pengembangan model pembinaan karakter mahasiswa...

129
PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA STAIN SALATIGA TAHUN 2012 Laporan Penelitian Kelembagaan Dibiayai DIPA STAIN Salatiga Tahun 2012 Disusun Oleh Tim: Drs. Bahroni, M. Pd. (Ketua) Mukti Ali, M. Hum. (Anggota) Dra. Lilik Sriyanti, M. Si. (Anggota) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012 KATA PENGANTAR 1

Upload: others

Post on 18-May-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN

KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI

DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA

AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA

STAIN SALATIGA TAHUN 2012

Laporan Penelitian Kelembagaan

Dibiayai DIPA STAIN Salatiga Tahun 2012

Disusun Oleh Tim:

Drs. Bahroni, M. Pd. (Ketua)

Mukti Ali, M. Hum. (Anggota)

Dra. Lilik Sriyanti, M. Si. (Anggota)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) SALATIGA

2012

KATA PENGANTAR

1

Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kerjasama dari Tim Peneliti,

penyusunan laporan penelitian kelembagaan dengan judul ”Pengembangan Model

Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik

Kos, Pemuka Agama, dan Ketua RT Pada Mahasiswa STAIN Salatiga Tahun

2012” dapat terselesaikan dengan baik.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rujukan dalam

upaya pembinaan mahasiswa STAIN Salatiga menuju terwujudnya

karakter/akhlaq mahasiswa yang mulia serta menciptakan suasana kampus yang

religius.

Tim Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif dari

berbagai pihak terhadap kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini untuk

perbaikan dalam penelitian selanjutnya.

2

ABSTRAK

Pengembangan Model Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen

Pembimbing, Pemilik Kos, Pemuka Agama, dan Ketua Rt Pada Mahasiswa

STAIN Salatiga Tahun 2012. Drs. Bahroni, M. Pd. dkk.

Kata kunci : pembinaan, karakter, mahasiswa

Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin padatingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat dipengaruhioleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan dapat pilakarena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara (Hanum,2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh besar terhadappembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya. Para pemimpinbesar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar-dasar filosofi yangtidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun juga dapatditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi persoalanpembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga, baik yang dipersepsikan olehpara mahasiswa sendiri, orang tua mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT sertamasyarakat di tempat kos mahasiswa, dan para dosen pembimbing; dan (2)merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa STAINSalatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT tempatkos mahasiswa.

Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) dari sisi aturan yangtertulis dalam tatatertib mahasiswa sebenarnya sudah cukup memadai, namunbelum ada kedisplinan dari lembaga dalam menegakkan aturan tersebut sehinggapelanggaran terhadap aturan yang ada cenderung dibiarkan dan tidak diberi sanksiyang terukur; (2) pembinaan mahasiswa sudah dilakukan melalui sejumlah UnitKegiatan Mahasiswa (UKM), namun ketika ada sebagian UKM yang justrukegiatannya dikesankan oleh banyak pihak melenceng dari visi dan missi STAINSalatiga, lembaga belum mengambil tindakan yang signifikan untukmemperbaikinya; (3) setiap kelompok mahasiswa sudah ada Dosen PembimbingAkademiknya, namun peran Dosen Pembimbing Akademik sebagian besar belumoptimal, masih sebatas berperan dalam hal-hal yang bersifat administratifakademik, belum menjangkau peran yang lebih esensial dalam hal pembinaankarakter mahasiswa; (4) pembinaan mahasiswa sebenarnya telah dimulai sejakmahasiswa baru mengikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik danKemahasiswaan (OPAK), namun momentum penting untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang baik ini belum dimanfaatkan oleh lembaga secara optimalkarena pelaksana kegiatan ini masih didominasi oleh mahasiswa. Ironisnya,sejumlah mahasiswa senior yang ”bermasalah” dalam bidang akademik dan etikajustru ikut menangani kegiatan penting ini. Oleh karena itu, wajar jika dari 800-anmahasiswa baru angkatan 2012, hampir 400 mahasiswa menyatakan bahwapelaksanaan OPAK 2012 kurang baik dan kurang Islami; dan (5) belum adanya

3

kekompakan dan komitmen yang kuat dari pimpinan, dosen, dan karyawan dalampembinaan karakter mahasiswa. Begitu pula belum ada sinergitas dan kerjasamayang baik antara warga kampus dengan orangtua/wali mahasiswa, pemilik kos,pemuka agama, dan ketua RT di sekitar STAIN Salatiga.

4

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

BAB III : METODE PENELITIAN

BAB IV : PAPARAN DATA PENELITIAN

BAB V : PEMBAHASAN

BAB VI : PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin pada

tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat

dipengaruhi oleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan

dapat pila karena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara

(Hanum, 2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh

besar terhadap pembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya.

Para pemimpin besar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar-

dasar filosofi yang tidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun

juga dapat ditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.

Rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU

Sisdiknas) bab II pasal 3 adalah sebagai berikut: "Pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

serta bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).

Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan

pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk

6

warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah

swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang

berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan

paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya

dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa

semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara

Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas

pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan

model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan

tujuan utama tersebut. Dengan kata lain, pendidikan/pembinaan karakter

merupakan fungsi pokok dari pendidikan, baik yang dilaksanakan pada jalur

pendidikan informal, formal, maupun nonformal.

Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010),

pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi

pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk member keputusan baik-buruk, memelihara

apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari

dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar

mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan

karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tantang hal mana yang baik

sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan

salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya

(psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus

melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan

7

tetapi juga “ merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan

perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada

habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter

telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya,

dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1), Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4)

Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa

Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12)

Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15)

Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18)

Tanggung Jawab (Pusat Kurikulum, 2009:9-10).

Pendidikan dan pembinaan karakter di perguruan tinggi Islam negeri

(PTAIN) tentu lebih dituntut oleh masyarakat. Secar sepesifik, pembinaan

karakter mahasiswa PTAIN harus diarahkan pada terbentuknya sikap dan

perilaku etis, yang meliputi: istiqamah (integritas), ikhlas, jihad, dan amal

saleh. Energy positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan

orang yang berkarakter, yaitu orng yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs

al-mutmainnah) dan ber amal saleh. Aktualisasi orng yang berkualitas ini

dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur

karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity

(kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional) (Tobroni, 2011).

Ironisnya, akhir-akhir ini persoalan pendidikan dan pembinaan

karakter mahasiswa PTAIN banyak mendapat sorotan. Alih-alih menjadi

panutan dalam religiusitas, pendidikan di PTAIN dipandang telah melenceng

8

dari misi pendiriannya. Munculnya buku yang berjudul Ada Permutadan di

IAIN yang ditulis oleh Hartono Jaiz dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar

Jakarta pada tahun 2005, sempat menggegerkan PTAIN di Indonesia,

utamanya di Jakarta dan Yogyakarta. Karena berdasarkan pemaparan buku

tersebut bahwa IAIN dan kawan-kawannya, yang dulu menjadi tumpuan

harapan bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan dakwah dan sekaligus

menjadi ting-tangnya segala permasalahan keagamaan di Indonesia, telah

berubah arah, yaitu dari dakwah keislaman kepada pemurtadan.

Demikian menurut mereka, karena PTAIN di Indonesia, tidak lagi

menjadikan kampus sebagai sarana untuk mendidik akhlak dan perilaku yang

baik, tetapi hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengasah otak belaka.

Sebagai akibatnya, masalah-masalah keagamaan hanya dijadikan sebagai

wacana yang selalu didiskusikan dan dibicarakan, tetapi tidak diamalkan

dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih dari itu, banyak di antara

mahasiswa dan lulusan PTAIN tidak mau shalat dan enggan menjalankan

syariat Islam. Di samping itu, pemikiran Islam liberal yang belakangan ini

sedang naik daun itu, dijadikan sebagai “trend pemikiran” utama di kampus-

kampus itu, sehingga banyak kalangan menilai bahwa PTAIN telah kehilangan

“sifat dasar”nya dan berubah menjadi agen barat untuk “membaratkan”

pemikiran para lulusannya. Karena itu pula, banyak pengamat menilai bahwa

PTAIN di Indonesia telah kehilangan watak kulturalnya, yang di samping

memperhatikan aspek-aspek kognitif-intelektual, juga memperhatikan aspek-

aspek afektif, psikomotorik, dan spiritual (Miftahul Huda, 2006.

http://drhmiftahulhudamag.blogspot.com/2009).

9

Persoalan pembinaan karakter mahasiswa PTAIN yang belum tersedia

sarana ma’had (asrama) yang mampu menampung seluruh mahasiswa.

Pengawasan terhadap kehidupan dan aktivitas mahasiswa di luar kampus,

bukanlah persoalan yang mudah. Oleh karena itu, faktor individu mahasiswa

dengan segala heterogenitasnya sangat dominan.

Dalam konteks STAIN Salatiga, dapat diidentifikasi paling tidak

terdapat empat faktor yang mempengaruhi pembinaan karakter dan perilaku

mahasiswa. Pertama, mahasiswa STAIN mempunyai latar belakang keluarga

yang heterogen dari sisi keberagamaan, bukan hanya dari kalangan santri.

Kedua, dalam usia mahasiswa, secara umum karakter/kepribadian seorang

anak telah terbentuk oleh lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat di

mana merka dibesarkan. Ketiga, mahasiswa STAIN Salatiga memiliki latar

belakang pendidikan yang heterogen, tidak hanya berasal dari

madrasah/lembaga pendidikan keagamaan. Keempat, dalam sitem pendidikan

tinggi secara umum, dan STAIN Salatiga pada khususnya interaksi mahasiswa

dengan dosen (sampai saat ini) sangat terbatas pada situasi perkuliahan dan

pembimbimg akademik. Sangat sedikit forum dan media yang

menyambungkan dosen dengan mahasiswa di luar perkuliahan, khususnya

yang berkaitan dengan pembinaan kepribadian mahasiswa.

Meski demikian hal di atas tentu tidak boleh menjadi alasan bagi

lembaga untuk lepas tangan dari tanggung jawab pembinaan karakter

mahasiswa. Karena kenyataannya walaupun mahasiswa dianggap telah

dewasa, namun hakekatnya masih memerlukan pendampingan dan pembinaan

untuk menemukan jatidiri dan menempa kepribadian sehingga memiliki

10

karakter yang unggul, tangguh, dan religius. Pembinaan religius ini penting

agar mahasiswa memiliki self control, ketika mereka jauh dari keluarga, serta

bebas dari pengawasan kampus di luar jam kuliah. Hasil Penelitian Nur Afida,

2009 (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/, diakses tanggal 16 April 2012),

menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas

dengan self regulation mahasiswa.

Berdasarkan latar belakang di atas, diperlukan adanya pembinaan

karakter mahasiswa, khususnya yang tinggal di tempat kos, dengan

melibatkan dosen, pemilik kos, serta ketua RT dalam suatu bentuk kolaborasi

yang efektif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian

ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gambaran proses pembentukan karakter mahasiswa STAIN

Salatiga selama ini?

2. Masalah-masalah apakah yang dirasakan oleh mahasiswa, orang tua,

pemilik kos, dan masyarakat sekitar, serta para dosen dalam kaitannya

dengan pembinaan karakter mahasiswa?

3. Bagaimanakah desain model pembinaan kareakter mahasiswa melalui

kolaborasi antara dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT?

4. Bagaimana dampak penerapan model pembinaan karakter mahasiswa

melalui kolaborasi tersebut?

11

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi persoalan pembinaan karakter mahasiswa STAIN

Salatiga, baik yang dipersepsikan oleh para mahasiswa sendiri, orang tua

mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT serta masyarakat di tempat kos

mahasiswa, dan para dosen pembimbing.

2. Merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa

STAIN Salatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan

ketua RT tempat kos mahasiswa.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

Secara teoritik, temuan penelitian ini akan memberikan sumbangan

pemahaman tentang problematika pembinaan karakter mahasiswa, sebagai

bagian dari konsep pendidikan di kampus yang selama ini belum banyak

tergarap.

Dari segi praksis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan

oleh pihak-pihak sebagai berikut:

1. STAIN Salatiga khususnya, dan perguruan tinggi Islam pada umumnya

dapat memanfaatkan model yang dihasilkan untuk mengantarkan

mahasiswa memiliki karakter yang unggul, tidak saja melalui proses

pembelajaran di kampus, namun juga kolaborasi dengan berbagai pihak.

12

2. Orang tua mahasiswa dapat melihat potret kehidupan putra-putrinya di

luar perkuliahan, sehingga dapat memberikan bekal pembinaan dalam

rangka membentuk karakter yang baik dan Islami.

3. Para pemilik tempat kos, pemuka agama/masyarakat di daerah tempat

tinggal mahasiswa, dapat menjalin hubungan timbal balik dengan pihak

kampus, sehingga dapat bersama-sama memfasilitasi tumbuh kembang

mahasiswa guna menemukan jatidiri yang berkarakter mulia.

E. Model Hipotetik

Berdasarkan kajian teori pembinaan karakter mahasiswa dan

pengamatan di lapangan, diajukan hipotesis berupa “Model Pembinaan

Karakter Mahasiswa melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik Kos,

dan Ketua RT tempat Kos Mahasiswa” sebagaimana divisualisasikan pada

gambar sebagai berikut.

13

14

PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MEHASISWA

FGD Peneliti Bersama Dosen

FGD Bersama Mahasiswa

FGD Bersama Pemilik Kos/RT

PERUMUSAN MODEL

RENCANA PEMBINAANTujuan

Materi

Metode

Alat

evaluasi

IMPLEMENTASIImplementasi Oleh

Dosen Pembimbing

Implementasi Oleh Pemilik Kos

Implementasi Oleh Pemuka Agama (Pengurus Masjid/ Mushola)

Implementasi Oleh Ketua RT

EVALUASIEvaluasi

Penyelenggaraan

Evaluasi Pencapaian Tujuan Pembinaan

EVALUASI DAN PERBAIKAN MODEL

PEMBAKUAN DAN IMPLEMENTASI MODEL PEMBINAAN KARAKTER

MAHASISWA

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Model Kolaboratif

1. Model

Shertzer & Stone (1982:62) mengemukakan bahwa “model refers

to the representation from which a final product is abstracted of its

inherent worth” . Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir

yang diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi

sifatnya. Mills et al (1989:4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk

representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang

atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang

terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya

merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep.

Visualisasi atau konstruksi itu dirumuskan melalui upaya mental berupa

cara berpikir (ways of thinking) tertentu untuk melakukan konkretisasi

atau fenomena abstrak. Selanjutnya Shertzer & Stone (1982:62)

menjelaskan komponen-komponen yang terkandung dalam sebuah model,

yaitu: historical context, rational, and/or basic assumtion, advantages and

disadvantages outcomes and/or implication. Sedangkan Corey (1977:10)

menggunakan komponen-komponen: introduction, key concept, the

therapeutic, process, aplication: therapeuthic, techniques and pocedures.

Sementara Kartadinata (2008) mengemukakan bahwa: “model

merupakan perangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi

secara empirik yang diorganisasikan ke dalam sebuah struktur (kerja)

untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku atau arah

tindakan”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model adalah suatu

rencana atau pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk,

merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu.

Dalam konteks pembelajaran, Chauhan (Rochyadi, E. 2010:44)

mengemukakan bahwa “model of teaching can be defined as an

15

intructional design with describes the process of specifying and producing

environment situsional with cause the student to interact in such away that

spesific change occurs in the behavior”. Sejalan dengan pernyataan

tersebut Reigluth (1983) mengemukakan bahwa “intructional model is

merely a set of strategi components, it is complate method with all of it

parts (elementary components) describes in details”. Model pembelajaran

merupakan suatu kumpulan tentang komponen-komponen strategi, hal itu

merupakan suatu metode yang lengkap yang menguraikan semua bagian-

bagiannya (komponen-komponen dasar) secara rinci.

Joice & Weil (1980:1) mengemukakan bahwa “a model of teaching

is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (long-term

course of studies) to design instructional materials and to guide

instructional in the class room and other settings” selanjutnya Joice &

Weil (1980:191-194) mengemukakan enam komponen yang terkandung

dalam model pembelajaran: 1) orientasi; orientasi model mencakup tujuan,

asumsi teoretik, prinsip dan konsep umum, yang terkandung dalam model;

2) pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian

kegiatan yang konkret di kelas; 3) sistem sosial yang dikembangkan;

gambaran peran dan hubungan guru-siswa dan norma apa yang mengikat

mereka di kelas; 4) prinsip-prinsip mereaksi ; bagaimana guru menghargai

dan merespon siswa; 5) sistem penunjang yang diharapkan; gambaran

tentang pemanfaatan fasilitas pendukung yang mendorong siswa mudah

belajar; dan 6) dampak instruksional dan penyerta; dampak yang

ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan pendapat para ahli pendidikan tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual

yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu

Berdasarkan komponen-komponen model yang dikemukakan di

atas, maka komponen-komponen model pengembangan karakter

mahasiswa meliputi: (1) rasional, (2) visi dan misi; (3) tujuan; (4) asumsi

16

dasar dan prinsip kerja; (5) pendukung sistem; (6) teknik dan prosedur

yang meliputi pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam

serangkaian kegiatan secara.

2. Kolaboratif

Kolaborasi berasal dari bahasa Inggris ‘collaborate’ yang artinya

bekerjasama. Bekerjasama pada umumnya diperlukan dalam sebuah tim

dan merupakan cara yang digunakan para profesional untuk mencapai

tujuan bersama, sebagaimana diungkap oleh Frans & Bursuck (1994:76)

yang mengatakan bahwa “collaboration is a style professional chose to

use in order to accomplish a goal they share”. Kolaborasi merupakan

proses interprofesional untuk mengkomunikasikan dan pengambilan

keputusan dari beberapa pengetahuan dan ketrampilan yang terpisah-pisah

menjadi lebih sinergi (National Health and Medical Reseach Council,

2010 : 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa kolaborasi tidak sekedar bekerja

yang positif yang melibatkan beberapa profesional, melainkan sebuah cara

kerja untuk mengorganisir, melaksanakan jaringan kerjasama dalam

kelompok secara efektif dan komprehensif dengan melibatkan sumber

daya yang tersedia. Johnson & Johnson (1987) menyatakan bahwa

kerjasama (cooperating, collaborate, joining together) adalah

keikutsertaan individu-individu dalam suatu kegiatan yang membentuk

suatu hubungan interpersonal antar anggota dalam sebuah tim. Individu

yang terlibat dalam kolaborasi mempunyai arah dan tujuan yang tidak

berbeda, karenanya tim harus melakukan perencanaan bersama dan

17

melaksanakannya secara bersama pula, sebagaimana diungkap oleh Idol &

Baran (dalam Schmidt 1999) bahwa : “ in collaboration, planning and

implementing are joint effort”. Keberhasilan sebuah tim memerlukan

partisipasi dan keterlibatan secara aktif dari anggota tim.

Cook & Frend (dalam Frans & Bursuck 1996) mengemukakan

beberapa karakteristik dalam sebuah kolaborasi yaitu : a. adanya

kesetaraan hubungan; b. tujuan bersama; c. tanggung jawab terhadap

hasil; d. mampu menjadi sumber; e. kepercayaan, kerjasama antara antara

kolaboraator didasarkan pda sikap saling percaya; f. kepentingan subjek

menjadi tujuan utama.

Berdasar berbagai pengertian diatas, model kolaboratif dapat

diartikan sebagai pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk,

merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu melalui kerjasama antara

beberepa unsur yang terlibat dalaam merancang model. Pihak-pihak yang

dilibatkan dalam merancang model adalah orang yang mengetahui tentang

substansi masalah yang sedang dikaji. Kolaborasi bisa melibatkan

masyarakat, pakar dalam bidang keahlian tertentu, mahasiswa serta pihak

lain yang dianggap bisa berkontribusi dalam pengembangan model

B. Urgensi Pendidikan Karakter

Sebagian besar pakar pendidikan menyepakati bahwa aktivitas

pendidikan semestinya dapat mengembangkan peserta didik dalam tiga ranah

utama yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, atau pengetahuan, sikap, dan

keterampilan. Artinya, setelah menyelesaikan suatu program pendidikan

tertentu semestinya peserta didik menjadi sosok yang berpengetahuan luas,

18

berakhlak terpuji, dan keterampilan tertentu/profesional di bidangnya. Dalam

proses pedidikan, ketiga ranah tersebut semestinya mendapatkan perhatian

yang seimbang sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Namun, jika kita mengamati fenomena yang tampak di masyarakat, agaknya

aktivitas pendidikan nasional kita cenderung kurang serius dalam menggarap

ranah afektif, padahal ranah ini merupakan hal yang sangat penting dalam

pembentukan karakter bangsa.

Sehubungan dengan kurangnya perhatian pendidikan nasional

terhadap ranah afektif tersebut, rasanya ada benarnya jika Anwar (2008)

menyatakan bahwa dunia pendidikan kita, sering tercoreng oleh perilaku

peserta didiknya. Media cetak atau elektronik sudah biasa memberitakan

peristiwa negatif yang dilakukan para siswa seperti tindakan amoral, seks

bebas, masalah pornografi, tawuran, merokok, atau penyalahgunaan narkotika.

Menurutnya, kasus-kasus seperti itu merupakan bentuk kegagalan sistem

pendidikan di negeri ini, sebab lebih dari 90 persen konten pendidikan di

Indonesia mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sedangkan

aspek moralitas atau akhlak hanya mendapatkan porsi sekitar 10 persen.

Lebih lanjut Anwar menyatakan bahwa ketimpangan semacam inilah

yang menyebabkan lulusan pendidikan kita tidak memiliki hati nurani saat

ketika telah terjun di masyarakat. Beliau memberikan contoh, betapa banyak

perguruan tinggi yang meluluskan sarjana ekonomi dan sarjana hukum, namun

korupsi masih merajalela dan penegakan hukum di Indonesia masih carut

marut dan jauh dari harapan masyarakat. Kondisi yang sangat memprihatinkan

ini akibat sistem pendidikan yang kurang memperhatikan masalah moralitas.

19

Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut, beliau

mengharapkan agar pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah

(PP) sebagai jabaran dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). PP ini akan

menjadi payung hukum pelaksanaan sistem pendidikan yang mengedepankan

nilai, akhlak, dan moral. Dengan PP itu, UU Sisdiknas mempunyai kekuatan

untuk diimplementasikan, sehingga pendidikan tidak hanya memperhatikan

aspek fisik dan kognitif saja. Akan tetapiyang lebih penting, dapat

mengantarkan peserta didik dapat menjadi orang yang bertakwa dan berakhlak

mulia. Dengan ketakwaan dan akhlak yang baik, pengembangan iptek

otomatis akan lebih baik. Membangun karakter bangsa jauh lebih penting

daripada mengejar kemajuan iptek. Oleh karena, pendidikan pada hakikatnya

bukan sekedar transformasi keilmuan, tetapi lebih luas lagi yaitu menanamkan

nilai-nilai moral atau akhlak mulia.

Implementasi UU Sisdiknas yang lebih berorientasi pada

pengembangan iptek (aspek kognitif dan psikomotor) itu, sebenarnya juga

belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tercermin antara

lain dari pernyataan Suyanto (2006), bahwa lulusan pendidikan kita tidak

memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan

kreatif. Akhirnya, mereka yang mengenyam pendidikan malah menjadi

"pengangguran terselubung". Setiap tahunnya, pendidikan nasional telah

memproduksi pengangguran terselubung, yang umumnya mereka adalah

lulusan-lulusan pendidikan akademik.

20

Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang ini sangat

urgen untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui

atau tidak, saat ini sedang terjadi krisis atau berbagai penyimpangan yang

nyata dan sangat mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan

generasi penerus bangsa: anak-anak/peserta didik. Krisis itu, menurut Sugiri

Syarif sebagaimana dikutip Zubaedi (2011:1-2) antara lain berupa

meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak

dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, kebiasaan menyontek,

penyalahgunaan obat-obatan (narkoba), pornografi dan pornoaksi,

pemerkosaan, serta aborsi. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak

dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena perilaku

menyimpang ini telah menjurus tindakan kriminal.

Kenakalan remaja semacam itu, pada dasarnya secara langsung atau

tidak langsung juga disebabkan oleh “kenakalan orangtua”, yaitu perilaku para

orangtua yang tidak bisa dijadikan teladan: senang dengan konflik dan tindak

kekerasan, perselingkuhan, dan ketidakjujuran yang ditandai semakin

maraknya korupsi yang dilakukan pejabat publik baik di pusat maupun di

daerah. Terkait hal itu, Zuhdi (2009:39-40) mengemukakan bahwa telah

terjadi krisis moral di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, yaitu krisis

kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis

kedisiplinan, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan.

Agaknya tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa

kondisi masyarakat dan bangsa yang mengalami berbagai krisis tersebut

diduga bersumber dari apa yang dihasilkan dunia pendidikan. Menurut

21

Hidayatullah (2010:15), demoralisasi tersebut terjadi karena dua hal, yakni (1)

sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi

masih lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi

pendidikan lebih cenderung menekankan aspek kognitif/akademik, seperti

Ujian Nasional (UN), dan (2) kondisi lingkungan yang kurang mendukung

pembangunan karakter yang baik. Senada Hidayatullah, Zubaedi (2011:3)

mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi

salah satu penyebab terjadinya krisis moral adalah karena pendidikan di

Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif

semata, sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur utama

pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung

diabaikan.

Hal yang sama juga terjadi dalam pendidikan agama dimana materi

yang diajarkan oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar

akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif),

sedangkan pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) belum

diperhatikan dan diikhtiari secara serius. Dengan kata lain, praktik pendidikan

yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh

ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang

nyata-nyata justru bertolak belakang dengan apa yang diterima dalam

pembelajaran di sekolah.

Oleh karena itu, kini sudah saatnya para pengambil kebijakan, para

pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa

ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi yang berupa angka-angka.

22

Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan

pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan membentuk

karakter unggul.

Mengapa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak bagi

bangsa Indonesia? Ya, karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-

kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun karakter bangsa yang

unggul, meskipun harus diakui masih cukup banyak juga warga bangsa kita

yang memiliki kebiasaan positif atau karakter yang baik. Sugiarto (2009: 11-

13) mengemukakan sejumlah kebiasaan kecil yang dapat menghancurkan

bangsa sebagai berikut.

Pertama, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan diri sendiri,

meliputi: meremehkan waktu, bangun kesiangan, terlambat masuk kantor,

tidak disiplin, suka menunda, melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan

meminta, menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri sendiri,

terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan orang lain, tidak sarapan, tidak

terbiasa antri, banyak tidur, banyak nonton TV, dan terlena dengan

kenyamanan/takut berubah.

Kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan lingkungan,

meliputi: merokok di sembarang tempat, membuang sampah di sembarang

tempat, corat-coret/vandalism, kendaraan mengotori udara, jalan bertabur

iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa mengindahkan aturan pakai,

abai dengan pohon, dan menganggap daur ulang.

Ketiga, kebiasaan-kebiasaan yang merugikan ekonomi, melipiti:

konsumtif, pamer, silau dengan kepemilikan orang lain, boros listrik,

23

kecanduan game, tidak menyusun rencana-rencana kehidupan, tidak biasa

berpikir kreatif, dan mengabaikan peluang.

Keempat, kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial, meliputi: tak mau

membaca, tak mau mendengar pendapat orang lain, nepotisme, suap-menyuap,

politik balik modal, canggung dengan perbedaan, beragama secara sempit,

lupa sejarah, unjukrasa pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar dari

pengalaman, birokratif, provokatif dan mudah terprovokasi, tidak berani

berkata “tidak”, dan berambisi menguasai.

Mengingat pentingnya karakter dalam membangun sumber daya

manusia yang kuat, maka menurut Hidayatullah (2010:23) diperlukan

pendidikan karakter yang dilakukan dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa

pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus menyertai semua aspek

kehidupan termasuk di lembaga pendidikan. Sebaiknya pembentukan atau

pendidikan karakter diintegrasikan ke semua aspek kehidupan sekolah.

Lembag pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang

strategis untuk membentuk karakter siswa. Hal ini dimaksudkan agar peserta

didik dalam segala ucapan, sikap, dan perilakunya mencerminkan karakter

yang baik dan kuat. Dengan pendidikan karakter yang efektif, diharapkan

sekolah dapat menghasilkan lulusan orang ”pandai” dan ”baik” dalam arti

luas. Jangan sampai lembaga pendidikan menghasilkan orang “pandai” tetapi

“tidak baik”. Orang yang pandai tetapi tidak baik jauh lebih “berbahaya”

karena dengan kepandaiannya itu ia dapat menjadikan sesuatu yang

menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Masih lebih baik lembaga

24

pendidikan menghasilkan orang yang kurang pandai tetapi baik, karena paling

tidak masih tetap memberikan suasana kondusif bagi kehidupan.

C. Hakikat Pendidikan Karakter

Secara singkat, pendidikan diartikan sebagai suatu proses untuk

memanusiakan manusia. Artinya, seorang bayi yang lahir tidak dengan

sendidrinya akan menjadi manusia (yang berbudaya). Untuk menjadikan

manusia yang berbudaya haruslah melalui pengembangan dan pembinaan

jasmani dan ruhani melalui aktivitas pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan

merupakan proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan

masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan

bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi

yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai.

Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar

kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga

hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan,

ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian

unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas

pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang

tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan

praktis, dan kompetensi kinestetis. Mengacu pada unsur dasar dan komponen

pokok pendidikan, secara singkat-padat, (Muhadjir,1993) menyatakan bahwa

pendidikan adalah upaya terprogram dari pendidik-mempribadi untuk

25

membantu peserta didik agar berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik

dengan cara yang normatif juga baik.

Adapun pengertian karakter menurut Zubaedi (2011: 10) mengacu pada

serangkaian perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter meliputi sikap

seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual

seperti berpikir kritis, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab,

mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, dan

sebagainya. Pengertian karakter Pusat Bahasa Depdiknas mengartikan

karakter sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,

personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Dengan demikian, berkarakter

berarti berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.

Menurut Musfiroh (2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap

(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan

(skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau

menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan

dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur,

kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.

Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut

dengan berkarakter mulia.

Selanjutnya, dengan uraian yang cukup mendalam, Adhim (2012)

menegaskan bahwa karakter identik dengan akhlak sebagaimana dijelaskan

oleh para ilmuwan muslim, misalnya Imam Al-Ghazali, dan Imam Qurthubi,

dan Az-Zarnuji, sebagai berikut.

26

Jika karakter berbeda dengan perilaku, berbeda pula dengan kebiasaan

dan bahkan tatakrama dan bahkan temperamen, lalu apa yang dapat dilakukan

untuk membangun karakter anak-anak kita? Langkah apa yang dapat ditempuh

untuk melakukan pendidikan karakter jika pembiasaan (habituation/habit

forming) tidak mempengaruhi karakter anak-anak kita, di rumah maupun di

sekolah?

Karakter berbeda dengan kebiasaan. Karakter itu serangkain kualitas

pribadi yang membedakannya dengan orang lain. Karakter menuntut adanya

pengahayatan nilai, proses mengidentifikasikan driri dengan nilai-nilai yang

diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian dengan nilai yang

diyakini sehingga pada akhirnya terjadi karakterisasi diri. Artinya, karakter

merupakan proses yang berkelanjutan. Karakter memang cenderung menetap

dan sulit diubah, namun bukan berarti sekali terbentuk tidak mungkin berubah.

Dari karakter itulah –baik atau buruk– melahirkan berbagai perilaku. Akan

tetapi perilaku itu sendiri tidak dapat serta merta dikatakan sebagai karakter.

Perilaku yang berulang setiap hari dapat membentuk kebiasaan,

meskipun sebagian hanya menjadi perilaku berulang (repeted behavior), yakni

manakala perulangan perilaku tersebut terjadi hanya karena takut terhadap

ancaman. Tidak muncul perilaku tersebut jika ancamannya hilang. Hal ini

perlu diperhatikan agar kita tidak cepat merasa puas ketika melihat perilaku

anak-anak kita. Jangan sampai kita mengira anak-anak telah memiliki

kebiasaan yang baik, padahal hanya perilaku berulang semata. Dalam hal ini

ada pelajaran yang sangat berharga yang perlu dicamkan oleh para pendidik,

bahwa karakter itu tidak terlepas dari keyakinan dan penghayatan seseorang

27

terhadap nilai-nilai yang dipeganginya. Adapun perilaku itu cerminannya,

tetapi perilaku sendiri bukan gambaran yang dapat memastikan karakter

seseorang, kecuali jika ada serangkaian perilaku lain yang searah. Singkatnya

begini, orang baik akan mudah tersenyum, tetapi murah senyum belum tentu

orang baik. Bukankah para penipu berhasil mengelabuhi orang lain justru

karena senyumnya yang memukau? Bukan karena raut muka yang

menakutkan.

Satu pilar yang sangat penting dalam pendidikan karakter adalah

adanya sosok panutan (role model). Lantas sosok siapa yang pantas dan tepat

untuk dicontoh? Apakah kita akan menjadikan Lawrence Kohlberg sebagai

sosok panutan? Padahal tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Pendidikan

Karakter ini justru matinya dengan cara mengenaskan. Dia mati bunuh diri

dengan cara menenggelamkan diri karena krisis karakter. Ini mirip dengan

kematian Sigmund Freud. Meskipun bukan bunuh diri, tetapi tokoh yang

dikenal dengan Bapak Kesehatan Mental ini mati dengan cara eutanasia

(suntik mati) atas permintaan sendiri akibat depresi yang ia alami.

Istilah yang dekat dengan karakter adalah akhlaq, bentuk jamak dari

khuluq. Khuluq adalah bentuk, sifat, dan nilai-nilai yang berada pada wilayah

batin. Ini menarik untuk dicermati, sebab ketika kita memaksudkannya

sebagai sifat lahiriyah, ia adalah khalq. Oleh karena itu, khuluq –terpuji atau

tercela –akan tercermin dalam khalq yang berupa sifat-sifat lahiriyah. Ini

berarti bahwa yang harus diperhatikan bukan hanya perilaku yang tampak,

tetapi apa-apa yang darinya tercermin dalam bentuk perilaku.

28

Tentang kaitan antara akhlaq dan perilaku, Imam Al-Ghazali menulis

dalam Ihya’ Ulumuddin, “Akhlaq merupakan ungkapan keadaan yang melekat

pada jiwa dan darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu

berpikir panjang dan banyak pertimbangan.” Agar tidak salah arah, marilah

kita tengok pendapat Imam Qurthubi, akhalq adalah adab atau tatakrama yang

dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tatakrama itu seakan

menjadi bagian dari penciptaan dirinya. Dalam peristilahan sekarang, adab

meliputi manner and etiquettes (tatakrama dan etiket). Ia bukan sekedar

serangkaian perilaku, melainkan di dalamnya juga terkandung sikap. Ini

berarti proses pembentuka adab (ta’dib) memerlukan beberapa unsur, yakni

menumbuhkan sikap yang baik, melakukan serangkaian pembiasaan yang

terkait, menanamkan kebiasaan bukan hanya bersifat fisik dan mekanik,

menumbuhkan motivasi serta menunjukkan keutamaan dari adab tersebut.

Merujuk pada pendapat Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji, Adhim

(2012) menyatakan bahwa adab merupakan pilar utama menuntut ilmu. Agar

seseorang dapat menuntut ilmu dengan baik, hal pertama yang harus dimiliki

oleh murid sekaligus ditumbuhkan oleh guru adalah adab. Proses

pembentukan adab merupakan tahap yang sangat penting untuk menyiapkan

murid dalam menuntut ilmu sekaligus menumbuhkembangkan akhlaq mulia

dalam diri mereka. Adab merupakan pilarnya akhlaq dan keyakinan pada

agama Islam merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu bersifat

afektif, bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh, maka pemahaman secara

kognitif akan menguatkannya. Sebaliknya, tanpa menyadari dan meyakini,

29

pemahaman yang mendalam pun tidak mempengaruhi sikap, apalagi sampai

ke perilaku.

Tegasnya, penanaman keimanan yang kuat harus didahulukan,

selanjutnya baru pemahaman keilmuan, dan insya Allah, hanya dengan cara

seperti ini peserta didik akan mengamalkan ilmunya. Jadi, urutannya: IMAN,

ILMU, dan AMAL. Inilah urutan proses pendidikan yang sesuai dengan

konsep dari Allah Yang Maha Mendidik (Rabb) sebagaimana tertuang dalam

Al-Quran Surah Luqman:13-19. Konsep ini pula yang diterapkan oleh

Pendidik Sejati: Rasulullah saw. dalam mendidik para sahabatnya, dimana

beliau menanamkan ajaran keimanan/aqidah/tauhid dalam waktu yang cukup

lama. Konsep pendidikan dari Allah yang diterapkan oleh Rasulullah inilah

yang terbukti menghasilkan pribadi-pribadi mulia, sosok-sosok agung, para

sahabat yang biografinya tercatat dalam sejarah kemanusiaan dengan tinta

emas yang dapat diteladani sampai akhir masa.

Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan proses pendidikan yang

terjadi sekarang. Begitu masuk sekolah anak-anak langsung belajar. Kurang

ada proses yang diikhtiarkah secara serius membentuk adab pada diri mereka

sehingga kurang ada kesiapan belajar belajar, pun kurang ada bekal awal

untuk membentuk karakter (akhlaq) dalam diri mereka. Begitu masuk sekolah,

serta-merta mereka harus belajar untuk tujuann akademik sebelum sikap dan

motivasi belajar mereka dibangun. Begitu anak-anak yang ceria itu masuk

ruang sekolah, mendadak keceriaan mereka memudar karena segera

memabayang dalam benak mereka ”hantu-hantu angka”: ”hantu matematika”,

30

”hantu english”, ”hantu ranking”, ”hantu tidak lulus UN”, ”hantu NEM”, dan

sebagainya.

Padahal sekolah seharusnya menyiapkan mereka terlebih dulu untuk

memiliki sikap dan motivasi belajar yang baik. Ada proses perubahan yang

terancang, dari segi mental mereka mempunyai motivasi akademik yang baik,

sedangkan dari aspek tatakrama dan etiket mereka memilki kesiapan belajar.

Mari kita renungkan secara mendalam, Rasulullah saw. diutus untukn

menyempurnakan akhlaq. Namun, apakah yang Beliau lakukan di masa awal

risalahn dakwahnya? Bukan akhlaq yang lebih dulu dibangun, tapi aqidah.

AQIDAH dulu, baru AKHLAQ! Jika aqidah/tauhidnya benar dan kuat, insya

Allah akhlaq/karakter peserta didik juga akan mulia dan kokoh.

Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan

pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk

pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan

warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga

masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau

bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak

dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat

pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan

nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari agama dan

budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi

muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang

bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari

31

agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat

memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar

tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut

adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung

jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya

diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan;

baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain

mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa

hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan,

ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.

Dalam bahasa Muhadjir (1993) karakter dasar manusia ini dinyatakan

sebagai nilai-nilai insani yang sesungguhnya itu juga nilai-nilai yang

bersumber dari Ilahi yang bersifat universal, misalnya ketaqwaan, kejujuran,

kasih sayang, kedisiplinan, tolong menolong, keadilan, kesantunan, kesabaran,

tanggung jawab, saling paercaya, ksetiaan, dan sebagainya. Di antara fungsi

utama pendidikan adalah untuk melestarikan nilai-nilai Ilahi/insani tersebut.

Oleh karena masyarakat manusia dapat berlangsung terus (lestari) jika jika ada

kemauan untuk menaati atau mengamalkan nilai-nilai Ilahi/insani tersebut.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan

karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara

sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku

manusia yang berhubungan dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia,

lingkungan, dan kebangsaan yang mewujud dalam pikiran, sikap, perasaan,

32

perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata

krama, budaya, dan adat istiadat.

Khusus untuk peserta didik yang beragama Islam, penguatan

(intensifikasi) pendidikan keimanan/aqidah/tauhid pada pendidikan tingkat

dasar dan menengah merupakan tindakan yang harus segera dilakukan.

Mengingat, keimanan/aqidah/tauhid yang benar dan kuat merupakan fondasi

yang sangat kokoh untuk menopang berkembangnya nilai-nilai

karakter/akhlaq terpuji dalam diri peserta didik. Oleh karena mengembangkan

nilai-nilai karakter/akhlaq terpuji tanpa didasari fondasi yang kokoh, ibarat

mendirikan gedung tanpa fondasi, tentu kondisinya sangat rapuh,

mengkwatirkan, dan membahayakan karena sedikit ada goncangan akan

segera roboh.

D. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Hasan (2010) mengatakan bahwa pendidkan karakter setidaknya

mempunyai lima tujuan, yaitu (1) mengembangkan potensi

kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang

memiliki nilai-nilai karakter bangsa, (2) mengembangkan kebiasaan dan

perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan

tradisi budaya bangsa yang religius, (3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan

tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, (4)

mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri,

kreatif, dan berwawasan kebangsaan, dan (5) mengembangkan lingkungan

kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh

33

kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi serta

penuh kekuatan.

Adapun menurut Zubaedi (2010), mempunyai tiga fungsi utama,

yaitu (1) fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, (2) fungsi perbaikan

dan penguatan, dan (3) fungsi penyaring. Pertama, fungsi pembentukan dan

pengembangan potensi. Pendidikan karakter berfungsi untuk membentuk dan

mengembangkan potensi peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan

berperilaku baik sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, kesatuan

dan kebersamaan, mesyuwarah, dan solidaritas sosial sebagaimana terkandung

dalam falsafah hidup Pancasila.

Sejujurnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan pada

zaman Orde Baru yang tertuang dalam Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (P4) jika diamalkan secara sungguh-sungguh –yang

dalam zaman Orde Baru –disebut ”secara murni dan konsekuen”, tidak

sekedar sebagai slogan kampanye politik atau sekedar ”proyek” yang bertajuk

”Penataran P4”, sudah cukup memadai untuk membangun karakter bangsa.

Namun sayang, butir-butir nilai Pancasila yang telah dirumuskan secara baik

dan telah diterbitkan secara massal tersebut tidak dihayati apalagi diamalkan

oleh para pejabat publik waktu itu, sehingga sebagain besar rakyat juga ikut

meneladaninya: tidak mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan dengan sangat baik

tersebut, kini telah dimuseumkan, dilupakan, dan dicampakkan.

Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter

berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan,

masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab

34

dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju

bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Terkait dengan fungsi pendidikan

karakter dalam memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, atau sebaliknya:

peran keluarga sebagai pilar utama untuk kesuksesan pendidikan karakter,

Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang terjemahannya sebagai berikut.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yangtidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Q.S. At-Tahrim: 6).

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah,yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar" (Q.S. An-Nisa’: 9).

Keluarga merupakan tempat untuk mempersiapkan generasi muda yang

akan meneruskan perjuangan dari para pendahulunya. Oleh karena itu, para

orang tua harus menciptakan kondisi keluarga yang harmonis, keluarga yang

tenteram yang penuh dengan cinta dan kasih sayang sehingga kondusif untuk

mendidik anak-anak terutama dalam menanamkan akhlak mulia Jika keluarga

itu sangat kondusif, tentu saja akan menghasilkan generasi penerus yang

tangguh dan tanggap sehingga lebih siap menghadapi berbagai tantangan

kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya,

sebuah keluarga yang tidak kondusif untuk mendidik anak, bukan saja tidak

menghasilkan generasi penerus yang berkualitas, tetapi justru menghasilkan

generasi yang bermasalah yang menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan

masyarakatnya.

Di antara tugas keluarga terutama orang tua dalam pendidikan

karakter/akhlak adalah memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya

35

dalam berpegang teguh kepada akhlak mulia. Keteladanan merupakan faktor

terpenting untuk mencapai tujuan utama pendidikan yaitu tertanamnya akhlak

mulia pada anak-anaknya. Anak yang mendapatkan pendidikan agama dan

pendidikan karakter/akhlak yang baik serta keteladanan yang baik umumnya

akan baik pula karakter/akhlaknya. Namun sebaliknya kurangnya pendidikan

agama dan keteladanan dari orang tua akan berakibat pada buruknya

karakter/akhlak anak.

Ibarat angka, generasi yang bermasalah yang dihasilkan dari keluarga

yang tidak kondusif itu adalah angka minus. Agar menjadi angka plus, tentu

memerlukan perhatian dan perlakuan yang serius karena sebelum menjadi plus

harus melewati angka nol dulu. Pendek kata, perubahan dari generasi minus

menuju plus itu menyita perhatian dan waktu tersendiri yang semestinya

perhatian dan waktu itu sudah dapat dipergunakan untuk "menangkarkan

tunas-tunas muda yang berkualitas pada lahan yang lebih luas" sehinga "panen

raya" akan segera menjadi kenyataan.

Demikianlah gambaran betapa pentingnya menciptakan kondisi

keluarga yang harmonis, keluarga yang tenteram yang penuh dengan cinta dan

kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmah) sehingga kondusif untuk

mendidik anak-anak terutama dalam menanamkan karakter/akhlak mulia

kepada mereka, dimana karakter/akhlak mulia ini merupakan prasyarat yang

harus ada bagi tercapainya cita-cita: keluarga bahagia. Dampak positif dari

keluarga-keluarga bahagia itu, akan –secara karambol –berdampak luas bagi

terwujudnya ”lahan” dan lingkungan yang kondusif untuk menyemai benih-

benih karakter mulia. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa: jika banyak

36

keluarga yang baik, keadaan dusun akan baik, desa akan baik, selanjutnya:

kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara akan baik.

Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah

budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Termasuk di

dalamnya adalah menyaring atau menyeleksi berbagai informasi yang semakin

”membanjir” dari media cetak, elektronik, dan online seiring dengan pesatnya

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini. Fungsi ini

sejalan dengan salah satu fungsi pendidikan sebagaimana yang dinyatakan

Muhadjir (1993), yaitu untuk menumbuhkan kreativitas peserta didik. Di era

teknologi informasi yang canggih dewasa ini, informasi yang diterima

manusia sangat beragam, ada yang bermanfaat dan ada pula sampah informasi

yang beracun. Keragaman informasi menantang manusia untuk memilah,

memilih atau menyaring validitas (kebenaran) isinya, terpercaya salurannya,

dan sebagainya. Dalam menyaring informasi tersebut dibutuhkan kemampuan

kreatif untuk menggeneralisasikan, mengabstrakkan, menemukan hubungan

unuiknya untuk akhirnya menampilkan pendapat, sikap, dan wawasan yang

tepat, sehingga kita tidak hanyut bahkan tenggelam dalam sampah informasi.

Selain tiga fungsi yang telah dipaparkan di atas, pendidikan karater

juga berfungsi untuk menghancurkan penyakit mental block. Prihadi (2009)

menyatakan bahwa penyakit mental block adalah cara berpikir dan perasaan

yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya hanya membuat kita

terhambat untuk melangkah menuju kesuksesan. Di samping memiliki

37

penyakit fisik, manusia juga memilki penyakit mental (mental block), yang

sangat berbahaya untuk seseorang atau kelompok yang ingin sukses.

Penyakit mental ini dapat dideteksi dengan memperhatikan gejala-

gejala awal yang biasanya dialami si penderita seperti suka mengeluh, konflik

batin, tidak ada perubahan kehidupan, dan tidak mau mengambil resiko. Cara

mendeteksi penyakit mental block dapat dilakukan sendiri atau meminta

bantuan orang lain. Caranya dengan pasang target, perhatikan pola, tanya

oarang lain, dan tanya hati nurani. Beberapa penyebab penyakit mental block

adalah citra diri buruk, pengalaman buruk, lingkungan buruk, rujukan buruk,

dan pendidikan buruk. Adapun virus-viru penyebab penyakit ini adalah

banyak alasan, pembenaran, gengsi, malas, takut, menunggu, tidak percaya

diri, dan buruk sangka.

Orang yang terjangkit penyakit mental block perlu segera dilakukan

upaya pengobatan. Penyakit mental block dapat dicegah dengan optimisme,

selalu berpikir positif, antusias, dan terbuka, yang semuanya mencakup aspekn

pemikiran, perasaan, sikap, dan tindakan. Agar proses penyembuhan deangan

pengobatan menjadi lebih efektif, menurut Zubaedi (2011), maka diperlukan

pemahaman serta harus ada kemauan yang kuat, membangun diri,

menemukan, dan mengakui keadaan yang sebenarnya. Adapaun obat penawar

penyakit mental block adalah berani mengambil tanggung jawab, pembuktian

diri, memperjelas sasaran hidup, menaikkan level, dan sebagainya.

E. Nilai-niliai Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter mengemban misi untuk mengembangkan watak-

watak dasar yang seharusnya dimiliki oleh peserta didik. Pendidikan karakter

38

di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar, yaitu (1) cinta

kepada Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, disiplin, dan

mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, peduli, dan

kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7)

keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; serta (9) toleransi, cinta

damai, dan persatuan.

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia

diidentifikasi berasal dari empat sumber yaitu (1) agama, (2) Pancasila, (3)

budaya, dan (4) tujuan pendidikan nasional. Keempat sumber nilai tersebu

dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat

beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu

didasari pada ajaran agama. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari

nilai-nilai yang berasal dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan karakter

harus didasasi nilai-nilai agama.

Kedua, Pancasila. Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan

kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada

Pembukaan UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam pasal-pasal

dalam batang tubuh UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum,

ekonomi, sosial budaya, dan kemasyarakatan. Pendidikan karakter bangsa

bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik

yaitu warga negara yang memiliki kemampuan dan kemauan menerapkan

nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

39

Ketiga, budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia yang hidup

bermasyarakat senatiasab didasari nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat

tersebut. Nilai budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap

suatu dalam interaksi dan komunikasi antaranggota masyarakat tersebut.

Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat

mengharuskan budaya sumber nilai dalam pendidikan karakter bangsa.

Dalam konteks dakwah Islamiyah di Indonesia misalnya, kewajiban

berjilbab bagi wanita muslimah telah tegas termuat dalam Al-Quran, namun

belum banyak ditaati oleh sebagian muslimah Indonesia. Sosialisasi kewajiban

berjilbab tersebut terbukti sangat efektif dengan seni-budaya. Sejak Bimbo

menebarkan lagu ”Aisyah Adinda Kita” dan Emha Ainun Nadjib

mempublikasikan puisi ”Lautan Jilbab” maka kini dari hari ke hari kesadaran

wanita muslimah untuk berjilbab nampak semakin meningkat. Kini, jilbab

sudah terasa menjadi ”pakaian resmi” dalam berbagai pertemuan atau acara

yang diadakan oleh instansi resmi maupun warga masyarakat. Pendek kata,

kini jilbab telah membudaya. Memang, menurut Fillah (2007: 331), untuk

menjdi peradaban, setiap proyek pemikiran harus disupport oleh proyek

budaya.

Keempat, tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahu 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU

Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus

digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU

Sisdiknas menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

40

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan

untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).

Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan

pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk

warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah

swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang

berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan

paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya

dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa

semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara

Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas

pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan

model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan

tujuan utama tersebut.

Berdasarkan keempat sumber nilai di atas, dapat diidentifikasi

sejumlah nilai untuk pendidikan karakter sebagai berikut.

NO. NILAI DESKRIPSI

1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam

melaksanakan ajaran agama. Mewarnai

kehidupan sehari-harinya dengan nilai-nilai

agama. Senantiasa berbuat baik dimana pun dan

41

kapan pun karena merasa selalu diawasi oleh

Allah (ihsan).

2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya

menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu

dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan

pekerjaan.

3 Toleransi Sikap dan perilaku yang menghargai perbedaan

agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan

tindakan orang lain yang berbeda dengan

dirinya.

4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan

path pada berbagai ketentuan dan peraturan

yang baik.

5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-

sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan

belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas

dengan sebaik-baikya.

6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk

menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu

yang telah dimilikinya.

7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah

tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas dan problema

kehidupan.

8 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang

menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan

42

orang lain.

9 Rasa Ingin

Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk

mengetahui lebih mendalam dan meluas dari

sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.

10 Semangat

Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang

menempatkan kepentingan bangsa dan negara

di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11 Cinta Tanah

Air

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang

menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan

penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,

lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan

politik bangsa.

12 Menghargai

Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya

untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi

masyarakat dan mengakui serta menghormati

keberhasilan orang lain.

13 Bersahabat/

Komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang

berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan

orang lain.

14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang

menyebabkan orang lain merasa senang dan

aman atas kehadiran dirinya.

15 Gemar

Membaca

Kesediaan menyediakan waktu untuk membaca

berbagai bacaan yang memberikan kebajikan

bagi dirinya.

16 Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya

43

Lingkungan mencegah kerusakan pada lingkungan alam di

sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya

untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah

terjadi.

17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi

bantuan pada orang lain dan masyarakat yang

membutuhkan.

18 Tanggung

Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang

seharusnya dilakukan untuk diri sendiri,

masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan

budaya), negara dan Allah SWT.

Sekolah dan para guru dapat menambah atau mengurangi nilai-nilai

tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah dan

hakikat materi Standar Kompetensi/Kompetensi Dasar dan materi bahasan

suatu mata pelajaran. Rumusan nilai-nilai yang menjadi muatan pendidikan

karakter ini memiliki sejumlah persamaan dengan dengan rumusan karakter

dasar yang dikembangkan di negara lain, dan karakter dasar yang

dikembangkan oleh Ary Ginanjar Agustian melalui ESQ-nya. Perbandingan

nilai-nilai karakter dasar tersebut adalah sebagai berikut.

KARAKTER DASAR

Heritage Foundation Character Counts USA Ary GinajarAgustian/ESQ

44

1. Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya.

2. Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri.

3. Jujur

4. Hormat dan santun

5. Kasih sayang, peduli, dan kerjasama.

6. Percaya diri, kreatif, kerjakeras, dan pantang menyerah.

7. Keadilan dan kepemimpinan.

8. Baik dan rendah hati

9. Toleransi, cinta damai, dan persatuan.

1. Dapat dipercaya

2. Rasa hormat danperhatian.

3. Peduli

4. Jujur

5. Tanggung jawab

6. Kewarganegaraan

7. Ketulusan

8. Berani

9. Tekun

10. Integritas

1. Jujur

2. Tanggung jawab

3. Disiplin

4. Visioner

5. Adil

6. Peduli

7. Kerjasama

Agustian (2009:v-xi) merumuskan tujuh nilai karakter dasar/utama

tersebut didasarkan atas kajian bahwa terjadinya krisis moral di tengah

masyarakat kita yang ia sebut sebagai krisis “Budi Utama”, yaitu (1)

hilangnya kejujuran, (2) hilangnya rasa tanggung jawab, (3) tidak berpikir

jauh ke depan, (4) rendahnya kedisiplinan, (5) kurangnya kerja sama, (6) tidak

adanya keadilan, dan (7) memudarnya kepedulian.

Nilai-nilai karakter tersebut sesungguhnya bagian dari 99 nilai Ilahi

yang ada dalam Asmaul Husna yang seharusnya menjadi nilai-nilai insani

yang diamalkan oleh manusia dalam hidup sehari-hari, yakni: (1) saya ingin

menjadi orang yang pengasih (bersifat umum), (2) saya ingin selalu bersifat

45

penyayang (bersifat khusus), (3) saya ingin menguasai diri, (4) saya ingin suci

dalam berpikir dan bertindak, (5) saya ingin hidup selamat/sejahtera, (6) saya

ingin selalu dipercaya, (7) saya ingin selalu memelihara dan merawat, (8) saya

ingin selalu gagah dan terhormat, (9) saya ingin menjadi orang yang perkasa,

(10) saya ingin memilki kebesaran hati dan jiwa, (11) saya ingin selalu

mencipta/berkreasi, (12) saya ingin merencanakan (visi), (13) saya ingin selalu

mendesain dan mewujudkan cita-cita, (14) saya ingin selalu mengampuni

orang lain, (15) saya ingin memiliki kekuatan untuk menopang kebaikan, (16)

saya ingin selalu menjadi orang yang suka memberi (sifat), (17) Saya ingin

selalu memberi (praktik), (18) saya ingin selalu membuka hati orang lain,

menjadi perintis dan pelopor orang lain, (19) saya ingin selalu belajar dan

berilmu, (20) saya ingin mengendalikan sesuatu (positif), (21) saya ingin

selalu melapangkan jalan orang lain, (22) saya ingin merendah demi keadilan,

(23) saya ingin selalu mengangkat demi keadilan, (24) saya ingin selalu

menjernihkan, (25) saya ingin selalu menghinakan orang-orang yang jahat

demi menuju keadilan, (26) saya ingin selalu mendengarkan dan memahami

orang lain (berempati), (27) saya ingin selalu melihat dan memperhatikan

orang lain, (28) saya ingin mengendalikan dan melakukan kontrol dengan

baik, (29) saya ingin selalu bersikap adil, (30) saya ingin selalu bersikap halus

dan merasakan perasaan orang lain, (31) saya ingin selalu berhati-hati, (32)

saya ingin selalu menjadi orang yang penyantun dan lembut hati, (33) saya

ingin bersifat agung, (34) saya ingin selalu menjadi pemaaf (watak), (35) saya

ingin selalu berterima kasih kepada orang lain yang berbuat baik, (36) saya

ingin menjadi orang yang bermartabat tinggi, (37) saya ingin memiliki

46

kebesaran, (38) saya ingin selalu menjaga dan memelihara, (39) saya ingin

memperhatikan dan merasakan pengaduan orang lain, (40) saya ingin selalu

teliti dan cermat dalam segala hal, (41) saya ingin memiliki pribadi yang

luhur, (42) saya ingin selalu dermawan, (43) saya ingin selalu mengawasi dan

memantau, (44) saya ingin selalu memperhatikan keinginan orang lain, (45)

saya ingin memiliki wawasan yang luas, (46) saya ingin selalu bersikap

bijaksana (sifat), (47) saya ingin selalu simpatik dan penyiram kesejukan, (48)

saya ingin selalu bersifat bajik kepada orang lain, (49) saya ingin selalu

membangkitkan motivasi, (50) saya ingin menyaksikan sendiri segala sesuatu,

(51) saya ingin selalu membela yang benar, (52) saya ingin dapat dipercaya

apabila diberi amanat, (53) saya ingin memiliki kekuatan dan semangat yang

tinggi, (54) saya ingin selalu bersikap teguh hati, (55) saya ingin selalu

melindungi, (56) saya ingin selalu bersikap terpuji, (57) saya ingin selalu

memperhatikan semua faktor dan semua sektor, (58) saya ingin selalu

memulai terlebih dahulu dalam berkreasi (berinisiatif), (59) saya ingin

mengembalikan sesuatu ke posisi yang tepat demi keadilan, (60) saya ingin

selalu menghidupkan semangat, (61) saya ingin mematikan pikiran jahat, (62)

saya ingin sering memberikan "kehidupan" kepada orang lain, (63) saya ingin

selalu bersikap tegar dan mandiri, (64) saya ingin melakukan sesuatu yang

baru (inovasi), (65) saya ingin bersifat mulia, (66) saya ingin menjadi orang

yang terbaik, (67) saya ingin selalu menyatukan berbagai hal, (68) saya ingin

selalu dibutuhkan orang lain, (69) saya ingin memliki kemampuan yang

memadai, (70) saya ingin selalu membina orang lain agar memiliki

kemampuan (71) saya ingin mendahulukan sesuatu demi kebenaran, (72) saya

47

ingin mengakhiri dan menghentikan sesuatu demi keadilan, (73) saya ingin

selalu menjadi orang pertama (inventer), (74) saya ingin selalu menjadi orang

terakhir (penutup) yang menentukan, (75) saya ingin memiliki integritas yang

nyata, (76) saya ingin selalu memperhatikan kondisi batiniah diri sendiri dan

orang lain, (77) saya ingin mendidik dan memberikan perlindungan kepada

orang lain, (78) saya ingin memiliki ketinggian pribadi, (79) saya ingin selalu

jauh dari keburukan, (80) saya ingin selalu mau menerima kesalahan orang

lain, (81) saya ingin memperingatkan orang yang salah/keliru demi menjaga

kebaikan, (82) saya ingin bersifat pemaaf, (83) saya ingin bersifat pengasih

kepada yang menderita, (84) saya ingin selalu berhasil, (85) saya ingin selalu

agung, mulia, dan terhormat, (86) saya ingin adil dalam menghukum, (87)

saya ingin selalu berkolaborasi dan bersatu, (88) saya ingin kaya lahir batin,

(89) saya ingin memajukan orang lain, (90) saya ingin selalu mencegah

sesuatu yang buruk, (91) saya ingin menghukum demi keadilan, (92) saya

ingin memberi manfaat kepada orang lain, (93) saya ingin selalu berilmu dan

mulia, (94) saya ingin selalu menjadi orang yang suka membimbing, (95) saya

ingin selalu tampak indah dan menciptakan keindahan, (96) saya ingin

memiliki segala sesuatu secara jangka panjang (memelihara), (97) saya ingin

mewasisi dan mendelegasikan, (98) saya ingin selalu pandai dan cerdas, dan

(99) saya ingin menjadi penyabar dan tidak tergesa-gesa.

F. Nilai-nilai Karakter dalam Sebuah Keutuhan

1. Karakter SAFT

48

Karakter SAFT adalah adalah singkatan dari empat karakter yang oleh para

ulama disebut sebagai karakter yang melekat pada diri pada nabi atau rasul,

yaitu (1) shidiq, (2) amanah, (3) fathonah, dan (4) tabligh.

a. Shidiq

Shidiq adalah sebuah kenyataan yang benar yang tercermin dalam

perkataan, perbuatan atau tindakan, dan keadaan batinnya. Pengertian

shidiq ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir: (1) memiliki sistem

keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan; serta (2) memiliki

kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, jujur, dan berwibawa,

menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlaq mulia.

b. Amanah.

Amanah adalah sebuah kepercayaan yang harus diemban dalam

mewujudkan sesuatu yang dilakukan dengan penuh komitmen,

kompeten, kerja keras, dan konsisten. Pengertian amanah ini dapat

dijabarkan sebagai berikut: (1) rasa memiliki/rasa hadarbeni; (2)

memiliki kemampuan mengembangkan potensi secara optimal; (3)

memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup;

dan (4) memilki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan

(silaturrahmi).

c. Fathonah

Fathonah adalah sebuah kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan

bidang-bidang tertentu yang kecerdasan intelektual, emosional, dan

spiritual. Rincian karakteristik jiwa fathonah menurut Toto Tasmara

49

dalam Hidayatullah (2010:62) meliputi: (1) arif dan bijaksana, (2)

intergritas tinggi, (3) kesadaran untuk belajar, (4) sikap proaktif, (5)

orientasi pada Allah, (6) terpercaya dan ternama, (7) menjadi yang

terbaik, (8) empati dan perasaan terharu, (9) kematangan emosi, (10)

keseimbangan, (11) jiwa penyampai misi, dan (12) jiwa kompetisi.

Pengertian fathonah ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir: (1)

memiliki kemampuan adaptif; (2) memiliki kompetensi yang unggul,

bermutu, dan berdaya saing; dan (3) memiliki kecerdasan intelektual,

emosional, dan spiritual.

d. Tabligh.

Tabligh adalah sebuah upaya merealisasikan pesan atau misi tertentu

yang dilakukan dengan pendekatan atau metode tertentu. Pengertian

tabligh ini dapat dijabarkan dalam butir-butir: (1) memiliki kemampuan

merealisasikan pesan atau misi; (2) memiliki kemampuan berinteraksi

secara efektif; dan (3) memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan

metode dengan tepat.

2. Karakter Baik dan Karakter Buruk

Al-Jauziyah (2005:258) mengemukakan empat sedi karakter baik

dan karakter buruk. Karakter baik didasarkan pada:

a. Kesabaran. Kesabaran mendorong seseorang untuk menguasai

diri, menahan amarah, tidak mengganggu orang lain, lemah lembut, tidak

gegabah, dan tidak tergesa-tega.

50

b. Kehormatan diri. Kehormatan diri mendorong seseorang untuk

menjauhi hal-hal yang hina dan buruk, baik berupa perkataan maupun

perbuatan, membuatnya memiliki rasa malu yang merupakan pangkal

segala kebaikan, mencegahnya dari kekejeian, bakhil, dusta, ghibah, dan

mengadu domba.

c. Keberanian. Keberanian mendorong seseorang pada kebesaran

jiwa, sifat-sifat yang luhur, rela berkorban, dan memberikan sesuatu yang

paling dicintai.

d. Keadilan. Keadilan membuat seseorang berada di jalan tengah,

tidak meremehkan, dan tidak berlebih-lebihan.

Selanjutnya, karakter buruk juga didasarkan pada empat sendi, yaitu:

a. Kebodohan, yang menampakkan kebaikan dalam rupa keburukan,

menampakkan keburukan dalam kebaikan. Artinya, kekurangan ilmu

menjadikan seseorang bisa tergelincir dalam kesesatan karena kesalahan

dalam memahami hakikat kebaikan dan keburukan, hakikat kebenaran

dan kebathilan, dan sebagainya.

b. Kedhaliman, yang membuat seseorang meletakkan sesuatu tidak pada

tempatnya, memarahi perkara yang semestinya diridhai, meridhai perkara

yang semestinya dimarahi. Kedhaliman menajadikan seseorang

bertindak tidak proporsional.

c. Syahwat, yang mendorong seseorang pada kekikiran, tidak menjaga

kehormatan, rakus, dan hina.

51

d. Kemarahan, yang mendorong seseorang bersikap takabur, dengki dan iri,

suka bermusuhan, dan menganggap orang lain bodoh.

3. Empat Elemen Utama “Excelence”

Empat elemen utama untuk pemahaman konsep “Excelence”, menurut

Michael Hermawan dalam Kertajaya (2010:8-9), yaitu (1) komitmen, (2)

membuka bakat anda, (3) menjadi terbaik, dan (4) perbaikan terus-menerus.

a. Komitmen.

Yang terpenting bukan hanya kesuksesan tetapi pola pikir untuk

sukses. Kita harus secara sadar ingin menjadi yang terbaik. Dalam hal ini

ditekankan mengenai keinginan untuk tidak hanya menjadi “biasa-biasa

saja”. Hasrat dan paradigma untuk sukses mutlak harus ada, baik secara

individu maupun organisasi. Tanpa komitmen ini, tidak mungkin ada

hasrat untuk mencapai “Excelence”.

b. Membuka Bakat Anda

Semua orang di dunia ini sebenarnya memiliki bakat untuk unggul

setidaknya dalam satu bidang. Temukan potensi diri Anda. Setelah

memiliki paradigma untuk sukses, perlu modal untuk mencapai

kesuksesan itu, yaitu kemampuan (ability). Setiap orang pasti

mendapatkan “anugrah” setidaknya satu kemampuan utama. Inilah yang

harus digali. Setelah menemukan bakat utama, selanjutnya harus

mengembangkannya terus-menerus sehingga benar-benar menjadi suatu

kemampuan yang dapat membawa kita menuju excelence. Oleh karena

52

itu, untuk mencapai excelence individu atau organisasi, harus memilih

bidang yang dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki.

c. Menjadi Terbaik

Yang lebih penting dari bakat adalah upaya memanfaatkan bakat

tersebut. Excelence tidak semata-mata mengenai talenta yang diberikan

Allah., tetapi juga mengenai motivasi untuk memaksimalkan apa yang

sudah dimiliki. Percuma memiliki talenta jika tidak pernah memiliki

keinginan untuk bekerja keras.

d. Perbaikan Terus-menerus.

Dengan semangat “inovasi tiada henti”, kita harus berusaha

meningkatkan standar kesuksesan kita sendiri maupun organisasi dari

waktu ke waktu.

G. Memanusiakan Manusia Melalui Pendidikan Karakter

Tujuan pendidikan nasional sebenarnya identik dengan tujuan

pendidikan Islam yaitu untuk memanusiakan manusia atau mewujudkan

manuasia seutuhnya (insan kamil). Kini, yang perlu dipertegas adalah konsep

manusia seutuhnya dan konsep pendidikan yang dapat mewujudkannya. Dalam

pandangan Islam, manusia merupakan (1) makhluk jasmani-ruhani yang paling

mulia, (2) makhluk yang suci sejak lahir, (3) makhluk etis religius, (4) makhluk

individu dan sosial, (5) makhluk mukallaf yang diberi amanat untuk memikul

tanggung jawab, dan (6) makhluk yang merupakan "gambar Tuhan" yang

diberi percikan sifat-sifat Allah dalam asmaul husna yang harus dikembangkan

53

dan diimplentasikan dalam kehidupannya di dunia ini sebagai wakil Allah di

muka bumi (khaifatullah fil ard) dalam rangka mengabdi atau beribadah

kepada-Nya.

Dengan hakikat wujud manusia yang semacam itu, maka untuk

mewujudkan manusia seutuhnya tentu dibutuhkan konsep pendidikan yang

sesuai. Konsep pendidikan yang paling ideal untuk mewujudkan manusia

seutuhnya adalah konsep yang dibawa Rasulullah SAW lewat madrasah Darul

Arqam, yaitu tempat Rasulullah SAW mentransformasikan nilai-nilai

ketuhanan kepada para di masa-masa kerasulan. Kepada peserta didik diajarkan

bahwa Allah SWT adalah pusat segalanya. Di sisi lain, Rasulullah SAW juga

mengajarkan bahwa manusia tidak bisa dibeli dengan materi karena manusia

tidak sama dengan hewan atau benda mati. Bila ada kesadaran bahwa memiliki

harga diri yang tidak sama dengan benda mati atau binatang, maka manusia

akan terdorong untuk memposisikan diri sebagai leader (khalifah), bukan

follower (budak materi).

Dengan konsep yang demikian itu, secara pelan namun pasti, manusia

yang sudah menyadari akan posisinya sebagai khalifah akan terus berupaya

untuk meningkatkan harkatnya menuju manusia seutuhnya. Bila mengacu pada

ajaran Rasulullah SAW, standar manusia seutuhnya adalah manusia yang

memilki sikap pengabdian total kepada Allah SWT. Merekalah yang akan

menjadi pemimpin yang mampu mentransformasikan nilai-nilai Al-Qur'an,

yang sebenarnya merupakan nilai-nilai kemanusiaan dan ke-Ilahi-an, kepada

seluruh masyarakat. Hanya dengan konsep pendidikan yang semacam ini

peserta didik dapat dientaskan dari keterpurukan moralitas akibat

54

kecenderungannya pada sikap materialistis, pragmatis, dan hedonis dengan

menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsunya yang sebenarnya sampai

kapan pun tidak akan dapat terpuaskan.

Untuk mewujudkan manusia seutuhnya melalui upaya pendidikan

tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, namun harus ada upaya

yang serius dan konsisten menciptakan suasana yang kondusif. Di antara faktor

pendidikan yang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya perbaikan

moralitas peserta didik melalui pendidikan karakter.

Adapun indikator-indikator manusia yang berkarakter baik dalam

perspektif Islam (ber-Islam secara kaffah) adalah sebagaimana terangkum pada

butir-butir berikut.

Pertama, salimul aqidah (aqidahnya selamat), yang meliputi antara

lain (1) tidak me-ruqyah kecuali dengan Al-Qur'an yang ma'tsur, (2) tidak

berhubungan dengan jin, (3) tidak meminta tolong kepada orang yang

berhubungan kepada jin, (4) tidak meramal nasib dengan melihat telapak

tangan, (5) tidak menghadiri majelis dukun dan peramal, (6) tidak meminta

berkah dengan mengusap-usap kuburan, (7) tidak meminta tolong kepada

orang yang telah dikubur (mati), (8) tidak bersumpah dengan selain Allah

SWT., (9) tidak tasya'um (merasa sial karena melihat atau mendengar sesuatu),

(10) mengikhlaskan amal hanya untuk Allah SWT., (11) mengimani rukun

iman, (12) beriman kepada adanya nikmat dan siksa kubur, (13) mensyukuri

nikmat Allah SWT saat mendapatkan nikmat, (14) menjadikan setan sebagai

musuh, (15) tidak mengikuti langkah-langkah setan, dan (16) menerima dan

55

tunduk secara penuh kepada Allah SWT dan tidak bertahkim/berhukum

kepada selain Allah.

Kedua, shahihul ibadah (ibadahnya benar) yang meliputi antara lain:

(1) tidak sungkan adzan, (2) ihsan dalam thaharah, (3) bersemanghat untuk

shalat berjama'ah, (4) besemangat untuk berjama'ah di masjid/mushalla, (5)

ihsan dalam shalat, (6) qiyamulail/bertahajjud minimal sekali sepekan, (7)

membayar zakat, (8) berpuasa fardlu, (9) berpuasa sunat minimal sehari dalam

sebulan, (10) berniat melaksanakan ibadah haji, (11) komitmet dengan adab

tilawah, (12) khusuk dalam membaca Al-Qur'an, (13) hafal satu juz Al-Qur'an,

(14) komitmen dengan wirid tilawah/tadarus harian, (15) berdoa pada waktu-

waktu utama, (16) menutup hari-harinya dengan bertaubat dan beristighfar,

(17) berniat pada setiap melakukan perbuatan, (18) menjauhi dosa-dosa besar,

(19) merutinkan dzikir pagi hari, (20) merutinkan dzikir sore hari, (21)

dzikir/ingat kepada Allah SWT dalam setiap keadaan, (22) memenuhi nadzar,

(23) menyebarluaskan salam/kedamaian, (24) menahan anggota tubuh dari

segala yang haram, (25) beri'tikaf pada bulan Ramadhan, jika memungkinkan,

(26) bersiwak/menggosak gigi, dan (27) senantiasa menjaga kondisi thaharah,

jika memungkinkan.

Ketiga, matinul Khuluq (akhlaqnya kokoh/mulia) yang meliputi

antara lain: (1) tidak takabur/sombong, (2) tidak imma'ah (asal ikut, tidak

punya prinsip), (3) tidak dusta/menipu, (4) tidak mencaci maki, (5) tidak

mengadu domba, (6) tidak ghibah/menggunjing/menyebarkan gosip/

memfitnah, (7) tidak memotong pembicaraan orang lain, kecuali dengan

alasan yang dapat dibenarkan, (8) tidak mencibir dengan isyarat apapun, (9)

56

tidak menghina dan meremehkan orang lain, (10) tidak berteman/bersahabat

dengan orang jahat, (11) menyayangi yang kecil, (12) menghormati yang

besar, (13) memenuhi janji, (14) berbakti kepada kedua orang tua (birrul

walidain), (15) menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang agama, (16)

menyimpan rahasia, (17) menutupi dosa orang lain. (18) memiliki ghirah (rasa

cemburu/semangat memperjuangkan dan mempertahankan) keluarganya, dan

(19) memiliki ghirah (rasa cemburu/ semangat memperjuangkan dan

mempertahankan) agamanya.

Keempat, qadirun 'alal kasbi (mampu berusaha/bekerja dengan

baik), yang meliputi antara lain: (1) menjauhi sumber penghasilan yang

haram, (2) menjauhi riba, (3) menjauhi segala macam dan bentuk perjudian,

(4) menjauhi tindak penipuan, (5) menabung , meskipun sedikit, (6) tidak

menunda-nunda dalam melaksanakan hak orang lain, contohnya membayar

hutang, (7) menjaga fasilitas umum, dan (8) menjaga fasilitas khusus.

Kelima, mutsaqaful fikri (pikirannya jernih/tercerahkan) yang

meliputi antara lain: (1) baik dalam membaca dan menulis, (2) membaca dan

memahami tafsir Al-Qur'an, (3) membaca dan memahami hadits-hadits nabi,

(4) memperhatikan hukum-hukum tilawah Al-Qur'an, (5) mengenal nama dan

riwayat para sahabat Nabi SAW., (6) mengetahui hukum thaharah, (7)

mengetahui hukum shalat, (8) mengetahui hukum puasa, (8) memperluas

wawasan dengan senantiasa belajar/mengaji, (9) menyadari adanya peperangan

Zionisme/kaum kafir terhadap Islam, (10) mengetahui ghazwul fikri

(pengacauan pola pikir, sehingga umat Islam rancu dalam berfikir), (11)

mengetahui organisasi-organisasi terselubung yang ingin menghancurkan

57

Islam, (12) menjadi pendengar yang baik, (13) mengemukakan pendapat

dengan baik, (14) berpartisipasi dalam kerja-kerja jama'i/kelompok

masyarakat, dan (15) tidak menerima suara-suara yang bernada memfitnah

terhadap Islam.

Keenam, qawiyyul jismi (jasmaninya sehat/kuat) yang meliputi

antara lain: (1) bersih badan, (2) bersih pakaian, (3) bersih tempat tinggal, (4)

komitmen dengan adab makan dan minum sesuai dengan sunnah Nabi, (5)

tidak berlebihan dalam begadang, (6) bangun pagi sebelum fajar, (7) berusaha

menghentikan kebiasaan merokok, dan (8) tidak mengkonsumsi minuman

keras dan narkoba.

H. Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter

Pengembangan karakter sebagai proses tiada henti terbagi menjadi

empat tahapan, yaitu (1) pada usia dini/tahap pembentukan, (2) pada usia

remaja/tahap pengembangan, (3) pada usia dewasa/tahap pemantapan, dan (4)

pada usia tua/tahap pembijaksanaan.

Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing),

melakukan (acting), dan menuju kebiasaan (habit). Hal ini berarti, karakter

tidak sebatas pada pengetahuan. Seseorang yang memiliki pengetahuan

tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan

pengetahuannya itu jika ia tidak terbiasa untuk melakukan kebiasaan tersebut.

Dengan kata lain, karakter tidak sekedar pengetahuan tetapi lebih dalam lagi,

ia menjangkau wilayan emosi dan kebiasaan diri. Oleh karena itu, diperlukan

komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan

58

tentang moral, dan perbuatan moral. Hal ini diperlukan oleh peserta didik agar

mereka mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebaikan.

Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation sebagaimana

dikutip oleh Zubaedi (2012:113) bertujuan untuk membentuk manusia secara

utuh (holistis) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi,

sosial, kreativitas, spiritual, dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu,

juga untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati).

Strategi yang dapat dilakukan pendidik untuk mengembangkan pendidikan

karakter adalah sebagai berikut.

1. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu

metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi

manusia terlibat secara aktif dengan diberi materi pelajaran konkret,

bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active

learning, contextual learning, inquiry based learning, and integrated

learning).

2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga anak dapat

belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman,

penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.

3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan

berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the

good, dan acting the good.

4. Metode pengajaran yang memerhatikan keunikan masing-masing anak,

yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga sembilan aspek

kecerdasan manusia.

59

5. Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip developmentally

appropriate practices.

6. Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhantian di kelas dan

seluruh sekolah. Yang pertama dan terpenting adalah bahwa lingkungan

sekolah harus berkarakteristik aman serta saling percaya, hormat, dan

perhatian peda kesejahteraan lainnya.

7. Model (contoh) dalam berperilaku positif. Bagian terpenting dari

penetapan lingkungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas adalah

teladan perilaku penuh perhatian dan penuh penghargaan dari guru dalam

interaksinya dengan siswa.

8. Menciptakan peluang bagi siswa untuk menjadi aktif dan penuh makna

termasuk dalam kehidupan di kelas dan sekolah. Sekolah harus menjadi

lingkungan yang demokratis sekaligus tempat bagi siswa untuk membuat

keputusan dan tindakannya, serta untuk merefleksi atas hasil tindakannya.

9. Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial. Bagian

terpenting bagi perkambangan positif siswa termasuk pengajaran langsung

keterampilan sosial-emosional, seperti mendengarkan ketika orang lain

berbicara, mengenali dan me-manage emosi, menghargai perbedaan, dan

menyelesaikan konflik melalui cara lemah lembut yang menghargai

kebutuhan (kepantingan) masing-masing.

10. Melibatkan siswa dalam wacana moral. Isu moral ádalah esensi

pendidikan anak untuk menjadi prososial, moral manusia.

11. Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relevan untuk siswa.

60

12. Tak ada anak yang terabaikan. Tolok ukur yang sesungguhnya dari

kesuksesan sekolah termasuk pendidikan ”semua” siswa untuk

mewujudkan seluruh potensi mereka dengan membantu mereka

mengembangkan bakat khusus dan kemampuan mereka, dan dengan

membangkitkan pertumbuhan intelektual, etika, dan emosi mereka.

Strategi yang memungkinkan pendidikan karakter bisa berjalan sesuai

sasaran setidak-tidaknya meliputi tiga hal berikut.

1. Menggunakan prinsip keteladanan dari semua pihak, baik orang

tua, guru, masyarakat maupun pemimpinnya.

2. Menggunakan prinsip kontinuitas/rutinitas (pembiasaan dalam

segala aspek kehidupan).

3. Menggunkan prinsip kesadaran untuk bertindak sesuai dengan

nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dalam pendidikan karakter, menurut Khoiruddin Bashori dalam

Zubaedi (2012:115) penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti

kepedulian, kejujuran, kedilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri

dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kerja pendukungnya seperti

ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan—sebagai basis karakter yang

baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta

didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk

perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontoh

nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai

dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai

tersebut di sekolah dan masyarakat.

61

Meminjam bahasa metafora Muhammad Nuh, pendidikan seperti

seorang ibu hamil yang akan melahirkan generasi baru. Dalam kondisi yang

normal, kelahiran sang bayi bukan saja membahagiakan tetapi sangat

dinantikan. Namun bila kondisi sang ibu kesehatan fisiknya mengkhawatirkan,

psikisnya labil dan tertekan (karena kurangnya perhatian), dan asupan gizi

tidak mencukupi, tentu bukan saja merisaukan tehadap keberadaan sang ibu,

tapi jika risau akan kesehatan dan kualitas sang bayi yang akan dilahirkan.

Bisa jadi akan lahir generasi yang idiot (Zubaedi, 2012:115).

Dalam konteks inilah, pentingnya membangun sistem pendidikan yang

kuat, untuk menghindari agar genersi yang dilahirkan oleh dunia pendidikan

tidak mengidap sindrom ”socio-idiot”, yaitu generasi yang tidak memiliki

kemampuan untuk mandiri, yang tidak memiliki kepekaan-ketajaman sosial,

dan asyik sendiri dengan dunianya. Atas dasar itulah, maka sesungguhnya

hubungan antara kualitas SDM dan kualitas pendidikan sangat jelas sekali.

Menurut Muhammad Nuh, proses pendidikan memiliki dua ciri utama,

yaitu irreversible, dan futuris-antisipative. Proses irreversible (tidak dapat

diulang). Artinya, segala karakter, kemampuan yang dibangun selama proses

termasuk kesalahan (defects) akan melekat dalam produk yang dihasilkan dan

tidak dapat ditarik kembali. Berbeda dengan proses reversible, seperti

pembuatan produk yang tangible disebuah industri mobil misalnya. Kecacatan

(defect) bagian tertentu dari mobil yang telah dihasilkan, masih dimungkinkan

dilakukan penarikan produk mobil itu dari peredarannya di pasar. Tapi

kecacatan produk pendidikan (lulusannya), tidak mungkin ditarik kembali ke

ruang kelas untuk dilakukan ‘pembetulan’. Ciri kedua, futuris-anticipative.

62

Artinya, apa yang dihasilkan oleh sistem pendidikan pada dasarnya

menyangkut masa depan. Masa depan dirinya, keluarga, dan bangsanya. Di

sinilah pentingnya membangun karakter optimistis, memahami hakikat

persoalan dan visioner sehingga mampu menjawab tantangan zaman (Zubaedi,

2012:116).

Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan

nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan

prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal

oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi

untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi

nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa

yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter

baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan inti dari suatu

proses pendidikan.

Atas dasar ini, fungsi dan peran sekolah menjadi strategi dalam

membangun karakter agar peserta didik memiliki pemahaman, penghayatan,

komitmen, dan loyalitas terhadap standar perilaku yang konsisten sesuai

dengan nilai-nilai kebaikan. Karakter yang baik mencakup pengertian,

kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya,

pendekatan holistis dalam pendidikan karakter berupaya untuk

mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosinal, dan perilaku dari

kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan

mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempratikkan pemecahan

masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai

63

inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan

yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral,

mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman

hidup.

Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter

melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala

sesuatu yang berlangsung di sekolah memengaruhi pengembangan karakter

siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek

persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter.

Mengacu pada pendapat Djahiri dalam Zubaedi (2012:117),

menyatakan bahwa pendidikan nilai atau dalam konteks ini pendidikan

karakter harus dilakukan secara utuh menyeluruh. Proses pengembangan

karakter individu melalui nilai-nilai kehidupan hendaknya dilakukan dengan

mempertimbangkan faktor budaya dalam keluarga, pengalaman hidup di

masyarakat, dan perkembangan kondisi lingkungan antara lain lingkungan

nasional dan dunia. Sejalan dengan pendapat tersebut, Kirschenbaum (1992:8)

menyatakan bahwa pendidikan nilai harus dilakukan secara komprehensif, di

dalam kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, bimbingan konseling, dan dalam

seluruh aspek kehidupan sekolah.

Hal ini mencakup dengan istilah kurikulum tersembunyi (hidden

curriculum) (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa

dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses

pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan

lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik (academic

64

cirriculum) (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan

program-program ekstrakurikuler, (extracurricular programs) (tim olahraga,

klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).

Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan

efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas

(bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media)

dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua

ini seyoganya dilakukan dengan baik dengan menekankan penggalangan

dukungan program, selain dukungan finansial. Agenda pertemuan antara

sekolah dan orang tua perlu dijadwalkan dan dilaksanakan secara rutin melalui

forum pertemuan, rapat komite sekolah, pengajian, balal bi halal atau

silatirahmi, peringatan hari-hari besar agama dan lain-lain yang di dalamnya

juga dicarikan persamaanpemahaman dan sikap antara sekolah dan orang tua

dalam proses memperkuat pendidikan karakter secara bersama-sama.

Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai

progran kurikuler yang berjalan sendiri (separated subject) dan lintas

kurikuler (integrated subject). Pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan

semata-mata sebagai bagian dari program ekstrakurikuler seperti dalam

kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun

program civic voluntary dalam tindakat insidental seperti relawan dalam

mitigasi bencana alam.

Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk

menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian:

(1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang

65

lebih peduli dan saling menghargai?; (2) pertumbuhan staf sekolah sebagai

pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan

pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong

pengembangan karakter?; (3) karakter siswa: sejauh mana siswa

memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis

inti? Hal separti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter

untuk mandapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai

kemajuan.

Dalam perspektif ilmu akhlak, karakter atau akhlak dapat dibedakan

menjadi dua: karakter atau akhlak lahiriah dan karahter atau akhlak batiniah.

Cara untuk menumbuhkan kualitas masing-masing karakter atau akhlak ini

berbeda-beda. Peningkatan karakter atau akhlak terpuji lahiriah, menurut

Zahruddin (2004:161) dapat dilakukan melalui:

1. Pendidikan. Dengan pendidikan, cara pandang seseorang akan bertambah

luas, tentunya dengan mengenal lebih jauh akibat dari masing-masing

(akhlak terpuji dan tercela). Semakinbaik tingkat pendidikan dan

pengetahuan seseorang, sehingga mampu lebih mengenali mana yang

terpuji dan mana yang tercela.

2. Menaati dan mengikuti peraturan dan undang-undang yang ada di

masyarakat dan negara. Bagi seorang muslim tentunya mengikuti aturan

yang digariskan Allah dalam al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW.

3. Kebiasaan, akhlak terpuji dapat ditingkatkan melalui kehendak atau

kegiatan baik yang dibiasakan.

66

4. Memilih pergaulan yang baik, sebaik-baik pergaulan adalah berteman

dengan para ulama (orang beriman) dan ilmuwan (intelektual).

5. Melalui perjuangan dan usaha. Menurut Hamka bahwa akhlak terpuji,

tidak timbul kalau tidak dari keutamaan sedangkan keutamaan tercapai

melalui perjuangan.

Adapun peningkatan karakter atau akhlak yang terpuji batiniah dapat

dilakukan melalui:

1. Muhasabah, yaitu selalu manghitung perbuatan yang telah dilakukannya

selama ini, baik perbuatan buruk beserta akibat yang ditimbulkannya,

ataupun perbuatan baik beserta akibat yang ditimbulkan olehnya.

2. Mu’aqobah, memberikan hukuman terhadap berbagai perbuatan dan

tindakan yang telah dilakukannya. Hukuman ini tentu bersifat ruhiyah dan

berorientasi pada seperti, melakukan shalat sunah yang lebih banyak jika

dibanding biasanya, berzikir, dan sebagainya.

3. Mu’ahadah, perjanjian dengan hati nurani (batin), untuk tidak mengulangi

kesalahan dan keburukan tidakan yang dilakukan serta menggantinya

dengan perbuatan baik.

4. Mujahadah, berusaha maksimal untuk melakukan perbuatan yang baik

untuk mencapai derajat ihsan, sehinnga mampu mendekatkan di pada

Allah SWT (muraqabah). Hal ini dilakukan dengan kesungguhan dan

perjuangan keras, karena perjalanan untuk mendekatkan diri kepada Allah

banyak rintangannya (Zahruddin, 2004:162).

Secara terperinci, proses untuk membentuk karakter menurut

Asifin (2001) bisa menggunakan tujuh tahapan dalam memperoleh

67

pengetahuan (ma’rifatullah). Tujuh tahapan itu meliputi: muatabah,

muroqobah, mujahadah, musyahadah, mukasyafah, mahabbah, dan ma’rifah.

1. Muatabah

Muatabah berakar dari kata “taba” yang karena pengaruh perubahan

bentuk bisa menjadi kata “inabah” atau “muatabah”. Kata ini secara

hakiki mempunyai arti penyesalan.

Secara lughawi, kata tersebut dapat dilihat pengertiannya dalam dua

kitab karangan al-Ghazali, yaitu kitab Ihya’ul ulumuddin dan kitab

Raudhah yang menerangkan sebagai berikut; tobat atau muatabah adalah

meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak melakukannya

lagi, atau tobat adalah kembali dari maksiat menuju taat. Kembali dari alan

yang jauh menuju jalan yang dekat. Dengan demikian, orang yang bertobat

adalah orang yang berhenti melanggar larangan Allah dan kembali untuk

melaksanakan perintah-Nya. Berhentu berbuat maksiat dan patuh serta

mencintai Allah. Berhenti melakukan hal-hal yang dibenci Allah dan

berusaha menjalani apa yang diridhai dan disenangi-Nya dan ia merasa

bersedih hati atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Tobat menimbulkan perasaan duka cinta yang terhujam dalam

lubuk hati, mengganggu tidurnya, menumbuhkan rasa penyesalan yang

mandalam dan membangkitkan semangat yang bulat untuk melepaskan

noda dan dosa yang pernah dilakukannya dan bertekad memulai

kehidupan yang lebih baik. Tobat dalam pengertian demikian artinya tobat

nasuha, maksudnya tobat yang sesungguhnya, bukan hanya terucap di

lisan disertai dengan pengucapan lafaz istighfar sebagai tanda penyesalan,

68

tetapi yang lebih penting dari itu ialah suatu upaya untuk menjauhi dan

tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan untuk kedua

kalinya.

Al-Ghazali menetapkan ada beberapa perkara yang menjadi rukun

tobat, yaitu pengetahuan, sesal, niat, dan meninggalkannya. Kemudian,

menurut kalangan ahli tasawuf, taubat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu:

pertama, taubat yang dilakukan secara umum, yang dilakukan bila

seseorang telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan-aturan

yang telah digariskan oleh agama. Taubat ini barangkali bisa disebut

dengan taubatul ‘am (taubat secara umum). Taubat pada tingkatan ini

mempunyai pengertian secara umum, yaitu lari dari maksiat kepada taat

semata-mata karena takut akan murka dan siksaan-Nya. Taubat ini adalah

taubat orang-orang yang beriman (QS. An-Nur: 31).

Kedua, inabah, yaitu kembali dari yang baik menuju yang labih

baik demi memohon keridhaan Allah. Taubat pada tingkatan yang kedua

ini akan senantiasa menimbulkan upaya untuk maningkatkan kualitas dan

mutu ibadah seseorang pada tingkatan yang akhir yaitu kesempurnaan.

Taubat pada tingkatan ini didasari oleh perasaan bahwa ibadah selama ini

dilakukan masih jauh dari kesempurnaan dan masih kurang, dan

kekurangan ini dianggap sebagai satu kesalahan yang melandasi upaya

pertaubatan. Taubat ini juga menjadi sifat para sufi yang mengajak dari hal

satu menuju pada hal yang lain (QS. Qaf: 32-33).

Ketiga, taubatar rasul, yaitu pertaubatan yang dilakukan oleh para

Nabi dan Rasul. Taubat pada tingkatan ini tidak dimaksudkan untuk

69

mengharap pahala apalagi karena takut akan siksa. Bukankah Nabi dan

Rasul adalah manusia-manusia ma’sum, yang dijaga dari dosa.

1. Muroqobah

Secara harfiah muroqobah dapat diartikan “awas mengawasi”. Al-

Qusyairi dalam Arrisalah al-Qusyairiyyah mengartikan muroqobah adalah

bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya. Menurut

Abdul Aziz ad-Daraini, muroqobah adalah tahu bahwa sesungguhnya

Allah mendengar, mengetahui dan melihat.

Kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa muroqobah ialah

suatu keadaan seseorang yang meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah

selalu melihat dan mengawasi manusia. Keyakinan ini sudah tentu harus

mengakar dan mendarah daging dalam lubuk hati, sebagai satu keadaan

jiwa (hal) seseorang.

Kenyataannya bahwa betapa banyak manusia yang lalai dan tidak

menyadari sepenuh hati akan pengawasan Allah terhadap segala ucapan

dan tindakannya. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan manusia sering

kali tidak menyadari terhadap pengawasan Allah, pertama, karena

banyaknya kesibukan dalam mengurusi urusan duniawi yang tidak sedikit

pun urusan ini memiliki orientasinya kepada Allah. Semakin banyak

kesibukan untuk mengurusi persoalan yang bersifat duniawi, maka sedikit

banyak akan menyita dan mengurangi waktu untuk mengingat Allah.

Kedua, banyaknya dosa yang biasa dilakukan. Ketika seseorang telah

melupakan Allah, artinya ia lupa bahwa Allah selalu mengawasinya. Hal

70

ini mengakibatkan tindakannya tidak lagi terkontrol, dan cenderung

berdasarkan kesenangan hatinya sendiri.

Menurut Abdul Aziz ad-Daraini dalam kitab Thaharatul Qulub,

muroqobah menghasilkan sikap-sikap positif sebagai berikut:

a. Haya’ (sikap malu)

Sifat malu adalah suatu tindakan batin. Ia bersemayam dalam kalbu dan

akan memancarkan cahaya indah dalam setiap gerak langkah. Malu adalah

sejenis perasaan, yang karenanya secara hakiki tidak bisa dibuat dusta.

Hakikat malu bukan pada tindakan. Tingkah laku sesungguhnya hanya

merupakan ekspresi dari malu itu sendiri. Oleh karena itu, malu

merupakan sejenis perasaan, maka malu adalah sifat yang dalam istilah

lain dapat juga disebut dengan akhlak.

Secara umum, ada tiga macam malu dalam pandangan Islam.

Pertama, malu terhadap manusia. Sifat malu pada tahap ini akan

menjadikan buah tindakan seseorang selalu mengarah pada tingkah-

tingkah yang sesuai dengan ukuran etika, moral dan nilai-nilai luhur yang

dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sifat malu terhadap manusia ini akan

menjadikan pemiliknya selalu bertindak dalam patokan pantas atau tidak

tindakan tersebut dilakukan.

Kedua, sifat malu terhadap diri sendiri. Malu pada diri sendiri ialah

tingkatan malu yang lebih tinggi daripada malu kepada orang lain. Malu

pada diri sendiri adalah suatu perasaan malu yang bukan kepada orang lain

melainkan dia merasa malu sendiri pada dirinya ketika melakukan yang

menurutnya kurang pantas dan tak seharusnya dilakukan.

71

Ketiga, sifat malu kepada Allah. Inilah tingkat malu yang paling

tinggi, yang telah dijadikan sebagai tolok ukur dalam dunia sufi. Malu

kepada Allah adalah suatu perasaan dimana seseorang tidak hanya sekadar

malu pada orang lain dan malu pada diri sendiri, tetapi lebih dari itu, dia

telah menanamkan perasaan malunya pada Dzat yang Agung. Tidak ada

alasan sama sekali untuk tidak malu kepada Allah.

b. Haibah (hormat)

Buah dari muqorobah selanjutnya adalah tumbuhnya perasaan hormat

kepada Allah. Hormat di sini adalah suatu perasaan seseorang yang

mengagungkan Allah atas dasar hormat, dan tidak berani kepada Allah

karena takut. Pengertian ini memberikan kejelasan bahwa dalam rasa

hormat sesungguhnya menumbuhkan perasaan takut. Tetapi perasaan takut

dalam hormat adalah perasaan takut yang atas dasar segan, bukan takut

karena tidak berani atau karena tidak punya kekuatan untuk melawan.

Hormat yang di dalamnya ada takut karena segan menutup kemungkinan

untuk melawan.

Bila dikaji dari segi psikologis, rasa hormat akan melahirkan

perasaan patuh. Sebagaimana seorang anak yang punya rasa hormat

kepada orang tuanya, pastilah seorang anak tersebut akan mematuhi orang

tuanya. Dengan demikian, seyogianya bahkan wajib manusia itu menaruh

hormat kepada Dzat yang lebih mengetahui segala-galanya.

c. Ta’zim (memuliakan)

Selain mempunyai arti memuliakan, ta’zim juga mempunyai arti

mengagungkan atau membesarkan. Buah tindakan dari muroqobah setelah

72

tumbuh rasa malu dan hormat kepada Allah adalah tertanamnya rasa

memuliakan Allah. Memuliakan Allah adalah suatu perasaan dimana

seseorang menempatkan Allah pada posisi yang paling di atas segala-

galanya. Parasaan ini pada giliran yang lain akan menumbuhkembangkan

perasaan bahwa semua selain Allah adalah kecil.

2. Mujahadah

Mujahadah dari segi bahasa, berasal dari kata jahada atau ijtihada.

Kata ini berarti: berusaha keras, sungguh-sungguh atau perjuangan.

Mujahadah bisa dikatakan bahwa segala bentuk upaya yang senantiasa

dilandasi dengan kesungguhan, usaha keras, ketekunan dan dalam bentuk

perjuangan. Artinya, ketika seseorang ingin menggapai apa yang menjadi

keinginannya, maka orang ini tidak bisa lepas dengan faktor-faktor

kesungguhan, berusaha keras, ketekunan bahkan perjuangan.

Dalam definisi kajian tasawuf, mujahadah adalah pengendalian

atau kontrol terhadap nafsu dari hal-hal yang menggiurkan, dan upaya

melawan keinginan hawa nafsu ini dilakukan pada setiap saat. Al-Ghazali

mengatakan bahwa mujahadah adalah mencurahkan keseriusan dalam

melawan atau membunuh segala bujukan yang bersumber dari hawa nafsu

dan setan.

Al-Ghazali memberikan beberapa metode dalam mujahadah.

Pertama, sedikit demi sedikit mengurangi makan. Sebab makan

sesungguhnya merupakan tangan panjang dari nafsu. Selain itu, makanan

yang dimakan harus halal, serta menentukan banyak sedikitnya makan,

cepat lambatnya makan, dan menentukan jenis makanan. Kedua,

73

meninggalkan dan mem-fana-kan ikhtiar dengan menyerahkan ikhtiar

kepada seorang yang terjaga agar memilihkan apa yang terbaik untuk

dijalani. Ketiga, melakukan beberapa amalan, seperti melanggengkan

wudhu, banyak berpuasa, berzikir.

3. Musyahadah

Musyahadah dapat diperoleh setelah seseorang ber-mujahadah

secara sungguh-sungguh. Menurut para ahli tasawuf, musyahadah diawali

dengan muhadharah (kehadiran hati). Musyahadah adalah kehadiran

kepada Allah. Moh. Syaifullah al-Aziz menyebutkan bahwa musyahadah

adalah tampaknya Allah pada hamba-Nya, dimana seorang hamba tidak

melihat sesuatu apa pun dalam beribadah (dalam pengertian umum),

kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa ia

hanya berhadapan dan dilihat Allah.

Musyahadah dapat dikatakan tindak lanjut dari ajaran ihsan yang

mengajarkan tentang konsep ibadah yang sesungguhnya dengan sesuatu

ukuran “seakan-akan seorang hamba melihat Tuhan-Nya, atau kalau

seperti itu, pastinya bahwa Allah melihat hamba-Nya”. Imam al-Junaid

memberikan definisi bahwa musyahadah adalah tampaknya al-Haq di

mana alam perasaan sudah mati. Al-Ghazali memberikan satu ibarat

terhadap masalah hati dalam mencapai musyahadah, sebuah hati

diibaratkan dengan sebuah kepingan baja hitam, bagaimanapun hitamnya

kepingan baja tersebut, apabila diasah dan senantiasa dibersihkan terus-

menerus dan secara kontinu (istiqomah), maka lempengan baja hitam ini

akan berusaha menjadi putih sekaligus mampu berkilau sehingga dapat

74

menerima cahaya dari arah mana pun sekaligus bisa memantulkan terpaan

cahaya yang mengenainya.

Haderanie menyebutkan sebab-sebab yang menjadikan hati

seorang hamba tertutup/hitam, sehingga ia tidak bisa musyahadah kepada

Allah: 1) keingkaran; 2) kebodohan/ ketidak adanya pengertian; 3)

prasangka buruk (terhadap Allah); dan 4) terlalu sibuk dengan urusan

dunia dan senantiasa melupakan segala urusan akhirat.

Menurut M. Nafis bin Idris al-Banjari, ada beberapa faktor yang

menyebabkan seorang pelaku tasawuf gagal di tengah jalan dan tidak bisa

sampai pada tingkat makrifat dan musyahadah yaitu: malas, bimbang atau

lemah pendirian, dan pembosan. Faktor yang menggagalkan adalah yang

termasuk syirik khofi seperti riya (pamer atau karena ingin dipuja orang

lain), ujub (merasa hebat sendiri), dan sum’ah (membanggakan diri supaya

mendapat pujian orang lain).

4. Mukasyafah

Istilah mukasyafah secara bahasa mempunyai arti terbuka tirai.

Meksud yang terkandung dalam terbuka tirai di sini adalah terbukanya

segala rahasia-rahasia alam yang tersembunyi atau terbukanya pengertian

dan hal-hal yang bersifat gaib. Sesuatu yang dalam kategori gaib di sini

mungkin bisa diartikan dengan segala sesuatu yang tidak dapat diindrakan,

tidak bisa dilihat dengan kasatmata, tidak bisa mungkin didengar dengan

telinga, dan tidak mungkin dijamah dengan tubuh. Sesuatu yang gaib

intinya adalah sesuatu yang tak bisa dijamah dan dijangkau oleh indra

dhahir manusia.

75

Sesungguhnya hati manusia mempunyai potensi besar untuk ber-

musyhadah kepada Allah, karena sebagaimana dinyatakan dalam hadis

Qudsi bahwa hanya hatilah satu-satunya di dunia ini yang sanggup

menampung Allah di dalamnya. Tetapi, pada kenyataannya hati yang

sesungguhnya sejak semula dalam keadaan suci bersih yang seharusnya

sanggup menerima dan memantulkan Nur Allah telah tertutup oleh hijab

atau tirai yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Allah tidak

sekali-kali menutupi diri-Nya dengan sesuatu apa pun, tetapi manusia

sendirilah yang menutup yang mahanyata itu. Di sinilah letak adanya tirai

yang menutupi pandangan seorang hamba kepada Tuhannya itu.

Di sinilah sebenarnya letak mukasyafah itu. Tirai di sini yang

dimaksud adalah sebuah tabir gelap yang menghalang-halangi penglihatan

seorang hamba kepada Tuhannya. Dinding tebal inilah yang menyebabkan

Nur Allah tidak bisa masuk sehingga seorang hamba tidak mampu untuk

musyahadah kepada Allah.

Secara teori, mukasyafah adalah terbukanya tirai-tirai yang gaib

secara menyeluruh. Terbukanya tirai dalam mukasyafah sesungguhnya

tidak hanya meliputi terbukanya rahasia yang ada kaitannya dengan Allah,

tetapi juga meliputi segala rahasia-rahasia alam lainnya.

Mukasyafah mempunyai dua jenis. Pertama, mukasyafah

rububiyah, yaitu terbukanya tirai ke tuhanan. Pada jenis mukasyafah ini

Allah membukakan tirai dan hijab yang menutupi-Nya bagi seorang

hamba, pada saat ini seorang hamba telah mengetahui rahasia-rahasia al-

Haq. Kedua, mukasyafah gaibiyah, yaitu terbukanya tirai kegaiban. Di sini

76

orang-orang akan mengetahui hal-hal gaib. Gaib di sini mempunyai objek

pembahasan lain. Mukasyafah gaibiyah berdasarkan kenyataan yang

terjadi pada umumnya ada hubungan dengan unsur bakat seseorang, atau

kemungkinan juga orang itu sebelumnya telah melakukan latihan tertentu

yang didukung dengan bakatnya sehingga ia mampu melihat hal-hal gaib.

5. Mahabah

Kata mahabbah secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta. Secara

teori, cinta sesungguhnya adalah sebuah perilaku emosional yang jauh

sekali hubungannya dengan perilaku rasional. Ketika seseorang telah

menetapkan hati untuk memberikan cintanya kepada orang lain, maka

syarat mutlak bagi orang tersebut adalah harus mau berkorban.

Ketidakrasionalan cinta memang menjadikan cinta itu buta, dan alah

menjadikan jarak semakin dekat antara cinta dan gila.

Secara teoritis, cinta dapat diartikan sebagai bentuk perhatian

seseorang kepada yang lain. Sebentuk perhatian ini pada tahap-tahap

tertentu akan mencapai puncaknya, di mana seseorang selalu mencurahkan

perhatiannya pada satu objek tertentu. Ketika sebentuk perhatian ini telah

mencapai puncaknya, maka akan menimbulkan keteringatan yang

berlebihan kepada objek yang dituju secara perlahan akan masuk dalam

alam pikiran sekaligus pada perasaan hati.

Pengertian mahabbah (cinta) dalam konsep lain adalah

kecenderungan tabiat kepada sesuatu, karena keadaan sesuatu itu lezat

bagi orang bercinta kasih. Adalah sebuah keniscayaan bahwa cinta pasti

akan membuahkan sebuah sikap. Cinta pada hakikatnya berangkat dari

77

ketulusan, keikhlasan, dan kesucian yang menghasilkan sikap ai-uns,

wushul, dan as-syauq. Al-uns mempunyai arti sukacita secara kejiwaan.

Al-Ghazali mengatakn bahwa pengaruh dari rasa mahabbah kepada Allah

adalah perasaan sukacita (al-uns). Hakikat al-uns adalah rasa suka dan

kegembiraan yang tiada tara karena terjadinya mukasyafah kepada Allah

dengan segala keindahan dan keparipurnaan-Nya saat taqarrub

(berdekatan) dengan Allah. Taqarrub sesungguhnya tiada hijab yang

membatasi seorang pecinta Allah dengan-Nya. Al-uns pada giliran lain

menjadikan perasaan mahabbah menumbuhkan rasa sakinah (tenteram dan

damai) dan thuma’ninah (ketenangan jiwa).

Sementara itu, pengertian wushul menurut al-Ghazali adalah

manakala seseorang hamba dubukakan hatinya akan pesona Al-Haq

(Allah) dan ia tenggelam di dalamnya. Apabila ia memandang kepada

yang dipandang, maka tiada lain kecuali Allah. Jika memandang pada cita-

cita dan tujuannya, tiada pula cita-cita itu, selain Allah. Hakikat wushul

sesungguhnya memberikan efek, dampak atau atsar, yang menurut al-

Ghazali apabila seorang hamba melihat kepada apa saja yang dilihat, maka

tiada lain yang dilihat kecuali Dia. Kondisi rohani seperti ini sebagai buah

dari cinta yang sejati, di mana seorang hamba ketika hanya disibukkan

dengan perasaan cintanya kepada Allah, maka bayangan Allah senantiasa

akan hadir dan tampak di pelupuk mata, hingga bayangan itu terwujud

pada setiap pandangannya.

Adapun pengertian as-syauq adalah rindu. Rindu bukan saja

merupakan satu kata yang sekali hubungannya dekan kata cinta, melainkan

78

rindu merupakan perasaan yang bersatu padu dengan rasa cinta. Rindu

adalah buah cinta yang paling dekat dengan rasa cinta dibanding dengan

lainnya, karena rindu adalah buah cinta yang merupakan atsar langsung.

Rindu kepada Allah biasa diistilahkan dengan isyiq, yang selain

mempunyai arti rindu, juga mempunyai pengertian terdapat akses perilaku

abnormal pada diri seseorang yang menyimpan rindu. Tidak diragukan

lagi bahwa cinta kepada Allah sudah barang tentu harus dimiliki seorang

hamba, agar bisa sampai pada derajat hamba yang betu-betul mencintai-

Nya, dan bisa menempuh jalan yang dilaui oleh orang-orang yang mulia.

Cinta kepada Allah merupakan anugerah yang suci, pancaran ilahi, dan

nikmat Rabbaniy, yang dianugerahkan oleh Kekasih Agung.

7. Ma’rifah

Kata ma’rifat bila dilihat dari segi bahasa mempunyai arti

pengetahuan. Secara bahasa al-Ghazali mengartikan ma’rifat sebagai

pengetahuan yang tidak menerima keraguan lain. Secara istilah, makrifat

artinya suatu pengetahuan yang didasarkan atas suatu keyakinan yang

penuh terhadap sesuatu hingga hilanglah suatu keragu-raguan. Dengan

pengertian yang demikian ini, maka di dalam makrifat sesungguhnya tidak

ada sedikit pun keragu-raguan. Yang ada dalam makrifat hanyalah satu

keyakinan.

Ma’rifat, sebagai suatu pengetahuan terhadap sesuatu sudah barang

tentu mempunyai objek. Objek yang ingin dicapai dalam makrifat baik

secara umum (dalam kerangka kajian ilmu pengetahuan) maupun secara

khusus (dalam kajian ilmu tasawuf) adalah al-Haq (kebenaran). Dalam

79

kerangka ilmu pengetahuan, kebenaran dapat di peroleh melalui tiga

kategori pengetahuan, yaitu: pertama, pengetahuan indrawi. Pengetahuan

ini meliputi fenomena yang dapat dijangkau secara langsung oleh

pancaindra. Pengetahuan jenis ini dapat dikatakan bahwa sesuatu itu benar

jika pancaindra sanggup menjangkaunya. Batas pengetahuan ini adalah

segala sesuatu yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Kedua, pengetahuan

keilmuan (science). Pengetahuan ini meliputi semua fenimena yang dapat

diteliti dengan riset atau eksperimen, sehingga apa yang berada di balik

pengetahuan indrawi bisa terjangkau. Pengetahuan ini berpendapat bahwa

sesuatu dikatakan benar jika sesuatu itu dapat dibuktikan dan diuji secara

riset dan eksperimen. Batas pengetahuan ini adalah segala sesuatu yang

tidak terjangkau lagi oleh rasio, atau otak dan pancaindra. Ketiga,

pengetahuan falsafi. Pengetahuan ini mencakup segala fenomena yang tak

dapat diteliti, tetapi dapat dipikirkan. Pada pengetahuan tingkat falsafi,

sesuatu dianggap benar jika sesuai dengan pikiran. Batas pengetahuan ini

adalah alam, bahkan juga bisa menembus apa yang ada diluar alam;

Tuhan.

Makrifat sesungguhnya tidak hanya meliputi pada pengetahuan

yang sesungguhnya terhadap Dzat dan sifat Allah, melainkan sudah pada

tingkat penyaksian secara langsung dengan mata hati kepada al-Haq tanpa

adanya hijab sedikit pun. Pada tingkat inilah seorang hamba benar-benar

akan mengetahui kebenaran tentang Tuhan-Nya.

Makrifat adalah sebuah anugerah pemberian langsung dari Allah

kepada para hamba yang Ia kehendaki. Tentunya Allah sendiri tahu dan

80

tentu akan lebih tahu daripada kita kepada siapa anugerah yang berupa

makrifat tersebut dianugerahkan. Sekali-kali Allah tidak akan pernah

memberi anugerah agung kepada seseorang yang barangkali dari segi apa

pun orang ini tidak pantas untuk menerimanya.

Sebagai suatu anugerah, Allah sesungguhnya memnukakan pintu

ikhtiar bagi hamba-hamba-Nya yang ingin mengenal lebih jauh tentang-

Nya. Pengenalan akan eksistensi manusia adalah merupakan suatu jalan

untuk menuju pengetahuan akan hakikat Tuhan. Artinya, untuk sampai

pada ma’rifatullah, maka terlebi dahulu seseorang harus mengenal hakikat

dirinya sendiri. Itulah sebuah jalan yang pertama-tama harus dilalui.

I. Perlunya Pengorbanan dan Keteladanan dalam Pendidikan Karakter

Husaini (2010) menulis sebuah artikel yang dimuat dalam Republika

dengan judul ”Pendidikan Karakter”. Dalam artikel tersebut, ia menggelorakan

kembali semangat Mohammad Natsir, salah satu pahlawan nasional, yang

sangat percaya bahwa: "Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara

bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya".

Dari pernyataan tersebut, ada dua kata kunci kemajuan bangsa yaitu 'guru' dan

'pengorbanan'. Maka itu, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan

mencetak 'guru-guru yang suka berkorban'. Guru yang dimaksud Natsir bukan

sekadar 'guru pengajar dalam kelas formal'. Guru adalah para pemimpin, orang

tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. 'Guru' adalah digugu (ditaati) dan

ditiru (dicontoh). Guru bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab

soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-

muridnya.

81

Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah

mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya

dipenuhi dengan idealisme tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan

bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia

memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia mendirikan

Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar,

serta mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari

dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya

pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.

Di samping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan

pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah

Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah

pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke

Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).

Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI, M.

Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan

Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, ia mengingatkan bahaya besar

yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat

pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya

kondisi manusia Indonesia setelah kemerdekaan dengan prakemerdekaan.

Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai

pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai

berubah. Natsir menulis: "Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya

habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini

82

mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang

merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus

tahun yang lampa. Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta

dihargai. Sekarang timbul penyakit bakhil (pelit). Bakhil keringat, bakhil

waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang sudah mencari untuk dirinya

sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya.

Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu, menurut Husaini (2010) perlu

dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik.

Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia,

wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan

bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan

pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, "Salah satu

penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan

dalam mencintai dunia."

Lebih jauh, kata Natsir: "Di negara kita, penyakit cinta dunia yang

berlebihan itu merupakan gejala yang 'baru', tidak kita jumpai pada masa

revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite

masyarakat). Tetapi, gejala yang 'baru' ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat

perkembangannya sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika

gejala ini dibiarkan berkembang terus, bukan saja umat Islam akan dapat

mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, melainkan bagi bangsa

kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius."

Dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang

sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan

83

sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia

pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul,

beriman, bertakwa, profesional, dan berkarakter.

Kini, yang dibutuhkan bangsa ini adalah 'guru-guru sejati' yang cinta berkorban

untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia

melihat para pakar dan pejabat publik hanya gemar berteori dan berjanji, tanpa

amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata

kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk

keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan. Misalnya, tidak

sedikit sekolah-sekolah tertentu –dengan dalih Rintisan Sekolah Bertaraf

Internasional (RSBI) –memungut dana yang relatif besar dari wali murid.

Pemungutan dana yang kadang tidak disertai pertanggungjawaban yang jelas

dan tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan yang signifikan,

agaknya tidak begitu salah jika ada orang yang sinis menyatakan bahwa

kepanjangan huruf B dari RSBI adalah bukan Bertaraf melainkan hanya

Bertarif. Artinya, yang meningkat hanya tarifnya, sementara tarafnya tidak

kunjung meningkat.

Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang

sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden,

menteri, anggota DPR, para pejabat publik lainnya, para pendidik, dan para

orang tua harus memberi teladan.

J. Karakter Cermin Aqidah

Karakter/akhlaq merupakan cerminan keyakinan yang telah melekat kuat

dalam jiwa. Bukan karena bagusnya pemahaman, melainkan kuatnya

84

penghayatan. Ia menyandarkan diri pada nilai-nilai tertentu dan berusaha

secara sengajabertindak dan menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan

yang diyakini. Boleh jadi seseorang adakalanya tindakannya tidak sesuai

dengan keyakinannya, tetapi ia melakukannya tidak dengan ringan hati. Ia tetap

mengingkari perbuatannya dan berusaha agar sesuai dengan keyakinannya.

Ada yang perlu kita renungkan tentang pendidikan anak-anak kita. Ada

yang prlu kita kaji kembali apakah sekolah-sekolah kita sudah melaksanakan

proses penanaman karakter mulia secara sadar, sengaja, dan terencana? Ini

merupakan tanggung jawab seluruh unsur sekolah, terlebih guru yang setiap

hari bertemu anak-anak. Jika penanaman karakter/akhlaq hanya menjadi

tanggung jawab guru pengampu mata pelajaran yang terkait agama dan budi

pekerti, maka sesungguhnya di sekolah tersebut tidak ada pendidikan. Ia hanya

lembaga pengajaran atau kursus yang bernama sekolah, bukan pendidikan yang

sebenarnya (the real education). Mari kita perbaiki niat, persepsi, dan tindakan

kita untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkarakter kuat dan

mulia agar masa depan bangsa lebih baik.

Sebagai seorang pendidik, khususnya guru agama Islam, kita harus

menghayati dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip utama untuk membangun

karakter peserta didik yang akan melahirkan peradaban bangsa yang unggul

yang sesuai dengan fitrah manusia, sebagaimana telah diletakkan olen Nabi

Muhammdan saw. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dan tersurat dalam jawaban

Rasulullah saw ketika menjawab pertanyaan dari Ali bin Abi Thalib r.a.,

sebagai berikut.

Ma’rifat adalah modalku, akal pikiran adalah sumber agamaku,rindu kendaraanku, keteguhan perbendaharanku, duka adalah kawanku,

85

ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan sasaranku,faqir adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinanmakananku, kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihadperangaiku, dan hiburanku adalah dalam sembahyang (Haekal, 200:214).

Prinsip-prinsip inilah yang merupakan kunci dari semua landasan

tentang kepemimpinan Rasulullah saw, sehingga Beliau sukses mencapai

puncak tertinggi kepemimpinannya: sukses membentuk karakter para sahabat

yang mulia, sukses membangun peradaban manusia yang manusiawi. Ya,

membangun karakter memang hanya akan sukses dilakukan oleh orang-orang

yang juga berkarakter!

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini berusaha menghasilkan sebuah model yang dilakukan

dengan peendekatan penelitian kualitatif. Taylor (dalam Meleong, 2002: 3)

86

mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang atau periklaku yang diamati. Data deskriptif adalah data yang

dikumpulkan berupa kata-kata, gambar bukan angka. Semua yang

dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap yang diteliti.

Pendekatan penelitian ini adalah induksi-konseptualisasi, yaitu dilakukaan

dengan Dari fakta/ informasi ke konsep dirubah kedalam bentuk yang lebih

abstrak. Data yang terakumulasi dibawah suatu label akhirnya dikembangkan

menjadi pernyataan-pernyataan tentang definisi nominal, makna teoritis, atau

konten substantif dari suatu konsep. Dengan demikian , akan diperoleh suatu

makna atas dasar interrelasi dalam sistem kategori yang lebih alamiah

sifatnya.

B. Desain dan Langkah Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah explanatory mixed methods

research design (Creswell, 2008), yaitu dengan memadukan antara

pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kuantitatif secara terpadu dan

saling mendukung. Desain tersebut divisualisasikan pada bagan 1 berikut.

menindaklanjuti

Bagan 1 explanatory mixed methods research design ( diadaptasi dari

Creswell, 2008)

87

QUANTITATIVE(data dan hasil)

QUALITATIVE(data dan hasil)

Pendekatan kuantitatif digunakan untuk melakukan pendataan awal

terhadap prolematik yang dialami mahasiswa, sementara pendekatan kualitatif

digunakan selama proses pengembangan model yang melibatkan dosen mata

kuliah, dosen penasehat akademik, satuan keamanan kampus, karyawan, ketua

RT/RW, pemilik kos dan tokoh agama/tokoh masyarakat kota Salatiga.

Adapun tahap penelitian secara rinci akan dilakukan sebagai berikut:

1. Tahap persiapan : merupakan studi pendahuluan dan kajian pustaka yang

bertujuan mendapatkan konsep tentang pengembangan model pendidikan

karakter bagi mahasiswa

2. Tahap merancang model hipotetik : yaitu merancang model

pengembangan pendidikana karakter mahasiswa yang didasarkan hasil

studi literatur dan kondisi objektif karakter mahasiswa STAIN Salatiga

serta kondisi lingkungan kampus, dosen, karyawan dan lingkungan tempat

tinggal mahasiswa

3. Merancang model pembinaan karakter mahasiswa dengan berkolaborasi

dengan dosen pembimbing akademik (dosen PA), dosen senior, tokoh

masyarakat, tokoh agama, RT/RW lingkungan mahasiswa tinggal serta

pemilik kos

4. Tahap merancang model akhir melalui ferivikasi dengan dari para

kolaborator dan dua ahli dalam bidang pembinaan karakter.

5. Tahap perbaikan model hipotetik, dilakukan dengan terlebih dahulu

melakukan evaluasi hasil uji kelayakan model, memperbaiki model secara

kolaboratif dan menyusun kembali model pembinaan karakter mahasiswa.

6. Tahap uji lapangan, yaitu melakukan uji empirik model pembinaan

88

karakter mahasiswa melalui uji efektivitas model

7. Tahap merancang model akhir, disusun secara kolaboratif berdasar hasil

evaluasi uji empirik hingga tersusun model akhir

C. Penjelasan Istilah

1. Model

Kartadinata (2008) menyatakan bahwa model merupakan

seperangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara

empirik yang diorganisasikan ke dalam sebuah struktur untuk

menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan perilaku atau tindakan.

Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir yang

diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya.

Mills et al (1989:4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk

representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang

atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang

terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya

merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep.

Berdasar pandangan para ahli tersebut, yang dimaksud model

dalam penelitian ini adalah konstruksi konkret dari suatu konsep, asumsi,

proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara empirik yang

diorganisasikan ke dalam sebuah struktur untuk menjelaskan,

memprediksi dan mengendalikan perilaku atau tindakan

2. Kolaborasi

Frans & Bursuck (1994:76) yang mengatakan bahwa

“collaboration is a style professional chose to use in order to accomplish

89

a goal they share”. Kolaborasi merupakan proses interprofesional untuk

mengkomunikasikan dan pengambilan keputusan dari beberapa

pengetahuan dan ketrampilan yang terpisah-pisah menjadi lebih sinergi

(National Health and Medical Reseach Council, 2010 : 4). Sementara

Johnson & Johnson (1987) menyatakan bahwa kerjasama (cooperating,

collaborate, joining together) adalah keikutsertaan individu-individu

dalam suatu kegiatan yang membentuk suatu hubungan interpersonal antar

anggota dalam sebuah tim. Individu yang terlibat dalam kolaborasi

mempunyai arah dan tujuan yang tidak berbeda, karenanya tim harus

melakukan perencanaan bersama dan melaksanakannya secara bersama

pula, sebagaimana diungkap oleh Idol & Baran (dalam Schmidt 1999)

bahwa : “ in collaboration, planning and implementing are joint effort”.

Keberhasilan sebuah tim memerlukan partisipasi dan keterlibatan secara

aktif dari anggota tim.

Berdasar uraian diatas, yang dimaksud kolaborasi dalam penelitian ini

kerjasama antara dosen penasehat akademik, dosen matakuliah, konselor

biro konsultasi, tokoh agama/tokoh masyarakat, RT/RW tempat mahasiswa

tinggal serta pemilik kos dalam merancang model pengembangan karakter

mahasiswa

3. Karakter Mahasiswa

Karakter mahasiswa merupakan serangkain kualitas pribadi

mahasiswa yang membedakannya dengan orang lain. Karakter menuntut

adanya pengahayatan nilai, proses mengidentifikasikan diri dengan nilai-

nilai yang diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian

90

dengan nilai yang diyakini sehingga pada akhirnya terjadi karakterisasi

diri.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini mahasiswa baru STAIN Salatiga tahun ajaran

2012/2013 sebanyak 700 orang

E. Teknik Pengumpul Data

1. Angket, digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan untuk

mengetahui kondisi awal karakter mahasiswa STAIN Salatiga

2. Wawancara, ditujukan kepada mahasiswa, alumni, dosen dan karyawan

untuk menemukan data awal tentang kondisi mahasiswa STAIN Salatiga

3. Focus Group Discussion (FGD)

Fokus Grup Diskusi (FGD) merupakan salah satu teknik dalam

mengumpulkan data kualitatif di mana sekelompok orang berdiskusi

dengan pengarahan dari seorang moderator atau fasilitator mengenai suatu

topik. Irwanto (2006: 1-2) mendefinisikan FGD adalah suatu proses

pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu

permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.

Tujuan FGD adalah untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang

sesuatu aspek yang sedang dipelajari terutama yang berkaitan dengan

sikap dan tanggapan terhadap suatu program atau keadaan.

Karakteristik FGD meliputi beberapa hal sebagai berikut : Peserta

terdiri dari 6 – 12 orang, peserta sebaiknya tidak saling mengenal secara

akrab, merupakan proses pengumpulan data yang bersifat kualitatif,

menggunakan diskusi yang terfokus pada suatu topik atau teman tertentu.

91

Berdasar karakteristik tersebut pelaksaan FGD dalam penelitian ini sudah

sejalan dengan tuntutan pelaksanaan FGD, yaitu jumlah peserta masing-

masing kelompok 6 dan 7 orang.

FGD digunakan sebagai tehnik utama penelitian ini, yang

dilakukan untuk memperoleh model pengembangan karakter mahasiswa

secara kolaboratif. Tujuan FDG adalah untuk mendapatkan data tentang

kondisi mahasiwa serta untuk mendapatkan masukan secara komprehensif

bagi pengembangan model pembentukan karakter mahasiswa dari berbagai

perspektif.

Dalam penelitian ini, FGD melibatkan dosen pembimbing

akademik, dosen mata kuliah, pembina ma’had, pembina kemahasiswaan,

konselor Biro Konsultasi Tazkia, ketua RT/RW tempat mahasiswa tinggal,

pemilik kos dan tokoh agama/tokoh masyarakat kota Salatiga. FGD

dipandu oleh seorang fasilitator, seorang notulen serta seorang pengamat.

Data hasil FGD dianalisis secara elaborasi, reorientasi, mengamati

peserta yang dominan, mendeskripsikan peserta yang diam,

mendeskripsikan antusias peserta serta ekspresi peserta ketika

mengemukakan pendapatnya dan menyajikan foto pelaksanaan FGD.

4. Observasi, untuk mengamati perilaku mahasiswa baik di dalam maupun di

luar kampus sebagai cermin kondisi karakter mahasiswa. Aspek yang

diobservasi meliputi tatacara pergulan, gaya busana serta penampilan fisik

lainnya.

F. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data melalui empat cara sebagai berikut.

92

1. Kredibilitas

Kredibilitas data penelitian dipertahankan dengan cara menambah

lama penelitian, mengupayakan observasi secara detail, triangulasi, per

debriefing, dan member check. Juga dilakukan dengan menguji informasi

dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden

terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.

Peneliti juga melakukan Peer debriefing (membicarakannya

dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang

diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.

Langkah lain yang peneliti lakukan untuk mengecek keabsahan data

adalah dengan melakukan member check yaitu dengan menguji

kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan

pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan

mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan pertanyaan-

pertanyaan tentang data.

2. Transferabilitas

Transferabilitas data adalah merupakan kemampuan hasil

penelitian ini untuk diterapkan pada situasi yang lain. Data penelitian ini

dapat diterapkan dalam situasi yang berbeda.

3. Dependability

Dependability merupakan tingkat konsistensi peneliti dalam

mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep

ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Dependability

93

dibuktikan dengan adanya pengulangan data tetapi menunjukkan hasil

yang sama. Juga peneliti lakukan dengan memeriksa makna segala sesuatu

yang di luar, menggunakan kasus ekstern serta menyingkirkan hubungan

yang palsu

4. Konfirmabilitas

Konfirmabilitas menunjukkan hasil penelitian dapat dibuktikan

kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang

dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan

dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan

tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih

objektif. Untuk menjaga konfirmabilitas dilakukan dengan membentuk

rantai bukti (Chain Evidence), mencari penjelasan tandingan, memberi

bukti yang bertentangan, membuat replika dan berusaha mencari umpan

balikan dari informan.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Patton (dalam Hasan, 2006:29) adalah

proses mengatur, mengurutkan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu

pola, kategori, dan uraian dasar. Terdapat tiga langkah dalam analisis

data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan

(Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data adalah proses pemilihan,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transforma

si data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.

94

proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian

berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana

terlihat dari kerangka konseptual penelitian, permsalah studi dan

pendekatan pengumpulan data yang terplih peneliti.

Reduksi data meliputi : Meringkas data, mengkode, nelusur tema,

membuat gugus-gugus. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang

menajamkan data, menggolongkan, mengarahkan, ,membuang yang tidak

perlu dan mengorgasisasikan data sedemikian rupa

sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Reduksi data adalah data yang

diperoleh dari lapangan ditulis dan diketik dalam bentuk urutan atau laporan

yang terperinci (Nasution, 2003:129).

Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi d

isusun, sehingga memberikan kemungkinan aakan adanya penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data penelitian ini dalam

bentuk teks naratif dari catatan lapangan baik hasil FGD, hasil observasi

maupun hasil wawancara.

Efektivitas model pembinaan karakter mahasiswa diuji menggunakan

t-tes untuk menguji perbedaan antara karakter sebelum menggunakan model

dengan karakter mahasiswa setelah diterapkannya model.

95

BAB IV

PAPARAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN

A. Focus Group Discussion (FGD) dengan Dosen

1. Ihwal Busana

Banyak mahasiswa yang menggunakan levis yang sobek-sobek,

kaos oblong, sandal jepit, dan lainnya sebagai identitas sekaligus update

budaya yang ada. Unik nyentrik dan nyeni alasan mahasiswa

96

penggunanya. Untuk menambah aksen dan mengikuti budaya anak muda

secara umum tidak tanggung-tanggung terdapat bebrapa mahasiswa laki-

laki STAIN Salatiga yang memakai kalung, menindik cuping hidungnya

atau menindik daun telinganya tindik, atau aksesoris lainnya.

Selain mahasiswa, tidak sedikit karyawan dan dosen yang masih

menggunakan pakaian ketat, legging, jilbab yang tidak menutupi dada, dan

transparan. Ada kalimat yang sebetulnya terlalu cepat untuk mengatakan

bahwa rata-rata mahasiswi STAIN Salatiga menganut dan menggunakan

mode atau tata busana yang tidak mencerminkan muslim-muslimah.

2. Pergaulan Antarmahasiswa

Pergaulan laki-laki dan perempuan sebagian dari mahasiswa sangat

bebas kalau bukan kelewat batas. Kebiasaan ini memang berbeda tipis

dengan hubungann layaknya mahasiswa yang sangat intens dengan dunia

dialektis, ngobrol berdua berlainan jenis di kampus sebetulnya tak jadi

masalah, masih dalam dunia wajar, dan tidak perlu untuk berfikir negative,

karena bisa jadi apa yang mereka obrolkan berdua adalah tentang tugas

kuliah, tugas kelompok, atau masalah organisasi, tetapi semua berhak

untuk menilai dan menganggap bahwa itu bukan sekedar tugas kelompok,

diskusi, atau organisasi. Raut wajah mereka ketika berdua adalah raut

wajah hubungan special, intensitas mereka di tangga-tangga gedung, di

teras kelas, memang beraroma cinta kasih yang lupa akan kondisi, situasi,

dan lupa lagi berada di mana mereka lupa berlakunya etika di tempat

umum, lingkungan kampus seakan sirna, dan yang hadir adalah aroma

tempat mojok,, untuk mereka berdua, secara reflek memegang hidung, tiba

97

tiba memegang kepala dari mereka. Lain lagi dengan beberapa kebiasaan

mahasiswa dan mahasiswi yang boncengan dengan motornya, tanpa rasa

risih mereka terlalu cuek melakukannya.

Bahkan lupa atau karena terbiasa dengan kondisi yang sangat dekat

anatra mahasiswa dan mahasiswi, dalam berkomunikasi, sampai terbawa

ke ruang kelas, sehingga pada saat perkuliahan ada baiknya dipisahkan

antara lorong perempuan dan lorong laki-laki, hal ini harus dapat perhatian

khusus dan dapat diinstruksikan oleh dosen.

Kalau memang harus berlebihan, tidak terlalu nyaman rasanya

ketika melihat mahasiswa dan mahasiswi berdua atau pun berkelompok

menggunakan jaringan internet di sudut-sudut yang terutup, di tangga-

tangga gedung biasanya atau di emper kelas yang terhalang pagar lantai,

yang semuanya memungkinkan untuk mengantarkan pada sebuah

kesempatan. Untuk memutus kesempatan tadi, dapatkah diupayakan

daerah-daerah terbuka saja untuk mengakses internet.

Adalah salah satu yang selalu menjadi problem bersama, tidur di

kampus atau mahasiswa yang bukan saja menganggap bahwa kantor UKM

sebagai sekertariat, akan tetapi menggunakan UKM sebagai tempat tidurr,

kosan, atau mungkin hotel. Berbagai macam alasan yang dikeluarkan

mahasiswa untuk mempertahankan kebiasaan ini. Tapi menurut berbagai

pihak memang terasa tidak layak untuk bermalam di kampus. Kegiatan

mahasiswa di malam hari, mengindikasikan pergaulan mahasiswa yang

tidak mencerminkan nilai etika islami

3. Toilet Laki-laki dan Toilet Perempuan

98

Kurangnya fasilitas kamar mandi, bukan sebuah ungkapan tanpa

rasio. Memang bukan untuk mandi penyebutan kamar mandi ini, munkin

lebih pas kalau menggunakan toilet saja, karena hanya digunakan untuk

buang hajat dan kalau memungkinkan untuk mengambil air wudhu.

Kekurangan kamar mandi atau toilet ini memeng secara rasio

perbandingan dengan masyarakat yang ada di dalam kampus STAIN

Salatiga ini terbilang kurang cukup untuk memadai.

Persoalan ini juga merembas pada persoalan pembagian tempat

buang hajat tersebut, mana untuk laki-laki dan mana untuk toilet

perempuan. Melihat kampus umum yang dipandang kampus sekuler saja,

penempatan toilet antara tolilet perempuan dan toilet laki-laki bukan

sekedar kamar yang berada pada satu tempat melainkan pemisahan tempat

dalam satu gedung yang biasanya memiliki jarak yang cukup, paling tidak

dipisah oleh ruang-ruang, sehingga dapat digambarkan toilet laki-laki dan

toilet perempuan berada di ujung gedung berlawanan.

Untuk menambah dan mengikat karakter yang religious dan

mengedepankan akhlak al-karimah, dapat dilakukan ketika istirahat dapat

juga dihangatkan oleh musik-musik religious kalau bukan musik

instrumental classic, seperti Beethoven, Mozart, atau Sebastian Bach.

Dilanjutkan setelah shalat zhuhur berjamaah dengan disisipi tausiah-

tausiah yang diputar kembali di ruang-ruang dengan pararel IT.

Perlu perhatian khusus bagi perokok, kalau tidak berhak untuk

melarang merokok; melalui kesadaran membuang puntung, tempat

99

merokok, merokok dan membuang punting tidak boleh di setiap tempat,

harus ada tempat khusus.

4. Kebersihan

Kebersihan di lingkungan kampus dapat dipastikan menjadi

wilayah pemikiran dari seluruh civitas akademika STAIN Salatiga, baik

kebersihan lingkungan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata,

misalnya halaman-halaman yang dimiliki oleh kampus STAIN belum

dilihat dari segi estetika, ruang halaman yang tidak begitu luas, plus

kesadaran masyarakatnya untuk memperhatikannya serta masih

menyerahkan pada OB-OB atau petugas kebersihan. Mahasiswa masih

membuang sampah sekenanya, karena dianggap tidak tersedianya tong-

tong sampah

Masih banyaknya sampah berserakan adalah bukti tidak

terbangunnya kesadaran dalam pribadi-pribadi masyarakat kampus.

Kebersihan harus menjadi wilayah tidak bisa dikesampingkan perannya,

karena dengan kondisi yang bersih dan nyaman semua proses pendidikan

perkuliahan akan kondusif.

5. Suasana Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Kegiatan Perkuliahan

Sekertariat Ukm-ukm yang kumuh. Suasana kampung teater yang

tidak indah dan rapi. Ruang teater posisinya kurang tepat, mestinya

dilokasi yang tersembunyi.Terganggu oleh kegiatan atau latihan UKM

teater dan music di dekat ruang kuliah atau di lingkungan kampus pada

jam perkuliahan, bahkan waktu-waktu shalat. Sehingga seharusnya

kegiatan-kegiatan itu diupayakan pada waktu bukan jam perkuliahan.

100

Penataan tempat ukm yang kurang reresentatif, sehingga sering

mengganggu kegiatan perkuliahan. Karakter dan peranggan masyarakat

UKM kurang mendapat contoh dari senior dalam berakhlak, dan kegiatan

malam hari harus ditiadakan, lembur harus selesai jam 20.

6. Hubungan Mahasiswa dan Dosen

Hubungan sosial antara mahasiswa dan dosen kurang baik,

kebersihan kurang medapat perhatian baik kebersihan tempat maupun

pakaian. Sosialisasikan peraturan yang massif, bimbingan akhlak terkait

dengan mata kuliah, demonstrasikan dalam sosialisasi, adanya kampanye

hidup bersih. Hindari mahasiswa yang sering ijin dengan menggunakan

fasilitas sms

Masih adanya suasana dilingkungan karyawan dan dosen yang

kurang mendukung terciptanya suasana akhlakul karimah, misalnya

pelayanan kurang ramah yang terkesan angker di mata mahasiswa, dan

terdapat mahasiswa kurang rajin dalam mengikuti perkuliahan

7. Sosialisasi Shalat Berjamaah dan Kegiatan Perkuliahan

Masih ada perkuliahan yang berjalan sementara waktu shalat sudah

tiba, buat jadwal kuliah yang disesuaikan dengan jadwal shalat, jika tidak

buata jadwal yang meniadakan jamperkuliahan pada waktu-waktu shalat.

Kesadaran beribadah belum tumbuh pada sebagian mahasiswa dan civitas

akademik. Perlu adanya spiritual and social life skill melalui tadarus

alquran, pengajian, dll.

Beberapa dosen juga menyarankan untuk mengampanyekan shalat

berjamaah di masjid lingkungan kampus, buatkan peraturan khusus untuk

101

hari jumat, misalnya 15 menit sebelum masuk waktu jumat aktivitas

kampus sudah harus berhenti. Dan menghiasi ruangan-ruangan kelas

dengan kaligrafi ayat-ayat yang menekankan pada pemebentukan karakter

yang etis. Sehingga seluruh civitas dapat termotivasi.

8. Kebijakan

Beberapa harapan dan masukan dari beberapa sebagian besar dosen

untuk membuat kontrak atau peraturan kampus mengenai kegiatan

mahasiswa yang diadakan di malam hari. Masukan untuk adanya peratuan

tersebut misalnya; kgiatan malam hari harus selesai sekitar jam 22.00 dan

keadaan kampus harus kosong, kecuali mereka yang mempersiapkan

kegiatan esok harinya melalui ijin khusus dari lembaga. Dan ini sebetulnya

sudah berjalan beberapa waktu yang disosialisasikan oleh kemahasiswaan

baik Puket III bidang kemahasiswaan, UPK, dan mahasiswa sendiri

diberbagai kesempatan, karena sebenarnya peraturan tersebut juga sudah

dikeluarkan oleh ketua STAIN.

Mahasiswa juga memandang perlu terbentuknya dewan etika,

mengenai perilaku mahasiswa. Sebenarnya dewan etik sudah terbentuk

yang di dalamnya terdapat pejabat STAIN Salatiga, UPK, ketua Jurusan,

kaprodi, dan beberapa dosen yang pernah mengemban tugas di bidang

kemahasiswaan. Dewan etik ini memang belum terlalu banyak menyikapi

penyimpangan prilaku mahasiswa yang masih dalam katagori wajar,

artinya dewan etik hanya menyikapi dan bertugas masih terbatas pada

penanganan persoalan-persoalan yang sangat melewati batas kewajaran

atau penyimpangan perilaku yang berat. Misalnya kasus asusila hubungan

102

suami yang dilakukan oleh sepasang mahasiswa yang belum sah. Selain

itu kasus pencurian dan lain sebagainya yang itu merugikan pihak lain.

Adanya konsistensi dalam menjaga nilai-nilai akhlak atau karakter

antara pendidik dan terdidik. Pendekatan etika harus dibenahi melalui

dualmetode yaitu metode secara teoritis maupun praktis sehingga

mendekati ke holistik. Untuk merealisaikannya lebih ditekankan pada

peraktis pembiasaan. Sementara secara teoritis adakan kuliah-kuliah

tematik; tema etika berhubungan sosial, etika sopan antun, tata karma, dan

kajian budaya. Adanya sinergisitas antarcivitas akademik STAIN Salatiga

menjadi kunci utama untuk membentuk karakter manusia yang beretika.

Kampus terkesan tidak ada regulasi yang jelas dan terkesan tidak

berani untuk menjalankan regulasi kalaupun ada. Buat regulasi, tegakan

aturan, perkuat pengawasan, dan pembinaan berikan teladan yang baik.

Terbentuknya komitmen bersama yang mengarah pada akademik murni

bukan kepentingan golongan. Pejabat kampus yang sok bergaya humanis

terhadap mahasiswa tertentu sehingga kejorokan tetap tidak tersentuh, dan

tidak ada penghargaan atas mahasiswa yang berprestasi, hal ini harus

dikondisikan secra berkesinambungan, sinergisitas antara civitas

akademik.

Orientasi awal hendaknya ditekankan pada etiket, membentuk

satgas etika mahasiswa (wilayatul hizbah). Sosialisasikan tata tertib

antaracivitas akademik, bangun kebersamaan untuk menegakan dan

menegaskan, mengingatkan untuk berprilaku religious, semua bertanggung

jawab. Pegawai dosen dan karyawan jangan melulu kerja untuk uang,

103

mahasiswa dalam situasi antara childhood dan dewasa bukan berarti

disalahkan dan mahasiswa yang memiliki budaya yang heterogen, tidak

semua mahasiswa lulusan pesantren atau lembaga sekolah agama.

dibutuhkan pendekatan personal pada anak didik atau mahasiswa. Mulai

dari dosen dan karyawan. Perlu adanya spiritual and social life skill dan

Training motivasi. Bimbingan akademik perlu dioptimalkan, dank arena

masih banyak mahasiswa STAIN yang tidak dapat membaca al-Quran,

maka perlu diadakannya kursus atau lembaga khusus untuk menjadikan

mahasiswa mampu BTQ karena kita menerima mereka seakan tidak ada

standar BTQ.

Setiap dosen harus bersedia memberlakukan disiplin di kelasnya

misalnya melalui pelarangan bagi mahasiswanya untuk mengikuti

kuliahnya kalau masih menggunakan pakaianyang tidak sopan, puket III

harus membimbing secara priodik guna tercapainya akhlaqul karimah.

B. Focus Group Discussion (FGD) dengan Mahasiswa

1. Pergaulan Antarmahasiswa

Keprihatinan mahasiswa juga tidak jauh berbeda dengan apa yang

dirasakan oleh dosen mengenai pergaulan antara mahasiswa laki-laki dan

mahasiswa perempuan. Pergaulan ini mungkin lebih fulgar dan lebih

bebas. Tidak ada lagi rasa canggung atau risih ketika mereka melakukan

‘ngobrol’ atau bercakap-cakap. Pergaulan sangat terbuka denga prilaku-

prilaku dan bahasa tubuh yang menandakan kemesraan.

104

Mengakses internet di tempat-tempat tertentu yang lebih tertutup;

di tiang-tiang gedung perpustakaan, di lorong antargedung, dan di emperan

kelas yang terhalang pager, menjadi sarana pergaulan mereka karena

menggunakannya dalam kondisi berduaan antara laki-laki dan perempuan,

sehingga sedapat mungkin kampus untuk tidak memfasilitasi (hot spot)

pada tempat-tempat yang dapat digunakan untuk berdua-duaan. Untuk

menambah kepedulian kita terhadap koondisi ini bisa dibantu alat

pemantau berupa pemasangan CCTV di ruang-ruang pojok yang dijadikan

mojok mahasiswa-mahasiswi

Kemudian yang lebih menarik lagi adalah mahasiswa-mahasiswi

STAIN Salatiga juga sebagai masyarakat yang sangat terbuka untuk

menggunakan bahasa-bahasa prokem, walaupun hal ini disadari dan dapat

dianggap hal yang biasa, mengingat budaya terlalu sulit untuk difilterisasi,

akan tetapi penggunaannya tidak harus mengalahkan intensitas dalam

penggunaan bahasa-bahasa ilmiah dan bahasa-bahasa islami yang sopan

dan enak didengar. Tutur kata yang kasar tidak mencerminkan insan

akademis terlebih insan STAIN Salatiga yang bercirikan islami. Maka

dibutuhnya konseling untuk penataan akhlakulkarimah

2. Hubungan Dosen dan mahasiswa

Kondisi kedisiplinan antara dosen dan mahasiswa kurang

terbangun, baik dalam menjalankan perannya maupun dalam

memposisikan dirinya sebagai manusia. Zaman memang sudah berubah,

umur sudah bertambah, bukan berarti kebiasaan kita ketika kecil yang

selalu diajarkan mengenai hormat dan menghargai sopan santun, harus

105

juga bubrah, ketika berada di waktu kuliah. Dosen sebagai guru dan orang

tua harus dihormati oleh mahasiswa, begitu juga mahasiswa harus dihargai

oleh dosen, sehingga tercipta suana yang akrab, dan harmonis antara dosen

dan mahasiswa.

Dosen harus memberi uswah, karena dosen dijadikan cermin oleh

mahasiswa. Dosen bukan sekedar berperan sebagai penyalur ilmu secara

kognisi, akan tetapi dosen harus lebih dari sekedar itu. Dosen harus

menumbuhkan dan menyalurkan pekerti, menularkan prilaku yang baik,

dan menumbuhkan sikap egaliternya dalam kehidupan kampus. Agar

terciptanya suasana yang kekeluargaan, nyaman, dan system partnership

yang humanis. Maka tidak salah kemudian ketika dosen dan mahasiswa

STAI Salatiga dituntut kepekaan terhadap komitmen pembentukan akhlak

al-karimah sebagai modal utama dalam dunia pendidikan Islam.

Ada sesuatu yang menarik, akan tetapi mungkin dari hampir

setiap kita lupa dan tidak menjalankannya karena dianggap tidak penting.

Ini adalah pelajaran yang kita lupakan, tetapi secara nilai ini adalah materi

dasar dari kita hidup beretika dan bertata karma, sekaligus nilai luhur dari

akhlak al-karimah yang islami, dan yakin ini tidak akan mengurangi nilai

keilmuan bagi siapa yang melakukannya, yaitu pada setiap memulai dan

mengakhiri perkuliahan dengan baca doa, bisa doa almaulhusa, atau doa

apa saja, dan lebih bagus lagi jika selesai materi perkuliahan antara

mahasiswa dan dosen bersalaman, atau mungkin berjabat tangan, karena

agama mengajarkan; sesame mukmin kalau bertemu mengucap salam dan

berjabat tangan.

106

3. Fasilitas

Pembagian tolilet wanita dan laki-laki adalah wilayah yang serius

yang selalu mengisi rongga pikir civitas akademika STAIN Salatiga.

Karena pemisahan secara jelas antara toilet perempuan dan toilet laki-laki

gambaran dari meminimalisir dan meneguhkan etika pergaulan antarjenis

kelamin. Karena nilai kelayakan yang berbicara. Ketika berduaduaan

antara perempuan dan laki-laki mahasiswa dalam mengakses internet

dipandang kurang etis, maka lebih tidak etis lagi adalah ketika toilet

perempuan-dan toilet laki-laki hanya bibatasi selembar dinding dalam satu

pintu. Menjadi pemandangan tidak indah ketika mahasiswa laki-laki

dengan mahasiswa perempuan keluar berbarengan dari toilet ‘berbeda’

padahal mereka memang berbeda pula dalam cara membung hajatnya.

Mading yang berada di dalam kampus belum optimal

penggunaanya, selain jumlahnya yang terbatas. Walaupun internet dan

perpustakaan sudah ada, bukan berarti madding tidak perlu. Mading dapat

menjadi tempat sirkulasi setiap informasi sekaligus wahana kreasi

mahasiswa. Berbagai hhasil kreasi mahasiswa dapat dipublikasikan di

mading tersebut. Sekecil apapun fungsi mading adalah kepastian. Dari

surat kabar hingga pengumuman beasiswa dapat ditempel di mading.

Kebersihan di lingkungan STAIN Salatiga masih harus

diperhatikan lagi, mengingat masih banyak terlihat pojok-pojok kampus

yang kotor, dan tidak tersedianya tempat sampah baik di luar kelas

maupun di dalam kelas, plus belum terbangunnya kesadaran masyarakat

kampus untuk membuang sampah pada tempatnya. Dengan kondisi ini

107

untuk menumbuhkan sikap sadar akan kebersihan maka perlu disediakan

tempat sampah secara memadai baik di ruang kelas maupun di lingkungan

kampus.

Selain kebersihan yang menjadi pemikiran bersama, perihal

merokok pun harus tertangani karena hal ini tidak bisa dipisahhkan dari

ranah kebersihan. Merokok adalah kegiatan yang dapat menimbulkan

tingkat kebersihan kampus berkurang, misalnya ketika selesai merokok

maka punting akan menjadi sampah yang menimbulkan aroma yang tidak

sedap. Membuang puntung rokok sembarangan berakibat pada tingkat

kebersihan kampus. Sampah puntung rokok sangat mengganggu

keindahan kampus, maka perlu dibuat batasan wilayah atau smoking area,

yang dapat membuat nyaman si perokok dan dan tidak mengganggu

kenyamana orang yang tidak merokok

Kesemrautan kampus STAIN Salatiga dapat disebabkan oleh

berbagai factor; selain sempitnya arena kampus, banyaknya jumlah

mahasiswa dan semakin bertambahnya jumlah alat transportasi yang

sebanding dengan jumlah mahasiswa, maka semakin mempersempit

tempat parkir, bahkan yang terparah lagi uara mesin yang masuk ke dalam

ruangan ketika kuliah berlangsung. Hal ini harus cepat tertangani. Solusi

yang bisa dilakukan adalah dilarangnya kendaraan masuk ke halaman

kampus terutama di depan-depan kelas, karena jelas ini akan mengganggu

proses perkuliahan. Atau dapat dilakukan dalam sebulan sekali ada

program one free-day mecine, misalnya.

4. Pakaian

108

Mahasiswa STAIN Salatiga memandang mengenai berpakaian dan

busana memang sangat beragam, akan tetapi rata-rata masuk pada kategori

kurang sopan. Bagi mahasiswa STAIN Salatiga, bahwa pakaian yang

sopan adalah yang tidak ketat, tidak transparan, dan sedikit longgar.

Akan tetapi yag terjadi, faktanya adalah mahasiswa STAIN

Salatiga belum menyadari akan pentingnya identitas dirinya melalui cara

berpakaian dan berbusana. Cara berpakain dan berbusana mereka masih

belum islami; rambut panjang, tindikan, kalungan bagi laki-laki, dan bagi

permpuannya masih menggunakan pakaian ketat, transparan plus seksi.

Padahal kalau pun mengikuti model dan trand harus juga mampu

mengukur dirinya. Mahasiswa harus mampu membedakan mana modis

mana trand, mana yang pas dan cocok dipakai dengan modis-modisan

yang tidak cocok, dan bahkan tidak pas, terlebih berkaitan dengan modis

tapi sopan.

5. Kebijakan

Regulasi dan peraturan harus diberlakukan untuk meredam

pelanggaran etika, sekaligus dapat menjadi acuan bagi mahasiswa dan

umumnya bagi civitas akademika STAI Salatiga. Diadakan sanksi dan

ketegasan bukan berarti mengesampingkan kesadaran mahasiswa,

melainkan sebagai awal langkah untuk menuju kesadaran yang murni.

Sanksi bukan hukuman melainkan proses tegas menunjukan arah menuju

yang lebih benar, ketika dilakukan secara bersamaan dengan pembinaan.

109

Pembinaan dapat dilakukan melalui pembentukan tim, sosialisasi yang

massif, dan kegiatan motivasi yang harus terus menerus dilakukan.

C. FGD dengan Pemilik Kos dan Tokoh Masyarakat di Lingkungan Kos

1. Lingkungan Tempat Kos

Kehidupan anak kos yang berasal dari daerah lain atau kota lain

yang biasa dikatakan dengan anak pendatang, secara otomatis keberadaan

di tempat baru ini sangat berbeda dengan daerah yang mereka tinggali

sebelum kos atau berada dalam lingkungan keluarga. Sehingga mau tak

mau mereka yang berasal dari daerah lain atau kota lain harus bisa

menyesuaikan dengan daerah yang mereka tinggali untuk sekarang ini,

dalam teori sosial akan menimbulkan budaya baru baik yang bersifat

asimilasif atau sekedar akulturatif.

Asimilasi budaya tersebut bisa berbentuk tidak munculnya

kebiasaan-kebiasaan dia ketika dalam lingkungan baru, karena budaya

yang ia bawa tidak mampu hidup atau berlaku di wilayah kosnya. Atau

mungkin hanya bersifat berakulturasi yaitu adanya penggabungan budaya

yang dia bawa dengan budaya tempat kosnya. Akan tetapi dapat dipastikan

bahwa kehidupan anak kos akan mengalami dan diwarnai beberapa hal

baru bagi pelakunya. Di mana hal-hal baru tersebut dapat berupa suatu

pengalaman maupun masalah. Anak kos yang jauh dari orang tua tentu

akan mengalami perubahan drastis dari keseharian mereka sewaktu tinggal

bersama orang tua.

Yang sangat kentara dari perubahan itu salah satunya adalah sistem

pergaulan. Bisa saja pergaulan menjadi sangat terbuka lebar bahkan

110

menghilangnya skat-skat yang biasanya menjadi rambu dalam atau yang

dibentuk oleh keluarganya, hal ini mengharuskan mahasiswa sadar diri.

Jika salah bergaul, tentu akan terjerumus ke dalam hal-hal yang berupa

penyimpangan. Untuk itu, anak kos diwajibkan untuk lebih ekstra hati-hati

dalam bergaul.

Kehidupan anak kos memang dirasa sebagai suatu perubahan, di

mana biasanya kita apabila di rumah selalu dilayani dan diawasi oleh

orang tua. Tapi jika di tempat kos kita akan lebih bebas. Namun,

kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab yang lebih besar.

Karena kehidupan anak kos memiliki bermacam-macam efek, dari positif

hingga negatif.

Kehidupan anak kos memang identik dengan kehidupan yang serba

apa adanya, yang penting bisa kuliah dan bisa makan, walaupun ada juga

yang tidak begitu. Di sinilah kehidupan baru dimulai. Kehidupan yag

mengharuskan kita untuk mandiri. Anak kos dituntut untuk bisa lepas dari

kebisaan-kebiasaan yang dilakukan di rumah, karena kehidupan di rumah

atau tempat asal sangat berbeda dengan kehidupan yang harus dijaani

sebagai seorang anak kos.

Bertalian dengan mahasiswa yang studi di luar daerahnya dapat

dilihat bahwa mayoritas jika bisa memilih mereka akan memilih tinggal

bersama orang tuanya. Hal ini dikarenakan beberapa alasan seperti lebih

nyaman, terjamin, ada yang mengurusi segala kebutuhan mereka, dan

dapat tinggal bersama orang yang mereka sayangi. Namun, ada pula yang

lebih ingin tinggal di rumah mereka sendiri karena akan dirasa lebih

111

tenang. Adapula yang memilih tinggal di tempat kos karena dengan berada

di tempat kos akan membuat mereka lebih bebas tanpa ada tekanan.

Apapun dan di mana pun kita akan tinggal nantinya, tentu diharapkan kita

akan menjadi orang yang bermanfaat di daerah tersebut.

Tempat kos yang mereka sewa, mayoritas sebagai tempat tidur dan

tempat di mana mereka mengerjakan tugas maupun laporan. Karena

sebagai mahasiswa, waktu akan banyak terbuang di kampus. Sabagai anak

kos tentulah mereka dituntut untuk lebih mandiri dalam berbagai hal

karena mereka jauh dari orang tua mereka. Hal-hal seperti ini banyak

menimbukan masalah yang harus dihadapi anak kos. Masalah yang sering

muncul dari kalangan anak kos dimulai dari tempat kos mereka. Banyak di

antara mereka telah nyaman dengan tempat kos mereka karena sesuai

dengan apa yang mereka kehendaki, tempatnya bersih, dekat dengan

kantin tempat makan sehingga mereka tidak repot dalam mencari makan,

dan fasilitas yang membuat mereka nyaman. Namun adapula yang merasa

tidak nyaman karena ketidakmampuan bersosialisasi dengan penghuni lain

dan kondisi tempat kos yang jauh dari harapan mereka.

Kehidupan anak kos yang jauh dari orang tua menjadikan beberapa

dari mereka seolah-olah merasa bebas dari aturan yang selama ini

mengekang mereka. Banyak kabar negatif yang terkadang keluar dari

kehidupan anak kos. Seperti yang telah biasa terdengar yakni tentang

bebasnya anak laki-laki dan perempuan berada di dalam suatu kamar.

Merasa tidak ada pengawasan dari orang tua, mereka berani berbuat

sesuatu yang menyimpang dari nilai dan norma masyarakat. Beberapa dari

112

anak yang kami kami jadikan subjek teliti ternyata telah mengetahui pula

tentang hal ini. Bahwa memang anak kos itu bebas sebebas bebasnya,

apalgi jika tempatt kosnya itu tidak menggunakan peraturan sedikitpun,

tapi masih ada kosan yang memberlakukan beberapa peraturan biasanya

tentang wilayah bertamu dan jam malam.

Baik bagi yang sudah mengatahui maupun belum, mereka

sependapat bahwa mahasiswa yang jauh dari orang tua tidak sepantasnya

melakukan hal seperti itu. Jauh dari orang tua bukan berarti bebas

melakukan apa saja, anak kos jauh dari orang tua karena alasan untuk

kuliah dan belajar bukan untuk bersenang-senang. Jadi, sebagai anak kos

yang jauh dari orang tua seharusnya tidak merasa bebas dari segala aturan

dan bebas melakukan apa saja. Namun, seharusnya mereka mampu lebih

menjaga diri dengan baik dan tidak menyalahgunakan kepercayaan serta

tanggung jawab yang telah diberikan orangtua kepada mereka.

Beberapa solusi mereka kemukakan untuk mengatasi hal tersebut.

Seperti di antaranya mulai dari diri sendiri dengan pandai-pandai menjaga

diri, memperdalam ilmu agama, pilih-pilih dalam berteman, cermat dalam

memilih tempat kos (usahakan agar dekat dengan ibu kos atau pemilik

tempat kos), menjauhi hal-hal yang berbau negatif, dan banyak mengisi

waktu luang dengan hal-hal yang positif.

2. Peranan Mahasiswa di Tempat Kos.

Ada beberapa tipologi peran mahasiswa yang mendiami kosan

yang berada di sekitar kampus STAIN Salatiga, baik sebagai anggota

masyarakat di mana ia tiggal maupun peran aslinya sebagai mahasiswa.

113

Dalam segi peran dalam kemasyarakatan mahasiswa dapat digolongkan

pada; pertama, mahasiswa yang memposisikan dirinya sebagai pendatang

dan hanya berniat tinggal semata guna mendekatkan jarak antara kampus

dan tujuan utamanya yaitu kuliah. Mahasiswa seperti ini tidak terlibat akan

kondisi kehidupan masyarakat lingkugan yang ditinggalinya. Biasanya

mereka hanya melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai

mahasiswa dan sebagai pengontrak. Kewajiban secara administrasi mereka

ikuti seperti memberikan foto kopi identitas, membayar sewa tempat

tinggal, dan menjalankan kuliah. Keterlibatan untuk kerja bakti, jaga

malam atau ronda tidak menjadi penting.

Kemudian tipologi peran yang kedua adalah mahasiswa yang

memposisikan tempat kosnya seperti keberadaannya di rumah dan

lingkungan sendiri. Mahasiswa ini banyak memberikan kontribusi

terhadap lingkungannya. Misalnya dalam dunia pendidikan dengan

mengajar di TPA/TPQ sekaligus menjadi pengurus masjid setempat. Ikut

terlibat secara aktif atas kegiatan-kegiatan yang menjadi program

lingkungan; ronda, mengikuti kerja bersama atau gotong royong, dan lain

sebagainya.

Mahasiswa yang kos dengan memiliki berbagai kemampuannya

yang dapat diaplikasikan pada masyarakat lingkungan kosnya, dapat

dikatagorikan pada tipologi kedua. Mahasiswa ini dapat dipastikan secara

normal dapat dipastikan memiliki perilaku yang baik dan dapat

menjalankan perannya sebagai pribadi yang menjaga dirinya dari prilaku-

perilaku negative.

114

Seperti pengakuan dari beberapa pemilik kos memandang anak-

anak kosnya yang mampu memberikan warna dan ikut terlibat secara

sosial di lingkungannya. Hal ini menjadikan modal bagi masyarakat kosan

untuk ikut membentuk masyarakat yang aman, damai dan religious.

3. Hubungan Sosial Antar Individu Anak Kos

Kos merupakan suatu rantai proses kehidupan yang menuntut

kemandirian serta tanggung jawab yang mutlak dijalani oleh setiap

individu sebagai pendatang terutama yang menuntut ilmu di daerah lain.

Kehidupan sebagai anak kos membuat mereka harus beradaptasi dengan

lingkungan baru, kebudayaan baru dan kebiasaan baru. Kehidupan kos

memang sangatlah berbeda dengan kehidupan di rumah yang memang

serba cukup dan santai. Sedangkan kehidupan sebagai anak kos identik

dengan kehidupan yang serba seadanya, irit, penuh perhitungan, penuh

tanggung jawab dan kemandirian. Tentu saja sebagai pendatang, yang

biasanya ada orang tua yang selalu menemani dan menjaga kita di rumah,

kini jauh dari mereka. Di kos, kita bisa memiliki banyak teman dari

berbagai daerah yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam dan

lingkungan masyarakat di sekitar kost yang pastinya baru.

Sepanjang menjalani kehidupan sebagai anak kos terdapat berbagai

masalah yang dihadapi dari diri sendiri, teman-teman dan lingkungan

sekitar. Dari diri sendiri terdapat banyak konflik yang muncul seperti

ketidaknyamanan, keterasingan, kerinduan akan situasi dan kondisi yang

biasanya. Tetapi lama-kelamaan konflik diri tersebut akan berangsur-

angsur hilang sesudah beradaptasi dengan keadaan, kondisi dan kebiasaan.

115

Kehadiran teman juga sangat penting dan berpengaruh. Dalam berinteraksi

dengan teman satu kos, dibutuhkan sikap penempatan diri yang bagus,

mudah serta bisa diterima oleh dari mulai kakak tingkat, teman seangkatan

hingga adik di bawah angkatan.

Memang, dengan berkos akan malatih jiwa sosial dan kepedulian

kepada orang lain. Karena pada dasarnya secara hakiki, manusia memang

makhluk sosial yang tak pernah lepas dari kebutuhan interaksi dang

hubunagn sosial dengan orang lain. Ada rasa senasib seperjuangan dalam

diri mereka, sehingga muncul solidaritas antar individu dalam kehidupan

sosial mereka. Ego dan sikap mementingkan diri sendiri akan melebur

dengan kepentingan orang di sekitarnya dengan proses sosiaisasi. Selain

itu, rasa empati dan kepedulian akan meningkat seiring dengan

berjalannya waktu. Realitanya, dapat kita lihat misalnya bila ngangkat

jemuran. Seorang anak kos mau repot-repot mengangkat dan mengangkut

jemuran teman sekos sebanyak apapun itu bila hujan turun atau hari sudah

menjelang sore. Walaupun terlihat sepele, tapi ini merupakan contoh

bentuk solidaritas dalam kehidupan mereka.

4. Minimnya Perhatian Dari Orang tua dan Orang Sekitar Kos

Pada prinsipnya, orang tua terkadang memberikan terlalu banyak

pilihan dan ebebasan kepada anaknya. Kebanyakan dari para orang tua

akan beranggapan apabila anaknya yang sudah dewasa tidak perlu untuk

banyak diatur atau diawasi. Mereka harus diberikan kesempatan untuk

mengatur dan mengawasi dirinya sendiri. Rasanya terlalu naif apabila

mengamini sebagian anggapan para orang tua tersebut. Prilaku

116

menyimpang dapat terjadi di kalangan mahasiswa dengan berbagai latar

belakang keluarga dan segala pendidikannya.

Faktor hidup jauh dari orang tua menjadi salah satu faktor kunci,

yang menyebabkan interaksi mahasiswa dan keluarganya kurang

terbangun. Tinggal jauh dari orang tua membuat mereka membutuhkan

sosok yang bisa menjadi tempat untuk berkomunikasi dekat dan berbagi

rasa. Tentunya akan menjadi semakin rumit apabila si anak berasal dari

keluarga yang bermasalah, kemudian mereka tinggal jauh dari orang tua.

Selain kuragnya perhatian orang tua juga minimnya keterlibatan orang-

orang di sekitar kos untuk melibatkan anak-anak kosnya. Tidak semua

tempat kos mahaiswa STAIN Salatiga yang minim dengan pengawasan

warga setempat, tetapi masih terdapat cukup banyak tempat kos yang

relatif minim perhatian ataupun pengawasannya dari warga setempat.

Waktu di siang hari merupakan waktu yang paling jarang untuk interaksi

antara mahasiwa dan lingkungan kosnya. Warga setempat pun kurang

peduli dengan kos-kos yang tidak ditunggu sendiri oleh pemiliknya. Rata-

rata tempat kos mahasiswa STAIN alatiga tidak memiliki peraturan yang

membatasi jam keluar maupun masuk anak kosnya. Jika pun ada

pengawasan dari tidak begitu ketat dan diterapkan dengan kurag konsisten.

5. Sinergisitas Antara Kampus, Warga Tempat Kos, dan Mahasiswa

Diperlukan sinergisitas antar tiga ranah dalam membuktikan

kepedulian terhadap generasi bangsa ini; kampus dan aparat (warga) serta

mahasiswa dalam membangun suasana kehidupan mahasiswa kos yang

aman dan terintegrasi. Kampus sebagai induk mahasiswa yang memiliki

117

tanggung jawab sebagai lembaga pendidkan dan pengajaran, baik secara

kognisi maupun afeksi, bahkan, konasi dan psikomotorik memiliki

kepedulian terhadap kondisi dan perilaku anak didiknya ketika di luar

kampus dan di luar tanggung jawab orang tua di ranah tempat lahirnya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data sebagaimana dipaparkan pada bab terdahulu,

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Gambaran proses pembentukan karakter mahasiswa STAIN Salatiga selama

ini adalah sebagai berikut:

a. Dari sisi aturan yang tertulis dalam tatatertib mahasiswa sebenarnya

sudah cukup memadai, namun belum ada kedisplinan dari lembaga

118

dalam menegakkan aturan tersebut sehingga pelanggaran terhadap

aturan yang ada cenderung dibiarkan dan tidak diberi sanksi yang

terukur.

b. Pembinaan mahasiswa sudah dilakukan melalui sejumlah Unit Kegiatan

Mahasiswa (UKM), namun ketika ada sebagian UKM yang justru

kegiatannya dikesankan oleh banyak pihak melenceng dari visi dan

missi STAIN Salatiga, lembaga belum mengambil tindakan yang

signifikan untuk memperbaikinya.

c. Setiap kelompok mahasiswa sudah ada Dosen Pembimbing

Akademiknya, namun peran Dosen Pembimbing Akademik sebagian

besar belum optimal, masih sebatas berperan dalam hal-hal yang

bersifat administratif akademik, belum menjangkau peran yang lebih

esensial dalam hal pembinaan karakter mahasiswa.

d. Pembinaan mahasiswa sebenarnya telah dimulai sejak mahasiswa baru

mengikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik dan

Kemahasiswaan (OPAK), namun momentum penting untuk

menanamkan nilai-nilai karakter yang baik ini belum dimanfaatkan

oleh lembaga secara optimal karena pelaksana kegiatan ini masih

didominasi oleh mahasiswa. Ironisnya, sejumlah mahasiswa senior

yang ”bermasalah” dalam bidang akademik dan etika justru ikut

menangani kegiatan penting ini. Oleh karena itu, wajar jika dari 800-an

mahasiswa baru angkatan 2012, hampir 400 mahasiswa menyatakan

bahwa pelaksanaan OPAK 2012 kurang baik dan kurang Islami.

119

e. Belum adanya kekompakan dan komitmen yang kuat dari pimpinan,

dosen, dan karyawan dalam pembinaan karakter mahasiswa. Begitu

pula belum ada sinergitas dan kerjasama yang baik antara warga

kampus dengan orangtua/wali mahasiswa, pemilik kos, pemuka

agama, dan ketua RT di sekitar STAIN Salatiga.

2. Masalah-masalah yang dirasakan oleh mahasiswa, orangtua, pemilik kos,

dan masyarakat sekitar, dan para dosen dalam kaitannya dengan karakter

mahasiswa adalah sebagai berikut:

a. Adanya pembiaran terhadap kegiatan dan tampilan sebagian UKM yang

tidak sesuai dengan visi dan missi STAIN Salatiga dimana ekspresi

kegiatannya kadang secara atraktif mengganggu kegiatan ibadah dan

perkuliahan, serta kontradiktif dengan penciptaan suasana kampus

yang religius/Islami.

b. Masih banyaknya mahasiswa yang malas dan tidak disiplin menunaikan

ibadah shalat. Misalnya, ketika waktu shalat Dzuhur/ibadah Jumat

sudah dimulai masih banyak mahasiswa yang nongkrong-nongkrong di

trotoar jalan dan tempat-tempat tertentu di dalam kampus.

c. Masih banyaknya mahasiswa/mahasiswi yang melanggar aturan

berbusana dalam mengikuti perkuliahan dan kegiatan akademik

lainnya. Misalnya, masih banyaknya mahasiswi yang berpakaian ketat.

d. Masih adanya mahasiswa/mahasiswi yang tidur/menginap di kampus

yang memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap norma etika dan

kesusilaan.

120

e. Masih adanya ”pergaulan bebas” antara mahasiswa dan mahasiswa di

tempat-tempat sekitar kos sebagaimana diinformasikan oleh para

pemilik kos, ketua RT, dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar kampus.

f. Belum ditegakkannya aturan tatatertib mahasiswa dan peraturan

akademik lainnya secara tegas dan disiplin.

3. Desain model pembinaan karakter mahasiswa melalui kolaborasi antara

dosen pembimbing, pemilik kos, pemuka agama, dan ketua RT dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Perlunya jalinan kerjasama yang baik antara pihak kampus dengan

pihak-pihak di luar kampus tersebut yang dituangkan dalam bentuk

MoU yang disepakati bersama.

b. Pihak-pihak yang terkait dan terikat dalam MoU tersebut secara

periodik harus bertemu dan bermusyawarah untuk mengevaluasi

perkembangan pembinaan karakter mahasiswa.

c. Perlunya pemberlakuan Program Mentoring Pengamalan Ibadah dan

Akhlaqul Karimah secara berkesinambungan untuk mahasiswa baru

selama satu tahun.

B. Saran-saran

1. Kepada Pimpinan STAIN Salatiga, diharapkan menegakkan aturan

tatatertib mahasiswa dan aturan akademik lainnya secara tegas dan

disiplin, serta memberi sanksi kepada yang melanggar aturan dengan cara

mengoptimalkan peran serta seluruh civitas akademika. Mengingat

berdasarkan hasil angket, dari 800-an mahasiswa baru angkatan 2012,

121

mayoritas mahasiswa (740) menghendaki ditegakkannya aturan tatatertib

mahasiswa secara tegas dan disiplin.

2. Kepada seluruh dosen dan karyawan STAIN Salatiga, diharapkan dapat

menjadi teladan dalam pembinaan karakter mahasiswa dan meningkatkan

mutu layanan akademik dan kemahasiswaan. Mengingat, ibarat

perusahaan yang menghasilkan produk, produk utama suatu lembaga

pendidikan (STAIN Salatiga) adalah terciptanya lulusan yang berkualitas

dalam bidang intelektual, emosional, dan spiritual. Atau, lulusan yang

memilki kompetensi personal/kepribadian, profesional, sosial, dan religius.

3. Kepada seluruh mahasiswa STAIN Salatiga, diharapkan mematuhi

semua aturan tatatertib mahasiswa dan aturan akademik lainnya.

Mengingat, aturan-aturan itu dibuat untuk kemaslahatan seluruh warga

kampus dan terutama untuk kebaikan dan kesuksesan mahasiswa dalam

menempuh studi.

4. Kepada pihak-pihak terkait di luar kampus, diharapkan kepedulian dan

kerjasamanya untuk bersama-sama membina karakter mahasiswa.

122

DAFTAR PUSTAKA

Al Quran dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model Kanan Kiri. 2000.

Semarang: Asy-Syifa’

Afida, Nur. 2009 (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/, diakses tanggal 16 April

2012), Pusat kurikulum.

Adhim, Muhammad Fauzil. 2012. ”Pilar Itu Bernama Adab.” Hidayatullah, Edisi

II/XXIV/Maret 2012.

Agustian, Ary Ginanjar. 2009. Bangkit dengan Tujuh Budi Utama. Jakarta: PT

Arga Publishing.

Al-Jaiziyah, Ibnu Qayyim. 2005. Madarijus Salihin. Terjemahan Kathur Suhardi.

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

123

Anwar, Mohammad Rofiq. 2008. ”Saatnya Pendidikan Indonesia Direvolusi”.

Hidayatullah, Edisi 07.

Asifin. 2001. Jalan Menuju Ma’rifatullah dengan Tahapan (7M). Surabaya: Terbit

Terang.

Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. 2006. Undang-

Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan.

Denzin, NK. 1978. The Research Act: A Theoretical Introduction in Sociolo

gical Methods. McGraw-Hills. New York.

Fillah, Salim A. 2007. Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim. Yogyakarta: Pro-U

Media.

Haekal, Muhammad Hussein. 2000. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera

Antar Nusa.

Hasan, Said Hamid, dkk., 2010. ”Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa”, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran

Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Daya Saing dan Karakter Bangsa.

Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas.

Hasan, Iqbal. 2004. Analisis data Penelitian dengan Statistik. Jakarta : Bumi

Rosdakarya

Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban

Bangsa. Surakarta: UNS Press.

__________, 2010. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.

Surakarta: YumaPustaka.

Husaini, Adian. 2010. “Pendidikan Karakter” dalam REPUBLIKA, 14 juni 2010.

Joice, B. , & Weil, M. 1980. Model of Teaching. New Jersey :Prentice Hall Inc.

Kertajaya, Hermawan. 2010. Grow with Character: The Model Marketing.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kirschenbaum, M. Harmin H. dan S.B. Simon. 1976. Clarifying Values Through

Subject Matter. Minnepolis: Winston Press Inc.

Koesoemo, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman

Global. Jakarta: Grasindo.

124

Miles, MB dan AM Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of

New Methods. SAGE. Beverly Hills.

Moleong, L.J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. 1993. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori

Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. “Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan

Karakter” dalam Arismantoro. Tinjauan Berbagai Aspek Character

Building. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Patton, MQ. 1990. Qualitative Evaluation Methods. SAGE. Beverly Hills.

Prihadi, Endra K, 2099. Breaking Your Mental Block. Jakarta: Gramedia.

Rochyadi, E. 2005. Pengembangan Program Pembelajaran Individual. Jakarta :

Depdiknas

Schertzer, B & Stone, S.C. 1982. Fundamental of Counseling. Boston : Houghton

Miffin Company

Sitorus, MTF. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Dokis. Bogor.

Sugiarto, Ryan. 2009. 55 Kebiasaan Kecil yang Menghancurkan Bangsa.

Yogyakarta: Pinus Book Publisher.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:

Alfabeta

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:

Rosda

Suyanto, 2006. Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global.

Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

Taylor, SJ dan R Bogdan. 1984. Introduction to Qualitative Research Metho

ds: The Search

for Meanings, Second Edition. John Wiley and Sons. Toronto.

Zahruddin A.R. dan Hasanuddin Sinaga. 2004. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta:

Rajawali.

Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam

Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Zuhdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY Press.

125

Lampiran

PANDUAN FOKUS GROUP DISCUSSION (FGD)

HARI/TANGGAL :

TUJUAN :

1. Mengungkap berbagai problema pembentukan karakter mahaasiswa

2. Mengungkap kondisi mahasiswa dari berbagai sudut pandang

3. Menemukan model pembinaan karakter mahasiswa STAIN dari berbagai

perspektif

126

JUMLAH PESERTA :

RUANG :

TUGAS FASILITATOR

1. Menjelaskan tema FGD

2. Mengarahkan kelompok pada tema diskusi

3. Mengupayakan agar semua peserta terlibat secara aktif

4. Berusaha mengurangi dominasi dari salah satu peserta

5. Mengamati peserta dan tanggap terhadap reaksi peserta

6. Menghindari pendapat pribadi

7. Menghindari komentar yang menyatakan setuju/tidak setuju

TEMA DISKUSI

1. Bagaimana pandangan peserta terhadap perikaku dan ahlak mahasiswa

STAIN Salatiga

2. Bagaimana pandangan peserta terhadap cara berpakaian mahasiswa

STAIN Salatiga

3. Bagaimana pandangan peserta terhadap tata cara pergaulan mahasiswa

STAIN Salatiga

4. Bagaimana pandangan peserta terhadap etos belajar mahasiswa STAIN

Salatiga

5. Bagaimana pandangan peserta terhadap keterlibatan mahasiswa STAIN

Salatiga dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan

6. Bagaimana kontribusi mahasiswa dilingkungan tempat tinggalnya

7. Adakakah kasus-kasus yang ditemukan warga masyarakat

(RT/RW/pemilik kost) yang memerlukan penanganan khusus

8. Upaya saja yang sudah dilakukan masing-masing peserta untuk

membentuk karakter mahasiswa

9. Peran apa yang bisa dilakukan peserta dalam membentuk karakter

mahasiswa

10. Kendala apa yanag dialami dalam membentuk karakter mahasiswa

11. Upaya apa saja yanag sudah dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut

127

12. Model kolaborasai yang bagaimana yang seharusnya dikembangkan antara

civitas akademik dengan masyarakat dalam membentuk karakter

mahasiswa yang tanggung dan beraklak islami

13. Apa yang seharusnya dilakukan masing-masing elemen masyarakat dan

civitas akademik dalam membentuk karakter mahasiswa yang tangguh

dan beraklak islami

No. Nama Alamat Jabatan/Status1. Drs. H. Agus Waluyo,

M.Ag.Banyubiru, Ambarawa Puket III

2. Drs. Bahroni, M.Pd. Barukan, Tengaran Kepala UPMA3. Mukti Ali, M.Hum. Tingkir, Salatiga Kepala UPK4. Dra. Lilik Sriyanti,

M.Si.Tegalrejo, Salatiga Direktur Biro

Tazkia5. Kusmono Yudha S.,

SE.Sinoman, Salatiga Staf Akademik

6. Hj. Hartini Jangkungan Pemilik Kost7. Joko Santoso Jangkungan Ketua RT 04/048. Hj. Sri Mulyati Klaseman, Salatiga Pemilik Kost9. Harmuzi Pengilon, Salatiga Pengurus Takmir10. Ir. Sri Budiarti Jl. Osamaliki 36 Salatiga Ketua RT 02/RW 0411. Giyono Jl. Kridanggo no.27 Salatiga Ketua RT 02/0112. Mulyani Jl. Kridanggo no.31 Salatiga Pemilik Kost13. Sugiyanto Jl. Bangau RT 05/09

KlasemanKetua RT

14. Khorifah Jl. Bangau RT 05/09 Klaseman

Pemilik Kost

15. Aris J. Jl. Aliwijayan I/345 Pengilon Pemilik Kost16. Sutomo Jl. Nakulo Sadewo Vc/03 RT Kembangarum17. Hj. Hartini Jl. Bridjend Sudiharto gang

1/2Pemilik Kost

128

129