networked organization

24
UNIVERSITAS INDONESIA NETWORKED ORGANIZATION TERM PAPER Amir Syafrudin 1306346771 Dodik Sunaryo 1306346903 Elyana Agustin 1306346916 Erwin Maryadi 1306430845 Karyanto Wijaya 1306430952 Rina Wahyuni 1306431116 PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI INFORMASI FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS INDONESIA 2014

Upload: amir-syafrudin

Post on 18-Jan-2016

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Dokumen ini ditulis sebagai bagian dari tugas mata kuliah Manajemen Informasi Korporat. Dokumen ini berisi paparan terkait struktur organisasi yang fleksibel (tidak kaku), tapi tetap dapat dikendalikan dengan baik. Organisasi dengan struktur seperti itu dikenal dengan sebutan "networked organization".

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS INDONESIA

NETWORKED ORGANIZATION

TERM PAPER

Amir Syafrudin 1306346771

Dodik Sunaryo 1306346903

Elyana Agustin 1306346916

Erwin Maryadi 1306430845

Karyanto Wijaya 1306430952

Rina Wahyuni 1306431116

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER

UNIVERSITAS INDONESIA

2014

2

1. PENDAHULUAN

Salah satu warisan dari era industri yang masih digunakan hingga saat ini

adalah struktur organisasi yang hierarkis. Hierarki dalam organisasi tersebut

disusun sedemikian rupa untuk menjaga agar tidak terjadi kesalahan fatal yang

dapat menyebabkan kerugian besar dengan membatasi pengambilan keputusan

dan aktivitas-aktivitas dalam organisasi terkait. Pembatasan ini dilakukan melalui

pemisahan yang kaku pada sisi tanggung jawab, jenis pekerjaan, pengawasan

(supervisi) langsung, dan akses terhadap informasi dan aset yang dimiliki oleh

organisasi. Hal ini berlaku untuk seluruh pegawai dan unit kerja di dalam

organisasi tersebut agar tidak ada pegawai atau unit kerja yang dapat mengambil

keputusan atau melakukan tindakan yang dapat membahayakan organisasi

(Applegate, Austin, & Soule, 2009).

Berikutnya adalah mekanisme pengendalian (kontrol). Sesuai dengan

strukturnya, mekanisme pengendalian dalam organisasi hierarkis pun bersifat

hierarkis, yaitu suatu mekanisme pengendalian yang dilakukan melalui

pemeriksaan yang bertingkat. Di tingkat paling bawah, pengendalian dilakukan

berdasarkan aktivitas, yaitu setiap pegawai diberikan instruksi mengenai aktivitas-

aktivitas yang harus mereka lakukan dan pengawas (supervisor) mereka akan

memastikan bahwa aktivitas-aktivitas tersebut benar-benar dilakukan. Hal yang

sama berlaku juga untuk para manajer. Kinerja para manajer pun dinilai

berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil dari penilaian ini

yang akan mengarahkan perhatian dan aktivitas setiap manajer agar dapat

dikoordinasikan dengan aktivitas dari unit-unit kerja yang lain sehingga tetap

selaras dengan tujuan dan sasaran organisasi (Applegate, Austin, & Soule, 2009).

Walaupun begitu, di balik struktur organisasi yang mengedepankan

koordinasi dan pengendalian ini, pergerakan dan pertumbuhan organisasi terkait

justru dapat terhambat. Hierarki organisasi memang mampu meminimalisir

kompleksitas dalam sebuah organisasi (Applegate, Austin, & Soule, 2009), yaitu

dengan mendelegasikan kompleksitas kepada tingkat yang ada di bawahnya. Akan

tetapi, informasi yang ada di dalam organisasi tersebut tidak dapat bergerak cepat

karena harus melalui tingkat-tingkat dalam hierarki. Informasi tidak bisa langsung

3

sampai kepada pihak yang seharusnya memiliki informasi tersebut. Selain itu,

seiring dengan perpindahan informasi dari tingkat yang satu ke tingkat yang

lainnya, risiko terjadinya distorsi informasi pun semakin besar.

Masalah yang mungkin timbul akibat lambatnya aliran informasi ini

menjadi hal yang lumrah dalam organisasi hierarkis, misalnya dalam hal

pengambilan keputusan. Pegawai tingkat bawah di dalam organisasi hierarkis

umumnya tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Jadi, saat ada

sebuah ancaman atau peluang yang tidak biasa dihadapinya, pegawai tersebut

harus memberikan laporan dulu kepada atasan langsungnya untuk menentukan

tindak lanjut yang tepat. Laporan itu akan terus bergerak naik ke tingkat yang

lebih tinggi hingga mencapai pihak yang berwenang untuk mengambil keputusan

terkait. Keputusan tersebut kemudian akan bergerak turun kembali ke pegawai

yang bersangkutan agar pegawai tersebut dapat melakukan tindakan yang sesuai

untuk merespon ancaman atau peluang yang muncul. Akan tetapi, ada

kemungkinan bahwa pada saat itu, respon yang diberikan sudah kehilangan

momentumnya.

Ilustrasi di atas memberikan gambaran perihal bahaya laten hierarki dalam

sebuah organisasi. Sifat kaku yang tidak terpisahkan dari sebuah hierarki dapat

menghambat gerakan sebuah organisasi; organisasi menjadi kurang responsif.

Saat sebuah organisasi tidak bisa memberikan respon yang cepat pada saat yang

tepat, organisasi tersebut berisiko merugi akibat terlambat mengatasi sebuah

ancaman atau terlambat mengambil peluang yang dapat menguntungkan

organisasi. Lambatnya respon organisasi ini pada dasarnya diakibatkan oleh

lambatnya aliran informasi menuju pihak yang berwenang di dalam hierarki

organisasi. Pada akhirnya, lambatnya aliran informasi ini bukan hanya

menghambat pergerakan organisasi, tapi juga menghambat pertumbuhan

organisasi karena lambatnya aliran informasi itu dapat mengakibatkan hilangnya

potensi keunggulan kompetitif yang dimiliki organisasi tersebut.

Hilangnya potensi keunggulan kompetitif akibat lambatnya aliran informasi

itu semakin jelas terlihat di era Internet ini. Perkembangan Internet dan TI

(teknologi informasi) secara umum telah mendobrak berbagai batasan-batasan

yang sebelumnya ada dalam hal komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi. Internet

4

telah membentuk sebuah masyarakat yang terhubung sehingga batasan geografis

tidak lagi menjadi kendala. Adanya aplikasi-aplikasi instant messaging seperti

Google Talk, content sharing network seperti Youtube dan Dropbox, real-time

collaboration tools seperti Google Docs, social networking websites seperti

Twitter dan LinkedIn, dan berbagai aplikasi lainnya bukan hanya mendobrak

berbagai batasan yang ada, tapi juga memperkenalkan cara-cara baru yang lebih

efektif dan efisien dalam hal komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi.

Perubahan-perubahan yang dibawa Internet itu semakin menguat seiring

dengan tingkat penetrasi dan penggunaan smartphone yang terus bertambah

tinggi. Layanan-layanan yang biasa diakses dengan menggunakan web browser di

PC atau laptop sudah dapat diakses dengan menggunakan perangkat smartphone.

Berkomunikasi dan berkolaborasi pun menjadi semakin mudah dilakukan dengan

meluasnya penggunaan smartphone di dalam masyarakat. Masyarakat pun

menjadi lebih terhubung dengan satu sama lain, lebih mudah mendapatkan

informasi yang diperlukan, dan lebih efisien dalam melakukan kegiatan sehari-

harinya. Perubahan dalam hal komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi ini bukan

hanya merubah pola hidup masyarakat, tapi juga merubah harapan dan tuntutan

masyarakat terhadap berbagai layanan publik yang tersedia.

Untuk memenuhi tuntutan tersebut, setiap organisasi harus melakukan

berbagai perubahan dalam cara kerja mereka. Salah satu hal yang perlu diubah

adalah struktur organisasi hierarkis yang membuat respon dan gerakan organisasi

menjadi lambat. Setiap organisasi perlu mengadopsi struktur organisasi yang lebih

fleksibel dengan memanfaatkan TI untuk mempermudah penyebaran informasi

sehingga keputusan-keputusan dapat diambil dengan cara yang lebih efektif dan

efisien. Struktur organisasi yang dapat mengatasi masalah pada struktur organisasi

hierarkis dikenal dengan istilah networked dan organisasi yang menerapkan

struktur ini disebut dengan istilah networked organization.

2. Definisi dan Karakteristik Networked Organization

Definisi dan karakteristik networked organization sudah banyak

berkembang. Salah satunya adalah definisi dari Achrol (1997) yang menyatakan

bahwa networked organization adalah sistem yang dibentuk oleh sekumpulan

5

individu dengan peran dan tanggung jawab yang sudah ditentukan sebelumnya.

Networked organization merupakan wujud dari kebutuhan organisasi untuk

berinteraksi antara satu sama lain dengan tujuan untuk membangun hubungan

kerja dan meningkatkan kualitas kinerja dan proses bisnis organisasi terkait. Hal

ini sejalan dengan tren dan kebutuhan organisasi untuk memaksimalkan peran TI

dalam berkomunikasi agar organisasi terkait menjadi lebih responsif dan mampu

bekerja secara efektif dan efisien (Eraslan, Bulu, & Turkay, 2008).

Sedikit berbeda dengan Achrol (1997), Sviokla et al. (2004) memberikan

definisi yang lebih spesifik. Dalam definisinya, Sviokla et al. mengedepankan

istilah struktur n-form untuk merepresentasikan struktur di dalam networked

organization. Berbeda dengan struktur hierarkis yang memiliki batasan kaku

antara fungsi dan divisi, struktur n-form mengadopsi bentuk sarang lebah madu

yang merepresentasikan hubungan antara fungsi dan divisi yang lebih menyatu

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1: Struktur n-form

Menurut Sviokla et al., organisasi yang ingin menerapkan struktur n-form

tersebut perlu menerapkan beberapa prinsip, yaitu:

● Informasi harus didistribusikan ke seluruh organisasi.

● Pola kepemimpinan dan pengambilan keputusan harus fleksibel.

● Keterampilan karyawan harus dievaluasi dan ditingkatkan secara konstan.

● Pembentukan kepercayaan, hubungan, dan jaringan harus menjadi prioritas.

Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Sviokla et al. (2004) sejalan dengan

karakteristik networked organization yang dikemukakan Applegate et al. (2009),

antara lain:

● Aktivitas dan proses bisnis berjalan sinkron dengan aliran informasi di

dalam organisasi.

● Informasi yang beredar di dalam organisasi cenderung bersifat real-time.

6

● Setiap pegawai memiliki akses terhadap berbagai informasi di dalam

organisasi yang relevan untuk mengambil keputusan dan mengambil

tindakan untuk mencapai sasaran organisasi.

● Manajemen dan pelaporan berjalan selaras dengan aliran informasi di dalam

organisasi.

● Pihak manajemen perlu memiliki keterampilan yang memadai dalam

melakukan analisis terhadap data dan informasi.

● Struktur organisasi tidak bertingkat dan berorientasi pada tim.

● Perencanaan dan koordinasi dilakukan secara langsung melalui sarana

komunikasi yang tersedia dan dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai

kebutuhan.

Sejalan dengan karakteristik yang dikemukakan oleh Applegate et al.

(2009), Tamošiūnaitė (2011) menyatakan bahwa networked organization adalah

organisasi yang fleksibel dengan struktur yang cenderung rata (tidak memiliki

banyak tingkat) dan mengedepankan komunikasi berbasis TI tanpa dibatasi

struktur, ruang, dan waktu dalam menjalankan fungsi-fungsi dalam organisasi

tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, Tamošiūnaitė menentukan beberapa

karakteristik untuk networked organization, yaitu:

● Struktur organisasi cenderung rata (tidak memiliki banyak tingkat).

● Tidak dibatasi struktur dalam komunikasi antar pegawai atau unit kerja..

● Lokasi unit-unit kerja bisa terpusat atau tersebar.

● Memaksimalkan penggunaan TI dalam menjalankan fungsi-fungsi

organisasi.

Sviokla et al. memang tidak secara eksplisit menegaskan mengenai

pemanfaatan TI sebagai salah satu prinsip dalam menjalankan networked

organization, tapi distribusi informasi, baik secara internal maupun eksternal (ke

pelanggan dan pemasok), akan berjalan dengan efektif dan efisien bila TI

dimanfaatkan secara maksimal. Hal yang sama juga berlaku untuk komunikasi

yang lebih efektif dan efisien seperti yang dikemukakan oleh Achrol. Applegate et

al. (2009) juga mengemukakan bahwa akses terhadap informasi dan jaringan

komunikasi yang memadai merupakan 2 (dua) faktor utama yang diperlukan

untuk membentuk networked organization. Kedua faktor tersebut menjadi

7

mungkin seiring dengan berkembangnya TI, baik dari sisi aplikasi maupun

infrastruktur. Oleh karena itu, seperti juga dikemukakan oleh Applegate et al.

(2009) dan Tamošiūnaitė (2011), pemanfaatan TI yang maksimal merupakan

sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari networked organization.

Mekanisme dan urgensi penyebaran informasi di dalam organisasi menjadi

perbedaan paling nyata antara hierarchical organization dengan networked

organization, tapi perbedaannya tidak terbatas pada akses dan distribusi informasi

semata. Aliran informasi di dalam networked organization ini (yang cenderung

bersifat real-time) pada akhirnya memiliki dampak tersendiri terhadap pola

manajemen di dalam organisasi terkait. Dampaknya bukan hanya pada

fleksibilitas (Sviokla, Schneider, Calkins, & Quirk, 2004), tapi juga pada

manajemen kompleksitas dalam kaitannya dengan kontrol di dalam organisasi

(Applegate, Austin, & Soule, 2009).

Hierarchical organization menerapkan mekanisme kontrol yang bertingkat.

Ini berarti kompleksitas aktivitas dan proses yang ada di satu tingkat akan

diserahkan ke beberapa bagian pada tingkat di bawahnya seperti halnya manajer

tingkat atas yang mendelegasikan tanggung jawabnya kepada manajer tingkat

menengah. Sebaliknya di dalam networked organization, kompleksitas bukan

didelegasikan, melainkan ditangani secara langsung. Hal ini dimungkinkan

dengan penyebaran informasi yang bersifat real-time dan didukung oleh teknologi

yang memadai (dan dipahami dengan baik) untuk melakukan analisis terhadap

informasi tersebut. Hal ini tentu saja menuntut standar keterampilan tertentu dari

para individu di tingkat manajemen dan para eksekutif di dalam organisasi

tersebut (Applegate, Austin, & Soule, 2009).

3. Manfaat Networked Organization

Networked organization tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan

kecepatan pengambilan keputusan dan respon sebuah organisasi. Masih ada

manfaat-manfaat lain yang didapat dengan membentuk dan menjalankan

networked organization. Salah satu manfaat lain tersebut adalah memudahkan

berbagi resources (sumber daya) yang dimiliki oleh organisasi tersebut (Gulati,

8

Dialdin, & Wang, 2002), antara lain:

1. Financial Resources.

Dalam beberapa kasus, penerapan networked organization memungkinkan

organisasi untuk mendapatkan akses yang diperlukan dalam

mempertahankan efisiensi kegiatan operasional organisasi dan

memungkinkan organisasi untuk berinvestasi sehingga dapat meningkatkan

pertumbuhan organisasi tersebut. Salah satu contoh spesifik di mana hal ini

dapat terjadi adalah ketika organisasi membuka akses terhadap informasi di

dalam sistem keuangan organisasi sehingga memudahkan individu-individu

atau tim-tim dalam berbagi sumber daya keuangan dan peluang bisnis

(Ingram & Inman, 1996; Keister, 1998).

2. Institutional Resources.

Penerapan networked organization dapat memudahkan organisasi dalam

berbagi sumber daya dalam hal ini sumber daya institusi dalam jaringan

organisasi tersebut, sumber daya tersebut dapat berupa legitimasi dan status

organisasi dari mana mereka berasal. Distribusi sumber daya ini dapat

membantu menjaga keberlangsungan kegiatan operasional serta kinerja

keuangan bagi orang-orang yang bekerja untuk organisasi tersebut (Baum &

Oliver, 1991; Khanna & Palepu, 1999). Sebagai contoh, sebuah studi kasus

mengenai rantai organisasi Hotel Manhattan menunjukkan bahwa hotel

yang bergabung dalam jaringan hotel besar, yang memiliki reputasi dan

kualitas pelayanan yang lebih tinggi, akan menurunkan keluhan pelanggan

terhadap kualitas pelayanan hotel tersebut sehingga hotel yang

pelayanannya bermasalah itu dapat terus beroperasi dengan lancar (Ingram

& Baum, 1997).

3. Knowledge and Information Resources.

Informasi dan pengetahuan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap

organisasi. Penerapan networked organization dapat dipastikan akan

memberikan kemudahan untuk berbagi pengetahuan (knowledge sharing) di

dalam organisasi terkait. Infrastruktur jaringan komunikasi akan menjadi

saluran utama untuk menyebarkan pengetahuan, baik yang sudah ada

maupun yang baru diperoleh, sehingga semua anggota dapat segera

9

mengaksesnya. Dalam sebuah studi praktek difusi total quality management

(TQM) bahwa jaringan rumah sakit adalah media penting untuk transmisi

dan difusi praktik TQM antara rumah sakit sehingga pembelajaran dan

inovasi dari para anggota rumah sakit dapat terus ditingkatkan (Westphal,

Gulati, & Shortell, 1997).

4. Model Networked Organization

Pada prinsipnya ada 2 (dua) jaringan dalam organisasi yang bisa menjadi

penggerak terjadinya perubahan atau pergeseran bentuk organisasi (Alvarez &

Ferreira, 1995). Jaringan pertama adalah jaringan intra organisasi yang mencakup

aktivitas organisasi antar unit bisnis atau antar fungsi bisnis dalam suatu

organisasi. Jaringan kedua adalah jaringan inter organisasi yang mencakup

aktivitas membangun koneksi dalam rangka memperluas batasan dari organisasi

termasuk membangun hubungan yang menguntungkan antara pemasok,

pelanggan, dan bahkan pesaing. Perluasan batasan organisasasi dengan pihak lain

tersebut dilakukan melalui beberapa cara antara lain melalui perjanjian kerja

informal, joint venture, pembentukan aliansi strategis, atau melalui kerjasama riset

dan pengembangan.

Dari jaringan (keterhubungan) intra dan inter organisasi itu terdapat 3 (tiga)

pola dasar yang dapat dikatakan sebagai bentuk jaringan organisasi sebagaimana

diungkapkan oleh Snow, Miles, dan Coleman (1992), yang dikenal dengan istilah

internal network (Gambar 2), stable network (Gambar 3), dan dynamic network

(Gambar 4). Internal network lebih terkait dengan jaringan intra organisasi,

sedangkan stable network dan dynamic network lebih terkait dengan jaringan inter

organisasi. Jika dilihat dari sudut pandang keuntungan organisasi yang strukturnya

merupakan kesatuan antara proses birokrasi internal yang dipengaruhi oleh

tekanan pasar, maka internal network lebih menggambarkan mekanisme yang

terjadi pada sisi birokrasi di dalam organisasi, dynamic network lebih

menggambarkan sisi pasarnya, sedangkan stable network merupakan kombinasi di

antara keduanya (Alvarez & Ferreira, 1995).

10

Gambar 2: Internal network

Snow et al. (1992) mengungkapkan bahwa internal network merupakan

struktur organisasi dengan unit-unit yang beroperasi secara mandiri tanpa

melibatkan banyak outsourcing. Organisasi yang memiliki struktur seperti ini

menerapkan mekanisme pasar di dalam organisasinya sehingga masing-masing

unit berinteraksi layaknya penjual dan pembeli. Harapannya adalah pertukaran

(transaksi) antar unit yang diatur oleh harga pasar dapat mendorong inovasi dan

daya saing. Di dalam internal network ini juga dikenal istilah broker yang

berfungsi sebagai operator atau manajer utama yang bertugas untuk

mengoperasikan keseluruhan unit dalam organisasi dan berperan sebagai network

architect, lead operator, dan network caretaker. Dengan kata lain, berdasarkan

yang dikemukakan juga oleh Miles dan Snow (1992), proses interaksi antar unit

dalam organisasi dengan menerapkan mekanisme pasar itu pada prinsipnya juga

merepresentasikan keseluruhan value chain organisasi (Alvarez & Ferreira, 1995).

Tipe jaringan yang kedua adalah stable network yang merupakan interaksi

antara kumpulan organisasi independent yang terhubung ke satu organisasi utama.

Organisasi utama yang di maksud di sini melakukan mekanisme outsource pada

sebagian fungsi substansial dalam organisasi. Aset dan risiko yang dihadapi

organisasi pun didistribusikan ke sejumlah organisasi independent lainnya baik

secara keseluruhan maupun hanya sebagian. Proses ini yang mencerminkan satu

kesatuan value chain organisasi dengan tipe stable network. Organisasi yang

bertipe stable network ini umumnya terlibat hubungan jangka panjang dengan

11

pemasok yang turut berkontribusi terhadap peningkatan keahlian (expertise)

perusahaan induknya.

Gambar 3: Stable network

Tipe jaringan yang ketiga adalah dynamic network yang merupakan model

yang paling dekat dengan sisi pasar. Di model ini, mekanisme outsource diperluas

dan perusahaan induk diasumsikan bertugas menghubungkan dan menangani

proyek atau produk tertentu sementara aset tetap dimiliki oleh perusahaan

independent yang lain. Ketika sebuah proyek selesai maka jaringan yang

terbentuk sebelumnya akan memisahkan diri dan akan membentuk jaringan baru

(dengan anggota dan konfigurasi yang berbeda) untuk proyek berikutnya atau

untuk mencapai tujuan lain sesuai kebutuhan organisasi.

Gambar 4: Dynamic network

12

5. Penerapan Networked Organization

Penerapan networked organization ini mungkin terlihat mudah. Yang

diperlukan untuk membentuk dan menjalankan networked organization hanya

pemanfaatan TI yang maksimal untuk meningkatkan kecepatan komunikasi dan

penyebaran informasi. Bila komunikasi dan penyebaran informasi sudah berjalan

dengan cepat, maka pengambilan keputusan dan tindakan pun akan berjalan

dengan cepat. Individu-individu atau tim-tim di dalam organisasi terkait dapat

mengambil keputusannya sendiri dan mengambil tindakan yang tepat dan cepat

saat menghadapi ancaman atau menemukan peluang. Koordinasi dan manajemen

di dalam organisasi pun akan berubah mengikuti pola pengambilan keputusan

yang cepat.

Pemahaman seperti di atas, ditambah dengan manfaat-manfaat lainnya yang

didapat dari networked organization, membuat organisasi merasa perlu beralih

dari hierarchical organization ke networked organization. Akan tetapi, pada

kenyataannya, penerapan networked organization tidak semudah itu. Ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan saat sebuah organisasi beralih dari

hierarchical organization ke networked organization. Applegate et al. (2009)

menyebutkan 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

● Kecepatan tidak boleh mengorbankan kontrol. Semakin cepat aliran

informasi dan pergerakan organisasi, semakin tinggi pengawasan yang

dibutuhkan. Mekanisme pengawasan harus diperkuat agar mampu

mengimbangi kecepatan pengambilan keputusan dan tindakan yang diambil

oleh individu atau tim di dalam networked organization.

● Pemberdayaan tidak sama dengan anarki. Memberikan keleluasaan lebih

bagi para individu atau tim di dalam sebuah organisasi untuk mengambil

keputusan tidak berarti pihak manajemen semakin menarik diri dari kegiatan

operasional organisasi. Pihak manajemen justru harus lebih banyak terlibat

untuk mengawasi dan memastikan agar kegiatan operasional itu searah

dengan tujuan dan sasaran organisasi.

● Perubahan bukan sebatas struktur. Perubahan struktur organisasi harus

diikuti dengan perubahan proses bisnis, budaya organisasi, cara kerja, dan

13

kompetensi individu-individu di dalam organisasi agar seluruh elemen di

dalam organisasi bergerak ke arah yang sama.

Yang dikemukakan oleh Applegate et al. (2009) di atas melengkapi

langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk penerapan networked organization

sebagaimana dijelaskan sebelumnya oleh Sviokla et al. (2004), yaitu:

● Membangun infrastruktur penyebaran informasi yang memadai.

Infrastruktur yang dimaksud harus mendukung proses bisnis yang ada

seraya membuka peluang untuk penambahan proses bisnis yang baru akibat

terjadinya pergeseran struktur organisasi.

● Meningkatkan keterampilan bagi seluruh anggota organisasi. Seiring dengan

bertambah cepatnya penyebaran informasi, tanggung jawab masing-masing

individu di dalam organisasi tersebut pun ikut bertambah luas sehingga

setiap individu harus memiliki keterampilan lebih, khususnya untuk

mengolah informasi yang didapat dan mengambil keputusan berdasarkan

informasi tersebut.

● Membangun budaya berbasis kepercayaan. Dengan meningkatnya kuantitas

informasi yang dapat diakses oleh seseorang di dalam organisasi dan

keleluasaan untuk mengambil keputusan secara langsung mengharuskan

adanya tingkat kepercayaan yang tinggi antara pihak manajemen dan orang-

orang di bawahnya sehingga dapat dipastikan bahwa setiap orang bergerak

ke arah yang sama untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi.

Rogers dan Davis-Peccoud (2011) mengambil pendekatan yang berbeda,

yaitu dengan melihat dari sudut pandang pengambilan keputusan. Melalui

pendekatan ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar networked

organization tetap terkendali, antara lain:

● Menetapkan orang yang berperan mengambil keputusan. Seperti yang sudah

dijelaskan di atas, setiap orang di dalam networked organization memiliki

keleluasaan untuk mengambil keputusan. Hal ini memang merupakan

karakteristik networked organization, tapi dalam penerapannya, orang-orang

yang terlibat dalam pengambilan keputusan harus jelas, terutama dalam

pengambilan keputusan-keputusan yang penting bagi organisasi.

● Memastikan aliran informasi yang transparan dan konsisten. Transparansi

14

dan konsistensi dalam hal ini akan membantu membentuk kesamaan

persepsi di setiap anggota organisasi sehingga keputusan yang diambil pun

akan lebih tepat.

● Membiasakan budaya kerja lintas batas. Karakteristik networked

organization yang fleksibel tidak serta merta membuat orang-orang yang

berada di dalamnya ikut fleksibel karena setiap orang memiliki

kecenderungan untuk mengurus urusannya sendiri. Bila budaya kerja lintas

batas tidak terbentuk, maka nilai tambah kolaborasi yang menjadi

keunggulan networked organization tidak akan tercapai dan batasan-batasan

kaku justru akan terbentuk dengan sendirinya.

5.1 Contoh Penerapan Networked Organization di Enron

Ekbia (2007) melakukan penelitian mengenai kesuksesan dan kegagalan

Enron dalam menerapkan networked organization di perusahaannya. Kondisi

networked organization di Enron cenderung fokus pada belanja produksi yang

memang bersifat critical bagi perusahaan. Enron menerapkan networked

organization pada perusahaannya dengan mengadopsi model network enterprise

yang dipaparkan oleh Castells (2001); salah satu contohnya adalah Cisco.

Enron berprinsip bahwa “inti bisnis bukan pada energi atau pemasaran,

namun pada manajemen risiko”. Prinsip ini mendorong Enron untuk memecah

bagian jasa dan produknya ke berbagai cabang yang relevan. Perubahan ini, yang

dikenal dengan istilah network strategy, menjadi kunci sukses bagi Enron. Enron

membagi perusahaan menjadi beberapa bagian sesuai dengan kegiatan masing-

masing, antara lain Enron Wholesale Services (EWS), Enron Energy Services

(EES), Enron Transportation Services (ETS), dan Enron Broadband Services

(EBS). Enron juga menjalin kerjasama dengan banyak perusahaan lain melalui

anak-anak perusahaannya, misalnya Enron Communications (ENE) yang menjalin

kerja sama dengan Azurix Corp. Dalam hal akuntansi dan legal, Enron menjalin

kerjasama dengan SPE (Special Purpose Entities), sementara untuk urusan

keuangan, Enron juga bekerjasama dengan bank besar maupun kecil dan

perusahaan investasi. Penjualan yang dijalankan Enron didominasi dengan

penjualan melalui internet yang mencakup 60% dari total penjualan melalui EOL

15

(Enron Online).

Kesuksesan Enron dianggap sebagai contoh sukses penerapan networked

organization. Jika dibandingkan dengan Cisco, Enron tidak kalah baik dalam

menerapkan networked organization. Walaupun terdapat beberapa perbedaan

antara Enron dan Cisco, misalnya pada aktivitas manufacturing, supply, atau

accounting, esensi e-business, yaitu “berbasis internet, interaktif, dan didukung

jaringan koneksi antara perusahaan produksi, pelanggan dan penyedia jasa”,

berhasil diterapkan Enron dengan baik.

Networked organization yang diadopsi Enron merupakan jaringan

organisasi berbasis TI dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Informational: pengelolaan pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan

produktivitas dan daya saing.

2. Global: memiliki kapasitas untuk bekerja sebagai satu kesatuan dalam skala

global.

Menurut Castells (2001), kedua karakteristik tersebut merupakan perubahan

budaya kerja yang dipengaruhi oleh perkembangan TI. Model yang diadopsi

Enron itu sendiri dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5: Jaringan perusahaan Enron

Sumber: Ekbia, 2007

Pada Gambar 5 terlihat bahwa perusahaan besar secara internal

disentralisasikan sebagai jaringan. Bisnis kecil (small firm) dan menengah

(medium firm) terhubung dalam jaringan yang menghubungkan mereka dengan

proyek-proyek yang lebih spesifik. Jika sebuah proyek telah selesai, maka

16

merkeka akan beralih ke jaringan lain. Bentuk kerja sama ini didasarkan pada

peningkatan information sharing antara pemasok dan pelanggan melalui

perusahaan induk yang berperan sebagai perantara untuk arus penawaran dan

permintaan.

Walaupun begitu, Enron tidak luput dari kegagalan. Hal ini terlihat jelas

pada jaringan internasional yang dibentuknya. Kegagalan pertama Enron adalah

menerapkan “take or pay” contract dalam bentuk turunan dari pengiriman

komoditas utama. Contohnya anak perusahaan Enron bernama TGT yang setuju

untuk mengambil 260 juta kaki kubik gas per hari selama sepuluh tahun dari Laut

Utara ke Inggris. Dengan jatuhnya harga gas hingga setengah dari angka kontrak,

Enron kehilangan 537 juta dolar AS sejak 1997. Hal ini memancing banyak

investor untuk mempertanyakan kompleksitas jaringan yang berada di dalam dan

di luar organisasi yang tidak yakin apakah jaringan tersebut akan membuat

perusahaan menjadi untung atau rugi.

Kasus lainnya adalah ada bukti kuat yang mendukung hubungan yang tidak

kooperatif secara terus-menerus antara Enron dan afiliasinya, misalnya dalam

kasus JEDI. Dalam kasus tersebut, Enron menginvestasikan 500 juta dolar AS

untuk JEDI2 dengan terlebih dahulu menginvestasikan senilai 383 juta dolar AS

untuk JEDI1. Untuk membayar 383 juta dolar AS itu, Enron bekerja sama dengan

Chewco sehingga Enron dapat mengambil keuntungan Calpers. Hubungan antara

Enron dan Calpers merupakan hubungan penuh manipulasi yang berujung buruk

bagi Enron (lihat Gambar 6).

Gambar 6: Penipuan Hubungan Antar Rekanan Enron

Sumber: Ekbia, 2007

17

Dari paparan di atas, kita dapat mengidentifikasi beberapa dimensi yang

saling bertentangan dalam penerapan networked organization oleh Enron seperti

yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1: Dampak positif dan negatif penerapan “networked organization”

Dimensi Manajerial Positif Negatif

Mengelola Aliansi Kepercayaan Antagonisme

Mengelola Stakeholders Transparansi Kerahasiaan

Mengelola Karyawan Pemberdayaan Pemaksaan

Mengelola Pasar Persaingan Manipulasi

Mengelola Regulator Keterlibatan Sosial Tekanan Politik

Mengelola TI dan Informasi Potensi Menyembuhkan

Mengelola Mitra Global Keadilan Penipuan

Mengelola Jaringan Enterprise Potensi Perangkap

(sumber : Ekbia, 2007)

Dari kasus Enron ini dapat disimpulkan bahwa penerapan networked

organization tidak hanya menjadi kunci sukses dari suatu perusahaan, tetapi dapat

menjadi bumerang yang dapat mengakibatkan kegagalan bisnis perusahaan.

5.2 Contoh Penerapan Networked Organization di Pemerintahan

Ward et al. (2000) melakukan penelitian mengenai teori organisasi dalam

mengontrol dan mengelola TI sebagai mekanisme dalam membentuk networked

organization di dalam sebuah instansi pemerintah. Penelitian ini menjelaskan

bahwa kemampuan TI yang melekat dalam sebuah organisasi dapat mengubah

hierarki organisasi dan mekanisme manajemen organisasi tersebut. Hasil

penelitian tersebut menunjukan bahwa butuh waktu 20 tahun untuk membentuk

networked organization di sebuah instansi pemerintah, yaitu organisasi bernama

FEMA (Federal Emergency Management Administration) di Amerika Serikat.

Penelitian tersebut membagi pengembangan TI di FEMA ke dalam 2 tahap. Tahap

pertama dilakukan pada tahun 1980 hingga tahun 1992, sementara tahap kedua

dilakukan pada tahun 1993 sampai dengan saat ini (saat paper ini dipublikasikan ,

18

yaitu pada tahun 2000).

Pembangunan TI tahap pertama di FEMA sangat dipengaruhi oleh faktor

kepemimpinan Presiden. Pengembangan TI FEMA di masa kepemimpinan

Ronald Reagan dan George Bush (dengan total 12 tahun) hanya memperoleh

dukungan yang sangat kecil. Kedua Presiden tersebut lebih memberikan dukungan

untuk pertahanan nasional. Pada kepemimpinan Clinton terjadi peningkatan peran

fiskal dan sosial bagi pemerintah federal. Sebagian besar agenda Clinton untuk

pemerintah federal adalah mengimplementasikan sebuah gerakan yang telah

dikenal luas sebagai "Reinventing Government" (Gore, 1993). Pada tahun 1998,

perhatian diarahkan kepada langkah-langkah restrukturisasi FEMA dan TI internal

pemerintahan yang terkait erat dengan FEMA dalam kegiatannya

mengembangkan jaringan bencana yang komprehensif (menghubungkan jaringan-

jaringan bencana di semua tingkat pemerintahan).

Gambar 7: Struktur organisasi FEMA di tahun 1980

Dari hasil analisis terhadap implementasi networked organization FEMA

pada tahap pertama, dukungan TI dan jaringan dalam kelembagaan sangat mutlak

diperlukan. Kedua faktor tersebut dapat digunakan untuk membantu pihak

manajemen dalam menentukan prioritas, pengambilan keputusan, kontrol

19

hierarkis, dan mengatur proses kerja secara keseluruhan. Akan tetapi, meskipun

TI menawarkan fleksibilitas dan sifat adaptif dalam manajemen keadaan darurat,

pihak manajemen masih membatasi perkembangan tersebut untuk fokus dalam

mempertahankan kelembagaan, sumber daya organisasi, dan pertahanan sipil yang

merupakan prioritas saat itu.

Pada tahun 1990an, awal tahap kedua pengembangan TI, FEMA terus

membangun organisasi dan jaringan TI-nya. Pada tahap ini FEMA mampu

memberikan informasi mengenai cuaca dan mampu memperkirakan akan

terjadinya bencana sehingga mempercepat distribusi bantuan ke lokasi bencana.

Penyebaran TI ikut memudahkan dalam mengelola organisasi dan membuat

keputusan mengenai perubahan lembaga di bawahnya hingga ke staf-staf terkait.

Fungsi kontrol tetap dilakukan oleh manajemen tingkat atas untuk melakukan

pengelolaan prioritas agar tidak berubah dari tujuan semula.

Gambar 8: Integrasi antara dokumen dan data dengan object relational document

Dari hasil analisis pada tahap kedua ini, terlihat bahwa perubahan lembaga

dan pengembangan jaringan dalam sebuah organisasi pemerintah tidak

mempengaruhi TI yang ada, tetapi perubahan terhadap staf dari manajemen

tingkat atas sampai dengan bawah dapat mengakibatkan kontrol hierarkis berubah.

Secara umum, penerapan networked organization dalam FEMA ini mampu

20

membentuk organisasi pemerintahan yang responsif. Struktur organisasi FEMA di

tahun 2000 pun mengalami perubahan dari tahun 1980 seperti yang dapat dilihat

pada Gambar 9.

Gambar 9: Struktur organisasi FEMA di tahun 2000

Terkait lama dan sulitnya menerapkan networked organization di FEMA ini

terkait pula dengan penerapan e-Government. Berdasarkan penelitian Rebecca

Eynon dan William H. Dutton (2007) yang dilakukan di Eropa disimpulkan

bahwa dukungan inovasi organisasi dengan memanfaatkan jaringan di sektor

publik secara maksimal merupakan faktor yang krusial untuk penerapan

networked organization. Hambatan-hambatan membentuk sebuah networked

organization di pemerintahan, yang berakibat kurang efektifnya e-Government

berdasarkan penelitian tersebut adalah:

1. Koordinasi yang buruk;

2. Tempat kerja dan organisasi yang kaku;

3. Kegagalan kepemimpinan;

4. Kurangnya kepercayaan ;

5. Keuangan, terutama ketika hambatan keuangan tersebut menciptakan

banyak ketidakpastian dalam organisasi;

6. Kesenjangan digital;

7. Kurangnya desain teknis.

Jika penerapan networked organization ini dapat diterapkan dengan baik

21

maka pengelolaan rantai komando organisasi tersebut akan menjadi lebih efektif

dan efisien sehingga e-Government dapat dengan mudah diterapkan di semua

sektor pelayanan publik yang ada.

6. Kesimpulan

Struktur organisasi hierarkis memang memiliki keunggulan tersendiri,

khususnya pada sisi kontrol terhadap individu atau unit kerja dalam sebuah

organisasi. Kontrol yang kuat ini diperlukan untuk menjaga agar tidak ada

individu atau unit kerja yang mengambil keputusan atau tindakan tanpa

pengawasan. Akan tetapi, sifat kaku yang tidak terpisahkan dari sebuah hierarki

itu membuat pengambilan keputusan menjadi lambat sehingga organisasi dengan

struktur hierarkis cenderung kurang responsif.

Yang diperlukan untuk membentuk organisasi yang responsif adalah

struktur yang fleksibel, tapi tetap terkendali dengan baik. Organisasi seperti ini

adalah organisasi yang dikenal dengan istilah networked organization, yaitu

organisasi yang tidak terbatas pada pembagian fungsi atau divisi yang kaku

seperti halnya organisasi dengan struktur hierarkis. Komunikasi dan distribusi

informasi di dalam networked organization ini tidak harus melalui jalur yang

bertingkat dan didukung TI yang memadai sehingga dapat berjalan lebih cepat.

Sumber daya di dalam organisasi menjadi lebih mudah untuk disebarkan ke

seluruh bagian di dalam organisasi. Pihak manajemen pun bisa lebih terlibat

dalam mengawasi dan mengatur kegiatan operasional di dalam organisasi terkait.

Faktor-faktor ini yang menjadi kunci dalam membentuk dan menjalankan

networked organization yang fleksibel dan responsif tanpa kehilangan kendali.

Walaupun begitu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

menerapkan networked organization. Orientasi terhadap kecepatan jangan sampai

mengorbankan kontrol dan perubahan yang dilakukan di dalam organisasi pun

harus menyeluruh, yaitu mencakup struktur, proses, sumber daya manusia, dan

budaya kerja. Infrastruktur yang dibutuhkan untuk menyebar informasi di dalam

organisasi pun harus memadai, terutama untuk menjamin transparansi dan

konsistensi aliran informasi. Keleluasaan dalam hal pengambilan keputusan harus

diimbangi dengan pengawasan yang kuat, terutama untuk memastikan pihak yang

22

bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan tersebut. Keterampilan orang-

orang di dalam organisasi, khususnya dalam mengakses dan mengolah informasi,

harus ditingkatkan seraya membiasakan budaya kerja lintas batas yang berbasis

pada kepercayaan antara pihak-pihak yang terkait.

Contoh kasus di Enron dan FEMA menunjukan betapa sulitnya menerapkan

networked organization, baik di perusahaan swasta maupun di organisasi

pemerintahan. Walaupun model networked organization menawarkan berbagai

kelebihan, Enron dan FEMA menunjukan bahwa jalan mencapai kelebihan-

kelebihan itu tidak mudah. Dalam kasus Enron dan FEMA, kita melihat bahwa

pemanfaatan TI, khususnya untuk berbagi informasi, merupakan hal yang tidak

terpisahkan dari penerapan networked organization. Sementara masalah

kepercayaan, pengawasan, dan kontrol juga merupakan kendala yang nyata dalam

penerapan networked organization, baik di Enron maupun FEMA. Pada akhirnya

dapat kita simpulkan bahwa bila prinsip-prinsip penerapan networked

organization itu diabaikan, maka akan terbentuk organisasi yang berjalan dengan

kecepatan tinggi tanpa kendali yang memadai. Kondisi seperti ini tentu saja

merupakan awal dari kehancuran organisasi tersebut.

23

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez, J., & Ferreira, A. (1995). Networks Versus Bureaucracies: The

Dilemmas of Organization of the Future.

Applegate, L. M., Austin, R. D., & Soule, D. L. (2009). Corporate information

strategy and management: Text and cases (8th ed.). Boston: McGraw-Hill

Irwin.

Baum, J. A. C., & Oliver. C. (1991). Institutional linkages and organizational

mortality. Administrative Science Quarterly. 187-218.

Ekbia, Hamid R. (2007). Managing Network Organizations in the Knowledge

Economy: Learning From Success and Failure. Annals of Information

Systems, 117-148.

Eraslan, H., Bulu, M., & Turkay, M. (2008). Clustering Analysis of Networked

Organizations. IGI Global.

Eynon, Rebecca, and William H. Dutton. (2007). Barriers to Networked

Governments: Evidence from Europe. Prometheus 25.3 : 225-42.

Gulati, Dialdin, & Wang (2002). Organizational Networks.

Gore, A. (1993). The Gore report on reinventing government. New York : Times

Books.

Ingram, P., and Baurn, J. A. C. (1997): Chain affiliation and the failure of

Manhattan hotels, 1898-1980. Administrative Science Quarterl!g. 42. 68-

102

Ingram. P., & Inman, C. (1996). Institutions, inter-group competition, and the

evolution of hotel populations around Niagara Falls. Administrative

Science Quarterly, 41, 629-58.

Keister. L. A. (1998). Engineering growth: Business group structure and firm

performance in China's transition economy. American Journal of

Sociology, 104, 404-440.

Khanna. T., & Palepu, K. (1999). The right way to restructure conglomerates in

emerging markets. Harvard Business Review, 77, 125-134.

Miles, R. E., & Snow, C. C. (1992). Causes of Failure in Network Organization.

California Management Review, 53-72.

24

Rogers, P., & Davis-Peccoud, J. (2011). Networked organizations: Making the

matrix work. Bain & Company, Inc.

Sviokla, J., Schneider, A., Calkins, C., & Quirk, C. (2004). The rise of the

networked organization. Diamond Cluster White Paper.

Tamošiūnaitė, R. (2011). Organization virtual or networked? Social Technologies,

1(1), 49-60.

Ward, R., Wamsley, G., Schroeder, A., & Robins, D. B. (2000). Network

Organizational Development in the Public Sector: A Case Study of the

Federal Emergency Management Administration (FEMA). Journal of the

American Society for Information Science, 51.11, 1018-1032.

Westphal, J., Gulati, R., & Shortell, S. M. (1997). Customization or conformity?

An institutional and network perspective on the content and consequences

of TQM adoption. Administrative Science Quarterly, 42, 366-94.