pembentukan kebijakan pertahanan dan keamanan eropa, masalah identitas kepentingan dan otonomisasi...

6

Click here to load reader

Upload: erika-angelika

Post on 27-Jul-2015

1.084 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembentukan Kebijakan Pertahanan Dan Keamanan Eropa, Masalah Identitas Kepentingan Dan Otonomisasi Eropa

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .

Universitas Indonesia

Page | 1

REVIEW DINAMIKA KAWASAN EROPA

Sap 3 : Hubungan Tiga Negara Besar Eropa (Inggris, Perancis, dan Jerman).

Nama : Erika

NPM : 0706291243

Sumber : Jolyon Howorth, “Britain, France, and the European Defence Initiative”, dalam Survival Vol. 42

No.2, Summer 2000, hal. 33-54.

Pembentukan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Eropa,

Masalah Identitas, Kepentingan, dan Otonomisasi Eropa

Sebagai kumpulan negara-negara yang memiliki persamaan latar belakang sejarah

dan identitas, tidaklah sulit bagi negara-negara Eropa untuk membentuk berbagai kebijakan

bersama. Pembentukan kerjasama ekonomi, misalnya, relatif tidak menemui hambatan

mengingat sudah samanya perspektif negara-negara Eropa tentang pentingnya kerjasama

antar mereka demi mencapai kesejahteraan bersama. Hal yang berbeda terjadi pada

pembentukan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Eropa (KPKE), yang dipenuhi berbagai

intrik dan persaingan kepentingan antara dua negara dominan Eropa kala itu, Inggris dan

Perancis. Pembentukan KPKE sendiri menempuh proses diplomatik yang panjang, dimulai

dari proses Saint-Malo yang disebut-sebut sebagai cikal-bakal terbentuknya KPKE.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, upaya pembentukan KPKE tidak dapat

dilepaskan dari ketatnya persaingan kepentingan antara Inggris dan Perancis. Perbedaan

keamanan-budaya yang telah mengakar dalam antara keduanya, seperti misalnya prinsip

Eropanisme yang dianut Perancis dan Atlantikisme yang dianut Inggris, menyebabkan

kerjasama Perancis-Inggris merupakan hal yang sulit dicapai. Berbagai pertemuan untuk

menjembatani perbedaan antara keduanya pun dilakukan, salah satunya adalah

Franco-British Summit pada 25 November 1999, yang dinilai cukup berhasil bagi isu

pertahanan Eropa. Walaupun memiliki banyak perbedaan prinsip, dalam berbagai hal

Perancis dan Inggris juga memiliki persamaan pendapat, antara lain bahwa baik Perancis

maupun Inggris setuju bahwa Uni Eropa haruslah memiliki kapasitas militer yang lebih baik

untuk pencegahan konflik, manajemen krisis, dan peacekeeping operations; Uni Eropa (UE)

Page 2: Pembentukan Kebijakan Pertahanan Dan Keamanan Eropa, Masalah Identitas Kepentingan Dan Otonomisasi Eropa

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .

Universitas Indonesia

Page | 2

haruslah memiliki strategi yang baik dalam mengaudit aset-aset militer untuk menghindari

peningkatan kapasitas militer yang berlebihan; diperlukannya infrastruktur institusional

dalam UE untuk menghasilkan kebijakan luar negeri dan keamanan bersama, yang kemudian

akan berkembang menjadi KPKE; diperlukannya peningkatan partisipasi dari negara-negara

non-UE yang merupakan anggota NATO; perlunya peningkatan produksi dan persediaan

senjata dalam UE; diperlukannya diskusi dengan AS untuk membahas hubungan antara

UE-NATO dan mengenai struktur operasional combined joint task forces (CJTFs); serta

keinginan yang sama dari Inggris dan Perancis untuk memperkuat Aliansi antar

negara-negara anggota UE. Berbagai persamaan pendapat antara Inggris dan Perancis ini

merupakan hal yang baik bagi pembentukan kerjasama keamanan dalam UE

Dalam praktiknya, terdapat perbedaan sangat besar antara prinsip KPKE yang

diinginkan Perancis dan prinsip KPKE yang diinginkan Inggris, di mana Perancis melihat

KPKE sebagai usaha Eropa dalam menciptakan „otonomi Eropa‟ yang bebas dari pengaruh

AS, sedangkan Inggris lebih melihat KPKE sebagai usaha/lahan untuk meningkatkan

kerjasama UE dengan AS dalam hal militer dan keamanan. Perbedaan prinsip yang signifikan

ini lantas berpengaruh ketika membicarakan mengenai kapasitas militer dalam KPKE, di

mana Perancis akan berusaha sebisa mungkin untuk menghindarkan peran AS di dalamnya

sementara Inggris lebih menginginkan adanya negosiasi dengan AS untuk meningkatkan

kemampuan militer UE. Hal yang sama juga terjadi dalam pembicaraan mengenai sinergi dan

audit kapabilitas militer dalam Western European Union (WEU), di mana Inggris lebih

berkiblat pada NATO sebagai patokannya, dan Perancis lebih menyarankan agar UE

membuat sinergi dan auditnya sendiri. Bentrokan antara Inggris-Perancis juga terjadi dalam

beberapa area lainnya, yaitu mengenai porsi partisipasi negara non-UE dalam menentukan

aksi militer UE, transfer kekuasaan WEU-UE (khususnya mengenai Artikel V WEU yang

membicarakan mengenai pertahanan kolektif UE, di mana Inggris menyatakan artikel

tersebut tidak perlu ada karena keamanan UE sudah dilindungi oleh NATO), serta mengenai

CJTFs (di mana Inggris menyatakan skenario CJTFs antar anggota UE tanpa kehadiran

NATO tidaklah mungkin dilakukan, sementara Perancis berpendapat kebalikannya).

Berbagai uraian di atas sebenarnya menyuarakan satu hal, yaitu dibutuhkan

Page 3: Pembentukan Kebijakan Pertahanan Dan Keamanan Eropa, Masalah Identitas Kepentingan Dan Otonomisasi Eropa

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .

Universitas Indonesia

Page | 3

penggarapan yang serius antara Inggris dan Perancis sebagai dua negara besar di UE

mengenai isu otonomi Eropa. Disinggung mengenai otonomi Eropa yang gencar

diinginkannya, Perancis menyatakan bahwa dirinya tidak bisa menolak bahwa UE masih

membutuhkan AS dalam berbagai aspek, terutama dalam hal dukungan AS dalam kapasitas

militer dan pertahanan Eropa. Perancis juga menekankan apa yang menjadi tujuan

perjuangannya bukanlah penghilangan peran AS dalam KPKE, melainkan lebih kepada usaha

menyeimbangkan Eropa dalam rangka meningkatkan kekuatan Eropa. Di sisi lain,

sebenarnya pihak Inggris juga menginginkan terbentuknya Eropa yang mandiri. Kepedulian

Inggris dalam mewujudkan Eropa yang otonom terutama ditunjukkan paska peristiwa

Kosovo, yaitu ketika Tony Blair menghadapi kritik Washington mengenai isu otonomi Eropa

yang dinilai Washington terlalu berlebihan. Inggris juga menyadari peran penting Perancis

dalam mewujudkan pembangunan Eropa secara keseluruhan. Akan tetapi, dibandingkan

Perancis yang terlihat optimis dengan keberadaan KPKE yang mandiri tanpa bantuan NATO

dan AS, Inggris terlihat lebih skeptis dan pesimis. Menutup argumennya mengenai perbedaan

prinsip Inggris dan Perancis dalam menghasilkan KPKE, Howorth mengatakan bahwa selama

dua kekuatan besar Eropa—Inggris dan Perancis—tetap berbeda pendapat mengenai prospek

jangka panjang KPKE, KPKE hanyalah akan menjadi proyek yang sifatnya terbatas antar dua

negara tersebut saja. Namun, berbagai pertemuan yang terjadi antara keduanya menunjukkan

mulai terbentuknya saling pengertian antara Inggris dan Perancis; hal yang sangat baik bagi

terbentuknya Uni Eropa yang lebih mapan.

Dari berbagai uraian di atas, penulis melihat bahwa permasalahan terbesar dari

artikel berjudul Britain, France, and the European Defence Initiative karangan Jolyon

Howorth tersebut adalah adanya perbedaan prinsip antara Inggris dan Perancis dalam

pembuatan kebijakan pertahanan dan keamanan Eropa. Perbedaan prinsip tersebut berkisar

pada masalah otonomi Eropa, di mana Perancis menginginkan minim atau tidak adanya

campur tangan AS dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan pertahanan dan

keamanan Eropa, sementara Inggris lebih menginginkan KPKE yang senantiasa berkiblat

pada NATO dan AS. Namun walaupun Perancis menginginkan otonomisasi Eropa, tidak

berarti Perancis benar-benar menafikan peran AS dalam Eropa. Holworth menyebutkan

Page 4: Pembentukan Kebijakan Pertahanan Dan Keamanan Eropa, Masalah Identitas Kepentingan Dan Otonomisasi Eropa

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .

Universitas Indonesia

Page | 4

bahwa Perancis tidak dapat menolak pentingnya keberadaan AS dalam beberapa aspek, akan

tetapi perlu diingat bahwa Perancis tidak ingin UE terus-menerus didikte oleh AS. Di lain

pihak, menurut penulis, Inggris juga sebenarnya menginginkan hal yang sama—yaitu agar

UE tidak terus-menerus didikte oleh AS—akan tetapi Inggris menyadari penghilangan peran

AS dalam UE tidak dapat dilakukan secara langsung dan tiba-tiba, melainkan harus secara

perlahan dan bertahap. Hal ini yang menyebabkan Inggris cenderung memilih

langkah-langkah taktis dengan tetap „berteman‟ dengan NATO, sementara Perancis lebih

memilih langkah berani dengan mengusulkan evolusi UE tanpa NATO.

Walaupun sebenarnya baik Inggris maupun Perancis menginginkan terciptanya hal

yang sama, yaitu Eropa yang otonom dalam hal pertahanan dan keamanan, tetapi penulis

melihat keinginan tersebut kurang tersampaikan dengan baik oleh pihak Inggris, yang pada

perkembangan awalnya cenderung menunjukkan reaksi negatif pada keinginan Perancis

mewujudkan otonomisasi pertahanan dan keamanan Eropa. Hal ini dikarenakan keinginan

Inggris untuk membina hubungan baik dengan AS demi terwujudnya kepentingan nasional

negaranya. Hubungan Inggris yang pada waktu itu sangat dekat dengan AS juga membuat

Inggris sebenarnya tidak begitu tertarik untuk bergabung dengan negara-negara di Benua

Eropa lainnya. Hal ini disebabkan karena perasaan superior Inggris yang tidak rela

menyerahkan sebagian kedaulatannya untuk bergabung dengan negara-negara Eropa. Adapun

perasaan superior tersebut disebabkan karena dibanding negara-negara Eropa lainnya yang

sering diserang melalui berbagai invasi, posisi geografis Inggris yang dikelilingi laut

membuat dirinya aman dari segala bentuk invasi, yang lantas mendorong Inggris untuk

mengembangkan insularity dan self-confident nationalism1

dan karenanya cenderung

memisahkan diri dari negara Eropa lainnya. Dalam pembicaraan mengenai pembentukan

Masyarakat Eropa/European Community pun, Inggris cenderung menawarkan prospek Eropa

Atlantik yang didominasi oleh Inggris dan AS2. Kedua hal tersebut membuktikan bahwa

motif awal kebergabungan Inggris dalam konsep negara-negara Eropa tidaklah solid, karena

masih dibayang-bayangi oleh perasaan superioritasnya pada negara Eropa lainnya dan karena 1 David Arnold. Britain, Europe, and the World 1871-1971. (London: Edward Arnold Publishers, 1966), hal.

434. 2 Ibid, hal. 436.

Page 5: Pembentukan Kebijakan Pertahanan Dan Keamanan Eropa, Masalah Identitas Kepentingan Dan Otonomisasi Eropa

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .

Universitas Indonesia

Page | 5

Inggris masih mengutamakan kedekatan hubungannya dengan AS dibanding dengan negara

Eropa lainnya.

Sehubungan dengan keinginan pembentukan Eropa yang otonom, penulis

berpendapat bahwa kondisi otonom atau tidaknya suatu negara sebenarnya ditentukan oleh

kondisi masyarakatnya sendiri. Negara yang otonom tentunya akan tersusun dari masyarakat

homogen yang memiliki rasa persatuan yang kuat, hal yang menurut Jenderal de Gaulle dari

Perancis tidak dimiliki oleh masyarakat Eropa. De Gaulle menyebutkan bahwa masyarakat

Eropa “memiliki jiwanya sendiri, sejarahnya sendiri, bahasanya sendiri, kegagalan-kegagalan,

kemenangan-kemenangan, ambisi-ambisinya sendiri”3. Senada dengan pernyataan de Gaulle,

Arnulf Baring menyatakan bahwa “tidak ada kesatuan Eropa sekarang dan tidak akan ada

kesatuan Eropa dalam waktu-waktu mendatang”4, karena menurutnya, orang-orang Eropa

tidak pernah bersatu. Penyebab tidak pernah bersatunya orang-orang Eropa tersebut adalah

karena heterogenitas masyarakat Eropa sendiri, “ide bahwa dia itu merupakan orang Eropa

adalah suatu pertimbangan yang sekunder ... yang dipaksakan atas kesetiaannya kepada tanah

airnya sendiri”5. Satu-satunya pemersatu masyarakat Eropa kala itu justru datang dari dunia

luar, yaitu dari Uni Soviet dan Amerika Serikat, di mana ketika itu masyarakat Eropa terpaksa

harus bersatu guna menangkal pengaruh kedua negara adidaya tersebut. Tanpa adanya

ancaman itu, orang-orang Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia menganggap dirinya sebagai

orang Inggris, Perancis, Jerman, atau Italia, baru sesudah itu sebagai orang Eropa.6

Kurangnya rasa persatuan dalam diri masyarakat Eropa inilah, yang menurut penulis, dapat

berakibat fatal bagi perkembangan konsep Eropa secara keseluruhan karena tanpa adanya

kesatuan dari dalam, tentunya akan sulit bagi Eropa untuk mewujudkan suatu kondisi

pertahanan dan keamanan yang otonom seperti yang diperdebatkan Perancis dan Inggris

dalam artikel Howorth.

Terlepas dari kurangnya rasa kesatuan sebagai Bangsa Eropa dalam diri masyarakat

negara-negara Eropa, negara-negara Eropa yang tergabung dalam European Community (EC)

3 C.P.F. Luhulima. Eropa sebagai Kekuatan Dunia, Lintasan Sejarah dan Tantangan Masa Depan. (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 118. 4 Ibid, hal. 119.

5 Ibid, hal. 115.

6 Ibid.

Page 6: Pembentukan Kebijakan Pertahanan Dan Keamanan Eropa, Masalah Identitas Kepentingan Dan Otonomisasi Eropa

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .

Universitas Indonesia

Page | 6

telah menyatakan akan tunduk pada aturan finalite politique7

yang mengharuskan

negara-negara anggota EC untuk siap bertempur menghadapi kemungkinan serangan pada

Eropa. Penulis berpendapat, kesediaan negara Eropa untuk tunduk pada aturan tersebut

merupakan hal yang sangat baik bagi perkembangan kebijakan pertahanan Eropa yang

otonom. Negara-negara netral seperti Swedia dan Norwegia (yang juga merupakan anggota

EC) pun menyatakan komitmennya untuk siap bertempur membela Eropa8, dan hal tersebut

tentunya merupakan hal yang positif bagi sisi pertahanan dan keamanan Eropa. Penulis

berpendapat adanya kesediaan setiap negara Eropa untuk senantiasa membela wilayah Eropa

dapat semakin mengurangi masuknya campur tangan asing (terutama AS) dalam usaha

pertahanan dan keamanan Eropa, langkah yang dapat semakin mendorong terwujudnya Eropa

yang otonom dari segi pertahanan dan keamanan.

Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam bidang

pertahanan dan keamanan, dapat dikatakan Eropa belum dapat sampai pada suatu program

kebijakan bersama. Hal ini dikarenakan masalah identitas masyarakat Eropa yang belum

cukup solid, kepentingan-kepentingan nasional setiap negara Eropa yang belum dapat

dipertemukan, serta karena faktor interdependensi Eropa dengan Amerika Serikat yang sudah

terjalin dalam waktu lama. Walaupun menemui berbagai halangan dan hambatan, proses

pembentukan kebijakan pertahanan dan keamanan Eropa harus diakui terus menunjukkan

kemajuan yang berarti. Hal ini ditandai dengan kesediaan negara-negara Eropa untuk siap

bertempur membela wilayah Eropa apabila suatu saat mendapat serangan dari luar. Adanya

kesediaan bertempur inilah yang, menurut penulis, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk

mengurangi masuknya campur tangan asing dalam masalah pertahanan dan keamanan Eropa.

Permasalahan identitas masyarakat Eropa juga harus diatasi dengan baik. Sehingga di

kemudian hari, akan tercipta suatu masyarakat Eropa yang solid, yang memiliki kebijakan

pertahanan dan keamanan yang otonom tanpa banyak campur tangan asing. Semoga.

7 Hugh Miall. Shaping the New Europe. (London: Royal Institute of International Affairs, 1993), hal. 99.

8 Ibid.