perlawanan politik santri -...

39
PERLAWANAN POLITIK SANTRI Kajian tentang Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai, Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya bagi Perkembangan Partai-partai Politik Islam di Pekalongan J. Mardimin Satya Wacana University Press 2016

Upload: doandiep

Post on 06-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERLAWANAN POLITIK

SANTRI

Kajian tentang Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai,

Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya bagi

Perkembangan Partai-partai Politik Islam

di Pekalongan

J. Mardimin

Satya Wacana University Press

2016

PERLAWANAN POLITIK

SANTRI

Kajian tentang Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai,

Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya bagi

Perkembangan Partai-partai Politik Islam

di Pekalongan

J. Mardimin

Satya Wacana University Press

2016

ii

© J. Mardimin

All rights reserved. Saved exception stated by the law, no part of this

publication may be reduced, stored in a retrieval system of any nature, or

transmitted in any form or by any means electronic, mechanical,

photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial

transcription, without the prior written permission of the author, application

for which should be addressed to author.

Diterbitkan oleh

Satya Wacana University Press

Universitas Kristen Satya Wacana

Jln. Diponegoro No. 52-60 Salatiga 50711

Telp (0298) 321212 ext. 229 Fax (0298) 311995

iv

Promotor:

Dr. Pamerdi Giri Wiloso, M.Si

Ko Promotor:

Dr. Zuly Qodir

Prof. Dr. Sony Heru Priyanto, MM

Penguji:

Marthen L. Ndoen, MA., Ph.D

Neil Semuel Rupidara, M.Sc., Ph.D

Prof. Dr. H. Muhammad Zuhri, MA

ii

© J. Mardimin

All rights reserved. Saved exception stated by the law, no part of this

publication may be reduced, stored in a retrieval system of any nature, or

transmitted in any form or by any means electronic, mechanical,

photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial

transcription, without the prior written permission of the author, application

for which should be addressed to author.

Diterbitkan oleh

Satya Wacana University Press

Universitas Kristen Satya Wacana

Jln. Diponegoro No. 52-60 Salatiga 50711

Telp (0298) 321212 ext. 229 Fax (0298) 311995

iii

Universitas Kristen Satya Wacana

PERLAWANAN POLITIK

SANTRI

Kajian tentang Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai,

Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya bagi

Perkembangan Partai-partai Politik Islam

di Pekalongan

DISERTASI

Diajukan untuk memperoleh gelar Doktor

di Universitas Kristen Satya Wacana.

Disertasi ini telah dipertahankan dalam ujian terbuka

Program Pascasarjana Doktor Studi Pembangunan

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,

Yang dipimpin oleh Rektor Magnificus:

Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D

pada hari Rabu, 10 Agustus 2016, pukul 10.00 WIB

di Universitas Kristen Satya Wacana

Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga 50711

Oleh:

J. Mardimin

Lahir di Wonogiri, Jawa Tengah

iv

Promotor:

Dr. Pamerdi Giri Wiloso, M.Si

Ko Promotor:

Dr. Zuly Qodir

Prof. Dr. Sony Heru Priyanto, MM

Penguji:

Marthen L. Ndoen, MA., Ph.D

Neil Semuel Rupidara, M.Sc., Ph.D

Prof. Dr. H. Muhammad Zuhri, MA

v

PROLOG

Setiap kali mendengar nama Pekalongan, ada tiga hal menarik yang

terlintas [melintas] dalam pikiran saya, yaitu: sega megana, batiknya

yang khas, dan corak kehidupan masyarakatnya yang Islami. Kesan

serupa mungkin juga ada di benak banyak orang.

Sega megana adalah bentuk hidangan sega (nasi) dan megana (sayuran yang terbuat dari buah nangka muda yang dicincang lembut

dan dimasak dengan cara dikukus dan kemudian ditomis dengan

racikan bumbu-bumbu dan parutan kelapa setengah tua). Jika

dihidangkan hangat-hangat dengan tambahan lauk sambal terasi dan

tempe goreng (mendhohan), sega megana terasa sangat nikmat untuk

sarapan.

Hal kedua yang juga sangat populer dari Pekalongan adalah

batiknya. Juga telah menjadi pengetahuan umum bahwa, batik

Pekalongan telah mempunyai tempat khusus di dunia perbatikan, di

samping Batik gaya Solo, Batik gaya Jogjakarta, dan Batik gaya Cirebon.

Sebagaimana dikemukakan Anton E. Lucas (1989) dalam bukunya yang

berjudul Peristiwa Tiga Daerah, batik khas Pekalongan yang cukup

fenomenal bermotif merak ngigel sesondheran—burung merak yang

menari-nari memamerkan keindahan bulu ekornya—dengan pilihan

warnanya yang khas. Menurut para pengamat seni batik, jika

disandingkan dengan batik gaya Solo, gaya Jogjakarta, dan gaya

Cirebon, Batik Pekalongan mempunyai ciri khas yang cukup menonjol,

terutama pada pilihan warna dan motif-motifnya.

Selain makanan khasnya yang merindukan, dan kerajinan

batiknya yang membuat Pekalongan dikenal sebagai “Kota Batik”,

Pekalongan juga dikenal sebagai “Kota Santri”. Predikat ini dilekatkan

padanya; selain karena banyaknya santri, banyaknya Pondok

Pesantren, dan corak kehidupan masyarakatnya yang Islami, konon,

vi

hampir di setiap Pondok Pesantren besar yang ada di Jawa selalu

didapati Santri yang berasal dari Pekalongan.

Sejak awal tahun 1990-an, setelah Pemerintah Orde Baru

mencanangkan Program Pembangunan Lingkungan yang bersih dan

sehat, serta memberikan penghargaan “Adipura” bagi daerah-daerah

Kabupaten/Kota yang dinilai telah berhasil melaksanakan program

tersebut, predikat “Kota Batik” dipakai sebagai slogan Kota Pekalongan,

dan predikat “Kota Santri” dipakai sebagai slogan Kabupaten

Pekalongan. Dalam konteks ini, kata “BATIK”, kemudian, dipakai

sebagai singkatan slogan pembangunan lingkungan Kota Pekalongan

sebagai daerah yang “Bersih, Aman, Tertib, Indah, dan Komunikatif”;

sedangkan kata “SANTRI” digunakan sebagai singkatan dari slogan

pembangunan lingkungan Kabupaten Pekalongan sebagai kota yang

“Sehat, Agamis, Nyaman, Tertib, Rapi, dan Indah”.

Masalahnya adalah: di balik kelezatan hidangan makanan

khasnya, kemewahan hasil kerajinan batiknya, serta kuatnya tradisi

ke-Islam-an masyarakatnya, terutama di wilayah Pekalongan Bawah,

ternyata, Pekalongan menyimpan berbagai persoalan yang cukup

serius. Di antara berbagai persoalan tersebut, yang sudah sampai pada

tingkat memprihatinkan adalah masalah dehumanisasi di balik corak

masyarakatnya yang kapitalistik, masalah pecemaran lingkungan yang

jauh melebihi ambang batas; serta karakter kehidupan sosial

masyarakatnya yang feodalistik, dan “bersumbu” pendek.

Masalah dehumanisasi. Selain dikenal sebagai “Kota Santri”,

Kota Pekalongan juga dikenal sebagai kota dagang. Karena itu, tidak

mengherankan jika corak masyarakatnya menjadi sangat kapitalistik

dan transaksional. Diakui oleh banyak tokoh masyarakat dari berbagai

kalangan di Kota Pekalongan bahwa, di Pekalongan, harga diri dan

kebernilaian hubungan-hubungan sosial selalu diukur dengan materi.

Persis seperti masyarakat kapitalistik pada umumnya, “kebernilaian”

hubungan-hubungan sosial dan harga diri seseorang dinilai dan diukur

dengan “apa yang dia punya”, bukan “siapa dia”. Dengan demikian,

menjadi orang yang beriman, shaleh atau sholekhah, pintar, baik hati,

pemaaf, dan murah hati, tetap tidak akan bernilai tinggi jika hidupnya

vii

tetap miskin. Dalam konteks sosial yang demikian, tentu tidak

mengherankan jika, belakangan ini, “politik dagang sapi” berkembang

cukup subur di Pekalongan. Dalam event-event politik yang mereka

hadapi belakangan ini, kalkulasi-kalkulasi politik untung-rugi, seperti:

“saya mendapat apa?” dan “berapa jumlahnya?”, serta “anda berani

berapa?”, akan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan

pilihan politik atau sikap politiknya—tak peduli asasnya apa. Memang

benar, gejala ini bukanlah monopoli orang Pekalongan. Namun, bagi

masyarakat Pekalongan, “politik dagang sapi” itu merupakan sesuatu

yang baru, meski tidak seratus persen baru. Dominasi partai[-partai]

politik Islam selama masa Orde Baru dengan sangat gamblang

menunjukkan hal ini.

Masyarakat Pekalongan juga dikenal sebagai masyarakat yang

“bersumbu pendek”—mudah terprovokasi, mudah marah, “mudah

meledak”, dan “mudah terbakar” emosinya. Dari penelitian ini,

sedikitnya dapat diidentifikasi tiga kondisi yang menyebabkan

mengapa Masyarakat Kota Pekalongan “bersumbu pendek”. Pertama:

Tingkat pendidikan warga masyarakat Pekalongan yang relatif rendah.

Adalah suatu kenyataan yang tak dapat disangkal bahwa, tingkat

pendidikan yang rendah cenderung membuat orang kurang bisa

berpikir panjang, kurang rasional, cenderung emosional, dan mudah

terprovokasi. Kedua: Pemahaman ke-Islam-an warga masyarakat

Pekalongan yang umumnya skripturalistik—untuk tidak mengatakan

tekstual dan dangkal. Terpadu dengan point pertama, kondisi ini

membuat watak ke-Islam-an warga masyarakat Pekalongan cenderung

fanatik dalam pengertian yang sempit, sehingga keagungan Islam yang

ramatan lil al-amin tidak dapat tertangkap dengan baik. Ketiga: Tingkat persaingan para pelaku bisnis (usaha) home industry yang

sangat tinggi. Telah menjadi pengetahuan umum juga bahwa, tingginya

tingkat persaingan usaha antar-keluarga ini membuat warga

masyarakatnya menjadi individualistik dan cenderung egoistik. Kondisi

sosial yang demikian, terpadu dengan keadaan Sumber Daya

Manusianya yang rendah, serta pemahaman keagamaannya yang

skripturalistik dan fanatik, membuat masyarakat Pekalongan menjadi

rentan terhadap konflik, dan mudah dibenturkan; apalagi, jika issu-issu

viii

agama digunakan. Kasus penyobekan al-Qur’an pada pertengahan

tahun 1990-an adalah satu contoh yang sangat baik dan representatif

soal ini.

Soal pencemaran lingkungan. Kalau kita menyusuri parit-parit

dan sungai-sungai di Pekalongan, terutama di Pekalongan Bawah,

semuanya telah tercemar oleh kimia limbah produksi batik, baik yang

dihasilkan oleh pabrik-pabrik besar maupun proses-proses produksi

batik di tingkat home industry (rumahan). Seluruh parit dan sungai di

Pekalongan Bawah airnya berwarna pekat hitam kehijau-hijauan

dengan bau tak sedap yang sangat menyengat.

Pada pertengahan tahun 1990-an, sebagian warga masyarakat

Kota Pekalongan yang bertempat tinggal di sekitar bantaran Kali

Banger telah mempersoalkan masalah ini. Namun, hasilnya tidaklah

signifikan. Sesaat, tingkat kepekatan air Kali Banger memang sempat

berkurang; tetapi, tak lama kemudian ketercemaran air parit-parit dan

sungai-sungai tersebut pulih kembali. Air parit-parit dan sungai-sungai

di Pekalongan tetap berwarna pekat hitam kehijau-hijauan dengan bau

tak sedap yang sangat menyengat. Aneh bin ajaib, meski keadaan

lingkungannya semacam itu, Kota Pekalongan juga mendapatkan

penghargaan Adipura. Dari kasus ini, patut dicurigai, di negeri ini telah

terjadi komodifikasi Adipura. Oleh pihak tertentu, Adipura, sepertinya,

telah berhasil disulap menjadi barang komoditi yang sangat

menguntungkan.

Persoalan lain yang tidak kalah problematiknya dengan

masalah limbah industri batik adalah corak atau karakter kehidupan

sosial masyarakatnya yang feodalistis. Berdasarkan hasil penelitian ini,

kultur Islam Kiai-sentris yang diadopsi oleh orang-orang Pekalongan

rupanya telah membentuk kultur masyarakatnya menjadi feodalistik.

Berkembangnya replikasi perilaku warga masyarakat yang diibaratkan

[kalau] “Kiai dhehem, [warga masyarakatnya akan] ikut dhehem”—apa

yang dilakukan Kiai, warga masyarakat akan menirukannya—adalah

salah satu buktinya. Dalam konteks ke-Islam-an, replikasi perilaku

warga masyarakat seperti ini merupakan turunan dari ajaran kepatuhan

kepada sang Guru: “sami’na wa atho’na” (kami mendengar, dan kami

ix

melakukannya). Masalahnya kemudian adalah: dengan kultur yang

demikian, yang diwarnai oleh kepatuhan tanpa reserve warga

masyarakat terhadap elite-elitenya—termasuk para Kiai, corak

kehidupan sosial masyarakatnya menjadi cenderung tidak demokratis

dan feodalistik.

Celakanya, konstelasi sosial semacam itu seolah mendapatkan

tanah tumbuh yang sangat subur di bawah “payung agung” kekuasaan

Orde Baru. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa, selama orde

Baru di bawah pimpinan Jendral Soeharto, kekuasaan di negeri ini

menjadi sangat totaliter, sehingga sistem sosial-politik yang

berkembang pun menjadi sangat feodalistik—mirip jaman Kerajaan di

Jawa yang memberikan kekuasaan yang besar kepada kaum

Bangsawan.

Beruntung; setelah 32 tahun berkuasa, Jendral Soeharto dapat

dijatuhkan dari kursi kekuasaannya. Menariknya, jatuhnya Soeharto

dari kursi kepresidenan secara tiba-tiba dan tak terduga tersebut telah

membuka celah politik yang sangat penting bagi bangsa Indonesia

untuk membebaskan diri dari jeratan politik otoritarianisme yang telah

lebih dari tiga-dasawarsa mencengkeram kehidupan bangsa ini.

Peristiwa politik tersebut tak pelak mengimbas sampai di daerah-

daerah; tak terkecuali di Pekalongan.

Pasca-jatuhnya Jenderal Soeharto dari kursi kepresidenan, di

Pekalongan yang dikenal sebagai masyarakat santri dan sebagai

komunitas basis Islam Tradisionalis (Nahdhatul Ulama), terjadi

perubahan sosial yang cukup fundamental. Dikatakan demikian,

karena perubahan tersebut telah menyentuh dimensi kehidupan yang

sangat fundamental, yakni dimensi kehidupan keagamaan masyarakat.

Pola hubungan kliental antara Kiai dan umat (pengikutnya), yang

semula bersifat diadik dan cenderung hegemonik, mengalami

kepudaran. Bahkan, di daerah yang berpredikat Kota Santri tersebut

terjadi perlawanan masyarakat santri terhadap para Kiai yang di

sepanjang sejarahnya belum pernah terjadi—minimal belum pernah

mencuat ke permukaan.

x

Studi yang hasilnya ada di hadapan sidang pembaca ini, secara

khusus, memberikan perhatian pada fenomena pudarnya kewibawaan

dan pengaruh Kiai, perlawanan politik Santri, serta dampaknya bagi

partai-partai Islam di Kota tersebut. Fenomena ini menjadi sangat

menarik karena, selain telah menciptakan “kegaduhan sosial”

masyarakatnya, secara kebetulan, fenomena ini telah mendistorsi

feodalisme yang berkembang di lingkungan masyarakat Pekalongan,

serta “membukakan pintu” bagi egalitarianisme dan demokrasi. Dengan

terdistorsinya feodalisme yang berkembang di masyarakat Pekalongan,

masyarakat di pesisir utara pulau Jawa ini berangsur-angsur berubah

menjadi lebih egaliter dan lebih demokratis; setidaknya, begitu lah

yang menjadi harapan banyak orang Pekalongan.

Saya pribadi berharap, melalui studi ini, proses perubahan

tersebut dapat terekam dan terdokumentasi dengan baik; untuk

kemudian dapat dijadikan bahan pembelajaran anak-anak Bangsa ini,

terutama warga masyarakat Pekalongan yang tidak terlibat langsung

dalam proses perubahan ini. Selamat membaca. Tuhan memberkati.

JM

xi

untuk ibu dan ayahku: Satiyem & Soepardi Padmadikrama; serta

istri dan anakku: Kristina Dyah Prasetiani dan Noel Segara Madu

xii

xiii

UCAPAN TERIMA KASIH

Sangat disadari bahwa, tanpa keterlibatan berbagai pihak, penelitian ini

tidak akan pernah selesai; dan buku laporan hasil penelitian ini tidak

akan sampai di tangan para pembaca. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini, dan pada rubrik ini, saya ingin menyampaikan ucapan

terima kasih dan peghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai

pihak yang terlibat dalam penelitian ini.

Pertama, ucapkan terima kasih saya haturkan kepada Tim

Manajemen Mission-21 yang telah memberi kesempatan dan beasiswa

kepada saya, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dan laporan ini

dapat sampai di tangan para pembaca. Dalam hubungan ini, secara

khusus, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada Katharina Geffeler, Chistian Wagner, Lucy

Theuer, Joyce Manarisip beserta seluruh staf Kantor, Regional Mission-

21 untuk Indonesia dan Malaysia. Kepada rekan-rekan Tim Kerja

Regional untuk Indonesia dan Malaysia—Dr. Darius Dubut, Pdt.

Priatno, M.Th., Pdt. Dr. Lian Padele, Pdt. Merry Kolimon, Ph.D., Isye

Huliselan, M.Min., Uely Knech, Pdt. Hendry Widjayatsih, M.A.—saya

juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerja samanya yang

sangat baik selama ini.

Kedua, kepada pengelola Program Pasca-sarjana Doktor Studi

Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, yang telah

memberikan kesempatan kepada saya untuk studi ini, saya juga

mengucapkan terima kasih. Secara khusus, kepada Rektor Universitas

Kristen Satya Wacana, Prof. Dr. (HC) John Titaley, Th.D. dan Ketua

Program Doktor Studi Pembangunan, Marthen L. Ndoen, M.A., Ph.D,

beserta seluruh staf, saya juga mengucapkan terima kasih dan

menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya.

xiv

Ketiga, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kolega dan

teman-teman lama saya: Dr. Pamerdi Giri Wiloso, Dr. Zuly Qodir, dan

Prof. Dr. Sony Heru Priyanto, yang terus mempromosikan kegiatan-

kegiatan dan prestasi-prestasi akademik saya. Tanpa dorongan,

dukungan, dan kerja sama yang baik dengan mereka, laporan ini bisa

jadi tidak sampai ke tangan para pembaca.

Keempat, kepada Neil Samuel Rupidara, M.Sc., Ph.D, Marthen

L. Ndoen, M.A., Ph.D., Dr. Soegeng Hardiyanto, dan Prof. Dr. H.

Muhammad Zuhri, M.A., saya juga mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya atas masukan-masukannya yang

sangat berharga dalam kajian ini. Selain kesediaan mereka untuk

membaca dan mengoreksi karya tulis ini kata-demi-kata, tanpa

dukungan dan masukan-masukan mereka, harus saya akui, karya tulis

ini tidak mungkin akan tersaji seperti yang ada di hadapan sidang

pembaca saat ini.

Kelima, kepada para tokoh agama dan para tokoh masyarakat

Pekalongan, terutama para tokoh yang menjadi Sumber Informasi

penelitian ini, saya juga menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya. Secara khusus, saya mengu-

capkan terima kasih kepada Kiai Muhammad Chudzil Chos Maksum,

K.H. Ghufron Fasa Cholil, K.H. Zaenuri Zaenal Mustofa, K.H.

Muhammad Natsir, H. Machmud Masjkur, K.H. Abdurahman Tabbari,

K.H. Achmad Marzuki, Kiai Gus Muhammad Dzakiron Khudlori,

Habaib H. Abdullah Martoloyo, K. H. Taufikurrahman Ch., H. Faizin

Nahrawi, H. Saadullah Anwar, E.H. Kartanegara, H. Zaenal Muhibin,

H. Arifin Usman, K.H. Mubarisi bin Masyhadi (alm.), mbah Ken

Rahardjo (alm.), K.H. Zaenal Arifin, K.H. Munawir (alm.), K.H. Slamet

Imron, Jacky Zam-zami, Nusron Hasa, Basir-KPU, Pdt. Dr. Johanes

Setiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat Pekalongan lainnya yang tidak

mungkin disebut semuanya satu per satu di sini.

Keenam, saya menghaturkan terima kasih kepada sahabat saya:

Handoko Wibowo Batang, Burhan Batang, Abdullah Shaleh

Martoloyo, Muhsinin Akrom, Jirin, dan Agung Waskita yang banyak

membantu saya selama proses pengumpulan data di lapangan. Ketujuh,

xv

masih terkait dengan pengumpulan data lapangan yang dimanfaatkan

dalam kajian ini, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Tim

Peneliti Percik yang pada tahun 1998 bersama-sama saya melakukan

penelitian di Pekalongan. Dalam kaitan ini, saya mengucapkan terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Arief

Budiman, Dr. Pradjarta Dirdjosanjoto, M.A., I Made Samiana, S.H.,

Prof. Dr. Kutut Suwondo (alm.), Setyo Handoyo, S.H., Indra Budiman,

S.H., M.H., Wisnu Tri Hanggoro, M.Wv., M.Phil., Achmad Bahruddin,

S.Ag., Suyanto, Dwi Prasetyo, S.H., Budi Lazarusli, S.H., M.H., dan

Zurkoni (alm.). Dari data-data penelitian bersama mereka inilah,

gagasan awal penelitian ini saya bangun.

Kedelapan, kepada Dr. Th. Sumartana (alm.), seorang sahabat

dan sekaligus Guru saya, saya mengucapkan terima kasih dan penghar-

gaan yang setinggi-tingginya pula atas kebersamaan dan bimbingannya

selama puluhan tahun hingga akhir hayatnya. Berkat sanjungan-

sanjungan, tantangan-tantangan, dan ejekan-ejekannya yang terkadang

terasa menusuk ulu hati, saya menjadi terpacu untuk terus belajar dan

mengembangkan diri.

Kesembilan, kepada rekan seperjuangan saya baik dalam suka

maupun dalam duka, Pdt. Drs. Petrus Sugito, M,M. dan Johny Nelson

Simanjuntak, S.H., M.H., saya juga mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya atas seluruh perhatian dan belas

kasih yang diberikan kepada saya di saat-saat saya berada dalam posisi

sulit ketika menapaki terjalnya jalan kehidupan.

Kesepuluh, kepada kakak-kakak dan keponakan-keponakan

yang tinggal di Batang—mbakyu Sri Wahyuni Sunanto, mbakyu

Hartuti Djoko Wahyono, Deavy-Putri, Shintya-Dwi, dan Rita-Jimy,

saya juga mengucapkan terima kasih atas seluruh perhatian dan

kehangatannya selama saya melakukan penelitian lapangan.

Kesebelas, kepada para orang tua yang melahirkan, mengasuh,

dan membesarkan saya—Satiyem-Soepardi Padmodikromo, Sumini-T.

Tjitro Marjoto, dan Hj. Suti Paini Soedarmo, kakak-kakak dan adik-

adik saya, serta keluarga besar Tri Utami Suharto, melalui tulisan ini,

xvi

saya menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya atas seluruh kasih sayang yang dicurahkan kepada

saya dan keluarga.

Keduabelas, kepada para kolega dan teman-teman saya yang

berkontribusi dalam studi ini, dan namanya tidak tercantum dalam

sajian ini, saya juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya atas seluruh jerih payah dan kontribusinya.

Yang terakhir, untuk istri dan anak saya tercinta—Kristina

Dyah Prasetiani dan Noel Segara Madu—saya mengucapkan terima

kasih dan penghargaan yang tak terhingga atas dukungan, perhatian,

pengertian, dan pengorbanannya selama saya melakukan penelitian

lapangan hingga penulisan laporan ini. Tanpa dukungan, perhatian,

pengertian, dan pengorbanan dari mereka berdua, kemungkinan besar,

penelitian ini tidak akan terselesaikan dengan baik; dan buku laporan

ini juga tidak akan sampai di tangan pembaca.

Tuhan memberkati kita semua!

Salam hormat,

J. Mardimin

xvii

DAFTAR ISI

Prolog V

Persembahan Xi

Ucapan Terima Kasih xiii

Daftar Isi xvii

Daftar Lampiran xxiv

Daftar Gambar xxv

Daftar Tabel xxvi

Glosarium xxviii

Singkatan & Akronim xxxiv

Bab 1 PENDAHULUAN 1

Kiai dan Santri dalam Komunitas Islam Tradisionalis 2

Studi-studi tentang Kiai yang pernah Dilakukan 17

Kelangkaan Studi tentang Perlawanan Santri, dan Fokus

Studi ini

27

Perumusan Masalah & Pertanyaan Kunci 31

Metodologi 32

Pendekatan yang Digunakan 32

Wilayah Penelitian: Mengapa Pekalongan? 33

Sumber-sumber Data & Teknik Pengumpulannya 34

Analisa Data 39

Struktur Thesis (Sistematika Pembahasan) 41

Bab 2 KONSEP-KONSEP YANG DIGUNAKAN &

PERSPEKTIF TEORI DIPAKAI DALAM KAJIAN INI

45

Introduksi 45

Penjelasan Konseptual atas Konsep-konsep yang

digunakan

49

Kewibawaan [Kiai] 49

Perlawanan Santri sebagai Bentuk Protes 54

Partai Politik Islam 57

Kiai 62

xviii

Santri 64

Perspektif Teori yang Dipakai 67

Teori Sosiologi Bourdieu 68

Pierre Bourdieu: Riwayat, Pemikiran, dan

Kiprahnya

69

Konsepsi-konsepsi [Teori] Sosiologi Bourdieu 76

Habitus 77

Champ (Ranah Perjuangan) 82

Capital (Modal) 85

Kekuasaan Simbolik & Kekerasan Simbolik 91

Praktik Sosial & Bekerjanya Konsep-konsep Sosiologi Bourdieu

93

Aktor 95

Teori Elite: Kiai sebagai Elite Masyarakat 98

Teori Hegemoni: Kekuasaan Kiai Bersifat

Hegemonik

102

Mempertimbangkan Relevansi & Signifikansi Teori

Bourdieu, Teori Elite, dan Teori Hegemoni untuk Kajian

ini

106

Bab 3 PERLAWANAN RAKYAT & KONFLIK-KONFLIK

SOSIAL DI PEKALONGAN: Kondisi-kondisi Sosio-

Kultural, Ekonomi, dan Politik yang Melatar-belakangi

111

Introduksi 111

Pekalongan dalam Lintasan Sejarah[nya] 112

Nama Pekalongan dalam Peta Sejarah Perjuangan

Indonesia

114

Gerakan-gerakan Perlawanan Rakyat di Pekalongan 120

Gerakan Kiai Ripangi (Rifa’i) 121

Gerakan Kromo Lawi 124

Pertempuran Tiga Hari Tiga Malam 128

Gerakan Perlawanan Rakyat, Konflik-konflik Sosial, dan

Kerusuhan-kerusuhan Massal di Pekalongan Tahun

1990-an

130

Gerakan Petani Pekalongan Timur 131

xix

Kerusuhan Nopember 1995 135

Kasus Sengketa Tanah Gedung Pemuda 1995 137

Kasus Pencemaran Limbah Kali Banger 141

Konflik Warga Jln. Hasanuddin dengan Pengusaha

Keturunan Cina

150

Kerusuhan Maret-Mei 1997 152

Konflik PPP dan PKB pada Pemilu 1999 167

Rangkuman 173

Bab 4 KONSTRUKSI HABITUS PARA PELAKU SOSIAL DI

PEKALONGAN

177

Introduksi 177

Pandangan dan Sikap Hidup Ke-Jawa-an (Kejawen) 179

Jagad Gedhe dan Jagad Cilik: Pandangan Orang Jawa

Tentang Realitas dan Dirinya

181

Kaidah-kaidah Sosialitas & Prinsip-prinsip Hidup

Orang Jawa

184

Konsekuensi Logis Kaidah-kaidan Sosialitas &

Prinsip-prinsip Hidup Orang Jawa

191

Cara Berpikir dan Sikap Hidup Orang Jawa 193

Islam Tradisionalis: Keyakinan Ideologis dan Kondisi-

kondisi yang Melatar-belakangi Tumbuh &

Perkembangannya

203

Keyakinan Ideologis Islam Tradisionalis 204

Latar Belakang Tumbuh dan Berkembangnya

Kelompok Islam Tradisionalis

212

Perkembangan Politik Timur Tengah Sejak Jaman

Nabi & Tumbuhnya Aliran-aliran dalam Islam

213

Keruntuhan Kerajaan Turki Utsmani atas

Imperialisme Barat & Berkembangnya Gerakan

Islam Modernis

225

Penaklukan Arab Saudi oleh Kelompok Wahhabi

Pimpinan Ibnu Saud

241

Gerakan Islam Modernis di Indonesia & Berdirinya

Nahdlatoel Oelama

244

xx

Gerakan Islam Modernis di Indonesia 244

Berdirinya Nahdlatoel Oelama 254

Corak Ke-Islam-an (Paham Keagamaan)

Nahdlatoel Oelama

267

Para Pendiri Nahdlatoel Oelama 269

Kota Pekalongan Tahun 1990-an: Kondisi-kondisi Sosio-

Kultural, Ekonomi, dan Politik

272

Kondisi Sosio-Kultural Masyarakat Pekalongan Tahun

1990-an

273

Kondisi Ekonomi Masyarakat Pekalongan Tahun

1990-an

278

Kondisi Politik Pekalongan Tahun 1990-an 282

Rangkuman 283

Bab 5 KIAI DAN POLITIK KEKUASAAN: Landasan Ideologis,

Modalitas, Afiliasi dan Keberpihakan Politik Kiai di Kota

Pekalongan, serta Konsekuensinya bagi Kehidupan

Masyarakat di Tingkat Lokal

289

Introduksi 289

Politik Kekuasaan sebagai Medan Perjuangan 290

Keterlibatan Kiai dalam Politik Kekuasaan 296

Sejarah Keterlibatan para Kiai dalam Politik

Kekuasaan di Jawa

297

Landasan Teologis (Ideologis) Keterlibatan Kiai dalam

Politik Praktis

309

Modalitas Kiai di Pekalongan untuk Berkiprah dalam

Politik Kekuasaan berikut Sumber-sumbernya

319

Motivasi dan Alasan para Kiai [yang] Terjun dalam

Arena Politik Kekuasaan

324

Nahdlatoel Oelama sebagai “Kendaraan” Politik para

Ulama

326

NU dan Peran Politik para Kiai dalam Kancah Politik

Nasional Indonesia

327

Partisipasi dan Keberpihakan Politik para Kiai di Kota

Pekalongan dalam Politik Kekuasaan di Tingkat Lokal

356

xxi

Hubungan Kiai dan Penguasa 362

Konsekuensi Logis Keberpihakan Kiai dalam Politik

Kekuasaan

369

Rangkuman 371

Bab 6 PUDARNYA KEWIBAWAAN KIAI DAN

PERLAWANAN [MASYARAKAT] SANTRI DI KOTA

PEKALONGAN

375

Introduksi 375

Kiai sebagai Aktor Kehidupan 378

Kewibawaan Kiai di Pekalongan dan Sumber-sumbernya 382

Fenomena Pudarnya Kewibawaan Kiai di Pekalongan

dan Perlawanan Masyarakat Santri Setempat

394

Fenomena Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai

di Pekalongan pada era Soeharto (Pasca Kittah 1984-

1998)

394

Fenomena Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai

di Pekalongan pada Post-Soeharto (1999-2009)

398

Kondisi-kondisi yang Memicu Pudarnya Kewibawaan

Kiai-kiai di Pekalongan

410

Perubahan Politik Nasional dan Munculnya Partai-

partai Politik Islam

410

Perubahan Konfigurasi Politik NU, serta Konflik PPP

dan PKB di Kota Pekalongan

414

Sikap Politik Kiai yang Over-confident dan

Penyalahgunaan Modal Sosial

419

Sikap dan Fatwa-fatwa Kiai yang Tidak Ngiaeni 421

Persaingan Antar-Kiai 424

Perubahan Struktur dan Kultur Pesantren 427

Semakin Baiknya Tingkat Pendidikan Warga 429

Dampak Pudarnya Kewibawaan Kiai di Kota Pekalongan 432

Rangkuman: Kota Pekalongan 1999 dalam Perspektif

Panggung Sandiwara

437

xxii

Bab 7 DAMPAK PUDARNYA KEWIBAWAAN DAN

PENGARUH KIAI BAGI PARTAI-PARTAI POLITIK

ISLAM DI KOTA PEKALONGAN

439

Introduksi 439

Partai-partai Politik Islam di Indonesia dan

Dinamikanya

441

Partai-partai Politik Islam di Indonesia pada Masa-

masa Awal Kemerdekaan

444

Partai-partai Politik Islam di Indonesia pada Masa

Orde Baru

451

Partai-partai Politik Islam di Indonesia di Era

Reformasi

454

Partai-partai Politik Islam di Pekalongan dan Dukungan

Masyarakat Setempat

459

Partai-partai Politik Islam di Kota Pekalongan pada

Masa-masa Awal Kemerdekaan

459

Partai-partai Politik Islam di Kota Pekalongan pada

Masa Orde Baru

464

Partai-partai Politik Islam di Kota Pekalongan pada

Masa Reformasi

471

Pengaruh Politik Kiai di Kota Pekalongan Pasca-NU

“Kembali ke Kittah 1926”

478

Dampak Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai

terhadap Partai-partai Politik Islam di Kota Pekalongan

Pasca-Konflik PPP dan PKB Tahun 1998-1999

481

Kelemahan Partai-partai Politik Islam di Kota

Pekalongan

483

Rangkuman 491

Bab 8 CATATAN-CATATAN PENTING DARI

PERLAWANAN SANTRI TERHADAP HEGEMONI

KIAI DI KOTA PEKALONGAN TAHUN 1990-AN

493

Introduksi 493

Santri & Kiai di Pekalongan Tahun 1990-an 495

Kiai sebagai Agen Politik (Political Broker) 497

xxiii

Politik Kiai di Pekalongan & Konversi Modal yang Gagal 501

Perubahan [Sikap] Politik Santri di Pekalongan:

habitus[Santri] ternyata tidak tunggal

504

Epilog EGALITARIANISME & DEMOKRASI: Blessing in Disguise

511

Daftar Referensi

Lampiran-lampiran

521

535

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Sumber Informasi (Wawancara) 535

Lampiran 2. Daftar Nama Anggota DPRD Kodya Pekalongan (12

Oktober 1950-1 Juli 1956)

537

Lampiran 3. Daftar Nama Anggota DPRD Kodya Pekalongan

(10-09-1956 s.d. 17-10-1957)

538

Lampiran 4. Daftar Nama-nama Anggota DPD Sementara Kodya

Pekalongan

539

Lampiran 5. Panitia Pembentukan DPRD Peralihan (dilantik

pada tgl. 17 Agustus 1956)

539

Lampiran 6. Daftar Nama Anggota DPRD Kodya Pekalongan a la Undang-Undang No. 1 Tahun 1957

540

Lampiran 7. Daftar Anggota DPD Kodya Pekalongan a la Undang-Undang No. 1 Tahun 1957

541

Lampiran 8. Daftar Nama Anggota DPRD Kodya Pekalongan a la Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1959

542

Lampiran 9. Daftar Anggota DPD Gotong Royong Kodya

Pekalongan a la Peraturan Presiden No. 6 Tahun

1959

543

Lampiran 10. Daftar Anggota DPRD Kodya Pekalongan a la Peraturan Presiden No. 18 Tahun 1965

544

Lampiran 11. Daftar Anggota DPRD Kodya Pekalongan Hasil

Pemilu 1971

545

Lampiran 12. Daftar Anggota DPRD Kodya Pekalongan Hasil

Pemilu 1977

546

Lampiran 13. Daftar Anggota DPRD Kodya Pekalongan Hasil

Pemilu 1982

547

Lampiran 14. Daftar Anggota DPRD Kodya Pekalongan Hasil

Pemilu 1987

548

Lampiran 15. Daftar Anggota DPRD Kodya Pekalongan Hasil

Pemilu 1992

549

Lampiran 16. Daftar Anggota DPRD Kodya Pekalongan Hasil

Pemilu 1997 Plus Tambahan dari ABRI

550

xxv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Bagan Alur Kerja Penelitian 40

Gambar 2.1. Bagan Reproduksi dan Perubahan 95

Gambar 2.2. Relevansi & Signifikansi Teori-teori yang

Dipakai dalam Kajian ini

109

Gambar 3.1. Peta Wilayah Provinsi Jawa Tengah & Peta

Wilayah Eks-Karesidenan Pekalongan

115

Gambar 3.2. Peta Wilayah Kota Pekalongan 117

Gambar 3.3. Peta Wilayah Kabupaten Pekalongan 119

Gambar 4.1. Bagan Konstruksi Habitus Para Pelaku Sosial

di Kota Pekalongan

285

Gambar 6.1 Pesantren Safi’i Akrom di Jenggot, Kecamatan

Pekalongan Selatan

428

xxvi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. PDRB Kota Pekalongan Tahun 1994-1995 280

Tabel 5.1. Peta Fusi Partai Politik di Indonesia Tahun 1973 352

Tabel 5.2. Perolehan Suara Partai-partai Politik Peserta

Pemilu 1971 di Kota Pekalongan

359

Tabel 5.3. Perolehan Suara PPP pada Pemilu 1977 Hingga

Pemilu 1997 di Kota Pekalongan

359

Tabel 7.1. Perolehan Suara Partai-partai Politik Islam pada

Pemilu 1955

448

Tabel 7.2. Perolehan Kursi Partai-partai Politik/Organisasi

Peserta Pemilu 1955

450

Tabel 7.3. Perolehan Suara Partai-partai Politik pada

Pemilu 1971

452

Tabel 7.4. Persentase Perolehan Suara Partai-partai Politik

Peserta Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,

dan 1997

453

Tabel 7.5. Perolehan Suara dan Kursi DPR Perolehan

Suara Partai-partai Politik Islam di Indonesia

pada Pemilu 1999

458

Tabel 7.6. Komposisi Anggota DPRD Kotamadya

Pekalongan Tahun 1956-1957

461

Tabel 7.7. Komposisi Anggota DPRD Kotamadya

Pekalongan a la UU Nomor 1 Tahun 1957

461

Tabel 7.8. Komposisi Anggota DPRD Kotamadya

Pekalongan Periode 1959-1960

462

Tabel 7.9. Perbandingan Perolehan Suara Partai-partai

Politik Islam dan Partai-partai Politik

Nasionalis-Sekuler di Kota Pekalongan pada

Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997

465

Tabel 7.10. Perolehan Suara dan Jumlah Kursi Partai-partai

Politik Peserta Pemilu di Kota Pekalongan pada

Pemilu 1971

466

xxvii

Tabel 7.11. Persentase Perolehan Suara dan Jumlah Kursi

Organisasi Peserta Pemilu di Kotamadya

Pekalongan Hasil Pemilu 1977, 1982, 1987,

1992, dan 1997

468

Tabel 7.12. Perolehan Suara dan Perolehan Kursi Partai-

partai Politik Islam di Pekalongan pada Pemilu

1999

471

Tabel 7.13. Delapan Besar Partai Pemenang Pemilu 2004 di

Kota Pekalongan pada Pemilu 2009

474

Tabel 7.14. Perolehan Suara dan Perolehan Kursi Partai-

partai Politik di Kota Pekalongan pada Pemilu

2009

476

Tabel 7.15. Perolehan Suara dan Perolehan Kursi Partai-

partai Politik Islam di Kota Pekalongan pada

Pemilu 2014

478

Tabel 7.16. Dimensions of Party Institutionalization 484

xxviii

GLOSARIUM

abangan = Berasal dari kata abang (merah). Kata abangan digunakan untuk menyebut umat Islam KTP, yaitu orang-orang yang mengaku diri Islam tetapi orientasi budayanya kepada budaya pra-Islam. Mereka, umumnya, tidak secara ketat menjalankan ajaran Islam. Kelompok abangan, umumnya, menjadi bagian dari kelompok aliran kepercayaan—Kejawen. Kelompok abangan sering kali dikontraskan dengan Santri.

Abiyasa = Nama tokoh wayang, Pendeta Sapta Arga; kakek para Pandawa dan Kurawa.

Ana [Jawa] = Ada aja = Jangan ajêngan = Sebutan untuk Kiai di Jawa Barat ahlu[l] = Pewaris andhap = Rendah = Angina = Udara, hawa angkêr = keramat anoraga = Tak berwujud aqli = rasionalis asor = kalah atho’na = Melakukan, menaati azimat = [Jw-jimat] benda tertentu yang dikeramatkan,

karena diyakini memiliki daya (kekuatan) gaib atau kekuatan supranatural.

[m]bah = Sebutan untuk kakek, nenek, buyut, dan generasi tua selanjutnya dalam literasi Jawa.

bakal = Akan, bahan. “Bakal bali” berarti “akan kembali”, “bakal celana” = bahan celana.

bangêr = Berbau tak sedap karena tercemar limbah bani = Klan, keturunan banyu = air bawana = jagad, dunia, seluruh ciptaan bêkèn = Terkenal. Misal: namanya beken bêndere = Sebutan Kiai (ulama) di daerah Sulawesi Selatan. bêrnas = Cerdas. Dulu pernah dipakai untuk menamai

xxix

sebuah Harian yang terbit di Jogja. bubrah = Rusak cêdhak = Dekat cèlèng = Babi hutan congkrah = Bertengkar, konflik d[um]adi = Ciptaan dangdutan = pesta musik dangdut bumi = Tanah Buya = sebutan Kiai di Daerah Aceh. dakwah = kegiatan penyebaran agama, umumnya untuk

menyebut kegiatan penyebaran agama Islam darul Islam = sebutan Negara Islam yang yang diproklamasikan

oleh Kartosoewirjo di Jawa Barat pada 07 Agustus 1949.

dhèhèm = deham, tiruan bunyi seperti batuk kecil tertahan dhukun = saman, paranormal dhuwur = Tinggi dipundhi = Disembah din Agama disungga = Dipuja durung = Belum êmplok = Telan ésotèrik = Rahasia éthok-éthok = pura-pura, tidak sungguh-sungguh fatwa = ketetapan ulama (Kiai) fiqh = okum Islam gapura = Gerbang pintu masuk gêrak-gêrik = Perilaku, kelakuan Golkarisasi = Proses indoktrinasi/internalisasi ideology, symbol-

simbol, dan plat-form partai Golkar yang dilakukan oleh rezim Orde dengan cara setengah memaksa melalui itimidasi.

Hadits = sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an—yang berupa ucapan, tindakan, dan keketapan Nabi Muhammad Saw.

Haji = gelar orang yang telah melakukan ibadah Haji ke Mekkah. Haji untuk laki-laki, dan Hajjah untuk perempuan.

halakah = Pertemuan (rapat) akbar, pengajian akbar (ra-)hayu = keselamatan, kelestarian, kelanggengan ijtihad = upaya untuk menetapkan hukum melalui penalaran

bebas berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam pengertian yang lebih sempit, ijtihad berarti upaya

xxx

untuk menggunakan metode pemikiran melalui analogi.

ilang = hilang iming-iming = Gula-gula, sesuatu yang menggiurkan jadhug = sakti jam’iyah = Organisasi, perkumpulan jawané = Ke-Jawa-annya jêro = dalam junèl = sakti kaca bênggala

=

Kaca pembesar

kalong = kelelawar kanggé = untuk kaum = digunakan untuk menyebut umat Islam yang rajin

melakukan kewajiban agamanya. kêjadhugan = kesaktian kêjunèlan = kesaktian kênthongan = Alat komando yang terbuat dari bamboo atau kayu

yang membunyikannya dengan cara dipukul bagian perutnya.

kiai = sebutan untuk para ulama di Jawa; atau orang-orang yang dihormati karena dituakan, atau karena luasnya pengetahuan agama Islamnya. Dalam masyarakat Jawa tradisional, sedikitnya ada lima kategori penggunaan istilah “Kiai”. [1] istilah “Kiai” digunakan untuk menyebut Ulama Islam. [2] istilah “Kiai” dipakai untuk sebutan kehormatan bagi orang tua pada umumnya. [3] istilah “Kiai” digunakan untuk sebutan benda-benda pusaka (benda-benda yang dikeramatkan), seperti: “Kiai Jalak” (keris), “Kiai Polang Geni” (keris), “Kiai Nagasasra Sabuk Inten” (keris), “Kiai Pokal” (Keris sakti Mandireja, Tegal), “Kiai Pleret” (tumbak), “Kiai Garuda Yaksa” (kereta kencana milik Kraton), “Kiai Gandrung Manis” dan “Kiai Guntur Madu” (Gamelan Skaten), “Kiai Rajamala” (canthik [kepala] perahu), “Kiai Setomo” (meriam), dan masih banyak lagi benda-benda pusaka lain yang diberi predikat “Kiai”. [4] istilah “Kiai” digunakan untuk menyebut binatang yang dikeramatkan, seperti “Kiai Slamet”—nama kebu bule, kerbau yang dikeramatkan oleh Kraton Kasunanan Surakarta). Istilah “Kiai” juga digunakan untuk menyebut binatang yang ditakuti, Harimau di

xxxi

hutan; dan [5] Dalam sejarah pekabaran Injil di Jawa, istilah “Kiai” digunakan untuk beberapa pekabar Injil pribumi. Sebutan itu dimaksudkan untuk membedakannya dengan para pekabar Injil dari Barat. Dalam sejarah pekabaran Injil di Jawa dikenal nama-nama beken: “Kiai Sadrach” dan “Kiai Tunggul Wulung”.

Kêjawèn = sekumpulan konsep tindak-tanduk a la Jawa, sebagaimana tercermin dalam cerita pewayangan dan teks-teks yang diilhami oleh kebatinan. Kejawen merupakan inti dari kebudayaan Jawa (filsafat Jawa).

kênthir” = Sinting Kliwon = nama hari ketiga dalam perhitungan Jawa. Menurut

perhitungan Jawa ada lima hari pasaran, yaitu: Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Menurut keyakinan Jawa, Kliwon adalah hari yang paling membawa keberuntungan. Di lingkungan masyarakat Jawa yang menganut Kejawen, ada dua hari yang dikeramatkan, yaitu: Selasa Kliwon, dan Jum’at Kliwon.

kapitunan = Kerugian karma [inggil]

= Bahasa Jawa halus, tingkatan yang paling tinggi dalam Bahasa Jawa.

kaya = dalam Bahasa Jawa berarti “seperti”. kêpati = sungguh-sungguh, benar-benar kêthoprak = kesenian tradisional Jawa yang membawakan kisah-

kisah cerita bersejarah. lênggah = duduk. nglenggahi=menduduki liyan = orang lain mafsâdat = menghindari kerusakan mampir = Singgah mantra = Doa Ma’onah = Ilmu kesaktian, ilmu supranatural marga = karena; jalan mashlâhat = manfaat, faedah mayu, = melindungi, memayu = bersama-sama menjaga mèlu = Ikut mêndhêm = Mengubur mêrdhukun = minta bantuan dhukun mukim = Tinggal mula = awal, asal mula mulih = pulang, kembali

xxxii

nahdliyyin = sebutan bagi para pengikut Islam Tradisionalis di Indonesia.

naqli = skripturalis, tekstual ngaji = belajar al-Qur’an ngayêmi = menenteramkan ngayomi = melindungi ngatên = begitu ngoko = tingkatan bahasa Jawa yang kasar ngombé = minum Nahdlatoel Oelama

= organisasi para ulama dan pengikut-pengikut Islam Tradisionalis di Indonesia, yang didirikan pada 31 Januari 1926. Secara leksikal, Nahdlatoel Oelama (Nahdatoel Oelama/Nahdlatul Ulama) berarti “kebangkitan ulama”. Pada tahun 1952, NO menjadi Partai Politik.

pandam = damar, lampu penerangan pandom = jarum, penunjuk panjangka = keinginan, cita-cita paran = tujuan pêpêsthen = Kodrat, takdir Tuhan pêsantrèn = tempat kursus Islam yang didirikan oleh para Kiai.

Murid-murid pesantren disebut Santri. Plin-plan = tidak konsisten Pokrol- bambu

=

pengacara yang bukan keluaran [lulusan] perguruan tinggi [hukum]

Pondok Pêsantrèn

=

rumah tinggal para santri pada saat mengikuti pendidikan Islam di Pesantren.

qiyas = analogi rèmèh-tèmèh

=

sepele, sederhana, tidak terlalu penting

rowang = teman sadrema = sekedar sami’na = mendengar sanga = sembilan sangkan = asal mula, asal-muasal. Sangkan-paran menunjuk

Tuhan. sêjinah = sepuluh sélak,disélaki = disangkal Sêmar = nama tokoh Punakawan dalam cerita wayang—

titisan Dewa Bathara Ismaya. Semar punya anak tiga: Gareng, Petruk, dan Bagong.

xxxiii

sêsêpuh = orang yang dituakan; panutan siyasah = Politik slira = Diri syirik = mempersekutukan Allah dengan kekuatan yang

lain; tindakan yang dianggap bertentangan dengan prinsip ketuhanan dalam Islam.

tahlil = doa yang disampaikan untuk orang yang sudah meninggal

talkin = mengumandangkan adzan di dalam makam (piang kubur), biasanya, sebelum jenazah ditimbun tanah.

tan-wadhag = nir-kasat mata tauhid = kemahaesaan Allah (monoteisme) taqlid = penerimaan tanpa syarat akan doktrin madzhab-

madzhab yang telah ditetapkan oleh yang berwenang

tarékat = (1) “jalan” yang menghantarkan seseorang kepada Tuhan melalui pengetahuan mistik. (2) persaudaraan religious kelompok mistik.

tasawuf = mistik Islam tawadhu’ = taat, patuh. Têgal[an] = lahan pertanian tadah hujan—biasanya hanya

ditanami sejenis tanaman keras. topanrita = sebutan Kiai di Nusa Tenggara Barat tulad (nulad) = Melihat, memperhatikan, mencontoh tumrab = Bagi Ulama’ = bentuk jamak dari kata alim, yang menunjuk

kepada “orang yang memiliki pengetahuan (ilm)”, khususnya pengetahuan tentang Islam.

Ulu-ulu = Petugas pengairan (irigasi) yang bertugas membagikan air di tingkat petani. Di Bali, ulu-ulu disebut dengan istilah subak.

umat = komunitas beragama. Umat Islam, umat Kristiani, umat Budda, umat Hindu, umat Konghucu, dan lain-lain.

Uswatun-hasanah

=

panutan, contoh, teladan

wadhag = kasat mata waratsat al-nabiya

=

pewaris Nabi

wêdi = Takut wong cilik = orang kecil, rakyat jelata

xxxiv

SINGKATAN & AKRONIM

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

Acoma : Angkatan Communist Muda

AKAMSI : Aliansi Kebangkitan Muslim Indonesia

Balaba : Barisan Pembela Bangsa

Banser : Barisan Serba Guna

Baperki : Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia

BKMPD : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah

BOM : Barisan Oentoek Merdeka

DI-TII : Darul Islam-Tentara Islam Indonesia

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPR-GR : Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong

FKUB : Forum Komunikasi Umat Beragama

GIMI : Partai Gerakan Insan Muttaqin Indonesia

Golkar : Golongan Karya

GPPS : Gerakan Pembela Panca Sila

HAM : Hak-hak Asasi Manusia

HBNO : Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama

IPKI : Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

K.H. : Kiai Haji

Kodya : Kota Madya

KKLKB : Kelompok Kurban Limbah Kali Banger

KPU : Komisi Pemilihan Umum

LDNU : Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama

Masyumi : Majelis Syuro Muslimin Indonesia

MIAI : Majelis Islam A’laa Indonesia

Nasakom : Nasionalisme, Agama, dan Komunisme

NGO : Non Government Organization

NO : Nahdlatoel Oelama (Nahdatoel Oelama)

NU : Nahdlatul Ulama (Nahdatul Ulama)

xxxv

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

Orba : Orde Baru

Orla : Orde Lama

Ornop : Organisasi Non-Pemerintah

POLRI : Kepolisian Republik Indonesia

PADRI : Partai Demokrasi Islam Republik Indonesia

Parkindo : Partai Kristen Indonesia

Parmusi : Partai Muslimin Indonessia

Partai KAMI : Partai Kebangkitan Muslim Indonesia

Partai SUNI : Partai Solidaritas Uni Indonesia

PAS : Partai Ahlu Sunnah wal Jamaah

PAMM : Partai Amanah Masyarakat Madani

PAN : Partai Amanat Nasional

PAKKAM : Partai Kebangkitan Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah

PBB : Partai Bulan Bintang

PBM : Partai Bhakti Muslim

PBNO : Pengoeroes Besar Nahdlatoel Oelama

PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

PBR : Partai Bintang Reformasi

PCD : Partai Cinta Damai

PCNU : Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama

PD : Partai Demokrat

PDI : Partai Demokrasi Indonesia

PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

PDS : Partai Dua Syahadat

PDU : Partai Dinamika Umat

Pemilu : Pemilihan Umum

PERTI : Partai Era Reformasi Tarbiyah Islamiyah

Perti : Persatuan Tarbiyah Indonesia

PIB : Partai Indonesia Baru

PID : Partai Islam Demokrat

PII : Partai Islam Indonesia

PIPI : Partai Islam Persatuan Indonesia

PK : Partai Keadilan

PKB : Partai Kebangkitan Bangsa

xxxvi

PKI : Partai Komunis Indonesia

PKS : Partai Keadilan Sejahtera

PKU : Partai Kebangkitan Umat

PKUI : Partai Kesatuan Umat Indonesia

PKWU : Partai Kesatuan Wahdatul Umah

PMB : Partai Masyumi Baru

PNI : Partai Nasionalis Indonesia

PNU : Partai Nahdlatul Ummah

Ponpes : Pondok Pesantren

PP : Partai Persatuan

PPD : Partai Persatuan Daya

PPII : Partai Persatuan Islam Indonesia

PPIM : Partai Politik Islam Masyumi

PPP : Partai Persatuan Pembangunan

PPS : Partai Persatuan Sabilillah

PPPRI : Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia

PPTI : Partai Pengamal Thareqat Indonesia

PPTI : Partai Persatuan Tharikah Indonesia

PPTI : Partai Politik Tharekat Islam

PRI : Partai Republik Islam

PRIM : Partai Rakyat Indobesia Merdeka

PRN : Partai Rakyat Nasional

PSI : Partai Sosialis Indonesia

PSII : Partai Syarikat Islam Indonesia

PUI : Partai Umat Islam

PUMI : Partai Umat Muslimin Indonesia

UU : Undang-Undang

Walhi : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia