monitoring icu pada pasien dengan epidural hematom print u ibuk 2 (1)
DESCRIPTION
epiduralTRANSCRIPT
MONITORING ICU PADA PASIEN DENGAN EPIDURAL HEMATOM
Oleh:
Fitri Amalia 0910312104
Resti Fadya 0910313244
Panji Hadi Permana 1110312029
Perseptor:
dr. Liliriawati Ananta Kahar, Sp.An KIC
Bagian Anestesi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUP Dr. M. Djamil Padang
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam memilih cara melakukan prosedur anestesia dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain umur, status fisik (termasuk adanya kelainan/penyakit), posisi
pembedahan, keterampilan dan kebutuhan operator, posisi pembedahan, keterampilan
dan pengalaman anestesiologinya, keinginan pasien serta bahan lainnya.
Sebagian besar prosedur pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesi
umum, sedangkan operasi lainnya dilakukan dengan anestesi regional atau lokal.
Operasi sekitar leher, kepala, intratorakal, intraabdominal paling baik dilakukan
dengan menggunakan anestesia umum endotrakeal.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaaan lalu
lintas. Di negara maju seperti di Amerika Serikat cedera kepala merupakan penyebab
kematian terbanyak untuk kelompok usia muda (15-44 tahun) dan merupakan
penyebab kematian ketiga secara keseluruhan.
Cedera kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan
kulit kepala atau lapisan yang paling luar, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak,
sampai jaringan otaknya sendiri, baik yang berupa luka tertutup, maupun trauma yang
menembus kulit hingga tengkoraknya.
Monitoring ICU diperlukan untuk memantau bagaimana perkembangan
pasien selama berada di ICU. Pada pasien epidural hematom perlu dirawat di ICU
karena pasien tersebut memerlukan pemantauan secara intensive agar komplikasi
berat dapat dihindari.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidural Hematom 1,2
Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak di antara
meningen (membran duramater) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma.
Duramater merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak dan
medulla spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar
duramater dan hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.
A. Etiologi 1,2,3,4
Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya
disertai dengan fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural
hematom juga bisa disebabkan akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan,
hemophilia, penyakit hati, penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, dan pungsi
lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada medulla
spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada di mana letak terjadinya penekanan.
B. Patofisiologi 1,3,4,5
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan, atau menghancurkan
saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi
kerusakan pada jalur saraf, perdarahan, atau pembengkakan hebat. Perdarahan,
pembengkakan, dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang
ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak
dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan
jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong
otak ke bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang
menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut dengan herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di
dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam medulla spinalis. Herniasi ini bisa
berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan
pernafasan).
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan
otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan, sangat
peka terhadap terjadinya perdarahan di sekeliling otak.
Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena meningeal.
Arteri yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang anterior arteri
meningea media. Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur kranium pada daerah
anterior inferior os parietal dapat merusak arteri. Cedera arteri dan venosa terutama
mudah terjadi jika pembuluh memasuki saluran tulang pada daerah ini. Perdarahan
yang terjadi melepaskan lapisan meningeal duramater dari permukaan dalam
kranium. Tekanan intrakranial meningkat dan bekuan darah yang membesar
menimbulkan tekanan ntra pada daerah motorik girus presentralis di bawahnya.
Darah juga melintas kelateral melalui garis fraktur membentuk suatu pembengkakan
di bawah muskulus temporalis.
Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat daya
kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala – gejala, sesuai
dengan sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan
epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat meningkat.
Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk hematom subperiostal
(sefalhematom), juga tergantung pada arteri atau vena yang pecah maka penimbunan
darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau perlahan – lahan. Pada perdarahan
epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur linear ataupun stelata,
manifestasi neurologik akan terjadi beberapa jam setelah trauma kapitis.
C. Manifestasi Klinis (1,2,3,4,5,6)
Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa – apa.
Tapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan bangun
bangun dalam kondisi kebingungan.
Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit kepala, muntah – muntah,
dan kejang – kejang.
Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan
menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis. Penderita
akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian
menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.
Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya peningkatan
tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
Hipertensi
Bradikardi
bradipneu
Kontusio, laserasi, atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma
Dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi,
adanya gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi.
Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap,
yaitu:
Coma
Fixasi dan dilatasi pupil
Deserebrasi
Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai
adanya epidural hematom.
D. Diagnosis 2
Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui
tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara, membuka
mata, dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya disorientasi
(apabila pasien sadar) tempat, waktu, dan kemampuan pasien untuk membuka mata
yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam keadaan tidak sadar,
pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.
Pada epidural hematom dan jenis lainnya dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan intrakranial yang akan segera mempengarungi nervus kranialis tiga yang
mengandung beberapa serabut saraf yang mengendalikan konstriksi pupil. Tekanan
yang menghambat nervus ini menyebabkan dilatasi dari pupil yang permanen pada
satu atau kedua mata. Hal tersebut merupakan indikasi yang kuat untuk mengetahui
apakah pasien telah mengalami hematoma intrakranial atau tidak.
Untuk membedakan antara epidural, subdural dan intracranial hematom dapat
dilakukan dengan CT – Scan atau MRI. Dari hasil tersebut, maka seorang dokter ahli
bedah dapat menentukan apakah pembengkakannya terjadi pada satu sisi otak yang
akan mengakibatkan terjadinya pergeseran garis tengah atau mid line shift dari otak.
Apabila pergeserannya lebih dari 5 mm, maka tindakan kraniotomi darurat mesti
dilakukan.
Pada pasien dengan epidural spinal hematom, onset gejalanya dapat timbul
dengan segera, yaitu berupa nyeri punggung atau leher sesuai dengan lokasi
perdarahan yang terjadi. Batuk atau gerakan -gerakan lainnya yang dapat
meningkatkan tekanan pada batang tubuh atau vertebra dapat memperberat rasa nyeri.
Pada anak, perdarahan lebih sering terjadi pada daerah servikal (leher) dari pada
daerah toraks.
Pada saat membuat diagnosa pada spinal epidural hematom, seorang dokter
harus memutuskan apakah gejala kompresi spinal tersebut disebabkan oleh hematom
atau tumor. CT- Scan atau MRI sangat baik untuk membedakan antara kompresi pada
medulla spinalis yang disebabkan oleh tumor atau suatu hematom.
E. Penatalaksanaan 1
Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi suportiv
dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
Berikan O2 dan monitor
Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang
dari 90 mmHg.
Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
Perawatan di bagian Emergensi
Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat – obatan
sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan
sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila
diperlukan.
Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan
posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk
menambah drainase vena.
Berikan manitol 0,25 – 1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90
mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan
tekanan intra kranial.
Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila
sudah ada herniasi atau adanya tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial
(ICP).
Berikan phenitoin untuk kejang – kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan
onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang
sebelumnya.
Terapi obat – obatan
Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan intrakranial
dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak dianjurkan, karena dapat
menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat digunakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin
digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post
trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat
yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH2O, dapat digunakan
norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90
mmHg.
Berikut adalah obat – obatan yang digunakan untuk terapi pada epidural
hematom:
Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25 – 1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang
progresiv.
Fungsi: Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi
darah otak dan kebutuhan oksigen.
Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh lebihn
dari 50 (Dilantin) mg/menit.
Kontraindikasi; pada penderita hipersensitiv, pada penyakit dengan blok
sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.
Fungsi: Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Paisen
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 6 tahun
MR : 898015
Diagnosa : post kraniotomi et causa EDH di parietoccipital kanan + 60 cc
Masuk ICU : 9 Februari 2015
Dengan indikasi :
Keluar ICU : 12 Februari 2015
Tanggal : 9 Februari 2015
S/
- Kejang + 1x, seluruh badan dengan pola kaku
- Tidak sadar
- Demam tidak ada
- Muntah tidak ada
O/
CNS : GCS DPO
Pupil anisokor 6/2, refleks cahaya +/-
CVS : TD : 100/47 mmHg
MAP : 70
HR : 140
Sat. O2 : 100%
Respirasi : RR 10x/i
BIPAP
P insp 15
P ASB 10
PEEP 5
FiO2 90%
GIT :
GUT :
Temperatur : 37o,3 C
Laboratorium : Hb : 4,2
Leukosit : 14.700
Trombosit : 171..000
Ht : 12,9%
Na : 133
K : 4,6
Ca2+ : 0,50
Total protein : 5,4
Albumin : 2,3
Globulin : 0,1
SGOT : 14
SGPT : 9
Gula darah : 171
Lactat : 1,8
Ur/ cr : 14/ 0,4
AGD : pH : 7,40
pCO2 : 31
pO2 : 197
BE : -5,6
HCO3 : 19,0
SAT : 100%
A/
Post op kraniotomi ec. EDH
P/
Feeding : Parenteral : D5%: Nacl 0,9% : 250 cc : 250 cc /24 jam
Albumin 50 cc
Ca glukonas 2 gr
PRC 2 unit
Analgetik : Ketorolac 3 x 10 mg
Paracetamol infus 4 x 200 mg
Sedatif : Sibital 4x50 mg IV
Fentanyl : fortanest = 100 : 15 = 2cc/jam
Trombolitik :-
Head up : 45
Ulcer : Omeprazole 1x40 mg IV
Cendantron: 2x2 mg IV
Glicemic control :
Lain-lain :
- Meropenem: 3x500 mg IV
- Bila kejang TD bagus : propofol 30mg IV
- Bila kejang TD tidak baik : fortanest 7,5 mg IV
- Inhalasi V/F 6x/hari
-balance cairan : masuk 1434 keluar 1606 iwl 500 = -600
Tanggal: 10 Februari 2015
S/
- Tidak sadar
- Buka mata dengan rangsangan nyeri
- Demam menurun
- Kejang tidak ada
O/
CNS : GCS DPO
Pupil anisokor 6/2, refleks cahaya +/-
CVS : TD : 100/47 mmHg
MAP : 70
HR : 140
Sat. O2 : 100%
Respirasi : RR 20x/i
BIPAP
P insp 15
P ASB 10
PEEP 5
FiO2 40%
GIT : NGT kecoklatan (+)
GUT :
Temperatur : 37o,3 C
Laboratorium : Hb : 8,7
Leukosit : 10.400
Trombosit : 107..000
Ht : 26%
Na : 134
K : 3,5
Ca2+ : 0,72
Total protein : 5,4
Albumin : 3,3
Globulin : 2,1
Gula darah : 117
AGD : pH : 7,40
pCO2 : 31
pO2 : 197
BE : -5,6
HCO3 : 19,0
SAT : 100 %
A/
1. Post craniotom ec. EDH
2. Respiratory failure
3. CVS compromised
4. Post Hipoalbuminemia
5. Electrolyte imbalance
6. Anemia
7. Stress ulcer
P/
Feeding : Enteral : Puasa sementara
Bilas NaCl 0,9 %
Inpepsa 3 x C1
Parenteral : D5% 0,445 % NaCl 0,9% 250 cc selama 12 jam
Cryopresipitat 50 cc (1 unit)
PRC 150 cc
Ca glukonas 1 gr IV
Analgetik : Tamolif 4 x 250 mg IV
Sedatif : Sibital 4 x 50 mg IV
Fentanyl Fortanest 100 : 15 = 2 cc/jam
Trombolitik :
Head up : 450
Ulcer : Omeprazole 2 x 40 mg IV
Cendantron 2 x 2 mg IV
Glicemic control:
Lain - lain :
- Meropenem 3 x 500 mg IV
- Vit C : 2 x 200 mg IV
- Vit K: 3 x 10 mg IV
- Kalnex 3 x 500 mg IV
- Decynon 3 x 250 mg IV
- Aminophilin: 4 x 60 mg (bila wh +/+)
- Cek darah rutin ulang
- Kultur darah, urin, tinja
- Balance cairan seimbang
Tanggal: 11 Februari 2015
S/
- Tidak sadar
- Demam tidak ada
- Sesak nafas tidak ada
O/
CNS : GCS DPO
Pupil anisokor 4/2, refleks cahaya +/+
CVS : TD : 127/67 mmHg
MAP : 89
HR : 91
Sat. O2 : 100%
Respirasi : BIPAP
P insp 15
P ASB 10
PEEP 5
FiO2 40%
GIT : -
GUT : produksi urin 100/100
Temperatur : 37o,3 C
Laboratorium : Hb : 8,3
Leukosit : 11.000
Trombosit : 182.000
Ht : 20%
K+ : 2,6
Ca2+ : 0,48
Gula darah : 117
AGD : pH : 7,30
pCO2 : 29
pO2 : 174
BE : -12,2
HCO3 : 14,1
SAT : 99%
A/
1. Post op kraniotomi ec EDH
2. Respiration Failure
3. Kardiovascular compromised
4. Post hipoalbuminemia
5. Anemia gravis ec bleeding
P/
1. Feeding :
a. Enteral : MC Ensure Pediatrik 6 x 250 cc
Inpepsa 3 x C1
KSR 3 x 1
b. Parenteral : D5% 0,445% NaCl 100 cc/12 jam
KCL 25meq dlm 50cc
PRC 10 unit
Ca glukonas 2 gr IV
2. Analgetik : Cendantron 2 x 2 mg
Tamoliv 4 x 260 mg
3. Sedatif : Sibital 4 x 50 mg
4. Trombolitik :
5. Head up : 450
6. Ulcer : omeprazole ampul 2 x 40 mg
7. Glicemic control : 100/15 : 2cc/jam
Lain-lain :
- Antibiotik : meropenen 3 x 500 mg
- Jika kejang, TD bagus → Propofol 30 mg IV
- Jika kejang, TD tidak bagus --> Fortanest 7,5 mg IV
- Vitamin C 2 x 200 mg
- Vitamin K 3 x 10 mg
- Kalnex 3 x 500 mg
- Decynone 3 x 200 mg
- Aminophilin 4 x 60 mg (bila Wh +/+)
- Inhalasi : V/F 6 x 1 hari
- Kultur darah, urin, dan feses
- balance cairan : masuk 1060 keluar 900 iwl 350 = -190
- ekstubasi
Tanggal: 12 Februari 2015
S/
- Tidak sadar
- Demam tidak ada
- Sesak nafas tidak ada
O/
CNS : GCS E3M5V2
Pupil 4/2
CVS : TD 133/76 mmHg
MAP 100
HR 82
Sat. O2 100%
Respirasi : Pola binasal 2L/mnt
GIT : NGT residu -
NGT jernih +
GUT : Produksi urin 65/65
Temperatur : 37o C
Laboratorium : Hb : 11,1 gr/l
Leukosit : 16.000 mm3
Trombosit : 198.000 mm3
Ht : 35%
K : 3
Ca : 0,68
Na : 130
Gula darah : 161
AGD : pH : 7,45
pCO2 : 25
pO2 : 176
BE : 17,4
HCO3 : -5,4
Sat. : 100%
Kalsium : 7,8
Natrium : 128
Kalium : 3,3
Klorida : 97
A/
1. Postop kraniotomi ec EDH
2. Respiration Failure
3. Kardiovascular compromised
4. Post hipoalbuminemia
5. Anemia gravis ec bleeding
P/
Feeding : Enteral : MC Blenderized 6 x 25 cc
Inpepsa syn 3 x C1
KSR 3 x 1 tab
Parenteral : IVFD D 0,445%: Nacl 0,9% = 250 cc
24jam/kolf
Analgetik : Tamoliv inf 4 x 250 mg
Ketorolac 3 x 10 mg IV
Sedatif : Sibital 4x50 mg IV
Trombolitik : -
Head up :
Ulcer : Omeprazole 1x40 mg IV
Cendantron: 2x2 mg IV
Glisemik kontrol : -
Lain-lain :
- Meropenem: 3x500 mg IV
- Vitamin C inj 2 x 200 mg
- Vitamin K inj 3 x 10 mg
- Kalnex inj 3 x 500 mg
- Decynon inj 3 x 250 mg
- Aminophilin inj 4 x 65 mg
- Inhalasi V/F 6 x 1 hari
- pindah HCU bedah
BAB 4
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki usia 6 tahun dengan diagnosis cedera
kepala GCS 9 + susp. EDH. Pasien telah dilakukan tindakan kraniotomidengan
general anestesi. Pasien masuk ICU tanggal 9 Februari 2015 dan keluar tanggal 12
Februari 2015.
Pada tanggal 9 Februari 2015 pasien masuk dengan keadaan tidak sadar, demam,
kejang 1x, seluruh badan dengan pola kaku dan tidak ada muntah. Dari pemeriksaan
didapatkan GCS E2M4V2 (total = 8). Dari monitor didapatkan TD : 115/54 mmHg,
HR: 187 x/m RR: 25 x/menit T: 36.8 C. Untuk assesment didapatkan Post op
kraniotomi ai EDH. Untuk planning dilakukan: Feeding: IVFD D5%: Nacl 0,9% :
250 cc : 250 cc 24 jam/kolf. Ulcer: omeprazole 1x40 mg IV. Terapi obat yang
diberikan adalah Meropenem: 3x500 mg IV, Cendantron: 2x2 mg IV, Ketorolac 3 x
10 mg IV, dan Sibital 4 x 50 mg IV.
Pada tanggal 12 Februari 2015, didapatkan kondisi pasien belum sadar penuh dan
refleks batuk +. Keadaan umum sedang, GCS E2M5V3. Pasien direncanakan
redreshing, off drain, terapi lanjut, dan dipindahkan ke RR bedah (HCU bedah).
Indikasi keluar pasien ini keluar ICU adalah bedasarkan pertimbangan medis oleh
kepala ICU dan atau tim yang merawat pasien, yaitu penyakit atau keadaan pasien
telah membaik dan cukup stabil (GCS: 10) dan pasien tidak membutuhkan ventilator
dan refleks batuk +.
DAFTAR PUSTAKA
1. David S Liebeskind, MD; Chief Editor: Helmi L Lutsep, MD. Epidural
Hematoma. UCLA. April, 2014.
2. David S Liebeskind, MD; Chief Editor: Helmi L Lutsep, MD. Epidural
Hematoma Treatment & Management. UCLA. April, 2014.
3. Snell R.S. Neurologi Klinik. Editor, Sjamsir, edisi ke dua, cetakan pertama,
penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta 1996. hal 521-532.
4. Mardjono M., Sidarta P., dalam Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan,
Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 2000. hal 255-256.
5. Mangku G. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks Jakarta. 2010. hal
164-168.
6. Mochammad Ruswan Dachlan, Perkembangan Anestesiologi di Indonesia Fokus
pada Kedokteran Gawat Darurat (Critical Care Medicine), Pidato pada Upacara
Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Anestesiologi dan Terapi
Intensif pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
7. Jukka Takala, Leonard D. Hudson, What is Critical Care Medicine? Clinical
Critical Care Medicine, Mosby Inc, 2006.
8. Standar Pelayanan ICU. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Dorektorat
Jenderal Pelayanan Medik, 2003.