pbl 1 alergi

53
1 KASUS 1 ALERGI Tn. A mengeluh demam dan batuk berdahak sejak 2 minggu yang lalu, dan setelah berobat, dokter memberikan antibiotika golongan penisilin kepada Tn. A. Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang hampir merata di seluruh tubuhnya, dan timbul bengkak pada kelopk mata dan bibirnya. Ia memutuskan untuk kembali berobat kedokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan angioedema dimata dan bibirnya, dan urtikaria di seluruh tubuhnya. Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe I), sehingga ia mendapatkan pengobatan anti histamin dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat. STEP 1 1. Alergi : Respon yang dapat menimbulkan reaksi imuniologi yang berbahaya dalam tubuh, bisa disebabkan obat, makanan, suhu, dsb. 2. Demam : - Suhu diatas normal, sebagai akibat dari peningkatan pusat pengaturan suhu dihipotalamus.

Upload: gebrina-amanda

Post on 15-Jan-2016

72 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

alergi

TRANSCRIPT

Page 1: PBL 1 ALERGI

1

KASUS 1

ALERGI

Tn. A mengeluh demam dan batuk berdahak sejak 2 minggu yang lalu, dan

setelah berobat, dokter memberikan antibiotika golongan penisilin kepada Tn. A.

Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang

hampir merata di seluruh tubuhnya, dan timbul bengkak pada kelopk mata dan

bibirnya. Ia memutuskan untuk kembali berobat kedokter. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan angioedema dimata dan bibirnya, dan urtikaria di seluruh tubuhnya.

Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas

tipe I), sehingga ia mendapatkan pengobatan anti histamin dan kortikosteroid.

Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat.

STEP 1

1. Alergi : Respon yang dapat menimbulkan reaksi imuniologi yang

berbahaya dalam tubuh, bisa disebabkan obat, makanan,

suhu, dsb.

2. Demam : - Suhu diatas normal, sebagai akibat dari peningkatan

pusat pengaturan suhu dihipotalamus.

Abnormal suhu badan rektal 38̊) C . Axilla tanda awal

suatu penyakit.

3. Batuk berdahak : Batuk yang disertai sputum yang berupa lendir dari

tenggorokan pada saat terjadi batuk, dahak diproduksi

sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing

yang masuk kedalam tubuh.

4. Antibiotik :Zat kimia yang dihasilkan mikroorgnisme yang berfungsi

untuk menghambat proses pertumbuhan / membunuh

mikroorganisme yang bersifat patogen.

5. Penisilin : Antibiotik yang berasal dari jamur penisilium serta jamur

lain didalam tanah, yang berfungsi membunuh

mikroorganisme.

Page 2: PBL 1 ALERGI

2

6. Angioedema : Reaksi vasuular yang melibatkan jaringan

dermis / subkutan / submukosa / yang menunjukan

adanya bengkak setempat yang disebabkan

peningkatan permeabilitas kapiler, disertai biru-

biru.

7. Urtikaria : Reaksi pembuluh darah pada kulit bagian atas

yang ditandai dengan gambaran seperti pentol yang

agak menonjol + merah atau lebih pucat dari kulit

dan sekitarnya yang disertai dengan gatal.

8̊. Hipersensitivitas tipe 1 : peningkatan sensitivitas benda asing yang pernah

dikenal sebelumnya yang bersifat cepat berikatan

akan dengan IgE.

Histamin : perantara penting pada reaksi alergi cepat,

berfungsi nemotrasmitter dalam.

9. Antihistamin : neoromodulator

Antagonis terhadap histamin

10. Kortikosteroid : steroid yang memiliki 21 atom karbon yang

dihasilkan kortesi aerenal obat penyakit asma

STEP 2

1. Definisi dan dasar reaksi alergi ?

2. Apa penyebab alergi ?

3. Mekanisme terjadinya alergi ?

4. Macam-macam alergi ?

5. Gejala klinik alergi ?

6. Pemeriksaan alergi ?

7. Pengobatan alergi anti histamin, kortikosteroid ?

8̊. Pencegahan alergi ?

9. Organ target yang terlibat dalam sistem imun ?

Page 3: PBL 1 ALERGI

3

STEP 3

1. Definisi respon yang dapat menimbulkan reaksi berbahaya bagi tubuh

Sistem pertahanan tubuh

Definisi hipersensitivitas Reaksi antibodi antigen yang berlebihan

2. Penyebab Alergen berupa makanan, suhu, obat

3. - Mekanisme IgE menangkap antigen sel mast

mengeluarkan meliator histamin bentuk alergi masuk timbul antibodi

antigen dan antibodi berikatan reaksi berlebihan hipersensitivitas.

- Mekanisme

Benda asing / antigen tertangkap reseptor IgE berhubungan dan

menempel pada sel mast dan basofit aktifase keluar mediator

mengundang sel insflamasi.

4. Macam-macam hipersensitivitas Tipe 1 reaksinya cepat

Sitoksik antigen perm, sel

antibodi

Komplek imun antigen antibodi

reposisi dari jaringan

Tipe 4 lambat limfosit yang di

sensitasi

Berdasarkan waktu Cepat

Lambat

Intermediet

5. Gejala klinik berdasarkan organ target.

- Kulit urtikaria

- Saluran nafas sesak

Page 4: PBL 1 ALERGI

4

- Mata merah, bengkak

- Hidung bersin, berlendir

- Pencernaan mual, muntah, diare

- Jantung hipo, hipertensi, takikardi.

6. - Uji kulit

- Lab

- Injeksi intracutan

- Dilihat lesi, ekskoriasi, angioedema

- Pf mata

- Pf telinga otitis media

Hidung warna mukasa, sekret, urtikaria

Mulut eritema, hipertrofitonsil, kemerahan

- Pk thorax

STEP 4

Organ target

antibodiantigen

definisi dasar penyebab Macam alergi

Gejala klinik

Pemeriksaan alergi

pencegahan

pengobatanALERGI

Page 5: PBL 1 ALERGI

5

STEP 5

1. Definisi dan dasar reaksi alergi ?

2. Apa penyebab alergi ?

3. Mekanisme terjadinya alergi ?

4. Macam-macam alergi ?

5. Gejala klinik alergi ?

6. Pemeriksaan alergi ?

7. Pengobatan alergi (antihistamin, kortikosteroid) ?

8̊. Pencegahan alergi ?

9. Organ target yang terlibat dalam sistem imun ?

STEP 6

STEP 7

1. SISTEM IMUN

Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri atas sistem

imun nonspesifik {natural/innate) dan spesifik (adaptive/ acquired).

Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dan spesifik terlihat dalam gambar

Biokimia

- Lisozim(ke

ringat)

- Sekresi

sebaseus

-Asam lambung

- Kulit

■ Selaput

iendir

■ Silia

■ Batuk

Page 6: PBL 1 ALERGI

6

a. SISTEM IMUN NONSPESIFIK

Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam

menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sistem imun spesifik

memerlukan waktu sebelum memberikan responsnya. Sistem tersebut

disebut nonspesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme

tertentu.

- Pertahanan Fisik

Kulit, selaput Iendir, silia saluran napas, batuk dan bersin dapat mencegah

berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh

luka bakar dan selaput Iendir yang rusak oleh karena asap rokok akan

meningkatkan risiko infeksi.

- Pertahanan Larut

Pertahanan Biokimia. Bahan yang disekresi mukosa saluran napas,

kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam semen

merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam

hidroklorik dalam cairan lambung, lisosim dalam keringat, ludah, air mata dan

air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman Gram positif dengan jalan

menghancurkan dinding kuman tersebut. Air susu ibu mengandung pula

laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap

E. coli dan stafilokok.

Lisozim yang dilepas makrofag dapat menghancurkan kuman negatif-Gram

dengan bantuan komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat

mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk hidup kuman pseudomonas

-Fagosit

- Mononukiea

r

- Polimorfonu

klear

- Sel NK

SelB

-IgD

-IgM

-igG

-IgE

-SelT

-Th1

-Th2

- TsA~rfTr>3

-Tdth

Page 7: PBL 1 ALERGI

7

(Gambar 2).

Udara yang kita hirup, kulit dan saluran cema, mengandung banyak mikroba,

biasanya berupa bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit. Sekresi kulit

yang bakterisidal, asam lambung, mukus dan silia di saluran napas membantu

menurunkan jumlah mikroba yang masuk tubuh, sedang epitel yang sehat

biasanya dapat mencegah mikroba masuk ke dalam tubuh. Dalam darah dan

sekresi tubuh, enzim lisosom membunuh banyak bakteri dengan mengubah

dinding selnya. IgA juga merupakan pertahanan permukaan mukosa.

- Pertahanan Humoral

Komplemen. Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi

bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi . Komplemen dapat

menghancurkan sel membran banyak bakteri

1. Komplemen dapat berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang

mengerahkan makrofag ke tempat bakteri

2. Komplemen dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag

untuk mengenal (opsonisasi) dan memakannya. Kejadian- kejadian tersebut

di atas adalah fungsi sistem imun nonspesifik, tetapi dapat pula terjadi

atas pengaruh respons imun spesifik.

Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel

manusia yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap

infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi

sel-sel sekitar sel yang telah terserang virus tersebut. Di samping itu,

interferon dapat pula menaaktifkan natural killer cell/ sel NK untuk

membunuh vims dan sel neoplasma Sel NK membunuh sel terinfeksi virus

intraselular, sehingga dapat menyingkirkan reservoir infeksi.

Sel NK memberikan respons terhadap IL-12 yang diproduksi

makrofag dan melepas IFN-y yang mengaktifkan makrofag untuk

Page 8: PBL 1 ALERGI

8

membunuh mikroba yang sudah dimakannya. C-Reactive Protein (CRP). CRP

dibentuk tubuh pada infeksi. Peranannya ialah sebagai opsonin dan dapat

mengaktifkan komplemen.

- Pertahanan Selular

Fagosit/makrofag, sel NK dan sel mast berperan dalam sistem imun

nonspesifik selular. Fagosit Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat

melakukan fagositosis, sel utama yang berperan pada pertahanan

nonspesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel

polimorfonuklear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut berasal dari

sel hemopoietik yang sama.

Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman, akan dapat mencegah

timbulnya penyakit. Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat sebagai

berikut: kemotaksis, menangkap, membunuh dan mencerna.

Natural Killer cell (sel NK). Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-

ciri sel limfoid sistem imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh

karena itu disebut juga sel non B non T atau sel populasi ke tiga atau null cell.

Morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granul besar, oleh karena itu

disebut juga Large Granular Lymphocyte/LGL. Sel NK dapat menghancurkan

sel yang mengandung virus atau sel neoplasma. Interferon mempercepat

pematangan dan meningkatkan efek sitolitik sel NK.

Sel mast. Sel mast beiperan dalam reaksi alergi dan juga dalam

pertahanan pejamu yang jumlahnya menurun pada sindrom imunodefisiensi.

Sel mast juga berperan pada imunitas terhadap parasit dalam usus dan

terhadap invasi bakteri. Berbagai faktor nonimun seperti latihan jasmani,

tekanan, trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifkan dan

menimbulkan degranulasi sel mast.

a. SISTEM IMUN SPESIFIK

Page 9: PBL 1 ALERGI

9

Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik

mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi

dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem

imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem

tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal

lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut

spesifik.

Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda

asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama

yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag.

Komplemen turut diaktifkan dan ikut berperan dalam menimbulkan inflamasi

yang terjadi pada respons imun.

Sistem Imun Spesifik Humoral

1. Sistem imun spesifik humoral. Berperan dalam sistem imun spesifik humoral

adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten

dalam sumsum tulang. Pada unggas sel asal tersebut berdiferensiasi menjadi

sel B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang letaknya dekat cloaca.

Bila sel B dirangsang benda asing, Sel tersebut akan berproliferasi dan

berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi.

Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi

utama antibodi ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi

bakteri, virus dan menetralisasi toksin.

2. Sistem imun spesifik selular. Berperan dalam sistem imun spesifik selular

adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah:

• membantu sel B dalam memproduksi antibodi mengenal dan

menghancurkan sel yang terinfeksi virus

• mengaktifkan makrofag dalam fagositosis

• mengontrol ambang dan kualitas sistem imun

Sel T juga dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan

proliferasinya terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor

Page 10: PBL 1 ALERGI

10

asal timus. Sembilan puluh sampai sembilan puluh lima persen semua sel

timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan meninggalkan

timus untuk masuk ke dalam sirkulasi dan kelenjar getah bening. Fungsi

utama sistem imun selular ialah pertahanan terhadap mikroorgam'sme yang

hidup intraselular seperti virus, jamur, parasit dan keganasan. Berbeda dengan

sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset seperti sel T naif, Thl, Th2, T

Delayed Type Hypersensitivity (Tdth), Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) atau

T cytotixic atau T cytolytic (Tc) dan T supresor (Ts) atau T regulator (Tr).

Sel T Naif (virgin). Sel T naif adalah sel limfosit yang

meninggalkan timus, namun belum berdiferensiasi, belum pernah

terpajan dengan antigen dan menunjukkan molekul permukaan CD45RA.

Sel ditemukan dalam organ limfoid perifer. Sel T naif yang terpajan dengan

antigen akan berkembang menjadi sel ThO yang^ selanjutnya dapat

berkembang menjadi sel efektor Thl dan Th2 yang dapat dibedakan atas

dasar jenis-jenis sitokin yang diproduksinya. Sel ThO memproduksi sitokin

dari ke 2 jenis sel tersebut seperti IL-2, 1FN dan IL-4.

Sel T CD4T (Thl dan Th2). Sel T naif CD4+ raasuk sirkulasi dan

menetap di dalam organ limfoid seperti kelenjar getah bening untuk

bertahun-tahun sebelum terpajan dengan antigen atau mati. Sel tersebut

mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-II oleh

APC dan berkembang menjadi subset sel Thl atau sel Tdth (Delayed

Type Hypersensitivity) atau Th2 yang tergantung dari sitokin lingkungan.

Dalam kondisi yang berbeda dapat dibentuk dua subset yang berlawanan.

Page 11: PBL 1 ALERGI

11

IFN-y dan IL-12 yang

diproduksi APC seperti makrofag dan sel dendritik yang diaktifkan

mikroba merangsang diferensiasi sel CD4+ menjadi Thl/Tdth yang

berperan dalam reaksi hipersensitivitas lambat (reaksi tipe 4 Gell dan

Coombs). Sel Tdth berperan untuk mengerahkan makrofag dan sel

inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe

lambat.

Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas sel

mast yang terpajan dengan antigen atau cacing, ThO berkembang menjadi sel

Th2 yang merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi.

Kebanyakan sel Th adalah CD4+ yang mengenal antigen yang

dipresentasikan di permukaan sel APC yang berhubungan dengan molekul

MHC-II. Sel T CD8̊+ (Cytotoxif T Lymphocyte / CTL / Tcytotoxic /

Tcytolytic/ Tc). Sel T CD8̊+ naif yang keluar dari timus disebut juga

CTL/Tc. Sel tersebut mengenal antigen yang dipresentasikan bersama

molekul MHC-I yang ditemukan pada seniua sel tubuh yang beniukleus.

Fungsi utamanya ialah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus dengan

Page 12: PBL 1 ALERGI

12

menghancurkan sel yang mengandung virus tersebut. Sel CTL/Tc akan juga

menghancurkan sel ganas dan sel histoimkompatibel yang menimbulkan

penolakan pada transplantasi. Dalam keadaan tertentu, CTL/Tc dapat juga

menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraselular. Istilah sel T

inducer digunakan untuk menunjukkan aktivitas sel Th dalam

mengaktifkan sel subset T lainnya.

Sel Ts (T supresor) atau sel Tr (T regulator). Sel Ts (supresor)

yang juga disebut sel Tr (regulator) atau Th3 berperan menekan aktivitas

sel efektor T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya, sel Ts dapat dibagi

menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts nonspesifik.Tidak

ada petanda unik pada sel ini, tetapi penelitian menemukan adanya petanda

molekul CD8̊+. Molekul CD4+ kadang dapat pula supresif.

Kerja sel T regulator diduga dapat mencegah respons sel Thl. APC

yarig mempresentasikan antigen ke sel T naif akan melepas sitokin IL-12

yang nierangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel efektor Thl. Sel Thl

memproduksi IFN-y yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor. Sel T

regulator dapat mencegah aktivasi sel T melalui mekanisme yang belum

jelas (kontak yang diperlukan antara sel regulator dan sel T atau APC/

Beberapa sel T regulator melepas sitokin imunosupresif seperti IL-10

yang mencegah fungsi APC dan aktivasi makrofag dan TGF-b yang

mencegah proliferasi sel T dan aktivasi makrofag.

ANTIGEN DAN ANTIBODI

Antigen

Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan berat

molekul lebih dari 40.000 dalton dan kompleks polisakarida mikrobial. Glikolipid

dan lipoprotein dapat juga ber-sifat imunogenik, tetapi tidak demikian halnya

dengan lipid yang dimumikan. Asam nukleat dapat bertindak sebagai imunogen

dalam penyakit autoimun tertentu, tetapi tidak dalam keadaan normal.

Pembagian Antigen

Page 13: PBL 1 ALERGI

13

1. Pembagian antigen menurut epitop

a. Unideterminan, univalen. Hanya satu jenis determinan/epitop pada satu

molekul.

b. Unideterminan, multivalen. Hanya satu jenis determinan tetapi dua atau

lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.

c. Multideterminan, univalen. Banyak epitop yang bermacam- macam tetapi

hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein).

d. Multideterminan, multivalen. Banyak macam determinan dan banyak dari

setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang

tinggi dan kompleks secara kimiawi).

2. Pembagian antigen menurut spesifisitas

a. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies

b. Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu

c. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies

d. Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu

e. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri

3. Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T

a. T dependen, yang memerlukan pengenalan oleh sel T terlebih dahulu untuk

dapat menimbulkan respons antibodi. Kebanyakan antigen protein termasuk

dalam golongan ini

b. T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk

membentuk antibodi. Kebanyakan antigen golongan ini berupa molekul

besar polimerik yang dipecah di dalam tubuh secara perlahan-lahan,

misalnya lipopolisakarida, dekstran, levan, flagelin polimerik bakteri.

Page 14: PBL 1 ALERGI

14

4. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi

a. Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umumnya imunogenik.

Glikoprotein yang merupakan bagian perinukaan sel banyak

mikroorganisme dapat menimbulkan respons imun terutama pembentukan

antibodi. Contoh lain adalah respons imun yang ditimbulkan golongan darah

ABO, sifat antigen dan spesifisitas imunnya berasal dari polisakarida pada

perinukaan sel darah merah

b. Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila

diikat protein pembawa. Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah

sfingolipid

c. Asam nukleat. Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi

imunogenik bila diikat protein molekul pembawa. DN A dalam bentuk

heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respons imun terhadap DNA

terjadi pada pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

d. Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya

multideterminan dan univalen.

Page 15: PBL 1 ALERGI

15

Imunogen dan Hapten. Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan

yang dapat merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan

antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk

merangsang produksi antibodi. Secara fiingsional antigen dibagi menjadi imunogen

dan hapten. Bahan kimia ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi,

tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik).

Untuk memacu respons antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul

besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut hapten) dan molekul besar

(disebut carrier atau molekul pembawa) dapat berperan sebagai imunogen. Contoh

hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan obat lainnya dengan berat molekul

kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B, sedangkan molekul pembawa oleh sel T.

Molekul pembawa sering digabung dengan hapten da-lam usaha memperbaiki

imunisasi. Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal sistem

imun dan merangsang pembentukan antibody.

Respons sel B terhadap hapten yang memerlukan protein pembawa

(carrier) untuk dapat dipresentasikan ke sel Th.

Epitop. Epitop atau detenninan antigen adalah bagian dari antigen yang

dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, meng-induksi pembentukan

antibodi; dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor

antibodi. Makromolekul dapat memiliki berbagai epitop yang masing-masing

merangsang produksi antibodi spesifik yang berbeda. Paratop ialah bagian dari

antibodi yang mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi terhadap semua

golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein dan asam nukleat.

Lokasi epitop dan paratop (bagian dari antibodi) dalam interaksi antara

antigen dan TCR dan reseptor sel B.

Epitop adalah bagian dari antigen yang membuat kontak fisik dengan

reseptor Ab = antibodi; Ag = antigen.

Superantigen. Superantigen (Gambar 10) adalah molekul yang sangat

poten terhadap mitogen sel T. Mungkin lebih baik bila disebut supermitogen,

oleh karena dapat memacu mitosis sel CD4+tanpa bantuan APC. Superantigen

Page 16: PBL 1 ALERGI

16

berikatan dengan berbagai regio dari rantai (3 reseptor sel T. Ikatan tersebut

merupakan sinyal poten untuk mitosis, dapat mengaktifkan sejumlah besar

populasi sel T. Sampai 20% dari semua sel T dalam darah dapat diaktifkan oleh

satu molekul superantigen. Contoh superantigen adalah enterotoksin dan toksin

yang menimbulkan sindrom syok toksin yang diproduksi stafilokokus aureus.

Molekul tersebut dapat memacu penglepasan sejumlah besar sitokin seperti IL-1

dan TNF dari sel T yang berperan dalam patologi jaringan lokal pada syok

anafilaktik oleh stafilokokus.

ANTIBODI

Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel

plasma (proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi

ditemukan dalam serum dan jaringan dan mengikat antigen secara spesifik. Bila serum

protein dipisahkan secara elektroforetik, Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin

g meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin a dan b.

Semua molekul Ig mempunyai 4 polipeptid dasar yang teridiri atas 2 rantai

be'rat (heavy chain) dan 2 rantai ringan {light chain) yang identik, dihubungkan

satu dengan lainnya oleh ikatan disulfida.

Unit dasar antibodi yang terdiri atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan yang

identik, diikat menjadi satu oleh ikatan disulfida yang dapat dipisah-

pisah dalam berbagai fragmen.

A = rantai berat (berat molekul: 50.000-77.000)

B = rantai ringan (berat molekul: 25.000)

C = ikatan disulfida

Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230

asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis

imunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgE, IgA dan IgD

IgG

Page 17: PBL 1 ALERGI

17

IgG merupakan komponen utama (terbanyak) imunoglobulin serum,

dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13

mg/ml merupakan 75% dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai

cairan lain antaranya cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. IgG dapat

menembus plasenta dan masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi

sampai umur 6-9 bulan. IgG dapat mengaktifkan komplemen,

meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi.

IgG mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh karena monosit dan

makrofag memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgG yang dapat

mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Selanjutnya

opsonisasi dibantu reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit.

IgG terdiri atas 4 subkelas yaitu Igl, Ig2, Ig3 dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh

sel mast dan basofil.

IgA

IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya

dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cema, saluran kemih, air mata,

keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA sekretori (slgA).

Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat menetralisir toksin atau

virus dan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat sasaran.

slgA diproduksi lebih dulu dari pada IgA dalam serum dan tidak menembus

plasenta. slgA melindungi tubuh dari patogen oleh karena dapat bereaksi

dengan molekul adhesi dari patogen potensial sehingga mencegah adherens

dan kolonisasi patogen tersebut dalam sel pejamu.

IgA juga bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil, monosit dan

makrofag memiliki reseptor untuk Fca (Fca-R) sehingga dapat

meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan menetralisir toksin. IgA

juga diduga berperan pada imunitas cacing pita.

IgM

Page 18: PBL 1 ALERGI

18

IgM (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus bangun

pentamer dan merupakan Ig terbesar. Kebanyakan sel B mengandung IgM

pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dahulu

pada respons imun primer tetapi tidak berlangsung lama, karena itu kadar

IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini.

Bayi yang bam dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar

IgM dewasa oleh karena IgM tidak menembus plasenta. Fetus umur 12

minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi

intrauterin seperti sifilis kongenital, rubela, toksoplasmosis dan virus

sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar IgM dewasa pada usia satu

tahun. Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah

AB, antibodi heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan

mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan

aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM juga merupakan antibodi yang

dapat mengikat komplemen dengan kuat dan tidak menembus plasenta.

IgD

IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah (1%

dari total imunoglobulin dalam serum). IgD tidak mengikat komplemen,

mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan

autoantigen seperti komponen nukleus. Selanjutnya IgD ditemukan

bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivasi

selB.

IgE

IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE

mudah diikat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang

pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE

dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran napas

dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi

Page 19: PBL 1 ALERGI

19

cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE

diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai

antibodi regain.

3. Penyebab Alergi ( Hipersensitivitas )

Penyebab alergi belum diketahui (ideopatik), banyak orang

menduga penyebab alergi adalah antigen yang masuk kedalam tubuh yang

kemudian menyerang jaringan sehingga sel – sel dalam jaringan tersebut

ruptur dan mengeluarkan zat-zat kimia yang menghasilkan efek yang

menandai timbulnya alergi, namun pernyataan tersebut tidak benar Karena

antigen yang sama pada pejamu yang berbeda belum tentu menimbulkan

efek alergi. Oleh karena itu penyebab alergi yang dapat diterima adalah

karena gen yang diturunkan dari sifat orangtua yang mempunyai riwayat

alergi.

Pada orangtua yang mempunyai riwayat alergi mereka mempunyai

keturunan yang alergi terhadap antigen yang sama. Riwayat alergi tersebut

di turunkan melalui sel memori yang berperan dalam pembentukan

memori sel limfosit secara spesifik terhadap antigen yang sebelumnya

telah menyerang pejamu.

Penisilin yang merupakan obat antibiotik seringkali menyebabkan

alergi terhadap pejamu, dalam mekanismenya ketika pertama kali penisilin

dimasukan kedalam tubuh, makrofag yang terdapat di jaringan akan

menangkap penisilin dan mengantarkan penisilin tersebut ke reseptor

MHC-II (major bistocompatibility complex) untuk di ikat dan di antarkan

menuju sel limfosit penolong yang tidak lain adalah sel memori, didalam

sel memori ini penisilin/zat asing lainnya diproses dan di eksekusi, bila zat

asing itu berbahaya sel memori akan memberikan sinyal kepada sel B

didekatnya untuk memproduksi IgG (immunoglobulin G) suatu antibodi

bivalen yang mencangkup 75% dari keseluruhan jumlah antibodi di dalam

tibuh untuk menghancurkan benda asing tersebut. Pada pejamu yang

memiliki alergi ketika antigen masuk, sel memori bekerja tidak normal

atau tidak lazim, yang seharusnya pada pajanan pertama antigen, sel

memori akan merangsang sel B untuk menghasilkan IgG yang jumlahnya

Page 20: PBL 1 ALERGI

20

banyak didalam tubuh sehingga dapat menghancurkan antigen yang

masuk, tetapi pada orang yang memiliki alergi, sel memori tidak

merangsang Sel B untuk menghasilkan antibodi IgG akan tetapi sel

memori merangsang sel B untuk menghasilkan IgE yang melekat pada sel

mast dan basofil dan yang jumlahnya sedikit di dalam tubuh maka pada

pajanan pertama antigen yang masuk tidak dapat dihancurkan melainkan

ikut melakat pada sel mast dan basofil melalui IgE, pada pajanan kedua

antigen yang sama masuk kedalam tubuh, sel memori akan tetap

merangsang sel IgE walaupun jumlah IgE sangat sedikit dan IgE yang

tersisa sudah melekatkan antigen ke sel mas dan sel basofil sehingga sel

IgE tidak bisa melawan antigen yang jumlahnya banyak, akhirnya antigen

yang tidak terikat oleh antibodi IgE akan berikatan dengan sel mast dan sel

basofil itu sendiri, kemudian antigen tersebut akan menghancurkan

membran dari sel mast dan basofil menyebabkan sel itu rupture dan

mengelurkan zat-zat kimia salah satunya histamine yang mempunyai efek

urtikaria dan angiodema pada kulit.

4. Mekanisme Alergi

adanya alergen yang ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung.

Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya

sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan

respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil

yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B

memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak

terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20

jam.

Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk

memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan

berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau

basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka

alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit

Page 21: PBL 1 ALERGI

21

atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan

pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer

menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria,

vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas

vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan menyebakan

peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien)

and protein (sitokin and enzim).

4 Macam-macam Hipersensitivitas

a. Pembagian hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi dibagi

menjadi:

Reaksi cepat, terjadi dalam hitungan detik, meghilang dalam 2 jam.

Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast

menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat atau

anafilaksis lokal.

Reaksi intermediet, terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam

24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan

kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC.

Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa :

Page 22: PBL 1 ALERGI

22

i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fatalis dan anemia hemolitik

autoimun

ii. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness,

vaskulitis nekrosis, glomerulonefritis, artrisis reumatoid dan LES

Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu

yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.

Reaksi lambat, terlihat sampai sekitar 48̊ jam setelah terjadi pejanan

dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang

dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan

kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak,

reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

b. Pembagian hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

Hipersensitivitas Tipe I

Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi

alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi

tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun

berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma dan

dermatitis atopi. Urutan kejadian tipe I adalah sebagai berikut :

i. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pementukan IgE

sampai diiikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan

sel mast/basofil.

ii. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pejanan ulang

dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang

berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan

silang antara antigen dan IgE.

iii.Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator –mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan

aktivitas farmakologik.

Hipersensitivitas Tipe II atau sitotoksik atau sitolitik

Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau

sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap

antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi

Page 23: PBL 1 ALERGI

23

antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari

membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan

metabolisme sel dilibatkan.

Istilah sitolitik lebih tepat mengikat reaksi yang terjadi disebabkan

lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel

yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan

sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi

tipe II dapat menunjukan berbagai manifestasi klinik yaitu berupa

kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia,eosinofuilia,

dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksia

alergi tipe ini.

Hipersensitivitas Tipe III

Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila

kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini

ialah Igm dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh

yaitu dengan pelepasan komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :

1). Urtikaria, angioedema, eritema, makulopopula, eritema

multiforme,dll. Gejela tersebut sering disertai pruritus. 2). Demam.

3).kelainan sendi, atrtralgia, dan efusi sendi. 4). Limfadenopati. 5). Dan

lain-lain :

- kejang perut, mual

- neuritis optik

- glomerulonefritis

- sindrom lupus eritematosus sistemik

- gejala vaskulitis lain

Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila

sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam

waktu 1-5 hari.

Hipersensitivitas Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga

dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada

Page 24: PBL 1 ALERGI

24

reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respons sel T

yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.

Berbagai jenis DTH :

1) Cutaneous Basophil Hypersensitivity

2) Hipersensitivitas kontak (contact dermatitis)

3) Reaksi tuberkulin

4) Reaksi granuloma

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut

seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang

tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitruforantion, nefritis intertisial,

ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi

alergi obat.

Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling

sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah

sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa, penisilin atau

antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18̊-24 jam

setelah obat dioleskan.

5. Gejala Klinik Hipersenstivitas tipe I (alergi)

Tipe I (Hipersensitivitas tipe cepat)

Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat

reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi

otot polos, meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar

mukus. 1). Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang

bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa

sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. 2). Urtikaria,

3). Angioedema, 4). Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi

beberapa menit setelah suntuikaan seperti penisilin.

Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit

setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan

Page 25: PBL 1 ALERGI

25

secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis.

Penyebab yang tersering adalah penisilin.

Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu: a). Fase sensitasi, yaitu waktu

yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE, b). Fase aktivasi, yaitu fase yang

terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini, sel

mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat

menimbulkan reaksi. c). Fase efektor, yaitu fase terjadinya respon imun yang

kompleks akibat penglepasan mediator.

Tipe II

Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena

terbentuknya IgM/IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat

mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antige antibodi

juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergen tipe II umumnya berupa kelainan darah

seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia.

Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

Tipe III

Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila

kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disini ialah

IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan

penglepasan komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa:

1). Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme, dan

lain-lain. Gejala tersebut sering disertai pruritus. 2). Demam. 3). Kelainan

sendi, atralgia, dan efusi sendi. 4). Limfadenopati. 5). Lain-lain:

Kejang perut, mual

Neuritis optik

Glomerulonefritis

Sindrom lupus eritematosus sistemik

Page 26: PBL 1 ALERGI

26

Gejala vaskulitis lain

Gejala tadi, timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya

pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.

Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal

sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak

ada peran antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah di sensitasi

oleh antigen tertentu.

Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity): 1). Cutaneous

Basophil Hypersensitivity. 2). Hipersensitivitas kontak (Contact Dermatis). 3).

Reaksi tuberkulin. 4). Reaksi Granuloma

Manifestasi klinis reaksi alergen tipe IV dapat berupa reaksi paru akut

seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang

tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, nefritis interstisial,

ensefalomielitis, dan hepatis juga dapat merupakan manaifestasi reaksi alergi

obat.

Namun demikian, dermatitis merupakan mnifestasi yang paling sering.

Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi.

Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa, penisilin, atau antihistamin).

6. Pemeriksaan Alergi

A. Pemeriksaan Fisik

Kulit

Seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik seperti

ekskoriasi, bekas garukan terutama daerah pipi atau lipatan-lipatan kulit

daerah fleksor. Kelainan ini mungkin tidak dikeluhkan pasien, katena

dianggap tidak mengganggu ataupun tidak ada hubungan dengan

penyakitnya. Lihat pula apaluh terdapat lesi urtikaria. angioedema,

dermatitis, dan likemfikasi.

Mata

Page 27: PBL 1 ALERGI

27

Diperiksa terhadap hiperemia konjungtiva, edema, secret mata yarig

berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atopi, dan

kadangkala disebabkan pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalarn

jangka lama. Pada rinitis aiergi dapat dijumpai allergic shiners, yairu daerah

di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak.

Telinga

Telinga tengah dapat merupakan penyulit penyakit saluran napas, perlu

dilakukan pemeriksaan membrane timpani untuk mencari otitis media.

Demikian juga dengan sinus paranasal berupa sinusitis yang dapat

diperiksa secara palpasi dan transiluminasi.

Hidung

Pada pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda

yang sudah baku, walaupun tidak patognomonik, misalnya : allergic

salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok

hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan

melonggarkan sumbatan.

Bagian dalam hidung diperiksa dengan menggunakan spekulum

hidung dengan bantuan senter untuk melihat warna mukosa, jumlah dan

bentuk sekret, edema, polip hidung, dan abnormalitas anatomi

seperti deviasi septum.

Mulut dan Orofaring

Pemeriksaan dituiukan untuk menilai eritema, edema, hipertrofi tonsil,

Pada rinitis alergi terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema, atau

keduanya.

Dada

Diperiksa secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi baik terhadap

organ paru maupun jantung.

Pemeriksaan Lain

Page 28: PBL 1 ALERGI

28

Jangan lupa memeriksa tekanan darahnya, karena tekanan sistolik yang

rendah (90-110 mmHg) sering dijumpai pasien penyakit alergi.

B. Pemeriksaan Laboratorium

• Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Sel : Pada penyakit alergi jumlah leukosit

normal, kecuali kalau disertai infeksi. Eosinofilia sering dijumpai tetapi

tidak spesifik, sehingga dapat dikatakan eosinofilia tidak identik dengan

alergi. Pada penyakit alergi, eosinofilia berkisar antara 5-15% beberapa hari

setelah pajanan alergen. Sel eosinofil normal, untuk dewasa 0-450 sel/mm3.

• Sel Eosinofil pada Sekret Konjungtiva, Hidung dan Sputum : Semasa

periode simtomatik sel eosinofil banyak dalam sekret, tetapi kalau ada

infeksi, sel neutrofil yang lebih dominan.

• Serum IgE total : Meningkatnya serum lgE total menyokong adanyapeayakit

alergi, Meningkatnya serum lgE total menyokong adanya penyakit alergi,

tetapi sayang hanya didapatkan pada sekitar 60-8̊0% pasien. Sebaliknya

peniagkatan kadar Ig E total ini juga dijumpai pada penyakit lain misalnya

infeksi parasit, sirosis hati, monokleosis, penyakit autoimun, limfoma, HIV,

dll.

• Ig E Spesifik : dilakukan untuk mengukur lgE terhadap alergen tertentu

secara in vitro dengan cara RAST (Rcrto Allergo Sorbent Test) atau ELISA

(Enzym LinkedImmuno Sorbeni Assay).

C. Tes Kulit :

Tujuannya adalah untuk menentukan antibodi IgE spesifik dalam kulit pasien,

yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibodi yang serupa pada

organ yang sakit.

D. Tes Tusuk (Prick Test) :

Mula-mula kulit bagian volar dari lengan bawah dibersihkan dengan alkohol,

biarkan hingga kering. Tempat penetesan alergen ditandai secara berbaris

dengan jarak 2-3 cm di atas kulit tersebut. Teteskan setetes alergen pada tempat

yang disediakan, juga kontrol positif (larutan histamin fosfat 0.1 %) dan

Page 29: PBL 1 ALERGI

29

kontrol negatif (larutan phospate-buffered saline dengan fenol 0.4%). Dengan

jarurn disposibel ukuran 26, dilakukan tusukan dangkal melaiui masing-masing

ekstrak yang telah diteteskan.

E. Tes Tempel (Patch Test) :

Dilakukan dengan cara menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai

penyebab dermatitis alergi kontak. Jika pada penempelan bahan kulit

menunjukkan reaksi, mungkin pasien alergi terhadap bahan tersebut, ataupun

bahan atau benda lain yang mengandung unsur tersebut.

• 0 = tidak ada reaksi

• +/- = eritema ringan, meragukan

• 1+ = reaksi ringan (eritema dengan edema ringan)

• 2+ = reaksi kuat (papular eritema dengan edema)

• 3+ = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)

F. Tes Provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikanalergen secara

langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika

terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan

tes lainnya.

G. Pemeriksaan-pemeriksaan lain

Spirometri, untuk menentukan obstruksi saluran napas baik beratnya

maupun reversibilitasnya, serta untuk menilai hasil pengobatan asma

(monitoring).

Foto dada, untuk melihat komplikasi asma dan foto sinus paranasal untuk

melihat komplikasi rinitis. Bila ada kecurigaan rinitis akut maupun kronik

maka diperlukan pemeriksaan scanning sinus.

Pemeriksaan tinja, untuk melihat cacing dan telurnya pada kasus urtikaria

yang tidak bisa diterangkan, dan lainTiain.

Laju endap darah normal pada penyakit atopi. Kalau laju endap darah

meninggi kemungkinan disertai infeksi

Tes pelepasan histamin dari basofil

Page 30: PBL 1 ALERGI

30

7. Antagonis Histamin( ANTIHISTAMIN )

Pengaruh histamin yang dihasilkan tubuh dapat dikurangi dengan berbagai

cara, antagonis fisiologis terutama adalah epinefrin yang bekerja dengan

histamin pada otot polos.

Penggolongan Histamin

• Antagonis Reseptor H1

A. Generasi pertama

B. Generasi kedua

• Antagonis Reseptor H2

• Antagonis Reseptor H3

Antagonis H1

Antagonis H1 generasi pertama merupakan suatu amin yang larut dalam

lipid dan stabil.

Umumnya obat-obat ini serupa dalam absorpsi dan distribusinya.

Obat mudah diabsorpsi sesudah pemberian oral, puncak konsentrasi dalam

plasma terjadi dalam 1-2 jam.

Distribusi ke seluruh tubuh, dan masuk SSP dengan mudah

Obat dimetabolisme secara luas, terutama oleh mikrosomal hati.

Umumnya obat mempunyai lama kerja efektif 4-6 jam setelah dosis

tunggal, tetapi meklizin bekerja lama dengan waktu kerja 12-24 jam

Antagonis H2 generasi kedua kurang larut lipid dan sulit memasuki SSP

Antagonis H1 menghambat kerja histamin secara antagonisme kompetitif

yang reversibel pada reseptor H1. potensinya untuk reseptor H2 dapat

Page 31: PBL 1 ALERGI

31

diabaikan dan kecil untuk reseptor H3

Selain itu terdapat efek yang bukan disebabkan oleh penyakatan

reseptor Histamin, diduga hal ini terjadi karena adanya kesamaan

struktur umum dengan struktur obat yang mempunyai efek kolinoseptor

muslarinik, adrenoseptor alfa, serotonin, dan reseptor anestetik lokal.

Efek tersebut yaitu :

1. Efek sedasi, terutama pada antagonis H1 generasi pertama. Tetapi

intensitas efek berbeda diantara subgrup kimiawi dan antar pasien sendiri.

Beberapa obat digunakan sebagai “obat pembantu tidur” dan tidak cocok

digunakan pada siang hari.

Antagonis H1 generasi kedua mempunyai sedikit/tidak ada kerja

sedatif.

terfenadin sangat efektif untuk reseptor H1 dan sulit melewati

sawar darah otak. Begitu pula dengan astemizol, loratadin dan cetirizin

2. Efek antimual dan antimuntah.

beberapa antagonis H1 mempunyai aktivitas menonjol untuk

mencegah “motion sickness”, namun kurang efektif terhadap episode

motion sickness yang sudah ada.

3. Efek antiparkinsonisme.

Diduga karena efek antikolinergiknya. Beberapa anatgonis H1

dapat menghambat efek pada gejala parkinsonisme yang berkaitan dengan

obat-obat antipsikotik tertentu

• Reaksi alergi

merupakan obat pilihan pertama untuk mencegah atau mengobati

gejala reaksi alergi.

Page 32: PBL 1 ALERGI

32

Pada rhinitis alergi dan urtikaria, dimana histamin merupakan

perantara utama, antagonis H1 adalah obat pilihan yang sangat efektif.

untuk dermatitis atopik difenhidramin digunakan untuk

menghilangkan rasa gatal dan efek sedasinya

Antagonis H1 generasi kedua dengan efek sedatif yang rendah

(terfenadin, loratadin, astemizol, dan mequitazin) digunakan terutama

untuk pengobatan rhinitis alergi dan urtikaria kronis.

Beberapa perbandingan dengan obat generasi pertama (seperti

klorfeniramin) memperlihatkan manfaat terapi yang sama, namun efek

sedasi terjadi pada 50% orang yang menggunakan generasi I, dan hanya

terjadi pada 7% orang yang menggunakan terfenadin dan astemizol.

Obat-obat generasi kedua ini lebih mahal harganya.

• Motion Sickness dan Gangguan Vestibular

Obat antihistamin yang sangat efektif adalah difenhidramin dan

prometazin

Golongan piperazin (siklizin dan meklizin) juga cukup baik untuk

mencegah penyakit ini dan umumnya kurang sedatif.

• Mual dan muntah hamil

beberapa obat antagonis H1 telah diteliti untuk kemungkinan

pengobatan pada “morning sickness”.

Turunan piperazin ditarik penggunaannya karena terbukti

mempunyai efek teratogenik pada tikus.

Untuk penggunaan ini dianjurkan Doksilamin, suatu etanolamin

antagonis H1 sebagai komponen Bendectin (doksilamin+piridoksin).

Adanya masalah malformasi fetal akibat penggunaan Bendectin

menyebabkan produk ini ditarik kembali dari peredaran.

Page 33: PBL 1 ALERGI

33

EFEK SAMPING

• Efek toksik ringan dari penggunaan sistemik meliputi eksitasi dan

konvulsi pada anak-anak, hipotensi postural, dan respon alergi.

• Edema uvula dan laring.

• Kesulitan bernapas dapat juga disebabkan oleh penyempitan bronkus.

• Spasme usus, kandung kemih atau spasme uterus yang jelas, disertai

nyeri kram, pengeluaran isi visera, atau bercak-bercak darah dari vagina.

8. Pencegahan Alergi

Adapun yang efektif untuk pencegahan elergi adalah dengan

mengetahui indikasi yang dapat menyebabkan alergi lalu jauhi indikasi.

9. Organ target hipersensitivitas tipe I

Reaksi sistemik akut, sering mengakibatkan kematian, pertama kali

ditemukan pada beberapa spesies selama percobaan imunisasi dengan toksin-

toksin asing. Pada banyak hewan, sensirtisasi tidak memberikan proteksi;

bahkan pemberiab ulang toksin, dapat segeran menimbulkan syok, obstruksi

saluran pernapasan, dn kongesti visera dengan gambaran yang spesifik pada

masing-masing spesies.

Reaksi sistemik akut umumnya timbul setelah penyuntikan antigen yang

poten (alergen) pada orang yang sangat peka, walaupun jarang reaksi ini dapat

terjadi setelah menelan agen tersebut.

Reaksi sistemik akut umumnya timbul beberapa menit setelah terpajan

satu alergen; keterlambatan timbulnya reaksi yang lebih dari 1 jam sangat

jarang terjadi. Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan alergen dapat

menyebabkan kematian atau reaksi subletal dan umumnya reaksi-reaksi yang

paling berat terjadi paling cepat. Individu yang terkena merasakan gelisah,

diikuti dengan cepat oleh rasa ringan pada kepala, yang dapat mengakibatkan

Page 34: PBL 1 ALERGI

34

sinkop (kehilangan kesadaran). Rasa gatal di telapak tangan dan kulit kepala

dapat menjadi urtikaria yang menutupi sebagian besar permukaan kulit.

Pembengkakan jaringan lokal (angioedema) dapat timbul dalam beberapa

menit dan khususnya mengubah bentuk kelopak mata, bibir, lidah, tangan,

kaki, dan genitalia. Kelainan ini yang mengenai jaringan dibawah kulit atau

selaput lendir disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular lokal,

tanpa kerusakan vena-vena kecil dan kapiler-kapiler yang bersangkutan.

Angioedema sering reversibel dalam waktu singkat. Angioedema berbeda dari

bentuk-bentuk pembengkakan lain (edema) yang tekanan darah abnormal atau

kerusakan pembuluh darahnya memungkinkan cairan keluar ke jaringan.

Edema uvula dan laring kurang terlihat pada pemeriksaan sederhana, akan

tetapi sangat penting pada keadaan anafilaksis dan dapat menyebabkan

kematian karena obstruksi pernapasan. Edema laring menyebabkan sesak napas

yang nyata, gangguan kekuatan bicara, suara napas keras, batuk seperti

“gonggongan anjing”. Kesulitan bernapas dapat juga disebabkan oleh

penyempitan bronkus, disertai stridor yang terdengar mirip asma spontan.

Lebih jarang terjadi spasme usus, kandung kemih atau spasme uterus yang

jelas, disertai nyeri kram, pengeluaran isis visera, atau bercak-bercak darah dari

vagina.

Kesimpulan :

Jadi kenapaTh. A di berikan obat antihistamin dan kortikosteroid, yaitu

penggunaan antihistain untuk mengeblok kerja dari histamine yang enyebabkan

Th. A urtikaria dan angioedema. Sedangkan pengguanaan dari kortikosteroid

yaiyu untuk menyembuhkan dari gejala yang di rasakan Th. A.

Suhu normal pada tempat yang berbeda

Tempat

pengukuranJenis termometer

Rentang; rerata

suhu normal (oC)

Demam

(oC)

Page 35: PBL 1 ALERGI

35

Aksila Air raksa, elektronik 34,7 – 37,3; 36,4 37,4

Sublingual Air raksa, elektronik 35,5 – 37,5; 36,6 37,6

Rektal Air raksa, elektronik 36,6 – 37,9; 37 38̊

Telinga Emisi infra merah 35,7 – 37,5; 36,6 37,6

Page 36: PBL 1 ALERGI

36

DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.

EGC. Jakarta

Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing.

Jakarta

Baratawidjaja, Karnen G dan Rengganis Iris. 2010. Imunologi Dasar ed. 9.

Fakultras Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Katzung, B. G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinis ed. 10. EGC. Jakarta

Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi ed. 5. Departemen

Farmakologi dan Terapi Fakultas edokteran Universitas Indonesia.

Jakarta