pelajaran kepemimpinan dari howard shultz
DESCRIPTION
Starbucks adalah salah satu perusahaan tempat bekerja terbaik di dunia. Mereka maju dengan pesat karena tangan dingin Howard Schultz, berikut kisah kepemimpinan dari seorang Howard Schultz.TRANSCRIPT
Widyawan Astrianto Widarto (29112509)
Howard Schultz
Keputusan Howard Schultz dan Kehancuran Starbucks
Kesuksesan dari sebuah merek Starbucks sangatlah fantastis, bila kita
bepergian ke seluruh dunia, hampir setiap kota besar pada sebuah negara
pastilah memiliki beberapa gerai Starbucks. Starbucks telah membangun
sebuah pengalaman menikmati kopi yang dahulu tidak dapat ditemukan di
kedai kopi manapun. Akan tetapi, kisah kesuksesan Starbucks bukan hanya
dari kelihaian seorang Howard Schultz dalam membangun bisnisnya, ia juga merupakan salah
seorang pemimpin yang baik. Setiap manajer sebaiknya mempelajari gaya kepemimpinan Schultz,
bagaimana kepribadiannya yang bijak, tegas, dan “approachable” dapat menginspirasi
bawahannya.
Starbucks berkembang sangat pesat dan menjadi tempat investasi yang sangat baik di mata para
investor. Starbucks menghasilkan keuntungan jutaan dolar dan Schultz merasa bahwa ia tidak lagi
dibutuhkan menjadi CEO, sehingga ia menyerahkannya kepada orang lain dan menjadi komisaris,
mengawasi perusahaannya dari jauh. Gerai Starbucks bermunculan dengan sangat cepat seperti
jamur di musim hujan, hal ini dapat dilakukan karena aliran keuntungan dari Starbucks yang
semakin membesar. Walaupun kesuksesan finansial sangat baik, akan tetapi Starbucks pernah
mengalami masa sulit, di mana sebenarnya kesuksesan utama Starbucks adalah bukan karena
angka-angka finansial yang mempesona, setidaknya itulah hal yang disadari Schultz ketika ia
membuat keputusan yang salah dengan meninggalkan Starbucks pada tahun 2000 dan memberikan
kursi CEO kepada orang lain. Schultz tidak lagi memegang operasi harian dan fokus kepada
ekspansi global.
Kesalahan ini mungkin terlihat kecil, namun jiwa Starbucks sempat hilang. Starbucks menuju
kehancuran karena kesalahan-kesalahan kecil yang menumpuk, dan akhirnya pecah seperti
fenomena gelembung. Tahun 2007 Starbucks mulai hancur dengan sendirinya, terlalu fokus pada
pertumbuhan dan melupakan operasi, teralihkan perhatiannya dari jantung dan jiwa Starbucks,
yaitu manajemen operasi yang unik. Keadaan semakin diperburuk karena kehancuran ekonomi
global yang mengubah lanskap bisnis di dunia.
Widyawan Astrianto Widarto (29112509)
Pada saat yang sama, perubahan dari perilaku konsumen juga berpengaruh pada iklim bisnis.
Konsumen menjadi lebih aware terhadap harga, tetapi juga lebih aware terhadap lingkungan,
kesehatan dan kesadaran etika perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Konsumen menjadi
orang-orang yang sebenarnya memegang perusahaan, bukan lagi komisaris atau jajaran
eksekutifnya.
Salah satu hal yang terlupakan dari manajemen operasi yang menjadi jiwa bagi Starbucks adalah
pelayanan kepada konsumen. Pada tahun 2008, kemungkinan sebuah gerai mendapatkan pasokan
bahan dan dapat melayani seluruh permintaan pelanggan hanya sekitar 35 persen. Kemungkinan
konsumen untuk dikecewakan karena tidak mendapat yang diinginkan terlalu besar. Kepercayaan
pelanggan mulai hilang. Terdapat kesalahan yang sangat fatal pada sistem supply chain, di mana
supply and demand menjadi sangat timpang dengan supply yang tidak dapat memenuhi demand
yang ada. Hal lain yang terlupakan adalah dengan absennya Schultz, manajer gerai yang
merupakan ujung tombak perusahaan tidak mendapat pengetahuan yang cukup agar dapat
mengoperasikan gerai dengan baik sesuai filosofi Starbucks.
Keputusan Howard Schultz untuk meninggalkan Starbucks terbukti tidak tepat, dan berujung pada
kolapsnya perusahaan yang telah ia bangun dari kecil. Sebagai pemimpin bisnis, Howard Schultz
bukan hanya sebuah figur yang dapat “menciptakan” uang yang banyak, tetapi juga membuat tim
dan perusahaan yang solid, seimbang antara pendapatan dan kesadaran sosial kepada para pekerja
dan konsumennya. Howard Schultz adalah sebuah sosok yang berjuang untuk mencapai
keuntungan tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Kepergian Howard Schultz juga
merupakan kepergian dari nilai-nilai luhur yang ia pegang, yang belum sempat ia ajarkan kepada
seluruh jajaran eksekutif dan manajer gerai. Tanpa Howard Schultz, Starbucks pada waktu itu akan
berjalan tanpa kendali.