mielitis transversalis

26
BAB I PENDAHULUAN Mielitis transversalis (MT) merupakan proses inflamasi akut yang mengenai suatu area di medulla spinalis. Penyakit ini secara klinis mempunyai karakteristik tanda dan gejala disfungsi neurologis pada sistem motorik, sensorik, otonom, dan traktus saraf di medulla spinalis yang berkembang secara akut atau subakut. Gejala dapat berkembang secara cepat dalam beberapa menit sampai beberapa jam pada beberapa pasien, atau dapat berkembang dalam beberapa hari sampai minggu. Ketika level maksimal dari defisit neurologis telah tercapai, sekitar 50% pasien kehilangan pergerakan pada kedua tungkai, disfungsi kandung kemih, dan 80-94% pasien mengalami kebas-kebas, parestesia atau band-like disestesia. Gejala otonom terdiri dari inkontinensia urin, inkontinensia alvi, kesulitan untuk miksi, dan konstipasi. 1 MT merupakan penyakit yang jarang dengan insidensi 1-4 kasus baru per 1 juta penduduk per tahun. MT dapat mengenai individu pada semua umur (6 bulan-88 tahun) dengan insidensi tertinggi antara umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Tidak ada faktor jenis kelamin atau keluarga sebagai faktor predisposisi MT. 1 1

Upload: okri-pernando

Post on 28-Jan-2016

38 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

neurologi

TRANSCRIPT

Page 1: mielitis transversalis

BAB I

PENDAHULUAN

Mielitis transversalis (MT) merupakan proses inflamasi akut yang

mengenai suatu area di medulla spinalis. Penyakit ini secara klinis mempunyai

karakteristik tanda dan gejala disfungsi neurologis pada sistem motorik, sensorik,

otonom, dan traktus saraf di medulla spinalis yang berkembang secara akut atau

subakut. Gejala dapat berkembang secara cepat dalam beberapa menit sampai

beberapa jam pada beberapa pasien, atau dapat berkembang dalam beberapa hari

sampai minggu. Ketika level maksimal dari defisit neurologis telah tercapai,

sekitar 50% pasien kehilangan pergerakan pada kedua tungkai, disfungsi kandung

kemih, dan 80-94% pasien mengalami kebas-kebas, parestesia atau band-like

disestesia. Gejala otonom terdiri dari inkontinensia urin, inkontinensia alvi,

kesulitan untuk miksi, dan konstipasi.1

MT merupakan penyakit yang jarang dengan insidensi 1-4 kasus baru per

1 juta penduduk per tahun. MT dapat mengenai individu pada semua umur

(6 bulan-88 tahun) dengan insidensi tertinggi antara umur 10-19 tahun dan 30-39

tahun. Tidak ada faktor jenis kelamin atau keluarga sebagai faktor predisposisi

MT.1

Sekitar 1/3 pasien MT sembuh dengan sedikit sampai tidak ada sekuele

setelah serangan pertama, 1/3 pasien sembuh dengan disabilitas permanen derajat

sedang, dan 1/3 lainnya tidak mengalami penyembuhan dan mengalami disabilitas

berat.1

Beberapa tampilan klinis seperti progresi cepat dari gejala klinis, adanya

nyeri punggung bawah, dan adanya syok spinal menjadi indikator prognosis yang

buruk untuk kesembuhan. Hilangnya konduksi sentral pada evoked potential

testing dan terdapatnya protein 14-3-3 di dalam CCS selama fase akut juga

diprediksikan memiliki prognosis yang buruk.1

1

Page 2: mielitis transversalis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang

mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya

perkembangan akut ataupun sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis

pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis.

Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus,

traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior.2,3

Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris

mengenalkan terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap

suatu kasus komplikasi mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse

menggambarkan secara klinis adanya band-like area horizontal perubahan sensasi

di daerah leher atau toraks. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena

inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis. Inflamasi

berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial

menimbulkan kerusakan.2

2.2. Anatomi Medulla Spinalis

Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris

memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas

(C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis

akan berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang

medulla spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla spinalis dibungkus oleh

duramater, arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah

mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak

refleks.4

Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :

1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit

2. Serabut saraf sensorik : mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-

sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi

kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis

2

Page 3: mielitis transversalis

3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung

menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis

4. sel saraf motorik ; dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima

dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik

5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls

saraf motorik

6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada

daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis

beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada

kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rectum

Gambar 1. medulla spinalis

3

Page 4: mielitis transversalis

Gambar 2. anatomi medulla spinalis

2.3. Epidemiologi

Mielitis transversalis adalah suatu sindrom yang jarang dengan insiden

antara satu sampai delapan kasus baru setiap satu juta penduduk pertahun.

Meskipun gangguan ini dapat terjadi pada umur berapapun, kasus terbanyak

terjadi pada umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Insidensi meningkat sebanyak

24,6 juta kasus per tahunnya jika penyebabnya merupakan proses demielinisasi

yang didapat, khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari

myelitis transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat penyakit

dalam keluarga.2,5

4

Page 5: mielitis transversalis

2.4. Etiologi

Etiologi MT merupakan gabungan dari beberapa faktor. Namun, pada

beberapa kasus, sindroma klinis MT merupakan hasil dari rusaknya jaringan saraf

yang disebabkan oleh agen infeksius atau oleh sistem imun, ataupun keduanya.

Pada beberapa kasus lainnya, MT disebabkan oleh infeksi mikroba langsung pada

SSP. 30-60% pasien MT dilaporkan menderita infeksi dalam 3-8 minggu

sebelumnya dan bukti serologis infeksi akut oleh rubella, campak, infeksi

mononucleosis, influenza, enterovirus, mikoplasma atau hepatitis A, B, dan C.

Patogen lainnya yaitu virus herpes (CMV, VZV, HSV1, HSV2, HHV6, EBV),

HTLV-1, HIV-1 yang langsung menginfeksi medulla spinalis dan menimbulkan

gejala klinis MT. Borrelia burgdorferi (Lyme neuroborreliosis) dan Treponema

pallidum (sifilis) juga dikaitkan dengan infeksi langsung SSP dan MT.1

MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES.

Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan

dengan gejala LES yang aktif.1

2.5. Patogenesis

Mielitis transversalis akut post-vaksinasi

Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat

dengan demielinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuclear, terutama limfosit T

pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi

sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior

horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses

autoimun yang berkembang menjadi MT.6

MTA Parainfeksi

Sebanyak 30-60% kasus idiopatik myelitis transversalis, terdapat adanya keluhan

respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata “parainfeksi”

telah digunakan untuk injuri neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba

langsung dan injuri yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung

dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan

diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes

telah dikaitkan dengan myelitis, dan mungkin menjadi penyebab infeksi langsung

terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya, seperti Listeria

5

Page 6: mielitis transversalis

monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla spinalis. Dengan

menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi yang

kaya system imun, menghindari system imun yang berada pada organ lainnya.

Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu focus

area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT.6

Mimikri molekuler

Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf

sengat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi Campilobakter jejuni

dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS.

Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti

GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid

manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam

selubung luar lipopolisakarida. Antibody yang bereaksi dengan gangliosid C.

jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan dengan

saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri

molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan autoantibody sebagai

respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya.6

Microbial superantigen-mediated inflammation

Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu

dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen

merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi

sistem imun, dan berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi.

Superantigen yang telah diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I,

toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen

mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen

konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen

dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan. Dengan adanya

ssperbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20% limfosit yang

bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu, superantigen

sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang

menyebabkan terbentuknya “lubang” pada limfosit T selama beberapa saat setelah

aktivasi.6

6

Page 7: mielitis transversalis

Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun

dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan

ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang

menunjukkan adanya paparan superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang

diaktivasi oleh superantigen memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan

dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen

yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen.

Pada manusia, pasien dengan ensefalomyelitis diseminata akut dan mielopati

nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang

menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin.6

Abnormalitas Humoral

Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral,

dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-sel”.

Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari

sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla spinalis.

Antibody yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di

suatu area di medulla spinalis.6

2.6. Manifestasi Klinis

Mielitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama

dengan penyakit lain. Mielitis transversalis dikatakan akut bila tanda dan gejala

berkembang dalam hitungan jam sampai beberapa hari, sedangkan sub akut gejala

klinis berkembang lebih dari 1–2 minggu. Simptom myelitis transversalis

berkembang cepat dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Sekitar 45%

pasien mengalami perburukan secara maksimal dalam 24 jam.2

Diagnostik pada penderita ini ditandai dengan karakteristik secara klinis

berkembangnya tanda dan gejala dari disfungsi neurologi pada saraf motorik,

sensoris dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis baik akut maupun

subakut. Inflamasi di dalam medula spinalis memutus jaras-jaras ini dan

menyebabkan hadirnya simptom umum dari myelitis transversalis.2

Kelemahan digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif

cepat, dimulai dari kaki dan sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan

tangan. Kelemahan mungkin yang pertama dicatat dengan adanya tanda gambaran

7

Page 8: mielitis transversalis

keterlibatan traktus piramidal yang berlangsung perlahan-lahan pada minggu

kedua setelah OS sakit.2

Keterlibatan level sensoris dapat ditemukan hampir pada semua kasus.

Nyeri dapat timbul pada punggung, ekstremitas atau perut. Parastesia merupakan

tanda awal yang paling umum myelitis transversalis pada orang dewasa dan tidak

pada anak-anak. Sensasi berkurang di bawah level keterlibatan medula spinalis

pada sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan suhu.2

Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency,

inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang

tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat

keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari

80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam 10

hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis

bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari.2

2.7. Diagnosis

Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat

dilihat pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan

tidak ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang

berhubungan dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan

pasien juga memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria

ekslusi.7

Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis

Inclusion criteria

1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction

attributable to the spinal cord

2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)

3) Clearly-defined sensory level

4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging

(MRI or myelography; CT of spine not adequate)

5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF

pleocytosis or elevated IgG index or gadolinium enhancement. If

none of the inflammatory kriteria is met at symptom onset, repeat

MRI and LP evaluation between 2 and 7 days after symptom onset

8

Page 9: mielitis transversalis

meets kriteria

6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of

symptoms (if patient awakens with symptoms, symptoms must

become more pronounced from point of awakening)

Exclusion criteria

1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years

2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis

of the anterior spinal artery

3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent

with AVM

4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease

(sarcoidosis, Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed

connective tissue disorder, etc.)a

5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1,

mycoplasma, other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV,

CMV, HHV-6, enteroviruses)a

(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa

(b) History of clinically apparent optic neuritisa

AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus; HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse myelitis.

2.8. Diagnosis Banding

Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis

Inflamasi Non-Inflamasi

Kompresi

Osteofit

Diskus

Metastasis

trauma

Penyakit Demielinisasi

sklerosis multiple

optik neuromyelitis

ensefalomyelitis diseminata

akut

myelitis transversalis akut

9

Page 10: mielitis transversalis

idiopatik

Tumor Infeksi

Virus: coxsackie, mumps,

varicella, CMV

Tuberculosis

Mikoplasma

Sindrom Paraneolastik Penyakit inflamasi

Lupus eritematosus

sistemik

Neurosarkoidosis

2.9. Pemeriksaan Penunjang

MRI

Evaluasi awal untuk pasien myelopati harus dapat menentukan apakah ada

penyebab structural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor,

atau spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium

harus dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi.7

CT-myelografi

Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan

struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternative selanjutnya, tetapi

pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis.7

Punksi Lumbal

Jika tidak terdapat penyebab structural, punksi lumbal merupakan

pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan myelopati

inflamasi ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis,

protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa.7

Kultur CSF, PCR, titer antibody

Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik

konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromise (AIDS atau

penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi

terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis

zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus

10

Page 11: mielitis transversalis

seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer

antibody harus dilakukan.7

Pemeriksaan Lainnya

Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit

inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES,

sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini,

pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A

(Ro), SS-B (La), antibody antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-

glikoprotein, dan level komplemen.7

Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis TransversalisKemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang

Infeksi Serologi darah; kultur, serologi,

dan PCR CSF; Foto Thorax dan

pemeriksaan imaging lainnya

dengan indikasi

Autoimun Sistemik atau Penyakit

Inflamasi

Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan

serologi; Foto Thorax dan Sendi;

pemeriksaan imaging lainnya

dengan indikasi

Paraneoplastik Foto Thorax, CT scan, PET;

antibody paraneoplastik serum

dan CSF

Acquired CNS Demyelinating

Disease (sklerosis multiple, optic

neuromyelitis)

MRI otak dengan kontras

gadolinium; CSF rutin;

pemeriksaan visual evoked

potential; serum NMO-IgG

Post infeksi atau post vaksinasi Anamnesis riwayat infeksi dan

vaksinasi sebelumnya; konfirmasi

serologi adanya infeksi; eksklusi

penyebab lain

11

Page 12: mielitis transversalis

Gambar 2.1. Alur Diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut

2.10. PenatalaksanaanImmunoterapi inisial

Tujuan terapi selama fase akut myelitis adalah untuk menghambat progresivitas

dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat

mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini

pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit.

Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya

selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada

kasus pasien myelitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Efek yang

12

Page 13: mielitis transversalis

tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia,

nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan

elektrolit.5

Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon

dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,

trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan

infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini.5

Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi

sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan

fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan

siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demielinisasi, imunomodulator

long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko

serangan berulang.5

Respirasi dan Oropharyngeal Support

Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis

servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular

dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit.

Dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah

memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi

paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien.

Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan

pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube

diperlukan atau tidak.5

Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi

Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk thrombosis

vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi yang

sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas

kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis

harus dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai

secepatnya. Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-aminopyridine

oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien

berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan memperpanjang

13

Page 14: mielitis transversalis

durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek agen ini pada

pasien myelitis transversalis belum diteliti secara khusus.5

Abnormalitas Tonus

Myelitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock), tetapi

biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas

tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas

merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusif, memerlukan

terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti

bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan

spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis.5

Nyeri

Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan

myelitis dan dapat disebabkan oleh injuri langsung pada saraf (nyeri neuropatik),

factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau

kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen

antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake

inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik.5

Malaise

Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi

terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan myelitis. Data dari randomized

controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat

multiple sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan.

Stimulant seperti dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk

terapi malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode myelitis, tetapi

manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan myelitis belum pernah diteliti

dengan randomized, controlled trials.5

Disfungsi Usus dan Genitourinari

Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama myelitis transversalis pada fase

akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya

muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan

persepsi spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian

14

Page 15: mielitis transversalis

antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk

memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan

retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi

urin. Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik dapat membantu relaksasi

sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter,

tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan

kandung kemih.5

Pada fase akut dan kronik myelitis transversalis, disfungsi usus dicirikan

dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada

beberapa kasus inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman

usus untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi.5

Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari myelitis

transversalis. Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan

berkurangnya kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia.5

Konsultasi Psikiater

Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada

pasien myelitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti

nyeri dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai

terapi tunggal atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog.5

2.11. Prognosis

Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien

menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan

mungkin terjadi cepat selama 3–6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut

walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita

ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi.2

BAB III

KESIMPULAN

Myelitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang

mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya

perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis

pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis.

15

Page 16: mielitis transversalis

Etiologi MT merupakan gabungan dari beberapa faktor. Namun, pada

beberapa kasus, sindroma klinis MT merupakan hasil dari rusaknya jaringan saraf

yang disebabkan oleh agen infeksius atau oleh sistem imun, ataupun keduanya1.

Gejala dapat berkembang secara cepat dalam beberapa menit sampai beberapa

jam pada beberapa pasien, atau dapat berkembang dalam beberapa hari sampai

minggu. Ketika level maksimal dari deficit neurologis telah tercapai, sekitar 50%

pasien kehilangan pergerakan pada kedua tungkai, disfungsi kandung kemih, dan

80-94% pasien mengalami kebas-kebas, parestesia atau band-like disestesia.

Gejala otonom terdiri dari inkontinensia urin, inkontinensia alvi, kesulitan untuk

miksi, dan konstipasi.

Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien

mengalami perbaikan parsial atau komplit. Kebanyakan pasien menunjukkan

pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat

selama 3–6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung

dengan lebih lambat sampai 2 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kerr, D, 2001. Current Therapy in Neurologic Disease: Transverse Myelitis.

6th ed.

2. Tapiheru LA, Sinurat PPO, Rintawan K. 2007. Laporan Kasus: Myelitis

Transversalis. Majalah Kedokteran Nusantara 2007;40;e235

16

Page 17: mielitis transversalis

3. Al Deeb SM, Yaqub BA, Bruyn GW, Biary NM. 1997. Acute Transverse

Myelitis: A Localized Form of Postinfectious Encephalomyelitis. Brain 1997;

120; 1115-1122

4. Gray H. Anatomy of The Human Body (The Spinal Cord or Medulla

Spinalis). Available from : http://www.bartleby.com/107/185.html

5. Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Myelitis. The New England

Journal of Medicine 2010;363:564-72.

6. Kerr DA, Ayetey H. 2002. Immunopathogenesis of Acute Transverse

Myelitis. Current Opinion in Neurology 2002, 15:339±347

7. Transverse Myelitis Consortium Working Group. 2002. Proposed Diagnostic

criteria and Nosology of Acute Transverse Myelitis. Neurology 2002; 59; 499-

505.

8. Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute

Transverse Myelitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120.

17