu bisa merusak ekosistem tanah.

Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahan-bahan kimia tersebut.

Bukan hanya itu, jika masuk ke tubuh, bahan-bahan yang bersifat karsinogenik itu

akan membahayakan kesehatan manusia. Agar hasil pembuatan batik tidak terlalu

mencemari lingkungan dan membahayakan manusia, bahan pewarna sintetis itu

harus diganti dengan pewarna dari alam (Brono 2010).

Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil

ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga.

Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat

mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah daun pohon nila (indigofera),

kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina

javanensis), kunyit (Curcuma), teh (The), akar mengkudu (Morinda citrifelia),

kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun

jambu biji (Psidium guajava) (Susanto 1973).

Tanaman Indigofera dikenal dengan nama nila, tom jawa, tarum alus,

tarum kayu (Indonesia), indigo (Inggris), nila, tarum (Malaysia), tagung-tagung,

taiom, taiung (Filipina). Merupakan tumbuhan asli Afrika Timur dan Afrika

bagian Selatan serta telah diperkenalkan ke Laos, Vietnam, Filipina dan Indonesia

(Sumatera, Jawa, Sumba dan Flores). Pigmen warna yang ditimbulkannya

dikelompokan ke dalam pewarna lemak karena ditimbulkan kembali pada serat

melalui proses redoks, pewarna ini seringkali memperlihatkan kekekalan yang

istimewa terhadap cahaya dan pencucian. Tanaman nila (indigofera) dimanfaatkan

secara luas sebagai sumber pewarna biru (Adalina, dkk 2010).

Tanaman nila (indigofera) mengandung glukosida indikan. Setelah

tanaman ini direndam di dalam air terjadi proses hidrolisis oleh enzim, menurut

Hassan Shadily dan Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo dalam bukunya disebutkan

bahwa glukosida indikan juga dapat dihidrolisis dengan asam encer, dalam

bukunya yang berjudul pengantar kimia buku panduan mahasiswa kedokteran

Page 14: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

3

Darmin Sumardjo menyebutkan asam yang digunakan untuk menghidrolisis

gugus glikosida adalah asam mineral, yang akan mengubah indikan menjadi

indoksil (tarum putih) dan glukosa. Indoksil dapat dioksidasi menjadi indigo

dengan warna biru (Adalina, dkk 2010; Shadily dan Pringgodigdo, 1973;

Sumarjdo 2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka saya tertarik untuk membuat pewarna

batik dari tanaman nila (indigofera) sebagai bahan pengganti pewarna sintetis

dengan metode pengasaman serta aplikasi zat pewarna pada kain batik.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaruh waktu oksidasi terhadap kadar indigo yang dihasilkan?

b. Bagaimana pengaruh konsentrasi asam encer pada saat hidrolisis terhadap

kadar indigo yang dihasilkan?

c. Bagaimana pengaruh jenis asam yang digunakan terhadap kadar indigo yang

dihasilkan?

d. Bagaimana pengaruh zat pengikat warna terhadap warna yang dihasilkan pada

kain?

1.3 Tujuan

Tujuan dari tugas akhir ini antara lain:

a. Mengetahui pengaruh waktu oksidasi terhadap kadar indigo yang dihasilkan.

b. Mengetahui pengaruh konsentrasi asam encer terhadap kadar zat warna biru.

c. Mengetahui pengaruh jenis asam yang digunakan terhadap kadar indigo yang

dihasilkan.

d. Mengetahui pengaruh zat pengikat warna terhadap warna yang dihasilkan

pada kain.

Page 15: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

4

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat diberikan dari tugas akhir ini antara lain:

a. Sebagai pengganti pewarna sintetis batik yang tidak menimbulkan kerusakan

pada lingkungan dan kesehatan.

b. Sebagai pelestarian penggunaan zat warna alami yang mulai ditinggalkan.

c. Meningkatkan nilai estetika batik dengan penggunaan pewarna alami.

d. Sebagai pelestarian batik yang merupakan budaya asli Indonesia.

Page 16: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Batik

Batik merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang sudah diakui

UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 sebagai salah satu warisan tak benda

bangsa Indonesia. Batik pada dasarnya adalah teknik menghias permukaan

tekstil dengan cara menahan pewarna. Dapat dikatakan bahwa teknik ini

dijumpai dimana saja dan merupakan salah satu tahapan pencapaian dalam

peradaban manusia. Di pulau Jawa teknik tersebut menggunakan alat yang

bernama canting untuk menggoreskan motif-motif dengan lilin diatas sehelai

kain. Konon Batik berasal dari kata BATHIK (bahasa Jawa) yang secara

etimologi berasal dari kata Jawa kuno yang berarti dengan teliti atau cermat

(Rini, dkk 2011).

Pada mulanya semua bahan pewarnaan batik dibuat dari bahan-bahan

alami yang berasal dari lingkungan setempat. Bahan pewarnaan alami tersebut

juga lazim digunakan untuk karya-karya seni lain di kepulauan Nusantara.

Sumber bahan pewarna yang digunakan adalah bagian kulit kayu, buah, bunga

dan akar suatu tanaman. Di awal abad ke-20 warna sintetis/kimia mulai

digunakan luas oleh pengrajin-pengrajin batik di Pekalongan (Rini, dkk 2011).

Teknik pewarnaan sintetis/kimia menggeser teknik pewarnaan alami

karena proses pengerjaan jauh lebih mudah, dan warna yang dihasilkan lebih

beragam. Media kain yang digunakan pada awalnya adalah kain katun, karena

pada dasarnya warna-warna alami hanya dapat terserap sempurna pada bahan

baku serat alami. Seiring bergesernya waktu, kebutuhan kain batik semakin

meningkat, dan produksi kain batik yang menggunakan bahan pewarna

sintetis/kimia juga meningkat. Hal tersebut akan menimbulkan masalah baru

yaitu masalah pencemaran lingkungan. Pembuangan limbah pewarna

sintetis/kimia ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu akan merusak

lingkungan di daerah sekitar sentra-sentra industri batik. Berdasarkan hasil

identifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, terdapat 48.287 UKM Batik

Page 17: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

6

yang proses produksinya menyebabkan pencemaran sungai di Indonesia karena

menggunakan lilin/wax, pewarna sintetis/kimia dan bahan bahan kimia lainnya

secara berlebihan (Rini, dkk 2011).

Limbah tersebut terutama berasal dari proses pewarnaan batik yang masih

menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya.

Pewarna-pewarna berbahan kimia itu tergolong tidak ramah lingkungan.

Apabila mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan itu bisa merusak ekosistem

tanah. Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahan-bahan kimia

tersebut. Bukan hanya itu, jika masuk ke tubuh, bahan-bahan yang bersifat

karsinogenik itu akan membahayakan kesehatan manusia. Agar hasil

pembuatan batik tidak terlalu mencemari lingkungan dan membahayakan

manusia, bahan pewarna sintetis itu harus diganti dengan pewarna dari alam

(Brono 2010).

2.2 Pewarna Alami Batik

Pewarna dapat dipilih atas dasar sumber serta pembuatannya, yaitu

pewarna alami dan pewarna sintetis. Pewarna alami ada yang berasal dari

mineral dan ada yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pewarna alami tumbuh-

tumbuhan didapat dari ekstrak pigmen tumbuh-tumbuhan. Sementara, pewarna

sintetis diperoleh melalui proses kimia (Pitojo dan Zumiati 2009).

Tabel 2.1 Perbedaan Zat Pewarna Sintetis dan Alami

Spesifikasi Zat Pewarna Sintetis Zat Pewarna Alami

Warna yang dihasilkan Lebih cerah

Lebih homogen

Lebih pudar

Tidak homogen

Variasi warna Banyak Sedikit

Harga Lebih murah Lebih mahal

Ketersediaan Tidak terbatas Terbatas

Kestabilan Stabil Kurang stabil

(Lee 2005)

Dalam kenyataannya, penggunaan pewarna nabati dihadapkan pada

beberapa kelemahan sebagai berikut (Pitojo dan Zumiati 2009):

a. Bahan baku pewarna berjumlah banyak

Untuk memperoleh zat warna nabati dalam jumlah relatif banyak,

biasanya diperlukan bahan baku yang banyak.

Page 18: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

7

b. Hasil biasanya tidak eksak

Hasil yang diperoleh akan bervariasi dan beragam atau tidak konsisten.

c. Peka terhadap pemanasan

Perlakuan panas pada pemasakan bahan makanan, misalnya

pengeringan atau perebusan bahan pangan akan mengubah sifat fisika

dan kimia bahan pangan.

d. Peka terhadap keasaman larutan

Beberapa jenis zat warna nabati juga dapat terpengaruh oleh kondisi

keasaman larutan.

e. Kurang ekonomis

Secara teoritis, jika dinilai dengan satuan harga, pewarna nabati lebih

mahal dibandingkan dengan pewarna sintetis.

Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil

ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga.

Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang

dapat mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah daun pohon nila

(indigofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran

(Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh (The), akar mengkudu (Morinda

citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa

orelana), daun jambu biji (Psidium guajava) (Susanto 1973).

2.3 Tanaman Nila (indigofera)

Tumbuhan ini dikenal dengan nama: Tom jawa, tarum alus, tarum kayu

(Indonesia), indigo (Inggris), nila, tarum (Malaysia), tagung-tagung, taiom,

taiung (Filipina). Merupakan tumbuhan asli Afrika Timur dan Afrika bagian

Selatan serta telah diperkenalkan ke Laos, Vietnam, Filipina dan Indonesia

(Sumatera, Jawa, Sumba dan Flores) (Adalina, dkk 2010).

Pigmen warna yang ditimbulkannya dikelompokan ke dalam pewarna

lemak karena ditimbulkan kembali pada serat melalui proses redoks, pewarna

ini seringkali memperlihatkan kekekalan yang istimewa terhadap cahaya dan

pencucian. Jenis-jenis indigofera dimanfaatkan secara luas sebagai sumber

pewarna biru. Jenis ini sebagai tanaman penutup tanah dan sebagai pupuk

Page 19: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

8

hijau, khususnya diperkebunan teh, kopi dan karet. Daunnya digunakan dalam

pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ayan dan gangguan

syaraf, untuk luka dan borok (Adalina, dkk 2010).

Budidaya dan perdagangan internasional secara besar-besaran dimulai

dalam abad 16 di India dan Asia Tenggara. Di Indonesia indogofera masih

dibudidayakan di beberapa desa Pantai Utara Jawa dan diseluruh wilayah

Indonesia Bagian Timur yang digunakan untuk mewarnai kain tradisional dan

kain untuk keperluan upacara adat (Adalina, dkk 2010).

Tanaman indigofera mengandung glukosida indikan. Setelah tanaman ini

direndam di dalam air, proses hidrolisis oleh enzim akan mengubah indikan

menjadi indoksil (tarum putih) dan glukosa. Indoksil dapat dioksidasi menjadi

tarum biru. Kandungan daun Indigofera arecta terdiri dari: N 4,46 %, P2O5

0,02%, K2O 1,95 %, CaO 4,48 % menurut bobot kering (Adalina, dkk 2010).

Gambar 2.1 Struktur Zat Warna Indigo

Tanaman indigofera termasuk perdu kecil dan terna dengan percabangan

tegak atau memencar, tertutup indumentum yang berupa bulu-bulu bercabang

dua. Daunnya berseling, bersirip ganjil kadang-kadang beranak daun tiga atau

tunggal. Bunganya tersusun dalam suatu tandan di ketiak daun, bertangkai,

daun kelopaknya berbentuk genta bergerigi lima, daun mahkotanya berbentuk

kupu-kupu. Buah bertipe polong, berbentuk pita, lurus atau bengkok, berisi 1-

20 biji. Semainya dengan perkecambahan epigeal, keping bijinya tebal, cepat

rontok. Dapat tumbuh dari 0-1,650 meter di atas permukaan laut (dpl) dan

tumbuh subur di tanah gembur yang kaya akan bahan organik. Sebagai

tanaman penghasil pewama di tanam di dataran tinggi dan sebagai tanaman

sekunder di tanah sawah, lahan berdrainase cukup baik. Sebagai tanaman

Page 20: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

9

penutup tanah dapat ditanam di kebun dengan sedikit naungan atau tanpa

naungan. Menyenangi iklim panas dan lembab dengan curah hujan tidak

kurang dari 1.750 mm/th (Adalina, dkk 2010).

2.4 Pemungutan Zat Warna Indigo

Indigo merupakan kelompok senyawa karbonil, adalah salah satu zat

pewama tertua yang dikenal dalam hal zat pewarna alami. Merupakan derivat

(turunan) dan kelompok senyawa organik g!ukosida yang tidak berwarna dari

bentuk "enol"nya dari suatu indoksil, misalnya indikan. Tanaman nila

(indigofera) mengandung glukosida indikan. Setelah tanaman ini direndam di

dalam air terjadi proses hidrolisis oleh enzim, menurut Hassan Shadily dan

Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo dalam bukunya disebutkan bahwa glukosida

indikan juga dapat dihidrolisis dengan asam encer, dalam bukunya yang

berjudul pengantar kimia buku panduan mahasiswa kedokteran Darmin

Sumardjo menyebutkan asam yang digunakan untuk menghidrolisis gugus

glikosida adalah asam mineral, yang akan mengubah indikan menjadi indoksil

(tarum putih) dan glukosa. Indoksil dapat dioksidasi menjadi indigo dengan

warna biru (Adalina, dkk 2010; Shadily dan Pringgodigdo 1973; Sumarjdo

2006).

(Kim et al 2009)

2.5 Analisis Kadar Indigo dengan Spektrofotometri UV-Vis

Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kadar indigo

adalah spektrofotometri dengan pelarut organik, titrimetri redox untuk

mengetahui leuko indigo yang teroksidasi dan hidrodinamik voltametri

(Vuorema 2008)

Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisa yang

digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif

dan kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya.

glukosa indoksil

.…1

Glukosida indikan Indoksil glukosa

Page 21: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

10

Sedangkan peralatan yang digunakan dalam spektrofometri disebut

spektrofotometer. Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel (380–

700 nm), UV (200–380 nm) dan inframerah (700–3000 nm), sedangkan materi

dapat berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan adalah elektron

yang ada pada atom ataupun molekul yang bersangkutan (Mayangsari dkk

2012).

Warna larutan kimia tergantung pada jenis sinar yang dipancarkan dan

ditangkap oleh mata, sehingga senyawa kimia ada yang berwarna atau tidak.

Spektrofotometer merupakan alat pengukur kualitatif dan kuantitatif karena

jumlah sinarnya yang diserap oleh partikel di dalam larutan juga tergantung

pada jenis dan jumlah partikel (Anwar dan Adijuwana 1989).

Warna indigo sangat dipengaruhi oleh keadaan fisik zat warna dan

lingkungan di sekitarnya, misalnya pada fasa uap zat warna indigo berwarna

merah, sedangkan pada fasa padat menjadi berwarna biru. Zat warna indigo

juga bersifat solvatokromik, yaitu akan berbeda warnanya bila dilarutkan dalam

pelarut yang berbeda kepolarannya. Dalam hal ini akan terjadi efek

hipsokromik atau terjadi penurunan panjang gelombang maksimumnya bila

kepolaran pelarutnya berkurang, hal tersebut karena jika pelarut kurang polar

maka ikatan hidrogen intramolekuler akan berkurang, sehinga struktur zat

warna dapat memuntir dan menjadi kurang planar (Mayangsari dkk 2012).

Keuntungan dari analisis spekstroskopi adalah sangat sedikitnya sampel yang

digunakan untuk analisis lengkap (Markham 1988).

Page 22: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

11

BAB III

PROSEDUR KERJA

3.1 Alat

a. Timbangan Analitik

b. Beaker glass

c. Labu takar

d. Gelas ukur

e. Gelas arloji

f. Pengaduk kaca

g. Spatula

h. Pipet tetes

i. Pisau, gunting

j. Kipas angin

k. Saringan

l. Air pump

3.2 Bahan

a. Daun indigofera

b. Kapur

c. Sodium hidroksida

d. Aquades

e. Asam klorida

f. Asam sulfat

g. Tawas

h. Tunjung

i. Indikator pH

Page 23: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

12

3.3 RangkaianAlat

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Proses Oksidasi

Keterangan:

a = glass beaker

b = selang

c = air pump

3.4 Cara Kerja

3.4.1 Variasi Konsentrasi Asam Klorida Dan Jenis Asam Dalam Larutan

Rendaman

1. Pisahkan daun dari batangnya, kemudian cuci bersih.

2. Rendam 400 gram daun dalam 1,2 L larutan asam klorida 0,01 M

selama 1 hari.

3. Pisahkan cairan rendamannya dari daunnya.

4. Dilakukan oksidasi dengan cara aerasi yaitu menyuplai udara ke

dalam larutan selama 12 jam.

5. Pada jam ke 4, ke 8 dan ke 12 diambil 15 mL sampel untuk diuji

kadar indigonya.

6. Pisahkan endapan dari filtratnya, kemudian endapan diangin-

anginkan sampai kering dan menjadi serbuk.

a

c

b

Page 24: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

13

7. Dilakukan langkah yang sama dari 1-6 untuk asam klorida dengan

konsentrasi 0,001, 0,1 dan asam sulfat kecuali langkah ke 5,

pengambilan sampel hanya pada jam ke 12.

3.4.2 Aplikasi Pada Kain

1. Buat 100 mL larutan sodium hidroksida sampai pH 11.

2. Tambahkan 1 gram gula merah pada larutan dan 1 gram pewarna

indigo sambil diaduk, sampai larut sempurna.

3. Celupkan kain berwana putih kedalam larutan warna indigo,

kemudian diangin-anginkan.

4. Celupkan lagi kedalam larutan kapur dengan komposisi 14 gram

kapur per 200 mL air, kemudian diangin-anginkan.

5. Dilakukan langkah yang sama dari 1-4 untuk tawas dan tunjung.

Untuk tunjung komposisi larutannya adalah 10 gram per 200 mL air,

sedangkan untuk tawas sama dengan kapur.

Page 25: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada percobaan pewarna alami dari tanaman nila menggunakan asam

klorida dengan konsentrasi rendah sebagai katalis pada hidrolisis glukosida

indikan menjadi indoksil dan glukosa. Untuk menentukan konsentrasi asam

klorida yang dapat menghasilkan kadar indigo tertinggi, asam klorida dibuat

dengan konsentrasi 0,1 M, 0,01 M dan 0,001 M. Pada percobaan ini digunakan

asam sulfat sebagai pembanding pada proses hidrolisis. Bahan utama yang

digunakan untuk pemungutan zat warna alami ini adalah daun dari tanaman nila.

Daun yang digunakan dalam percobaan adalah daun yang masih muda dengan

umur ± 2 bulan dan segar, karena semakin segar daun yang digunakan, kandungan

glukosida indikan masih banyak, sehingga rendemen yang dihasilkan maksimal.

Preparasi sampel tanaman nila dilakukan dengan memisahkan daun dari

batangnya, karena konsentrasi glukosida indikan dalam tanaman nila berada pada

daun.

Untuk mendapatkan pewarna alami dari daun nila, pertama bahan

dihidrolisis dengan cara merendam daun nila segar sebanyak 400 gram

menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 0,01 M, waktu perendaman 24

jam. Filtrat hasil perendaman kemudian dioksidasi dengan cara aerasi, yaitu

menyuplai udara ke dalam larutan selama 12 jam. Dilakukan langkah yang sama

untuk asam klorida dengan konsentrasi 0,001 M, 0,1 M dan asam sulfat 0,01 M.

Pengamatan yang dilakukan pada percobaan ini meliputi pengaruh

konsentrasi asam terhadap kadar indigo, pengaruh waktu oksidasi terhadap kadar

indigo, pengaruh jenis asam terhadap kadar indigo, dan pengaruh zat pengikat

warna terhadap warna yang dihasilkan pada kain.

4.1 Pengaruh Waktu Oksidasi Terhadap Kadar Indigo

Aerasi bertujuan untuk mengoksidasi indoksil menjadi indigo, yang

merupakan zat pewarna alami. Filtrat hasil perendaman daun nila menggunakan

asam klorida dengan konsentrasi 0,001 M dioksidasi dengan cara menyuplai udara

Page 26: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

15

ke dalam filtrat menggunakan air pump selama 12 jam, setiap 4 jam sekali sampel

diambil untuk dianalisa kadar indigonya.

Tabel 4.1 Data Kadar Indigo dengan Waktu Aerasi

No. Waktu Aerasi (jam) Kadar Indigo (ppm)

1. 4 22,65

2. 8 22,96

3 12 23,78

Gambar 4.1 Data Kadar Indigo dengan Waktu Aerasi

Dari tabel 4.1 dapat diperoleh bahwa semakin lama waktu oksidasi kadar

indigo semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak konsentrasi

oksigen dalam filtrat, indoksil yang terkandung dalam filtrat semakin banyak pula

yang teroksidasi.

4.2 Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo

Untuk menentukan konsentrasi asam klorida yang dapat menghasilkan

kadar indigo tertinggi, asam klorida dibuat dengan konsentrasi 0,1 M, 0,01 M dan

0,001 M pada saat perendaman.

Tabel 4.2 Data Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo

No. Konsentrasi Asam Klorida (M) Kadar Indigo (ppm)

1. 0,001 23,78

2. 0,01 26,88

3 0,1 15,77

22

23

24

4 8 12

kad

ar in

dig

o (

pp

m)

waktu aerasi (jam)

Page 27: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

16

Gambar 4.2 Data Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo

Dari tabel 4.2 diperoleh data perendaman menggunakan asam klorida

dengan konsentrasi 0,01 M menghasilkan rendemen paling tinggi. Menurut

Hassan Shadily dan Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo dalam bukunya disebutkan

bahwa glukosida indikan dapat dihidrolisis dengan asam encer, ini berarti bahwa

konsentrasi asam encer yang dapat menghidrolisis glukosida indikan secara

optimal berada pada kisaran 0,01 M.

4.3 Pengaruh Jenis Asam Terhadap Kadar Indigo

Untuk mengetahui jenis asam mineral yang dapat menghasilkan kadar

indigo paling banyak digunakan asam sulfat konsentrasi yang sama dengan

konsentrasi asam klorida yang menghasilkan kadar indigo paling banyak yaitu

0,01 M.

Tabel 4.3 Data Kadar Indigo Perendaman dengan Asam Klorida dan

Asam Sulfat

No. Jenis Asam Kadar Indigo (ppm)

1. Asam Klorida 26,88

2. Asam Sulfat 29,20

0

5

10

15

20

25

30

0,001 0,01 0,1

kad

ar in

dig

o (

pp

m)

konsentrasi asam klorida (M)

Page 28: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

17

Gambar 4.3 Data Kadar Indigo Perendaman dengan Asam Klorida dan Asam

Sulfat

Dari tabel 4.3 diperoleh data bahwa perendaman menggunakan asam sulfat

menghasilkan kadar indigo yang lebih besar yaitu 29,20 ppm, dari pada kadar

indigo pada perendaman menggunakan asam klorida yaitu 26,88 ppm. Hal ini

disebabkan oleh asam kuat yang melepas proton (H+) secara sempurna didalam

air, akan mempengaruhi pemutusan ikatan glikosida (Handoko 2006) glukosida

indikan kemudian akan terurai menjadi indoksil dan glukosa, indoksil yang

dihasilkan dioksidasi menjadi indigo. Semakin banyak glukosida indikan yang

terurai menjadi indoksil dan glukosa, maka semakin banyak pula indigo yang

akan dihasilkan.

4.4 Pengaruh Zat Pengikat

Untuk menghasilkan warna yang baik maka hasil celupan warna perlu

diberi bahan pengikat (beits atau fiksasi). Bahan pembantu ini diantaraanya: jeruk

sitrun, jeruk nipis, cuka, sendawa, borak, tawaas, gula batu, gula jawa, gula aren,

tunjung, prusi, tetes, air kapur, tape, pisang klutuk, daun jambu klutuk. Selain itu

jenis masing-masing zat pengikat dalam proses pewarnaan kain batik dengan zat

warna alam menghasilkan arah warna yang berbeda (Soebandi dkk 2011).

Pada percobaan ini, digunakan kapur, tawas dan tunjung. Sebelum kain

dicelupkan, zat warna indigo dilarutkan terlebih dahulu ke dalam air dengan cara

membuat larutan sodium hidroksida hingga pH 11, setelah itu masukkan gula

jawa dan pewarna indigo ke dalam larutan sodium hidroksida. Gula berperan

sebagai agen pereduksi untuk mereduksi pewarna indigo agar larut dalam air,

25

26

27

28

29

30

asam klorida asam sulfat

kad

ar in

dig

o (

pp

m)

jenis asam pada konsentrasi 0,01 M

Page 29: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

18

sedangkan sodium hidroksida berperan sebagai katalis (Vuorema 2008). Selain itu

sodium hidroksida berfungsi untuk meningkatkan daya gabung zat warna terhadap

kain. Pencelupan pada pH 10,5 – 11,5 memberikan ketuaan warna lebih tinggi

dari hasil celup diatas pH 12,5 dan dibawah pH 9. (Mayangsari dkk 2012)

Setelah pewarna indigo larut dalam air, kain dicelupkan ke dalam larutan

kemudian diangin-anginkan. Setelah kering kemudian baru dicelup ke dalam

larutan zat pengikat.

Tabel 4.4 Data Perubahan Warna Yang Dihasilkan oleh Zat Pengikat

No. Zat Pengunci Sebelum dicelup Sesudah dicelup

1. Kapur Biru Biru muda

2. Tunjung Biru Biru tua

kehijauan

3 Tawas Biru Biru

Perubahan warna yang dihasilkan dari ketiga zat pengikat yang paling

kelihatan adalah penggunaan tunjung. Hal ini disebabkan kandungan besi dalam

tunjung membuat warna pada kain tua. Sedangkan penggunaan kapur

menghasilkan warna biru muda dan tawas menghasilkan warna biru seperti

aslinya.

Page 30: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

19

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

a. Semakin lama waktu oksidasi kadar indigo semakin tinggi.

b. Konsentrasi asam klorida 0,01 M menghasilkan kadar indigo paling tinggi

yaitu 26,88 ppm dibandingkan dengan konsentrasi 0,1 M dan 0,001 M.

c. Asam sulfat 0,01 M menghasilkan kadar indigo paling tinggi yaitu 29,20

ppm daripada dengan asam klorida 0,01 M.

d. Zat pengikat dapat mempengaruhi kenampakan warna yang dihasilkan.

5.2 Saran

a. Sebaiknya menggunakan daun nila yang berusia 4-6 bulan untuk

mendapatkan zat warna indigo lebih banyak.

b. Pada saat aerasi disarankan penggunaan wadah yang besar dan mudah

dibersihkan. Untuk mengantisipasi pembentukan buih yang banyak dan

membersihkan indigo yang menempel pada dinding wadah.

Page 31: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

20

DAFTAR PUSTAKA

Adalina, Y. dkk. 2010. Sumber Bahan Pewarna Alami Sebagai Tinta Sidik Jari

Pemilu. Bogor : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Dan

Konservas Alam Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan

Departemen Kehutanan.

Anwar, Muhammad Nur dan H. Adijuwana. 1989. Teknik Spektrofotometer dalam

Analisis Biologis. Bogor: PAU-IPB.

Brono, Haryo. 2010. Mewarnai Batik Dengan Indigofera.

http://haryobrono.blogspot.com/2010/11/mewarnai-batik-dengan-

indigofera.html [akses 14/12/13].

Handoko, D. S. P. 2006. Kinetika Hidrolisis Maltosa Pada Variasi Suhu Dan

Jenis Asam Sebagai Katalis. Jember: Jurusan Kimia Universitas Jember.

Kim, J.Y. et al. 2009. Mining And Identification Of A Glucosidase Family

Enzyme With High Activity Toward The Plant Extract Indican. Journal of

Molecular Catalysis B: Enzymatic. 57: 284–291.

Lee TA, Sci BH, Counsel. 2005. The Food From Hell Food Colouring. The

Internet Journal of Toxicology. Vol 2 No 2. China: Queers Network

Research.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: ITB.

Mayangsari, P. dkk .2012. Review: Usaha Untuk Menjaga Ketuaan Warna Hasil

Pencelupan Kain Denim Dengan Zat Warna Indigo Dengan Mengatur pH

Larutan Celup. Bandung: STT Tekstil.

Pitojo Setijo dan Zumiati. 2009. Pewarna Nabati Makanan. Yogyakarta:

Kanisius.

Rini, S. dkk. 2011. Pesona Warna Alami Indonesia. Jakarta: Yayasan

Keanekaragaman Indonesia.

Sewan Susanto. 1973. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogayakarta: BPKB

Shadily, H. dan Pringgodigdo. 1973. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta: kanisius.

Sumardjo, D. 2006. Pengantar Kimia Buku Panduan Mahasiswa Kedokteran.

Jakarta: Kedoteran EGC.

Page 32: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

21

Soebandi, B. dkk. 2011. Eksplorasi Bahan Fiksasi Untuk Menentukanjenis Dan

Arah Warna Pada Proses Pewarnaankain Batik Dengan Zat Warna Alam

(ZPA). Bandung: FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Vuorema, A. 2008. Reduction And Analysis Methods Of Indigo. Finland:

Department of Chemistry University of Turku.

Page 33: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

22

Lampiran 1

Cara Kerja Pemungutan Zat Warna Indigo Dengan Pengasaman

Daun nila

Daun nila dalam larutan

asam

Daun nila bersih

Daun Filtrat

Campuran

Indigo Filtrat

Di bersihkan

Rendam dalam larutan asam

klorida dengan variasi

konsentrasi 0.1 M, 0.01 M,

0.001 M dan asam sulfat 0.01 M

Diamkan selama 24 jam

Pisahkan

Dioksidasi selama 12 jam

Diambil sampel setiap 4 jam

sekali untuk asam klorida

konsentrasi 0.001 M

Diamkan agar mengendap

Pisahkan

Page 34: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

23

Lampiran 2

Cara Kerja Aplikasi Pada Kain

Kain putih

Gula merah Larutan NaOH pH 11

Larutan zat warna

Indigo

Di celup-celupkan

Aduk hingga larut sempurna

Larutan zat warna Kain berwarna

Kain diambil

Kain berwarna

Diangin-anginkan sampai

lembab

Celupkan kedalam larutan

zat pengunci

Page 35: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

24

Lampiran 3

Data Pengamatan Selama Proses Pemungutan Zat Warna Indigo

No Perlakuan Pengamatan

1.

2.

3.

4.

5.

Daun nila segar dipisahkan dari

batangnya

Daun nila direndam pada larutan

asam klorida 0,1 M, 0,01 M,

0,001 M dan asam sulfat 0,01 M

Rendaman dipisahkan

Filtrat diaerasi selama 12 jam

Endapkan 1 malam dan ambil

residunya

Daun terpisah

- Aroma asam bercampur bau khas daun

nila

- Pada konsentrasi 0,1 M warna daun

nila berubah menjadi coklat,

sedangkan pada konsentrasi lain yang

lain tetap hijau.

- Filtrat HCl 0,1 M berwarna hijau

kebiruan, HCl 0,01 berwarna coklat

kehijauan, HCl 0,001 coklat kehijauan,

dan asam sulfat 0,01 M coklat

kehijauan.

- Terbentuk buih dan buih berubah

warna menjadi biru. HCl pada

konsentrasi 0,1 M menghasilkan buih

paling banyak, namun sukar berubah

menjadi biru.

- Filtrat berwarna coklat

- Residu berwana biru dongker, pada

HCl 0,001 M, 0,01 M dan H2SO4 0,01

M dihasilkan indigo berbentuk padat,

HCl 0,01 dihasilkan indigo berbentuk

serbuk.

Page 36: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

25

Lampiran 4

Data Hasil Uji Spektrofotometri UV-VIS Laboratorium MIPA UNNES

1. Data Panjang Gelombang Zat Wrna Indigo Pada Konsentrasi 40 ppm

No Panjang gelombang (nm) Absorbansi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

1013

907

877

741

386

297

0,138

0,12

0,084

0,078

3,287

3,512

2. Data Absorbansi Larutan Indigo Berbagai Konsentrasi Pada Panjang

Gelombang 386 nm

No Konsentrasi Indigo (ppm) Absorbansi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

0

20

40

60

80

100

0

1,685

3,01

3,135

3,135

3,135

3. Data Konsentrasi Sampel Yang Diujikan

No Sampel absorbansi Konsentrasi (ppm)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

HCl 0,001 M jam ke 4

HCl 0,001 M jam ke 8

HCl 0,001 M jam ke 12

HCl 0,01 M

HCl 0,1 M

H2S04 0,01 M

0,933

0,947

0,98

1,108

0,65

1,203

22,65

22,985

23,779

26,884

15,766

29,2

Page 37: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

26

Lampiran 5

Dokumentasi Proses Pemungutan Pewarna Alami

1. Proses hidrolisis

Daun nila

Perendaman daun nila dengan larutan asam

Setelah proses hidrolisis daun dan filtrat dipisahkan

Page 38: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

27

2. Proses oksidasi

Proses oksidasi

Pengendapan selama 1 malam

Zat warna indigo

Page 39: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

28

3. Proses pengaplikasian pada kain

Pelarutan indigo kedalam air

Pencelupan kain pada larutan zat warna

Sebelum pencelupan pada larutan zat pengikat

Saat pencelupan pada larutan zat pengikat

Page 40: PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA (Indigofera

29

Setelah pencelupan pada zat pengikat