perbandingan sanksi pidana pemberontakan menurut...

18
188 Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Hukum Pidana Islam Ishaq, S.H. IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia ABSTRAK Pemberontakan merupakan suatu perbuatan atau muslihat yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa/kemerdekaan Kepala Negara. Permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimanakah sanksi pidana pemberontakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan hukum pidana Islam?. Motode yang dipergunakan adalah pendekatan studi perbandingan. Sumber datanya adalah data sekunder berupa alqur’an, fikih jinayah dan KUHP. Sanksi pidana pemberontakan dalam Pasal-Pasal KUHP terdiri dari pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 12 tahun, 15 tahun, seumur hidup, 20 tahun, bahkan sampai pidana mati. Sedangkan sanksi Pidana Pemberontakan dalam hukum pidana Islam dijelaskan dalam al-qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan surah al-Maidah (5) ayat 33, yaitu (1) didamaikan antara keduanya, (2) diperangi golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, (3) dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Kata Kunci: Sanksi pidana, pemberontakan, kitab undang-undang hukum pidana, hukum pidana Islam. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada hukum, hal ini telah dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen yaitu,”Negara Indonesia adalah negara hukum”. 1 Maksudnya, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Indonesia sebagai negara hukum, maka terdapat 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara, yaitu supermasi hukum, kesetaraan dihadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan kaedah hukum. Perwujudan hukum tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang- undangan di bawahnya. 1 Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap,(Jakarta : Sinar Grafika, 2002), Cetakan pertama, h. 4.

Upload: duongliem

Post on 04-Feb-2018

268 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

188

Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Hukum Pidana Islam

Ishaq, S.H.

IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia

ABSTRAK

Pemberontakan merupakan suatu perbuatan atau muslihat yang bertujuan untuk

menghilangkan nyawa/kemerdekaan Kepala Negara. Permasalahan dalam makalah ini

adalah bagaimanakah sanksi pidana pemberontakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana dengan hukum pidana Islam?. Motode yang dipergunakan adalah pendekatan studi

perbandingan. Sumber datanya adalah data sekunder berupa alqur’an, fikih jinayah dan

KUHP. Sanksi pidana pemberontakan dalam Pasal-Pasal KUHP terdiri dari pidana penjara

4 tahun, 5 tahun, 7 tahun, 12 tahun, 15 tahun, seumur hidup, 20 tahun, bahkan sampai

pidana mati. Sedangkan sanksi Pidana Pemberontakan dalam hukum pidana Islam

dijelaskan dalam al-qur’an surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan surah al-Maidah (5) ayat 33,

yaitu (1) didamaikan antara keduanya, (2) diperangi golongan yang berbuat aniaya

terhadap golongan yang lain, (3) dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka

dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.

Kata Kunci: Sanksi pidana, pemberontakan, kitab undang-undang hukum pidana, hukum

pidana Islam.

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada hukum, hal ini telah dijelaskan di

dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil

amandemen yaitu,”Negara Indonesia adalah negara hukum”.1 Maksudnya, bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),

tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem

konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Indonesia sebagai negara hukum, maka terdapat 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh

setiap warga negara, yaitu supermasi hukum, kesetaraan dihadapan hukum, dan penegakan

hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan kaedah hukum. Perwujudan

hukum tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang-

undangan di bawahnya.

1 Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap,(Jakarta :

Sinar Grafika, 2002), Cetakan pertama, h. 4.

Page 2: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

189

Kaedah hukum, dan kaedah keagamaan berfungsi untuk melarang melakukan perbuatan

pemberontakan. Akan tetapi kaedah hukum melarang perbuatan tersebut adalah dengan

jalan merumuskan di dalam undang-undang hukum pidana, bahwa apabila seseorang

melakukan suatu pemberontakan, maka ada orang lain yang ditunjuk oleh peraturan hukum

akan menerapkan terhadap pelaku pemberontakan tersebut suatu tindakan paksaan tertentu

yang ditetapkan oleh peraturan hukum itu.

Dengan demikian, kaedah hukum menurut Sudikno Mertokusumo di samping melindungi

kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancamnya, juga mengatur hubungan di

antara manusia. Dengan mengatur hubungan di antara manusia, selain tercipta ketertiban

atau stabilitas, diharapkan dapat dicegah atau diatasi terjadinya konflik atau gangguan

kepentingan-kepentingan itu2.

Peraturan hukum yang dapat mengatasi terjadinya konflik dan mempunyai sanksi yang

tegas adalah hukum pidana, sehingga hukum pidana sebagai ultimum remedium yang

artinya hukum pidana merupakan senjata pemungkas atau sarana terakhir yang digunakan

untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum.3. Hukum pidana menurut Mustafa

Abdullah dan Ruben Ahmad adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan

hukuman pidana4.

Kaedah keagamaan suatu kaedah sosial yang asalnya dari Tuhan Yang Maha Esa yang

isinya berupa larangan, perintah, dan anjuran. Apabila larangan dan perintah itu tidak

dilaksanakan, maka Allah SWT akan memberikan sanksi kepada umatnya di akhirat nanti.

Kaedah agama bertujuan agar manusia menjadi sempurna, yang akhirnya tidak ada lagi

manusia menjadi jahat. Hal ini senada pendapat Sudikno Mertokusumo yang mengatakan

bahwa tujuan kaedah agama adalah penyempurnaan manusia oleh karena kaedah ini

ditujukan kepada umat manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat5.

Dalam agama Islam mengatur tentang macam-macam perbuatan yang dilarang menurut

syara’ (syariát), atau yang disebut dengan istilah jinayat6. Secara global tujuan syara’

dalam menetapkan hukum-hukumnya menurut H. Ismail Muhammad Syah adalah

kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia yang fana ini, maupun

kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak7. Perbuatan memberontak tergolong dalam

jinayat/pidana atau yang disebut juga dengan istilah jarimah.

Di dalam ilmu fiqh, bahwa jarimah pemberontak termasuk dengan jarimah hudud, yakni

jarimah yang hukumannya langsung ditetapkan dalam al-Qurán, maupun dalam al-hadits.

Jarimah al-baghyu menurut Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani adalah usaha

2 . Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2011), h. 16. 3 .Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), h. 26. 4 . Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993), h. 9. 5 .Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), Cetakan Kedua,

h. 6 6 .Setiap perbuatan yang diharamkan secara syara’, baik apakah perbuatan itu dilakukan terhadap jiwa, harta,

akal, dan kehormatan. 7 . H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), Cetakan kedua, h. 65.

Page 3: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

190

melawan pemerintahan yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan

mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah8.

Salah satu perbuatan jarimah yang termasuk kelompok jahat karena berupaya melakukan

kerusakan di muka bumi, yakni perbuatan pemberontakan. Karena itu al-Qur’an

memutlakkan orang yang melakukan pemberontakan atau al-Baghyu sebagai orang yang

melawan pemerintah yang sah9. Sanksi jarimah pemberontak tersebut menurut hukum

pidana Islam bermacam-macam, yaitu (1) melakukan ishlah atau perdamaian atau

perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang dalam ishlah tersebut imam menuntut para

pelaku makar untuk menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada imam. (2) Bila

cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap berlangsung maka imam

memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan tidak ada lagi perlawanan.10.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), istilah pemberontakan lebih

dikenal dengan istilah makar, dan termasuk tindak pidana yang hukumannya juga sangat

berat. Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mupun hukum pidana Islam masing-

masing mempunyai aturan yang berbeda tentang sanksi terhadap pelaku tindak pidana

pemberontakan.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji

dan memeliti lebih dalam mengenai sanksi pidana pemberontakan yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun yang diatur dalam hukum pidana Islam.

Untuk itu permasalahan dari makalah ini adalah bagaimanakah perbandingan sanksi pidana

pemberontakan menurut kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan hukum pidana

Islam ?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum

normatif atau penelitian hukum kepustakaan dimana penelitian ini dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Hal ini sesuai dengan pendapat Soerjono

Soekanto dan Sri Mamuji, bahwa data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya

dinamakan data sekunder.11

Sedangkan bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan

perundang-undangan, buku-buku yang terkait dengan masalah penelitian, seperti Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, buku hukum pidana, buku hukum pidana Islam, kitab

kitab fiqh, Alqur’an dan terjemahnya, hadits, hasil-hasil penelitian dan jurnal. Data

dianalisis dengan metode kualitatif dan diuraikan secara deskriptif. Ruang lingkup

pembahasan makalah ini hanya menitik beratkan kepada perbandingan sanksinya terhadap

tindak pidana pemberontakan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dengan hukum pidana Islam.

8 . Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Bandung: Pustaka Setia,

2013), h.454. 9 Mustofa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Ibid. 10 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), h.315 11 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke -13,

(Jkarta : RajaGrafindo Persada, 2011), h. 12.

Page 4: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

191

Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP Dan Hukum Pidana Islam.

Pengertian Tindak Pidana Pemberontakan (Makar) Dalam KUHP.

Makar berarti serangan,12 dalam hukum pidana Indonsia yang tercantum di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah makar atau aanslag dalam bahasa

Belanda, menurut R. Soesilo adalah penyerangan, yang biasanya dilakukan dengan

perbuatan kekerasan.13 Istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara

khusus yang dapat dimulai dalam Pasal 87, yang berbunyi: Makar (aanslag) sesuatu

perbuatan dianggap ada, apabila niat spembuat kejahatan sudah ternyata dengan

dimulainya melakukan perbuatan itu menurut maksud pasal 53.14 Menurut Pasal 87

KUHP tersebut, bahwa hanya memberikan suatu penafsiran tentang istilah “makar” dan

tidak memberikan memberikan definisinya. Menurut Djoko Prakoso, bahwa dengan

adanyan Pasal 87 KUHP, maka untuk melakukan suatu perbuatan itu ada apabila niat

untuk itu telah ada, yang ternyata dari perbuatan pelaksanaan sebagaimana dimaksud

oleh Pasal 53 KUHP.15

Kemudian Andi Hamzah menyatakan bahwa “makar, aanslag, strikkin (KUHP 87) adalah

(1) awal pelaksanaan niat yang bertujuan melakukan delik, (2) awal pelaksanaan delik

yang membahayakan keamanan negara, misalnya, usaha mebunuh atau merampas

kehormatan kepala negara, menggulingkan perintah, memisahkan wilayah negara atau

menyebabkan wilayah negara jatuh ke tangan musuh (kejahatan terhadap keamanan

negara).16 Sedangkan pengertian aanslag menurut JCT Simorangkir dan kawan-kawan,

yaitu perbuatan atau muslihat yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa/kemerdekaan

Kepala Negara dengan jalan pemberontakan.17

Lebih lanjut dijelaskan oleh Adami Chazawi, bahwa istilah makar dalam bahasa Belanda

adalah aanslag yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan. Dikatakan

ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat untuk itu telah ternyata dari

adanya permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 53 (Percobaan).18

Dalam bahas Belanda, kata aanslag (makar) menurut PAF Lamintang dan Theo Lamintang

mempunyai berbagai arti misalnya : aanval yang berarti serangan, misdadige aanrading

yang berarti penyerangan dengan maksud tidak baik.19Istilah makar itu sendiri berasal dari

istilah “makarun” dalam bahasa Arab yang berarti tipu daya.20

12 M. Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

(Bandung : Remadja Karya, 1984), hlm. 210. 13 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal

Demi Pasal, (Bogor : Politeia T.Th), hlm. 108. 14 R. Soesilo, Ibid, hlm. 97. 15 Djoko Prakoso,Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 16. 16 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Harapan, 2009), hlm. 103 17 JCT Simorangkir, et all, Kamus Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 1. 18 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta:Raja Grafindo

Persada, 2002), hlm. 173. 19 PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan terhadap Kepentingan Hukum Negara, edisi kedua,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 5. 20 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-

Qur’an, 1989), hlm. 425.

Page 5: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

192

Di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, kata makar berasal dari bahasa Arab al-makr sama

artinya dengan tipu daya/tipu muslihat atau rencana jahat. Secara simantik makar

mengandug arti : akal busuk, perbuatan dengan maksud hendak menyerang orang, dan

perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Arti dan pengertian tersebut dikuatkan

oleh beberapa ahli dari kaum cendekiawan muslim.21 Makar adalah suatu tipu daya yang

dilakukan oleh orang-orang kafir atau kelompok tertentu yang menghancurkan kebenaran

atau sistem kehidupan Qur’aniyah. Tipu daya itu bisa dilakukan dengan cara menyebarkan

isu, fitnah, teror, dan dengan melakukan kekacauan atau huru-hara.22

Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP

Tindak pidana makar di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur

dalam Bab I (satu) Buku II (dua) tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Kejahatan

terhadap keamanan negara dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, walaupun KUHP tidak

mengenal pembagian atas 2 (dua) jenis tersebut secara tegas, yaitu:

Kejahatan terhadap keamanan di dalam negeri (hoogverrad, yakni pengkhianatan dalam

negeri) yang terdiri atas kejahatan yang ditujukan terhadap bentuk pemerintahan dan

bentuk negara, sebagaimana dapat ditemukan dalam Bab I Buku II Pasal 104 sampai Pasal

110 KUHP seperti pembunuhan terhadap kepala negara atau wakilnya, pemberontakan dan

revolusi.

Kejahatan terhadap keamanan negara diluar negeri (landverrad, yakni pengkhianatan luar

negeri) yaitu kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi negara sendiri sehubungan

dengan negara-negara asing sebagaimana dapat ditemukan dalam Bab I Buku II Pasal 111

sampai Pasal 129 KUHP.23

Adapun unsur-unsur tindak pidana makar dapat dilihat berdasarkan Pasal-pasal yang

mengatur tentang makar, yaitu:

Pasal 104 KUHP.

Pasal 104 KUHP ini unsur-unsurnya terdiri dari: makar dengan maksud:

Menghilangkan jiwa Presiden atau Wakil Presiden;

Merampas kemerdekaan Presiden dan Wakil Presiden;

Menjadikan Presiden atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan.

21 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993). 22 Erdianto, Tindak Pidana Makar Terhadap Keamanan Dan Keutuhan Wilayah Negar Dihubungkan

Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Pelaku, Ringkasan Disertasi, (Bandung : Program Doktor Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2014), hlm. 23. 23 H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, (Bandung : Alumni, 1986),

hlm. 217.

Page 6: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

193

Adapun penjelasan unsur-unsur yang terkandung Pasal 104 KUHP yaitu: dengan maksud,

berarti pelaku mempunyai niat atau kehendak ataupun tujuan, hingga tujuan itu tidak perlu

telah terlaksana. Makasud disini adalah meliputi perbuatan menghilangkan jiwa, merampas

kemerdekaan atau menjadikan tidak mampu menjalankan pemerintahan atas Presiden atau

Wakil Presiden.

Menghilangkan jiwa terdiri atas pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP dan pembunuhan

dengan berencana Pasal 340 KUHP, dan perbuatan percobaan atas kedua jenis kejahatan

tersebut. Merampas kemerdekaan itu harus berdasarkan Pasal 333 KUHP yakni merampas

kemerdekaan dan melanjtkan perampasan kemerdekaan tersebut. Menjadikan tidak

mampu menjalankan pemerintahan, yakni dilakukan beberapa cara dan tidak dipersoalkan

jenis sarana atau cara yang dipergunakan dalam melakukan makar itu untuk mencapai

tujuannya. 24

Pasal 106 KUHP.

Pasal 106 KUHP ini mengndung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu:

Makar dengan maksud:

Menaklukkan daerah atau negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing,

Memisahkan sebagian dari daerah negara.

Unsur-unsur tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa makar dengan

maksud, yakni pelaku mempunyai niat atau tujuan yang diarahkan pada: menaklukkan

daerah negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan asing, memisahkan

sebagian dari wilayah negara. Menaklukkan daerah negara seluruhnya atau sebagian ke

bawah pemerintahan asing, berarti menyerahkan seluruh atau sebagian besar wilayah

negara ke dalam pemerintahan asing. Negara dijadikan daerah jajahan atau dibawah

kedaulatan negara lain, sehingga negara kehilangan kemerdekaannya, sedangkan sebagian

wilayah di bawah negara pemerintahan asing berarti negara kehilangan kedaulatannya

sama sekali. Memisahkan sebagian dari negara berarti sebagian dari wilayah negara

dijadikan negara yang berdiri sendiri atau negara yang berdiri sendiri atau negara yang

merdeka terlepas dari negara Republik Indonesia,25 Pasal 107 KUHP.

Pasal 107 KUHP.

Adapun unsur-unsur yang terkandung pada Pasal 107 KUHP ini, yaitu: makar yang

dilakukan dengan maksud: meruntuhkan pemerintahan, pimpinan atau pengatur makar

yang dimaksudkan pada ayat pertama. Makar yang dilakukan dengan maksud, yakni

pelaku mempunyai niat atau kehendak ataupun tujuan, hingga tujuan itu tidak perlu telah

terlaksana.

Meruntuhkan pemerintahan yang sah, berarti menghapuskan atau mengubah dengan jalan

yang tidak sah bentuk pemerintahan yang menurut undang-undang dasar atau bentuk

pemerintahan yang sah dalam Republik Indonesia. Piminan atau pengatur makar yang

24 H.A.K. Moch. Anwar, Ibid, hlm. 219. 25 Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm. 38.

Page 7: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

194

dimaksudkan pada ayat pertama, yakni perbuatan-perbuatan dari orang-orang tertentu

menentukan, bahwa orang-orang tersebut adalah pimpinan atau pengatur. Pimpinan yakni

orang yang memberikan perintah, sedangkan pengatur adalah penyelenggara.26

Pasal 108 KUHP.

Pasal 108 KUHP ini mengatur tentang pemberontakan dengan unsur-unsurnya terdiri dari:

-ke 1:- Melawan dengn senjata;

- kekuasaan yang ada di Indonesia;

-ke 2: - maju dengan pasukan atau masuk pasukan;

- pasukan yang melawan kekuasaan yang syah di Indonesia

- dengan maksud melawan kekuasaan yang syah di Indonesia.

Jika dijelaskan unsur-unsur tersebut di atas, maka dapat dilihat di bawah ini, yaitu:

Melawan dengan senjata merupakan perbuatan melakukan tindakan-tindakan yang

menetang dengan membawa senjata atau mempergunakan senjata. Pelaku dalam

perbuatannya membawa senjata.

Kekuasaan yang telah berdiri di Indonesia bererti pemerintah yang ada di Indonesia, baik

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Masuk pasukan/gerombolan merupakan perbuatan menggabungkan diri dalam pasukan

atau gerombolan.

Pasukan atau gerombolan yang melawan kekuasaan yang syah di Indonesia dengn senjata

harus bertujuan untuk melawan kekusaan yang syah di Indonesia, atau harus melawan atau

menentang pemerintah Indonesia, bai di pusat maupun di daerah.

Dengan maksud melawan kekuasaan yang syah di Indonesia, yakni pelakunya mempunyai

niat atau kehendak melawan kekuasaan yang syah di Indonesia, dan niat atau kehendak itu

tidak perlu terlaksana.27

Pasal 139a KUHP.

Pasal 139a KUHP ini unsur-unsurnya terdiri atas unsur obyektif, yakni makar yang

dilakukan. Sedangkanedangkan unsur subyektifnya adalah dengan maksud untuk

melepaskan dari pada pemerintahan yang syah. Daerah Daerah negara sahabat, jajahan

negara sahabat, bahagian daerah negara sahabat seluruh atau sebagian.

Sedangkan Pasal 139b KUHP unsur-unsurnya adalah makar yang dilakukan dengan

maksud untuk menghapuskan atau mengubah denggan jalan tidak syah, bentuk

26 H.A.K. Moch. Anwar, Op.Cit, hlm. 222-223.

27 H.A.K. Moch. Anwar, Ibid, hlm. 226.

Page 8: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

195

pemerintahan yang telah tetap, dari suatu negara sahabat atau dari suatu jajahan atau

sebagian dari suatu negara sahabat.

Pasal 140 KUHP.

Adapun unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 140 KUHP, yaitu :

Makar untuk: menghilangkan nyawa, kemerdekaan; raja yang memerintah negara sahabat;

kepala lain dari negara shabat.

Makar untuk menghilangkan jiwa itu; menyebabkan mati atau dilakukan yang dirancang

lebih dahulu.

Makar untuk menghilangkan jiwa itu; yang dirancangkan lebih dahulu; menyebabkan mati.

Jika diamati pasal yang telah disebutkan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Pasal 140

KUHP senada dengan Pasal 104 KUHP, karena sama-sama makar terhadap nyawa atau

kemerdekaan Kepala Negara atau wakilnya. Pasal 139a KUHP senada dengan Pasal 106

KUHP,yakni sama-sama makar untuk memisahkan wilayah negara, demikian halnya juga

terhadap Pasal 139b KUHP dengan Pasal 107 KUHP. Perbedaannya adalah bahwa Pasal

104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP itu mengenai negara Indonesia. Sedangkan

Pasal 139a KUHP, Pasal 139b KUHP dan Pasal 140 KUHP, membicarakan tentang negara

sahabat sehingga ancaman pidananya berbeda.

Pengertian Tindak Pidana Pemberontakan (Makar) Dalam Hukum Pidana Islam.

Perbuatan makar atau pemberontakan merupakan suatu tindak pidana yang diharamkan

dalam hukum pidana Islam, hal ini dijelaskan di dalam hadits Rasulullah Saw yang

berbunyi:

من خرج عن الطا عة وقارق الجما عة ومات فميتته ميتة جاهلية )رواه مسلم(

Artinya: Barangsiapa yang tidak taat kepada penguasa dan memisahkan diri dari jama’ah

(penguasa yang direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati

dalam keadaan jahiliyah (kafir) (HR.Muslim).28

Pemberontakan atau al-Baghyu berasal dari akar kata bagha secara arti kata berarti

“menuntut sesuatu”. Hal ini dijelaskan oleh Abd Al-Qadir Audah, yaitu :

ة... ئ ش ال ب ل ط .ل غ ى غ ب ل ا ...

Artinya:...Mencari atau menuntut sesuatu.29

28 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz III, hlm. 258. 29 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, T.Th),

hlm. 673.

Page 9: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

196

Jika dilihat dari segi bahasa,maka al-Baghy mempunyai beberapa pengertian, antara lain

(zhalim, aniaya) الظلم , الجنا ية (perbuatan jahat) العدول عن الحق (durhaka) العصيان

(menyimpang dari kebenaran), dan التعدى (melanggar, menetang).30

Pengertian tindak pidana pemberontakan (makar) secara terminologi dijelaskan oleh H.

Zainuddin Ali yaitu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan

untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.31 Kemudian H. Ahmad Wardi Muslich

menjelaskan, bahwa pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala negara

(imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil).32

Senada dengan hal tersebut juga Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani menjelaskan

bahwa al-Baghyu (pemberontakan) adalah usaha melawan pemerintah yang sah dengan

terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan

ketentuan yang digariskan pemerintah.33 Di samping itu juga Makhrus Munajat

mengemukakan bahwa al-Baghyu (pemberontakan) sering diartikan sebagai keluarnya

seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan.34 Selain pengertian al-Baghyu

(pemberontakan) yang telah dikemukakan tersebut di atas, juga dikemukakan oleh ulama

mazhab yang redaksinya juga berbeda-beda, yaitu :

Pendapat Imam Malikiyah.

Menurut Imam Malikiyah, bahwa al-Baghyu (pemberontakan) adalah:

ل ي ء و ا ت و ل و ه ت ب ا ل غ م ب ة ي ص ع م ر ي غ ى ف ه ت ا م م ا ت ت ب ث ن م ة اع ط ن ع اع ن ت م ل ...ا ى غ ب ال

Artinya: Pemberontakan... adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang

kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam mksiat, dengan cara

menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta’wil).35

Pendapat Hanafiyah.

Imam Hanafiyah memberikan pengertian al-Baghyu (pemberontakan) adalah sebagai

berikut, yaitu:

ق ح ر ي غ ب ق لح ا ام م ا ة ا ع ط ن ع ج و ر خ ل ... ا ى غ ب ل ا

Artinya: Pemberontakan adalah...ke luar dari ketaatan kepada Imam (kepala negara) yang

benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).36

30 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Op.Cit, hlm. 257. 31 H. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

hlm. 122. 32 H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 111. 33 Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Bandung : Pustaka Setia,

2013), hlm. 454. 34 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm. 158. 35 Abd Al-Qadir Audah, Loc.Cit. 36 Abd Al-Qadir Audah, Ibid.

Page 10: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

197

Pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah.

Adapun pendapat Imam Syafi’iyah maupun Imam Hanabilah tentang pemberontakan dapat

dijelaskan di bawah ini, yaitu:

د ا س ف ل ي و اء ت ب ام م ل ا ة ا ع ط ن ع اع ط م س ي ئ ر و ة ك و ش ا ت ذ ة ا ع م ج ج و ر خ و ... ه ى غ لب ا ف

Artinya: Pemberontakan... adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan

pemimpin yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (imam), dengan

menggunakan alasan (ta’wil) yang tidak benar.37

Berdasarkan pengertian yang telah dijelaskan oleh para ulama tersebut, terdapat perbedaan

tentang persyaratan yang harus dipenuhi dalam tindak pidana (jarimah) pemberontakan,

namun tidak dalam unsur yang prinsipil.

Unsur- Unsur Tindak Pidana (Jarimah) Pemberontakan Dalam Hukum Pidana

Islam.

Adapun unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan berdasarkan pengertian yang

telah dijelaskan di atas, oleh H. Ahmad Wardi Muslich dikemukakan atas tiga macam,

yaitu :

Pembangkangan terhadap kepala negara (imam);

Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan

Adanya niat yang melawan hukum (al-Qasd Al-Jinaiy).38

Kemudian unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan menurut H. M. Nurul Irfan,

dan Masyrofah juga terdapat tiga unsur yang penting, yaitu:

Memberontak terhadap pemimpin negara yang sah serta berdaulat,

Dilakukan secara demonstratif, dan

Termasuk tindakan pidana.39

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana (jarimah) pemberontakan yang dikemukakan oleh

Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani adalah sebagai berikut, yaitu: (1) melawan

pemerintahan yang sah atau melepaskan diri atau keluar dari kekuasaan imam dan

37 Abd Al-Qadir Audah, Ibid, hlm. 674.

38 . H. Ahmad Wardi Muslich, Loc.Cit. 39 H. M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Amzah, 2013), hlm. 62.

Page 11: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

198

kesengajaan atau iktikad tidak baik, (2) melepaskan diri atau keluar merupakan perbuatan

menentang dan memcoba menjatuhkan kekuasaan imam dengan alasan politis.40

Senada dengan hal tersebut di atas, juga Amir Syarifuddin menjelaskan unsur-unsur tindak

pidana (jarimah) pemberontakan, sebagai berikut:

Menentang kekuasaan atau melakukan perlawanan terhadap imam atau penguasa yang sah

dan adil dengan maksud dan cara menghilangkan kekuasaan yang sah; atau menarik

kepatuhan dari padanya; atau menolak memberikan hak-haknya.

1. Dilakukan oleh sekelompok orang yang diorganisir oleh pimpinan yang dipatuhi.

2. Dilakukan dengan suatu ide (al-ta’wil) tertentu.

3. Menggunakan kekuatan senjata.

4. Perlawanan terhadap kekuasaan yanh sah itu dilakukan dengan sengaja, sadar dan

5. mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah salah dan dilarang oleh agama.41

Pembangkangan terhadap kepala negara (imam).

Pembangkangan, yakni menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya

atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Untuk terwujudnya

jarimah atau tindak pidana pemberontakan diupayakan terjadinya upaya pembangkangan

terhadap kepala negara. Pembangkangan yang dimaksudkan disini menurut H. Ahmad

Wardi Muslich, yakni pembangkangan kepada imam atau kepala negara, atau kepada

pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya.42

Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan.

Pembangkangan termasuk sebagai pemberontakan, apabila pembangkanagan itu disertai

dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Jika pembangkangan itu tidak

menggunakan kekerasan, maka tidak termasuk sebagai pemberontakan atau makar.

Adanya niat yang melawan hukum.

Adanya niat yang melawan hukum merupakan salah satu terwujudnya tindak pidana atau

jarimah pemberontakan. Unsur ini akan terpenuhi jika seseorang mempunyai tujuan

menggunakan kekuatan dalam rangka menggulingkan imam atau tidak mau mentaatinya.

Islam menuntut kepatuhan ummatnya kepada pemimpinnya atau ulil amrinya, seperti

dijelaskan di dalam al-Qur’an pada surat al-Nisa’ (04) ayat 59:

40 Mustofa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Op.Cit, hlm. 455. 41 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 311-313. 42 H. Ahmad Wardi Muslich, Loc.Cit.

Page 12: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

199

...

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil

amri di antara kamu.... (Q.S. al-Nisa’(04):59).43

Kepatuhan kepada ulil amri tersebut selalu dituntut selama ulil amri itu tidak membawa

umat kepada hal-hal yang menyalahi hukum Allah. Mentaati ulil amri menurut Teungku

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, tidak berdiri sendiri, tetapi jga merupakan rangkaian

dari ketaatan berdiri sendiri, tetapi jga merupakan rangkaian dari ketaatan kepada kepada

Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, kata “ulil amri”, tidak diulangi di depan kata “ulil amri”,

tetapi ikut ungkapan sebelumnya, yakni menaati Allah dan Rasul-Nya. Dan ketaatan

kepada ulil amri juga termasuk menegakkan syari’at Allah dan Rasul-Nya.44

Jika umat Islam yang tidak mematuhi perintah ulil amri yang sah dan adil berarti telah

menyalahi perintah Allah yang terkandung dalam ayat di atas, dan mereka disebut durhaka

sehingga pantas menerima celaan dari Allah SWT. Jika kedurhakaan itu dilakukan dengan

menggunakan kekerasan dan kekuatan senjata yang terorganisir dengan pimpinan yang

dipatuhi, maka perbuatan itu sudah termasuk pemberontakan atau makar (al-baghyu).

Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP Dan Hukum Pidana Islam.

Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam KUHP.

Tindak pidana pemberontakan atau makar sebagaimana dirumuskan pada Pasal 104

KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP, Pasal 110 KUHP, yakni

kejahatan terhadap keamanan di dalam negeri yang terdiri atas kejahatan yang ditujukan

terhadap bentuk pemerintahan dan bentuk negara, termasuk juga tindak pidana terhadap

Kepala Negara. Kejahatan tersebut seperti pembunuhan terhadap kepala negara atau

wakilnya, pemberontakan dan revolusi.

Sedangkan kejahatan terhadap keamanan negara di luar negeri, yakni kejahatan yang dapat

menimbulkan bahaya bagi negara sendiri sehubungan dengan negara-negara asing

sebagaimana diatur di dalam Bab I Buku II pada Pasal 111 KUHP, Pasal 112 KUHP, Pasal

113 (1) KUHP, Pasal 122 KUHP, Pasal 124 KUHP, Pasal 126 KUHP, dan Pasal 127

KUHP.

Sanksi tindak pidana pemberontakan atau makar tersebut bermacam-macam berdasarkan

Pasal-pasal yang dilanggar. Jika pelaku pemberontakan atau makar terhadap negara

melanggar Pasal 104 KUHP, maka sanksinya adalah dipidana mati atau penjara seumur

hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Apabila pelaku

43 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-

Qur’an, 1981/1982), hlm. 128 44 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Jilid I, (Jakarta : Cakrawala

Publishing, 2011), hlm. 549.

Page 13: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

200

pemberontakan atau makar itu terhadap negara melanggar Pasal 106 KUHP, maka

sanksinya hanyalah dipidana penjara seumur hidup atau penjara sementara selam-lamanya

dua puluh tahun. Kemudian pelaku pemberontakan atau makar yang melanggar Pasal 107

KUHP pada ayat (1), maka ancaman pidananya adalah lima belas tahun penjara, jika

melanggar ayat (2) pasal tersebut, maka sanksinya adalah dihukum penjara seumur hidup

atau penjara semenara selama-lamanya dua puluh tahun.

Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 108 (1) KUHP adalah dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya lima belas tahun, dan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

dipidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun terhadap pelanggaran Pasal 108 (2)

KUHP tersebut. Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 111 KUHP adalah dipidana mati atau

pidana penjara seumur hidup atau dipidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Perbuatan yang melanggar Pasal 112 KUHP akan dipidana dengan pidana mati, atau

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh

tahun. Pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur di dalam Pasal 113 ayat (1) KUHP akan

dipidana penjara selama-lamanya empat tahun. Pelanggaran terhadap Pasal 122 KUHP

akan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Sedangkan perbuatan

yang melanggra Pasal 124 KUHP akan dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup, atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun, atau penjara sementara

selama-lamanya lima belas tahun.

Adapun perbuatan makar yang melanggar Pasal 126 KUHP akan diberikan sanksi dengan

dipidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Kemudiann terhadap perbuatan

pemberontakan yang melanggar pada Pasal 127 KUHP akan diberikan sanksi pidana

dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Sedangkan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan terhadap negara yang bersahabat dan

terhadap kepala negara dan wakil kepala negara sebagaimana yang diatur di dalamm Pasal

139a KUHP adalah dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima

tahun. Pelanggaran terhadap Pasal 139b KUHP dikenakan sanksi pidana penjara selama-

lamanya empat tahun, dan terhadap pelaku makar yang melanggar Pasal 140 KUHP

dikenakan sanksi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

sementara selama-lamanya dua puluh tahun atau pidana penjara selama-lamanya lima belas

tahun.

Sanksi Tindak Pidana Pemberontakan Dalam Hukum Pidana Islam.

Hukum pidana Islam, sebagai realisasi dari hukum Islam itu sendiri, menerapkan sanksi

pidana dengan tujuan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta

mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota

masyarakat, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta maupun kehormatan.45 Tujuan

memberikan sanksi pidana dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan umum di syariatkan

hukum, yakni untuk merealisasikan kemaslahatan umat dan sekaligus akan ditegakkan

keadilan.46

45 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang,1968), hlm. 255. 46 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, (Kuwait : Dar al-Qalam, 1992), hlm. 198.

Page 14: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

201

Lebih lanjut dijelaskan oleh Abdul Ghofur Anshori dan Yulakrnain Harahab, bahwa tujuan

hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia

(sebagai individu dan sebagai masyarakat) seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia ini,

maupun kebahagiaan di akhirat kelak.47 Dengan demikian kemaslahatan itu tidak hanya

untuk kehidupan di dunia saja, tetapi juga untuk kehidupan kelak.

Adapun dasar hukum yang menjadi acuan sanksi pidana bagi yang melakukan

pemerontakan terhadap negara atau pemerintah yang sah, telah dijelaskan di dalam al-

qur’an dalam surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan surah al-Maidah ( ) ayat 33 sebagai berikut:

Al-Qur’an Surah al-Hujurat (49) ayat 9 berbunyi sebagai berikut:

Artinya: dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah

kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang

lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada

perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan

hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku

adil. (Q.S. Al-Hujurat (49):9).48

Ayat tersebut di atas menjelaskan tentang perselisihan antara kaum mkminin yang antara

lain disebabkan oleh adanya isu yang tidak jelas kebenarannya. Dan jika ada dua kelompok

yang telah menyatu secara faktual atau berpotensi untuk menyatu dari yakni sedang

mereka adalah orang-orang mukmin bertikai dalam bentuk sekecil apapun maka

damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya yakni kedua kelompok itu,

sedang atau masih terus menerus berbuat aniaya terhadap kelompok yang lain sehingga

enggan menerima kebenaran dan atau perdamaian maka tindaklah kelompok yang berbuat

aniaya itu sehingga ia yakni kelompok itu kembali kepada perintah Allah yakni menerima

kebenaran; jika ia kembali kepada perintah Allah itu maka damaikanlah antara keduanya

denga adil dan berlaku adillah dalam segala hal agar putusan kamu dapat diterima dengan

baik oleh semua kelompok. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku

adil.49

Kemudian juga Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy mengemukakan, bahwa jika

dua golongan dari orang-orang mukmin berperang atau saling membunuh, maka wajiblah

atas umat Islam mendamaikan dua golongan ini. Mengajak mereka menerima hukum

Allah, baik hukum itu berbentuk qisas maupun berbentuk diyat. Kewajiban yang lazim

dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintahlah yang mengajak kedua golongan yang

47 Abdul Ghofur Anshori, dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di

Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008), hlm.31 48 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 846 49 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati,

2002), hlm. 243.

Page 15: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

202

bersengketa itu menerima ketetapan Allah. Jika salah satu dari dua golongan itu merusak

atau melanggar perdamaian, lalu menyerang kembali golongan yang lain dengan tidak ada

satu sebab yang membolehkan, maka wajiblah atas pemerintah dan umat Islam memerangi

golongan yang merusak perdamaian dan mengembalikannya kepada kitab Allah. Jika

golongan itu kembali berdamai,maka wajiblah bagi kita mendamaikan keduanya dengan

adil dan tidak memihak.50

Al-Qur’an Surah al-Maidah (5) ayat 33 yang berbunyi:

Artinya:. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan

Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,

atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri

(tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka

didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Q.S. Al-Maidah (5):33).51

Berdasarkan ayat tersebut di di atas menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,

bahwa memerangi Allah dan Rasul-Nya adalah mengadakan kekacauan, menghilangkan

ketentraman, menentang hak-hak syara’, maka pembalasan bagi orang-orang tersebut

adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan kanan dengan kaki kiri (tangan kiri

dengan kaki kanan) atau diusir dari negerinya.52

Berdasarkan ayat al-qur’an di atas, maka menurut H. Zainuddin Ali, bahwa sanksi pidana

terhadap pelaku pemberontakan adalah sebagai berikut:

Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah antara keduanya.

Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,

perangilah golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, perangilah

golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah,

Damaikanlah keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang berlaku adil.

50 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, jilid 4, (Jakarta :

Cakrawala, 2011), hlm. 147. 51 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 164. 52 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 657.

Page 16: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

203

Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat

kerusakan dimuka bumi adalah dibunuh atau disalib (dipotong tangan dan kaki mereka

dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.53

Pemberlakuan sanksi sebagaimana dikemukakan ayat al-Qur’an di atas bertujuan untuk

menciptakan sistem kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintahan. Pemberontakan

dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang sah itu dapat disajajarkan dengan

pengkhianat. Dengan demikian pemberlakuan sanksi pidana mati terhadap orang yang

melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah didasari pertimbangan bahwa:

(1) tanpa pelaksanaan pemerintahan maka masyarakat akan kacau, (2) orang yang

melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah berdasarkan hukum Islam berarti

sama dengan orang yang melawan kemauan Allah SWT dan Rasul-Nya.54

Kesimpulan.

Berdasarkan pembahsan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Sanksi pidana pemberontakan dalam KUHP sebagaimana dirumuskan pada Pasal 104

KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP, Pasal 110 KUHP, Pasal 111

KUHP, Pasal 112 KUHP, Pasal 113 (1) KUHP, Pasal 122 KUHP, Pasal 124 KUHP, Pasal

126 KUHP, dan Pasal 127 KUHP, sanksinya minimal dipidana penjara 4 tahun dan

maksimal dipidana dengan pidana mati.

Sanksi Pidana Pemberontakan Dalam Hukum Pidana Islam, yakni (1) didamaikan antara

keduanya, (2) diperangi golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,

sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, (3) dibunuh atau disalib (dipotong

tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat

kediamannya. Dasar hukumnya adalah al-qur’an dalam surah al-Hujurat (49) ayat 9 dan

surah al-Maidah (5) ayat 33.

Daftar Pustaka

Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Beirut : Dar Al-Kitab Al-

‘Arabi, T.Th.

Abdul Ghofur Anshori, dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan

Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2008

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, Kuwait : Dar al-Qalam, 1992.

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Jakarta:Raja

Grafindo Persada, 2002.

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang,1968

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : Kencana, 2010

53 H. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm. 75.

54 H. Zainuddin Ali, Ibid, hlm. 77.

Page 17: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

204

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Harapan, 2009

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Hukum Islam, jakarta : Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1993.

Djoko Prakoso,Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986.

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,

2014.

Erdianto, Tindak Pidana Makar Terhadap Keamanan Dan Keutuhan Wilayah Negar

Dihubungkan Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Pelaku, Ringkasan Disertasi,

Bandung : Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2014.

H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

H. Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Cetakan kedua, Jakarta : Bumi Aksara,

1992

H. Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 2008.

-------------, Hukum Pidana Islam Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara

Lengkap, Cetakan pertama, Jakarta : Sinar Grafika, 2002.

JCT Simorangkir, et all, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta :

Lentera Hati, 2002.

M. Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, Bandung : Remadja Karya, 1984.

Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta : Teras, 2009.

Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz III.

Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1989

Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993

Mustafa Hasan, dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Bandung :

Pustaka Setia, 2013.

Page 18: Perbandingan Sanksi Pidana Pemberontakan Menurut …ukmsyariah.org/wp-content/uploads/2015/12/16-HS-Ishaq..pdf · Permasalahan dalam makalah ini ... Tindak Pidana Pemberontakan Dalam

205

PAF Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan terhadap Kepentingan Hukum Negara,

edisi kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia T.Th.

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, Penelitan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Cetakan ke -13, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kedua

Yogyakarta : Liberty, 1999

-------------, Teori Hukum, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2011

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, jilid 4,

Jakarta : Cakrawala, 2011.