pengaruh parkir di badan jalan terhadap kinerja ruas jalan dan biaya operasional kendaraan jalan...

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Parkir Parkir didefinisikan sebagi tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi keselamatan. Parkir mempunyai tujuan yang baik, akses yang mudah dan jika seseorang tidak dapat memarkir kendaraannya, dia tidak bisa membuat suatu perjalanan. Jika parkir terlalu jauh dari tujuan maka orang akan beralih ke tempat lain. Sehingga tujuan utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan antara 300 - 400 adalah jarak berjalan yang pada umumnya masih dianggap dekat (Tamin, 2000). Parkir merupakan suatu kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan yang menginginkan kendaraan parkir di tempat, dimana tempat tersebut mudah untuk dicapai. Kemudahan yang dimaksud tersebut adalah parkir di badan jalan. Penyediaan tempat parkir di pinggir jalan pada lokasi tertentu baik badan jalan maupun dengan menggunakan sebagian dari perkerasan jalan, akan mengakibatkan turunnya kapasitas jalan, terhambatnya arus lalu lintas dan penggunaan jalan menjadi tidak efektif (Departemen Perhubungan, 1998). 2.2 Parkir di Badan Jalan (On Street Parking) Parkir di badan jalan (on street parking) dilakukan di atas badan jalan dengan menggunakan sebagian badan jalan. 5

Upload: ivan

Post on 12-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ParkirParkir didefinisikan sebagi tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi keselamatan. Parkir mempunyai tujuan yang baik, akses yang mudah dan jika seseorang tidak dapat memarkir kendaraannya, dia tidak bisa membuat suatu perjalanan. Jika parkir terlalu jauh dari tujuan maka orang akan beralih ke tempat lain. Sehingga tujuan utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan perjalanan antara 300 - 400 adalah jarak berjalan yang pada umumnya masih dianggap dekat (Tamin, 2000).Parkir merupakan suatu kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan yang menginginkan kendaraan parkir di tempat, dimana tempat tersebut mudah untuk dicapai. Kemudahan yang dimaksud tersebut adalah parkir di badan jalan. Penyediaan tempat parkir di pinggir jalan pada lokasi tertentu baik badan jalan maupun dengan menggunakan sebagian dari perkerasan jalan, akan mengakibatkan turunnya kapasitas jalan, terhambatnya arus lalu lintas dan penggunaan jalan menjadi tidak efektif (Departemen Perhubungan, 1998).2.2 Parkir di Badan Jalan (On Street Parking)Parkir di badan jalan (on street parking) dilakukan di atas badan jalan dengan menggunakan sebagian badan jalan. Walaupun parkir jenis ini diminati, tetapi akan menimbulkan kerugian bagi pengguna transportasi yang lain. Hal ini disebabkan parkir dengan memanfaatkan badan jalan akan mengurangi lebar manfaat jalan sehingga dapat mengurangi arus lalu lintas dan pada akhimya akan menimbulkan gangguan pada fungsi jalan tersebut. Fungsi jalan yang menyalurkan arus lalu lintas akan berkurang kapasitasnya karena sebagian jalan dipergunakan untuk fasilitas parkir. Walaupun hanya beberapa kendaraan saja yang parkir di badan jalan tetapi kendaraan tersebut secara efektif telah mengurangi badan jalan (Wells, 1985).Parkir di badan jalan biasanya dilakukan secara sejajar dan bersudut. Parkir bersudut dapat menampung lebih banyak kendaraan dari pada parkir secara sejajar. Semakin besar sudut yang digunakan yaitu 90° maka semakin banyak kendaraan yang dapat ditampung pada jalan tersebut. Namun hal ini banyak mengurangi kapasitas jalan sehingga jalan menjadi sempit. Sudut 60° adalah sudut maksimum yang masih dapat dimungkinkan untuk parkir. Namun hal itu harus dipertimbangkan lagi terhadap lebar jalan, biasanya sudut 45° memberikan solusi yang terbaik. Walaupun parkir tersebut memberikan solusi yang terbaik tetapi pakir ini lebih berbahaya dibandingkan dengan parkir sejajar. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa parkir bersudut pada pinggir jalan lebih berisiko, hal tersebut dapat diketahui pada saat kendaraan keluar dari tempat parkirnya sering terjadi kecelakaan (Pignataro, 1979).

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parkir

Parkir didefinisikan sebagi tempat khusus bagi kendaraan untuk berhenti demi

keselamatan. Parkir mempunyai tujuan yang baik, akses yang mudah dan jika

seseorang tidak dapat memarkir kendaraannya, dia tidak bisa membuat suatu

perjalanan. Jika parkir terlalu jauh dari tujuan maka orang akan beralih ke tempat lain.

Sehingga tujuan utama adalah agar lokasi parkir sedekat mungkin dengan tujuan

perjalanan antara 300 - 400 adalah jarak berjalan yang pada umumnya masih

dianggap dekat (Tamin, 2000).

Parkir merupakan suatu kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan yang

menginginkan kendaraan parkir di tempat, dimana tempat tersebut mudah untuk

dicapai. Kemudahan yang dimaksud tersebut adalah parkir di badan jalan. Penyediaan

tempat parkir di pinggir jalan pada lokasi tertentu baik badan jalan maupun dengan

menggunakan sebagian dari perkerasan jalan, akan mengakibatkan turunnya kapasitas

jalan, terhambatnya arus lalu lintas dan penggunaan jalan menjadi tidak efektif

(Departemen Perhubungan, 1998).

2.2 Parkir di Badan Jalan (On Street Parking)

Parkir di badan jalan (on street parking) dilakukan di atas badan jalan dengan

menggunakan sebagian badan jalan. Walaupun parkir jenis ini diminati, tetapi akan

menimbulkan kerugian bagi pengguna transportasi yang lain. Hal ini disebabkan

parkir dengan memanfaatkan badan jalan akan mengurangi lebar manfaat jalan

sehingga dapat mengurangi arus lalu lintas dan pada akhimya akan menimbulkan

gangguan pada fungsi jalan tersebut. Fungsi jalan yang menyalurkan arus lalu lintas

akan berkurang kapasitasnya karena sebagian jalan dipergunakan untuk fasilitas

parkir. Walaupun hanya beberapa kendaraan saja yang parkir di badan jalan tetapi

kendaraan tersebut secara efektif telah mengurangi badan jalan (Wells, 1985).

Parkir di badan jalan biasanya dilakukan secara sejajar dan bersudut. Parkir

bersudut dapat menampung lebih banyak kendaraan dari pada parkir secara sejajar.

Semakin besar sudut yang digunakan yaitu 90° maka semakin banyak kendaraan yang

dapat ditampung pada jalan tersebut. Namun hal ini banyak mengurangi kapasitas

5

jalan sehingga jalan menjadi sempit. Sudut 60° adalah sudut maksimum yang masih

dapat dimungkinkan untuk parkir. Namun hal itu harus dipertimbangkan lagi terhadap

lebar jalan, biasanya sudut 45° memberikan solusi yang terbaik. Walaupun parkir

tersebut memberikan solusi yang terbaik tetapi pakir ini lebih berbahaya dibandingkan

dengan parkir sejajar. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa parkir bersudut

pada pinggir jalan lebih berisiko, hal tersebut dapat diketahui pada saat kendaraan

keluar dari tempat parkirnya sering terjadi kecelakaan (Pignataro, 1979).

2.3. Kinerja Ruas Jalan

Kinerja ruas jalan merupakan ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi

operasional dari fasilitas lalu lintas seperti yang dinilai oleh Bina Marga Departemen

PU tahun 1997. Berikut ini adalah parameter-parameter yang digunakan untuk

menentukan kinerja ruas jalan.

2.3.1 Arus dan Komposisi Lalu Lintas

Nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan

menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalu lintas

(per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan

menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris.

Untuk tipe kendaraan berikut:

- Kendaraan ringan (LV) meliputi: mobil penumpang, opelet, mikrobis, pick-up dan

truk kecil.

- Kendaraan berat (HV) meliputi: truk dan bus.

- Sepeda motor (MC) meliputi kendaraan bermotor beroda 2 atau termasuk sepeda

motor dan skuter.

- Kendaraan tak bermotor (UM) yaitu kendaraan beroda yang menggunakan tenaga

manusia atau hewan termasuk sepeda, becak, kereta kuda dan gerobak/ kereta

dorong.

Untuk kendaraan ringan (LV), nilai ekivalensi mobil penumpang (emp) selalu

1,0. Ekivalensi mobil penumpang (emp) untuk jalan perkotaan tak terbagi seperti

terlihat pada Tabel 2.1.

6

Tabel 2.1 Ekivalensi mobil penumpang untuk jalan perkotaan tidak terbagi

Tipe jalan:

Jalan tak terbagi

Arus lalu-lintas total dua arah

(kend/jam)

Emp

HV

MC

Lebar jalur lalu-lintas

Cw (m)

≤ 6 > 6

Dua lajur tak terbagi

(2/2 UD)

0

≥ 1.800

1,30

1,20

0,50

0,35

0,40

0,25

Empat lajur tak terbagi

(4/2 UD)

0

≥ 3.700

1,30

1,20

0,40

0,25

Sumber: Departemen PU, 1997

2.3.2 Kapasitas Jalan

Kapasitas jalan adalah arus lalu lintas maksimum melalui suatu titik di jalan

yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu (Departemen PU,

1997). Evalusi mengenai kapasitas bukan saja bersifat mendasar pada permasalahan

pengoperasian dan perancangan lalu lintas seperti juga dihubungkan dengan aspek

keamanan. Kapasitas merupakan ukuran kinerja, pada kondisi yang bervariasi yang

dapat diterapkan pada kondisi tertentu.

Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) sebagai berikut:

C = Co X FCW x FCSP x FSSF x FCCS ……………………………… (2.1)

Keterangan:

C : Kapasitas sesungguhnya (smp/jam)

Co : Kapasitas dasar (ideal) untuk kondisi (ideal) tertentu (smp/jam)

FCW : Faktor penyesuaian lebar jalan

7

FCSP : Faktor penyesuaian pemisah arah

FSSF : Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb

FCCS : Faktor penyesuaian ukuran kota

2.3.2.1 Kapasitas Dasar (Co)

Kapasitas dasar (base capasity) merupakan kapasitas pada kondisi ideal.

Kapasitas dasar jalan dua lajur tak terbagi dapat ditentukan dengan menggunakan

kapasitas perjalur yang diberikan pada Tabel 2.2 (Departemen PU, 1997).

Tabel 2.2 Kapasitas dasar (Co)

Tipe JalanKapasitas dasar

(smp/jam)Catatan

Empat lajur terbagi atau jalan

satu arah1.650 Perlajur

Empat lajur tak terbagi 1.500 Perlajur

Dua lajur tak terbagi 2.900 Total dua arah

Sumber: Departemen PU, 1997

2.3.2.2 Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas Jalan Perkotaan (FCW)

Penentuan penyusunan untuk lebar jalur lalu lintas (FCW) berdasarkan lebar

jalur lalu lintas efektif (Wc). Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan dua lajur dua

arah tak terbagi, seperti terlihat pada Tabel 2.3 (Departemen PU, 1997).

8

Tabel 2.3 Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas untuk jalan perkotaan (FCW)

Tipe JalanLebar Jalur Lalu Lintas Efektif

(Wc)(m)

FCw

Empat lajur terbagi atau jalan satu arah

Per lajur3,003,253,503,754,00

0,920,961,001,041,08

Empat lajur tak terbagi Per lajur3,003,253,503,754,00

0,910,951,001,051,09

Dua lajur dua arah tak terbagi

Total dua arah5,006,007,008,009,0010,0011,00

0,560,871,001,141,251,291,34

Sumber: Departemen PU, 1997

2.3.2.3 Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCSP)

Untuk menentukan penyesuaian pemisah arah (FCSP) untuk jalan dua lajur dua

arah (2/2) dan empat lajur dua arah (4/2) tak terbagi terdapat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCSP)

Pemisah arah 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30

FCSP

Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88

Empat lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94

Sumber: Departemen PU, 1997

9

2.3.2.4 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FCSF)

Hambatan samping yang berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan

perkotaan adalah:

- Pejalan kaki

- Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti

- Kendaraan parkir

- Kendaraan lambat

- Kendaraan keluar dan masuk dari lahan di samping jalan

Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan, tingkat

hambatan samping telah dikelompokkan dalam lima kelas dari sangat rendah sampai

sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi kejadian hambatan samping sepanjang

segmen jalan dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Kelas hambatan samping

Kelas Hambatan Samping (SFC)

KodeJumlah Berbobot

Kejadian Per 200 m Per Jam (dua sisi)

Kondisi Khusus

Sangat Rendah

VL

(Very Low)

< 100Daerah pemukiman:

jalan samping tersedia.

RendahL

(Low)100-299

Daerah pemukiman:

beberapa

kendaraan umum dsb

SedangM

(Medium)300-499

Daerah industri:

beberapa toko di sisi jalan

TinggiH

(High)500-899

Daerah komersial:

aktivitas sisi jalan tinggi

Sangat

Tinggi

VH

(Very High)

> 900 Daerah komersial:

aktivitas

10

pasar di samping jalan

Sumber: Departemen PU, 1997

Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu-lintas terhadap kinerja

jalan, seperti pejalan kaki (bobot = 0,5) kendaraan umum/kendaraan lain berhenti

(bobot = 1,0) kendaraan masuk/keluar sisi jalan (bobot = 0,7) dan kendaraan tak

bermotor (bobot = 0,4). Dalam menentukan faktor penyesuaian untuk hambatan

samping dan bahu jalan/kereb (FCSF) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

2.3.2.5 Jalan dengan Bahu

Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan bahu

jalan (FCSF) pada jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan bahu jalan (FCSF) untuk jalan perkotaan.

Tipe JalanKelas

Hambatan Samping

Faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu (FCSF)

Lebar bahu efektif (Ws)

≤ 0,5 1,0 1,50 ≥ 2,0

4/2D VL 0,96 0,98 1,01 1,03

L 0,94 0,97 1,00 1,02

M 0,92 0,95 0,98 1,00

H 0,88 0,92 0,95 0,98

VH 0,84 0,88 0,92 0,96

4/2 UD VL 0,96 0,99 1,01 1,03

L 0,94 0,97 1,00 1,02

M 0,92 0,95 0,98 1,00

H 0,87 0,91 0,94 0,98

VH 0,80 0,86 0,90 0,95

2/2UD atau jalan satu arah

VL 0,94 0,96 0,99 1,01

L 0,82 0,94 0,97 1,00

M 0,89 0,92 0,95 0,98

H 0,82 0,86 0,90 0,98

VH 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: Departemen PU, 1997

11

Gambar 2.1 Jalan dengan Lebar Bahu

2.3.2.6 Jalan dengan Kereb

Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping (FCSF) berdasarkan

jarak antara kereb dan penghalang trotoar dan kelas hambatan samping dapat dilihat

pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan kereb jalan (FCSF) untuk jalan perkotaan.

Tipe JalanKelas Hambatan

Samping

Faktor penyesuaian hambatan samping dan jarak kereb-penghalang (FCsf)

Jarak kereb-penghalang (Wk)

≤ 0,5 1,0 1,50 ≥ 2,0

4/2D VL 0,95 1,00 1,50 1,01

L 0,94 0,97 0,99 1,00

M 0,91 0,93 0,98 0,98

H 0,86 0,89 0,95 0,95

VH 0,81 0,85 0,88 0,92

4/2 UD VL 0,95 0,97 0,99 1,01

L 0,93 0,95 0,97 1,00

M 0,90 0,92 0,95 0,97

H 0,84 0,87 0,90 0,93

VH 0,77 0,81 0,85 0,90

2/2UD atau jalan satu arah

VL 0,93 0,95 0,97 0,99

L 0,90 0,92 0,95 0,97

M 0,86 0,88 0,91 0,94

H 0,78 0,81 0,84 0,88

VH 0,68 0,72 0,77 0,82

12

Sumber: Departemen PU, 1997

Gambar 2.2 Jarak Antara Kereb dan Penghalang

2.3.2.7 Faktor Penyesuaian untuk Ukuran Kota (FCcs)

Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota disesuaikan

dengan jumlah penduduk, didapat dari Badan Pusat Statistik. Faktor penyesuaian

untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Faktor penyesuaian kapasitas untuk ukuran kota (FCCS)

Ukuran kota Faktor penyesuaian

< 0.1 0,860,1 - 0,5 0,90

>0,5 - 1,0 0,94>1,0 - 3,0 1,00

> 3,0 1,04 Sumber: Departemen PU, 1997

2.4 Volume Lalu Lintas

Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu ruas jalan pada

periode waktu tertentu. Biasanya jumlah kendaraan ini dikelompokkan berdasarkan

masing-masing jenis kendaraan yaitu kendaraan ringan (LV), kendaraan berat (HV),

sepeda motor (MC) dan (UM) kendaraan yang tak bermotor (Departemen P.U. 1997).

1. Kendaraan ringan (LV) meliputi mobil penumpang, opelet, mikrobis, pic-up

dan truk kecil.

2. Kendaraan berat (HV) meliputi truk besar dan bus besar dengan 2 (dua) gandar

dan truk besar dan bus besar dengan 3 (tiga) gandar atau lebih.

3. Sepeda motor (MC).

4. Kendaraan tak bermotor (UM) meliputi gerobak, sepeda, sepeda barang.

13

2.5 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas dan

digunakan sebagai faktor utama penentuan tingkat kinerja berdasarkan tundaan dan

segmen jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah segmen jalan tersebut

mempunyai masalah kapasitas atau tidak (Departemen PU, 1997).

Persamaan dasar derajat kejenuhan adalah:

DS =

QC ……………………………………………………… (2.2)

Dimana:

DS : Derajat Kejenuhan

Q : Arus lalu lintas (smp/jam)

C : Kapasitas ruas jalan (smp/jam)

Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas yang

dinyatakan dengan smp/jam. Derajat kejenuhan digunakan untuk analisis perilaku lalu

lintas berupa kecepatan.

2.6 Kecepatan

Kecepatan adalah jarak yang ditempuh dalam satuan waktu, atau nilai

perubahan jarak terhadap waktu. Kecepatan dari suatu kendaraan dipengaruhi oleh

faktor-faktor manusia, kendaraan dan prasaran, serta dipengaruhi pula oleh kondisi

arus lalu lintas, kondisi cuaca dan kondisi lingkungan sekitarnya. Kecepatan dipakai

sebagai pengukur kualitas perjalanan bagi pengemudi. (Departemen PU, 1997).

Kecepatan dapat dibagi menjadi 5 macam antara lain:

1. Kecepatan Setempat (Spot Speed)

Adalah kecepatan yang diukur pada saat kendaraan melintasi suatu titik

pengamatan pada suatu ruas jalan.

2. Kecepatan Rata-Rata Waktu (Time Mean Speed)

Adalah kecepatan rata-rata hitung (aritmatik) dari kendaraan yang melintas suatu

titik pengamatan selama periode waktu tertentu.

14

3. Kecepatan Rata-Rata Ruang (Space Mean Speed)

Adalah kecepatan rata-rata dari semua kendaraan yang menempati semua

potongan jalan selama periode waktu tertentu.

4. Kecepatan Perjalanan (Journey/Travel Speed)

Adalah kecepatan yang diperoleh dengan cara mencari rasio total jarak yang

ditempuh dengan waktu perjalanan.

5. Kecepatan Gerak (Running Speed)

Adalah kecepatan yang diperoleh dengan cara mencari rasio total jarak yang

ditempuh dengan waktu selama bergerak (tiada termasuk waktu henti).

2.7 Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas (FV) dapat didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat

arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan

bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan. Kecepatan arus

bebas untuk kendaraan ringan telah dipilih sebagai kriteria dasar untuk kinerja ruas

jalan pada arus yang sama dengan nol. Persamaan untuk penentuan kecepatan arus

bebas (Departemen PU, 1997) adalah sebagai berikut:

FV = (FvO + FVW) x FFVSF x FFVCS …………………………… (2.3)

Dimana:

FV : kecepatan arus bebas kendaraan ringan sesungguhnya (km/jam)

FvO : kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)

FVW : penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif (km/jam)

FFVSF : faktor penyesuaian kondisi hambatan samping

FFVCS : faktor penyesuaian ukuran kota

15

2.7.1 Kecepatan Arus Bebas Dasar (FVo)

Penentuan kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan dan untuk jalan

delapan lajur dapat dianggap sama dengan enam lajur seperti terdapat dalam Tabel

2.9.

Tabel 2.9 Kecepatan arus bebas dasar (FVO)

Tipe jalan

Kecepatan arus bebas dasar (FVO) dalam (km/jam)

Kendaraan Ringan (LV)

Kendaraan Berat (HV)

Sepeda Motor (MC)

Semua Kendaraan (rata-rata)

Enam - lajur terbagi (6/2 D) atau

Tiga - lajur satu - arah (3/1)

61 52 48 57

Empat - lajur terbagi (4/2 D) atau

Dua - lajur satu - arah (2/1)

57 50 47 55

Empat - lajur tak - terbagi (4/2 UD)

53 46 43 51

Dua - lajur tak - terbagi (2/2 UD)

44 40 40 42

Sumber: Departemen PU, 1997

2.7.2 Faktor penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas (FVW)

Penentuan penyusunan untuk lebar jalur lalu lintas (FCW) berdasarkan lebar

jalur lalu lintas efektif (Wc). Faktor penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas untuk jalan

lebih dari empat lajur (banyak lajur) dapat dilihat pada Tabel 2.10.

16

Tabel 2.10 Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas (FVW) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan, jalan perkotaan

Tipe jalanLebar jalur lalu lintas

efektif (m)FVW

Empat lajur terbagi

atau

jalan satu arah

Perlajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

-4

-2

0

2

4

Empat lajur tak terbagi Perlajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

-4

-2

0

2

4

Dua lajur tak terbagi Total dua arah

5

6

7

8

9

10

11

-9,5

-3

0

3

4

6

7

Sumber: Departemen PU, 1997

17

2.7.3 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FFVSF)

1. Jalan dengan bahu

Jalan dengan bahu biasanya terdapat pada jalan luar perkotaan karena

memberi keamanan bagi pengendara kendaraan bermotor terhadap hambatan

samping yang terjadi pada lokasi survei dimana hambatan samping terlebih dahulu

harus diketahui untuk menentukan tingkat hambatan samping. Penentuan faktor

penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan lebar bahu efektif yang

sesungguhnya dan tingkat hambatan samping yang dapat dilihat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11 Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan dengan bahu

Tipe JalanKelas Hambatan Samping (SFC)

Faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu

Lebar Bahu Efektif (WS)

≤ 0,5 1,0 1,50 ≥ 2,0

Empat – lajur terbagi 4/2 D

VL 1,02 1,03 1,03 1,04

L 0,98 1,00 1,02 1,03

M 0,94 0,97 1,00 1,02

H 0,89 0,93 0,96 0,99

VH 0,84 0,88 0,92 0,96

Empat – lajur tak terbagi 4/2 UD

VL 1,02 1,03 1,03 1,04

L 0,98 1,00 1,02 1,03

M 0,93 0,96 0,99 1,02

H 0,87 0,91 0,94 0,98

VH 0,80 0,86 0,90 0,95

Empat – lajur tak terbagi 2/2 UD atau jalan satu arah

VL 1,00 1,01 1,01 1,01

L 0,96 0,98 0,99 1,00

M 0,90 0,93 0,96 0,99

H 0,82 0,86 0,90 0,95

VH 0,73 0,97 0,85 0,91

Sumber: Departemen PU, 1997

18

2. Jalan dengan kereb

Jalan dengan kereb biasanya terpadat pada jalan perkotaan karena memberi

keamanan bagi pengendara kendaraan bermotor terhadap pejalan kaki di pinggir

jalan. Penentuan faktor penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan jarak

antara kereb penghalang pada trotoar dan tingkat hambatan samping yang terjadi

pada lokasi survei dimana hambatan samping terlebih dahulu harus diketahui

untuk menentukan tingkat hambatan samping. Faktor penyesuaian untuk hambatan

samping berdasarkan jarak antara kereb penghalang dapat dilihat pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12 Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan dengan kereb

Tipe JalanKelas Hambatan Samping (SFC)

Faktor penyesuaian hambatan samping dan jarak kereb-penghalang

Jarak kereb-penghalang (WK)

≤ 0,5 1,0 1,50 ≥ 2,0

Empat – lajur terbagi 4/2 D `

VL 1,00 1,01 1,01 1,02

L 0,97 0,98 0,99 1,00

M 0,93 0,95 0,97 0,99

H 0,87 0,90 0,93 0,96

VH 0,81 0,85 0,88 0,92

Empat – lajur tak terbagi 4/2 UD

VL 1,00 1,01 1,01 1,02

L 0,96 0,98 0,99 1,00

M 0,91 0,93 0,96 0,98

H 0,84 0,87 0,90 0,94

VH 0,77 0,81 0,85 0,90

Empat – lajur tak terbagi 2/2 UD atau jalan satu arah

VL 0,98 0,99 0,99 1,00

L 0,93 0,95 0,96 0,98

M 0,87 0,89 0,92 0,95

H 0,78 0,81 0,84 0,88

VH 0,68 0,72 0,77 0,82

Sumber: Departemen PU, 1997

19

2.7.4 Faktor Penyesuaian untuk Ukuran Kota (FFVCS)

Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota ditentukan

berdasarkan Tabel 2.13.

Tabel 2.13 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan (FFVCS)

Ukuran kota (juta penduduk) Faktor penyesuaian ukuran kota

< 0,1 0,90

0,1 – 0,5 0,93

> 0,5 – 1,0 0,95

> 1,0 – 3,0 1,00

> 3,0 1,03

Sumber: Departemen PU, 1997

2.8 Kecepatan Rata-Rata Ruang (Space Mean Speed)

Kecepatan tempuh atau kecepatan rata-rata ruang (Space Mean Speed) dari

kendaraan ringan (LV) disepanjang segmen jalan. Kecepatan tempuh didefinisikan

sebagai kecepatan rata-rata ruang (Space Mean Speed) kendaraan ringan (LV) di

sepanjang segmen jalan. Persamaan untuk penentuan kecepatan ruang mempunyai

bentuk sebagai berikut (Departemen PU, 1997):

V =

LTT …………………………………………………………… (2.4)

Dimana:

V : Kecepatan rata-rata LV (km/jam)

L : Jarak pengamatan (km)

TT : Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)

20

2.9 Tingkat Pelayanan Jalan

Tingkat pelayanan merupakan indikator yang dapat mencerminkan tingkat

kenyamanan suatu ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada

terhadap kapasitas jalan tersebut.

Tingkat pelayanan ditentukan dalam suatu skaia interval yang terdiri dari 6

tingkat. Tingkat-tingkat ini dinyatakan dengan huruf A - F, dimana A merupakan

tingkat pelayanan tertinggi. Apabila volume meningkat, maka tingkat pelayanan

menurun karena kondisi lalu lintas yang memburuk akibat interaksi dari faktor - faktor

yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap tingkat pelayanan adalah: volume, kapasitas, dan kecepatan.

Hubungan antara tingkat pelayanan, karakteristik arus lalu lintas dan rasio

volume terhadap kapasitas (Rasio Q/C) adalah seperti terlihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14 Hubungan antara tingkat pelayanan, karakteristik arus lalu lintas dan rasio volume terhadap kapasitas (Rasio Q/C)

Tingkat

pelayananKondisi lapangan

Rasio

Q/C

AKondisi arus lalu-lintasnya bebas antara satu kendaaraan dengan kendaraan lainya, besar kecepatan ditentukan oleh keinginan pengemudi sesuai dengan batas kecepatan yang telah ditentukan.

0,00 – 020

BArus stabil, kecepatan mulai dibatasai oleh kendaraan lainya dan mulai dirasakan hambatan oleh kendaraan sekitarnya.

0,21 – 0,44

CArus masih dalam keadaan stabil, kecepatan operasi mulai dibatasi dan hambatan dari kendaraan lain semakin besar.

0,45 – 0,74

DKondisi arus mendekati tidak stabil, kecepatan operasi menurun relatif cepat akibat hambatan yang tunbul, dan kebebasan bergerak relatif kecil.

0,75 – 0,84

EVolume lalu lintas sudah mendekati kapasitas ruas jalan, kecepatan kira-kira lebih rendah dari 40 km/jam, pergerakan lalu-lintas kadang terhambat.

0,85 – 1,00

FArus lalu-lintas berada dalam keadaan dipaksakan, kecepatan relatif rendah arus lalu-lintas sering terhenti sehingga menimbulkan antrian yang panjang.

-

Sumber: TRB, 1994

21

Hubungan antara kecepatan dengan derajat kejenuhan (DS) dapat dilihat pada

Gambar 2.8 (Departemen PU, 1997).

Gambar 2.3 Kecepatan Sebagai Fungsi dari DS untuk Jalan Dua Lajur dan Dua Arah (Departemen PU, 1997)

Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio Q/C,

namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas jalan.

Kecepatan operasi dapat diketahui dari survei langsung di lapangan. Apabila

kecepatan operasi telah didapat, maka akan dapat dibandingkan dengan kecepatan

optimum (kecepatan yang dipilih pengemudi pada saat kondisi tertentu). Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 (Tamin, 2000).

22

Gambar 2.4 Tingkat Pelayanan Berdasarkan Volume dengan Kapasitas yang Dibandingkan dengan Kecepatan Operasi (Tamin, 2000)

2.10 Biaya Operasional Kendaraan (BOK)

Biaya Operasional Kendaraan (BOK) adalah biaya yang secara ekonomis

terjadi dengan dioperasikannya suatu kendaraan pada kondisi normal untuk suatu

tujuan tertentu. Pengertian biaya ekonomi yang dimaksud disini yaitu biaya yang

sebenarnya terjadi. Adapun komponen biaya operasional kendaraan terdiri dari biaya

tetap dan biaya tidak tetap. (Departemen PU, 1995)

2.10.1 Biaya Tetap

Biaya tetap adalah semua biaya operasional kendaraan yang jumlah

pengeluarannya tidak dipengaruhi oleh jumlah frekuensi operasi kendaraan. Biaya

tetap tergantung dari waktu dan tidak terpengaruh dengan penggunaan kendaraan.

Komponen biaya tetap, antara lain:

1. Biaya penyusutan kendaraan (depresiasi)

Adalah biaya yang dikeluarkan atas penyusutan nilai ekonomis kendaraan

akibat keausan teknis karena melakukan operasi.

23

2. Biaya administrasi

Adalah biaya tahunan yang harus dikeluarkan pemilik atau pengemudi

untuk setiap kendaraan yang menggunakan jalan umum, yang terdiri dari:

a. STNK, yaitu biaya yang dikeluarkan pemilik atau pengemudi untuk

setiap kendaraan yang menggunakan jalan umum, dimana biaya ini

dikeluarkan setiap lima tahun sekali dan pembayaran pajak kendaraan

dilakukan setiap setahun sekali dan biaya sesuai dengan peraturan yang

berlaku.

b. Izin Usaha, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh izin usaha

dalam mengusahakan kendaraan angkutan umum penumpang, dimana

biaya dikeluarkan setiap setahun sekali.

c. Izin Trayek, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh izin

pengoperasian kendaraan untuk melayani pada suatu trayek tertentu.

Izin trayek ditentukan berdasarkan peraturan daerah yang bersangkutan

dan rute. Biaya ini dikeluarkan setiap enam bulan sekali.

d. Iuran Organda, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kendaraan

angkutan umum atas keterlibatan sebagai anggota organda. Biaya ini

dikeluarkan setahun sekali.

e. Kir, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan kendaraan secara

teknis apakah layak atau tidak beroperasi di jalan raya. Biaya ini

dikeluarkan setiap enam bulan sekali.

3. Biaya asuransi

Pada beberapa negara asuransi untuk kendaraan diwajibkan, sehingga hal

ini harus dimasukkan ke dalam variabel dalam memperkirakan biaya

operasional kendaraan (BOK).

2.10.2 Biaya Tidak Tetap

Biaya tidak tetap merupakan semua biaya operasi kendaraan yang jumlah

pengeluarannya dipengaruhi oleh frekuensi operasi kendaraan, misalnya biaya

pemakaian bahan bakar. Biaya tidak tetap juga disebut biaya variabel, karena

biaya ini sangat bervariasi tergantung hasil produksi seperti jarak tempuh atau

jumlah penumpang. Adapun komponen – komponen dari biaya tidak tetap, antara

lain:

24

1. Gaji Pengemudi

Adalah biaya yang dikeluarkan untuk gaji sopir atau kernet sebagai

penghasilan yang tetap. Dalam prakteknya, gaji pengemudi bukan

tanggung jawab pemilik kendaraan, melainkan harus diusahakan oleh

pengemudi sendiri. Dalam hal ini, upah pengemudi pada dasarnya

merupakan saldo dari pendapatan operasi per hari setelah dikurangi dengan

berbagai macam BOK harian seperti: biaya BBM, biaya konsumsi, biaya

retribusi, biaya sewa kendaraan (setoran). Sehingga besar upah harian

pengemudi dapat bervariasi dari hari ke hari.

2. Biaya Pemakaian Bahan Bakar

Adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan bakar kendaraan

yang digunakan untuk pengoperasian kendaraan. Biaya ini menyangkut

jarak tempuh yang dikeluarkan setiap liter bahan bakar yang digunakan.

Faktor–faktor yang mempengaruhi penggunaan bahan bakar adalah:

a. Jenis kendaraan/ukuran kendaraan, dimana rata–rata pemakaian bahan

bakar meningkat sebanding dengan berat kendaraan.

b. Cuaca dan ketinggian lokasi, dimana dapat mempengaruhi kinerja

kendaraan. Seperti saat musim hujan mempengaruhi permukaan jalan,

angin juga secara langsung mempengaruhi kinerja kendaraan dan juga

suhu udara mempengaruhi tenaga kendaraan.

c. Teknik mengemudi, dimana perbedaan mencolok dalam penggunaan

bahan bakar antara pengemudi yang berbeda terjadi pada saat

kendaraan dijalankan pada saat kecepatan yang rendah.

d. Kondisi kendaraan, pemakaian bahan bakar akan meningkat

dikarenakan kendaraan semakin tua tergantung bagaimana baiknya

perawatan yang dilakukan.

e. Tingkat pengisian, dimana peningkatan persentase pemakaian bahan

bakar lebih besar pada saat kecepatan rendah ketika memiliki muatan

penuh dibandingkan dalam keadaan kososng.

f. Kecepatan kendaraan, pemakaian bahan bakar jelas berbeda pada

kendaraan yang berbeda dan kecepatan berbeda.

25

g. Permukaan jalan, dimana pada umumnya permukaan jalan yang buruk

menyebabkan pemakaian bahan bakar yang lebih banyak dibandingkan

dengan melaju dipermukaan yang rata atau baik.

3. Biaya Pemakaian Ban

Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pembelian ban, baik ban luar maupun

ban dalam. Jangka waktu penggunaan ban dihitung berdasarkan jarak yang

ditempuh kendaraan dalam kilometer, walaupun ada beberapa operator

mengganti ban dengan menghitung bulan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur ban adalah:

a. Teknik mengemudi

b. Iklim

c. Kualitas ban

d. Kondisi kendaraan

e. Tingkat pengisian

f. Permukaan jalan

g. Kecepatan kendaraan

4. Biaya Perawatan dan Pemeliharaan Kendaraan

Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, perbaikan dan

penggantian suku cadang. Yang termasuk biaya perawatan adalah biaya

untuk mengganti suku cadang. Besarnya biaya perawatan kendaraan

ditentukan berdasarkan jarak tempuh dan jangka waktu. Faktor-faktor yang

mempengaruhi biaya pemeliharaan kendaraan, antara lain:

a. Umur dan kondisi kendaraan

b. Kondisi dan jenis permukaan jalan

c. Kecepatan kendaraan

5. Biaya Minyak Pelumas

Adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian minyak pelumas (oli),

miasalnya oli mesin dan oli gardan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

biaya pemakaian minyak pelumas, antara lain:

a. Kebijakan pengoperasian dan kondisi kendaraan

b. Karakteristik jalan dan lalu lintas26

Selain biaya tetap dan biaya tidak tetap ada juga tambahan yang penting

dalam pengoperasian kendaraan yang secara tidak langsung dimasukkan

dalam komponen-komponen diatas. Untuk angkutan penumpang umum

tidak memerlukan biaya tambahan karena kenyataannya pengusaha

angkutan umum tidak memerlukan biaya tambahan seperti: biaya sewa

kantor, gaji pegawai administrasi selain sopir dan kernet, biaya telepon,

biaya air dan listrik.

2.11 Metode Perhitungan BOK

Ada beberapa metode perhitungan BOK, yaitu:

1. Metode ITB (Institut Teknologi Bandung), metode ini hampir sama dengan

metode Departemen Perhubungan tetapi pada pemeliharaan kendaraan

metode ini tidak mencantumkan untuk servis besar atau servis kecil.

2. Metode PCI (Pasific Consultant International) yaitu metode yang

menggunakan kecepatan kendaraan dalam perhitungan biaya operasional

kendaraan tanpa memperhitungkan factor-faktor yang lain, yang

berpengaruh terhadap hal tersebut.

3. Model HDM III, dimana model ini menggunakan hubungan antara variabel

bebas kecepatan perjalanan rata-rata dan (International Roughness Index)

IRI jalan, dan model ini dikembangkan oleh World Bank untuk

perencanaan pemeliharaan jalan khusus di Negara berkembang.

4. Metode Abelson, ini dipakai di Australia. Metode ini dipakai pada jalan

perkotaan di mana kecepatan rata- rata kurang dari 50 km/jam.

2.11.1 Metode PCI (Pasific Consultan International)

Secara teoritis, biaya operasional kendaraan dipengaruhi oleh sejumlah

faktor termasuk kondisi dan jenis kendaraan, lingkungan dan kebiasaan

pengemudi serta kondisi jalan. Dalam praktek, biaya tersebut diestimasi untuk

jenis – jenis kendaraan yang mewakili golongannya dan dinyatakan dalam satuan

bervariasi tergantung waktu dan tempat. Perkembangan teknologi juga dapat

membuat model estimasi yang pernah ada menjadi tidak relevan dan tidak

memberikan hasil prediksi yang teliti lagi pada saat ini.

27

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa model perhitungan BOK, khusunya

yang dikembangkan untuk keperluan sistem pengelolaan pemeliharaan jalan

ataupun model–model BOK untuk keperluan studi kelayakan jalan.

PT. Jasa Marga selama ini menggunakan model PCI. Model ini merupakan

model empiris yang dikembangkan sejak tahun 1979 dalam Feasibility Study

Jakarta Intra Urban yang sampai sekarang masih digunakan oleh PT. Jasa Marga.

Secara umum, komponen biaya operasi kendaraan terdiri dari:

1. Pemakaian bahan bakar

Merupakan komponen yang memberikan sumbangan yang dominan dalam

biaya operasi kendaraan. Modelnya sangat bervariasi dari model seketika

(ins antaneous) yang sangat teliti sebagai fungsi waktu, model elemental

yang memodelkan pemakaian bahan bakar meliputi: pengaruh

perlambatan, percepatan dan saat bergerak stabil (cruise) serta berhenti

hingga model sederhana yang didasarkan pada kecepatan rata–rata.

Pengukuran pemakaian bahan bakar bisa dilakukan dengan fuel meter.

Akhir–akhir ini terdapat alat yang secara otomatis dapat merekam

pemakaian bahan bakar secara teliti, dimana akan sangat memudahkan

dalam mengembangkan model pemakaian bahan bakar.

Untuk perhitungan pemakaian bahan bakar menggunakan persamaaan

berikut ini:

Kendaraan ringan

Y = 0,05693S² - 6,42593S + 269, 18576 ……………... (2.5)

Kendaraan berat bus

Y = 0,21692S² - 24,15490S+ 954, 78624 …………….. (2.6)

Kendaraan berat truk

Y = 0,21557S² - 24,17699S + 947, 8086 ……………… (2.7)

Dimana:

Y = pemakaian bahan bakar (liter/1000 km)

S = space mean speed/kecepatan rata-rata ruang

2. Pemakaian Minyak Pelumas (Oli)28

Pemakaian minyak pelumas/oli dihitung dengan mengambil rasio

pemakaian yang sama dengan pemakaian bahan bakar, dengan persamaan

sebagai berikut:

Kendaraan ringan

Y = 0,00037S² - 0,04070S + 2,20403 ……………….. (2.8)

Kendaraan berat bus

Y = 0,00209S² - 0,24413S + 13,29445 ………………. (2.9)

Kendaraan berat truk

Y = 0,00186S² - 0,22035S + 12,06436 ……………… (2.10)

Dimana:

Y = pemakaian minyak pelumas/oli (liter/1000 km)

S = space mean speed/kecepatan rata-rata ruang

3. Pemakaian Ban

Pemakaian ban untuk perhitungan BOK dihitung dengan menggunakan

persamaan – persamaan berikut ini:

Kendaraan ringan

Y = 0,0008848S – 0,0045333 ………………………... (2.11)

Kendaraan berat bus

Y = 0,0012356S – 0,00064667 ………………………. (2.12)

Kendaraan berat truk

Y = 0,0015553S – 0,0059333 ………………………… (2.13)

Dimana:

Y = pemakaian ban per 1000 km

S = space mean speed/kecepatan rata-rata ruang

4. Biaya Pemeliharaan

Biaya pemeliharaan secara umum merupakan komponen BOK yang

dihitung dari pemakaian suku cadang kendaraan dan biaya yang

dikeluarkan untuk upah tenaga kerja.Biaya pemeliharaan ini terdiri dari

biaya suku cadang dan upah montir/tenaga kerja yang berlaku untuk

perhitungan BOK, dengan menggunakan persamaan–persamaan dibawah

ini:29

a. Suku cadang

Kendaraan ringan

Y = 0,0000064S + 0,0005567 ………………………… (2.14)

Kendaraan berat bus

Y = 0,0000332S + 0,0005567 ………………………. (2.15)

Kendaraan berat truk

Y = 0,0000191S + 0,0015400 ……………………….. (2.16)

Dimana:

Y = pemeliharaan suku cadang per 1000 km

S = space mean speed/kecepatan rata-rata ruang

b. Montir

Kendaraan ringan

Y = 0,00362S + 0,36267 …………………………… (2.17)

Kendaraan berat bus

Y = 0,02311S + 1,97733 ………………………….... (2.18)

Kendaraan berat truk

Y = 0,01511S + 1,21200 …………………………… (2.19)

Dimana:

Y = Jam montir per 1000 km

S = space mean speed/kecepatan rata-rata ruang

5. Biaya Penyusutan (Depresiasi)

Adalah biaya yang dikeluarkan atas penyusutan nilai ekonomis kendaraan

akibat keausan teknis karena melakukan operasi. Dalam analisis

perhitungan besarnya biaya penyusutan kendaraan per tahun didasarkan

pada nilai sekarang (present value) harga beli kendaraan pada suatu tingkat

tertentu.

Secara umum biaya penyusutan kendaraan dihitung dari nilai ekonomi dari

kendaraan, total jarak tempuh selama umur pakai kendaraan, jarak tempuh

tahunan dan kecepatan rata–rata kendaraan.

30

Kendaraan ringan: Y =

12,5 S+100 (2.20)

Kendaraan berat bus: Y =

19,0 S+315 (2.21)

Kendaraan berat truk: Y =

16,0 S+210 (2.22)

Dimana:

Y = depresiasi per 1000 km

S = space mean speed/kecepatan rata-rata ruang

2.11.2 Biaya Operasional Kendaraan (BOK) untuk Sepeda Motor

Sepeda motor adalah kendaraan yang sangat banyak digunakan di Bali dan

berpengaruh sangat signifikan terhadap karakteristik transportasi di Bali. Perhitungan

BOK sepeda motor mengacu pada metode yang digunakan oleh DLLAJ Provinsi

Bali–Konsultan PTS 1999. Perhitungan BOK yang telah diteliti DLLAJ Provinsi

Bali–Konsultan PTS 1999 adalah berdasarkan rumus sebagai berikut:

VOC = a + b / V + cV² …………………………………………. (2.23)

Dimana:

VOC = biaya operasi kendaraan (per km)

V = kecepatan rata – rata (km/jam)

a = konstanta, nilainya 24

b,c = koefisien, dengan nilai b = 596 dan c = 0,00370

Rumus DLLAJ di atas belum termasuk biaya akibat bahan bakar, suku

cadang, oli, ban, biaya servis dan jasa montir. Sehingga perlu adanya penyesuaian

dengan nilai pertumbuhan inflasi. Nilai pertumbuhan inflasi yang digunakan yaitu dari

awal rumus DLLAJ dikeluarkan Tahun 1999 – Tahun 2014 dimana survei ini

dilakukan. Rumus perhitungan BOK akibat pertumbuhan inflasi sebagai berikut:

P = P0 ( 1 + i )n ..................……………………………………(2.24)

Dimana:

31

P = Nilai BOK setelah adanya inflasi

P0 = Nilai BOK awal

i = Nilai rata-rata pertumbuhan inflasi

n = Jumlah Tahun

2.12 Penentuan Jumlah Sampel

Sampel yang diambil agar dapat mewakili kondisi seluruh populasi pada

dasarnya dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu (Sugiarta, dkk., 2003):

1. Tingkat variabilitas dari parameter yang ditinjau dari seluruh populasi yang

ada.

2. Tingkat ketelitian yang dibutuhkan untuk mengukur parameter yang dimaksud.

3. Besarnya populasi parameter yang akan disurvei.

Langkah-langkah untuk menentukan jumlah sampel yang representatif, yaitu:

1. Melakukan survei pendahuluan untuk memeriksa apakah metode sudah sesuai

untuk data yang dibutuhkan dan kelengkapan formulir.

2. Berdasarkan besaran parameter tersebut dapat dihitung:

a. Rata-rata (mean) sampel

X =

∑i=1

n

Xi

n ..................………………………………… (2.25)

dimana :

X = Nilai rata-rata

Xi = Nilai data sampel

n = Jumlah sampel

b. Standar Deviasi

32

Sd=√∑i=1

n

( Xi−X )2

(n−1 ) ..................………………………… (2.26)

Sd=√∑i=1

n

( Xi−X )2

n ...................………………………… (2.27)

dimana :

(n−1) = untuk jumlah sampel ≤30.

n = untuk jumlah sampel > 30.

Dalam pengambilan sampel tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 95%

yang berarti bahwa besarnya tingkat kesalahan yang ditolerir tidak lebih dari 5%,

dengan kondisi seperti ini maka besarnya standard error yang dapat diterima yang

ditunjukakan dalam tabel distribusi normal adalah 1,96 dari acceptable sampling

error. Pada tingkat ketelitian 95% acceptable sampling error (Se) adalah sebesar 5%

dari sample mean, sehingga:

Se = 0,05 x mean parameter (2.28)

Dengan demikian besarnya acceptable standard error adalah

Se (X) = Se/1,96 (2.29)

Berdasarkan hasil perhitungan-perhitungan diatas, maka besarnya jumlah sampel yang

representatif (n’) dihitung dengan rumus:

n' =

Sd2

( Se( X ))2 (2.30)

n' = jumlah sampel yang representative

Sd2 = standar deviasi kuadrat

Se(X)2 = acceptable standard error dikuadratkan

33

Untuk populasi yang jumlahnya hingga

n =

n ' ¿1+n '/ N ¿

¿¿ (2.31)

dimana:

n = jumlah sampel minimal

N = jumlah populasi

34