nefritis lupus

Upload: abcharina-rachmatina

Post on 11-Oct-2015

124 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jnh

TRANSCRIPT

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    1/18

    1

    BAB 1. PENDAHULUAN

    Nefritis lupus (NL) adalah komplikasi ginjal pada lupus eritematosus

    sistemik (LES). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau lebih dikenal dengan

    nama Systemic Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif

    autoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam

    serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh

    adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis

    beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. Keterlibatan ginjal cukup

    sering ditemukan, yang dibuktikan secara histopatologis pada kebanyakan pasien

    dengan LES dengan biopsy dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan

    mengalami komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada awal LES kelainan

    ginjal hanya didapatkan pada 25-50% kasus. Gejala nefritis lupus secara umum

    adalah proteinuri, hipertensi, dan gangguan ginjal.

    Mengevaluasi fungsi ginjal pada pasien-pasien dengan LES untuk

    mendeteksi dini keterlibatan ginjal sangat penting, karena dengan deteksi dan

    pengobatan dini, akan meningkatkan secara signifikan fungsi ginjal. Perjalanan

    klinis NL sangat bervariasi dan hasil pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor

    antara lain kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan histopatologi yang didapat

    dari hasil biopsi ginjal, saat mulai pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai.

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    2/18

    2

    BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

    2. 1 Definisi

    Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus erimatosus sitemik

    (LES). Lupus erimatosus sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang

    ditandai adanya inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ atau

    sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan

    kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Diagnosis nefritis

    lupus ini ditegakkan bila pada lupus erimatosus sistemik (SLE) terdapat tanda-

    tanda proteuniria dalam jumlah lebih atau sama dengan 1gram/24jam atau dengan

    hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau dengan penurunan fungsi ginjal sampai 30%.

    2.2 Epidemiologi

    Prevalensi LES di Amerika serikat adalah 1:2000 kasus pada populasi

    umum. Karena sulitnya mendiagnosis dan kemungkinan kasus LES tidak

    terdeteksi, para peneliti menduga prevalensinya kemungkinan 1 kasus per 500-

    1000 populasi umum. Prevelansi penyakit LES di Indonesia belum dapat

    dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan masih berupa laporan kasus

    dengan jumlah terbatas. Penyakit LES dapat ditemukan pada semua umur, tetapi

    paling sering pada usia 15-45 tahun dan 90% penderitanya adalah wanita. Rasio

    insidensi penyakit LES pada wanita dibandingkan dengan pria meningkat sesuai

    dengan pertambahan umur, dengan perbandingan 2:1 pada anak-anak dan 9:1

    pada dewasa muda, namun pria dengan LES insidens terjadinya nefritis lupus

    lebih tinggi walaupun tidak berbeda bermakna dengan perempuan. Anak-anak

    dengan LES mempunyai resiko lebih besar terkena penyakit ginjal dibandingkan

    orang dewasa. Orang Asia dan kulit hitam lebih sering mengalami nefritis lupus

    dibandingkan dengan ras lainnya.

    2.3 Etiologi

    Nefritis lupus terjadi ketika antibody (antinuklear antibody) dan

    komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya peradangan. Hal

    tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik (eksresi protein

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    3/18

    3

    yang besar) dan dapat progresi cepat menjadi gagal ginjal. Produk nitrogen sisa

    terlepas kedalam aliran darah, lupus erimatosus sistemik (SLE) menyerang

    berbagai struktur internal dari ginjal, meliputi nefritis intertitial dan

    glomerulonefritis membranosa.

    2.4 Patogenesis

    Pathogenesis timbulnya LES diawali oleh adanya interaksi antara faktor

    predisposisi genetic (seperti HLA- haplotipe, antigen DRW2 dan DRW5,

    defesiensi c2-inborn, HLA-DR2 dan HLA-DR3) dengan faktor lingkungan, faktor

    hormone seks, dan faktor sistem neuroendrokin. Interaksi faktor-faktor ini akan

    mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan

    peningkatan auto-antibodi (DNA-antiDNA). Sebagian auto-antibodi akan

    membentuk komplek imun bersama nukleosom (DNA-histon), kromatin, C1q,

    laminin, Ro (SS-A), ubiquitin, dan ribosom, yang kemudian akan membentuk

    deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil NL

    tidak ditemukan deposit komplek imun dengan sediaan imunofluoresen atau

    mikroskop elektron.

    Gambaran klinik kerusakan glomelurus berhubungan dengan lokasi

    terbentuknya deposit komplek imun. Deposit pada mesangium dan subendotel

    letaknya proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga mempunyai

    akses dengan pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan

    komplemen yang selanjutnya akan membentuk kemoatraktan C3a dan C3a, yang

    menyebabkan terjadinya influx sel neutrofil dan sel mononuclear.

    Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis

    memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan proliferative difus, secara

    klinis memberikan gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit,

    leukosit,silinder sel, dan granula), proteinuria, dan sering disertai penurunan

    fungsi ginjal.

    Sedangkan deposit pada subepitel tidak mempunyai hubungan dengan

    pembuluh darah karena dipisahkan oleh membrane basalis glomerulus sehingga

    tidak terjadi influx neutrofil dan sel mononuclear. Secara histopatologis

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    4/18

    4

    memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya

    memberikan gejala proteinuri.

    Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik

    antigen dan antibodi:

    Kompleks imun yang besar atau antigen yang anionik, yang tidak dapat

    melewati sawar dinding kapiler glomerulus yang juga bersifat anionik,

    akan diendapkan dalam mesangium dan subendotel. Banyaknya deposit

    imun akan menentukan apakah pada pasien akan berkembang gejala

    penyakit yang ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat

    gejala yang lebih berat ( proliferatif fokal atau difus)

    Hal ini yang menentukan tempat terbentuknya komplek imun

    dihubungkan dengan muatan antibody dan daerah tempat berikatan

    dengan antigen. Antibodi dan daerah tempat berikatan dengan antigen.

    Antibodi dapat berikatan sehingga menimbulkan manifestasi histologis

    dan klinis yang berbeda.

    2.5 Gejala Klinis

    Seperti telah disebutkan sebelumnya, NL adalh komplikasi ginjal pada

    LES dan ditemukan pada 25-50% dari semua pasien LES. Diagnosis LES

    ditegakkan berdasarkan criteria American Rheumatism Association yang telah

    dimodifikasi pada tahun 1997. Ditemukan 4 dari 11 kriteria mempunyai

    sensitivitas dan spesifisitas sebesar 96% untuk LES, criteria tersebut meliputi:

    Kriteria Batasan

    Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence

    dan lipat nasolabial

    Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan

    sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut

    atrofik

    Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar

    matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    5/18

    5

    dokter pemeriksa

    Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihatoleh dokter pemeriksa

    Atritis non-erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa

    nyeri, bengkak dan efusi

    Pleuritis atau

    perikarditis

    a. Pleuritisriwayat nyeri pleuritik ataupleuritik friction rub

    yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura

    atau

    b. Perikarditis bukti rekaman EKG ataupericardial friction

    rubyang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi

    perikardial

    Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau > +3, atau

    b. Sedimen urin (bisa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular,

    atau gabungan)

    Gangguan

    neurologi

    Kejang atau psikosis tanpa sebab yang jelas

    Gangguan

    hematologi

    Anemia hemolitik atau leukopenia (

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    6/18

    6

    Silinder granular 30

    Silinder eritrosit 10Hematuria mikroskopik 80

    Hematuria makroskopik 1-2

    Penurunan fungsi ginjal 40-80

    Penurunan fungsi ginjal yang cepat 30

    Gagal ginjal akut 1-2

    Hipertensi 15-50

    Hiperkalemi 15Abnormalitas tubulas 60-80

    Tabel 2. Gambaran Klinis Nefritis Lupus

    Manifestasi klinis nefritis lupus sangat bervariasi. Keterlibatan ginjal

    sering didapatkan bersamaan atau tidak lama setelah onset LES, dan akan

    mengikuti periode remisi dan eksaserbasi sesuai LES-nya. Pada nefritis lupus klas

    I WHO didapatkan adanya proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin.

    Pada NL klas II WHO didapatkan kelainan ginjal yang ringan. Biasanya hanya

    didapatkan anti-dsDNA yang positif dan kadar komplemen serum yang rendah.

    Sedimen urin tidak aktif, tanpa hipertensi, proteinuria 1 gram/24jam, dan kadar

    kreatinin serum serta laju filtrasi glomerulus (LFG) normal. Pada NL klas III

    WHO biasanya didapatkan sedimen urin yang aktif. Proteinuria lebih dari 1 gr/24

    jam, kira-kira 25-35% pasien dengan proteinuria >3 gr/24 jam. Peningkatan

    kreatinin serum didapatkan pada 25% pasien. Pada sebagian pasien juga

    didapatkan hipertensi.

    Pada nefritis lupus klas IV WHO ditemukan sedimen urin yang aktif pada

    seluruh pasien. Proteinuria >3gr/24 jam didapatkan pada 50% pasien, dan

    hipertensi ditemukan pada hamper semua pasien, dan penurunan fungsi ginjal

    sangat tipikal. Pada pasien nefritis lupus klas V WHO secara klinis ditemukan

    sindrom nefrotik, sebagian dengan hematuria dan hipertensi, akan tetapi fungsi

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    7/18

    7

    ginjal masih normal sedangkan pada nefritis lupus klas VI WHO dijumpai

    penurunan fungsi ginjal yang progresif lambat, dengan urin yang relatif normal.

    Kelainan tubulointerstitial tidak jarang ditemukan pada nefritis lupus.

    Berat ringannya kelainan ini menentukan prognosa pasien. Bila kelainannya berat,

    pada prognosisnya lebih buruk. Secara skematis, hubungan antara gejala klinis

    dan kelainan histopatologi dapat dilihat pada tabel berikut:

    Tabel 3. Hubungan gejala klinis dan kelainan histopatologi nefritis lupus

    Gambaran klinis yang ringan dapat berubah bentuk menjadi berat dalam

    perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang dihubungkan dengan perburukan

    fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam,

    hematokrit 2.4 mg/dl, kadar C38 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30% sedangkan

    diagnosis pasti nefritis lupus ditegakkan dengan biopsy ginjal. Proteinuria

    umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah secara kuantitatif dengan

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    8/18

    8

    mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang

    mulai banyak dilakukan ialah dengan mengukur rasio protein dengan kreatinin

    pada sampel urin sewaktu (ekskresi kreatinin normal 1000 mg/24jam/1,75m2;

    rasio protein-kreatinin normal

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    9/18

    9

    Pemeiksaan serologis penting untuk menentukan diagnosis nefritis lupus

    karena menunjukkan adanya produksi auto-Ab yang abnormal tetapi kurang tepat

    untuk menentukan adanya kelainan ginjal, menilai prognosis maupun tindak lanjut

    terapi.

    Pemeriksaan histopatologi ginjal menggambarkan secara pasti kelainan

    ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi NL dalam 6 kelas. Skema ini

    berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop elektron.

    Tabel 4. Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO, 2003)

    Sedangkan International Society Nephrology / Renal Pathology Society

    (ISN/RPS)membuat klasifikasi baru nefritis lupus. Klasifikasi baru ini terutama

    berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci

    perubahan morfologinya. Dengan pemeriksaan imunofluorese dapat ditemukan

    deposit imun pada semua kompartemen ginjal. Biasanya ditemukan lebih dari satu

    kelas immunoglobulin, terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    10/18

    10

    dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa diidentifikasi komplemen C3 dan

    C1q.

    Tabel 5. Klasifikasi Nefritid Lupus (ISN/RPS, 2003)

    2.7 Penatalaksanaan

    Kebanyakan klinisi sepakat akan tujuan terapeutik seperti berikut untuk

    pasien yang baru terdiagnosis nefritis lupus : (1) untuk mencapai remisi renal

    segera, (2) untuk mencegah kerusakan renal, (3) untuk menghindari gangguan

    ginjal kronik, (4) untuk mencapai tujuan-tujuan di atas dengan toksisitas minimal.

    Walaupun dalam dekade terakhir angka survival meningkat, harus ditekankan

    bahwa regimen imunosupresif hasilnya masih suboptimal. Pertama, angka remisi

    renal setelah terapi lini pertama paling baik hanya 81% dalam studi-studi

    prospektif terbaru. Kedua, relaps renal terjadi pada sepertiga dari pasien LN,

    kebanyakan saat pasien masih dalam kondisi imunosupresi. Ketiga, antara 10-20%

    pasien mengalami gagal ginjal terminal 5-10 tahun setelah onset penyakit,

    walaupun angka ini menurun pada studi-studi berikutnya (5-10%). Akhirnya,

    toksisitas terkait pengobatan masih merupakan kekuatiran utama, seperti efek

    samping metabolik dan tulang pada kortikosteroid dosis tinggi, infeksi tulang atau

    gagal ovarium prematur pada wanita yang menerima siklofosfamid dosis tinggi.

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    11/18

    11

    Prinsip pengobatan nefritis lupus:

    1. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak

    terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap

    komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya

    dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda

    pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal

    diperlukan pada pasien dengan perubahan gambar klinis dimana terapi

    tambahan agresif diperlukan.

    2.

    Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutamasedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen,

    anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung

    situasi klinis. Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis

    diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter lain

    diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.

    3. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien

    dengan riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat

    antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan

    angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama

    untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja

    atau dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada seluruh

    pasien hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop diuretik

    dipakai untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi dengan

    monitor elektrolit yang baik.

    4. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko premature

    aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga

    harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target

    terapi menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah

    kolesterol serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan

    SLE masih meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus

    dengan hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak

    sepertiHMG Co-A reductase inhibitors

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    12/18

    12

    5. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena

    infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien SLE

    6. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko

    osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis

    lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3

    bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obat-

    obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat (kecuali

    terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.

    7. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter

    berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium,

    gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi

    gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi

    klinis dimana dapat diperkirakan dampak buruk dari kortokosteroid.

    8. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat antiin lamasi non steroid,

    karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan

    hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi

    bila dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya).

    Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam

    waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.

    9. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat risiko

    morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal

    ginjal juga meningkat.

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    13/18

    13

    Tabel 6. Rekomendasi Terapi Nefritis Lupus

    Perjalanan penyakit nefritis lupus bervariasi antar pasien LES, bahkan

    pada mereka yang memiliki tipe histologis yang sama. Agen imunosupresif dapat

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    14/18

    14

    menginduksi remisi pada sebagian besar pasien dengan nefritis lupus proliferatif,

    tetapi sebagian proporsi dari mereka berkisar antara 27-66% pada berbagai studi-

    akan mengalami flare. Flare merupakan masalah karena bahaya kerusakan

    kumulatif yang dapat menurunkan fungsi ginjal dan juga toksisitas akibat

    imunosupresi tambahan. Terapi rumatan dengan azathioprine, mycophenolate

    mofetil atau pulse siklofosfamid biasanya direkomendasikan. Flare renal dapat

    dikategorikan sebagai nefritik atau nefrotik dan bisa ringan atau berat. Mayoritas

    pasien yang mengalami flare dapat pulih fungsi ginjalnya, bila didiagnosis dan

    diobati segera. Mocca dkk mendefinisikan renal flare sebagai peningkatan 30%

    dari kreatinin serum atau peningkatan 2,0 gram/hari dari proteinuria setelah terapi

    induksi. Pasien dengan indeks aktivitas teinggi dan adanya karyorrhexis lebih

    sering mengalami rekurensi penyakit. Ioannidis dkk mendefinisikan penyakit

    rekuren sebagai sedimen urin aktif (8-10 RBC/lpb) atau lebih dari 500 mg

    proteinuria/24 jam.

    Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi ginjal. Medikamentosa

    berupa kortikosteroid dan agen imunosupresif. Dialisis dapat dilakukan untuk

    mengontrol gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga direkomendasikan

    (pasien dengan lupus yang aktif tidak boleh dilakukan transplantasi ginjal). Dosis

    kumulatif rata-rata dan dosis per sesi IV, dan masa paparan terhadap

    Siklofosfamid IV dan Metilprednisolon dalam pengobatan Nefritis Lupus dan

    Sindrom Nefrotik ternyata identik dalam penelitian observasional selama 7 tahun.

    Selama pengobatan NL harus menilai keberhasilan terapi, beberapa

    kriteria keberhasilan terapi : Renal remission, complete renal remission, disease

    remission, renal relaps.

    Kriteria renal remission :

    a. Berkurangnya proteinuria 50% dan proteinuria < 3gr/24jam.

    b. Hilangnya hematuria ( RBC 5 )

    c. Hilangnya piuria (WBC 5)

    d. Hilangnya celluler cast (

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    15/18

    15

    e. Stabil (fluktuasi dalam 10% dibanding nilai awal) GFR jika serum

    kreatinin awal < 2mg/dl atau peningkatan 30% jika serum kreatinin

    awal 2mg/dl.

    Kriteria renal relaps :

    a. Peningkatan proteinuria 50% dan proteinuria >1gr/24jam

    b. Hematuria (RBC >5)

    c. Piuria (WBC > 5)

    d. Celluler cast 1

    e.

    Penurunan GFR 30% pada dua pengukuranComplete renal remission :

    a. Proteinuria 24jam 500mg

    b. RBC 5

    c. WBC 5

    d. Celluler cast 40% dalam waktu 5 tahun.

    2.8 Prognosis

    Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi

    ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki

    prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan IV hampir seluruhnya akan

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    16/18

    16

    menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas III yang

    keterlibatan glomerolus 50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai

    prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki

    prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebagian

    kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat.

    Prognosis bergantung kepada bentuk dari nefritis lupus. Pasien dapat

    sembuh sementara dan kemudian timbul kembali gejala akut dari lupus. Beberapa

    kasus berkembang menjadi gagal ginjal kronik.

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    17/18

    17

    BAB 3. KESIMPULAN

    Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada SLE. Penyakit SLE dapat

    ditemukan pada semua umur, tapi paling sering pada usia 20-40 tahun dan 90%

    adalah wanita. Keterlibatan ginjal paling sering ditemukan sekitar 60% pada

    pasien dewasa, walaupun pada awal SLE kelainan ginjal didapatkan 35-50 kasus.

    Diagnosis klinis NL ditegakan bila pada pasien SLE (minimal terdapat 4

    dari kriteria ARA) didapatkan protein urea 1gr/24 jam dengan atau hematuria

    (>8 eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi ginjal sampai 30% sedangkan

    diagnosis pasti nefritis lupus ditegakan dengan biopsi ginjal.

    Pada penatalaksanaan penting diperhatikan adalah fokus pada strategi

    terapi yang bertujuan untuk mengurang progresifitas penyakit ginjal, menghambat

    perkembangan penyakit vaskuler, menghambat kambuhnya penyakit dan

    mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada NL bertujuan untuk

    terjadinya induksi dan mencegah terjadinya relaps. Namun disadari pula

    maintenance pengobatan jangka panjang dengan steroid dan cytotoxic agent

    sering disertai dengan terjadinya efek samping dan morbiditas. Rata-rata kejadian

    relaps masih>40% dalam waktu 5 tahun.

  • 5/21/2018 nefritis lupus

    18/18

    18

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Bawazier LA, Dharmeizar, Markum MS. Nefritis Lupus. 2009. Buku Ajar

    Ilmu Penyakit Dalam Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Dept. Ilmu Penyakit

    Dalam FK-UI.

    2. Bevra HH. Systemic Lupus Erythematosus. 2005. Harrison Principles Of

    International Medicine ed 18th. Vol II. McGraw-Hill Medical Publishing

    Division

    3. Cameron JS. Lupus Nephritis. J Am Soc Nephrol. 1999; 10; 413-424

    4. Lawrence H Brent, MD; Venchi Batuman, MD, FACP. Lupus Nefritis.

    Update Jun 2011. Available athttp://www,emedicine.medscape.com.

    5. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus

    Eritematosus Sistemik. 2011.

    6. Weening JJ, DAgati VD, Schwartz MM, Seshan SV, Alpers CE, Appel

    GB. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus

    erythematosus revisited. J Am Soc Nephrol. 2004;15(2):241-50

    http://www%2Cemedicine.medscape.com/http://www%2Cemedicine.medscape.com/http://www%2Cemedicine.medscape.com/http://www%2Cemedicine.medscape.com/