pengembangan model pembinaan karakter mahasiswa...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN
KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI
DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA
AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA
STAIN SALATIGA TAHUN 2012
Laporan Penelitian Kelembagaan
Dibiayai DIPA STAIN Salatiga Tahun 2012
Disusun Oleh Tim:
Drs. Bahroni, M. Pd. (Ketua)
Mukti Ali, M. Hum. (Anggota)
Dra. Lilik Sriyanti, M. Si. (Anggota)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) SALATIGA
2012
KATA PENGANTAR
1
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kerjasama dari Tim Peneliti,
penyusunan laporan penelitian kelembagaan dengan judul ”Pengembangan Model
Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik
Kos, Pemuka Agama, dan Ketua RT Pada Mahasiswa STAIN Salatiga Tahun
2012” dapat terselesaikan dengan baik.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rujukan dalam
upaya pembinaan mahasiswa STAIN Salatiga menuju terwujudnya
karakter/akhlaq mahasiswa yang mulia serta menciptakan suasana kampus yang
religius.
Tim Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif dari
berbagai pihak terhadap kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini untuk
perbaikan dalam penelitian selanjutnya.
2
ABSTRAK
Pengembangan Model Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen
Pembimbing, Pemilik Kos, Pemuka Agama, dan Ketua Rt Pada Mahasiswa
STAIN Salatiga Tahun 2012. Drs. Bahroni, M. Pd. dkk.
Kata kunci : pembinaan, karakter, mahasiswa
Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin padatingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat dipengaruhioleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan dapat pilakarena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara (Hanum,2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh besar terhadappembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya. Para pemimpinbesar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar-dasar filosofi yangtidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun juga dapatditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi persoalanpembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga, baik yang dipersepsikan olehpara mahasiswa sendiri, orang tua mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT sertamasyarakat di tempat kos mahasiswa, dan para dosen pembimbing; dan (2)merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa STAINSalatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT tempatkos mahasiswa.
Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) dari sisi aturan yangtertulis dalam tatatertib mahasiswa sebenarnya sudah cukup memadai, namunbelum ada kedisplinan dari lembaga dalam menegakkan aturan tersebut sehinggapelanggaran terhadap aturan yang ada cenderung dibiarkan dan tidak diberi sanksiyang terukur; (2) pembinaan mahasiswa sudah dilakukan melalui sejumlah UnitKegiatan Mahasiswa (UKM), namun ketika ada sebagian UKM yang justrukegiatannya dikesankan oleh banyak pihak melenceng dari visi dan missi STAINSalatiga, lembaga belum mengambil tindakan yang signifikan untukmemperbaikinya; (3) setiap kelompok mahasiswa sudah ada Dosen PembimbingAkademiknya, namun peran Dosen Pembimbing Akademik sebagian besar belumoptimal, masih sebatas berperan dalam hal-hal yang bersifat administratifakademik, belum menjangkau peran yang lebih esensial dalam hal pembinaankarakter mahasiswa; (4) pembinaan mahasiswa sebenarnya telah dimulai sejakmahasiswa baru mengikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik danKemahasiswaan (OPAK), namun momentum penting untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang baik ini belum dimanfaatkan oleh lembaga secara optimalkarena pelaksana kegiatan ini masih didominasi oleh mahasiswa. Ironisnya,sejumlah mahasiswa senior yang ”bermasalah” dalam bidang akademik dan etikajustru ikut menangani kegiatan penting ini. Oleh karena itu, wajar jika dari 800-anmahasiswa baru angkatan 2012, hampir 400 mahasiswa menyatakan bahwapelaksanaan OPAK 2012 kurang baik dan kurang Islami; dan (5) belum adanya
3
kekompakan dan komitmen yang kuat dari pimpinan, dosen, dan karyawan dalampembinaan karakter mahasiswa. Begitu pula belum ada sinergitas dan kerjasamayang baik antara warga kampus dengan orangtua/wali mahasiswa, pemilik kos,pemuka agama, dan ketua RT di sekitar STAIN Salatiga.
4
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
BAB III : METODE PENELITIAN
BAB IV : PAPARAN DATA PENELITIAN
BAB V : PEMBAHASAN
BAB VI : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin pada
tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat
dipengaruhi oleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan
dapat pila karena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara
(Hanum, 2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh
besar terhadap pembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya.
Para pemimpin besar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar-
dasar filosofi yang tidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun
juga dapat ditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.
Rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) bab II pasal 3 adalah sebagai berikut: "Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).
Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan
pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk
6
warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah
swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang
berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan
paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya
dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa
semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara
Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas
pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan
model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan
tujuan utama tersebut. Dengan kata lain, pendidikan/pembinaan karakter
merupakan fungsi pokok dari pendidikan, baik yang dilaksanakan pada jalur
pendidikan informal, formal, maupun nonformal.
Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010),
pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk member keputusan baik-buruk, memelihara
apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari
dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan
karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tantang hal mana yang baik
sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan
salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya
(psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan
7
tetapi juga “ merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan
perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada
habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter
telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya,
dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1), Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4)
Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa
Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12)
Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15)
Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18)
Tanggung Jawab (Pusat Kurikulum, 2009:9-10).
Pendidikan dan pembinaan karakter di perguruan tinggi Islam negeri
(PTAIN) tentu lebih dituntut oleh masyarakat. Secar sepesifik, pembinaan
karakter mahasiswa PTAIN harus diarahkan pada terbentuknya sikap dan
perilaku etis, yang meliputi: istiqamah (integritas), ikhlas, jihad, dan amal
saleh. Energy positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan
orang yang berkarakter, yaitu orng yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs
al-mutmainnah) dan ber amal saleh. Aktualisasi orng yang berkualitas ini
dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur
karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity
(kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional) (Tobroni, 2011).
Ironisnya, akhir-akhir ini persoalan pendidikan dan pembinaan
karakter mahasiswa PTAIN banyak mendapat sorotan. Alih-alih menjadi
panutan dalam religiusitas, pendidikan di PTAIN dipandang telah melenceng
8
dari misi pendiriannya. Munculnya buku yang berjudul Ada Permutadan di
IAIN yang ditulis oleh Hartono Jaiz dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar
Jakarta pada tahun 2005, sempat menggegerkan PTAIN di Indonesia,
utamanya di Jakarta dan Yogyakarta. Karena berdasarkan pemaparan buku
tersebut bahwa IAIN dan kawan-kawannya, yang dulu menjadi tumpuan
harapan bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan dakwah dan sekaligus
menjadi ting-tangnya segala permasalahan keagamaan di Indonesia, telah
berubah arah, yaitu dari dakwah keislaman kepada pemurtadan.
Demikian menurut mereka, karena PTAIN di Indonesia, tidak lagi
menjadikan kampus sebagai sarana untuk mendidik akhlak dan perilaku yang
baik, tetapi hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengasah otak belaka.
Sebagai akibatnya, masalah-masalah keagamaan hanya dijadikan sebagai
wacana yang selalu didiskusikan dan dibicarakan, tetapi tidak diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih dari itu, banyak di antara
mahasiswa dan lulusan PTAIN tidak mau shalat dan enggan menjalankan
syariat Islam. Di samping itu, pemikiran Islam liberal yang belakangan ini
sedang naik daun itu, dijadikan sebagai “trend pemikiran” utama di kampus-
kampus itu, sehingga banyak kalangan menilai bahwa PTAIN telah kehilangan
“sifat dasar”nya dan berubah menjadi agen barat untuk “membaratkan”
pemikiran para lulusannya. Karena itu pula, banyak pengamat menilai bahwa
PTAIN di Indonesia telah kehilangan watak kulturalnya, yang di samping
memperhatikan aspek-aspek kognitif-intelektual, juga memperhatikan aspek-
aspek afektif, psikomotorik, dan spiritual (Miftahul Huda, 2006.
http://drhmiftahulhudamag.blogspot.com/2009).
9
Persoalan pembinaan karakter mahasiswa PTAIN yang belum tersedia
sarana ma’had (asrama) yang mampu menampung seluruh mahasiswa.
Pengawasan terhadap kehidupan dan aktivitas mahasiswa di luar kampus,
bukanlah persoalan yang mudah. Oleh karena itu, faktor individu mahasiswa
dengan segala heterogenitasnya sangat dominan.
Dalam konteks STAIN Salatiga, dapat diidentifikasi paling tidak
terdapat empat faktor yang mempengaruhi pembinaan karakter dan perilaku
mahasiswa. Pertama, mahasiswa STAIN mempunyai latar belakang keluarga
yang heterogen dari sisi keberagamaan, bukan hanya dari kalangan santri.
Kedua, dalam usia mahasiswa, secara umum karakter/kepribadian seorang
anak telah terbentuk oleh lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat di
mana merka dibesarkan. Ketiga, mahasiswa STAIN Salatiga memiliki latar
belakang pendidikan yang heterogen, tidak hanya berasal dari
madrasah/lembaga pendidikan keagamaan. Keempat, dalam sitem pendidikan
tinggi secara umum, dan STAIN Salatiga pada khususnya interaksi mahasiswa
dengan dosen (sampai saat ini) sangat terbatas pada situasi perkuliahan dan
pembimbimg akademik. Sangat sedikit forum dan media yang
menyambungkan dosen dengan mahasiswa di luar perkuliahan, khususnya
yang berkaitan dengan pembinaan kepribadian mahasiswa.
Meski demikian hal di atas tentu tidak boleh menjadi alasan bagi
lembaga untuk lepas tangan dari tanggung jawab pembinaan karakter
mahasiswa. Karena kenyataannya walaupun mahasiswa dianggap telah
dewasa, namun hakekatnya masih memerlukan pendampingan dan pembinaan
untuk menemukan jatidiri dan menempa kepribadian sehingga memiliki
10
karakter yang unggul, tangguh, dan religius. Pembinaan religius ini penting
agar mahasiswa memiliki self control, ketika mereka jauh dari keluarga, serta
bebas dari pengawasan kampus di luar jam kuliah. Hasil Penelitian Nur Afida,
2009 (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/, diakses tanggal 16 April 2012),
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas
dengan self regulation mahasiswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, diperlukan adanya pembinaan
karakter mahasiswa, khususnya yang tinggal di tempat kos, dengan
melibatkan dosen, pemilik kos, serta ketua RT dalam suatu bentuk kolaborasi
yang efektif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran proses pembentukan karakter mahasiswa STAIN
Salatiga selama ini?
2. Masalah-masalah apakah yang dirasakan oleh mahasiswa, orang tua,
pemilik kos, dan masyarakat sekitar, serta para dosen dalam kaitannya
dengan pembinaan karakter mahasiswa?
3. Bagaimanakah desain model pembinaan kareakter mahasiswa melalui
kolaborasi antara dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT?
4. Bagaimana dampak penerapan model pembinaan karakter mahasiswa
melalui kolaborasi tersebut?
11
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi persoalan pembinaan karakter mahasiswa STAIN
Salatiga, baik yang dipersepsikan oleh para mahasiswa sendiri, orang tua
mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT serta masyarakat di tempat kos
mahasiswa, dan para dosen pembimbing.
2. Merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa
STAIN Salatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan
ketua RT tempat kos mahasiswa.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
Secara teoritik, temuan penelitian ini akan memberikan sumbangan
pemahaman tentang problematika pembinaan karakter mahasiswa, sebagai
bagian dari konsep pendidikan di kampus yang selama ini belum banyak
tergarap.
Dari segi praksis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan
oleh pihak-pihak sebagai berikut:
1. STAIN Salatiga khususnya, dan perguruan tinggi Islam pada umumnya
dapat memanfaatkan model yang dihasilkan untuk mengantarkan
mahasiswa memiliki karakter yang unggul, tidak saja melalui proses
pembelajaran di kampus, namun juga kolaborasi dengan berbagai pihak.
12
2. Orang tua mahasiswa dapat melihat potret kehidupan putra-putrinya di
luar perkuliahan, sehingga dapat memberikan bekal pembinaan dalam
rangka membentuk karakter yang baik dan Islami.
3. Para pemilik tempat kos, pemuka agama/masyarakat di daerah tempat
tinggal mahasiswa, dapat menjalin hubungan timbal balik dengan pihak
kampus, sehingga dapat bersama-sama memfasilitasi tumbuh kembang
mahasiswa guna menemukan jatidiri yang berkarakter mulia.
E. Model Hipotetik
Berdasarkan kajian teori pembinaan karakter mahasiswa dan
pengamatan di lapangan, diajukan hipotesis berupa “Model Pembinaan
Karakter Mahasiswa melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik Kos,
dan Ketua RT tempat Kos Mahasiswa” sebagaimana divisualisasikan pada
gambar sebagai berikut.
13
14
PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MEHASISWA
FGD Peneliti Bersama Dosen
FGD Bersama Mahasiswa
FGD Bersama Pemilik Kos/RT
PERUMUSAN MODEL
RENCANA PEMBINAANTujuan
Materi
Metode
Alat
evaluasi
IMPLEMENTASIImplementasi Oleh
Dosen Pembimbing
Implementasi Oleh Pemilik Kos
Implementasi Oleh Pemuka Agama (Pengurus Masjid/ Mushola)
Implementasi Oleh Ketua RT
EVALUASIEvaluasi
Penyelenggaraan
Evaluasi Pencapaian Tujuan Pembinaan
EVALUASI DAN PERBAIKAN MODEL
PEMBAKUAN DAN IMPLEMENTASI MODEL PEMBINAAN KARAKTER
MAHASISWA
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Model Kolaboratif
1. Model
Shertzer & Stone (1982:62) mengemukakan bahwa “model refers
to the representation from which a final product is abstracted of its
inherent worth” . Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir
yang diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi
sifatnya. Mills et al (1989:4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk
representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang
atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang
terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya
merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep.
Visualisasi atau konstruksi itu dirumuskan melalui upaya mental berupa
cara berpikir (ways of thinking) tertentu untuk melakukan konkretisasi
atau fenomena abstrak. Selanjutnya Shertzer & Stone (1982:62)
menjelaskan komponen-komponen yang terkandung dalam sebuah model,
yaitu: historical context, rational, and/or basic assumtion, advantages and
disadvantages outcomes and/or implication. Sedangkan Corey (1977:10)
menggunakan komponen-komponen: introduction, key concept, the
therapeutic, process, aplication: therapeuthic, techniques and pocedures.
Sementara Kartadinata (2008) mengemukakan bahwa: “model
merupakan perangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi
secara empirik yang diorganisasikan ke dalam sebuah struktur (kerja)
untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku atau arah
tindakan”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model adalah suatu
rencana atau pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk,
merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu.
Dalam konteks pembelajaran, Chauhan (Rochyadi, E. 2010:44)
mengemukakan bahwa “model of teaching can be defined as an
15
intructional design with describes the process of specifying and producing
environment situsional with cause the student to interact in such away that
spesific change occurs in the behavior”. Sejalan dengan pernyataan
tersebut Reigluth (1983) mengemukakan bahwa “intructional model is
merely a set of strategi components, it is complate method with all of it
parts (elementary components) describes in details”. Model pembelajaran
merupakan suatu kumpulan tentang komponen-komponen strategi, hal itu
merupakan suatu metode yang lengkap yang menguraikan semua bagian-
bagiannya (komponen-komponen dasar) secara rinci.
Joice & Weil (1980:1) mengemukakan bahwa “a model of teaching
is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (long-term
course of studies) to design instructional materials and to guide
instructional in the class room and other settings” selanjutnya Joice &
Weil (1980:191-194) mengemukakan enam komponen yang terkandung
dalam model pembelajaran: 1) orientasi; orientasi model mencakup tujuan,
asumsi teoretik, prinsip dan konsep umum, yang terkandung dalam model;
2) pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian
kegiatan yang konkret di kelas; 3) sistem sosial yang dikembangkan;
gambaran peran dan hubungan guru-siswa dan norma apa yang mengikat
mereka di kelas; 4) prinsip-prinsip mereaksi ; bagaimana guru menghargai
dan merespon siswa; 5) sistem penunjang yang diharapkan; gambaran
tentang pemanfaatan fasilitas pendukung yang mendorong siswa mudah
belajar; dan 6) dampak instruksional dan penyerta; dampak yang
ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan pendapat para ahli pendidikan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual
yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu
Berdasarkan komponen-komponen model yang dikemukakan di
atas, maka komponen-komponen model pengembangan karakter
mahasiswa meliputi: (1) rasional, (2) visi dan misi; (3) tujuan; (4) asumsi
16
dasar dan prinsip kerja; (5) pendukung sistem; (6) teknik dan prosedur
yang meliputi pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam
serangkaian kegiatan secara.
2. Kolaboratif
Kolaborasi berasal dari bahasa Inggris ‘collaborate’ yang artinya
bekerjasama. Bekerjasama pada umumnya diperlukan dalam sebuah tim
dan merupakan cara yang digunakan para profesional untuk mencapai
tujuan bersama, sebagaimana diungkap oleh Frans & Bursuck (1994:76)
yang mengatakan bahwa “collaboration is a style professional chose to
use in order to accomplish a goal they share”. Kolaborasi merupakan
proses interprofesional untuk mengkomunikasikan dan pengambilan
keputusan dari beberapa pengetahuan dan ketrampilan yang terpisah-pisah
menjadi lebih sinergi (National Health and Medical Reseach Council,
2010 : 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa kolaborasi tidak sekedar bekerja
yang positif yang melibatkan beberapa profesional, melainkan sebuah cara
kerja untuk mengorganisir, melaksanakan jaringan kerjasama dalam
kelompok secara efektif dan komprehensif dengan melibatkan sumber
daya yang tersedia. Johnson & Johnson (1987) menyatakan bahwa
kerjasama (cooperating, collaborate, joining together) adalah
keikutsertaan individu-individu dalam suatu kegiatan yang membentuk
suatu hubungan interpersonal antar anggota dalam sebuah tim. Individu
yang terlibat dalam kolaborasi mempunyai arah dan tujuan yang tidak
berbeda, karenanya tim harus melakukan perencanaan bersama dan
17
melaksanakannya secara bersama pula, sebagaimana diungkap oleh Idol &
Baran (dalam Schmidt 1999) bahwa : “ in collaboration, planning and
implementing are joint effort”. Keberhasilan sebuah tim memerlukan
partisipasi dan keterlibatan secara aktif dari anggota tim.
Cook & Frend (dalam Frans & Bursuck 1996) mengemukakan
beberapa karakteristik dalam sebuah kolaborasi yaitu : a. adanya
kesetaraan hubungan; b. tujuan bersama; c. tanggung jawab terhadap
hasil; d. mampu menjadi sumber; e. kepercayaan, kerjasama antara antara
kolaboraator didasarkan pda sikap saling percaya; f. kepentingan subjek
menjadi tujuan utama.
Berdasar berbagai pengertian diatas, model kolaboratif dapat
diartikan sebagai pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk,
merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu melalui kerjasama antara
beberepa unsur yang terlibat dalaam merancang model. Pihak-pihak yang
dilibatkan dalam merancang model adalah orang yang mengetahui tentang
substansi masalah yang sedang dikaji. Kolaborasi bisa melibatkan
masyarakat, pakar dalam bidang keahlian tertentu, mahasiswa serta pihak
lain yang dianggap bisa berkontribusi dalam pengembangan model
B. Urgensi Pendidikan Karakter
Sebagian besar pakar pendidikan menyepakati bahwa aktivitas
pendidikan semestinya dapat mengembangkan peserta didik dalam tiga ranah
utama yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, atau pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Artinya, setelah menyelesaikan suatu program pendidikan
tertentu semestinya peserta didik menjadi sosok yang berpengetahuan luas,
18
berakhlak terpuji, dan keterampilan tertentu/profesional di bidangnya. Dalam
proses pedidikan, ketiga ranah tersebut semestinya mendapatkan perhatian
yang seimbang sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Namun, jika kita mengamati fenomena yang tampak di masyarakat, agaknya
aktivitas pendidikan nasional kita cenderung kurang serius dalam menggarap
ranah afektif, padahal ranah ini merupakan hal yang sangat penting dalam
pembentukan karakter bangsa.
Sehubungan dengan kurangnya perhatian pendidikan nasional
terhadap ranah afektif tersebut, rasanya ada benarnya jika Anwar (2008)
menyatakan bahwa dunia pendidikan kita, sering tercoreng oleh perilaku
peserta didiknya. Media cetak atau elektronik sudah biasa memberitakan
peristiwa negatif yang dilakukan para siswa seperti tindakan amoral, seks
bebas, masalah pornografi, tawuran, merokok, atau penyalahgunaan narkotika.
Menurutnya, kasus-kasus seperti itu merupakan bentuk kegagalan sistem
pendidikan di negeri ini, sebab lebih dari 90 persen konten pendidikan di
Indonesia mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sedangkan
aspek moralitas atau akhlak hanya mendapatkan porsi sekitar 10 persen.
Lebih lanjut Anwar menyatakan bahwa ketimpangan semacam inilah
yang menyebabkan lulusan pendidikan kita tidak memiliki hati nurani saat
ketika telah terjun di masyarakat. Beliau memberikan contoh, betapa banyak
perguruan tinggi yang meluluskan sarjana ekonomi dan sarjana hukum, namun
korupsi masih merajalela dan penegakan hukum di Indonesia masih carut
marut dan jauh dari harapan masyarakat. Kondisi yang sangat memprihatinkan
ini akibat sistem pendidikan yang kurang memperhatikan masalah moralitas.
19
Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut, beliau
mengharapkan agar pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) sebagai jabaran dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). PP ini akan
menjadi payung hukum pelaksanaan sistem pendidikan yang mengedepankan
nilai, akhlak, dan moral. Dengan PP itu, UU Sisdiknas mempunyai kekuatan
untuk diimplementasikan, sehingga pendidikan tidak hanya memperhatikan
aspek fisik dan kognitif saja. Akan tetapiyang lebih penting, dapat
mengantarkan peserta didik dapat menjadi orang yang bertakwa dan berakhlak
mulia. Dengan ketakwaan dan akhlak yang baik, pengembangan iptek
otomatis akan lebih baik. Membangun karakter bangsa jauh lebih penting
daripada mengejar kemajuan iptek. Oleh karena, pendidikan pada hakikatnya
bukan sekedar transformasi keilmuan, tetapi lebih luas lagi yaitu menanamkan
nilai-nilai moral atau akhlak mulia.
Implementasi UU Sisdiknas yang lebih berorientasi pada
pengembangan iptek (aspek kognitif dan psikomotor) itu, sebenarnya juga
belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tercermin antara
lain dari pernyataan Suyanto (2006), bahwa lulusan pendidikan kita tidak
memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan
kreatif. Akhirnya, mereka yang mengenyam pendidikan malah menjadi
"pengangguran terselubung". Setiap tahunnya, pendidikan nasional telah
memproduksi pengangguran terselubung, yang umumnya mereka adalah
lulusan-lulusan pendidikan akademik.
20
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang ini sangat
urgen untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui
atau tidak, saat ini sedang terjadi krisis atau berbagai penyimpangan yang
nyata dan sangat mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan
generasi penerus bangsa: anak-anak/peserta didik. Krisis itu, menurut Sugiri
Syarif sebagaimana dikutip Zubaedi (2011:1-2) antara lain berupa
meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak
dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, kebiasaan menyontek,
penyalahgunaan obat-obatan (narkoba), pornografi dan pornoaksi,
pemerkosaan, serta aborsi. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak
dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena perilaku
menyimpang ini telah menjurus tindakan kriminal.
Kenakalan remaja semacam itu, pada dasarnya secara langsung atau
tidak langsung juga disebabkan oleh “kenakalan orangtua”, yaitu perilaku para
orangtua yang tidak bisa dijadikan teladan: senang dengan konflik dan tindak
kekerasan, perselingkuhan, dan ketidakjujuran yang ditandai semakin
maraknya korupsi yang dilakukan pejabat publik baik di pusat maupun di
daerah. Terkait hal itu, Zuhdi (2009:39-40) mengemukakan bahwa telah
terjadi krisis moral di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, yaitu krisis
kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis
kedisiplinan, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan.
Agaknya tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa
kondisi masyarakat dan bangsa yang mengalami berbagai krisis tersebut
diduga bersumber dari apa yang dihasilkan dunia pendidikan. Menurut
21
Hidayatullah (2010:15), demoralisasi tersebut terjadi karena dua hal, yakni (1)
sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi
masih lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi
pendidikan lebih cenderung menekankan aspek kognitif/akademik, seperti
Ujian Nasional (UN), dan (2) kondisi lingkungan yang kurang mendukung
pembangunan karakter yang baik. Senada Hidayatullah, Zubaedi (2011:3)
mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi
salah satu penyebab terjadinya krisis moral adalah karena pendidikan di
Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif
semata, sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur utama
pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung
diabaikan.
Hal yang sama juga terjadi dalam pendidikan agama dimana materi
yang diajarkan oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar
akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif),
sedangkan pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) belum
diperhatikan dan diikhtiari secara serius. Dengan kata lain, praktik pendidikan
yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh
ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang
nyata-nyata justru bertolak belakang dengan apa yang diterima dalam
pembelajaran di sekolah.
Oleh karena itu, kini sudah saatnya para pengambil kebijakan, para
pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa
ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi yang berupa angka-angka.
22
Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan
pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan membentuk
karakter unggul.
Mengapa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak bagi
bangsa Indonesia? Ya, karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-
kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun karakter bangsa yang
unggul, meskipun harus diakui masih cukup banyak juga warga bangsa kita
yang memiliki kebiasaan positif atau karakter yang baik. Sugiarto (2009: 11-
13) mengemukakan sejumlah kebiasaan kecil yang dapat menghancurkan
bangsa sebagai berikut.
Pertama, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan diri sendiri,
meliputi: meremehkan waktu, bangun kesiangan, terlambat masuk kantor,
tidak disiplin, suka menunda, melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan
meminta, menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri sendiri,
terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan orang lain, tidak sarapan, tidak
terbiasa antri, banyak tidur, banyak nonton TV, dan terlena dengan
kenyamanan/takut berubah.
Kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan lingkungan,
meliputi: merokok di sembarang tempat, membuang sampah di sembarang
tempat, corat-coret/vandalism, kendaraan mengotori udara, jalan bertabur
iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa mengindahkan aturan pakai,
abai dengan pohon, dan menganggap daur ulang.
Ketiga, kebiasaan-kebiasaan yang merugikan ekonomi, melipiti:
konsumtif, pamer, silau dengan kepemilikan orang lain, boros listrik,
23
kecanduan game, tidak menyusun rencana-rencana kehidupan, tidak biasa
berpikir kreatif, dan mengabaikan peluang.
Keempat, kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial, meliputi: tak mau
membaca, tak mau mendengar pendapat orang lain, nepotisme, suap-menyuap,
politik balik modal, canggung dengan perbedaan, beragama secara sempit,
lupa sejarah, unjukrasa pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar dari
pengalaman, birokratif, provokatif dan mudah terprovokasi, tidak berani
berkata “tidak”, dan berambisi menguasai.
Mengingat pentingnya karakter dalam membangun sumber daya
manusia yang kuat, maka menurut Hidayatullah (2010:23) diperlukan
pendidikan karakter yang dilakukan dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa
pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus menyertai semua aspek
kehidupan termasuk di lembaga pendidikan. Sebaiknya pembentukan atau
pendidikan karakter diintegrasikan ke semua aspek kehidupan sekolah.
Lembag pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang
strategis untuk membentuk karakter siswa. Hal ini dimaksudkan agar peserta
didik dalam segala ucapan, sikap, dan perilakunya mencerminkan karakter
yang baik dan kuat. Dengan pendidikan karakter yang efektif, diharapkan
sekolah dapat menghasilkan lulusan orang ”pandai” dan ”baik” dalam arti
luas. Jangan sampai lembaga pendidikan menghasilkan orang “pandai” tetapi
“tidak baik”. Orang yang pandai tetapi tidak baik jauh lebih “berbahaya”
karena dengan kepandaiannya itu ia dapat menjadikan sesuatu yang
menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Masih lebih baik lembaga
24
pendidikan menghasilkan orang yang kurang pandai tetapi baik, karena paling
tidak masih tetap memberikan suasana kondusif bagi kehidupan.
C. Hakikat Pendidikan Karakter
Secara singkat, pendidikan diartikan sebagai suatu proses untuk
memanusiakan manusia. Artinya, seorang bayi yang lahir tidak dengan
sendidrinya akan menjadi manusia (yang berbudaya). Untuk menjadikan
manusia yang berbudaya haruslah melalui pengembangan dan pembinaan
jasmani dan ruhani melalui aktivitas pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan
merupakan proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan
bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi
yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai.
Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar
kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga
hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan,
ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian
unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas
pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang
tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan
praktis, dan kompetensi kinestetis. Mengacu pada unsur dasar dan komponen
pokok pendidikan, secara singkat-padat, (Muhadjir,1993) menyatakan bahwa
pendidikan adalah upaya terprogram dari pendidik-mempribadi untuk
25
membantu peserta didik agar berkembang ke tingkat yang normatif lebih baik
dengan cara yang normatif juga baik.
Adapun pengertian karakter menurut Zubaedi (2011: 10) mengacu pada
serangkaian perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter meliputi sikap
seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual
seperti berpikir kritis, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab,
mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, dan
sebagainya. Pengertian karakter Pusat Bahasa Depdiknas mengartikan
karakter sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,
personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Dengan demikian, berkarakter
berarti berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”.
Menurut Musfiroh (2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan
(skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur,
kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.
Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut
dengan berkarakter mulia.
Selanjutnya, dengan uraian yang cukup mendalam, Adhim (2012)
menegaskan bahwa karakter identik dengan akhlak sebagaimana dijelaskan
oleh para ilmuwan muslim, misalnya Imam Al-Ghazali, dan Imam Qurthubi,
dan Az-Zarnuji, sebagai berikut.
26
Jika karakter berbeda dengan perilaku, berbeda pula dengan kebiasaan
dan bahkan tatakrama dan bahkan temperamen, lalu apa yang dapat dilakukan
untuk membangun karakter anak-anak kita? Langkah apa yang dapat ditempuh
untuk melakukan pendidikan karakter jika pembiasaan (habituation/habit
forming) tidak mempengaruhi karakter anak-anak kita, di rumah maupun di
sekolah?
Karakter berbeda dengan kebiasaan. Karakter itu serangkain kualitas
pribadi yang membedakannya dengan orang lain. Karakter menuntut adanya
pengahayatan nilai, proses mengidentifikasikan driri dengan nilai-nilai yang
diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian dengan nilai yang
diyakini sehingga pada akhirnya terjadi karakterisasi diri. Artinya, karakter
merupakan proses yang berkelanjutan. Karakter memang cenderung menetap
dan sulit diubah, namun bukan berarti sekali terbentuk tidak mungkin berubah.
Dari karakter itulah –baik atau buruk– melahirkan berbagai perilaku. Akan
tetapi perilaku itu sendiri tidak dapat serta merta dikatakan sebagai karakter.
Perilaku yang berulang setiap hari dapat membentuk kebiasaan,
meskipun sebagian hanya menjadi perilaku berulang (repeted behavior), yakni
manakala perulangan perilaku tersebut terjadi hanya karena takut terhadap
ancaman. Tidak muncul perilaku tersebut jika ancamannya hilang. Hal ini
perlu diperhatikan agar kita tidak cepat merasa puas ketika melihat perilaku
anak-anak kita. Jangan sampai kita mengira anak-anak telah memiliki
kebiasaan yang baik, padahal hanya perilaku berulang semata. Dalam hal ini
ada pelajaran yang sangat berharga yang perlu dicamkan oleh para pendidik,
bahwa karakter itu tidak terlepas dari keyakinan dan penghayatan seseorang
27
terhadap nilai-nilai yang dipeganginya. Adapun perilaku itu cerminannya,
tetapi perilaku sendiri bukan gambaran yang dapat memastikan karakter
seseorang, kecuali jika ada serangkaian perilaku lain yang searah. Singkatnya
begini, orang baik akan mudah tersenyum, tetapi murah senyum belum tentu
orang baik. Bukankah para penipu berhasil mengelabuhi orang lain justru
karena senyumnya yang memukau? Bukan karena raut muka yang
menakutkan.
Satu pilar yang sangat penting dalam pendidikan karakter adalah
adanya sosok panutan (role model). Lantas sosok siapa yang pantas dan tepat
untuk dicontoh? Apakah kita akan menjadikan Lawrence Kohlberg sebagai
sosok panutan? Padahal tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Pendidikan
Karakter ini justru matinya dengan cara mengenaskan. Dia mati bunuh diri
dengan cara menenggelamkan diri karena krisis karakter. Ini mirip dengan
kematian Sigmund Freud. Meskipun bukan bunuh diri, tetapi tokoh yang
dikenal dengan Bapak Kesehatan Mental ini mati dengan cara eutanasia
(suntik mati) atas permintaan sendiri akibat depresi yang ia alami.
Istilah yang dekat dengan karakter adalah akhlaq, bentuk jamak dari
khuluq. Khuluq adalah bentuk, sifat, dan nilai-nilai yang berada pada wilayah
batin. Ini menarik untuk dicermati, sebab ketika kita memaksudkannya
sebagai sifat lahiriyah, ia adalah khalq. Oleh karena itu, khuluq –terpuji atau
tercela –akan tercermin dalam khalq yang berupa sifat-sifat lahiriyah. Ini
berarti bahwa yang harus diperhatikan bukan hanya perilaku yang tampak,
tetapi apa-apa yang darinya tercermin dalam bentuk perilaku.
28
Tentang kaitan antara akhlaq dan perilaku, Imam Al-Ghazali menulis
dalam Ihya’ Ulumuddin, “Akhlaq merupakan ungkapan keadaan yang melekat
pada jiwa dan darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa perlu
berpikir panjang dan banyak pertimbangan.” Agar tidak salah arah, marilah
kita tengok pendapat Imam Qurthubi, akhalq adalah adab atau tatakrama yang
dipegang teguh oleh seseorang sehingga adab atau tatakrama itu seakan
menjadi bagian dari penciptaan dirinya. Dalam peristilahan sekarang, adab
meliputi manner and etiquettes (tatakrama dan etiket). Ia bukan sekedar
serangkaian perilaku, melainkan di dalamnya juga terkandung sikap. Ini
berarti proses pembentuka adab (ta’dib) memerlukan beberapa unsur, yakni
menumbuhkan sikap yang baik, melakukan serangkaian pembiasaan yang
terkait, menanamkan kebiasaan bukan hanya bersifat fisik dan mekanik,
menumbuhkan motivasi serta menunjukkan keutamaan dari adab tersebut.
Merujuk pada pendapat Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji, Adhim
(2012) menyatakan bahwa adab merupakan pilar utama menuntut ilmu. Agar
seseorang dapat menuntut ilmu dengan baik, hal pertama yang harus dimiliki
oleh murid sekaligus ditumbuhkan oleh guru adalah adab. Proses
pembentukan adab merupakan tahap yang sangat penting untuk menyiapkan
murid dalam menuntut ilmu sekaligus menumbuhkembangkan akhlaq mulia
dalam diri mereka. Adab merupakan pilarnya akhlaq dan keyakinan pada
agama Islam merupakan fondasi yang sangat penting. Keyakinan itu bersifat
afektif, bukan kognitif. Jika keyakinan telah tumbuh, maka pemahaman secara
kognitif akan menguatkannya. Sebaliknya, tanpa menyadari dan meyakini,
29
pemahaman yang mendalam pun tidak mempengaruhi sikap, apalagi sampai
ke perilaku.
Tegasnya, penanaman keimanan yang kuat harus didahulukan,
selanjutnya baru pemahaman keilmuan, dan insya Allah, hanya dengan cara
seperti ini peserta didik akan mengamalkan ilmunya. Jadi, urutannya: IMAN,
ILMU, dan AMAL. Inilah urutan proses pendidikan yang sesuai dengan
konsep dari Allah Yang Maha Mendidik (Rabb) sebagaimana tertuang dalam
Al-Quran Surah Luqman:13-19. Konsep ini pula yang diterapkan oleh
Pendidik Sejati: Rasulullah saw. dalam mendidik para sahabatnya, dimana
beliau menanamkan ajaran keimanan/aqidah/tauhid dalam waktu yang cukup
lama. Konsep pendidikan dari Allah yang diterapkan oleh Rasulullah inilah
yang terbukti menghasilkan pribadi-pribadi mulia, sosok-sosok agung, para
sahabat yang biografinya tercatat dalam sejarah kemanusiaan dengan tinta
emas yang dapat diteladani sampai akhir masa.
Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan proses pendidikan yang
terjadi sekarang. Begitu masuk sekolah anak-anak langsung belajar. Kurang
ada proses yang diikhtiarkah secara serius membentuk adab pada diri mereka
sehingga kurang ada kesiapan belajar belajar, pun kurang ada bekal awal
untuk membentuk karakter (akhlaq) dalam diri mereka. Begitu masuk sekolah,
serta-merta mereka harus belajar untuk tujuann akademik sebelum sikap dan
motivasi belajar mereka dibangun. Begitu anak-anak yang ceria itu masuk
ruang sekolah, mendadak keceriaan mereka memudar karena segera
memabayang dalam benak mereka ”hantu-hantu angka”: ”hantu matematika”,
30
”hantu english”, ”hantu ranking”, ”hantu tidak lulus UN”, ”hantu NEM”, dan
sebagainya.
Padahal sekolah seharusnya menyiapkan mereka terlebih dulu untuk
memiliki sikap dan motivasi belajar yang baik. Ada proses perubahan yang
terancang, dari segi mental mereka mempunyai motivasi akademik yang baik,
sedangkan dari aspek tatakrama dan etiket mereka memilki kesiapan belajar.
Mari kita renungkan secara mendalam, Rasulullah saw. diutus untukn
menyempurnakan akhlaq. Namun, apakah yang Beliau lakukan di masa awal
risalahn dakwahnya? Bukan akhlaq yang lebih dulu dibangun, tapi aqidah.
AQIDAH dulu, baru AKHLAQ! Jika aqidah/tauhidnya benar dan kuat, insya
Allah akhlaq/karakter peserta didik juga akan mulia dan kokoh.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau
bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari agama dan
budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi
muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang
bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari
31
agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat
memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar
tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut
adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung
jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya
diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan;
baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain
mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa
hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan,
ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Dalam bahasa Muhadjir (1993) karakter dasar manusia ini dinyatakan
sebagai nilai-nilai insani yang sesungguhnya itu juga nilai-nilai yang
bersumber dari Ilahi yang bersifat universal, misalnya ketaqwaan, kejujuran,
kasih sayang, kedisiplinan, tolong menolong, keadilan, kesantunan, kesabaran,
tanggung jawab, saling paercaya, ksetiaan, dan sebagainya. Di antara fungsi
utama pendidikan adalah untuk melestarikan nilai-nilai Ilahi/insani tersebut.
Oleh karena masyarakat manusia dapat berlangsung terus (lestari) jika jika ada
kemauan untuk menaati atau mengamalkan nilai-nilai Ilahi/insani tersebut.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang mewujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
32
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.
Khusus untuk peserta didik yang beragama Islam, penguatan
(intensifikasi) pendidikan keimanan/aqidah/tauhid pada pendidikan tingkat
dasar dan menengah merupakan tindakan yang harus segera dilakukan.
Mengingat, keimanan/aqidah/tauhid yang benar dan kuat merupakan fondasi
yang sangat kokoh untuk menopang berkembangnya nilai-nilai
karakter/akhlaq terpuji dalam diri peserta didik. Oleh karena mengembangkan
nilai-nilai karakter/akhlaq terpuji tanpa didasari fondasi yang kokoh, ibarat
mendirikan gedung tanpa fondasi, tentu kondisinya sangat rapuh,
mengkwatirkan, dan membahayakan karena sedikit ada goncangan akan
segera roboh.
D. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter
Hasan (2010) mengatakan bahwa pendidkan karakter setidaknya
mempunyai lima tujuan, yaitu (1) mengembangkan potensi
kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang
memiliki nilai-nilai karakter bangsa, (2) mengembangkan kebiasaan dan
perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan
tradisi budaya bangsa yang religius, (3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, (4)
mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri,
kreatif, dan berwawasan kebangsaan, dan (5) mengembangkan lingkungan
kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
33
kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi serta
penuh kekuatan.
Adapun menurut Zubaedi (2010), mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu (1) fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, (2) fungsi perbaikan
dan penguatan, dan (3) fungsi penyaring. Pertama, fungsi pembentukan dan
pengembangan potensi. Pendidikan karakter berfungsi untuk membentuk dan
mengembangkan potensi peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan
berperilaku baik sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, kesatuan
dan kebersamaan, mesyuwarah, dan solidaritas sosial sebagaimana terkandung
dalam falsafah hidup Pancasila.
Sejujurnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan pada
zaman Orde Baru yang tertuang dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) jika diamalkan secara sungguh-sungguh –yang
dalam zaman Orde Baru –disebut ”secara murni dan konsekuen”, tidak
sekedar sebagai slogan kampanye politik atau sekedar ”proyek” yang bertajuk
”Penataran P4”, sudah cukup memadai untuk membangun karakter bangsa.
Namun sayang, butir-butir nilai Pancasila yang telah dirumuskan secara baik
dan telah diterbitkan secara massal tersebut tidak dihayati apalagi diamalkan
oleh para pejabat publik waktu itu, sehingga sebagain besar rakyat juga ikut
meneladaninya: tidak mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan dengan sangat baik
tersebut, kini telah dimuseumkan, dilupakan, dan dicampakkan.
Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter
berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab
34
dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju
bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Terkait dengan fungsi pendidikan
karakter dalam memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, atau sebaliknya:
peran keluarga sebagai pilar utama untuk kesuksesan pendidikan karakter,
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang terjemahannya sebagai berikut.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yangtidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Q.S. At-Tahrim: 6).
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah,yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar" (Q.S. An-Nisa’: 9).
Keluarga merupakan tempat untuk mempersiapkan generasi muda yang
akan meneruskan perjuangan dari para pendahulunya. Oleh karena itu, para
orang tua harus menciptakan kondisi keluarga yang harmonis, keluarga yang
tenteram yang penuh dengan cinta dan kasih sayang sehingga kondusif untuk
mendidik anak-anak terutama dalam menanamkan akhlak mulia Jika keluarga
itu sangat kondusif, tentu saja akan menghasilkan generasi penerus yang
tangguh dan tanggap sehingga lebih siap menghadapi berbagai tantangan
kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya,
sebuah keluarga yang tidak kondusif untuk mendidik anak, bukan saja tidak
menghasilkan generasi penerus yang berkualitas, tetapi justru menghasilkan
generasi yang bermasalah yang menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan
masyarakatnya.
Di antara tugas keluarga terutama orang tua dalam pendidikan
karakter/akhlak adalah memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya
35
dalam berpegang teguh kepada akhlak mulia. Keteladanan merupakan faktor
terpenting untuk mencapai tujuan utama pendidikan yaitu tertanamnya akhlak
mulia pada anak-anaknya. Anak yang mendapatkan pendidikan agama dan
pendidikan karakter/akhlak yang baik serta keteladanan yang baik umumnya
akan baik pula karakter/akhlaknya. Namun sebaliknya kurangnya pendidikan
agama dan keteladanan dari orang tua akan berakibat pada buruknya
karakter/akhlak anak.
Ibarat angka, generasi yang bermasalah yang dihasilkan dari keluarga
yang tidak kondusif itu adalah angka minus. Agar menjadi angka plus, tentu
memerlukan perhatian dan perlakuan yang serius karena sebelum menjadi plus
harus melewati angka nol dulu. Pendek kata, perubahan dari generasi minus
menuju plus itu menyita perhatian dan waktu tersendiri yang semestinya
perhatian dan waktu itu sudah dapat dipergunakan untuk "menangkarkan
tunas-tunas muda yang berkualitas pada lahan yang lebih luas" sehinga "panen
raya" akan segera menjadi kenyataan.
Demikianlah gambaran betapa pentingnya menciptakan kondisi
keluarga yang harmonis, keluarga yang tenteram yang penuh dengan cinta dan
kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmah) sehingga kondusif untuk
mendidik anak-anak terutama dalam menanamkan karakter/akhlak mulia
kepada mereka, dimana karakter/akhlak mulia ini merupakan prasyarat yang
harus ada bagi tercapainya cita-cita: keluarga bahagia. Dampak positif dari
keluarga-keluarga bahagia itu, akan –secara karambol –berdampak luas bagi
terwujudnya ”lahan” dan lingkungan yang kondusif untuk menyemai benih-
benih karakter mulia. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa: jika banyak
36
keluarga yang baik, keadaan dusun akan baik, desa akan baik, selanjutnya:
kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara akan baik.
Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah
budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Termasuk di
dalamnya adalah menyaring atau menyeleksi berbagai informasi yang semakin
”membanjir” dari media cetak, elektronik, dan online seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini. Fungsi ini
sejalan dengan salah satu fungsi pendidikan sebagaimana yang dinyatakan
Muhadjir (1993), yaitu untuk menumbuhkan kreativitas peserta didik. Di era
teknologi informasi yang canggih dewasa ini, informasi yang diterima
manusia sangat beragam, ada yang bermanfaat dan ada pula sampah informasi
yang beracun. Keragaman informasi menantang manusia untuk memilah,
memilih atau menyaring validitas (kebenaran) isinya, terpercaya salurannya,
dan sebagainya. Dalam menyaring informasi tersebut dibutuhkan kemampuan
kreatif untuk menggeneralisasikan, mengabstrakkan, menemukan hubungan
unuiknya untuk akhirnya menampilkan pendapat, sikap, dan wawasan yang
tepat, sehingga kita tidak hanyut bahkan tenggelam dalam sampah informasi.
Selain tiga fungsi yang telah dipaparkan di atas, pendidikan karater
juga berfungsi untuk menghancurkan penyakit mental block. Prihadi (2009)
menyatakan bahwa penyakit mental block adalah cara berpikir dan perasaan
yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya hanya membuat kita
terhambat untuk melangkah menuju kesuksesan. Di samping memiliki
37
penyakit fisik, manusia juga memilki penyakit mental (mental block), yang
sangat berbahaya untuk seseorang atau kelompok yang ingin sukses.
Penyakit mental ini dapat dideteksi dengan memperhatikan gejala-
gejala awal yang biasanya dialami si penderita seperti suka mengeluh, konflik
batin, tidak ada perubahan kehidupan, dan tidak mau mengambil resiko. Cara
mendeteksi penyakit mental block dapat dilakukan sendiri atau meminta
bantuan orang lain. Caranya dengan pasang target, perhatikan pola, tanya
oarang lain, dan tanya hati nurani. Beberapa penyebab penyakit mental block
adalah citra diri buruk, pengalaman buruk, lingkungan buruk, rujukan buruk,
dan pendidikan buruk. Adapun virus-viru penyebab penyakit ini adalah
banyak alasan, pembenaran, gengsi, malas, takut, menunggu, tidak percaya
diri, dan buruk sangka.
Orang yang terjangkit penyakit mental block perlu segera dilakukan
upaya pengobatan. Penyakit mental block dapat dicegah dengan optimisme,
selalu berpikir positif, antusias, dan terbuka, yang semuanya mencakup aspekn
pemikiran, perasaan, sikap, dan tindakan. Agar proses penyembuhan deangan
pengobatan menjadi lebih efektif, menurut Zubaedi (2011), maka diperlukan
pemahaman serta harus ada kemauan yang kuat, membangun diri,
menemukan, dan mengakui keadaan yang sebenarnya. Adapaun obat penawar
penyakit mental block adalah berani mengambil tanggung jawab, pembuktian
diri, memperjelas sasaran hidup, menaikkan level, dan sebagainya.
E. Nilai-niliai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mengemban misi untuk mengembangkan watak-
watak dasar yang seharusnya dimiliki oleh peserta didik. Pendidikan karakter
38
di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar, yaitu (1) cinta
kepada Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, disiplin, dan
mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, peduli, dan
kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7)
keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; serta (9) toleransi, cinta
damai, dan persatuan.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia
diidentifikasi berasal dari empat sumber yaitu (1) agama, (2) Pancasila, (3)
budaya, dan (4) tujuan pendidikan nasional. Keempat sumber nilai tersebu
dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu
didasari pada ajaran agama. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari
nilai-nilai yang berasal dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan karakter
harus didasasi nilai-nilai agama.
Kedua, Pancasila. Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada
Pembukaan UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam pasal-pasal
dalam batang tubuh UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, dan kemasyarakatan. Pendidikan karakter bangsa
bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik
yaitu warga negara yang memiliki kemampuan dan kemauan menerapkan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
39
Ketiga, budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia yang hidup
bermasyarakat senatiasab didasari nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat
tersebut. Nilai budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap
suatu dalam interaksi dan komunikasi antaranggota masyarakat tersebut.
Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat
mengharuskan budaya sumber nilai dalam pendidikan karakter bangsa.
Dalam konteks dakwah Islamiyah di Indonesia misalnya, kewajiban
berjilbab bagi wanita muslimah telah tegas termuat dalam Al-Quran, namun
belum banyak ditaati oleh sebagian muslimah Indonesia. Sosialisasi kewajiban
berjilbab tersebut terbukti sangat efektif dengan seni-budaya. Sejak Bimbo
menebarkan lagu ”Aisyah Adinda Kita” dan Emha Ainun Nadjib
mempublikasikan puisi ”Lautan Jilbab” maka kini dari hari ke hari kesadaran
wanita muslimah untuk berjilbab nampak semakin meningkat. Kini, jilbab
sudah terasa menjadi ”pakaian resmi” dalam berbagai pertemuan atau acara
yang diadakan oleh instansi resmi maupun warga masyarakat. Pendek kata,
kini jilbab telah membudaya. Memang, menurut Fillah (2007: 331), untuk
menjdi peradaban, setiap proyek pemikiran harus disupport oleh proyek
budaya.
Keempat, tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahu 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus
digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU
Sisdiknas menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
40
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).
Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan
pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk
warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah
swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang
berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan
paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya
dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa
semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara
Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas
pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan
model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan
tujuan utama tersebut.
Berdasarkan keempat sumber nilai di atas, dapat diidentifikasi
sejumlah nilai untuk pendidikan karakter sebagai berikut.
NO. NILAI DESKRIPSI
1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama. Mewarnai
kehidupan sehari-harinya dengan nilai-nilai
agama. Senantiasa berbuat baik dimana pun dan
41
kapan pun karena merasa selalu diawasi oleh
Allah (ihsan).
2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan.
3 Toleransi Sikap dan perilaku yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda dengan
dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
path pada berbagai ketentuan dan peraturan
yang baik.
5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baikya.
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimilikinya.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan problema
kehidupan.
8 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
42
orang lain.
9 Rasa Ingin
Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.
10 Semangat
Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11 Cinta Tanah
Air
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
12 Menghargai
Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat dan mengakui serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13 Bersahabat/
Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan
orang lain.
14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadiran dirinya.
15 Gemar
Membaca
Kesediaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
16 Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
43
Lingkungan mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
18 Tanggung
Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dilakukan untuk diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara dan Allah SWT.
Sekolah dan para guru dapat menambah atau mengurangi nilai-nilai
tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah dan
hakikat materi Standar Kompetensi/Kompetensi Dasar dan materi bahasan
suatu mata pelajaran. Rumusan nilai-nilai yang menjadi muatan pendidikan
karakter ini memiliki sejumlah persamaan dengan dengan rumusan karakter
dasar yang dikembangkan di negara lain, dan karakter dasar yang
dikembangkan oleh Ary Ginanjar Agustian melalui ESQ-nya. Perbandingan
nilai-nilai karakter dasar tersebut adalah sebagai berikut.
KARAKTER DASAR
Heritage Foundation Character Counts USA Ary GinajarAgustian/ESQ
44
1. Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya.
2. Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri.
3. Jujur
4. Hormat dan santun
5. Kasih sayang, peduli, dan kerjasama.
6. Percaya diri, kreatif, kerjakeras, dan pantang menyerah.
7. Keadilan dan kepemimpinan.
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, cinta damai, dan persatuan.
1. Dapat dipercaya
2. Rasa hormat danperhatian.
3. Peduli
4. Jujur
5. Tanggung jawab
6. Kewarganegaraan
7. Ketulusan
8. Berani
9. Tekun
10. Integritas
1. Jujur
2. Tanggung jawab
3. Disiplin
4. Visioner
5. Adil
6. Peduli
7. Kerjasama
Agustian (2009:v-xi) merumuskan tujuh nilai karakter dasar/utama
tersebut didasarkan atas kajian bahwa terjadinya krisis moral di tengah
masyarakat kita yang ia sebut sebagai krisis “Budi Utama”, yaitu (1)
hilangnya kejujuran, (2) hilangnya rasa tanggung jawab, (3) tidak berpikir
jauh ke depan, (4) rendahnya kedisiplinan, (5) kurangnya kerja sama, (6) tidak
adanya keadilan, dan (7) memudarnya kepedulian.
Nilai-nilai karakter tersebut sesungguhnya bagian dari 99 nilai Ilahi
yang ada dalam Asmaul Husna yang seharusnya menjadi nilai-nilai insani
yang diamalkan oleh manusia dalam hidup sehari-hari, yakni: (1) saya ingin
menjadi orang yang pengasih (bersifat umum), (2) saya ingin selalu bersifat
45
penyayang (bersifat khusus), (3) saya ingin menguasai diri, (4) saya ingin suci
dalam berpikir dan bertindak, (5) saya ingin hidup selamat/sejahtera, (6) saya
ingin selalu dipercaya, (7) saya ingin selalu memelihara dan merawat, (8) saya
ingin selalu gagah dan terhormat, (9) saya ingin menjadi orang yang perkasa,
(10) saya ingin memilki kebesaran hati dan jiwa, (11) saya ingin selalu
mencipta/berkreasi, (12) saya ingin merencanakan (visi), (13) saya ingin selalu
mendesain dan mewujudkan cita-cita, (14) saya ingin selalu mengampuni
orang lain, (15) saya ingin memiliki kekuatan untuk menopang kebaikan, (16)
saya ingin selalu menjadi orang yang suka memberi (sifat), (17) Saya ingin
selalu memberi (praktik), (18) saya ingin selalu membuka hati orang lain,
menjadi perintis dan pelopor orang lain, (19) saya ingin selalu belajar dan
berilmu, (20) saya ingin mengendalikan sesuatu (positif), (21) saya ingin
selalu melapangkan jalan orang lain, (22) saya ingin merendah demi keadilan,
(23) saya ingin selalu mengangkat demi keadilan, (24) saya ingin selalu
menjernihkan, (25) saya ingin selalu menghinakan orang-orang yang jahat
demi menuju keadilan, (26) saya ingin selalu mendengarkan dan memahami
orang lain (berempati), (27) saya ingin selalu melihat dan memperhatikan
orang lain, (28) saya ingin mengendalikan dan melakukan kontrol dengan
baik, (29) saya ingin selalu bersikap adil, (30) saya ingin selalu bersikap halus
dan merasakan perasaan orang lain, (31) saya ingin selalu berhati-hati, (32)
saya ingin selalu menjadi orang yang penyantun dan lembut hati, (33) saya
ingin bersifat agung, (34) saya ingin selalu menjadi pemaaf (watak), (35) saya
ingin selalu berterima kasih kepada orang lain yang berbuat baik, (36) saya
ingin menjadi orang yang bermartabat tinggi, (37) saya ingin memiliki
46
kebesaran, (38) saya ingin selalu menjaga dan memelihara, (39) saya ingin
memperhatikan dan merasakan pengaduan orang lain, (40) saya ingin selalu
teliti dan cermat dalam segala hal, (41) saya ingin memiliki pribadi yang
luhur, (42) saya ingin selalu dermawan, (43) saya ingin selalu mengawasi dan
memantau, (44) saya ingin selalu memperhatikan keinginan orang lain, (45)
saya ingin memiliki wawasan yang luas, (46) saya ingin selalu bersikap
bijaksana (sifat), (47) saya ingin selalu simpatik dan penyiram kesejukan, (48)
saya ingin selalu bersifat bajik kepada orang lain, (49) saya ingin selalu
membangkitkan motivasi, (50) saya ingin menyaksikan sendiri segala sesuatu,
(51) saya ingin selalu membela yang benar, (52) saya ingin dapat dipercaya
apabila diberi amanat, (53) saya ingin memiliki kekuatan dan semangat yang
tinggi, (54) saya ingin selalu bersikap teguh hati, (55) saya ingin selalu
melindungi, (56) saya ingin selalu bersikap terpuji, (57) saya ingin selalu
memperhatikan semua faktor dan semua sektor, (58) saya ingin selalu
memulai terlebih dahulu dalam berkreasi (berinisiatif), (59) saya ingin
mengembalikan sesuatu ke posisi yang tepat demi keadilan, (60) saya ingin
selalu menghidupkan semangat, (61) saya ingin mematikan pikiran jahat, (62)
saya ingin sering memberikan "kehidupan" kepada orang lain, (63) saya ingin
selalu bersikap tegar dan mandiri, (64) saya ingin melakukan sesuatu yang
baru (inovasi), (65) saya ingin bersifat mulia, (66) saya ingin menjadi orang
yang terbaik, (67) saya ingin selalu menyatukan berbagai hal, (68) saya ingin
selalu dibutuhkan orang lain, (69) saya ingin memliki kemampuan yang
memadai, (70) saya ingin selalu membina orang lain agar memiliki
kemampuan (71) saya ingin mendahulukan sesuatu demi kebenaran, (72) saya
47
ingin mengakhiri dan menghentikan sesuatu demi keadilan, (73) saya ingin
selalu menjadi orang pertama (inventer), (74) saya ingin selalu menjadi orang
terakhir (penutup) yang menentukan, (75) saya ingin memiliki integritas yang
nyata, (76) saya ingin selalu memperhatikan kondisi batiniah diri sendiri dan
orang lain, (77) saya ingin mendidik dan memberikan perlindungan kepada
orang lain, (78) saya ingin memiliki ketinggian pribadi, (79) saya ingin selalu
jauh dari keburukan, (80) saya ingin selalu mau menerima kesalahan orang
lain, (81) saya ingin memperingatkan orang yang salah/keliru demi menjaga
kebaikan, (82) saya ingin bersifat pemaaf, (83) saya ingin bersifat pengasih
kepada yang menderita, (84) saya ingin selalu berhasil, (85) saya ingin selalu
agung, mulia, dan terhormat, (86) saya ingin adil dalam menghukum, (87)
saya ingin selalu berkolaborasi dan bersatu, (88) saya ingin kaya lahir batin,
(89) saya ingin memajukan orang lain, (90) saya ingin selalu mencegah
sesuatu yang buruk, (91) saya ingin menghukum demi keadilan, (92) saya
ingin memberi manfaat kepada orang lain, (93) saya ingin selalu berilmu dan
mulia, (94) saya ingin selalu menjadi orang yang suka membimbing, (95) saya
ingin selalu tampak indah dan menciptakan keindahan, (96) saya ingin
memiliki segala sesuatu secara jangka panjang (memelihara), (97) saya ingin
mewasisi dan mendelegasikan, (98) saya ingin selalu pandai dan cerdas, dan
(99) saya ingin menjadi penyabar dan tidak tergesa-gesa.
F. Nilai-nilai Karakter dalam Sebuah Keutuhan
1. Karakter SAFT
48
Karakter SAFT adalah adalah singkatan dari empat karakter yang oleh para
ulama disebut sebagai karakter yang melekat pada diri pada nabi atau rasul,
yaitu (1) shidiq, (2) amanah, (3) fathonah, dan (4) tabligh.
a. Shidiq
Shidiq adalah sebuah kenyataan yang benar yang tercermin dalam
perkataan, perbuatan atau tindakan, dan keadaan batinnya. Pengertian
shidiq ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir: (1) memiliki sistem
keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan; serta (2) memiliki
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, jujur, dan berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlaq mulia.
b. Amanah.
Amanah adalah sebuah kepercayaan yang harus diemban dalam
mewujudkan sesuatu yang dilakukan dengan penuh komitmen,
kompeten, kerja keras, dan konsisten. Pengertian amanah ini dapat
dijabarkan sebagai berikut: (1) rasa memiliki/rasa hadarbeni; (2)
memiliki kemampuan mengembangkan potensi secara optimal; (3)
memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup;
dan (4) memilki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan
(silaturrahmi).
c. Fathonah
Fathonah adalah sebuah kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan
bidang-bidang tertentu yang kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual. Rincian karakteristik jiwa fathonah menurut Toto Tasmara
49
dalam Hidayatullah (2010:62) meliputi: (1) arif dan bijaksana, (2)
intergritas tinggi, (3) kesadaran untuk belajar, (4) sikap proaktif, (5)
orientasi pada Allah, (6) terpercaya dan ternama, (7) menjadi yang
terbaik, (8) empati dan perasaan terharu, (9) kematangan emosi, (10)
keseimbangan, (11) jiwa penyampai misi, dan (12) jiwa kompetisi.
Pengertian fathonah ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir: (1)
memiliki kemampuan adaptif; (2) memiliki kompetensi yang unggul,
bermutu, dan berdaya saing; dan (3) memiliki kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual.
d. Tabligh.
Tabligh adalah sebuah upaya merealisasikan pesan atau misi tertentu
yang dilakukan dengan pendekatan atau metode tertentu. Pengertian
tabligh ini dapat dijabarkan dalam butir-butir: (1) memiliki kemampuan
merealisasikan pesan atau misi; (2) memiliki kemampuan berinteraksi
secara efektif; dan (3) memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan
metode dengan tepat.
2. Karakter Baik dan Karakter Buruk
Al-Jauziyah (2005:258) mengemukakan empat sedi karakter baik
dan karakter buruk. Karakter baik didasarkan pada:
a. Kesabaran. Kesabaran mendorong seseorang untuk menguasai
diri, menahan amarah, tidak mengganggu orang lain, lemah lembut, tidak
gegabah, dan tidak tergesa-tega.
50
b. Kehormatan diri. Kehormatan diri mendorong seseorang untuk
menjauhi hal-hal yang hina dan buruk, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, membuatnya memiliki rasa malu yang merupakan pangkal
segala kebaikan, mencegahnya dari kekejeian, bakhil, dusta, ghibah, dan
mengadu domba.
c. Keberanian. Keberanian mendorong seseorang pada kebesaran
jiwa, sifat-sifat yang luhur, rela berkorban, dan memberikan sesuatu yang
paling dicintai.
d. Keadilan. Keadilan membuat seseorang berada di jalan tengah,
tidak meremehkan, dan tidak berlebih-lebihan.
Selanjutnya, karakter buruk juga didasarkan pada empat sendi, yaitu:
a. Kebodohan, yang menampakkan kebaikan dalam rupa keburukan,
menampakkan keburukan dalam kebaikan. Artinya, kekurangan ilmu
menjadikan seseorang bisa tergelincir dalam kesesatan karena kesalahan
dalam memahami hakikat kebaikan dan keburukan, hakikat kebenaran
dan kebathilan, dan sebagainya.
b. Kedhaliman, yang membuat seseorang meletakkan sesuatu tidak pada
tempatnya, memarahi perkara yang semestinya diridhai, meridhai perkara
yang semestinya dimarahi. Kedhaliman menajadikan seseorang
bertindak tidak proporsional.
c. Syahwat, yang mendorong seseorang pada kekikiran, tidak menjaga
kehormatan, rakus, dan hina.
51
d. Kemarahan, yang mendorong seseorang bersikap takabur, dengki dan iri,
suka bermusuhan, dan menganggap orang lain bodoh.
3. Empat Elemen Utama “Excelence”
Empat elemen utama untuk pemahaman konsep “Excelence”, menurut
Michael Hermawan dalam Kertajaya (2010:8-9), yaitu (1) komitmen, (2)
membuka bakat anda, (3) menjadi terbaik, dan (4) perbaikan terus-menerus.
a. Komitmen.
Yang terpenting bukan hanya kesuksesan tetapi pola pikir untuk
sukses. Kita harus secara sadar ingin menjadi yang terbaik. Dalam hal ini
ditekankan mengenai keinginan untuk tidak hanya menjadi “biasa-biasa
saja”. Hasrat dan paradigma untuk sukses mutlak harus ada, baik secara
individu maupun organisasi. Tanpa komitmen ini, tidak mungkin ada
hasrat untuk mencapai “Excelence”.
b. Membuka Bakat Anda
Semua orang di dunia ini sebenarnya memiliki bakat untuk unggul
setidaknya dalam satu bidang. Temukan potensi diri Anda. Setelah
memiliki paradigma untuk sukses, perlu modal untuk mencapai
kesuksesan itu, yaitu kemampuan (ability). Setiap orang pasti
mendapatkan “anugrah” setidaknya satu kemampuan utama. Inilah yang
harus digali. Setelah menemukan bakat utama, selanjutnya harus
mengembangkannya terus-menerus sehingga benar-benar menjadi suatu
kemampuan yang dapat membawa kita menuju excelence. Oleh karena
52
itu, untuk mencapai excelence individu atau organisasi, harus memilih
bidang yang dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki.
c. Menjadi Terbaik
Yang lebih penting dari bakat adalah upaya memanfaatkan bakat
tersebut. Excelence tidak semata-mata mengenai talenta yang diberikan
Allah., tetapi juga mengenai motivasi untuk memaksimalkan apa yang
sudah dimiliki. Percuma memiliki talenta jika tidak pernah memiliki
keinginan untuk bekerja keras.
d. Perbaikan Terus-menerus.
Dengan semangat “inovasi tiada henti”, kita harus berusaha
meningkatkan standar kesuksesan kita sendiri maupun organisasi dari
waktu ke waktu.
G. Memanusiakan Manusia Melalui Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan nasional sebenarnya identik dengan tujuan
pendidikan Islam yaitu untuk memanusiakan manusia atau mewujudkan
manuasia seutuhnya (insan kamil). Kini, yang perlu dipertegas adalah konsep
manusia seutuhnya dan konsep pendidikan yang dapat mewujudkannya. Dalam
pandangan Islam, manusia merupakan (1) makhluk jasmani-ruhani yang paling
mulia, (2) makhluk yang suci sejak lahir, (3) makhluk etis religius, (4) makhluk
individu dan sosial, (5) makhluk mukallaf yang diberi amanat untuk memikul
tanggung jawab, dan (6) makhluk yang merupakan "gambar Tuhan" yang
diberi percikan sifat-sifat Allah dalam asmaul husna yang harus dikembangkan
53
dan diimplentasikan dalam kehidupannya di dunia ini sebagai wakil Allah di
muka bumi (khaifatullah fil ard) dalam rangka mengabdi atau beribadah
kepada-Nya.
Dengan hakikat wujud manusia yang semacam itu, maka untuk
mewujudkan manusia seutuhnya tentu dibutuhkan konsep pendidikan yang
sesuai. Konsep pendidikan yang paling ideal untuk mewujudkan manusia
seutuhnya adalah konsep yang dibawa Rasulullah SAW lewat madrasah Darul
Arqam, yaitu tempat Rasulullah SAW mentransformasikan nilai-nilai
ketuhanan kepada para di masa-masa kerasulan. Kepada peserta didik diajarkan
bahwa Allah SWT adalah pusat segalanya. Di sisi lain, Rasulullah SAW juga
mengajarkan bahwa manusia tidak bisa dibeli dengan materi karena manusia
tidak sama dengan hewan atau benda mati. Bila ada kesadaran bahwa memiliki
harga diri yang tidak sama dengan benda mati atau binatang, maka manusia
akan terdorong untuk memposisikan diri sebagai leader (khalifah), bukan
follower (budak materi).
Dengan konsep yang demikian itu, secara pelan namun pasti, manusia
yang sudah menyadari akan posisinya sebagai khalifah akan terus berupaya
untuk meningkatkan harkatnya menuju manusia seutuhnya. Bila mengacu pada
ajaran Rasulullah SAW, standar manusia seutuhnya adalah manusia yang
memilki sikap pengabdian total kepada Allah SWT. Merekalah yang akan
menjadi pemimpin yang mampu mentransformasikan nilai-nilai Al-Qur'an,
yang sebenarnya merupakan nilai-nilai kemanusiaan dan ke-Ilahi-an, kepada
seluruh masyarakat. Hanya dengan konsep pendidikan yang semacam ini
peserta didik dapat dientaskan dari keterpurukan moralitas akibat
54
kecenderungannya pada sikap materialistis, pragmatis, dan hedonis dengan
menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsunya yang sebenarnya sampai
kapan pun tidak akan dapat terpuaskan.
Untuk mewujudkan manusia seutuhnya melalui upaya pendidikan
tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, namun harus ada upaya
yang serius dan konsisten menciptakan suasana yang kondusif. Di antara faktor
pendidikan yang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya perbaikan
moralitas peserta didik melalui pendidikan karakter.
Adapun indikator-indikator manusia yang berkarakter baik dalam
perspektif Islam (ber-Islam secara kaffah) adalah sebagaimana terangkum pada
butir-butir berikut.
Pertama, salimul aqidah (aqidahnya selamat), yang meliputi antara
lain (1) tidak me-ruqyah kecuali dengan Al-Qur'an yang ma'tsur, (2) tidak
berhubungan dengan jin, (3) tidak meminta tolong kepada orang yang
berhubungan kepada jin, (4) tidak meramal nasib dengan melihat telapak
tangan, (5) tidak menghadiri majelis dukun dan peramal, (6) tidak meminta
berkah dengan mengusap-usap kuburan, (7) tidak meminta tolong kepada
orang yang telah dikubur (mati), (8) tidak bersumpah dengan selain Allah
SWT., (9) tidak tasya'um (merasa sial karena melihat atau mendengar sesuatu),
(10) mengikhlaskan amal hanya untuk Allah SWT., (11) mengimani rukun
iman, (12) beriman kepada adanya nikmat dan siksa kubur, (13) mensyukuri
nikmat Allah SWT saat mendapatkan nikmat, (14) menjadikan setan sebagai
musuh, (15) tidak mengikuti langkah-langkah setan, dan (16) menerima dan
55
tunduk secara penuh kepada Allah SWT dan tidak bertahkim/berhukum
kepada selain Allah.
Kedua, shahihul ibadah (ibadahnya benar) yang meliputi antara lain:
(1) tidak sungkan adzan, (2) ihsan dalam thaharah, (3) bersemanghat untuk
shalat berjama'ah, (4) besemangat untuk berjama'ah di masjid/mushalla, (5)
ihsan dalam shalat, (6) qiyamulail/bertahajjud minimal sekali sepekan, (7)
membayar zakat, (8) berpuasa fardlu, (9) berpuasa sunat minimal sehari dalam
sebulan, (10) berniat melaksanakan ibadah haji, (11) komitmet dengan adab
tilawah, (12) khusuk dalam membaca Al-Qur'an, (13) hafal satu juz Al-Qur'an,
(14) komitmen dengan wirid tilawah/tadarus harian, (15) berdoa pada waktu-
waktu utama, (16) menutup hari-harinya dengan bertaubat dan beristighfar,
(17) berniat pada setiap melakukan perbuatan, (18) menjauhi dosa-dosa besar,
(19) merutinkan dzikir pagi hari, (20) merutinkan dzikir sore hari, (21)
dzikir/ingat kepada Allah SWT dalam setiap keadaan, (22) memenuhi nadzar,
(23) menyebarluaskan salam/kedamaian, (24) menahan anggota tubuh dari
segala yang haram, (25) beri'tikaf pada bulan Ramadhan, jika memungkinkan,
(26) bersiwak/menggosak gigi, dan (27) senantiasa menjaga kondisi thaharah,
jika memungkinkan.
Ketiga, matinul Khuluq (akhlaqnya kokoh/mulia) yang meliputi
antara lain: (1) tidak takabur/sombong, (2) tidak imma'ah (asal ikut, tidak
punya prinsip), (3) tidak dusta/menipu, (4) tidak mencaci maki, (5) tidak
mengadu domba, (6) tidak ghibah/menggunjing/menyebarkan gosip/
memfitnah, (7) tidak memotong pembicaraan orang lain, kecuali dengan
alasan yang dapat dibenarkan, (8) tidak mencibir dengan isyarat apapun, (9)
56
tidak menghina dan meremehkan orang lain, (10) tidak berteman/bersahabat
dengan orang jahat, (11) menyayangi yang kecil, (12) menghormati yang
besar, (13) memenuhi janji, (14) berbakti kepada kedua orang tua (birrul
walidain), (15) menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang agama, (16)
menyimpan rahasia, (17) menutupi dosa orang lain. (18) memiliki ghirah (rasa
cemburu/semangat memperjuangkan dan mempertahankan) keluarganya, dan
(19) memiliki ghirah (rasa cemburu/ semangat memperjuangkan dan
mempertahankan) agamanya.
Keempat, qadirun 'alal kasbi (mampu berusaha/bekerja dengan
baik), yang meliputi antara lain: (1) menjauhi sumber penghasilan yang
haram, (2) menjauhi riba, (3) menjauhi segala macam dan bentuk perjudian,
(4) menjauhi tindak penipuan, (5) menabung , meskipun sedikit, (6) tidak
menunda-nunda dalam melaksanakan hak orang lain, contohnya membayar
hutang, (7) menjaga fasilitas umum, dan (8) menjaga fasilitas khusus.
Kelima, mutsaqaful fikri (pikirannya jernih/tercerahkan) yang
meliputi antara lain: (1) baik dalam membaca dan menulis, (2) membaca dan
memahami tafsir Al-Qur'an, (3) membaca dan memahami hadits-hadits nabi,
(4) memperhatikan hukum-hukum tilawah Al-Qur'an, (5) mengenal nama dan
riwayat para sahabat Nabi SAW., (6) mengetahui hukum thaharah, (7)
mengetahui hukum shalat, (8) mengetahui hukum puasa, (8) memperluas
wawasan dengan senantiasa belajar/mengaji, (9) menyadari adanya peperangan
Zionisme/kaum kafir terhadap Islam, (10) mengetahui ghazwul fikri
(pengacauan pola pikir, sehingga umat Islam rancu dalam berfikir), (11)
mengetahui organisasi-organisasi terselubung yang ingin menghancurkan
57
Islam, (12) menjadi pendengar yang baik, (13) mengemukakan pendapat
dengan baik, (14) berpartisipasi dalam kerja-kerja jama'i/kelompok
masyarakat, dan (15) tidak menerima suara-suara yang bernada memfitnah
terhadap Islam.
Keenam, qawiyyul jismi (jasmaninya sehat/kuat) yang meliputi
antara lain: (1) bersih badan, (2) bersih pakaian, (3) bersih tempat tinggal, (4)
komitmen dengan adab makan dan minum sesuai dengan sunnah Nabi, (5)
tidak berlebihan dalam begadang, (6) bangun pagi sebelum fajar, (7) berusaha
menghentikan kebiasaan merokok, dan (8) tidak mengkonsumsi minuman
keras dan narkoba.
H. Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter
Pengembangan karakter sebagai proses tiada henti terbagi menjadi
empat tahapan, yaitu (1) pada usia dini/tahap pembentukan, (2) pada usia
remaja/tahap pengembangan, (3) pada usia dewasa/tahap pemantapan, dan (4)
pada usia tua/tahap pembijaksanaan.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing),
melakukan (acting), dan menuju kebiasaan (habit). Hal ini berarti, karakter
tidak sebatas pada pengetahuan. Seseorang yang memiliki pengetahuan
tentang kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan
pengetahuannya itu jika ia tidak terbiasa untuk melakukan kebiasaan tersebut.
Dengan kata lain, karakter tidak sekedar pengetahuan tetapi lebih dalam lagi,
ia menjangkau wilayan emosi dan kebiasaan diri. Oleh karena itu, diperlukan
komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan
58
tentang moral, dan perbuatan moral. Hal ini diperlukan oleh peserta didik agar
mereka mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebaikan.
Pendidikan karakter menurut Heritage Foundation sebagaimana
dikutip oleh Zubaedi (2012:113) bertujuan untuk membentuk manusia secara
utuh (holistis) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi,
sosial, kreativitas, spiritual, dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu,
juga untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati).
Strategi yang dapat dilakukan pendidik untuk mengembangkan pendidikan
karakter adalah sebagai berikut.
1. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu
metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi
manusia terlibat secara aktif dengan diberi materi pelajaran konkret,
bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active
learning, contextual learning, inquiry based learning, and integrated
learning).
2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga anak dapat
belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman,
penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan
berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the
good, dan acting the good.
4. Metode pengajaran yang memerhatikan keunikan masing-masing anak,
yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga sembilan aspek
kecerdasan manusia.
59
5. Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip developmentally
appropriate practices.
6. Membangun hubungan yang supportive dan penuh perhantian di kelas dan
seluruh sekolah. Yang pertama dan terpenting adalah bahwa lingkungan
sekolah harus berkarakteristik aman serta saling percaya, hormat, dan
perhatian peda kesejahteraan lainnya.
7. Model (contoh) dalam berperilaku positif. Bagian terpenting dari
penetapan lingkungan yang supportive dan penuh perhatian di kelas adalah
teladan perilaku penuh perhatian dan penuh penghargaan dari guru dalam
interaksinya dengan siswa.
8. Menciptakan peluang bagi siswa untuk menjadi aktif dan penuh makna
termasuk dalam kehidupan di kelas dan sekolah. Sekolah harus menjadi
lingkungan yang demokratis sekaligus tempat bagi siswa untuk membuat
keputusan dan tindakannya, serta untuk merefleksi atas hasil tindakannya.
9. Mengajarkan keterampilan sosial dan emosional secara esensial. Bagian
terpenting bagi perkambangan positif siswa termasuk pengajaran langsung
keterampilan sosial-emosional, seperti mendengarkan ketika orang lain
berbicara, mengenali dan me-manage emosi, menghargai perbedaan, dan
menyelesaikan konflik melalui cara lemah lembut yang menghargai
kebutuhan (kepantingan) masing-masing.
10. Melibatkan siswa dalam wacana moral. Isu moral ádalah esensi
pendidikan anak untuk menjadi prososial, moral manusia.
11. Membuat tugas pembelajaran yang penuh makna dan relevan untuk siswa.
60
12. Tak ada anak yang terabaikan. Tolok ukur yang sesungguhnya dari
kesuksesan sekolah termasuk pendidikan ”semua” siswa untuk
mewujudkan seluruh potensi mereka dengan membantu mereka
mengembangkan bakat khusus dan kemampuan mereka, dan dengan
membangkitkan pertumbuhan intelektual, etika, dan emosi mereka.
Strategi yang memungkinkan pendidikan karakter bisa berjalan sesuai
sasaran setidak-tidaknya meliputi tiga hal berikut.
1. Menggunakan prinsip keteladanan dari semua pihak, baik orang
tua, guru, masyarakat maupun pemimpinnya.
2. Menggunakan prinsip kontinuitas/rutinitas (pembiasaan dalam
segala aspek kehidupan).
3. Menggunkan prinsip kesadaran untuk bertindak sesuai dengan
nilai-nilai karakter yang diajarkan.
Dalam pendidikan karakter, menurut Khoiruddin Bashori dalam
Zubaedi (2012:115) penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti
kepedulian, kejujuran, kedilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri
dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kerja pendukungnya seperti
ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan—sebagai basis karakter yang
baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta
didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk
perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontoh
nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai
dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai
tersebut di sekolah dan masyarakat.
61
Meminjam bahasa metafora Muhammad Nuh, pendidikan seperti
seorang ibu hamil yang akan melahirkan generasi baru. Dalam kondisi yang
normal, kelahiran sang bayi bukan saja membahagiakan tetapi sangat
dinantikan. Namun bila kondisi sang ibu kesehatan fisiknya mengkhawatirkan,
psikisnya labil dan tertekan (karena kurangnya perhatian), dan asupan gizi
tidak mencukupi, tentu bukan saja merisaukan tehadap keberadaan sang ibu,
tapi jika risau akan kesehatan dan kualitas sang bayi yang akan dilahirkan.
Bisa jadi akan lahir generasi yang idiot (Zubaedi, 2012:115).
Dalam konteks inilah, pentingnya membangun sistem pendidikan yang
kuat, untuk menghindari agar genersi yang dilahirkan oleh dunia pendidikan
tidak mengidap sindrom ”socio-idiot”, yaitu generasi yang tidak memiliki
kemampuan untuk mandiri, yang tidak memiliki kepekaan-ketajaman sosial,
dan asyik sendiri dengan dunianya. Atas dasar itulah, maka sesungguhnya
hubungan antara kualitas SDM dan kualitas pendidikan sangat jelas sekali.
Menurut Muhammad Nuh, proses pendidikan memiliki dua ciri utama,
yaitu irreversible, dan futuris-antisipative. Proses irreversible (tidak dapat
diulang). Artinya, segala karakter, kemampuan yang dibangun selama proses
termasuk kesalahan (defects) akan melekat dalam produk yang dihasilkan dan
tidak dapat ditarik kembali. Berbeda dengan proses reversible, seperti
pembuatan produk yang tangible disebuah industri mobil misalnya. Kecacatan
(defect) bagian tertentu dari mobil yang telah dihasilkan, masih dimungkinkan
dilakukan penarikan produk mobil itu dari peredarannya di pasar. Tapi
kecacatan produk pendidikan (lulusannya), tidak mungkin ditarik kembali ke
ruang kelas untuk dilakukan ‘pembetulan’. Ciri kedua, futuris-anticipative.
62
Artinya, apa yang dihasilkan oleh sistem pendidikan pada dasarnya
menyangkut masa depan. Masa depan dirinya, keluarga, dan bangsanya. Di
sinilah pentingnya membangun karakter optimistis, memahami hakikat
persoalan dan visioner sehingga mampu menjawab tantangan zaman (Zubaedi,
2012:116).
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan
nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan
prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal
oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi
untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi
nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa
yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter
baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan inti dari suatu
proses pendidikan.
Atas dasar ini, fungsi dan peran sekolah menjadi strategi dalam
membangun karakter agar peserta didik memiliki pemahaman, penghayatan,
komitmen, dan loyalitas terhadap standar perilaku yang konsisten sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan. Karakter yang baik mencakup pengertian,
kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya,
pendekatan holistis dalam pendidikan karakter berupaya untuk
mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosinal, dan perilaku dari
kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan
mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempratikkan pemecahan
masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai
63
inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan
yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral,
mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman
hidup.
Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter
melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala
sesuatu yang berlangsung di sekolah memengaruhi pengembangan karakter
siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek
persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter.
Mengacu pada pendapat Djahiri dalam Zubaedi (2012:117),
menyatakan bahwa pendidikan nilai atau dalam konteks ini pendidikan
karakter harus dilakukan secara utuh menyeluruh. Proses pengembangan
karakter individu melalui nilai-nilai kehidupan hendaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan faktor budaya dalam keluarga, pengalaman hidup di
masyarakat, dan perkembangan kondisi lingkungan antara lain lingkungan
nasional dan dunia. Sejalan dengan pendapat tersebut, Kirschenbaum (1992:8)
menyatakan bahwa pendidikan nilai harus dilakukan secara komprehensif, di
dalam kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, bimbingan konseling, dan dalam
seluruh aspek kehidupan sekolah.
Hal ini mencakup dengan istilah kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa
dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses
pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan
lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik (academic
64
cirriculum) (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan
program-program ekstrakurikuler, (extracurricular programs) (tim olahraga,
klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).
Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan
efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas
(bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media)
dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua
ini seyoganya dilakukan dengan baik dengan menekankan penggalangan
dukungan program, selain dukungan finansial. Agenda pertemuan antara
sekolah dan orang tua perlu dijadwalkan dan dilaksanakan secara rutin melalui
forum pertemuan, rapat komite sekolah, pengajian, balal bi halal atau
silatirahmi, peringatan hari-hari besar agama dan lain-lain yang di dalamnya
juga dicarikan persamaanpemahaman dan sikap antara sekolah dan orang tua
dalam proses memperkuat pendidikan karakter secara bersama-sama.
Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai
progran kurikuler yang berjalan sendiri (separated subject) dan lintas
kurikuler (integrated subject). Pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan
semata-mata sebagai bagian dari program ekstrakurikuler seperti dalam
kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun
program civic voluntary dalam tindakat insidental seperti relawan dalam
mitigasi bencana alam.
Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk
menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian:
(1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang
65
lebih peduli dan saling menghargai?; (2) pertumbuhan staf sekolah sebagai
pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan
pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong
pengembangan karakter?; (3) karakter siswa: sejauh mana siswa
memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis
inti? Hal separti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter
untuk mandapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai
kemajuan.
Dalam perspektif ilmu akhlak, karakter atau akhlak dapat dibedakan
menjadi dua: karakter atau akhlak lahiriah dan karahter atau akhlak batiniah.
Cara untuk menumbuhkan kualitas masing-masing karakter atau akhlak ini
berbeda-beda. Peningkatan karakter atau akhlak terpuji lahiriah, menurut
Zahruddin (2004:161) dapat dilakukan melalui:
1. Pendidikan. Dengan pendidikan, cara pandang seseorang akan bertambah
luas, tentunya dengan mengenal lebih jauh akibat dari masing-masing
(akhlak terpuji dan tercela). Semakinbaik tingkat pendidikan dan
pengetahuan seseorang, sehingga mampu lebih mengenali mana yang
terpuji dan mana yang tercela.
2. Menaati dan mengikuti peraturan dan undang-undang yang ada di
masyarakat dan negara. Bagi seorang muslim tentunya mengikuti aturan
yang digariskan Allah dalam al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW.
3. Kebiasaan, akhlak terpuji dapat ditingkatkan melalui kehendak atau
kegiatan baik yang dibiasakan.
66
4. Memilih pergaulan yang baik, sebaik-baik pergaulan adalah berteman
dengan para ulama (orang beriman) dan ilmuwan (intelektual).
5. Melalui perjuangan dan usaha. Menurut Hamka bahwa akhlak terpuji,
tidak timbul kalau tidak dari keutamaan sedangkan keutamaan tercapai
melalui perjuangan.
Adapun peningkatan karakter atau akhlak yang terpuji batiniah dapat
dilakukan melalui:
1. Muhasabah, yaitu selalu manghitung perbuatan yang telah dilakukannya
selama ini, baik perbuatan buruk beserta akibat yang ditimbulkannya,
ataupun perbuatan baik beserta akibat yang ditimbulkan olehnya.
2. Mu’aqobah, memberikan hukuman terhadap berbagai perbuatan dan
tindakan yang telah dilakukannya. Hukuman ini tentu bersifat ruhiyah dan
berorientasi pada seperti, melakukan shalat sunah yang lebih banyak jika
dibanding biasanya, berzikir, dan sebagainya.
3. Mu’ahadah, perjanjian dengan hati nurani (batin), untuk tidak mengulangi
kesalahan dan keburukan tidakan yang dilakukan serta menggantinya
dengan perbuatan baik.
4. Mujahadah, berusaha maksimal untuk melakukan perbuatan yang baik
untuk mencapai derajat ihsan, sehinnga mampu mendekatkan di pada
Allah SWT (muraqabah). Hal ini dilakukan dengan kesungguhan dan
perjuangan keras, karena perjalanan untuk mendekatkan diri kepada Allah
banyak rintangannya (Zahruddin, 2004:162).
Secara terperinci, proses untuk membentuk karakter menurut
Asifin (2001) bisa menggunakan tujuh tahapan dalam memperoleh
67
pengetahuan (ma’rifatullah). Tujuh tahapan itu meliputi: muatabah,
muroqobah, mujahadah, musyahadah, mukasyafah, mahabbah, dan ma’rifah.
1. Muatabah
Muatabah berakar dari kata “taba” yang karena pengaruh perubahan
bentuk bisa menjadi kata “inabah” atau “muatabah”. Kata ini secara
hakiki mempunyai arti penyesalan.
Secara lughawi, kata tersebut dapat dilihat pengertiannya dalam dua
kitab karangan al-Ghazali, yaitu kitab Ihya’ul ulumuddin dan kitab
Raudhah yang menerangkan sebagai berikut; tobat atau muatabah adalah
meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak melakukannya
lagi, atau tobat adalah kembali dari maksiat menuju taat. Kembali dari alan
yang jauh menuju jalan yang dekat. Dengan demikian, orang yang bertobat
adalah orang yang berhenti melanggar larangan Allah dan kembali untuk
melaksanakan perintah-Nya. Berhentu berbuat maksiat dan patuh serta
mencintai Allah. Berhenti melakukan hal-hal yang dibenci Allah dan
berusaha menjalani apa yang diridhai dan disenangi-Nya dan ia merasa
bersedih hati atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.
Tobat menimbulkan perasaan duka cinta yang terhujam dalam
lubuk hati, mengganggu tidurnya, menumbuhkan rasa penyesalan yang
mandalam dan membangkitkan semangat yang bulat untuk melepaskan
noda dan dosa yang pernah dilakukannya dan bertekad memulai
kehidupan yang lebih baik. Tobat dalam pengertian demikian artinya tobat
nasuha, maksudnya tobat yang sesungguhnya, bukan hanya terucap di
lisan disertai dengan pengucapan lafaz istighfar sebagai tanda penyesalan,
68
tetapi yang lebih penting dari itu ialah suatu upaya untuk menjauhi dan
tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan untuk kedua
kalinya.
Al-Ghazali menetapkan ada beberapa perkara yang menjadi rukun
tobat, yaitu pengetahuan, sesal, niat, dan meninggalkannya. Kemudian,
menurut kalangan ahli tasawuf, taubat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
pertama, taubat yang dilakukan secara umum, yang dilakukan bila
seseorang telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan-aturan
yang telah digariskan oleh agama. Taubat ini barangkali bisa disebut
dengan taubatul ‘am (taubat secara umum). Taubat pada tingkatan ini
mempunyai pengertian secara umum, yaitu lari dari maksiat kepada taat
semata-mata karena takut akan murka dan siksaan-Nya. Taubat ini adalah
taubat orang-orang yang beriman (QS. An-Nur: 31).
Kedua, inabah, yaitu kembali dari yang baik menuju yang labih
baik demi memohon keridhaan Allah. Taubat pada tingkatan yang kedua
ini akan senantiasa menimbulkan upaya untuk maningkatkan kualitas dan
mutu ibadah seseorang pada tingkatan yang akhir yaitu kesempurnaan.
Taubat pada tingkatan ini didasari oleh perasaan bahwa ibadah selama ini
dilakukan masih jauh dari kesempurnaan dan masih kurang, dan
kekurangan ini dianggap sebagai satu kesalahan yang melandasi upaya
pertaubatan. Taubat ini juga menjadi sifat para sufi yang mengajak dari hal
satu menuju pada hal yang lain (QS. Qaf: 32-33).
Ketiga, taubatar rasul, yaitu pertaubatan yang dilakukan oleh para
Nabi dan Rasul. Taubat pada tingkatan ini tidak dimaksudkan untuk
69
mengharap pahala apalagi karena takut akan siksa. Bukankah Nabi dan
Rasul adalah manusia-manusia ma’sum, yang dijaga dari dosa.
1. Muroqobah
Secara harfiah muroqobah dapat diartikan “awas mengawasi”. Al-
Qusyairi dalam Arrisalah al-Qusyairiyyah mengartikan muroqobah adalah
bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya. Menurut
Abdul Aziz ad-Daraini, muroqobah adalah tahu bahwa sesungguhnya
Allah mendengar, mengetahui dan melihat.
Kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa muroqobah ialah
suatu keadaan seseorang yang meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah
selalu melihat dan mengawasi manusia. Keyakinan ini sudah tentu harus
mengakar dan mendarah daging dalam lubuk hati, sebagai satu keadaan
jiwa (hal) seseorang.
Kenyataannya bahwa betapa banyak manusia yang lalai dan tidak
menyadari sepenuh hati akan pengawasan Allah terhadap segala ucapan
dan tindakannya. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan manusia sering
kali tidak menyadari terhadap pengawasan Allah, pertama, karena
banyaknya kesibukan dalam mengurusi urusan duniawi yang tidak sedikit
pun urusan ini memiliki orientasinya kepada Allah. Semakin banyak
kesibukan untuk mengurusi persoalan yang bersifat duniawi, maka sedikit
banyak akan menyita dan mengurangi waktu untuk mengingat Allah.
Kedua, banyaknya dosa yang biasa dilakukan. Ketika seseorang telah
melupakan Allah, artinya ia lupa bahwa Allah selalu mengawasinya. Hal
70
ini mengakibatkan tindakannya tidak lagi terkontrol, dan cenderung
berdasarkan kesenangan hatinya sendiri.
Menurut Abdul Aziz ad-Daraini dalam kitab Thaharatul Qulub,
muroqobah menghasilkan sikap-sikap positif sebagai berikut:
a. Haya’ (sikap malu)
Sifat malu adalah suatu tindakan batin. Ia bersemayam dalam kalbu dan
akan memancarkan cahaya indah dalam setiap gerak langkah. Malu adalah
sejenis perasaan, yang karenanya secara hakiki tidak bisa dibuat dusta.
Hakikat malu bukan pada tindakan. Tingkah laku sesungguhnya hanya
merupakan ekspresi dari malu itu sendiri. Oleh karena itu, malu
merupakan sejenis perasaan, maka malu adalah sifat yang dalam istilah
lain dapat juga disebut dengan akhlak.
Secara umum, ada tiga macam malu dalam pandangan Islam.
Pertama, malu terhadap manusia. Sifat malu pada tahap ini akan
menjadikan buah tindakan seseorang selalu mengarah pada tingkah-
tingkah yang sesuai dengan ukuran etika, moral dan nilai-nilai luhur yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sifat malu terhadap manusia ini akan
menjadikan pemiliknya selalu bertindak dalam patokan pantas atau tidak
tindakan tersebut dilakukan.
Kedua, sifat malu terhadap diri sendiri. Malu pada diri sendiri ialah
tingkatan malu yang lebih tinggi daripada malu kepada orang lain. Malu
pada diri sendiri adalah suatu perasaan malu yang bukan kepada orang lain
melainkan dia merasa malu sendiri pada dirinya ketika melakukan yang
menurutnya kurang pantas dan tak seharusnya dilakukan.
71
Ketiga, sifat malu kepada Allah. Inilah tingkat malu yang paling
tinggi, yang telah dijadikan sebagai tolok ukur dalam dunia sufi. Malu
kepada Allah adalah suatu perasaan dimana seseorang tidak hanya sekadar
malu pada orang lain dan malu pada diri sendiri, tetapi lebih dari itu, dia
telah menanamkan perasaan malunya pada Dzat yang Agung. Tidak ada
alasan sama sekali untuk tidak malu kepada Allah.
b. Haibah (hormat)
Buah dari muqorobah selanjutnya adalah tumbuhnya perasaan hormat
kepada Allah. Hormat di sini adalah suatu perasaan seseorang yang
mengagungkan Allah atas dasar hormat, dan tidak berani kepada Allah
karena takut. Pengertian ini memberikan kejelasan bahwa dalam rasa
hormat sesungguhnya menumbuhkan perasaan takut. Tetapi perasaan takut
dalam hormat adalah perasaan takut yang atas dasar segan, bukan takut
karena tidak berani atau karena tidak punya kekuatan untuk melawan.
Hormat yang di dalamnya ada takut karena segan menutup kemungkinan
untuk melawan.
Bila dikaji dari segi psikologis, rasa hormat akan melahirkan
perasaan patuh. Sebagaimana seorang anak yang punya rasa hormat
kepada orang tuanya, pastilah seorang anak tersebut akan mematuhi orang
tuanya. Dengan demikian, seyogianya bahkan wajib manusia itu menaruh
hormat kepada Dzat yang lebih mengetahui segala-galanya.
c. Ta’zim (memuliakan)
Selain mempunyai arti memuliakan, ta’zim juga mempunyai arti
mengagungkan atau membesarkan. Buah tindakan dari muroqobah setelah
72
tumbuh rasa malu dan hormat kepada Allah adalah tertanamnya rasa
memuliakan Allah. Memuliakan Allah adalah suatu perasaan dimana
seseorang menempatkan Allah pada posisi yang paling di atas segala-
galanya. Parasaan ini pada giliran yang lain akan menumbuhkembangkan
perasaan bahwa semua selain Allah adalah kecil.
2. Mujahadah
Mujahadah dari segi bahasa, berasal dari kata jahada atau ijtihada.
Kata ini berarti: berusaha keras, sungguh-sungguh atau perjuangan.
Mujahadah bisa dikatakan bahwa segala bentuk upaya yang senantiasa
dilandasi dengan kesungguhan, usaha keras, ketekunan dan dalam bentuk
perjuangan. Artinya, ketika seseorang ingin menggapai apa yang menjadi
keinginannya, maka orang ini tidak bisa lepas dengan faktor-faktor
kesungguhan, berusaha keras, ketekunan bahkan perjuangan.
Dalam definisi kajian tasawuf, mujahadah adalah pengendalian
atau kontrol terhadap nafsu dari hal-hal yang menggiurkan, dan upaya
melawan keinginan hawa nafsu ini dilakukan pada setiap saat. Al-Ghazali
mengatakan bahwa mujahadah adalah mencurahkan keseriusan dalam
melawan atau membunuh segala bujukan yang bersumber dari hawa nafsu
dan setan.
Al-Ghazali memberikan beberapa metode dalam mujahadah.
Pertama, sedikit demi sedikit mengurangi makan. Sebab makan
sesungguhnya merupakan tangan panjang dari nafsu. Selain itu, makanan
yang dimakan harus halal, serta menentukan banyak sedikitnya makan,
cepat lambatnya makan, dan menentukan jenis makanan. Kedua,
73
meninggalkan dan mem-fana-kan ikhtiar dengan menyerahkan ikhtiar
kepada seorang yang terjaga agar memilihkan apa yang terbaik untuk
dijalani. Ketiga, melakukan beberapa amalan, seperti melanggengkan
wudhu, banyak berpuasa, berzikir.
3. Musyahadah
Musyahadah dapat diperoleh setelah seseorang ber-mujahadah
secara sungguh-sungguh. Menurut para ahli tasawuf, musyahadah diawali
dengan muhadharah (kehadiran hati). Musyahadah adalah kehadiran
kepada Allah. Moh. Syaifullah al-Aziz menyebutkan bahwa musyahadah
adalah tampaknya Allah pada hamba-Nya, dimana seorang hamba tidak
melihat sesuatu apa pun dalam beribadah (dalam pengertian umum),
kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa ia
hanya berhadapan dan dilihat Allah.
Musyahadah dapat dikatakan tindak lanjut dari ajaran ihsan yang
mengajarkan tentang konsep ibadah yang sesungguhnya dengan sesuatu
ukuran “seakan-akan seorang hamba melihat Tuhan-Nya, atau kalau
seperti itu, pastinya bahwa Allah melihat hamba-Nya”. Imam al-Junaid
memberikan definisi bahwa musyahadah adalah tampaknya al-Haq di
mana alam perasaan sudah mati. Al-Ghazali memberikan satu ibarat
terhadap masalah hati dalam mencapai musyahadah, sebuah hati
diibaratkan dengan sebuah kepingan baja hitam, bagaimanapun hitamnya
kepingan baja tersebut, apabila diasah dan senantiasa dibersihkan terus-
menerus dan secara kontinu (istiqomah), maka lempengan baja hitam ini
akan berusaha menjadi putih sekaligus mampu berkilau sehingga dapat
74
menerima cahaya dari arah mana pun sekaligus bisa memantulkan terpaan
cahaya yang mengenainya.
Haderanie menyebutkan sebab-sebab yang menjadikan hati
seorang hamba tertutup/hitam, sehingga ia tidak bisa musyahadah kepada
Allah: 1) keingkaran; 2) kebodohan/ ketidak adanya pengertian; 3)
prasangka buruk (terhadap Allah); dan 4) terlalu sibuk dengan urusan
dunia dan senantiasa melupakan segala urusan akhirat.
Menurut M. Nafis bin Idris al-Banjari, ada beberapa faktor yang
menyebabkan seorang pelaku tasawuf gagal di tengah jalan dan tidak bisa
sampai pada tingkat makrifat dan musyahadah yaitu: malas, bimbang atau
lemah pendirian, dan pembosan. Faktor yang menggagalkan adalah yang
termasuk syirik khofi seperti riya (pamer atau karena ingin dipuja orang
lain), ujub (merasa hebat sendiri), dan sum’ah (membanggakan diri supaya
mendapat pujian orang lain).
4. Mukasyafah
Istilah mukasyafah secara bahasa mempunyai arti terbuka tirai.
Meksud yang terkandung dalam terbuka tirai di sini adalah terbukanya
segala rahasia-rahasia alam yang tersembunyi atau terbukanya pengertian
dan hal-hal yang bersifat gaib. Sesuatu yang dalam kategori gaib di sini
mungkin bisa diartikan dengan segala sesuatu yang tidak dapat diindrakan,
tidak bisa dilihat dengan kasatmata, tidak bisa mungkin didengar dengan
telinga, dan tidak mungkin dijamah dengan tubuh. Sesuatu yang gaib
intinya adalah sesuatu yang tak bisa dijamah dan dijangkau oleh indra
dhahir manusia.
75
Sesungguhnya hati manusia mempunyai potensi besar untuk ber-
musyhadah kepada Allah, karena sebagaimana dinyatakan dalam hadis
Qudsi bahwa hanya hatilah satu-satunya di dunia ini yang sanggup
menampung Allah di dalamnya. Tetapi, pada kenyataannya hati yang
sesungguhnya sejak semula dalam keadaan suci bersih yang seharusnya
sanggup menerima dan memantulkan Nur Allah telah tertutup oleh hijab
atau tirai yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Allah tidak
sekali-kali menutupi diri-Nya dengan sesuatu apa pun, tetapi manusia
sendirilah yang menutup yang mahanyata itu. Di sinilah letak adanya tirai
yang menutupi pandangan seorang hamba kepada Tuhannya itu.
Di sinilah sebenarnya letak mukasyafah itu. Tirai di sini yang
dimaksud adalah sebuah tabir gelap yang menghalang-halangi penglihatan
seorang hamba kepada Tuhannya. Dinding tebal inilah yang menyebabkan
Nur Allah tidak bisa masuk sehingga seorang hamba tidak mampu untuk
musyahadah kepada Allah.
Secara teori, mukasyafah adalah terbukanya tirai-tirai yang gaib
secara menyeluruh. Terbukanya tirai dalam mukasyafah sesungguhnya
tidak hanya meliputi terbukanya rahasia yang ada kaitannya dengan Allah,
tetapi juga meliputi segala rahasia-rahasia alam lainnya.
Mukasyafah mempunyai dua jenis. Pertama, mukasyafah
rububiyah, yaitu terbukanya tirai ke tuhanan. Pada jenis mukasyafah ini
Allah membukakan tirai dan hijab yang menutupi-Nya bagi seorang
hamba, pada saat ini seorang hamba telah mengetahui rahasia-rahasia al-
Haq. Kedua, mukasyafah gaibiyah, yaitu terbukanya tirai kegaiban. Di sini
76
orang-orang akan mengetahui hal-hal gaib. Gaib di sini mempunyai objek
pembahasan lain. Mukasyafah gaibiyah berdasarkan kenyataan yang
terjadi pada umumnya ada hubungan dengan unsur bakat seseorang, atau
kemungkinan juga orang itu sebelumnya telah melakukan latihan tertentu
yang didukung dengan bakatnya sehingga ia mampu melihat hal-hal gaib.
5. Mahabah
Kata mahabbah secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta. Secara
teori, cinta sesungguhnya adalah sebuah perilaku emosional yang jauh
sekali hubungannya dengan perilaku rasional. Ketika seseorang telah
menetapkan hati untuk memberikan cintanya kepada orang lain, maka
syarat mutlak bagi orang tersebut adalah harus mau berkorban.
Ketidakrasionalan cinta memang menjadikan cinta itu buta, dan alah
menjadikan jarak semakin dekat antara cinta dan gila.
Secara teoritis, cinta dapat diartikan sebagai bentuk perhatian
seseorang kepada yang lain. Sebentuk perhatian ini pada tahap-tahap
tertentu akan mencapai puncaknya, di mana seseorang selalu mencurahkan
perhatiannya pada satu objek tertentu. Ketika sebentuk perhatian ini telah
mencapai puncaknya, maka akan menimbulkan keteringatan yang
berlebihan kepada objek yang dituju secara perlahan akan masuk dalam
alam pikiran sekaligus pada perasaan hati.
Pengertian mahabbah (cinta) dalam konsep lain adalah
kecenderungan tabiat kepada sesuatu, karena keadaan sesuatu itu lezat
bagi orang bercinta kasih. Adalah sebuah keniscayaan bahwa cinta pasti
akan membuahkan sebuah sikap. Cinta pada hakikatnya berangkat dari
77
ketulusan, keikhlasan, dan kesucian yang menghasilkan sikap ai-uns,
wushul, dan as-syauq. Al-uns mempunyai arti sukacita secara kejiwaan.
Al-Ghazali mengatakn bahwa pengaruh dari rasa mahabbah kepada Allah
adalah perasaan sukacita (al-uns). Hakikat al-uns adalah rasa suka dan
kegembiraan yang tiada tara karena terjadinya mukasyafah kepada Allah
dengan segala keindahan dan keparipurnaan-Nya saat taqarrub
(berdekatan) dengan Allah. Taqarrub sesungguhnya tiada hijab yang
membatasi seorang pecinta Allah dengan-Nya. Al-uns pada giliran lain
menjadikan perasaan mahabbah menumbuhkan rasa sakinah (tenteram dan
damai) dan thuma’ninah (ketenangan jiwa).
Sementara itu, pengertian wushul menurut al-Ghazali adalah
manakala seseorang hamba dubukakan hatinya akan pesona Al-Haq
(Allah) dan ia tenggelam di dalamnya. Apabila ia memandang kepada
yang dipandang, maka tiada lain kecuali Allah. Jika memandang pada cita-
cita dan tujuannya, tiada pula cita-cita itu, selain Allah. Hakikat wushul
sesungguhnya memberikan efek, dampak atau atsar, yang menurut al-
Ghazali apabila seorang hamba melihat kepada apa saja yang dilihat, maka
tiada lain yang dilihat kecuali Dia. Kondisi rohani seperti ini sebagai buah
dari cinta yang sejati, di mana seorang hamba ketika hanya disibukkan
dengan perasaan cintanya kepada Allah, maka bayangan Allah senantiasa
akan hadir dan tampak di pelupuk mata, hingga bayangan itu terwujud
pada setiap pandangannya.
Adapun pengertian as-syauq adalah rindu. Rindu bukan saja
merupakan satu kata yang sekali hubungannya dekan kata cinta, melainkan
78
rindu merupakan perasaan yang bersatu padu dengan rasa cinta. Rindu
adalah buah cinta yang paling dekat dengan rasa cinta dibanding dengan
lainnya, karena rindu adalah buah cinta yang merupakan atsar langsung.
Rindu kepada Allah biasa diistilahkan dengan isyiq, yang selain
mempunyai arti rindu, juga mempunyai pengertian terdapat akses perilaku
abnormal pada diri seseorang yang menyimpan rindu. Tidak diragukan
lagi bahwa cinta kepada Allah sudah barang tentu harus dimiliki seorang
hamba, agar bisa sampai pada derajat hamba yang betu-betul mencintai-
Nya, dan bisa menempuh jalan yang dilaui oleh orang-orang yang mulia.
Cinta kepada Allah merupakan anugerah yang suci, pancaran ilahi, dan
nikmat Rabbaniy, yang dianugerahkan oleh Kekasih Agung.
7. Ma’rifah
Kata ma’rifat bila dilihat dari segi bahasa mempunyai arti
pengetahuan. Secara bahasa al-Ghazali mengartikan ma’rifat sebagai
pengetahuan yang tidak menerima keraguan lain. Secara istilah, makrifat
artinya suatu pengetahuan yang didasarkan atas suatu keyakinan yang
penuh terhadap sesuatu hingga hilanglah suatu keragu-raguan. Dengan
pengertian yang demikian ini, maka di dalam makrifat sesungguhnya tidak
ada sedikit pun keragu-raguan. Yang ada dalam makrifat hanyalah satu
keyakinan.
Ma’rifat, sebagai suatu pengetahuan terhadap sesuatu sudah barang
tentu mempunyai objek. Objek yang ingin dicapai dalam makrifat baik
secara umum (dalam kerangka kajian ilmu pengetahuan) maupun secara
khusus (dalam kajian ilmu tasawuf) adalah al-Haq (kebenaran). Dalam
79
kerangka ilmu pengetahuan, kebenaran dapat di peroleh melalui tiga
kategori pengetahuan, yaitu: pertama, pengetahuan indrawi. Pengetahuan
ini meliputi fenomena yang dapat dijangkau secara langsung oleh
pancaindra. Pengetahuan jenis ini dapat dikatakan bahwa sesuatu itu benar
jika pancaindra sanggup menjangkaunya. Batas pengetahuan ini adalah
segala sesuatu yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Kedua, pengetahuan
keilmuan (science). Pengetahuan ini meliputi semua fenimena yang dapat
diteliti dengan riset atau eksperimen, sehingga apa yang berada di balik
pengetahuan indrawi bisa terjangkau. Pengetahuan ini berpendapat bahwa
sesuatu dikatakan benar jika sesuatu itu dapat dibuktikan dan diuji secara
riset dan eksperimen. Batas pengetahuan ini adalah segala sesuatu yang
tidak terjangkau lagi oleh rasio, atau otak dan pancaindra. Ketiga,
pengetahuan falsafi. Pengetahuan ini mencakup segala fenomena yang tak
dapat diteliti, tetapi dapat dipikirkan. Pada pengetahuan tingkat falsafi,
sesuatu dianggap benar jika sesuai dengan pikiran. Batas pengetahuan ini
adalah alam, bahkan juga bisa menembus apa yang ada diluar alam;
Tuhan.
Makrifat sesungguhnya tidak hanya meliputi pada pengetahuan
yang sesungguhnya terhadap Dzat dan sifat Allah, melainkan sudah pada
tingkat penyaksian secara langsung dengan mata hati kepada al-Haq tanpa
adanya hijab sedikit pun. Pada tingkat inilah seorang hamba benar-benar
akan mengetahui kebenaran tentang Tuhan-Nya.
Makrifat adalah sebuah anugerah pemberian langsung dari Allah
kepada para hamba yang Ia kehendaki. Tentunya Allah sendiri tahu dan
80
tentu akan lebih tahu daripada kita kepada siapa anugerah yang berupa
makrifat tersebut dianugerahkan. Sekali-kali Allah tidak akan pernah
memberi anugerah agung kepada seseorang yang barangkali dari segi apa
pun orang ini tidak pantas untuk menerimanya.
Sebagai suatu anugerah, Allah sesungguhnya memnukakan pintu
ikhtiar bagi hamba-hamba-Nya yang ingin mengenal lebih jauh tentang-
Nya. Pengenalan akan eksistensi manusia adalah merupakan suatu jalan
untuk menuju pengetahuan akan hakikat Tuhan. Artinya, untuk sampai
pada ma’rifatullah, maka terlebi dahulu seseorang harus mengenal hakikat
dirinya sendiri. Itulah sebuah jalan yang pertama-tama harus dilalui.
I. Perlunya Pengorbanan dan Keteladanan dalam Pendidikan Karakter
Husaini (2010) menulis sebuah artikel yang dimuat dalam Republika
dengan judul ”Pendidikan Karakter”. Dalam artikel tersebut, ia menggelorakan
kembali semangat Mohammad Natsir, salah satu pahlawan nasional, yang
sangat percaya bahwa: "Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara
bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya".
Dari pernyataan tersebut, ada dua kata kunci kemajuan bangsa yaitu 'guru' dan
'pengorbanan'. Maka itu, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan
mencetak 'guru-guru yang suka berkorban'. Guru yang dimaksud Natsir bukan
sekadar 'guru pengajar dalam kelas formal'. Guru adalah para pemimpin, orang
tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. 'Guru' adalah digugu (ditaati) dan
ditiru (dicontoh). Guru bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab
soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-
muridnya.
81
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah
mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya
dipenuhi dengan idealisme tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan
bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia
memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia mendirikan
Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar,
serta mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari
dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya
pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Di samping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan
pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah
Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah
pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke
Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).
Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI, M.
Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan
Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, ia mengingatkan bahaya besar
yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat
pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya
kondisi manusia Indonesia setelah kemerdekaan dengan prakemerdekaan.
Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai
pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai
berubah. Natsir menulis: "Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya
habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini
82
mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang
merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus
tahun yang lampa. Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta
dihargai. Sekarang timbul penyakit bakhil (pelit). Bakhil keringat, bakhil
waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang sudah mencari untuk dirinya
sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya.
Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu, menurut Husaini (2010) perlu
dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik.
Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia,
wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan
bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan
pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, "Salah satu
penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan
dalam mencintai dunia."
Lebih jauh, kata Natsir: "Di negara kita, penyakit cinta dunia yang
berlebihan itu merupakan gejala yang 'baru', tidak kita jumpai pada masa
revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite
masyarakat). Tetapi, gejala yang 'baru' ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat
perkembangannya sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika
gejala ini dibiarkan berkembang terus, bukan saja umat Islam akan dapat
mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, melainkan bagi bangsa
kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius."
Dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang
sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan
83
sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia
pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul,
beriman, bertakwa, profesional, dan berkarakter.
Kini, yang dibutuhkan bangsa ini adalah 'guru-guru sejati' yang cinta berkorban
untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia
melihat para pakar dan pejabat publik hanya gemar berteori dan berjanji, tanpa
amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata
kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan. Misalnya, tidak
sedikit sekolah-sekolah tertentu –dengan dalih Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) –memungut dana yang relatif besar dari wali murid.
Pemungutan dana yang kadang tidak disertai pertanggungjawaban yang jelas
dan tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan yang signifikan,
agaknya tidak begitu salah jika ada orang yang sinis menyatakan bahwa
kepanjangan huruf B dari RSBI adalah bukan Bertaraf melainkan hanya
Bertarif. Artinya, yang meningkat hanya tarifnya, sementara tarafnya tidak
kunjung meningkat.
Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang
sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden,
menteri, anggota DPR, para pejabat publik lainnya, para pendidik, dan para
orang tua harus memberi teladan.
J. Karakter Cermin Aqidah
Karakter/akhlaq merupakan cerminan keyakinan yang telah melekat kuat
dalam jiwa. Bukan karena bagusnya pemahaman, melainkan kuatnya
84
penghayatan. Ia menyandarkan diri pada nilai-nilai tertentu dan berusaha
secara sengajabertindak dan menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan
yang diyakini. Boleh jadi seseorang adakalanya tindakannya tidak sesuai
dengan keyakinannya, tetapi ia melakukannya tidak dengan ringan hati. Ia tetap
mengingkari perbuatannya dan berusaha agar sesuai dengan keyakinannya.
Ada yang perlu kita renungkan tentang pendidikan anak-anak kita. Ada
yang prlu kita kaji kembali apakah sekolah-sekolah kita sudah melaksanakan
proses penanaman karakter mulia secara sadar, sengaja, dan terencana? Ini
merupakan tanggung jawab seluruh unsur sekolah, terlebih guru yang setiap
hari bertemu anak-anak. Jika penanaman karakter/akhlaq hanya menjadi
tanggung jawab guru pengampu mata pelajaran yang terkait agama dan budi
pekerti, maka sesungguhnya di sekolah tersebut tidak ada pendidikan. Ia hanya
lembaga pengajaran atau kursus yang bernama sekolah, bukan pendidikan yang
sebenarnya (the real education). Mari kita perbaiki niat, persepsi, dan tindakan
kita untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkarakter kuat dan
mulia agar masa depan bangsa lebih baik.
Sebagai seorang pendidik, khususnya guru agama Islam, kita harus
menghayati dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip utama untuk membangun
karakter peserta didik yang akan melahirkan peradaban bangsa yang unggul
yang sesuai dengan fitrah manusia, sebagaimana telah diletakkan olen Nabi
Muhammdan saw. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dan tersurat dalam jawaban
Rasulullah saw ketika menjawab pertanyaan dari Ali bin Abi Thalib r.a.,
sebagai berikut.
Ma’rifat adalah modalku, akal pikiran adalah sumber agamaku,rindu kendaraanku, keteguhan perbendaharanku, duka adalah kawanku,
85
ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan sasaranku,faqir adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinanmakananku, kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihadperangaiku, dan hiburanku adalah dalam sembahyang (Haekal, 200:214).
Prinsip-prinsip inilah yang merupakan kunci dari semua landasan
tentang kepemimpinan Rasulullah saw, sehingga Beliau sukses mencapai
puncak tertinggi kepemimpinannya: sukses membentuk karakter para sahabat
yang mulia, sukses membangun peradaban manusia yang manusiawi. Ya,
membangun karakter memang hanya akan sukses dilakukan oleh orang-orang
yang juga berkarakter!
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berusaha menghasilkan sebuah model yang dilakukan
dengan peendekatan penelitian kualitatif. Taylor (dalam Meleong, 2002: 3)
86
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang atau periklaku yang diamati. Data deskriptif adalah data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar bukan angka. Semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap yang diteliti.
Pendekatan penelitian ini adalah induksi-konseptualisasi, yaitu dilakukaan
dengan Dari fakta/ informasi ke konsep dirubah kedalam bentuk yang lebih
abstrak. Data yang terakumulasi dibawah suatu label akhirnya dikembangkan
menjadi pernyataan-pernyataan tentang definisi nominal, makna teoritis, atau
konten substantif dari suatu konsep. Dengan demikian , akan diperoleh suatu
makna atas dasar interrelasi dalam sistem kategori yang lebih alamiah
sifatnya.
B. Desain dan Langkah Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah explanatory mixed methods
research design (Creswell, 2008), yaitu dengan memadukan antara
pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kuantitatif secara terpadu dan
saling mendukung. Desain tersebut divisualisasikan pada bagan 1 berikut.
menindaklanjuti
Bagan 1 explanatory mixed methods research design ( diadaptasi dari
Creswell, 2008)
87
QUANTITATIVE(data dan hasil)
QUALITATIVE(data dan hasil)
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk melakukan pendataan awal
terhadap prolematik yang dialami mahasiswa, sementara pendekatan kualitatif
digunakan selama proses pengembangan model yang melibatkan dosen mata
kuliah, dosen penasehat akademik, satuan keamanan kampus, karyawan, ketua
RT/RW, pemilik kos dan tokoh agama/tokoh masyarakat kota Salatiga.
Adapun tahap penelitian secara rinci akan dilakukan sebagai berikut:
1. Tahap persiapan : merupakan studi pendahuluan dan kajian pustaka yang
bertujuan mendapatkan konsep tentang pengembangan model pendidikan
karakter bagi mahasiswa
2. Tahap merancang model hipotetik : yaitu merancang model
pengembangan pendidikana karakter mahasiswa yang didasarkan hasil
studi literatur dan kondisi objektif karakter mahasiswa STAIN Salatiga
serta kondisi lingkungan kampus, dosen, karyawan dan lingkungan tempat
tinggal mahasiswa
3. Merancang model pembinaan karakter mahasiswa dengan berkolaborasi
dengan dosen pembimbing akademik (dosen PA), dosen senior, tokoh
masyarakat, tokoh agama, RT/RW lingkungan mahasiswa tinggal serta
pemilik kos
4. Tahap merancang model akhir melalui ferivikasi dengan dari para
kolaborator dan dua ahli dalam bidang pembinaan karakter.
5. Tahap perbaikan model hipotetik, dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan evaluasi hasil uji kelayakan model, memperbaiki model secara
kolaboratif dan menyusun kembali model pembinaan karakter mahasiswa.
6. Tahap uji lapangan, yaitu melakukan uji empirik model pembinaan
88
karakter mahasiswa melalui uji efektivitas model
7. Tahap merancang model akhir, disusun secara kolaboratif berdasar hasil
evaluasi uji empirik hingga tersusun model akhir
C. Penjelasan Istilah
1. Model
Kartadinata (2008) menyatakan bahwa model merupakan
seperangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara
empirik yang diorganisasikan ke dalam sebuah struktur untuk
menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan perilaku atau tindakan.
Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir yang
diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya.
Mills et al (1989:4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk
representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang
atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang
terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya
merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep.
Berdasar pandangan para ahli tersebut, yang dimaksud model
dalam penelitian ini adalah konstruksi konkret dari suatu konsep, asumsi,
proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara empirik yang
diorganisasikan ke dalam sebuah struktur untuk menjelaskan,
memprediksi dan mengendalikan perilaku atau tindakan
2. Kolaborasi
Frans & Bursuck (1994:76) yang mengatakan bahwa
“collaboration is a style professional chose to use in order to accomplish
89
a goal they share”. Kolaborasi merupakan proses interprofesional untuk
mengkomunikasikan dan pengambilan keputusan dari beberapa
pengetahuan dan ketrampilan yang terpisah-pisah menjadi lebih sinergi
(National Health and Medical Reseach Council, 2010 : 4). Sementara
Johnson & Johnson (1987) menyatakan bahwa kerjasama (cooperating,
collaborate, joining together) adalah keikutsertaan individu-individu
dalam suatu kegiatan yang membentuk suatu hubungan interpersonal antar
anggota dalam sebuah tim. Individu yang terlibat dalam kolaborasi
mempunyai arah dan tujuan yang tidak berbeda, karenanya tim harus
melakukan perencanaan bersama dan melaksanakannya secara bersama
pula, sebagaimana diungkap oleh Idol & Baran (dalam Schmidt 1999)
bahwa : “ in collaboration, planning and implementing are joint effort”.
Keberhasilan sebuah tim memerlukan partisipasi dan keterlibatan secara
aktif dari anggota tim.
Berdasar uraian diatas, yang dimaksud kolaborasi dalam penelitian ini
kerjasama antara dosen penasehat akademik, dosen matakuliah, konselor
biro konsultasi, tokoh agama/tokoh masyarakat, RT/RW tempat mahasiswa
tinggal serta pemilik kos dalam merancang model pengembangan karakter
mahasiswa
3. Karakter Mahasiswa
Karakter mahasiswa merupakan serangkain kualitas pribadi
mahasiswa yang membedakannya dengan orang lain. Karakter menuntut
adanya pengahayatan nilai, proses mengidentifikasikan diri dengan nilai-
nilai yang diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian
90
dengan nilai yang diyakini sehingga pada akhirnya terjadi karakterisasi
diri.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini mahasiswa baru STAIN Salatiga tahun ajaran
2012/2013 sebanyak 700 orang
E. Teknik Pengumpul Data
1. Angket, digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan untuk
mengetahui kondisi awal karakter mahasiswa STAIN Salatiga
2. Wawancara, ditujukan kepada mahasiswa, alumni, dosen dan karyawan
untuk menemukan data awal tentang kondisi mahasiswa STAIN Salatiga
3. Focus Group Discussion (FGD)
Fokus Grup Diskusi (FGD) merupakan salah satu teknik dalam
mengumpulkan data kualitatif di mana sekelompok orang berdiskusi
dengan pengarahan dari seorang moderator atau fasilitator mengenai suatu
topik. Irwanto (2006: 1-2) mendefinisikan FGD adalah suatu proses
pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu
permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.
Tujuan FGD adalah untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang
sesuatu aspek yang sedang dipelajari terutama yang berkaitan dengan
sikap dan tanggapan terhadap suatu program atau keadaan.
Karakteristik FGD meliputi beberapa hal sebagai berikut : Peserta
terdiri dari 6 – 12 orang, peserta sebaiknya tidak saling mengenal secara
akrab, merupakan proses pengumpulan data yang bersifat kualitatif,
menggunakan diskusi yang terfokus pada suatu topik atau teman tertentu.
91
Berdasar karakteristik tersebut pelaksaan FGD dalam penelitian ini sudah
sejalan dengan tuntutan pelaksanaan FGD, yaitu jumlah peserta masing-
masing kelompok 6 dan 7 orang.
FGD digunakan sebagai tehnik utama penelitian ini, yang
dilakukan untuk memperoleh model pengembangan karakter mahasiswa
secara kolaboratif. Tujuan FDG adalah untuk mendapatkan data tentang
kondisi mahasiwa serta untuk mendapatkan masukan secara komprehensif
bagi pengembangan model pembentukan karakter mahasiswa dari berbagai
perspektif.
Dalam penelitian ini, FGD melibatkan dosen pembimbing
akademik, dosen mata kuliah, pembina ma’had, pembina kemahasiswaan,
konselor Biro Konsultasi Tazkia, ketua RT/RW tempat mahasiswa tinggal,
pemilik kos dan tokoh agama/tokoh masyarakat kota Salatiga. FGD
dipandu oleh seorang fasilitator, seorang notulen serta seorang pengamat.
Data hasil FGD dianalisis secara elaborasi, reorientasi, mengamati
peserta yang dominan, mendeskripsikan peserta yang diam,
mendeskripsikan antusias peserta serta ekspresi peserta ketika
mengemukakan pendapatnya dan menyajikan foto pelaksanaan FGD.
4. Observasi, untuk mengamati perilaku mahasiswa baik di dalam maupun di
luar kampus sebagai cermin kondisi karakter mahasiswa. Aspek yang
diobservasi meliputi tatacara pergulan, gaya busana serta penampilan fisik
lainnya.
F. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data melalui empat cara sebagai berikut.
92
1. Kredibilitas
Kredibilitas data penelitian dipertahankan dengan cara menambah
lama penelitian, mengupayakan observasi secara detail, triangulasi, per
debriefing, dan member check. Juga dilakukan dengan menguji informasi
dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden
terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
Peneliti juga melakukan Peer debriefing (membicarakannya
dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang
diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.
Langkah lain yang peneliti lakukan untuk mengecek keabsahan data
adalah dengan melakukan member check yaitu dengan menguji
kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan
pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan
mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang data.
2. Transferabilitas
Transferabilitas data adalah merupakan kemampuan hasil
penelitian ini untuk diterapkan pada situasi yang lain. Data penelitian ini
dapat diterapkan dalam situasi yang berbeda.
3. Dependability
Dependability merupakan tingkat konsistensi peneliti dalam
mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep
ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Dependability
93
dibuktikan dengan adanya pengulangan data tetapi menunjukkan hasil
yang sama. Juga peneliti lakukan dengan memeriksa makna segala sesuatu
yang di luar, menggunakan kasus ekstern serta menyingkirkan hubungan
yang palsu
4. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas menunjukkan hasil penelitian dapat dibuktikan
kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang
dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan
dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan
tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih
objektif. Untuk menjaga konfirmabilitas dilakukan dengan membentuk
rantai bukti (Chain Evidence), mencari penjelasan tandingan, memberi
bukti yang bertentangan, membuat replika dan berusaha mencari umpan
balikan dari informan.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Patton (dalam Hasan, 2006:29) adalah
proses mengatur, mengurutkan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu
pola, kategori, dan uraian dasar. Terdapat tiga langkah dalam analisis
data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan
(Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data adalah proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transforma
si data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.
94
proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian
berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana
terlihat dari kerangka konseptual penelitian, permsalah studi dan
pendekatan pengumpulan data yang terplih peneliti.
Reduksi data meliputi : Meringkas data, mengkode, nelusur tema,
membuat gugus-gugus. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang
menajamkan data, menggolongkan, mengarahkan, ,membuang yang tidak
perlu dan mengorgasisasikan data sedemikian rupa
sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Reduksi data adalah data yang
diperoleh dari lapangan ditulis dan diketik dalam bentuk urutan atau laporan
yang terperinci (Nasution, 2003:129).
Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi d
isusun, sehingga memberikan kemungkinan aakan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data penelitian ini dalam
bentuk teks naratif dari catatan lapangan baik hasil FGD, hasil observasi
maupun hasil wawancara.
Efektivitas model pembinaan karakter mahasiswa diuji menggunakan
t-tes untuk menguji perbedaan antara karakter sebelum menggunakan model
dengan karakter mahasiswa setelah diterapkannya model.
95
BAB IV
PAPARAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
A. Focus Group Discussion (FGD) dengan Dosen
1. Ihwal Busana
Banyak mahasiswa yang menggunakan levis yang sobek-sobek,
kaos oblong, sandal jepit, dan lainnya sebagai identitas sekaligus update
budaya yang ada. Unik nyentrik dan nyeni alasan mahasiswa
96
penggunanya. Untuk menambah aksen dan mengikuti budaya anak muda
secara umum tidak tanggung-tanggung terdapat bebrapa mahasiswa laki-
laki STAIN Salatiga yang memakai kalung, menindik cuping hidungnya
atau menindik daun telinganya tindik, atau aksesoris lainnya.
Selain mahasiswa, tidak sedikit karyawan dan dosen yang masih
menggunakan pakaian ketat, legging, jilbab yang tidak menutupi dada, dan
transparan. Ada kalimat yang sebetulnya terlalu cepat untuk mengatakan
bahwa rata-rata mahasiswi STAIN Salatiga menganut dan menggunakan
mode atau tata busana yang tidak mencerminkan muslim-muslimah.
2. Pergaulan Antarmahasiswa
Pergaulan laki-laki dan perempuan sebagian dari mahasiswa sangat
bebas kalau bukan kelewat batas. Kebiasaan ini memang berbeda tipis
dengan hubungann layaknya mahasiswa yang sangat intens dengan dunia
dialektis, ngobrol berdua berlainan jenis di kampus sebetulnya tak jadi
masalah, masih dalam dunia wajar, dan tidak perlu untuk berfikir negative,
karena bisa jadi apa yang mereka obrolkan berdua adalah tentang tugas
kuliah, tugas kelompok, atau masalah organisasi, tetapi semua berhak
untuk menilai dan menganggap bahwa itu bukan sekedar tugas kelompok,
diskusi, atau organisasi. Raut wajah mereka ketika berdua adalah raut
wajah hubungan special, intensitas mereka di tangga-tangga gedung, di
teras kelas, memang beraroma cinta kasih yang lupa akan kondisi, situasi,
dan lupa lagi berada di mana mereka lupa berlakunya etika di tempat
umum, lingkungan kampus seakan sirna, dan yang hadir adalah aroma
tempat mojok,, untuk mereka berdua, secara reflek memegang hidung, tiba
97
tiba memegang kepala dari mereka. Lain lagi dengan beberapa kebiasaan
mahasiswa dan mahasiswi yang boncengan dengan motornya, tanpa rasa
risih mereka terlalu cuek melakukannya.
Bahkan lupa atau karena terbiasa dengan kondisi yang sangat dekat
anatra mahasiswa dan mahasiswi, dalam berkomunikasi, sampai terbawa
ke ruang kelas, sehingga pada saat perkuliahan ada baiknya dipisahkan
antara lorong perempuan dan lorong laki-laki, hal ini harus dapat perhatian
khusus dan dapat diinstruksikan oleh dosen.
Kalau memang harus berlebihan, tidak terlalu nyaman rasanya
ketika melihat mahasiswa dan mahasiswi berdua atau pun berkelompok
menggunakan jaringan internet di sudut-sudut yang terutup, di tangga-
tangga gedung biasanya atau di emper kelas yang terhalang pagar lantai,
yang semuanya memungkinkan untuk mengantarkan pada sebuah
kesempatan. Untuk memutus kesempatan tadi, dapatkah diupayakan
daerah-daerah terbuka saja untuk mengakses internet.
Adalah salah satu yang selalu menjadi problem bersama, tidur di
kampus atau mahasiswa yang bukan saja menganggap bahwa kantor UKM
sebagai sekertariat, akan tetapi menggunakan UKM sebagai tempat tidurr,
kosan, atau mungkin hotel. Berbagai macam alasan yang dikeluarkan
mahasiswa untuk mempertahankan kebiasaan ini. Tapi menurut berbagai
pihak memang terasa tidak layak untuk bermalam di kampus. Kegiatan
mahasiswa di malam hari, mengindikasikan pergaulan mahasiswa yang
tidak mencerminkan nilai etika islami
3. Toilet Laki-laki dan Toilet Perempuan
98
Kurangnya fasilitas kamar mandi, bukan sebuah ungkapan tanpa
rasio. Memang bukan untuk mandi penyebutan kamar mandi ini, munkin
lebih pas kalau menggunakan toilet saja, karena hanya digunakan untuk
buang hajat dan kalau memungkinkan untuk mengambil air wudhu.
Kekurangan kamar mandi atau toilet ini memeng secara rasio
perbandingan dengan masyarakat yang ada di dalam kampus STAIN
Salatiga ini terbilang kurang cukup untuk memadai.
Persoalan ini juga merembas pada persoalan pembagian tempat
buang hajat tersebut, mana untuk laki-laki dan mana untuk toilet
perempuan. Melihat kampus umum yang dipandang kampus sekuler saja,
penempatan toilet antara tolilet perempuan dan toilet laki-laki bukan
sekedar kamar yang berada pada satu tempat melainkan pemisahan tempat
dalam satu gedung yang biasanya memiliki jarak yang cukup, paling tidak
dipisah oleh ruang-ruang, sehingga dapat digambarkan toilet laki-laki dan
toilet perempuan berada di ujung gedung berlawanan.
Untuk menambah dan mengikat karakter yang religious dan
mengedepankan akhlak al-karimah, dapat dilakukan ketika istirahat dapat
juga dihangatkan oleh musik-musik religious kalau bukan musik
instrumental classic, seperti Beethoven, Mozart, atau Sebastian Bach.
Dilanjutkan setelah shalat zhuhur berjamaah dengan disisipi tausiah-
tausiah yang diputar kembali di ruang-ruang dengan pararel IT.
Perlu perhatian khusus bagi perokok, kalau tidak berhak untuk
melarang merokok; melalui kesadaran membuang puntung, tempat
99
merokok, merokok dan membuang punting tidak boleh di setiap tempat,
harus ada tempat khusus.
4. Kebersihan
Kebersihan di lingkungan kampus dapat dipastikan menjadi
wilayah pemikiran dari seluruh civitas akademika STAIN Salatiga, baik
kebersihan lingkungan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata,
misalnya halaman-halaman yang dimiliki oleh kampus STAIN belum
dilihat dari segi estetika, ruang halaman yang tidak begitu luas, plus
kesadaran masyarakatnya untuk memperhatikannya serta masih
menyerahkan pada OB-OB atau petugas kebersihan. Mahasiswa masih
membuang sampah sekenanya, karena dianggap tidak tersedianya tong-
tong sampah
Masih banyaknya sampah berserakan adalah bukti tidak
terbangunnya kesadaran dalam pribadi-pribadi masyarakat kampus.
Kebersihan harus menjadi wilayah tidak bisa dikesampingkan perannya,
karena dengan kondisi yang bersih dan nyaman semua proses pendidikan
perkuliahan akan kondusif.
5. Suasana Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Kegiatan Perkuliahan
Sekertariat Ukm-ukm yang kumuh. Suasana kampung teater yang
tidak indah dan rapi. Ruang teater posisinya kurang tepat, mestinya
dilokasi yang tersembunyi.Terganggu oleh kegiatan atau latihan UKM
teater dan music di dekat ruang kuliah atau di lingkungan kampus pada
jam perkuliahan, bahkan waktu-waktu shalat. Sehingga seharusnya
kegiatan-kegiatan itu diupayakan pada waktu bukan jam perkuliahan.
100
Penataan tempat ukm yang kurang reresentatif, sehingga sering
mengganggu kegiatan perkuliahan. Karakter dan peranggan masyarakat
UKM kurang mendapat contoh dari senior dalam berakhlak, dan kegiatan
malam hari harus ditiadakan, lembur harus selesai jam 20.
6. Hubungan Mahasiswa dan Dosen
Hubungan sosial antara mahasiswa dan dosen kurang baik,
kebersihan kurang medapat perhatian baik kebersihan tempat maupun
pakaian. Sosialisasikan peraturan yang massif, bimbingan akhlak terkait
dengan mata kuliah, demonstrasikan dalam sosialisasi, adanya kampanye
hidup bersih. Hindari mahasiswa yang sering ijin dengan menggunakan
fasilitas sms
Masih adanya suasana dilingkungan karyawan dan dosen yang
kurang mendukung terciptanya suasana akhlakul karimah, misalnya
pelayanan kurang ramah yang terkesan angker di mata mahasiswa, dan
terdapat mahasiswa kurang rajin dalam mengikuti perkuliahan
7. Sosialisasi Shalat Berjamaah dan Kegiatan Perkuliahan
Masih ada perkuliahan yang berjalan sementara waktu shalat sudah
tiba, buat jadwal kuliah yang disesuaikan dengan jadwal shalat, jika tidak
buata jadwal yang meniadakan jamperkuliahan pada waktu-waktu shalat.
Kesadaran beribadah belum tumbuh pada sebagian mahasiswa dan civitas
akademik. Perlu adanya spiritual and social life skill melalui tadarus
alquran, pengajian, dll.
Beberapa dosen juga menyarankan untuk mengampanyekan shalat
berjamaah di masjid lingkungan kampus, buatkan peraturan khusus untuk
101
hari jumat, misalnya 15 menit sebelum masuk waktu jumat aktivitas
kampus sudah harus berhenti. Dan menghiasi ruangan-ruangan kelas
dengan kaligrafi ayat-ayat yang menekankan pada pemebentukan karakter
yang etis. Sehingga seluruh civitas dapat termotivasi.
8. Kebijakan
Beberapa harapan dan masukan dari beberapa sebagian besar dosen
untuk membuat kontrak atau peraturan kampus mengenai kegiatan
mahasiswa yang diadakan di malam hari. Masukan untuk adanya peratuan
tersebut misalnya; kgiatan malam hari harus selesai sekitar jam 22.00 dan
keadaan kampus harus kosong, kecuali mereka yang mempersiapkan
kegiatan esok harinya melalui ijin khusus dari lembaga. Dan ini sebetulnya
sudah berjalan beberapa waktu yang disosialisasikan oleh kemahasiswaan
baik Puket III bidang kemahasiswaan, UPK, dan mahasiswa sendiri
diberbagai kesempatan, karena sebenarnya peraturan tersebut juga sudah
dikeluarkan oleh ketua STAIN.
Mahasiswa juga memandang perlu terbentuknya dewan etika,
mengenai perilaku mahasiswa. Sebenarnya dewan etik sudah terbentuk
yang di dalamnya terdapat pejabat STAIN Salatiga, UPK, ketua Jurusan,
kaprodi, dan beberapa dosen yang pernah mengemban tugas di bidang
kemahasiswaan. Dewan etik ini memang belum terlalu banyak menyikapi
penyimpangan prilaku mahasiswa yang masih dalam katagori wajar,
artinya dewan etik hanya menyikapi dan bertugas masih terbatas pada
penanganan persoalan-persoalan yang sangat melewati batas kewajaran
atau penyimpangan perilaku yang berat. Misalnya kasus asusila hubungan
102
suami yang dilakukan oleh sepasang mahasiswa yang belum sah. Selain
itu kasus pencurian dan lain sebagainya yang itu merugikan pihak lain.
Adanya konsistensi dalam menjaga nilai-nilai akhlak atau karakter
antara pendidik dan terdidik. Pendekatan etika harus dibenahi melalui
dualmetode yaitu metode secara teoritis maupun praktis sehingga
mendekati ke holistik. Untuk merealisaikannya lebih ditekankan pada
peraktis pembiasaan. Sementara secara teoritis adakan kuliah-kuliah
tematik; tema etika berhubungan sosial, etika sopan antun, tata karma, dan
kajian budaya. Adanya sinergisitas antarcivitas akademik STAIN Salatiga
menjadi kunci utama untuk membentuk karakter manusia yang beretika.
Kampus terkesan tidak ada regulasi yang jelas dan terkesan tidak
berani untuk menjalankan regulasi kalaupun ada. Buat regulasi, tegakan
aturan, perkuat pengawasan, dan pembinaan berikan teladan yang baik.
Terbentuknya komitmen bersama yang mengarah pada akademik murni
bukan kepentingan golongan. Pejabat kampus yang sok bergaya humanis
terhadap mahasiswa tertentu sehingga kejorokan tetap tidak tersentuh, dan
tidak ada penghargaan atas mahasiswa yang berprestasi, hal ini harus
dikondisikan secra berkesinambungan, sinergisitas antara civitas
akademik.
Orientasi awal hendaknya ditekankan pada etiket, membentuk
satgas etika mahasiswa (wilayatul hizbah). Sosialisasikan tata tertib
antaracivitas akademik, bangun kebersamaan untuk menegakan dan
menegaskan, mengingatkan untuk berprilaku religious, semua bertanggung
jawab. Pegawai dosen dan karyawan jangan melulu kerja untuk uang,
103
mahasiswa dalam situasi antara childhood dan dewasa bukan berarti
disalahkan dan mahasiswa yang memiliki budaya yang heterogen, tidak
semua mahasiswa lulusan pesantren atau lembaga sekolah agama.
dibutuhkan pendekatan personal pada anak didik atau mahasiswa. Mulai
dari dosen dan karyawan. Perlu adanya spiritual and social life skill dan
Training motivasi. Bimbingan akademik perlu dioptimalkan, dank arena
masih banyak mahasiswa STAIN yang tidak dapat membaca al-Quran,
maka perlu diadakannya kursus atau lembaga khusus untuk menjadikan
mahasiswa mampu BTQ karena kita menerima mereka seakan tidak ada
standar BTQ.
Setiap dosen harus bersedia memberlakukan disiplin di kelasnya
misalnya melalui pelarangan bagi mahasiswanya untuk mengikuti
kuliahnya kalau masih menggunakan pakaianyang tidak sopan, puket III
harus membimbing secara priodik guna tercapainya akhlaqul karimah.
B. Focus Group Discussion (FGD) dengan Mahasiswa
1. Pergaulan Antarmahasiswa
Keprihatinan mahasiswa juga tidak jauh berbeda dengan apa yang
dirasakan oleh dosen mengenai pergaulan antara mahasiswa laki-laki dan
mahasiswa perempuan. Pergaulan ini mungkin lebih fulgar dan lebih
bebas. Tidak ada lagi rasa canggung atau risih ketika mereka melakukan
‘ngobrol’ atau bercakap-cakap. Pergaulan sangat terbuka denga prilaku-
prilaku dan bahasa tubuh yang menandakan kemesraan.
104
Mengakses internet di tempat-tempat tertentu yang lebih tertutup;
di tiang-tiang gedung perpustakaan, di lorong antargedung, dan di emperan
kelas yang terhalang pager, menjadi sarana pergaulan mereka karena
menggunakannya dalam kondisi berduaan antara laki-laki dan perempuan,
sehingga sedapat mungkin kampus untuk tidak memfasilitasi (hot spot)
pada tempat-tempat yang dapat digunakan untuk berdua-duaan. Untuk
menambah kepedulian kita terhadap koondisi ini bisa dibantu alat
pemantau berupa pemasangan CCTV di ruang-ruang pojok yang dijadikan
mojok mahasiswa-mahasiswi
Kemudian yang lebih menarik lagi adalah mahasiswa-mahasiswi
STAIN Salatiga juga sebagai masyarakat yang sangat terbuka untuk
menggunakan bahasa-bahasa prokem, walaupun hal ini disadari dan dapat
dianggap hal yang biasa, mengingat budaya terlalu sulit untuk difilterisasi,
akan tetapi penggunaannya tidak harus mengalahkan intensitas dalam
penggunaan bahasa-bahasa ilmiah dan bahasa-bahasa islami yang sopan
dan enak didengar. Tutur kata yang kasar tidak mencerminkan insan
akademis terlebih insan STAIN Salatiga yang bercirikan islami. Maka
dibutuhnya konseling untuk penataan akhlakulkarimah
2. Hubungan Dosen dan mahasiswa
Kondisi kedisiplinan antara dosen dan mahasiswa kurang
terbangun, baik dalam menjalankan perannya maupun dalam
memposisikan dirinya sebagai manusia. Zaman memang sudah berubah,
umur sudah bertambah, bukan berarti kebiasaan kita ketika kecil yang
selalu diajarkan mengenai hormat dan menghargai sopan santun, harus
105
juga bubrah, ketika berada di waktu kuliah. Dosen sebagai guru dan orang
tua harus dihormati oleh mahasiswa, begitu juga mahasiswa harus dihargai
oleh dosen, sehingga tercipta suana yang akrab, dan harmonis antara dosen
dan mahasiswa.
Dosen harus memberi uswah, karena dosen dijadikan cermin oleh
mahasiswa. Dosen bukan sekedar berperan sebagai penyalur ilmu secara
kognisi, akan tetapi dosen harus lebih dari sekedar itu. Dosen harus
menumbuhkan dan menyalurkan pekerti, menularkan prilaku yang baik,
dan menumbuhkan sikap egaliternya dalam kehidupan kampus. Agar
terciptanya suasana yang kekeluargaan, nyaman, dan system partnership
yang humanis. Maka tidak salah kemudian ketika dosen dan mahasiswa
STAI Salatiga dituntut kepekaan terhadap komitmen pembentukan akhlak
al-karimah sebagai modal utama dalam dunia pendidikan Islam.
Ada sesuatu yang menarik, akan tetapi mungkin dari hampir
setiap kita lupa dan tidak menjalankannya karena dianggap tidak penting.
Ini adalah pelajaran yang kita lupakan, tetapi secara nilai ini adalah materi
dasar dari kita hidup beretika dan bertata karma, sekaligus nilai luhur dari
akhlak al-karimah yang islami, dan yakin ini tidak akan mengurangi nilai
keilmuan bagi siapa yang melakukannya, yaitu pada setiap memulai dan
mengakhiri perkuliahan dengan baca doa, bisa doa almaulhusa, atau doa
apa saja, dan lebih bagus lagi jika selesai materi perkuliahan antara
mahasiswa dan dosen bersalaman, atau mungkin berjabat tangan, karena
agama mengajarkan; sesame mukmin kalau bertemu mengucap salam dan
berjabat tangan.
106
3. Fasilitas
Pembagian tolilet wanita dan laki-laki adalah wilayah yang serius
yang selalu mengisi rongga pikir civitas akademika STAIN Salatiga.
Karena pemisahan secara jelas antara toilet perempuan dan toilet laki-laki
gambaran dari meminimalisir dan meneguhkan etika pergaulan antarjenis
kelamin. Karena nilai kelayakan yang berbicara. Ketika berduaduaan
antara perempuan dan laki-laki mahasiswa dalam mengakses internet
dipandang kurang etis, maka lebih tidak etis lagi adalah ketika toilet
perempuan-dan toilet laki-laki hanya bibatasi selembar dinding dalam satu
pintu. Menjadi pemandangan tidak indah ketika mahasiswa laki-laki
dengan mahasiswa perempuan keluar berbarengan dari toilet ‘berbeda’
padahal mereka memang berbeda pula dalam cara membung hajatnya.
Mading yang berada di dalam kampus belum optimal
penggunaanya, selain jumlahnya yang terbatas. Walaupun internet dan
perpustakaan sudah ada, bukan berarti madding tidak perlu. Mading dapat
menjadi tempat sirkulasi setiap informasi sekaligus wahana kreasi
mahasiswa. Berbagai hhasil kreasi mahasiswa dapat dipublikasikan di
mading tersebut. Sekecil apapun fungsi mading adalah kepastian. Dari
surat kabar hingga pengumuman beasiswa dapat ditempel di mading.
Kebersihan di lingkungan STAIN Salatiga masih harus
diperhatikan lagi, mengingat masih banyak terlihat pojok-pojok kampus
yang kotor, dan tidak tersedianya tempat sampah baik di luar kelas
maupun di dalam kelas, plus belum terbangunnya kesadaran masyarakat
kampus untuk membuang sampah pada tempatnya. Dengan kondisi ini
107
untuk menumbuhkan sikap sadar akan kebersihan maka perlu disediakan
tempat sampah secara memadai baik di ruang kelas maupun di lingkungan
kampus.
Selain kebersihan yang menjadi pemikiran bersama, perihal
merokok pun harus tertangani karena hal ini tidak bisa dipisahhkan dari
ranah kebersihan. Merokok adalah kegiatan yang dapat menimbulkan
tingkat kebersihan kampus berkurang, misalnya ketika selesai merokok
maka punting akan menjadi sampah yang menimbulkan aroma yang tidak
sedap. Membuang puntung rokok sembarangan berakibat pada tingkat
kebersihan kampus. Sampah puntung rokok sangat mengganggu
keindahan kampus, maka perlu dibuat batasan wilayah atau smoking area,
yang dapat membuat nyaman si perokok dan dan tidak mengganggu
kenyamana orang yang tidak merokok
Kesemrautan kampus STAIN Salatiga dapat disebabkan oleh
berbagai factor; selain sempitnya arena kampus, banyaknya jumlah
mahasiswa dan semakin bertambahnya jumlah alat transportasi yang
sebanding dengan jumlah mahasiswa, maka semakin mempersempit
tempat parkir, bahkan yang terparah lagi uara mesin yang masuk ke dalam
ruangan ketika kuliah berlangsung. Hal ini harus cepat tertangani. Solusi
yang bisa dilakukan adalah dilarangnya kendaraan masuk ke halaman
kampus terutama di depan-depan kelas, karena jelas ini akan mengganggu
proses perkuliahan. Atau dapat dilakukan dalam sebulan sekali ada
program one free-day mecine, misalnya.
4. Pakaian
108
Mahasiswa STAIN Salatiga memandang mengenai berpakaian dan
busana memang sangat beragam, akan tetapi rata-rata masuk pada kategori
kurang sopan. Bagi mahasiswa STAIN Salatiga, bahwa pakaian yang
sopan adalah yang tidak ketat, tidak transparan, dan sedikit longgar.
Akan tetapi yag terjadi, faktanya adalah mahasiswa STAIN
Salatiga belum menyadari akan pentingnya identitas dirinya melalui cara
berpakaian dan berbusana. Cara berpakain dan berbusana mereka masih
belum islami; rambut panjang, tindikan, kalungan bagi laki-laki, dan bagi
permpuannya masih menggunakan pakaian ketat, transparan plus seksi.
Padahal kalau pun mengikuti model dan trand harus juga mampu
mengukur dirinya. Mahasiswa harus mampu membedakan mana modis
mana trand, mana yang pas dan cocok dipakai dengan modis-modisan
yang tidak cocok, dan bahkan tidak pas, terlebih berkaitan dengan modis
tapi sopan.
5. Kebijakan
Regulasi dan peraturan harus diberlakukan untuk meredam
pelanggaran etika, sekaligus dapat menjadi acuan bagi mahasiswa dan
umumnya bagi civitas akademika STAI Salatiga. Diadakan sanksi dan
ketegasan bukan berarti mengesampingkan kesadaran mahasiswa,
melainkan sebagai awal langkah untuk menuju kesadaran yang murni.
Sanksi bukan hukuman melainkan proses tegas menunjukan arah menuju
yang lebih benar, ketika dilakukan secara bersamaan dengan pembinaan.
109
Pembinaan dapat dilakukan melalui pembentukan tim, sosialisasi yang
massif, dan kegiatan motivasi yang harus terus menerus dilakukan.
C. FGD dengan Pemilik Kos dan Tokoh Masyarakat di Lingkungan Kos
1. Lingkungan Tempat Kos
Kehidupan anak kos yang berasal dari daerah lain atau kota lain
yang biasa dikatakan dengan anak pendatang, secara otomatis keberadaan
di tempat baru ini sangat berbeda dengan daerah yang mereka tinggali
sebelum kos atau berada dalam lingkungan keluarga. Sehingga mau tak
mau mereka yang berasal dari daerah lain atau kota lain harus bisa
menyesuaikan dengan daerah yang mereka tinggali untuk sekarang ini,
dalam teori sosial akan menimbulkan budaya baru baik yang bersifat
asimilasif atau sekedar akulturatif.
Asimilasi budaya tersebut bisa berbentuk tidak munculnya
kebiasaan-kebiasaan dia ketika dalam lingkungan baru, karena budaya
yang ia bawa tidak mampu hidup atau berlaku di wilayah kosnya. Atau
mungkin hanya bersifat berakulturasi yaitu adanya penggabungan budaya
yang dia bawa dengan budaya tempat kosnya. Akan tetapi dapat dipastikan
bahwa kehidupan anak kos akan mengalami dan diwarnai beberapa hal
baru bagi pelakunya. Di mana hal-hal baru tersebut dapat berupa suatu
pengalaman maupun masalah. Anak kos yang jauh dari orang tua tentu
akan mengalami perubahan drastis dari keseharian mereka sewaktu tinggal
bersama orang tua.
Yang sangat kentara dari perubahan itu salah satunya adalah sistem
pergaulan. Bisa saja pergaulan menjadi sangat terbuka lebar bahkan
110
menghilangnya skat-skat yang biasanya menjadi rambu dalam atau yang
dibentuk oleh keluarganya, hal ini mengharuskan mahasiswa sadar diri.
Jika salah bergaul, tentu akan terjerumus ke dalam hal-hal yang berupa
penyimpangan. Untuk itu, anak kos diwajibkan untuk lebih ekstra hati-hati
dalam bergaul.
Kehidupan anak kos memang dirasa sebagai suatu perubahan, di
mana biasanya kita apabila di rumah selalu dilayani dan diawasi oleh
orang tua. Tapi jika di tempat kos kita akan lebih bebas. Namun,
kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab yang lebih besar.
Karena kehidupan anak kos memiliki bermacam-macam efek, dari positif
hingga negatif.
Kehidupan anak kos memang identik dengan kehidupan yang serba
apa adanya, yang penting bisa kuliah dan bisa makan, walaupun ada juga
yang tidak begitu. Di sinilah kehidupan baru dimulai. Kehidupan yag
mengharuskan kita untuk mandiri. Anak kos dituntut untuk bisa lepas dari
kebisaan-kebiasaan yang dilakukan di rumah, karena kehidupan di rumah
atau tempat asal sangat berbeda dengan kehidupan yang harus dijaani
sebagai seorang anak kos.
Bertalian dengan mahasiswa yang studi di luar daerahnya dapat
dilihat bahwa mayoritas jika bisa memilih mereka akan memilih tinggal
bersama orang tuanya. Hal ini dikarenakan beberapa alasan seperti lebih
nyaman, terjamin, ada yang mengurusi segala kebutuhan mereka, dan
dapat tinggal bersama orang yang mereka sayangi. Namun, ada pula yang
lebih ingin tinggal di rumah mereka sendiri karena akan dirasa lebih
111
tenang. Adapula yang memilih tinggal di tempat kos karena dengan berada
di tempat kos akan membuat mereka lebih bebas tanpa ada tekanan.
Apapun dan di mana pun kita akan tinggal nantinya, tentu diharapkan kita
akan menjadi orang yang bermanfaat di daerah tersebut.
Tempat kos yang mereka sewa, mayoritas sebagai tempat tidur dan
tempat di mana mereka mengerjakan tugas maupun laporan. Karena
sebagai mahasiswa, waktu akan banyak terbuang di kampus. Sabagai anak
kos tentulah mereka dituntut untuk lebih mandiri dalam berbagai hal
karena mereka jauh dari orang tua mereka. Hal-hal seperti ini banyak
menimbukan masalah yang harus dihadapi anak kos. Masalah yang sering
muncul dari kalangan anak kos dimulai dari tempat kos mereka. Banyak di
antara mereka telah nyaman dengan tempat kos mereka karena sesuai
dengan apa yang mereka kehendaki, tempatnya bersih, dekat dengan
kantin tempat makan sehingga mereka tidak repot dalam mencari makan,
dan fasilitas yang membuat mereka nyaman. Namun adapula yang merasa
tidak nyaman karena ketidakmampuan bersosialisasi dengan penghuni lain
dan kondisi tempat kos yang jauh dari harapan mereka.
Kehidupan anak kos yang jauh dari orang tua menjadikan beberapa
dari mereka seolah-olah merasa bebas dari aturan yang selama ini
mengekang mereka. Banyak kabar negatif yang terkadang keluar dari
kehidupan anak kos. Seperti yang telah biasa terdengar yakni tentang
bebasnya anak laki-laki dan perempuan berada di dalam suatu kamar.
Merasa tidak ada pengawasan dari orang tua, mereka berani berbuat
sesuatu yang menyimpang dari nilai dan norma masyarakat. Beberapa dari
112
anak yang kami kami jadikan subjek teliti ternyata telah mengetahui pula
tentang hal ini. Bahwa memang anak kos itu bebas sebebas bebasnya,
apalgi jika tempatt kosnya itu tidak menggunakan peraturan sedikitpun,
tapi masih ada kosan yang memberlakukan beberapa peraturan biasanya
tentang wilayah bertamu dan jam malam.
Baik bagi yang sudah mengatahui maupun belum, mereka
sependapat bahwa mahasiswa yang jauh dari orang tua tidak sepantasnya
melakukan hal seperti itu. Jauh dari orang tua bukan berarti bebas
melakukan apa saja, anak kos jauh dari orang tua karena alasan untuk
kuliah dan belajar bukan untuk bersenang-senang. Jadi, sebagai anak kos
yang jauh dari orang tua seharusnya tidak merasa bebas dari segala aturan
dan bebas melakukan apa saja. Namun, seharusnya mereka mampu lebih
menjaga diri dengan baik dan tidak menyalahgunakan kepercayaan serta
tanggung jawab yang telah diberikan orangtua kepada mereka.
Beberapa solusi mereka kemukakan untuk mengatasi hal tersebut.
Seperti di antaranya mulai dari diri sendiri dengan pandai-pandai menjaga
diri, memperdalam ilmu agama, pilih-pilih dalam berteman, cermat dalam
memilih tempat kos (usahakan agar dekat dengan ibu kos atau pemilik
tempat kos), menjauhi hal-hal yang berbau negatif, dan banyak mengisi
waktu luang dengan hal-hal yang positif.
2. Peranan Mahasiswa di Tempat Kos.
Ada beberapa tipologi peran mahasiswa yang mendiami kosan
yang berada di sekitar kampus STAIN Salatiga, baik sebagai anggota
masyarakat di mana ia tiggal maupun peran aslinya sebagai mahasiswa.
113
Dalam segi peran dalam kemasyarakatan mahasiswa dapat digolongkan
pada; pertama, mahasiswa yang memposisikan dirinya sebagai pendatang
dan hanya berniat tinggal semata guna mendekatkan jarak antara kampus
dan tujuan utamanya yaitu kuliah. Mahasiswa seperti ini tidak terlibat akan
kondisi kehidupan masyarakat lingkugan yang ditinggalinya. Biasanya
mereka hanya melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagai
mahasiswa dan sebagai pengontrak. Kewajiban secara administrasi mereka
ikuti seperti memberikan foto kopi identitas, membayar sewa tempat
tinggal, dan menjalankan kuliah. Keterlibatan untuk kerja bakti, jaga
malam atau ronda tidak menjadi penting.
Kemudian tipologi peran yang kedua adalah mahasiswa yang
memposisikan tempat kosnya seperti keberadaannya di rumah dan
lingkungan sendiri. Mahasiswa ini banyak memberikan kontribusi
terhadap lingkungannya. Misalnya dalam dunia pendidikan dengan
mengajar di TPA/TPQ sekaligus menjadi pengurus masjid setempat. Ikut
terlibat secara aktif atas kegiatan-kegiatan yang menjadi program
lingkungan; ronda, mengikuti kerja bersama atau gotong royong, dan lain
sebagainya.
Mahasiswa yang kos dengan memiliki berbagai kemampuannya
yang dapat diaplikasikan pada masyarakat lingkungan kosnya, dapat
dikatagorikan pada tipologi kedua. Mahasiswa ini dapat dipastikan secara
normal dapat dipastikan memiliki perilaku yang baik dan dapat
menjalankan perannya sebagai pribadi yang menjaga dirinya dari prilaku-
perilaku negative.
114
Seperti pengakuan dari beberapa pemilik kos memandang anak-
anak kosnya yang mampu memberikan warna dan ikut terlibat secara
sosial di lingkungannya. Hal ini menjadikan modal bagi masyarakat kosan
untuk ikut membentuk masyarakat yang aman, damai dan religious.
3. Hubungan Sosial Antar Individu Anak Kos
Kos merupakan suatu rantai proses kehidupan yang menuntut
kemandirian serta tanggung jawab yang mutlak dijalani oleh setiap
individu sebagai pendatang terutama yang menuntut ilmu di daerah lain.
Kehidupan sebagai anak kos membuat mereka harus beradaptasi dengan
lingkungan baru, kebudayaan baru dan kebiasaan baru. Kehidupan kos
memang sangatlah berbeda dengan kehidupan di rumah yang memang
serba cukup dan santai. Sedangkan kehidupan sebagai anak kos identik
dengan kehidupan yang serba seadanya, irit, penuh perhitungan, penuh
tanggung jawab dan kemandirian. Tentu saja sebagai pendatang, yang
biasanya ada orang tua yang selalu menemani dan menjaga kita di rumah,
kini jauh dari mereka. Di kos, kita bisa memiliki banyak teman dari
berbagai daerah yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam dan
lingkungan masyarakat di sekitar kost yang pastinya baru.
Sepanjang menjalani kehidupan sebagai anak kos terdapat berbagai
masalah yang dihadapi dari diri sendiri, teman-teman dan lingkungan
sekitar. Dari diri sendiri terdapat banyak konflik yang muncul seperti
ketidaknyamanan, keterasingan, kerinduan akan situasi dan kondisi yang
biasanya. Tetapi lama-kelamaan konflik diri tersebut akan berangsur-
angsur hilang sesudah beradaptasi dengan keadaan, kondisi dan kebiasaan.
115
Kehadiran teman juga sangat penting dan berpengaruh. Dalam berinteraksi
dengan teman satu kos, dibutuhkan sikap penempatan diri yang bagus,
mudah serta bisa diterima oleh dari mulai kakak tingkat, teman seangkatan
hingga adik di bawah angkatan.
Memang, dengan berkos akan malatih jiwa sosial dan kepedulian
kepada orang lain. Karena pada dasarnya secara hakiki, manusia memang
makhluk sosial yang tak pernah lepas dari kebutuhan interaksi dang
hubunagn sosial dengan orang lain. Ada rasa senasib seperjuangan dalam
diri mereka, sehingga muncul solidaritas antar individu dalam kehidupan
sosial mereka. Ego dan sikap mementingkan diri sendiri akan melebur
dengan kepentingan orang di sekitarnya dengan proses sosiaisasi. Selain
itu, rasa empati dan kepedulian akan meningkat seiring dengan
berjalannya waktu. Realitanya, dapat kita lihat misalnya bila ngangkat
jemuran. Seorang anak kos mau repot-repot mengangkat dan mengangkut
jemuran teman sekos sebanyak apapun itu bila hujan turun atau hari sudah
menjelang sore. Walaupun terlihat sepele, tapi ini merupakan contoh
bentuk solidaritas dalam kehidupan mereka.
4. Minimnya Perhatian Dari Orang tua dan Orang Sekitar Kos
Pada prinsipnya, orang tua terkadang memberikan terlalu banyak
pilihan dan ebebasan kepada anaknya. Kebanyakan dari para orang tua
akan beranggapan apabila anaknya yang sudah dewasa tidak perlu untuk
banyak diatur atau diawasi. Mereka harus diberikan kesempatan untuk
mengatur dan mengawasi dirinya sendiri. Rasanya terlalu naif apabila
mengamini sebagian anggapan para orang tua tersebut. Prilaku
116
menyimpang dapat terjadi di kalangan mahasiswa dengan berbagai latar
belakang keluarga dan segala pendidikannya.
Faktor hidup jauh dari orang tua menjadi salah satu faktor kunci,
yang menyebabkan interaksi mahasiswa dan keluarganya kurang
terbangun. Tinggal jauh dari orang tua membuat mereka membutuhkan
sosok yang bisa menjadi tempat untuk berkomunikasi dekat dan berbagi
rasa. Tentunya akan menjadi semakin rumit apabila si anak berasal dari
keluarga yang bermasalah, kemudian mereka tinggal jauh dari orang tua.
Selain kuragnya perhatian orang tua juga minimnya keterlibatan orang-
orang di sekitar kos untuk melibatkan anak-anak kosnya. Tidak semua
tempat kos mahaiswa STAIN Salatiga yang minim dengan pengawasan
warga setempat, tetapi masih terdapat cukup banyak tempat kos yang
relatif minim perhatian ataupun pengawasannya dari warga setempat.
Waktu di siang hari merupakan waktu yang paling jarang untuk interaksi
antara mahasiwa dan lingkungan kosnya. Warga setempat pun kurang
peduli dengan kos-kos yang tidak ditunggu sendiri oleh pemiliknya. Rata-
rata tempat kos mahasiswa STAIN alatiga tidak memiliki peraturan yang
membatasi jam keluar maupun masuk anak kosnya. Jika pun ada
pengawasan dari tidak begitu ketat dan diterapkan dengan kurag konsisten.
5. Sinergisitas Antara Kampus, Warga Tempat Kos, dan Mahasiswa
Diperlukan sinergisitas antar tiga ranah dalam membuktikan
kepedulian terhadap generasi bangsa ini; kampus dan aparat (warga) serta
mahasiswa dalam membangun suasana kehidupan mahasiswa kos yang
aman dan terintegrasi. Kampus sebagai induk mahasiswa yang memiliki
117
tanggung jawab sebagai lembaga pendidkan dan pengajaran, baik secara
kognisi maupun afeksi, bahkan, konasi dan psikomotorik memiliki
kepedulian terhadap kondisi dan perilaku anak didiknya ketika di luar
kampus dan di luar tanggung jawab orang tua di ranah tempat lahirnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data sebagaimana dipaparkan pada bab terdahulu,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Gambaran proses pembentukan karakter mahasiswa STAIN Salatiga selama
ini adalah sebagai berikut:
a. Dari sisi aturan yang tertulis dalam tatatertib mahasiswa sebenarnya
sudah cukup memadai, namun belum ada kedisplinan dari lembaga
118
dalam menegakkan aturan tersebut sehingga pelanggaran terhadap
aturan yang ada cenderung dibiarkan dan tidak diberi sanksi yang
terukur.
b. Pembinaan mahasiswa sudah dilakukan melalui sejumlah Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM), namun ketika ada sebagian UKM yang justru
kegiatannya dikesankan oleh banyak pihak melenceng dari visi dan
missi STAIN Salatiga, lembaga belum mengambil tindakan yang
signifikan untuk memperbaikinya.
c. Setiap kelompok mahasiswa sudah ada Dosen Pembimbing
Akademiknya, namun peran Dosen Pembimbing Akademik sebagian
besar belum optimal, masih sebatas berperan dalam hal-hal yang
bersifat administratif akademik, belum menjangkau peran yang lebih
esensial dalam hal pembinaan karakter mahasiswa.
d. Pembinaan mahasiswa sebenarnya telah dimulai sejak mahasiswa baru
mengikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik dan
Kemahasiswaan (OPAK), namun momentum penting untuk
menanamkan nilai-nilai karakter yang baik ini belum dimanfaatkan
oleh lembaga secara optimal karena pelaksana kegiatan ini masih
didominasi oleh mahasiswa. Ironisnya, sejumlah mahasiswa senior
yang ”bermasalah” dalam bidang akademik dan etika justru ikut
menangani kegiatan penting ini. Oleh karena itu, wajar jika dari 800-an
mahasiswa baru angkatan 2012, hampir 400 mahasiswa menyatakan
bahwa pelaksanaan OPAK 2012 kurang baik dan kurang Islami.
119
e. Belum adanya kekompakan dan komitmen yang kuat dari pimpinan,
dosen, dan karyawan dalam pembinaan karakter mahasiswa. Begitu
pula belum ada sinergitas dan kerjasama yang baik antara warga
kampus dengan orangtua/wali mahasiswa, pemilik kos, pemuka
agama, dan ketua RT di sekitar STAIN Salatiga.
2. Masalah-masalah yang dirasakan oleh mahasiswa, orangtua, pemilik kos,
dan masyarakat sekitar, dan para dosen dalam kaitannya dengan karakter
mahasiswa adalah sebagai berikut:
a. Adanya pembiaran terhadap kegiatan dan tampilan sebagian UKM yang
tidak sesuai dengan visi dan missi STAIN Salatiga dimana ekspresi
kegiatannya kadang secara atraktif mengganggu kegiatan ibadah dan
perkuliahan, serta kontradiktif dengan penciptaan suasana kampus
yang religius/Islami.
b. Masih banyaknya mahasiswa yang malas dan tidak disiplin menunaikan
ibadah shalat. Misalnya, ketika waktu shalat Dzuhur/ibadah Jumat
sudah dimulai masih banyak mahasiswa yang nongkrong-nongkrong di
trotoar jalan dan tempat-tempat tertentu di dalam kampus.
c. Masih banyaknya mahasiswa/mahasiswi yang melanggar aturan
berbusana dalam mengikuti perkuliahan dan kegiatan akademik
lainnya. Misalnya, masih banyaknya mahasiswi yang berpakaian ketat.
d. Masih adanya mahasiswa/mahasiswi yang tidur/menginap di kampus
yang memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap norma etika dan
kesusilaan.
120
e. Masih adanya ”pergaulan bebas” antara mahasiswa dan mahasiswa di
tempat-tempat sekitar kos sebagaimana diinformasikan oleh para
pemilik kos, ketua RT, dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar kampus.
f. Belum ditegakkannya aturan tatatertib mahasiswa dan peraturan
akademik lainnya secara tegas dan disiplin.
3. Desain model pembinaan karakter mahasiswa melalui kolaborasi antara
dosen pembimbing, pemilik kos, pemuka agama, dan ketua RT dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Perlunya jalinan kerjasama yang baik antara pihak kampus dengan
pihak-pihak di luar kampus tersebut yang dituangkan dalam bentuk
MoU yang disepakati bersama.
b. Pihak-pihak yang terkait dan terikat dalam MoU tersebut secara
periodik harus bertemu dan bermusyawarah untuk mengevaluasi
perkembangan pembinaan karakter mahasiswa.
c. Perlunya pemberlakuan Program Mentoring Pengamalan Ibadah dan
Akhlaqul Karimah secara berkesinambungan untuk mahasiswa baru
selama satu tahun.
B. Saran-saran
1. Kepada Pimpinan STAIN Salatiga, diharapkan menegakkan aturan
tatatertib mahasiswa dan aturan akademik lainnya secara tegas dan
disiplin, serta memberi sanksi kepada yang melanggar aturan dengan cara
mengoptimalkan peran serta seluruh civitas akademika. Mengingat
berdasarkan hasil angket, dari 800-an mahasiswa baru angkatan 2012,
121
mayoritas mahasiswa (740) menghendaki ditegakkannya aturan tatatertib
mahasiswa secara tegas dan disiplin.
2. Kepada seluruh dosen dan karyawan STAIN Salatiga, diharapkan dapat
menjadi teladan dalam pembinaan karakter mahasiswa dan meningkatkan
mutu layanan akademik dan kemahasiswaan. Mengingat, ibarat
perusahaan yang menghasilkan produk, produk utama suatu lembaga
pendidikan (STAIN Salatiga) adalah terciptanya lulusan yang berkualitas
dalam bidang intelektual, emosional, dan spiritual. Atau, lulusan yang
memilki kompetensi personal/kepribadian, profesional, sosial, dan religius.
3. Kepada seluruh mahasiswa STAIN Salatiga, diharapkan mematuhi
semua aturan tatatertib mahasiswa dan aturan akademik lainnya.
Mengingat, aturan-aturan itu dibuat untuk kemaslahatan seluruh warga
kampus dan terutama untuk kebaikan dan kesuksesan mahasiswa dalam
menempuh studi.
4. Kepada pihak-pihak terkait di luar kampus, diharapkan kepedulian dan
kerjasamanya untuk bersama-sama membina karakter mahasiswa.
122
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran dan Terjemahnya (Transliterasi Arab-Latin) Model Kanan Kiri. 2000.
Semarang: Asy-Syifa’
Afida, Nur. 2009 (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/, diakses tanggal 16 April
2012), Pusat kurikulum.
Adhim, Muhammad Fauzil. 2012. ”Pilar Itu Bernama Adab.” Hidayatullah, Edisi
II/XXIV/Maret 2012.
Agustian, Ary Ginanjar. 2009. Bangkit dengan Tujuh Budi Utama. Jakarta: PT
Arga Publishing.
Al-Jaiziyah, Ibnu Qayyim. 2005. Madarijus Salihin. Terjemahan Kathur Suhardi.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
123
Anwar, Mohammad Rofiq. 2008. ”Saatnya Pendidikan Indonesia Direvolusi”.
Hidayatullah, Edisi 07.
Asifin. 2001. Jalan Menuju Ma’rifatullah dengan Tahapan (7M). Surabaya: Terbit
Terang.
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. 2006. Undang-
Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan.
Denzin, NK. 1978. The Research Act: A Theoretical Introduction in Sociolo
gical Methods. McGraw-Hills. New York.
Fillah, Salim A. 2007. Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim. Yogyakarta: Pro-U
Media.
Haekal, Muhammad Hussein. 2000. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera
Antar Nusa.
Hasan, Said Hamid, dkk., 2010. ”Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa”, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Daya Saing dan Karakter Bangsa.
Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas.
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis data Penelitian dengan Statistik. Jakarta : Bumi
Rosdakarya
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban
Bangsa. Surakarta: UNS Press.
__________, 2010. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.
Surakarta: YumaPustaka.
Husaini, Adian. 2010. “Pendidikan Karakter” dalam REPUBLIKA, 14 juni 2010.
Joice, B. , & Weil, M. 1980. Model of Teaching. New Jersey :Prentice Hall Inc.
Kertajaya, Hermawan. 2010. Grow with Character: The Model Marketing.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kirschenbaum, M. Harmin H. dan S.B. Simon. 1976. Clarifying Values Through
Subject Matter. Minnepolis: Winston Press Inc.
Koesoemo, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Grasindo.
124
Miles, MB dan AM Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of
New Methods. SAGE. Beverly Hills.
Moleong, L.J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 1993. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori
Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. “Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan
Karakter” dalam Arismantoro. Tinjauan Berbagai Aspek Character
Building. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Patton, MQ. 1990. Qualitative Evaluation Methods. SAGE. Beverly Hills.
Prihadi, Endra K, 2099. Breaking Your Mental Block. Jakarta: Gramedia.
Rochyadi, E. 2005. Pengembangan Program Pembelajaran Individual. Jakarta :
Depdiknas
Schertzer, B & Stone, S.C. 1982. Fundamental of Counseling. Boston : Houghton
Miffin Company
Sitorus, MTF. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Dokis. Bogor.
Sugiarto, Ryan. 2009. 55 Kebiasaan Kecil yang Menghancurkan Bangsa.
Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
Alfabeta
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
Rosda
Suyanto, 2006. Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global.
Jakarta: PSAP Muhammadiyah.
Taylor, SJ dan R Bogdan. 1984. Introduction to Qualitative Research Metho
ds: The Search
for Meanings, Second Edition. John Wiley and Sons. Toronto.
Zahruddin A.R. dan Hasanuddin Sinaga. 2004. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta:
Rajawali.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam
Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Zuhdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY Press.
125
Lampiran
PANDUAN FOKUS GROUP DISCUSSION (FGD)
HARI/TANGGAL :
TUJUAN :
1. Mengungkap berbagai problema pembentukan karakter mahaasiswa
2. Mengungkap kondisi mahasiswa dari berbagai sudut pandang
3. Menemukan model pembinaan karakter mahasiswa STAIN dari berbagai
perspektif
126
JUMLAH PESERTA :
RUANG :
TUGAS FASILITATOR
1. Menjelaskan tema FGD
2. Mengarahkan kelompok pada tema diskusi
3. Mengupayakan agar semua peserta terlibat secara aktif
4. Berusaha mengurangi dominasi dari salah satu peserta
5. Mengamati peserta dan tanggap terhadap reaksi peserta
6. Menghindari pendapat pribadi
7. Menghindari komentar yang menyatakan setuju/tidak setuju
TEMA DISKUSI
1. Bagaimana pandangan peserta terhadap perikaku dan ahlak mahasiswa
STAIN Salatiga
2. Bagaimana pandangan peserta terhadap cara berpakaian mahasiswa
STAIN Salatiga
3. Bagaimana pandangan peserta terhadap tata cara pergaulan mahasiswa
STAIN Salatiga
4. Bagaimana pandangan peserta terhadap etos belajar mahasiswa STAIN
Salatiga
5. Bagaimana pandangan peserta terhadap keterlibatan mahasiswa STAIN
Salatiga dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan
6. Bagaimana kontribusi mahasiswa dilingkungan tempat tinggalnya
7. Adakakah kasus-kasus yang ditemukan warga masyarakat
(RT/RW/pemilik kost) yang memerlukan penanganan khusus
8. Upaya saja yang sudah dilakukan masing-masing peserta untuk
membentuk karakter mahasiswa
9. Peran apa yang bisa dilakukan peserta dalam membentuk karakter
mahasiswa
10. Kendala apa yanag dialami dalam membentuk karakter mahasiswa
11. Upaya apa saja yanag sudah dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut
127
12. Model kolaborasai yang bagaimana yang seharusnya dikembangkan antara
civitas akademik dengan masyarakat dalam membentuk karakter
mahasiswa yang tanggung dan beraklak islami
13. Apa yang seharusnya dilakukan masing-masing elemen masyarakat dan
civitas akademik dalam membentuk karakter mahasiswa yang tangguh
dan beraklak islami
No. Nama Alamat Jabatan/Status1. Drs. H. Agus Waluyo,
M.Ag.Banyubiru, Ambarawa Puket III
2. Drs. Bahroni, M.Pd. Barukan, Tengaran Kepala UPMA3. Mukti Ali, M.Hum. Tingkir, Salatiga Kepala UPK4. Dra. Lilik Sriyanti,
M.Si.Tegalrejo, Salatiga Direktur Biro
Tazkia5. Kusmono Yudha S.,
SE.Sinoman, Salatiga Staf Akademik
6. Hj. Hartini Jangkungan Pemilik Kost7. Joko Santoso Jangkungan Ketua RT 04/048. Hj. Sri Mulyati Klaseman, Salatiga Pemilik Kost9. Harmuzi Pengilon, Salatiga Pengurus Takmir10. Ir. Sri Budiarti Jl. Osamaliki 36 Salatiga Ketua RT 02/RW 0411. Giyono Jl. Kridanggo no.27 Salatiga Ketua RT 02/0112. Mulyani Jl. Kridanggo no.31 Salatiga Pemilik Kost13. Sugiyanto Jl. Bangau RT 05/09
KlasemanKetua RT
14. Khorifah Jl. Bangau RT 05/09 Klaseman
Pemilik Kost
15. Aris J. Jl. Aliwijayan I/345 Pengilon Pemilik Kost16. Sutomo Jl. Nakulo Sadewo Vc/03 RT Kembangarum17. Hj. Hartini Jl. Bridjend Sudiharto gang
1/2Pemilik Kost
128