pamflet semar ui edisi 03 / oktober / i / 2013

12
SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA Edisi 03/Oktober/II/2013 PAMFLET. Terbitan ini ditulis dan disebarluaskan oleh: Departemen Agitasi dan Propaganda Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (SEMAR UI) Redaksi: Aldilah Ayu Putri Bayu Baskoro F Bhadrika Dirgantara Dicky Dwi Ananta Muhammad Ridwan B Rio Apinino Robie Kholilurrahman M Trishadi Pratama Narahubung: @SEMARUI serikatmahasiswaprogresif @gmail.com 087870155420 Foto dalam pamflet ini diambil dari: NOBODYCORP. INTERNATIONALE UNLIMITED (http://nobodycorp.org/) DAFTAR ISI Pengantar Redaksi ................................ 2 Tajuk Utama: Menuju Mogok Nasional ............. 3 Obrolan Warung Kopi ................................ 5 Wawancara ................................ 6 Rubrik Teori: Teori Nilai Lebih ......................... 7 Telaah Hukum ............................. 10 Sehari Saja Kawan! ...................................... 12

Upload: semarui

Post on 26-Oct-2015

685 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Edisi Ke-3 PAMFLET, terbitan rutin Departemen Agitasi dan Propaganda SEMAR UI (Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia). Selamat Menikmati dan Mari #MahasiswaDukungMogok !

TRANSCRIPT

Page 1: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

PAMFLET. Terbitan ini ditulis dan

disebarluaskan oleh:

Departemen Agitasi

dan Propaganda

Serikat Mahasiswa Progresif

Universitas Indonesia

(SEMAR UI)

Redaksi:

Aldilah Ayu Putri

Bayu Baskoro F

Bhadrika Dirgantara

Dicky Dwi Ananta

Muhammad Ridwan B

Rio Apinino

Robie Kholilurrahman

M Trishadi Pratama

Narahubung:

@SEMARUI

serikatmahasiswaprogresif

@gmail.com

087870155420

Foto dalam pamflet ini diambil dari:

NOBODYCORP.

INTERNATIONALE UNLIMITED (http://nobodycorp.org/)

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi ................................ 2

Tajuk Utama: Menuju Mogok Nasional ............. 3

Obrolan Warung Kopi ................................ 5

Wawancara ................................ 6

Rubrik Teori: Teori Nilai Lebih ......................... 7

Telaah Hukum ............................. 10

Sehari Saja Kawan! ...................................... 12

Page 2: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

“Mogok?” “Ya! Mari kita mahasiswa, mogok kuliah!” Mungkin tinggal sebagian dari kita yang

masih ingat lontaran usul ini sekitar dua tahun lalu.

Untuk melawan dugaan penyelewengan aset-aset kampus oleh Rektor, seorang pimpinan lembaga

kemahasiswaan menyerukan civitas akademika UI

untuk mogok kuliah. Mungkin menurutnya dengan

mogok kuliah, masalah akan selesai: aset-aset

kampus yang diselewengkan dapat kembali ke

kegunaannya semula.

Terlepas dari seberapa siapkah prasyarat riil dari

usulan di atas, dan rencana macam apa tentang mogok yang divisualisasikan, bahkan apakah itu

konsepsi yang rapi ataukah sekadar celetukan yang

terpaksa dipertanggungjawabkan, fragmen singkat di atas menyiratkan bahwa ternyata di benak kita masih

bersemayam naluri mendasar tentang salah satu

metode paling sederhana (namun prinsipil dan efektif) untuk melawan, yaitu: Mogok! Ternyata di

sudut relung benak kita, di balik berbagai selaput

mitos, beragam tudung bias, dan beberapa lapis kenyinyiran itu, masih tersimpan harapan bahwa

dengan mogok, kita bisa buat perubahan. Tan Malaka puluhan tahun lalu memang telah menyatakan

(Semangat Muda, 1926): “Senjata Feodalisme dan

Kapitalisme terutama Peluru dan Pedang. Senjata Proletar Industri ialah Agitasi, Mogok dan

Demonstrasi.”

Dua tahun setelahnya, yaitu di bulan ini, ada lagi

yang berteriak: Mari kita mogok! Konsolidasi

Nasional Gerakan Buruh (KNGB) yang terdiri dari berbagai serikat, federasi, dan konfederasi buruh di

berbagai wilayah di Indonesia, berencana melakukan

mogok nasional tanggal 28-30 Oktober 2013.

Merupakan langkah maju, seiring dengan memang

sedang bangkitnya politik kelas di Indonesia, bahwa

MoNas (Mogok Nasional) kali ini akan dilakukan oleh lebih besar lagi persatuan gerakan buruh

daripada MoNas tahun sebelumnya. Marx dan Engels

(Manifesto Komunis, 1848) pernah menulis, “Kadang-kadang kaum buruh memperoleh

kemenangan, tetapi hanya untuk sementara waktu.

Buah yang sebenarnya dari perjuangan mereka tidak terletak pada hasil yang langsung, tetapi pada

senantiasa makin meluasnya persatuan kaum buruh.”

MoNas ini sendiri merupakan lanjutan dari tuntutan-tuntutan gerakan buruh pada momen Hari Buruh

Sedunia 1 Mei 2013 yang belum digubris oleh

pemerintah (di antaranya: upah layak, hentikan sistem kerja outsourcing, dan selenggarakan jaminan

sosial universal).

Yang menarik dari berbagai isu seputar MoNas

adalah masih semaraknya #gagalpaham tentang

MoNas itu sendiri terutama di kalangan terdidik:

Mahasiswa. #gagalpaham itu terjadi diberbagai level, mulai dari apakah strategi mogok masih relevan,

apakah tuntutannya realistis, bahkan apakah

tuntutannya itu adalah hal-hal yang memang perlu dituntut (dan layak dipenuhi)! Kegelisahan yang

menghinggapi kami, redaksi Pamflet SEMAR UI saat

menyimak berbagai #gagalpaham yang berdengung

tersebut, membuat kami berusaha menanggapinya,

meluruskan beberapa mispersepsi, dengan harapan

tersingkaplah tirai-tirai kabut yang menyelubungi realita seputar MoNas yang akan dilakukan gerakan

buruh di akhir bulan ini.

Dalam Tajuk Utama, kami akan mengetengahkan

argumentasi mengapa tuntutan Mogok Nasional

tentang kenaikan UMR 50%, bukan sekadar layak dituntut, melainkan juga layak untuk dipenuhi.

Argumentasi ini akan ditopang dengan dua rubrik lain

yaitu “Obrolan Warung Kopi” a la “MasBro-MbakSis” dan “Merdeka 100%” dengan tema yang sama, dan

rubrik wawancara bersama Muchtar Guntur Kilat,

Presiden KSN-Konfederasi Serikat Nasional sebagai anggota dari KNGB. Selain itu, kami juga hadirkan

dua rubrik rintisan yaitu, pertama, “Pojok Teori” yang berusaha mengilmiahkan diskursus tentang teori

Marxisme di kampus, yang pada edisi kali ini

mengangkat pembahasan tentang “Nilai Lebih”. Kedua, “Telaah Hukum” yang kali ini berusaha

mereview kondisi hukum perburuhan kontemporer di

Indonesia. Mudah-mudahan beberapa sajian dalam Pamflet Edisi Ke-3 ini dapat mengatasi kegelisahan

kami dengan membantu memadamkan berbagai

#gagalpaham yang beredar.

“Dengan melalui aksi-aksi solidaritas, melalui

pemogokan-pemogokan simpati dan lain-lain bentuk aksi politik yang bisa dipahamkan, yang dapat simpati

dan disokong oleh massa yang luas, kaum buruh

Indonesia akan membajakan kesatuan berjuang dari massa, dan lambat laun akan tampil ke muka sebagai

pembela hak-hak dan kebebasan demokrasi, akan

tampil sebagai kampiun perdamaian, sebagai pemimpin, sebagai juru mempersatukan seluruh

golongan Rakyat dan sebagai pembangunan front

persatuan nasional.” (CC PKI dalam Kewajiban Front Persatuan Buruh, 1952)

Selamat membaca. Selanjutnya, selamat menanggalkan belenggu kehampaan eksistensial dan kebingungan

intelektualmu dengan cara bernalar, bertindak, dan

berlawan!

Kaum buruh (dan calon buruh; baca: mahasiswa)

sedunia, bersatulah!

2

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

Pengantar Redaksi

Page 3: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

Menuju Mogok Nasional Tahun

2013 Oleh Gesang Kinasih

Pada 28-30 Oktober 2013, Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) akan melakukan mogok

nasional. Dalam mogok tersebut, buruh mengajukan

tiga tuntutan utama, yaitu naikan upah minimum 50% atau 3,7 juta untuk Jakarta, hapuskan sistem

kerja kontrak dan outsourcing dan wujudkan jaminan

sosial untuk seluruh orang Indonesia. Selain itu, juga menolak Inpres No. 9 Tahun 2013 Tentang

Kebijakan Penetapan Upah Minimum. Tulisan ini

berusaha memaparkan rasionalitas kenaikan upah buruh saat ini, alasan yang menjadi latar belakang

mogok dan posisi mahasiswa atasnya.

Rasionalitas Kenaikan Upah

Asumsi kenaikan upah secara rasional berangkat dari posisi upah riil yang semakin menurun dibandingkan

dengan tahun lalu. Penurunan ini disebabkan oleh,

salah satunya, karena kenaikan harga BBM 2013 yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok,

kontrakan dan transport rata-rata naik 30%. Dengan

kenaikan itu, secara otomatis terjadi penurunan upah riil dengan angka yang sama. Artinya, upah yang

diterima oleh buruh pada tahun 2013 sudah

mengalami penurunan sebesar 30%. Selain itu, inflasi di tahun 2014 diperkirakan akan menyentuh di

atas angka 10%. Kemudian ditambah dengan

perkiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 6.2%, yang tentu saja harus dinikmati oleh kaum buruh, karena

ada kontribusi buruh di dalamnya. Oleh karena itu,

asumsi kenaikan upah sebesar 50% adalah realistis

dan rasional.

Produktivitas buruh dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya semakin meningkat. Namun, upah riilnya

cenderung stagnan. Pada tahun 2001, produktivitas

buruh sebesar Rp 164,12 juta, sedangkan pada tahun 2010, produktivitas buruh mencapai Rp 490,62 juta.

(BPS, "Produktivitas Tenaga Kerja, 2001-2010,"

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?

kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=09&notab=5.)

Dengan begitu terjadi peningkatan produktivitas

sebesar 199% di antara rentang waktu tersebut. Namun, hal itu berbeda dengan upah riil yang

cenderung stagnan. Bahkan pada tahun 2013 justru menurun sebesar 30%. Itu bisa dilihat pada tabel dari

BPS di bawah ini (BPS, “Upah Riil Industri di

Bawah Mandor (Supervisor),” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?

kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=19&notab=6.)

Dengan begitu, kenaikan upah sebesar 50% adalah

wajar sebagai bagian dari kontribusinya dalam peningkatan produktivitas. Namun, pengusaha sering

mengecam rencana buruh ini karena diyakini akan

membawa industri pada keadaan kolaps dan PHK besar-besaran terjadi, apalagi kondisi saat ini sedang

krisis. Namun sebenarnya, kenaikan tersebut, secara

real bisa diusahakan oleh pengusaha. Argumen industri akan bangkrut dan rugi sebenarnya hanyalah

keinginan pengusaha untuk tidak mau keuntungannya

berkurang.

Untuk mencari jawaban atas ini, kita harus lihat

bahwa nilai output atau keluaran hasil industri berasal dari lima komponen utama, yaitu (1) biaya

input, yakni biaya alat-alat produksi yang “habis

dipakai” dalam setahun produksi, seperti bahan baku, bahan bakar, dll; (2) penyusutan modal tetap atau

penyusutan nilai alat-alat produksi yang tidak habis

dipakai dalam setahun, seperti mesin-mesin, gedung, dsb; (3) pajak tidak langsung; (4) biaya tenaga kerja,

yang mencakup bukan hanya upah, tetapi juga imbalan pekerja lainnya, seperti bonus, tunjangan

sosial, dan lain-lain, dan (5) keuntungan bersih

pengusaha. (KNGB, “Kenapa Mogok Naisonal”

diunduh dari http://kngb-

portal.blogspot.com/2013/10/kenapa-mogok-

nasional.html). Dengan memeriksa komponen tersebut, bisa kita dapati bahwa kenaikan upah

pekerja sebesar 50% sebenarnya tidak akan membuat

mereka kolaps. Dengan menggunakan data industri sedang dan menengah dari BPS pada tahun 2012

saja, kita bisa lihat bahwa keuntungan bersih

pengusaha mencapai 34,52%. (BPS, ”Statistik Indonesia 2013”, http://www.bps.go.id/

hasil_publikasi/SI_2013/index3.php?pub=Statistik%

20Indonesia%202013). Bila menggunakan data yang sama, kemudian upah pekerja dinaikan 50% dan

inflasi dimasukan sebagai variabel sebesar 10%.

Maka keuntungan bersih pengusaha masih mencapai 25,92%. (KNGB, “Kenapa Mogok Nasional”, op.cit).

Pengusaha dalam hal ini tidak mengalami kerugian.

Mereka tetap untung. Jadi yang dimaksud kerugian

3

TAJUK UTAMA

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

Page 4: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

bagi pengusaha adalah menurunnya tingkat

keuntungan! Bukan dalam arti rugi sebenarnya,

apalagi kolaps.

“Yang dimaksud kerugian bagi

pengusaha adalah menurunnya tingkat

keuntungan! Bukan dalam arti rugi

sebenarnya, apalagi kolaps”

Namun, kenyataannya industri nasional tidak hanya berupa industri sedang dan besar. Kenaikan upah

50% diyakini sebagai malapetaka bagi industri kecil

dan mikro. Sumber daya mereka sangat terbatas untuk ikut menaikan upah buruh mereka sebesar

tersebut. Dalam kondisi demikian, maka menjadi

tugas dan tanggung jawab negara untuk mensubsidi sektor tersebut. Sehingga buruh yang bekerja di

sektor tersebut tetap dapat menikmati kenaikan upah

sebesar 50%. Oleh karena itu, dalam hal ini negara, tidak bisa tidak, harus terlibat dalam menyokong

usaha kecil, mikro dan menengah di Indonesia.

Kenapa Harus Mogok?

Mogok merupakan senjata pekerja yang paling ampuh untuk menuntut haknya. Dalam kapitalisme,

pekerja berada dalam posisi yang sentral. Tanpanya,

proses produksi komoditas tidak akan berjalan, sehingga proses akumulasi kapital juga tidak akan

tercipta. Kenaikan upah merupakan tuntutan paling

fundamental bagi seorang buruh. Karena itu merupakan sumber hidup satu-satunya, dan karena

posisi mereka yang tidak memiliki faktor produksi.

Dalam sejarah manusia, banyak kemenangan buruh yang diperoleh melalui mogok. Kita ingat, jam kerja

selama 8 jam adalah salah satu hasil perjuangan

buruh yang dilakukan dengan mogok. Sebelumnya jam kerja buruh sangat ekstrem dengan mencapai

durasi 12 -18 jam sehari. Pada akhirnya, jam kerja

yang lebih pendek itu bisa kita nikmati hari ini. Namun, banyak orang yang tak sadar dengan hal

tersebut.

Buruh selama ini telah melakukan usaha yang lebih

soft untuk memperjuangkan hak-haknya, termasuk

upah minimum yang layak dengan advokasi, lobi, protes kecil, dll. Namun, kondisi demikian tidak

membuat kondisinya berubah. Hal itu karena logika dasar pengusaha yang berfokus pada akumulasi

kapital dengan mencari keuntungan yang sebesar-

besarnya. Salah satu caranya dengan menekan upah buruh. Hukum umum yang berjalan dipikiran

kapitalis adalah saat upah rendah, maka keuntungan

akan meninggi. Dengan begitu, pengusaha tidak akan

mungkin sekonyong-konyong mau menaikan upah

pekerja.

Di sisi lain, negara justru lebih memihak pada

kapitalis. Kondisi ini dibaca sejak dahulu oleh Marx,

dengan menempatkan negara sebagai komite pengurus

kebutuhan kelas borjuasi. Pembacaan tersebut dapat

diihat dalam kenyataan sekarang, salah satunya, dari

program MP3EI yang menempatkan investasi swasta

sebagai core penggerak perekonomian nasional.

Sementara tugas pemerintah adalah menciptakan

kondisi yang kondusif bagi dunia usaha tersebut.

Berhubungan dengan program tesebut, Presiden

mengeluarkan paket kebijakan yang disebut “Paket

Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi”

yang dikeluarkan pemerintah pada 23 Agustus 2013

sebagai respon terhadap krisis Rupiah. ("Pokok-Pokok

Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan

Ekonomi," http://www.ekon.go.id/press/view/pokok-

pokok-paket-kebijakan.189.html#.Uj8T8n_eLkw). Isi

paket kebijakan itu pada dasarnya adalah memberikan

insentif kepada investor dan melimpahkan beban krisis

pada buruh dan rakyat pekerja lainnya. Turunan dari

itu, Presiden kemudian mengeluarkan Inpres No. 9

Tahun 2013. Isi Inpres tersebut sangat membahayakan

buruh karena, pertama, meniadakan kenaikan upah

minimum yang bersifat lintas-sektoral (UMP/K) dan

hanya membolehkan kenaikan upah minimum sektoral

(UMSP/K) di daerah yang upah minimumnya masih di

bawah KHL. Kedua, meniadakan kenaikan UMP/

UMK di provinsi/kabupaten/kota yang upah

minimumnya sudah mencapai KHL atau lebih. KHL di

sini versi pemerintah, tentunya. Ketiga, membuka

peluang bagi tindak represi oleh kepolisian saat proses

penentuan upah minimum. (“Kenapa Mogok

Nasional”, op.cit)

Jadi, Mogok Nasional diperlukan untuk memaksa

pengusaha dan pemerintah agar mau mendengar

aspirasi kaum buruh untuk hidup sejahtera melalui kenaikan upah 50%. Sebenarnya, pengusaha tidak

akan rugi dengan membagi keuntungan mereka untuk kenaikan upah buruh sebesar 50%. Sekaligus

menuntut dibatalkannya Inpres No. 9 Tahun 2013.

Selain itu, juga untuk memaksa pemerintah menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing

dan menerapkan sistem jaminan sosial yang

menyeluruh tanpa syarat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengapa Mahasiswa Harus Mendukung Mogok

Nasional?

Mahasiswa dalam sirkulasi sistem kapitalisme merupakan bagian dari usaha reproduksi kelas

4

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

Page 5: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

pekerja. Reproduksi tersebut dijalankan dari sistem

pendidikan, dimana mahasiswa saat ini berada.

Sistem pendidikan bertujuan utama untuk selalu

menghasilkan kelas pekerja baru yang terdidik dan terampil sehingga bisa diitempatkan dalam

pembagian kerja yang semakin kompleks saat ini.

Bila mahasiswa adalah bagian dari proses reproduksi tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa mahasiswa

adalah calon buruh di masa depan. Dengan

demikian, tidak ada alasan untuk tidak mendukung

mogok nasional yang menuntut kenaikan upah ini.

Hal itu karena hasil dari kemenangan mogok, jika

berhasil, juga akan dinikmatinya di masa yang akan datang.

Selain itu, mahasiswa sebenarnya merupakan bagian

dari rakyat yang sedang menuntut haknya itu.

Mahasiswa dalam posisinya, bukanlah agent of

change atau seperti Jiban yang menjadi pembela

rakyat. Melainkan, ia sendiri adalah rakyat. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa saat ini harus

menggabungkan dirinya dengan gerakan rakyat di

sekitarnya, termasuk gerakan buruh supaya tidak jadi alien. Maka, momen ini bisa menjadi pintu awal dari

kemanunggalan (kembali) gerakan mahasiswa

dengan gerakan rakyat lainnya. Dengan itu, gerakan

mahasiswa akan kembali menemukan esensinya.

Dengan ini, saya tak bosan-bosannya untuk

menyerukan kembali, “Buruh (dan calon

buruh) di seluruh dunia, bersatulah !!!”

5

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

Bayu Baskoro

Dua orang mahasiswa, Tole (T) dan Sukri (S), sedang

bercakap tentang nasib mereka di sebuah warung

kopi. Berikut adalah percakapan yang terdengar...

T : Bro, gw lagi kesel nih. Masa gebetan yang gw

incer lebih milih jadian ama orang lain, anak

orang pajak yang tajirnya tumpeh-tumpeh.

Kampret banget!

S : Yaelah hari gini masih aja galau yang begituan.

Daripada lu galau ato kesel, mending lu ikutan gw.

T : Ada acara apaan emangnya? Kalok itu bisa bikin

gw gak galau boljug tuh.

S : Ada aksi Mogok Buruh Nasional tanggal 28-30

Oktober nanti. Gimana tertarik gak? Kita sebagai

mahasiswa kudu mendukung organ gerakan rakyat

lain buat mencapai tujuan-tujuannya!

T : Lah bijimane urusannya? Emang apa urusannya

mahasiswa ama buruh-buruh yang pada mogok

itu?

S : Lah lu gimana sih, kan kita ini, mahasiswa, calon-

calon buruh semua ujung-ujungnya. Apalagi

mahasiswa, calon buruh berkualitas dengan

spesialisasi hasil pendidikan tinggi. Kita harus

sadar bahwa tenaga kita atau para pekerja itu tidak

sebanding dengan upah yang diberikan oleh para

pemilik sektor produksi. Tujuan dari Mogok

Nasional ini adalah untuk menuntut kenaikan Upah

Minimum Regional sebesar 50%. Kalo gak

direalisasikan, siap-siap saja para buruh akan

berhenti bekerja dan mogok beramai-ramai, dan

kita mahasiswa sebagai calon buruh harus

mendukung aksi ini!

T : Wah baru tau gw kalok kita ini emang calon-

calon buruh terdidik, bahkan dijerumuskan ke arah

spesialisasi suatu bidang lagi. Ini pasti kerjaannya

kaum-kaum kapitalis buat memenuhi suplai tenaga

kerja yang sesuai dengan kualifikasinya mereka,

dengan upah yang gak sebanding pula. Kurang ajar

betul!

S : Nah tuh paham lu! Sadar gak sih, mahasiswa

sekarang dituntut untuk lulus cepat, bahkan pada

usia muda banyak yang menjadi ahli spesialisasi

sebuah bidang? Itu karena para kapitalis mau

memperkerjakan mereka sedari mereka muda.

Supaya jangka waktu kerja mereka lebih panjang.

Udah berkualitas, usia kerja panjang, bayaran gak

sesuai sama pekerjaan, gimana gak seneng tuh para

kapitalis-kapitalis sialan itu!

T : Bener juga lo. Oke kayaknya gw bakal gabung

sama lo dan organ-organ rakyat lain buat menuntut

hak kita sendiri. Kita juga kudu memberi

pemahaman tadi kepada para mahasiswa

khususnya bahwa mereka itu calon-calon buruh

yang kelak bakal di tindas seperti layaknya buruh-

buruh yang akan mogok nanti. Biar mereka sadar

akan hal-hal ini.

S : Mantep, Bro! Lo kalok udah sadar akan hal

beginian gak bakal galau lagi. Soalnya gw juga

dulu pernah ngerasain pas gebetan yang gw taksir

di akuisisi sama senior tajir anak pengusaha. Ini

membuktikan teori materialistiknya Marx kalok

ekonomi sebagai basis mempengaruhi segala

aspek, bahkan dalam hal percintaan! Mending

milih yang lebih tajir kan daripada kita-kita yang

berasal dari kelas pekerja, yang makan 3 kali sehari

aja megap-megap! Hahahaaaa......

Obrolan Warung Kopi

Page 6: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

Mukhtar Guntur Kilat: “Tidak Ada

Alasan Perusahaan untuk Tidak

Menyanggupi Kenaikan Upah!”

Wawancara Mukhtar Guntur Kilat (Presiden Konfederasi Serikat Nasional/KSN) dengan M.

Trishadi Pratama dan Ridwan Bukhari dari Serikat

Mahasiswa Progresif UI

Menurut Bung Mukhtar apa alasan buruh mogok?

Sebenarnya mogok yang dilakukan buruh secara

nasional ini, bukanlah kehendak buruh, tetapi kondisilah yang memaksanya. Karena penetapan upah

dari pemerintah hanya melihat dari aspek pemenuhan

kebutuhan fisik buruh dan itu untuk buruh yang lajang

(minimum). Padahal dalam penetapan upah harus

memenuhi aspek kebutuhan fisik dan sosial . Jika ini

dibiarkan, akan berdampak ke kehidupan buruh dan keluarganya. Anak-anak dari buruh akan menjadi

buruh kembali, karena upah yang diberikan hanyalah

untuk memenuhi kebutuhan makanan, dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lain seperti pendidikan.

Banyak yang mengatakan bahwa aksi mogok nasional

yang menuntut kenaikan upah tidak rasional,

bagaimana menurut anda?

Pengusaha selalu mengaku tidak mampu untuk

menyanggupi tuntutan kenaikan upah oleh buruh.

Padahal, tidak ada alasan perusahaan untuk tidak bisa menyanggupinya. Ketika pengusaha tidak sanggup,

negara harus turun membantu perusahaan untuk

membayar upah buruh sesuai undang-udang, dimana negara menjamin perkejaan untuk rakyatnya dan

kesejahteraan rakyatnya. Pengusaha membayar upah

buruh sangat minimum. Mereka lebih banyak menggunakannya untuk mengupahi aparat atau tokoh-

tokoh sekitar pabrik, seperti ketua RT, RW, Tentara,

dan lainnya, yang bertujuan untuk meredam para buruh. Bahkan data terbaru, kenapa pengusaha rata-

rata anaknya sekolah di luar negeri, karena pengusaha

tidak punya beban. Pengusaha menggunakan biaya pabriknya untuk mebiayai anaknya sekolah. Lalu,

memasukan anaknya dalam pabrik dalam jabatan dan

upah yang tinggi. Maka, disini yang tidak rasional siapa? Pemasukan perusahaan yang dihasilkan buruh

malah digunakan untuk kepentingan lain, yang

seharusnya untuk menyejahterakan buruh. Pengusaha malah berdalih sedang merugi atau tidak sanggup

memenuhu tuntutan kenaikan upah, padahal

pemasukannya digunakan untuk membayar aparat dan keperluan pribadinya.

Apa yang melatarbelakangi aksi kali ini?

Yang pertama kenaikan harga BBM. Kenaikan harga

BBM ini mempengaruhi kenakan harga bahan pokok, dimana upah buruh sekarang sudah tidak cukup untuk

membeli kebutuhan bahan pokok. Kemudian yang

kedua inflasi yang membuat harga barang-barang pokok semakin mencekik.

Bagaimana persiapan mogok nasional kali ini?

Kita telah berkomunikasi di 20 provinsi yang telah

menyatakan siap. Sekitar 200 kabupaten dan kota telah menyetorkan datanya dan siap melakukan mogok. Di

Jakarta, kita kemungkinan akan menutup di empat titik

yaitu, Suntet, Cakung, Pulo Gadung, dan Tanjung Priuk.

Apa tuntutan mogok nasional kali ini?

Buruh menuntut kenaikan upah 50%, Mencegah

Privatisasi BUMN, karena jika BUMN diprivatisasi maka kontrol negara terhadap kebutuhan masyarakat

seperti listrik, BBM, dan lain-lain menjadi tidak stabil.

Kemudian penghapusan outsourcing, karena ini sebenarnya inkonstitusional. Kontrak kerja ini,

membuat kepastian kerja tidak ada. Padahal seharusnya negara memastikan pekerjaan untuk

rakyatnya. Yang terakhir Union Busting, atau

pemberangusan serikat buruh. Hal ini telah terjadi, banyak buruh yang diintimidasi di pabrik oleh

pengusaha, bahkan dilingkungan tempat tinggalnya

sendiri yang melibatkan RT dan RW.

Harapan pasca mogok nasional kali ini?

Kita bisa dapat membuktikan bahwa gerakan buruh

tidak bisa dipandang sebelah mata lagi oleh

pemerintah. Kebijakan pemerintah yang masih tidak

memperhatikan kesejahteraan buruh, akan membuat

pemberontakan yang semakin besar lagi. Kami juga

berharap gerakan buruh dapat dukungan dari gerakan elemen lain seperti mahasiswa, tani, perempuan, dan

miskin kota dan kemudian akan bergerak bersama

menuntut kesejahteraan.

Apa signifikansi mogok bagi gerakan buruh dan

pengaruhnya terhadap kondisi ekonomi politik?

Gerakan mogok ini akan sangat signifikan, karena

melihat kekuatan buruh yang akan melakukan mogok ini berjumlah lebih dari satu juta orang dan dilakukan

secara nasional. Hal ini akan membuat aktivitas secara

umum akan terhenti. Dengan berhentinya aktivitas secara umum, akan mempengaruhi terhentinya

ekonomi secara makro. Akhirnya, pemerintah harus

mengeluarkan kebijakan politik yang berorientasi pada kesejahteraan buruh.

6

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

WAWANCARA

Page 7: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

7

Nilai-lebih (Surplus-Value) sebagai

Sumber Keuntungan Kapitalis Oleh Rio Apinino

Salah satu tuntutan yang seringkali diperjuangkan kelas pekerja di seluruh dunia, utamanya kelas

pekerja di negara berkembang, adalah upah yang

layak. Hal ini pula yang kemudian menjadi salah satu tuntutan utama MOGOK NASIONAL yang

akan dilaksanakan kaum buruh di seluruh Indonesia

pada tanggal 28 sampai dengan 30 Oktober 2013. Selain tuntutan untuk menyelenggarakan jaminan

sosial bagi seluruh rakyat serta penghapusan sistem

kerja kontrak dan outsourcing. Hal ini tentu bukan tanpa dasar. Di tengah inflasi yang semakin

mencekik, harga-harga yang terus meroket dan

ketidakpastian hidup ditengah lautan kapitalisme yang memiliki ekses krisis yang terus berulang,

upah bagi buruh cenderung stagnan. Sedangkan di

satu sisi, kontribusi buruh terhadap ekonomi Indonesia selama ini cenderung meningkat[1].

“Nilai-lebih secara sederhana

adalah nilai yang dihasilkan oleh

kelas pekerja dalam memproduksi

komoditas dan diambil alih oleh

para kapitalis sebagai sumber

keuntungannya”

Bagaimana membaca tuntutan kenaikan upah ini?

tentu ada beragam analisis dan perspektif. Tetapi,

yang jelas adalah, kita sebenarnya sudah memiliki

seperangkat teori yang komprehensif tentang bagaimana kapitalisme, sebagai sistem ekonomi-

politik yang ada saat ini, bekerja. Dan teori tersebut

adalah Marxisme. Marxisme, terutama kritik ekonomi-politik-nya, memblejeti dan menelanjangi

cara kerja kapitalisme secara imanen. Dengan

mempelajari kritik ekonomi-politik Marxisme terhadap kapitalisme, kita akan menemukan

berbagai macam konsep yang vital dari kapitalisme.

Dalam esai ini, saya akan menjelaskan salah satu konsep kapitalisme yaitu nilai-lebih (surplus value).

Nilai-lebih secara sederhana adalah nilai yang dihasilkan oleh kelas pekerja dalam memproduksi

komoditas dan diambil alih oleh para kapitalis

sebagai sumber keuntungannya. Dengan memahami konsep nilai-lebih, kita akan secara lantang berkata:

ambil alih kembali nilai-lebih yang dirampas para

kapitalis!

Kerja Upahan

Kapitalisme adalah sistem ekonomi-politik yang

dikonstitusikan oleh relasi antara kelas kapitalis,

sebagai pihak yang memiliki alat-alat produksi, dan kelas proletar yang tidak memiliki alat-alat produksi.

Relasi ini merupakan hasil dari gerak sejarah dimana

sebelum kapitalisme ada, corak produksi yang

dominan adalah feodalisme yang di dasari pada

kepemilikan tanah[2]. Untuk dapat melanjutkan

hidupnya, seorang buruh, yang tidak memiliki alat produksi dan hanya memiliki tenaga di dalam dirinya,

terpaksa untuk menjual tenaga kerjanya tersebut

kepada pemilik alat produksi, yaitu kapitalis. Kemudian, buruh mendapat upah sebagai kompensasi

atas hasil kerja dan waktu kerja tertentu yang mereka

berikan. Dalam hal ini nampaknya kapitalis membeli kerja para buruh dengan uang, tetapi pada

kenyataannya, apa yang dijual buruh kepada para

kapitalis adalah tenaga kerja mereka. Kapitalis membeli tenaga kerja ini dalam waktu tertentu, entah

sehari, seminggu atau sebulan. Setelah membeli tenaga

kerja itu, kapitalis menyuruh buruh bekerja selama waktu yang telah ditentukan.

Mari membuat sebuah ilustrasi agar menjadi lebih

jelas. Misalnya, seorang buruh yang bekerja sebagai

pengrajin kayu dalam pabrik milik kapitalis. Buruh

mulai bekerja untuk mengubah kayu yang merupakan

bahan pokok menjadi perabotan-perabotan, misalkan

saja kursi atau meja untuk dibayar sebesar 50 ribu. Pertanyaannya, apakah upah sebesar 50 ribu tersebut

adalah bagian yang sudah ada di dalam meja dan kursi

atau dalam kata lain, di komoditas hasil kerjanya? Tentu tidak. Hal ini terjadi karena ada kemungkinan

meja dan kursinya tidak laku terjual di pasar, terjual

tetapi tidak memenuhi upah buruh, atau justru

mendapat untung yang berkali lipat lebih besar

daripada upah si buruh. Ketika meja dan kursi itu

belum selesai, buruh tukang kayu telah mendapat upahnya dari kekayaan si kapitalis yang telah ada

sebelumnya. Hal ini menujukkan bahwa apapun yang

terjadi pada kursi dan meja setelah diproduksi tidak ada sangkut pautnya dengan buruh tukang kayu karena

tenaga kerja tukang kayu telah dibeli dari kekayaan si

kapitalis. Oleh karena itu, apa yang dimaksud upah bukanlah andil buruh dalam komoditas yang

dihasilkannya, melainkan hanya sebagian dari faktor

produksi yang dimiliki kapitalis. Tak beda dengan mesin dan bahan baku seperti kayu sebagaimana

contoh di atas. Sebagaimana yang dijelaskan Marx,

“...upah bukan andil si buruh dalam barang-dagangan

yang dihasilkannya. Upah adalah sebagian dari

barangdagangan-barangdagangan yang telah ada, dengan mana si kapitalis membeli untuk dirinya sediri

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

RUBRIK TEORI

Page 8: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

jumlah tertentu tenagakerja yang produktif”[3]

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, buruh menjual

tenaga kerjanya dilakukan dengan terpaksa karena hanya hal itu yang bisa mereka lakukan untuk

memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kerja bukan

dilakukan untuk memperoleh meja dan kayu yang telah mereka ciptakan, namun buruh justru terasing

dari komoditas yang mereka hasilkan sendiri. Yang

dihasilkan dari mereka adalah, upah dari meja dan

kursi tersebut yang digunakan untuk membeli beras,

menyewa kontrakan murah, dan memenuhi

pendidikan anaknya yang semakin tidak terjangkau. Dalam pandangan kapitalis, buruh hanyalah salah

satu faktor dari berbagai macam faktor produksi

lainnya, yang telah ia beli untuk menciptakan komoditas dalam rangka akumulasi kapital.

“Dalam pandangan kapitalis,

buruh hanyalah salah satu faktor

dari berbagai macam faktor

produksi lain yang telah ia beli

untuk menciptakan komoditas

dalam rangka akumulasi kapital”

Proses Produksi dan Keuntungan

Dalam bagian sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana relasi kerja upahan sebagai bentuk relasi

produksi dalam kapitalisme. Seorang buruh, yang

tidak memiliki alat produksi, menyerahkan tenaga kerja mereka kepada para kapitalis untuk bekerja

dalam kuantitas waktu kerja atau kuantitas

komoditas tertentu untuk ditukarkan dalam bentuk

upah. Kapitalis mengkonsumsi tenaga kerja buruh di

dalam proses kerja. Bagaimana proses kerja dalam

kapitalisme? Marx menjelaskan,

“Proses kerja, atas suatu dasar kapitalis, mempunyai

dua kekhasan. 1. Pekerja bekerja dibawah kontrol kapitalis, 2. Produksi menjadi milik kapitalis, karena

proses kerja itu kini hanyalah suatu proses diantara

dua hal/barang yang dibeli oleh si kapitalis: tenaga kerja dan alat alat produksi”[4]

Lantas, bagaimana proses produksi komoditas itu terjadi dan darimana asal mula keuntungan dari para

kapitalis? Proses produksi komoditi, terjadi dengan

melibatkan buruh dan tenaga kerjanya untuk mengoperasikan alat-alat produksi lain seperti mesin

dan bahan-bahan bentah. Oleh karena itu, nilai

komoditas terdiri dari dua unsur (yang merupakan

faktor produksi): 1. Biaya untuk alat-alat produksi

seperti bahan mentah dan mesin-mesin, yang disebut

sebagai kapital konstan dan 2. Biaya untuk upah

buruh atau disebut juga kapital variabel. Adapun keuntungan merupakan unsur ketiga dari sebuah

komoditas selain kedua unsur ini. Lantas, darimana

sumber kentungan itu sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Marx memulainya

dengan mengkritik pandangan ekonom klasik Inggris,

David Ricardo. Bagi Ricardo, keuntungan berasal dari

proses pertukaran. Maksudnya, dalam proses

pertukaran, seseorang (kapitalis) yang menukarkan barangnya lebih tinggi daripada harga yang sebenarnya

akan memperoleh untung. Poin ini yang dikritik oleh

Marx. Dalam kapitalisme, semua penjual adalah juga pembeli dan sebaliknya, semua pembeli adalah juga

penjual. Karenanya, jika seorang bisa menjual barang

di atas harga produksinya, maka yang lain akan bisa melakukan hal yang sama. Maka, jika semua orang

menjual komoditas di atas biaya produksinya, tentu

tidak akan ada keuntungan umum yang diperoleh.

Berdasarkan kritik tersebut, bagi Marx, keuntungan

umum yang didapat kapitalis berasal dari

penghisapan nilai-lebih oleh yang dihasilkan oleh

kelas pekerja. Keuntungan ini hanya dimungkinkan jika ada faktor produksi yang mampu menciptakan

nilai, dan faktor ini hanya terdapat dalam buruh dan

tenaga kerjanya. Dalam membeli tenaga kerja buruh, dalam bentuk upah, kapitalis memperoleh hak untuk

menggunakan mereka dalam memproduksi komoditas

sesuka hati mereka. Dalam proses produksi ini, hanya buruh dan tenaga kerjanya sajalah yang mampu untuk

menciptakan nilai baru dari komoditas tersebut.

Misalnya, dalam contoh yang sama, seorang buruh tukang kayu lah –sebagai produsen sesungguhnya-

yang menciptakan nilai baru, yaitu nilai yang dimiliki

oleh meja dan kursi yang tidak dimiliki oleh bahan

mentahnya, kayu.

“Keuntungan umum yang didapat

kapitalis berasal dari penghisapan

nilai-lebih yang dihasilkan oleh

kelas pekerja”

Pertambahan nilai atau nilai baru yang dihasilkan seorang buruh dalam proses produksi selalu berjumlah

jauh lebih besar daripada total biaya yang dibutuhkan

untuk mengupah buruh. Menurut Marx,

“Sebagai suatu proses penciptaan nilai, proses kerja

itu menjadi suatu proses produksi nilai-lebih pada

8

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

Page 9: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

saat ia diperpanjang melampaui titik dimana ia

menyetorkan suatu ekuivalen (kesetaraan) sederhana

untuk nilai-tenaga kerja yang dibayar itu”[5]

Mari kita coba perjelas konsep nilai-lebih dengan

contoh. Misalnya saja, seorang buruh ditarget

mengerjakan 30 piece sepatu dalam sehari. Jika satu piece sepatu dijual seharga Rp 150 ribu, sedangkan

harga bahannya dan biaya-biaya lain sekitar Rp 100

ribu per piece, maka buruh tersebut akan memberi

Rp 50 ribu per piece per hari pada pemilik pabrik,

totalnya Rp 1,5 juta per hari. Sementara ia hanya

diupah sekitar Rp 85 ribu perhari (UMP DKI Jakarta). Jadi sebenarnya, sebelum menyelesaikan

piece kedua pun buruh dan kapitalis sudah impas.

Bahkan, sebagaimana kita lihat dalam ilustrasi di atas, buruh telah memberi keuntungan berlipat

ganda pada pemilik pabrik daripada upah yang

diterimanya. Tetapi, sekalipun sebelum menyelesaikan piece sepatu kedua buruh sudah

impas, ia tentu tidak diperbolehkan untuk berhenti

bekerja karena sistem kerja upahan mengharuskan ia bekerja selama 8 jam sehari. Dengan sistem kerja

upahan yang seperti ini, kapitalis akan terus

mengeruk keuntungan dari selisih antara biaya yang dikeluarkannya sebagai upah, dan nilai yang

dihasilkan buruh melalui kerja. Kalaupun pengusaha memberi “insentif”, jumlahnya jauh lebih kecil

daripada total nilai yang dihasilkan si buruh.

Mengambil contoh yang sama, seandainya pemilik pabrik memberi insentif sebesar 10 persen dari total

keuntungan yang diserahkan buruh, maka tiap buruh

akan mendapat insentif sebesar Rp 150 ribu sehari. Apakah ada kejadian seperti ini kita temui sehari-

hari? Pasti kita hanya bermimpi. Ketika kapitalis

memperoleh nilai baru sejumlah Rp 1,5 juta per hari lewat kerja buruh, buruh hanya dapat membeli

barang senilai Rp 85 ribu per hari setelah diupah.

Jadi, ada selisih sebesar Rp 1.415.000.

“Maka, keuntungan kapitalis, pada

dasarnya bersifat penghisapan atau

eksploitasi atas pekerja”

Selisih inilah yang disebut nilai-lebih. Dari sinilah

datangnya keuntungan –dan konsentrasi kekayaan di

tangan segelintir kapitalis. Maka, keuntungan kapitalis, pada dasarnya bersifat penghisapan atau

eksploitasi atas pekerja. Berapapun besar upah yang

buruh terima, tetap saja tidak akan sebanding dengan besarnya nilai-lebih yang buruh serahkan

pada kapitalis dalam produksi. Konsep upah,

sejatinya hanyalah agar buruh mampu untuk tetap hidup agar bisa tetap datang ke pabrik keesokan

harinya, dan tetap produktif serta mampu untuk

mereproduksi calon buruh baru. Sebagaimana

menurut Marx,

“Harga rata-rata dari kerja-upahan ialah upah minimum, yaitu jumlah bahan-bahan keperluan hidup

yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan buruh

sebagai seorang buruh dalam hidup sekedarnya. Oleh karena itu, apa yang telah dimiliki oleh buruh-upahan

berkat kerjanya, hanyalah cukup untuk

memperpanjang dan melanjutkan lagi hidup yang

sekedarnya itu”[6]

Relasi Yang Timpang Akan Tetap Terus Ada

Selama Kapitalisme Ada

Berdasarkan pemaparan nilai-lebih di atas, dapat disimpulkan pada dasarnya sistem kerja-upahan yang

ada dalam moda produksi kapitalisme mensyaratkan

adanya ketimpangan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan hanya dengan adanya ketimpangan itulah

kelas kapitalis akan tetap terus melakukan akumulasi

kapital. Bagaimana menyelesaikan relasi yang timpang ini? Satu-satunya jalan adalah mengambil-alih

faktor produksi, yang dalam sistem kapitalisme

dimiliki oleh segelintir orang, menjadi milik sosial

agar watak kelas-nya hilang dan menjadi watak

sosial. Hanya dengan jalan itulah penindasan dan eksploitasi kelas pekerja –yang merupakan kelas

mayoritas- melalui sistem kerja upahan, akan hilang.

Socialism, The True Path to

Liberate Working People!

Catatan Kaki

[1]Untuk data dan penjelasan yang lebih

komprehensif, silahkan dilihat tulisan dari Mohamad

Zaki Husein “Rasionalitas Tuntutan Kenaikan Upah

Minimum 50 Persen” di http://

serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/

kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional_10.html

[2]Untuk penjelasan tentang sejarah perkembangan

masyarakat lebih lanjut, silahkan lihat Karl Marx dan

Friedrich Engels “Manifesto Partai Komunis”

[3]Karl Marx. Kerja Upahan dan Kapital. Hlm. 5

(Terjemahan) diakses dari http://www.geocities.com/

edicahy/

[4]Friedrich Engels. Tentang Das Kapital. Hlm. 64

(Terjemahan) diakses dari http://www.geocities.com/

edicahy/

[5]Ibid. Hlm 66

[6]Karl Marx dan Friedrich Engels. Manifesto Partai

Komunis. Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1959. Hlm 57

9

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

Page 10: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

Aspek Negatif dalam Peraturan

Mengenai Serikat Pekerja pada UU

Nomor 13 Tahun 2003 dan UU

Nomor 21 Tahun 2000

Oleh Muthmainnah dan Nadya Demadevina Mahasiswi FH UI dan Anggota SEMAR UI

Penggaungan pembentukan serikat buruh sebagai salah satu cara untuk meningkatkan daya tawar

buruh di dalam hubungan industrial, baik secara

bipatride atau pun tripatride, menemui jalan yang tak mudah. Hal ini karena buruh sebagai pihak yang

cenderung ‘lemah’ tak hentinya menjadi alat

‘pemuas’ dalam pemenuhan kebutuhan untuk

mendapatkan laba yang maksimal. Suatu hal yang

secara sisi kemanusiaan menjadi ironis, di saat

posisi buruh bukan sebagai faktor produksi yang “mati” seperti tiga macam faktor produksi lainnya.

Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa buruh

akan selalui menemui posisi sulit dan teralienasi di tengah posisinya yang juga merupakan natuurlijk

persoon. UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sebagai kaedah heteronom seolah dipertanyakan kembali, apakah benar-benar telah

memuat hak-hak para buruh atau justru

mempecundangi mereka dengan mengemas kata-kata indah di berbagai pasalnya? Padahal sekali lagi,

dari itu kita tahu bahwasanya modern slavery

sejatinya belum dihapuskan dari praktik hukum ketenagakerjaan sehari-hari.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa

buruh akan selalui menemui posisi

sulit dan teralienasi di tengah

posisinya yang juga merupakan

natuurlijk persoon” Pembentukan serikat buruh merupakan hal yang

sejatinya legal. Ini sejalan dengan apa yang

terkandung dalam Pasal 104 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 5 ayat

(1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/

Serikat Buruh yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat

pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh itu

sendiri dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh sebagaimana yang

dimuat di dalam Pasal 5 ayat (2) UU Serikat Pekerja/

Serikat Buruh.

Pendirian serikat buruh pun, menempuh proses yang panjang di dalam sejarah hukum ketenagakerjaan di

Indonesia. Ketika zaman Orde Baru, serikat buruh di

Indonesia secara jumlah sangat limitatif di tengah otoritas orba yang absolut. Hal ini tentu memberi

kerugian kepada kaum buruh itu sendiri. Pasca

reformasi, peraturan tentang pekerja diperbaharui.

Namun, apakah pasti selalu berpihak pada buruh dan

kesejahteraannya?

UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagkerjaan dan

UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Pekerja

merupakan produk hukum dengan hierarki tertinggi bagi perburuhan, namun justru bisa menjadi blunder

bagi buruh itu sendiri di dalam pasal-pasal yang

memiliki muatan tentang pengaturan serikat pekerja. Hal itu diantaranya pada Pasal 104 UUK dan Pasal 5

UU Serikat Pekerja. Dengan UU tersebut, terutama

dalam peraturan mengenai serikat, terkesan menguntungkan buruh karena siapa saja bisa

mendirikan serikat. Kemudian, serikat dapat menjadi

sarana penampung aspirasi pekerja yang disebabkan oleh perbedaan pendapat diantara mereka, sehingga

dengan itu aspirasi semua buruh dapat diakomodasi lewat perkumpulannya masing-masing. Namun, hal

lain perlu diperhatikan dalam peraturan mengenai

serikat ini. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa diperbolehkan terdapat lebih dari satu serikat buruh di

dalam suatu perusahaan, dengan anggota minimal 10

orang. Sedangkan, setiap satu buruh hanya diperbolehkan bergabung di dalam satu serikat pekerja

saja. Alih-alih ditujukan untuk kondisi yang

demokratis, hal demikian sebenarnya justru bisa menjadi blunder bagi gerakan buruh.

“Alih-alih ditujukan untuk kondisi

yang demokratis, hal demikian

(diperbolehkannya ada lebih dari

satu serikat dan buruh hanya boleh

masuk dalam satu serikat)

sebenarnya justru bisa menjadi

blunder bagi gerakan buruh”

Oleh karena itu, jika ditelaah lebih jauh, pengaturan ini berpotensi membahayakan kaum pekerja, karena:

Rawan Manipulasi Pengusaha

Dengan adanya peraturan tentang serikat buruh yang

menghendaki terbentuknya lebih dari satu serikat

10

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

TELAAH HUKUM

Page 11: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

buruh di dalam suatu perusahaan, pengusaha dapat

dengan mudah menjadikan serikat buruh tandingan

(dalam bahasa kelas pekerja disebut Serikat Kuning)

sebagai boneka yang terdiri dari pekerja-pekerja kepercayaannya guna memperjuangkan aspirasi

pengusaha. Hal ini juga memungkinkan serikat

pekerja boneka tersebut dapat menarik mayoritas suara anggota pekerja karena sumber daya yang

dimilikinya. Akibatnya, serikat pekerja yang benat-

benar memperjuangkan kepentingan pekerja dapat

terdominasi oleh kondisi demikian.

“Bargain yang lemah bisa

menyebabkan kekalahan bagi

gerakan buruh”

Rawan Penggembosan

Hubungan antar organisasi di kalangan buruh sendiri

menjadi tidak stabil karena rawan penggembosan.

Hal ini dapat dilihat dengan membuat perumpamaan jika pada bulan ini serikat buruh A di perusahaan X

menjadi serikat buruh mayoritas, kemudian bulan depannya mayoritas serikat buruh A berpindah ke

serikat buruh B, otomatis akan memberikan peluang

dapat merubah perjanjian kerja bersama. Sehingga, stabiliasi setiap serikat buruh akan terus terguncang

dengan adanya keharusan yang memuat bahwa

setiap pekerja hanya boleh tergabung di dalam satu serikat buruh saja.

Prinsip Mayoritas

Ketika ada pengaturan bahwa serikat buruh dalam

satu perusahaan boleh lebih dari satu, tapi yang

berhak menyelenggarakan perjanjian kerja bersama

di perusahaan itu adalah serikat buruh yang

memiliki suara mayoritas, maka hal itu akan

menimbulkan kondisi dimana kepentingan buruh tidak terakomodasi secara holistik dalam perjanjian

kerja bersama. Hal ini diperparah dengan adanya

kondisi di mana perjanjian kerja bersama mengikat seluruh buruh, walaupun buruh tersebut tidak setuju

atau berposisi sebagai minoritas. Prinsip ini

menekankan persaingan diantara serikat buruh itu

sendiri. Kondisi ini bisa menciptakan situasi non-

kooperasi dan anti-solidaritas di antara serikat

pekerja di dalam pabrik, karena prinsipnya yang menang adalah yang kuat.

Posisi Daya Tawar dengan Asosiasi Pengusaha

Kondisi fragmented mempengaruhi serikat buruh itu

sendiri di dalam posisi daya tawarnya di hadapan

pengusaha dalam bernegosisasi atau pun penuntutan hak. Bargain yang lemah bisa menyebabkan

kekalahan bagi gerakan buruh. Hal ini karena

kondisi demikian dapat berpotensi menciptakan disintegrasi kepentingan di dalam kalangan buruh

sendiri. Akibatnya, itu bisa membuat pengusaha

melihat tuntutan para kaum pekerja dengan sebelah mata.

Demikian adalah penjelasan mengenai sisi negatif

dari aturan tentang serikat pekerja dalam suatu

pabrik. Dengan mengetahui ini, semoga menjadi pembelajaran bagi semua pekerja agar lebih taktis

dan strategis dalam menentukan posisi politiknya di

hadapan pengusaha. Tidak terbawa oleh situasi yang justru merugikan mereka. Hal ini membawa harapan

agar kekuatan kelas pekerja di Indonesia semakin

menguat, dan menang.

11

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013

Page 12: Pamflet Semar UI Edisi 03 / Oktober / I / 2013

12

SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA

Edisi 03/Oktober/II/2013