modul pembakaran

23
Modul 2.0.09 Pembakaran I. Pendahuluan Dalam kehidupannya sehari-hari, manusia membutuhkan energi dalam jumlah besar. Masyarakat tumbuh di dalam kondisi yang bergantung pada teknologi dimana mereka membutuhkan energi dalam transportasi, memasak, kegiatan pabrik, menghasilkan listrik, dan sebagainya. Sebagian besar energi tersebut berasal dari energi pembakaran bahan bakar, khususnya bahan bakar fosil. Energi (panas) dapat dengan mudah dikonversi menjadi bentuk energi lainnya seperti energi mekanik dan energi listrik. Energi ini dapat dihasilkan melalui internal combustion engine ataupun external combustion engine. Internal combustion engine secara langsung menggunakan energi panas yang dihasilkan oleh oksidasi bahan bakar dalam ruang pembakaran untuk menggerakkan turbin atau piston, sedangkan external combustion engine menggunakan energi panas untuk menggerakkan fluida kerja seperti dalam mesin uap. Pada dasarnya, reaksi pembakaran menghasilkan zat-zat yang tidak diinginkan seperti CO 2 , CO, dan jelaga. Rekasi pembakaran sempurna akan menghasilkan CO 2 , hal ini terjadi bila suplai oksigen diberikan berlebih. Sebaliknya bila reaksi oksidasi bahan bakar kekurangan oksigen maka akan terjadi reaksi pembakaran tidak sempurna yang menghasilkan CO dan jelaga. CO lebih berbahaya dari CO 2 sehingga pembentukannya perlu dihindari. Pembakaran yang tidak efisien juga akan menghasilkan keluaran energi yang rendah serta boros bahan bakar. Untuk menghasilkan panas pembakaran yang optimal serta memaksimalkan efisiensi pembakaran, perlu dilakukan penelitian yang akan dilakukan dalam percobaan ini. Berbagai macam kondisi pembakaran serta laju gas buang akan diukur, serta energi yang dihasilkan pun dapat diketahui. Untuk itu diperlukan keterampilan dalam pengukuran supaya didapat data dan hasil yang akurat.

Upload: setiyo-wibisono

Post on 27-Oct-2015

83 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pembakaran

TRANSCRIPT

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Modul 2.0.09

Pembakaran

I. Pendahuluan

Dalam kehidupannya sehari-hari, manusia membutuhkan energi dalam jumlah

besar. Masyarakat tumbuh di dalam kondisi yang bergantung pada teknologi dimana

mereka membutuhkan energi dalam transportasi, memasak, kegiatan pabrik,

menghasilkan listrik, dan sebagainya. Sebagian besar energi tersebut berasal dari energi

pembakaran bahan bakar, khususnya bahan bakar fosil.

Energi (panas) dapat dengan mudah dikonversi menjadi bentuk energi lainnya

seperti energi mekanik dan energi listrik. Energi ini dapat dihasilkan melalui internal

combustion engine ataupun external combustion engine. Internal combustion engine

secara langsung menggunakan energi panas yang dihasilkan oleh oksidasi bahan bakar

dalam ruang pembakaran untuk menggerakkan turbin atau piston, sedangkan external

combustion engine menggunakan energi panas untuk menggerakkan fluida kerja seperti

dalam mesin uap.

Pada dasarnya, reaksi pembakaran menghasilkan zat-zat yang tidak diinginkan

seperti CO2, CO, dan jelaga. Rekasi pembakaran sempurna akan menghasilkan CO2, hal

ini terjadi bila suplai oksigen diberikan berlebih. Sebaliknya bila reaksi oksidasi bahan

bakar kekurangan oksigen maka akan terjadi reaksi pembakaran tidak sempurna yang

menghasilkan CO dan jelaga. CO lebih berbahaya dari CO2 sehingga pembentukannya

perlu dihindari. Pembakaran yang tidak efisien juga akan menghasilkan keluaran energi

yang rendah serta boros bahan bakar.

Untuk menghasilkan panas pembakaran yang optimal serta memaksimalkan

efisiensi pembakaran, perlu dilakukan penelitian yang akan dilakukan dalam percobaan

ini. Berbagai macam kondisi pembakaran serta laju gas buang akan diukur, serta energi

yang dihasilkan pun dapat diketahui. Untuk itu diperlukan keterampilan dalam

pengukuran supaya didapat data dan hasil yang akurat.

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

II. Sasaran Percobaan

Pada percobaan ini, sasaran percobaan yang ingin dicapai adalah :

- Praktikan mampu melakukan pengamatan visual terhadap kondisi flame dalam

tungku pembakaran

- Praktikan mampu mengumpulkan dan memperoleh data-data yang diperlukan untuk

analisis hasil-hasil percobaan, meliputi laju alir udara, laju alir bahan bakar, laju alir

air pendingin, temperatur air pendingin yang masuk, temperatur air pendingin yang

keluar, temperatur gas buang radiasi, dan temperatur gas buang non-radiasi.

- Praktikan mengetahui pengaruh faktor laju alir bahan bakar dan laju alir udara

terhadap proses pembakaran - Praktikan mampu melakukan penyusunan neraca energi pada percobaan

pembakaran yang dilakukan berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada

percobaan

III. Tujuan Percobaan

Pada percobaan ini, tujuan percobaan yang ingin dicapai adalah :

- praktikan mendapatkan pengetahuan tentang proses pembakaran

- Praktikan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pembakaran

IV. Tinjauan Pustaka

4.1 Pembakaran

Pembakaran adalah serangkaian reaksi-reaksi kimia eksotermal antara bahan

bakar dan oksidan berupa udara yang disertai dengan produksi energi berupa panas dan

konversi senyawa kimia. Pelepasan panas dapat mengakibatkan timbulnya cahaya

dalam bentuk api. Bahan bakar yang umum digunakan dalam pembakaran adalah

senyawa organik, khususnya hidrokarbon dalam fasa gas, cair atau padat.

Terdapat bermacam-macam jenis pembakaran yang dapat dijelaskan pada poin-

poin berikut ini :

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

1. Complete combustion

Pada pembakaran sempurna, reaktan akan terbakar dengan oksigen, menghasilkan

sejumlah produk yang terbatas. Ketika hidrokarbon yang terbakar dengan oksigen,

maka hanya akan dihasilkan gas karbon dioksida dan uap air. Namun kadang kala akan

dihasilkan senyawa nitrogen dioksida yang merupakan hasil teroksidasinya senyawa

nitrogen di dalam udara. Pembakaran sempurna hampir tidak mungkin tercapai pada

kehidupan nyata.

2. Incomplete combustion

Pembakaran tidak sempurna umumnya terjadi ketika tidak tersedianya oksigen dalam

jumlah yang cukup untuk membakar bahan bakar sehingga dihasilkannya karbon

dioksida dan air. Pembakaran yang tidak sempurna menghasilkan zat-zat seperti karbon

dioksida, karbon monoksida, uap air dan karbon. Pembakaran yang tidak sempurna

sangat sering terjadi, walaupun tidak diinginkan, karena karbon monoksida merupakan

zat yang sangat berbahaya bagi manusia. Kualitas pembakaran dapat ditingkatkan

dengan perancangan media pembakaran yang lebih baik dan optimisasi proses.

3. Smouldering combustion

Smouldering merupakan bentuk pembakaran yang lambat, bertemperatur rendah, dan

tidak berapi, yang dipertahankan oleh panas ketika oksigen menyerang permukaan dari

bahan bakar pada fasa yang terkondensasi. Pembakaran ini dapat dikategorikan sebagai

pembakaran yang tidak sempurna. Contoh pembakaran ini adalah inisiasi kebakaran

yang dikarenakan rokok, dan sisa kebakaran hutan yang masih menghasilkan hawa

panas.

4. Rapid combustion

Rapid combustion merupakan pembakaran yang melibatkan energi dalam jumlah yang

banyak dan menghasilkan pula energi cahaya dalam jumlah yang besar. Jika dihasilkan

volume gas yang besar dalam pembakaran ini dapat mengakibatkan peningkatan

tekanan yang signifikan, sehingga terjadi ledakan.

5. Turbulent combustion

Pembakaran yang menghasilkan api yang turbulen sangat banyak digunakan untuk

aplikasi industri, misalnya mesin berbahan bakar bensin, turbin gas, dll, karena

turbulensi membantu proses pencampuran antara bahan bakar dan pengoksida.

6. Slow combustion

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Pembakaran yang terjadi pada temperatur yang rendah. Contoh pembakaran ini adalah

respirasi seluler.

Pembakaran dapat terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi, seperti dalam

mesin motor roket. Turbin gas, dan mesin pembakaran internal. Pembakaran juga dapat

terjadi dengan kecepatan yang sangat rendah (seperti api pada lilin). Pada pembakaran

dengan kecepatan rendah, terjadi siklus umpan balik terjadi di antara fasa gas bahan

bakar dan bahan bakar. Pada fasa gas. Oksigen di dalam udara mendorong pembakaran

bahan bakar fasa gas dan panas akan dilepaskan secara eksoterm. Sebagian dari panas

akan digunakan untuk mempertahankan kelangsungan reaksi pembakaran, sedangkan

sebagian lainnya dipindahkan kembali kepada fasa terkondensasi

Pada reaksi pembakaran, selalu terjadi serangkaian proses yang berurutan,

dimulai dari proses berlangsungnya pembakaran hingga proses reaksi pembakaran

berakhir. Proses-proses tersebut selalu sama untuk pembakaran semua jenis bahan

bakar. Rangkaian proses tersebut dapat dikategorikan menjadi lima buah proses yang

berbeda-beda, yaitu pre-ignition, flaming combustion, smoldering combustion, glowing

combustion, dan extinction.

Pre-ignition (pra penyalaan) adalah fasa penyerapan panas dalam pembakaran,

yang mana panas diberikan kepada bahan bakar yang menyebabkan proses penguapan

air dan zat-zat lain, sehingga menghasilkan gas-gas yang dapat mempertahankan

keadaan api. Selama fasa pra-penyalaan, temperatur dari sistem bahan bakar dinaikkan

dengan metode perpindahan panas secara konduksi, konveksi, radiasi. Panas untuk pra-

penyalaan (pre-ignition) adalah jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan

temperatur bahan bakar menjadi temperatur penyalaan (ignition temperature). Pada

fasa ini, akan dihasilkan produk mayoritas berupa uap air yang dihasilkan dari kadar air

yang tercampur secara molekuler dengan bahan bakar. Temperatur bahan bakar akan

sulit meningkat apabila kadar air ini belum teruapkan. Pada fasa ini, akan terjadi

degradasi senyawa organik, yang lebih sering dikenal dengan nama pirolisis. Pirolisis

adalah degradasi termal dari bahan-bahan kimia, yang mana ikatan yang mendukung

molekul-molekul kompleks diputuskan, sehingga melepaskan molekul-molekul yang

berukuran kecil dari material bahan bakar dalam bentuk gas.

Flaming combustion adalah fasa pembakaran yang paling efisien, yang

menghasilkan paling sedikit jumlah asap per unit bahan bakar yang dikonsumsi. Fasa

ini merupakan fasa transisi dari proses pembakaran yang endotermik menjadi proses

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

pembakaran yang eksotermik. Pada umumnya, fasa ini terjadi pada saat temperatur

mencapai 300°C. Energi yang digunakan untuk mempertahankan api dan

mempertahankan reaksi berantai dari pembakaran dikenal dengan panas pembakaran.

Temperatur yang dicapai di dalam fas ini bervariasi, bergantung pada jenis bahan

bakar.

Smoldering combustion adalah fasa pembakaran yang paling tidak efisien, dimana

pada fasa ini dihasilkan paling banyak jumlah asap per unit bahan bakar yang

dikonsumsi. Pada fasa ini, terjadi kekurangan api, dan diasosiasikan dengan kondisi

dimana kadar oksigen terbatas, baik dikarenakan deposit jelaga dari bahan bakar

(terutama jelaga dengan rasio luas permukaan terhadap volume yang besar). Fasa

pembakaran ini terjadi pada temperatur rendah.

Glowing combustion adalah fasa pembakaran, dimana hanya bara dari bahan

bakat =r yang dapat diamati. Glowing cobustion menandakan proses oksidasi bahan

padat hasil pembakaran yang terbentuk pada fasa sebelumnya Fasa pembakaran ini

terjadi ketika tidak lagi tersedia energi yang cukup untuk menghasilkan asap

pembakaran yang merupakan karakteristik dari fasa pembakaran sebelumnya, sehingga

tidak dihasilkan lagi tar atau bahan volatil dari bahan bakar. Produk utama yang

dihasilkan dari fasa pembakaran ini adalah gas-gas tak tampak, seperti gas karbon

monoksida dan gas karbon dioksida.

Extinction merupakan proses pemadaman api ketika reaki pembakaran tidak lagi

berlangsung dan segitiga api telah terputus. Perihal mengenai segitiga api akan

dijelaskan lebih rinci pada subbab api.

Jika diasumsikan pembakaran terjadi pada kondisi yang sempurna, dimana tidak

terdapat penambahan atau pengurangan panas, maka temperatur pembakaran adiabatis

dapat ditentukan dengan didasarkan pada hukum pertama termodinamika. Pada kasus

pembakaran bahan bakar fosil, temperatur pembakaran bergantung pada panas

pembakaran, perbandingan stoikiometri udara dan bahan bakar, dan kapasitas panas

spesifik dari bahan bakar dan udara. Dalam industri, perbandingan stoikiometri udara

dan bahan bakar lebih dikenal dengan istilah persen kelebihan udara (percent of excess

air).

Bahan bakar yang diinjeksikan kedalam tungku pembakaran membutuhkan

sejumlah udara teoretik agar reaksi dapat berjalan dengan sempurna. Kebutuhan udara

dapat dihitung secara stoikiometrik meskipun dalam kenyataannya sering terjadi reaksi

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

samping yang dapat menyebabkan adanya panas yang hilang. Biasanya dalam

pembakaran udara dipasok lebiah banyak dari kebutuhan stokiometrik sebagai usaha

untuk meningkatkan keefisienan proses tetapi komposisi udara yang dipasok juga tidak

boleh terlalu tinggi karena dapat menyebabkan pembakaran kurang sempurna bahkan

tidak berjalan.

Reaksi pembakaran merupakan reaksi kimia dimana berlaku hukum kekekalan

massa dan energi . Panas yang timbul selama proses pembakaran akan terbagi menjadi

panas yang lain seperti untuk air,gas buang dan sebagian panas yang hilang. Untuk

Udara dan LPG,panasnya dapat meningkatkan panas pembakaran tetapi dapat juga

menurunkan (mengurangi) kalor pembakaran tergantung pada temperatur referensinya.

Energi masuk = Energi keluar

Qpembakaran = Qair + Qgas Buang + Qloss + (Qudara + QLPG)

Komponen-komponen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Q air yang masuk in

ref

T

air in air in TQ = n airCp dT∫

2. Q udara masuk

3. Q LPG yang masuk

4. Q pembakaran

Qpembakaran = nC3H8 . NHVC3H8 + nC4H10 . NHVC4H10

dengan NHV = net heating value , panas pembakaran

Sedangkan energi yang keluar adalah sebagai berikut :

1. Q exhaust ( gas cerobong )

Qexhaust = nfgx Cpfg x ( Tfg – Tref )

2. Q air keluar

out

ref

T

airout air out TQ = n airCp dT∫

in

ref

T

udara in udara in TQ = n airCp dT∫

in

ref

T

fuel in fuel in TQ = n airCp dT∫

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

3. panas yang lolos melewati dinding alat pembakaran

Qloss = ( Qair,in + Qudara,in + QLPG,in + Qpembakaran )

- ( Qexhaust + Qair,out )

Karena banyaknya reaksi yang terjadi seperti reaksi suksesif, kompetitif,

overlapping dan berlawanan didalam tungku pembakaran, belum ada teori yang mampu

menjelaskan secara detail dan memuaskan tentang reaksi berantai yang terjadi.Pada

suhu pembakaran, hidrokarbon secara cepat memisahkan diri menjadi radikal

hidrokarbon bebas.Radikal hidrokarbon bebas ini labil terhadap serangan oksigen dan

sangat reaktif. Meskipun demikian , saat ini yang banyak diterima secara umum adalah

bahwa hanya melalui rangkaian radikal aktif inilah karbon dan hidrogen didalam bahan

bakar terkonversi menjadi karbon dioksida dan air. Ada juga bukti yang meyakinkan

bahwa atom-atom dan radikal-radikal O, H, OH dan H2O terlibat didalam oksidasi

hidrogen dan juga aktif di dalam pembakaran hidrokarbon.Aldehid, walaupun juga

dalam keadaan transisi, adalah penghubung yang diperlukan didalam proses

pembakaran. Jenis radikal teroksigenasi yang membentuk aldehid dan yang terbentuk

dari mereka adalah masih menjadi bahan percobaan saat ini.

Pada keadaan yang normal , kenaikan suhu akan mempercepat penyulutan dan

laju penyelesaian pembakaran. Tungku bertemperatur tinggi dapat dioperasikan dalam

laju panas masuk yang lebih tinggi daripada tungku bertemperatur rendah dengan

ukuran yang sama. Efek pemanasan awal berguna untuk menaikkan suhu pembakaran

adiabatik.Pemanasan awal ini juga berfungsi meningkatkan suhu nyata tungku ketika

kondisi operasi lainnya telah tertinggal tidak terpakai.

Pada alat pembakaran terjadi peristiwa perpindahan panas, yang terjadi bila

terdapat perbedaan temperatur antara dua benda atau dua titik.Peristiwa perpindahan

panas dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi.

4.2 Api

Api sering disebut sebagai zat keempat, karena tidak dapat dikategorikan ke

dalam kelompok zat padat, zat cair maupun zat gas. Api disebut memiliki bentuk

plasma. Plasma adalah bentuk gas yang mana sebagian dari partikel diionisasi. Seperti

halnya gas, plasma tidak memiliki bentuk yang tetap maupun volume yang tetap,

kecuali jika dikurung dalam suatu wadah yang tetap.

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Segitiga api mengilustrasikan hubungan antara tiga elemen dasar yang diperlukan

untuk membangkitkan api. Tiga eleman dasar yang dibutuhkan untuk membangkitkan

api adalah senyawa oksigen, bahan bakar yang dapat terbakar dan mengandung energi,

serta sumber api atau sumber panas. Jika salah satu dari ketiga eleman dasar tersebut

telah habis, maka api akan padam, atau reaksi pembakaran tidak dapat dilanjutkan

dengan baik. Ketiga elemen dasar yang dapat mebangkitkan api tersebut digambarkan

di dalam sebuah segitiga, yang sangat umum dikenal sebagai segitiga api. Berikut ini

akan disajikan gambar segitiga api.

Gambar 4.1 Segitiga Api

Sumber api atau sumber panas, pada awalnya disediakan atau didapatkan dari

sumber di luar sistem pembakaran, misalnya dari korek api, kilat ketika hujan, percikan

listrik, dan sumber-sumber api lainnya. Panas yang didapatkan dari luar sistem tersebut

akan mulai memutuskan ikatan kimia di dalam bahan bakar, yang pada umumnya

merupakan senyawa organik. Pemutusan awal ikatan kimia di dalam bahan bakar

merupakan reaksi yang eksoterm atau menghasilkan energi panas. Energi panas yang

dihasilkan dari pemutusan awal tersebut akan digunakan sebagai energi untuk

pemanasan ikatan kimia berikunya di dalam bahan bakar. Api menyala ketika panas

yang dihasilkan dari pemutusan ikatan kimia di dalam bahan bakar dapat digunakan

seterusnya untuk memutuskan ikatan-ikatan kimia lain di dalam bahan bakar. Oleh

karena itu, sumber panas hanya merupakan inisiator terbenuknya api. Setelah proses

penyalaan api, sumber panas tidak lagi dibutuhkan, melainkan api dari reaksi

pembakaran akan menghasilkan panas yang dapat digunakan oleh manusia untuk

menunjang proses-proses yang akan dilakukan.

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Bahan bakar pada umumnya berupa senyawa organik. Senyawa organik

merupakan senyawa yang mengandung unsur-unsur berupa karbon (C), hidrogen (H)

dan oksigen (O). Reaksi oksidasi terhadap senyawa organik pada umumnya merupakan

reaksi pemutusan rantai ikatan pada senyawa organik. Pemutusan ikatan pada rantai

senyawa organik pada umumnya menghasilkan panas. Pada proses pembakaran,

oksigen yang berperan sebagai oksidator akan bergabung, mengikat unsur-unsur C dan

H yang putus akibat energi panas dari proses pembakaran. Api akan padam jika salah

satu dari ketiga elemen dasar tidak lagi tersedia. Prinsip segitiga api ini banyak

digunakan sebagai prinsip dasar untuk menyalakan atau memadamkan api.

4.3 LPG

LPG (Liquefied Petroleum Gas) merupakan gas alam yang dicairkan. LPG

merupakan campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam.

Komponen dari LPG didominasi oleh propana (C3H8) dan butana (C4H10), namun LPG

juga memiliki kandungan hidrokarbon lain, meskipun dalam jumlah kecil, misalnya

etana (C2H6) dan pentana (C5H12).

Dalam kondisi atmosferik, LPG memiliki bentuk gas, akan tetapi dengan

meninggikan tekanan dan menurunkan temperatur, maka gas alam akan berubah fasa

menjadi fasa cair. Gas alam dalam betuk cair memiliki volume yang jauh lebih kecil

dibandingkan dengan volume gas alam di dalam fas gas. Perbandingan volume gas

alam dalam fasa gas dibandingkan ketika berada dalam fas cair adalah 250 berbanding

1. Oleh karena itu, bahan bakar gas alam pada umumnya dipasarkan dalam bentuk cair

di dalam tabung-tabung logam bertekanan, sehingga lebih dikenal dengan sebutan

Liquefied Petroleum Gas (LPG)

Untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan

yang dikandung di dalam tabung logam, tabung LPG tidak diisi secara penuh,

melainkan hanya terisi sekitar 80-85% dari kapasitasnya

Tekanan di mana LPG berbentuk cair dinamakan sebagai tekanan uap. Tekana

uap dari LPG bergantung pada komposisi dan temperatur. Butana murni membutuhkan

tekanan sekitar 2.2 bar (220 kPa) pada temperatur 20 °C. Propana murni membutuhkan

tekanan sekitar 2 bar (200 kPa) pada suhu sekitar 55 °C

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Untuk LPG, proses pembakaran ini merupakan reaksi antara hidrokarbon

(propana dan butana) dengan oksigen. Reaksi yang terjadi pada proses pembakaran

sempurna LPG adalah :

C3H8 + 5 O2 4 H2O + 3 CO2

2 C4H10 + 13 O2 5 H2O + 8 CO2

Sifat-sifat utama LPG akan diuraikan sebagai berikut :

• Bahan bakar gas alam sangat mudah terbakar, baik dalam fasa gas mupun dalam fasa

cair.

• Gas tidak beracun dan tidak berwarna

• LPG sebenarnya tidak memiliki bau, namun sering ditambahakn zat kimia berbau

menyengat dengan tujuan dapat terdeteksi dengan cepat apabila terjadi kebocoran. Zat

kimia yang berbau menyengat adalah gas merkaptan

• Cairan LPG dapat menguap jika dilepaskan dari tabung bertekanan

4.4 Perpindahan Panas

Untuk mendapatkan panas dari reaksi pembakaran, maka disiplin ilmu mengenai

perpindahan panas perlu dikuasai dengan baik. Ada tiga jenis mekanisme perpindahan

panas, yaitu : konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi merupakan peristiwa

perpindahan panas yang tidak melibatkan pergerakan media perantaranya. Konveksi

merupakan metode perpindahan panas yang disertai dengan perpindahan media

perambatan panasna. Radiasi merupakan mekanisme perpindahan panas yang tidak

memerlukan media perambatan panas.

Pada percobaan pembakaran, panas yang dihasilkan dari reaksi pembakaran akan

diserap oleh air pendingin maupun gas buang. Gas buang akan menerima panas dari

pembakaran secara radiasi. Sedangkan air akan menerima panas melalui beberapa

mekanisme perpindahan panas. Pertama kali, panas akan merambat melaui dinding

pembatas antara api dan air pendingin secara konduksi. Kemudian panas akan

berpindah secara konveksi melalui lapisan air. Panas akan ditransmisikan kemudian

melalui dinding pembatas luar secara konduksi. Dinding pembatas luar akan melepas

panas ke udara di sekitarnya dengan metode konveksi alami.

Kualitas perpindahan panas akan meningkat seiring bertambahnya luas

perpindahan panas. Driving force dari proses perpindahan panas adalah perbedaan

temperatur. Semakin tinggi perbedaan temperatur, semakin tinggi driving force

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

perpindahan panas, yang mengakibatkan semakin banyaknya panas yang dipindahkan.

Perpindahan panas secara konveksi akan dipengaruhi pula oleh sebuah koefisien

perpindahan panas yang spesifk untuk masing-masing media atau cara perpindahan

panas.

4.5 Orifice Meter

Orifice meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur laju alir fluida.Orifice

meter biasanya diapasang di pipa tempat fluida mengalir.Orifice meter sebenernya

adalah sebuah piringan tipis yang memiliki lubang di tengahnya untuk tempat

mengalirnya fluida.

Prinsip kerja orifice meter sama dengan venturi meter. Pada orifice meter

dipasang plat yang berlubang. Perubahan luas penampang aliran fluida akan

menyebabkan penurunan tekanan.Orifice meter menggunakan prinsip Bernoulli untuk

mengukur laju alir fluida. Orifice meter memanfaatkan hubungan antara beda tekan

dengan laju alir fluida. Oleh karena itu, biasanya instalasi orifice meter dilengkapi juga

dengan manometer. Jarak instalasi manometer dari plat orifice tergantung pada

diameter lubang pada plat orifis tersebut.

Fluida yang mengalir melalui pipa memiliki tekanan dan kecepatan

tertentu.Ketika fluida melewati orifice meter, aliran fluida dipaksa untuk berkontraksi

sehingga timbul perbedaan tekanan pada fluida.Bagian tempat mengecilnya aliran

fluida disebut vena contracta.Karena aliran fluida dipaksa untuk berkontraksi tiba-tiba,

terjadi perubahan pada kecepatan dan tekanan pada fluida. Setelah melewati bagian

vena contracta, fluida akan mengalami ekspansi dan tekanan serta kecepatan fluida

akan berubah kembali.

Perbedaan tekanan fluida pada bagian pipa sebelum vena contracta serta pada

vena contracta inilah yang diukur pada manometer. Dengan diketahuinya beda tekan

pada fluida, kecepatan fluida dapat diketahui dari penurunan persamaan Bernoulli.

Beda tekan pada fluida berbanding lurus dengan kuadratik laju alir volumetrik fluida.

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Gambar 4.2 Orifice meter

Sama dengan venturi meter, dengan menerapkan persamaan Bernoulli dan kontinuitas

pada titik 1 dan 2 maka akan didapatkan :

Vb = Cv

dengan Cv adalah coefficient of discharge yang nilainya dapat ditentukan melalui

grafik.

4.6 Rotameter

Rotameter adalah alat yang digunakan untuk mengukur laju alir fluida.Rotameter

biasanya terbuat dari tabung yang berbentuk kerucut, biasanya terbuat dari gelas, dan

sebuah bola yang dapat mengambang di dalam tabung.

Bola di dalam tabung dapat mengapung karena adanya gaya apung yang

diciptakan oleh fluida yang mengalir dari bawah. Selain itu, bola juga mendapat gaya

gravitasi. Kedua gaya ini menyebabkan bola dalam keadaan kesetimbangan untuk

setiap laju alir fluida tertentu. Untuk laju alir fluida yang lebih besar, dibutuhkan area

yang lebih antara bola dan dinding tabung untuk mengakomodasi aliran fluida,

sehingga bola akan mengapung. Karena alasan ini pula lah tabung dibuat berbentuk

kerucut. Apabila tabung berbentuk lurus, ketika laju alir fluida ditingkatkan akan terjadi

peningkatan tekanan di dalam tabung rotameter.

Bola di dalam rotameter biasanya berbentuk bulat atau elipsoidal.Bola ini

dirancang agar dapat berputar ke arah aksial.Perputaran bola ini bisa menjadi indikator

21

2

2

)1(

)(2

⎥⎥⎥⎥

⎢⎢⎢⎢

a

b

ab

AA

PP

ρ

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

apakah bola tersangkut di dalam dinding rotameter.Apabila bola tidak berputar, berarti

bola tersangkut di dalam dinding rotameter.Rotameter merupakan alat ukur laju fluida

yang memiliki pressure difference yang tetap. Prinsip kerjanya rotameter adalah dengan

memanfaatkan gaya apung benda padat (solid) dalam aliran fluida. Seperti yang terlihat

pada gambar.

Gambar 4.3 Rotameter

Bila bola pada keadaan setimbang, maka :

0 = Fgravity + Fpressure above – Fbuoyancy – Fpressure below

0 =

(9)

Dari persamaan Bernoulli didapatkan :

(10)

Tapi nilai (A2/A1)2 umumnya sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Bila persamaan (2)

disubtitusikan pada (1) maka akan didapat :

V2 = (11)

Sumber : Noel de Nevers “Fluid Mechanics for Chemical Engineering”

301

3003

30 66

DPgDDPgD fb πρππρπ−−+

)()(6 31

20

30 PPDgD fb −=− πρρπ

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛−=− 2

1

22

22

21

22

21 1222 A

AVVVPP ρρ

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −

F

FBgDρρρ

30

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Kita akan mendapatkan untuk diameter bola apung yang tetap, rapat massa bola

dan fluida yang tetap, hanya terdapat satu nilai V2 yang mungkin agar bola mengapung.

Syarat sebagai benda apung pada rotameter adalah memiliki satu titik dimana luas

bidangnya paling luas.

4.7 Termokopel

Prinsip kerja termokopel adalah dengan menghubungkan dua logam yang

memiliki konduktivitas yang berbeda menjadi sebuah sirkuit. Konduktivitas yang

berbeda akan menyebabkan perbedaan laju aliran panas. Bila kedua sambungan

(junction) logam tersebut memiliki perbedaan temperatur maka akan timbul tegangan

yang proporsional terhadap temperatur. Dengan mengukur tegangan yang timbul, dapat

diketahui berapa perbedaan temperatur. Biasanya salah satu junction akan ditempatkan

pada temperatur referensi. Rentang (Range) suhu yang dapat diukur tergantung dari

jenis logam yang dipakai. Rentang pengukuran tersebut yang membedakan satu jenis

termokopel dengan jenis lainnya. Kemampuan logam yang digunakan sebagai

termokopel tergantung dari titik leleh logam yang bersangkutan.

Termokopel memanfaatkan peristiwa efek termoelektrik untuk mengukur

perbedaan temperatur. Efek termoelektrik adalah peristiwa ketika sebuah konduktor

yang diberikan perbedaan panas secara gradien akan menghasilkan tegangan listrik.

Pada termokopel, untuk mengukur perubahan temperatur digunakan gabungan dari dua

jenis termokopel yang memiliki konduktivitas panas berbeda.

Termokopel hanya dapat mengukur perbedaan temperatur dari dua titik yang

berbeda.Termokopel tidak dapat mengukur temperatur absolut suatu benda.Pada

termokopel, salah satu sambungan (sambungan yang dingin) logam ditempelkan ke satu

benda yang sudah diketahui temperaturnya, sehingga tegangan listrik yang muncul pada

sambungan itu sudah diketahui sebelumnya. Tegangan ini yang kemudian akan

digunakan sebagai faktor koreksi untuk pengukuran suhu pada sambungan yang lain

(sambungan yang panas).

Sambungan lain dari konduktor (sambungan panas) akan dihubungkan ke benda

yang akan diukur temperaturnya sehingga akan muncul tegangan listrik. Tegangan ini

kemudian yang akan diukur lalu dikoreksi dengan faktor koreksi yang diketahui dari

nilai tegangan listris di sambungan yan dingin. Sehingga dapat diketahui perbedaan

temperatur kedua sambungan tersebut.

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Berikut ini meupakan tipe-yipe termokopel:

• Tipe K (Chromel (Ni-Cr alloy) / Alumel (Ni-Al alloy))

Termokopel untuk tujuan umum. Lebih murah. Tersedia untuk rentang suhu −200 °C

hingga +1200 °C.

• Tipe E (Chromel / Constantan (Cu-Ni alloy))

Tipe E memiliki output yang besar (68 µV/°C) membuatnya cocok digunakan pada

temperatur rendah. Properti lainnya tipe E adalah tipe non magnetik.

• Tipe J (Iron / Constantan)

Rentangnya terbatas (−40 hingga +750 °C) membuatnya kurang populer dibanding tipe

K

Tipe J memiliki sensitivitas sekitar ~52 µV/°C

• Tipe N (Nicrosil (Ni-Cr-Si alloy) / Nisil (Ni-Si alloy))

Stabil dan tahanan yang tinggi terhadap oksidasi membuat tipe N cocok untuk

pengukuran suhu yang tinggi tanpa platinum. Dapat mengukur suhu di atas 1200 °C.

Sensitifitasnya sekitar 39 µV/°C pada 900°C, sedikit di bawah tipe K. Tipe N

merupakan perbaikan tipe K

Termokopel tipe B, R, dan S adalah termokopel logam mulia yang memiliki

karakteristik yang hampir sama. Mereka adalah termokopel yang paling stabil, tetapi

karena sensitifitasnya rendah (sekitar 10 µV/°C) mereka biasanya hanya digunakan

untuk mengukur temperatur tinggi (>300 °C).

• Type B (Platinum-Rhodium/Pt-Rh)

Cocok mengukur suhu di atas 1800 °C. Tipe B memberi output yang sama pada suhu

0°C hingga 42°C sehingga tidak dapat dipakai di bawah suhu 50°C.

• Type R (Platinum /Platinum with 7% Rhodium)

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Cocok mengukur suhu di atas 1600 °C. sensitivitas rendah (10 µV/°C) dan biaya tinggi

membuat mereka tidak cocok dipakai untuk tujuan umum.

• Type S (Platinum /Platinum with 10% Rhodium)

Cocok mengukur suhu di atas 1600 °C. sensitivitas rendah (10 µV/°C) dan biaya tinggi

membuat mereka tidak cocok dipakai untuk tujuan umum.Karena stabilitasnya yang

tinggi Tipe S digunakan untuk standar pengukuran titik leleh emas (1064.43 °C).

• Type T (Copper / Constantan)

Cocok untuk pengukuran antara −200 to 350 °C. Konduktor positif terbuat dari

tembaga, dan yang negatif terbuat dari constantan.Sering dipakai sebagai alat pengukur

alternatif sejak penelitian kawat tembaga. Type T memiliki sensitifitas ~43 µV/°C

Berikut ini merupakan skema penyambungan kawat dalam termokopel sederhana:

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

Gambar 4.4 Skema Termokopel

Tipe termokopel yang berbeda akan memiliki pembacaan temperatur sebagai

fungsi dari tegangan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan tipe termokopel yang

berbeda dibuat dari tipe logam yang berbeda, sehingga memiliki konduktivitas yang

berbeda-beda. Berikut ini merupakan contoh grafik yang menunjukkan hubungan

antara tegangan dan temperatur menurut persamaan seebeck

Gambar 4.5 Hubungan antara beda tegangan dengan temperatur pada termokopel.

Ade Rahma (13007005), Dwinta Widyastuti (13007016), Carlos Jonathan (13007021), Stephanie Liana (13007024), Neysa Khumaira (13007036), Junior Setiawan (13007054), Arifin (13007059), Anthony (13007060), Harris Gocciardi 

(13007061), Yohanes Eka (13007081), Marilyn (13007093), Rusnang S. (13007105)  

V. Rancangan Percobaan

V.1 Alat dan Bahan

V.1.1 Perangkat dan alat ukur

‐ Seperangkat alat pembakaran

‐ Termometer

‐ Gelas Reducing valve gas

‐ Tabung LPG

‐ Termokopel

‐ Stopwatch

‐ Ukur

V.1.2 Bahan/zat kimia

‐ Air

‐ LPG

Panduan Pelaksanaan Labolatorium Instruksional I/II

V.2 Prosedur Awal Percobaan

V.2.1 Kalibrasi Alat

V.2.1.1 Kalibrasi Orificemeter

Kalibrasi alat ini dilakukan dengan menghubungkannya

dengan wet test meter. Setelah dihubungkan udara dialirkan ke

dalam orificemeter hingga ketinggian fluida pada pipa U

berubah. Amati ketinggiannya dan catat skala pada wet test

meter serta waktu yang dibutuhkan untuk sejumlah volume

fluida untuk masuk ke dalam pipa U. Buat kurva pengukuran

wet test meter terhadap orificemeter.

V.2.1.2 Kalibrasi Rotameter

Rekalibrasi rotameter dilakukan dengan mengalirkan

sejumlah tertentu air lalu dihitung waktu yang dibutuhkan

untuk mencapai volume air tersebut kemudian dilihat bacaan

skala yang ada di rotameter. Bacaan rotameter dan laju alir

nyata lalu di plot pada grafik dan diregresi liner dengan

intercept 0 sehingga akan didapat persamaan kalibrasi

rotameter.

V.2.2 Pengukuran Temperatur

Pengukuran temperatur dilakukan terhadap temperatur

gas exhaust, air masuk, dan air keluar. Temperatur gas exhaust

diukur dengan menggunakan termokopel sedangkan temperatur

air masuk dan keluar menggunakan alat ukur yang sudah

tersedia pada alat pembakaran yang digunakan.

Panduan Pelaksanaan Labolatorium Instruksional I/II

V.3 Diagram Alir Percobaan

V.4 Variasi Percobaan

Percobaan ini dilakukan dengan memvariasikan 2 variabel, laju

alir gas serta laju alir udara. Sedangkan laju alir air dibuat tetap. Akan

dilakukan lima (5) variasi laju alir gas. Setiap variasi laju alir gas

memiliki 5 (lima) variasi laju alir udara. Hal ini dilakukan dengan

tujuan untuk mendapatkan pengaruh laju alir udara terhadap

pembakaran yang beralngsung untuk laju alir gas tertentu.

Start

Alat dan bahan dipersiapkan

Air dialirkan ke dalam Udara dialirkan ke dalam LPG dialirkan ke dalam

Temperatur dan laju alir Temperatur dan laju alir Temperatur dan laju alir

Temperatur dan laju alir gas buang

Komposisi gas buang dihitung

Keadaan flame diamati

Selesa

Panduan Pelaksanaan Labolatorium Instruksional I/II

V.5 Contoh Lembar Data

V.5.1 Kalibrasi Orificemeter

No. Bacaan Wet Test Meter

Volume (mL) Waktu (s)

V.5.2 Kalibrasi Rotameter

No. Bacaan Rotameter Volume (mL) Waktu (s)

V.5.3 Pembakaran

Run Laju Alir

LPG

Laju alir

udara

Laju alir

air

Tair,in

(oC)

Tair,out

(oC)

Tgas buang

dengan

radiasi (oC)

Tgas buang

tanpa radiasi

(oC)

Kondisi

Flame

Panduan Pelaksanaan Labolatorium Instruksional I/II

V.6 Contoh Perhitungan

V.6.1 Kalibrasi Orificemeter

Alurkan grafik laju alir nyata terhadap skala terbaca pada wet test

meter.

; m = gradien

V.6.2 Kalibrasi Rotameter

Hasil pengamatan pada bacaan rotameter dibuat kurva

kalibrasi dengan sumbu x sebagai skala rotameter dan sumbu y

sebagai besar laju alir nyata. Titik-titik yang diperoleh diregresi

linear hingga diperoleh persamaan garis yang melambangkan

hubungan skala rotameter dengan besar laju alir nyata:

y = m .x

; m = gradien

V.6.3 Perhitungan Kalor yang Hilang

V.6.3.1 Neraca Energi Total

, , ,

,

,

, , , ,

V.6.3.2 Kalor masing-masing peristiwa

Untuk Qin

, ,

Panduan Pelaksanaan Labolatorium Instruksional I/II

, , 0,21 0,79

, ,

Untuk Qout

, ,

V.6.2.4 Efisiensi Pembakaran

100%

Daftar Pustaka

Geankoplis, Christie J.. 1993. Transport Process and Unit Operations. New

Jersey: Prentice Hall.

Perry, Robert H.. 1984. Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, 4th

edition. Singapore: McGraw Hill.