microsoft word - laporan penelitian pasar tradisional makassar

47
Dokumen: Active Society Institute (AcSI) Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar LAPORA PEELITIA “STUDI ETOGRAFI DA OBSERVASI PASAR- PASAR LOKAL DI TEGAH PERTUMBUHA PUSAT PERBELAJAA DA TOKO MODERE DI KOTA MAKASSAR” Tujuan Penelitian: Menuju perlindungan dan pemberdayaan pasar lokal dan penataan pusat perbelanjaan dan toko moderen yang adil dan berkelanjutan Dipersiapakan oleh: Sebagai masukan untuk: Pemerintah Kota Makassar Dewan Perwakilan Kota Makassar Dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Lokal dan Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Moderen 2009

Upload: ishak-salim

Post on 25-Jun-2015

4.843 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

LAPORA� PE�ELITIA�

“STUDI ET�OGRAFI DA� OBSERVASI PASAR-

PASAR LOKAL DI TE�GAH PERTUMBUHA�

PUSAT PERBELA�JAA� DA� TOKO MODERE�

DI KOTA MAKASSAR”

Tujuan Penelitian:

Menuju perlindungan dan pemberdayaan pasar lokal dan

penataan pusat perbelanjaan dan toko moderen yang adil

dan berkelanjutan

Dipersiapakan oleh:

Sebagai masukan untuk:

Pemerintah Kota Makassar

Dewan Perwakilan Kota Makassar

Dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan,

Pemberdayaan Pasar Lokal dan

Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Moderen

2009

Page 2: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

DAFTAR ISI

BAB I PE�DAHULUA�

A. Pengantar

B. Konteks Makro dari Permasalahan

C. Perkembangan Upaya Penanganan Permasalahan

D. Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II PERMASALAHA� YA�G HE�DAK DITA�GA�I

A. Hakikat dan Ruang Lingkup Permasalahan

B. Pelaku dan Perilaku yang Bermasalah

C. Dampak Sosial-Ekonomi dari Permasalahan

D. Pengalaman �egara/Daerah Lain

BAB III A�ALISA ATAS PE�YEBAB PERILAKU BERMASALAH

A. Pengantar

B. Analisa atas Penyebab Perilaku

1. Pelaku Peran

2. Lembaga Pelaksana

C. Kesimpulan Singkat

Bab IV SOLUSI

A. Alternatif-alternatif Solusi

B. Solusi Pilihan

Page 3: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

BAB I

PE�DAHULUA�

A. Pengantar

Kesejahteraan rakyat adalah tujuan dari berfungsinya sebuah Negara. Tanpa tujuan

kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di dalamnya maka arah perkembangan suatu

Negara dapat diprediksikan akan rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu

yang bertujuan untuk memonopoli kesejahteraan untuk dirinya, kelompoknya,

ataupun kalangan tertentu dalam jaringannya.

Untuk itu, sebuah Negara yang di dalamnya pemerintah menjadi regulator memiliki

peran sangat mendasar dalam menentukan arah kepemerintahan. Hal ini khususnya

menghindari adanya celah bagi pihak lain atau bahkan aktor dalam pemerintahan

sendiri untuk masuk dan menyalahgunakan peran yang dimilikinya.Bila hal ini

terjadi maka, secara politik, Negara akan lemah karena intervensi kekuatan politik di

luar dirinya yang melemahkan posisi Negara vis a vis dengan kekuatan lain di luar

dirinya dan secara ekonomi kekuatan modal luar menggerogoti sumberdaya alam dan

manusia yang dimiliki oleh Negara.

Bila kekuatan ekonomi luar dan kekuatan pemerintah berkolaborasi untuk

menggerogoti sumberdaya Negara yang seharusnya digunakan untuk mencapai

kesejahteraan rakyat, maka terbentuklah sebuah ‘negara bayangan’ (shadow state).

Negara semacam ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘rumah’ bagi seluruh rakyat namun

telah menjadi media bagi para pencari untung (rent seeker). Prinsip dari para pencari

untung ini adalah ‘minimize cost maximize utilities’.

Sumberdaya ekonomi Negara adalah salah satu asset yang paling rentan digerogoti

oleh aktor-aktor ini, apalagi dalam konteks era perdagangan bebas. Di era ini,

berbagai level pengusaha mengambil manfaat dari ruang yang disediakan Negara

untuk mencari keuntungan. Di dalamnya ada pelaku usaha mikro dan kecil dengan

aneka usaha kecil yang mengisi apa yang disebut sektor informal dan pelaku usaha

Page 4: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

menengah dan besar yang mengisi sector formal. Dalam domain pasar bebas,

lingkungan kompetisi yang sempurna dari setiap pelaku usaha dan tingginya

kedaulatan pembeli/konsumen dapat menciptakan kestabilan harga dan kenyamanan

dalam berusaha.

Namun dalam kenyataannya, persaingan penuh (perfect competition) yang

diharapkan terjadi tidak selamanya sejalan dengan harapan di atas. Bahkan

kedaulatan pembelipun tidak seluruhnya tercipta begitu saja karena lemahnya akses

konsumen untuk memantau aneka produksi yang dipasarkan. Akibatnya harga tidak

stabil dan persaingan menjadi tidak sehat. Korban utama dalam lingkungan yang

tidak adil ini adalah pelaku ekonomi kecil dan mikro atau sector informal.

Untuk keluar dari dilema ini, maka sebuah aturan ketat dibutuhkan untuk menata

agar kompetisi berlangsung secara adil dan bukan dalam bingkai ‘kompetisi

sempurna’ di mana semua pelaku dianggap setara untuk bertarung satu sama lain.

Jelas dalam pemikiran ini, pelaku usaha kecil apalagi mikro tidak akan mungkin

bersaing dengan pelaku usaha raksasa yang memiliki modal nyaris tanpa batas akibat

kemudahan akses kepada pihak perbankan dan agunan yang beraneka ragam yang

mereka miliki. Di sinilah peran sebuah Negara diharapkan hadir menyelamatkan

relasi yang timpang dan menciptakan iklim usaha yang adil bagi keduanya. Sektor

formal cukup penting untuk diperhatikan, namun sektor informal jauh lebih penting

untuk diperhatikan karena daya serapnya yang sangat tinggi akan tenaga kerja yang

tak mampu diserap oleh sektor formal.

B. Konteks Makro dari Permasalahan

Tempat paling subur bagi pelaku usaha sektor informal adalah pasar lokal dan

sepanjang badan jalan kota. Pelaku ini mengisi segala ruang ‘informalitas kota’ di

sana untuk menjajakan hasil produksi dari tanah di desa dan pabrik-pabrik di kota

atau pinggir kota. Denyut nadi usaha ini sudah berdenyut sejak sebuah komunitas

Page 5: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

eksis dalam suatu ruang yang terisi baik oleh arus migrasi maupun arus pertumbuhan

penduduk kota.

Salah satu contoh dalam hal ini adalah sebuah pasar lokal di kota Makassar yakni

pasar Terong. Pasar ini, sebelum mengalami revitalisasi tahap satu di era

pemerintahan Daeng Patompo pada tahun 1972 menyusul tahap kedua di masa Malik

B. Masri tahun 1994 adalah pasar rakyat. Pasar ini didirikan secara alamiah oleh

rakyat berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat yang mulai ramai di awal tahun

1950an. Salah satu fackor pendorong (push factor) terjadinya migrasi dari desa

adalah maraknya aksi ‘gerombolan’ Qahhar Mudzakkar di desa dan daya tarik (pull

factor) kota yang menyediakan lapangan kerja yang ‘mudah’.

Contoh lain seperti pasar Cidu, yang hingga kini masih masih berfungsi sebagai area

jual-beli bagi komunitas kampong Tabaringan dan sekitarnya jauh sebelum tahun

1950. Fungsi dasarnya tidak pernah terganggu, walau pada persoalan kebersihan dan

drainase yang buruk tetap masih menjadi kelemahan pasar ini yang seharusnya

diperhatikan oleh pemerintah. Pasar Cidu, bila dibentangkan hanya memiliki panjang

kurang lebih seratus meter dengan bentuk huruf ‘L’. Selalu ramai sejak pukul 06.00

hingga pukul 12.00 siang dan akan berlanjut di jalan Tinumbu pada sore harinya

khususnya bagi pembeli yang melintas sepulang kerja dari pelabuhan atau area

industri di sekitarnya.

Demikian pula pasar Kokolojia di kampong Kokolojia tepat di muka tempat atau

Pasar Pelelangan Ikan ‘Lelong’ jalan Rajawali telah melayani masyarakat di

sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lahirnya pasar Terong berawal di awal tahun 1960 di mana masyarakat di sekitar

Maccini dan Baraya yang menjadi area migrasi semakin padat dan pasar Kalimbu

yang berdiri lebih dulu tidak mampu lagi mengakomodir pembeli yang semakin

padat. Dengan hadirnya pasar Terong dan banyak pasar lokal lainnya maka hiduplah

ekonomi kota Makassar. Puluhan ribu pedagang kecil, mikro, dan aneka jasa lainnya

terserap dengan mudah di sektor ini walaupun mereka tidak berpendidikan formal.

Page 6: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Di tahun 1980an hingga 1990an logika ekonomi Negara adalah pertumbuhan

(economic growth). Dalam teori ini, ekonomi diharapkan tumbuh pesat melalui

perusahaan raksasa (konglomerat) yang mampu memainkan uang dalam jumlah

besar dengan penghasilan atau keuntungan yang besar pula. Untuk mencapai hal itu,

maka Negara bertindak sebagai penentu kebijakan yang memudahkan perusahaan-

perusahaan pilihan untuk meraup keuntungan. Dari keuntungan yang berhasil diraup

itu lalu akan dikumpulkan oleh Negara dan diteteskan ke seluruh pihak yang

bernaung di bawahnya dalam hal ini seluruh rakyat Indonesia di mana mayoritas

mereka adalah pelaku ekonomi sektor informal. Efek ini, dalam teori ekonomi

pertumbuhan adalah ‘efek menetes’ atau trickle down effect.

Menurut berbagai laporan ekonomi saat itu, baik dari IMF maupun World Bank, roda

pertumbuhan Indonesia tumbuh dengan pesatnya bahkan mampu menembus angka 8

digit. Secara teori, efek menetes ini seharusnya terjadi, namun dalam kenyataannya,

tidak terjadi! Pelaku usaha raksasa sebagai kroni Negara dan aktor pemerintah dalam

hal ini rezim Orde Baru telah secara bersama menikmati keuntungan itu dan

membatasi ‘tetesan’ ke bawah dan dengan sendirinya meruntuhkan fondasi ekonomi

Negara pada tahun 1996/1997 dan terus berlanjut yang menyebabkan penolakan

rakyat kepada Soeharto sebagai presiden di tahun 1998.

Krisis masih terus berlanjut dan pilihan model ekonomi kita belum lepas dari

kerangka ‘pasar bebas’ di mana peran Negara direduksi sedemikian rupa dalam

ragam praktek deregulasi, privatisasi, dan hukum permintaan dan penawaran

yang seringkali tidak berjalan secara alami. Pilihan Negara ini bukan tanpa sebab,

karena 3 poin kebijakan di atas adalah sebentuk pemaksaan dari aktor di luar Negara

dalam hal ini World Bank dan IMF dan aktor ekonomi Negara lain yang sekian lama

menyeret Indonesia ke dalam sistem ekonomi pertumbuhan yang telah membuat

Negara sangat tergantung dari aspek finansial yang berimplikasi pada politik.

Sebenarnya, bila merujuk pada 3 model kebijakan di atas, Negara bukanlah

kehilangan peran, namun keberpihakannya telah salah sasaran. Deregulasi dan

privatisasi adalah sebentuk kebijakan yang menguntungkan pemodal besar. Awalnya

Page 7: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

mereka harus mengeluarkan anggaran untuk bekerja di Indonesia melalui ragam

regulasi, kini mereka hampir tak perlu khawatir dengan bea masuk ke dalam negeri

karena deregulasi. Dahulu mereka tak mampu menguasai asset publik, kini

pergerakan mereka lebih longgar dalam mengelola asset tersebut melalui privatisasi.

Dan yang lebih parah, Negara begitu percaya bahwa mekanisme penentuan harga

akan berlaku sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, padahal dalam

kenyataannya, pengusaha besar dapat semena-mena mempermainkan harga sembilan

bahan pokok di pusat perbelanjaan seperti Hypermarket, Supermarket, dan Mal

sebagai penarik minat bagi konsumen dan mengancam banyak pedagang kecil di

pasar lokal.

Di akhir tahun 1990an dan sepanjang tahun 2000an, di kota Makassar, berbagai

proyek revitalisasi beberapa pasar ‘tradisional’ berlangsung. Beberapa contoh

diantaranya adalah pasar Butung yang menjadi pusat grosir garmen (1999), pasar

Sentral yang beralih fungsi menjadi Makassar Mall (1994), pasar Daya menjadi

Pusat Niaga Daya (2000), dan pasar Baru dan pasar Terong (1995). Ke depan sedang

direncanakan revitalisasi pasar Pabaeng-baeng dan pasar pasar Panampu. Tiga pasar

hasil revitalisasi di atas, Butung, Sentral, dan Terong praktis mengalami kegagalan.

Pasar Butung tak berfungsi di lantai 3 dan 4, lantai 2 kurang dari 50 % terisi. Nasib

yang sama menimpa pasar Sentral yang menapikan pedagang di lantai dasar yang

tersiksa oleh kepengapan dan bau kurang sedap, serta drainase serta sanitasi yang

buruk. Pasar Terong pun demikian, menyisakan persoalan ‘kesemerawutan’ akibat

kekecewaan yang mendalam atas tidak maksimalnya fungsi gedung baru bagi

mereka, di mana pembeli malas masuk dan pedagang kehilangan kepraktisannya.

Di saat yang sama, kebijakan pemerintah kota dari periode satu ke periode lainnya

terus berpihak kepada ‘pasar luar’ atau kerap disebut ‘pasar moderen’. Akibatnya

pusat perbelanjaan dan aneka toko moderen mulai dari rumah toko hingga pusat

pertokoan dan mal menjamur hingga mengurangi keindahan kota dan yang terparah

mengurangi daya tarik pasar lokal yang tidak diperhatikan dengan baik.

Page 8: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Konsumen menengah yang dulu memenuhi pasar Induk Terong, pasar penunjang—

seperti Pabaeng-baeng, Panampu, Sambung Jawa, dan Pusat Niaga Daya—dan

berbagai pasar lokal lain di Makassar, kini memilih beralih ke pasar luar. Aneka

pasar luar atau moderen ini, semisal Carrefour, Hypermart, Diamond, Giant/M Tos,

dan lain-lain berhasil menawarkan bukan hanya kebutuhan sehari-hari, namun juga

memadukan konsep rileksasi melalui aneka fasilitas hiburan dan jasa lainnya dalam

satu area. Ditambah lagi berbagai fasilitas sekunder yang menjamin kebersihan

lokasi, kenyamanan konsumen, dan gaya hidup.

Di satu sisi, pasar lokal mengalami marginalisasi melalui ketidakberpihakan

pemerintah kota dalam menjaga bahkan batas minimum sebuah pelayanan publik,

yakni kebersihan dan saluran air yang memadai bagi sebuah pasar lokal. Yang terjadi

justru adalah aneka bentuk diskriminasi mulai dari penamaan seperti ‘liar’ bagi

pedagang dan pasar yang dianggap ‘mengotori’ keindahan kota. Selain itu,

mismanagement pengelolaan pasar lokal melalui dualisme kepemimpinan di

dalamnya—perusahaan daerah pasar Makassar Raya dan pengembang—telah

mengacaukan nasib pedagang kecil yang tidak dapat masuk ke dalam gedung baru

hasil revitalisasi. Belum lagi ketidakmampuan pemerintah menangani aktor-aktor

lain di luar ketentuan formal sepeti keberadaan preman, polisi, dan bahkan aparat

militer yang ‘bermain’ di pasar lokal.

Semua ini harus dibenahi demi kepentingan pelaku di sektor informal. Sektor formal

juga penting, namun sektor informal harus diutamakan. Dalam kajian Miftah

Wirahadikusumah, bahkan disebutkan bahwa sektor informal dapat berfungsi

sebagai ‘katup pengaman’ atas konflik kapitalis dan borjuis dalam hubungan

pemodal-pekerja di level industry kota (LIPI, 1997). Bahkan lebih jauh dari sekedar

katup pengaman bagi relasi pekerja-pemodal, sektor informal juga mampu memberi

peluang kerja yang jauh lebih lebar dari pada yang dapat ditampung oleh sektor

informal.

Untuk itu, keberpihakan Negara dalam hal ini pemerintah kota sangat dibutuhkan.

Namun, berbeda dengan keberpihakan ala pemerintah Orde Baru, keberpihakan

Page 9: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

pemerintah harus ditarik untuk lebih melindungi pedagang kecil dan mikro serta

eksistesi pasar lokal sebagai cirri khas kota Makassar melalui penerapan regulasi

yang adil, perlakuan yang adil, dan pemberdayaan yang maksimal bagi mereka. Bagi

pelaku ekonomi di level menengah, besar, dan raksasa, regulasi tetap akan mengatur

mereka sesuai dengan kemampuan mereka dalam bersaing di dunia usaha yang adil

dan fair.

C. Perkembangan Upaya Penanganan Permasalahan

Pada sebuah peta kota Makassar tahun 1955, hanya ada terlihat 5 pasar lokal, yakni

pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Termasuk

dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Jauh sebelum itu, di tahun

1917, sebuah photo tua memperlihatkan pasar Boetoeng di awal berdirinya. Pasar ini,

begitu rapih dengan model hamparan yang hingga kini masih menjadi ciri khas dari

banyak pasar lokal kita. Sebuah pasar yang telah didefinisikan oleh Negara sebagai

pasar tradisional atau dengan kata lain sebagai pasar yang ketinggalan jaman. Di

tahun yang sama, tepatnya 1 September 1917, sebuah peraturan tentang pasar

dikeluarkan untuk menjamin tertatanya pasar ini dengan baik. Surat edaran itu

bernomor 15 dan yang menjadi pengesah surat itu adalah W. Fryling. Pokok

pengaturannya adalah pendayagunaan lingkungan pasar dengan model penarikan

retribusi. Retribusi dalam surat itu di tulis dengan bahasa lokal ‘sussung pasara’

dengan pengawasan yang ketat dan penggunaan yang maksimal untuk berbagai

kepentingan tata kelola pasar lokal.

Di Indonesia, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Harian Kompas menunjukkan

bahwa terdapat kurang lebih 13.450 pasar ‘tradisional’ atau dalam konteks paper ini

pasar lokal yang masih eksis yang menampung sekitar 12,6 juta pedagang (Kompas,

2006). Sementara di kota Makassar sendiri, berdasarkan hasil observasi yang

dilakukan oleh Active Society Institute (AcSI) sepanjang tahun 2008 jumlah pasar

lokal sudah mencapai lebih 50 buah. 16 pasar diantaranya oleh pemerintah kota

dikategorikan sebagai pasar ‘tradisional’ ‘Resmi’ dan 34 pasar atau selebihnya di cap

Page 10: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

sebagai pasar ‘tradisional’ darurat atau liar, sebuah penamaan yang mendiskreditkan

pedagang-pedagang kecil yang tidak tertib. Bahkan, hal yang menggelikan, dalam

pasar ini dikenal juga kepala pasar ‘darurat’ yang di SK-kan oleh direktur Perusda

pasar Makassar Raya (AcSI, 2008).

Tabel 1

Data Pasar Lokal di Kota Makassar

�o Kecamatan Pasar Lokal

Resmi ‘Darurat’

1 Biringkanaya

• Pusat Niaga Daya

• Bulu-bulu

• Daya

• Seputar Mesjid

2

Tamalanrea

• Wesabbe

• Pasar BTP

• Pasar Blok A

3 Panakkukang • Toddoppuli • Karuwisi

• Tamamaung

• Panaikang

• Tello baru

• Belakang Profesional

• Paropo

4 Makassar • Kerung-kerung • Rimo

5 Mamajang • Maricaya • Harimau

6 Ujung Pandang • Baru • Sawah

7 Bontoala • Terong

• Kalimbu

• Tinumbu

• Tette Kulantu

8 Tallo • Pannampu • Galangan

• Rappokalling

9 Ujung Tanah • Pelelangan

10 Wajo • Sentral

• Butung

• Sentral Jaya

• Cidu

• Bonerate

• Irian

11 Mariso • Sambung Jawa • Kokolojia

• Senggol

• Tanjung

12 Tamalate • Pabaeng-baeng

• Hartaco

• Barombong

• Kanal

• Bontomanai

• Manuruki

13 Rappocini • Jipang Raya

• Skarda

• Rappocini Raya

14 Manggala • Antang

• Borong Raya

• Kassi

Sumber data: Active Society Institute, 2008

Page 11: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Meningkatnya pasar-pasar lokal ini, diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama,

masyarakat kelas menengah ke bawah atau kecil membutuhkan akses pasar yang

murah dan dekat. Hal ini ditandai oleh sejarah lahirnya pasar-pasar lokal di kota

Makassar. Bila merujuk pada definisi pasar adalah adanya penjual lebih dari satu dan

terjadi transaksi jual beli dengan konsumen juga lebih dari satu maka sebuah pasar

sudah bisa disebut eksis. Kedua, meningkatnya migrasi dari desa-desa di Sulawesi

Selatan ke kota akibat kekacauan yang berkepanjangan di desa-desa selama

keberadaan kaum ‘gerombolan’ Qahhar Mudzakkar 1950an, termasuk di dalamnya

migrasi penduduk dari pulau Jawa dan Madura, Flores, Bima, dan Dompu. Di lain

sisi adalah meningkatnya daya tarik kota (pull factor) di mana kota terus

mempercantik diri melalui pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik bagi

masyarakat kota.

Ketiga, krisis ekonomi 1997 yang telah menyebabkan ambruknya sektor ekonomi

formal yang menyebabkan terjadinya rasionalisasi pekerja (PHK) di sektor industri

kota yang tinggi dan menuntut mereka memilih sektor informal untuk bertahan

hidup. Dan keempat, mudahnya memperoleh modal usaha dari para ‘lintah darat’

atau yang lazim disebut ‘appa’bunga doe’’ dan koperasi dengan bunga hingga 20%.

Menuju Pengelolaan Pasar yang berkualitas dan berbasis kearifan lokal

Klasifikasi ‘tradisional’ dan ‘liar’ atau ‘resmi’ dan ‘tidak resmi’ bagi pasar lokal

yang dilekatkan oleh pemerintah dan media lokal menunjukkan adanya berbagai

bentuk diskriminasi. Bentuk diskriminasi dimaksud dapat dilihat dari aspek

pelayanan bagi pelaku pasar lokal seperti maraknya aksi penertiban (baca

penggusuran), sulitnya akses modal usaha bagi pelaku usaha kecil dan mikro,

mahalnya harga kios setelah revitalsasi pasar lokal, kumuhnya puluhan pasar-pasar

lokal yang masih eksis, dan lain-lain.

Diskriminasi juga terlihat dari tiadanya regulasi yang mengatur secara khusus dan

adil atas ekonomi kerakyatan, khususnya pasar lokal vis a vis pusat perbelanjaan dan

toko moderen. Satu-satunya regulasi pemerintah kota yang berkaitan dengan pasar

lokal adalah Peraturan daerah kota Makassar No. 12/2004 tentang ‘Pengurusan Pasar

Page 12: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Dalam Daerah Kota Makassar’ yang sedikit banyak bernafaskan otoritarian di mana

peran besar dilekatkan kepada pihak perusahaan daerah (perusda) dan pengawasnya

dengan menapikan peran dari pedagang pasar lokal sendiri.

Tentu saja, dari sekian perda yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah kota, belum

ada kebijakan pasar yang benar-benar menempatkan pasar lokal khususnya para

pedagang di dalamnya sebagai aktor utama. Dalam perda ini, pemerintah kota telah

melimpahkan kekuasaan penuh kepada Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya

untuk mengelola pasar. Dengan demikian seorang direktur PD Pasar Makassar Raya

memiliki wewenang penuh dalam menetapkan berbagai hal seputar pasar mulai dari

areal hingga waktu buka pasar.

Bila merujuk ke belakang, beberapa aturan yang sedikit banyak merujuk pada sektor

informal adalah Peraturan Daerah kota Ujung Pandang/Makassar no. 10 Tahun 1990

(Tgl. 17 Desember 1990) tentang Pembinaan Pedagang Kaki Lima Dalam Daerah

Kotamadya Daerah TK II Ujung Pandang, lalu no. 8 Tahun 1992 (Tgl 12 Oktober

1992) tentang Pendirian Perusahaan Daerah Bank Pasar Kotamadya Daerah TK II

U.Pandang, kemudian no. 8 Tahun 1996 (Tgl. 26 Agustus 1996) tentang Retribusi

Pasar dan Pusat Perbelanjaan Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang,

lalu no. 4 Tahun 1999 tentang Pendirian Perusahaan daerah Pasar Makassar Raya

Kota Ujung Pandang, selanjutnya no. 17 Tahun 2002 (Tgl. 3 Desember 2002)

tentang Perubahan atas Perda Kota Makassar tentang PD Pasar Makassar Raya

KMUP, dan terkahir no. 12 Tahun 2004 (Tgl. 31 Agustus 2004) tentang Pengurusan

Pasar Dalam Daerah Kota Makassar.

Sejak tahun 1990-an, Makassar, sebagai kota metropolitan di Indonesia Timur

semakin sesak oleh keberadaan pasar-pasar moderen. Ekspansi pasar besar seperti

Gelael, Makro, Hypermart, Diamond hingga Giant dan Carrefour mulai mengancam

keberadaan pasar-pasar lokal di Makassar. Dalam wawancara dengan banyak

pedagang kecil di pasar Terong dan pasar lokal lainnya, yang paling dirasakan adalah

menurunnya omzet para pedagang itu antara 30-40% setiap bulannya.

Page 13: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Data dari riset A.C. Nielsen menunjukkan bahwa pasar moderen di Indonesia

tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Lebih

lanjut mereka menyebutkan bahwa bila kondisi ini tetap dibiarkan, ribuan bahkan

jutaan pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya. Pasar ‘tradisional’

mungkin akan tenggelam seiring dengan tren perkembangan dunia ritel saat ini yang

didominasi oleh pasar moderen (A.C. Nielsen, 2006).

Sebuah hipotesa yang masih membutuhkan studi lanjutan adalah ‘segala

kesemrawutan pasar lokal dan tidak memadainya ruang berjualan bagi pedagang

yang menyebabkan banyak pedagang memilih trotoar-trotoar atau badan jalan

diakibatkan oleh keberpihakan pemerintah kota yang lebih besar bagi para investor

besar atau ritel moderen ketimbang para pedagang di pasar lokal’. Dalam pandangan

lain, Sunardi menyebutkan bahwa ini adalah bom waktu bagi pasar-pasar lokal di

Makassar (Sunardi, 2009).

Tentu saja, kelebihan pasar moderen di atas dalam memanjakan konsumen jauh di

atas kemampuan pasar lokal kita. Bahkan strategi perpaduan antara berbelanja dan

berekreasi juga merupakan terobosan baru dalam dunia pasar di Makassar.

Beriringan dengan itu, kemauan politik (political will) yang rendah dan kemampuan

pemerintah kota (services capability) yang tidak maksimal dalam mewujudkan tata

kelola pasar yang berdaya guna dan berhasil guna bagi kedua belah pihak, pedagang

dan pembeli pasar lokal.

Pendekatan yang tidak partisipatif telah menyebabkan pengelolaan pasar yang

selama ini dikelola oleh perusahaan daerah menimbulkan beberapa kesemrawutan.

Tengok saja proses ‘pemoderenan’ pasar lokal seperti pasar Terong, Sentral, Pasar

Baru dan Pusat Niaga Daya yang telah gagal menampung seluruh pedagang kecil

untuk berjualan di dalam gedung baru. Gagalnya menarik para pedagang untuk

berjualan di dalam area, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kultur pasar

lokal adalah hamparan dan mengubah kultur itu menyebabkan kesulitan para

pedagang kecil, bermodal kecil, dan pola permodalan harian, untuk bertahan di

Page 14: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

dalam pasar. Mereka lalu lebih memilih berjualan di luar area dengan mengindahkan

keteraturan.

Kedua, pilihan ini, ditempuh oleh para pedagang kecil berkaitan dengan budaya

berbelanja warga kota (konsumen) yang tidak mau terlalu direpotkan oleh kesulitan

akses ke pedagang (naik tangga, pengap, lorong sempit, copet, lain-lain). Ketiga,

adanya dualisme kepemimpinan dalam pasar yakni Kepala Unit Pasar (Perusahaan

Daerah) dan direktur pengelola atau developer (Perusahan Swasta). Dua model

manajemen ini tumpang tindih. Sebut saja, peran kepala pasar adalah pelayanan

terhadap pedagang (pedagang kios dan pedagang kecil), sementara pihak developer

adalah melakukan penjualan atas petak-petak bangunan pasar (ruko, lods, basement).

Pihak developer tidak menginginkan adanya pedagang-pedagang yang berjualan di

luar area gedung (walau kenyataannya banyak pedagang kecil lebih memilih

berjualan di luar area). Dalam konteks ini, pihak pengelola unit pasar tetap menarik

retribusi jadi pembayaran pelayanan menjadi dobel khususnya bagi pedagang rumah

toko, lods, dan basement dan merugikan mereka. Para pedagang yang protes atas dua

model pungutan ini kemudian harus berhadapan dengan pihak keamanan dalam hal

ini ‘preman-preman pasar’ yang membackup pihak pengembang dan pihak unit

pasar.

Pilihan untuk berdagang di area trotoar (area jalan raya dan area pasar dan lorong),

depan ruko (hall), dan halaman atau depan rumah penduduk adalah sebuah bentuk

‘perlawanan’ dari para pedagang kecil yang dipinggirkan oleh akibat kebijakan

pemerintah kota dalam membangun pasar lokal bernuansa moderen. Moderen di sini

diartikan secara fisik (bangunan) dan non fisik (manajemen). Bangunan pasar adalah

bertingkat dengan pola distribusi tempat model kios dan lods. Pola distribusi ini

mengakibatkan perbedaan dalam mengelola pasar, di mana kios dan lods kemudian

memiliki harga yang tinggi, namun di satu sisi banyak pedagang kecil tidak memiliki

kemampuan dalam membeli kios dan lods tersebut. Bahkan, dengan mencicil

sekalipun, kemampuan (affordability) pedagang kecil masih sangat terbatas.

Page 15: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Dalam kasus pasar Terong, harga satu lods berkisar 10 – 20 juta sementara kios bisa

mencapai Rp. 60 juta untuk ukuran 2 x 1,5m dan Rp. 80 juta untuk ukuran 2 x 2m,

dengan DP (uang muka) bagi yang akan mencicil di atas Rp. 10 – 15 juta dengan

jarak waktu yang sangat pendek (kurang lebih 4 tahun). Belum lagi bila lokasi itu

berbeda area, misalnya area strategis dan area tidak strategis. Area strategis itu

berada di depan pintu masuk atau pintu jalan. Harganya bisa jauh lebih mahal lagi.

Bisa dibayangkan, bagaimana pedagang-pedagang kecil mampu bersaing dalam

mengakses lods yang demikian mahal itu.

Sementara dalam aspek manajemen, pihak pengelola dan developer beranggapan

bahwa pedagang kecil harus tumbuh dan tumbuh besar melalui manajemen

professional dan keberanian mengambil resiko dalam berdagang, seperti meminjam

uang di Bank melalui sistem jaminan dan agunan lainnya. Padahal, dalam banyak

kasus, pelaku ekonomi kecil atau sektor informal, umumnya menganut prinsip

ekonomi kebertahanan ketimbang pertumbuhan. Bertahan adalah pilihan yang lebih

aman ketimbang tumbuh yang mengandung resiko. Untuk itu, yang terpenting bagi

mereka adalah bertahan untuk berdagang ketimbang memaksakan diri untuk tumbuh

dengan resiko berlebihan.

Dalam penelitian etnografis yang dilakukan oleh AcSI sepanjang tahun 2008 dan

2009, intensitas interaksi dengan pedagang-pedagang kecil telah memberikan banyak

informasi berharga yang berguna bagi pemerintah kota dan warga kota umumnya

mengenai mengapa mereka lebih memilih ruang-ruang ‘ilegal’ itu. Salah satu

informasi penting adalah pola permodalan dari pedagang-pedagang kecil. Namun,

sebelum mengurai pola itu terlebih dulu perlu untuk mengklasifikasi pedagang kecil.

Mereka adalah Palembara’ (tipe pedagang tertua asli Bugis-Makassar atau Melayu,

kini dalam model yang lebih bervariasi seperti asongan dan pa’garoba’), palapara’

(beralas tikar atau bakul), Pagandeng (menggunakan sepeda dan becak, kini mulai

ada yang menggunakan motor), dan pamejang (dengan meja).

Temuan penting dalam studi etnografi ini adalah adanya pola interaksi yang khas

dari para pedagang kecil yang dibungkus oleh pilosophi ‘saling menghidupi’ atau

Page 16: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

lebih dikenal ‘Sitallassi Parangta’ Rupa Tau’ dengan 2 prinsip utama, yakni

kejujuran (lambusu’) dan tanggung jawab (pammentengang). Jadi, ketika anda

masuk dalam pilosophi itu maka peganglah kedua prinsip itu. Berpegang pada

pilosophi inilah palembara’ , asongan, pa’geroba’, palapara’, Pagandeng, dan

pamejang menjaga eksistensi dagang dan menghidupi keluarga kecil mereka.

Palembara’ (dengan jumlah yang sudah sangat terbatas) adalah pedagang yang

modalnya tergantung kepada petani di desa. Mereka mengambil barang dagangan

untuk kemudian menjualnya di pasar. Untuk kasus asongan, mereka mengambil

barang-barang yang dianggap laku (paling dibutuhkan oleh banyak konsumen) dari

kios-kios atau ‘bos-bos’ (punggawa) untuk kemudian menjualnya. Keuntungan

mereka adalah selisih harga dari modal.

Palapara’ mengambil barang dari ponggawa-nya atau bos-bos pada dini hari

(sekitar pukul 02.00 dan 03.00 malam) untuk kemudian menjualnya di pagi hari

(berkisar pukul 06.00 – 18.00) dan melakukan pembayaran pada sore hari (pola titip-

jual). Menurut cerita dari pedagang senior, sebelum merajalelanya pasar moderen,

waktu menjual mereka hanya sampai pukul 09.00 saja. Namun, karena omzet

semakin menurun maka waktu menjual mereka menjadi lebih panjang.

Sementara pamejang adalah mereka yang sudah memiliki modal sendiri dengan

kisaran Rp. 500.000,- hingga Rp. 5.000.000. Mereka umumnya sudah lebih mandiri

ketimbang pedagang kecil lainnya, bahkan untuk beberapa kasus telah memiliki

jaringan dagang antar daerah hingga antar pulau.

Pola permodalan dengan filosophi pasar lokal ini, sebenarnya bersandingan dengan

pola lain yang kurang mengindahkan aspek-aspek kemanusiaan, yakni pola

permodalan melalui mekanisme appa’bunga doe’ (lintah darat) dan praktek

perkoperasian. Pola ini banyak digemari oleh pedagang kecil yang telah terdesak

khususnya pada sesi-sesi pasar ramai, seperti bulan puasa ramadhan, hari raya Idul

Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru, Imlek dan sebagainya seperti menjelang hari

pertama sekolah. Sedangkan permodalan melalui koperasi dipilih oleh pedagang

Page 17: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

tertentu untuk kepentingan yang lebih strategis. Jadi, walau dengan bunga tinggi

hingga 20% sekalipun, para pedagang rela meminjam disana.

Pilihan ini, sedikit banyak serupa dengan pilihan ruang menjual di luar tempat yang

sudah disediakan. Pedagang memilih keduanya (ruang ‘ilegal’ dan appa’bunga doe)

disebabkan oleh ketidakadilan atas mereka. Pedagang-pedagang ini tidak mampu

mengakses sistem pengaturan pasar lokal oleh perusahaan daerah maupun developer

dan sistem permodalan perbankan yang tidak berpihak pada pedagang kecil. Kondisi

ini tentu perlu menjadi perhatian dari semua pihak, khususnya pemerintah kota.

Dalam konteks ini, ke depan melalui kerjasama berbagai pihak perlu dibangun

sebuah mekanisme dialog (Assisambung Kana) yang menghadirkan sebanyak

mungkin aktor yang meliputi pedagang, pengusaha, masyarakat sipil, dan pihak lain

yang terkait dan punya perhatian terhadap pembinaan, penataan, dan penertiban

pedagang umumnya dan pasar-pasar lokal khususnya.

Semangat ‘Assisambung Kana’ ini adalah ‘Sipakatau Sipakainga’, atau dalam bahasa

yang lebih santun bahwa pemerintah menghargai masyarakatnya dan demikian

sebaliknya, masyarakat menghargai pemerintahnya. Bila diantara keduanya ada yang

melakukan kekeliruan atau kesalahan, maka sebuah proses ‘Assisambung Kana’

dibutuhkan. Dibutuhkan khususnya dalam upaya menemukan kembali ruh pasar

lokal kota Makassar yang pernah ada dalam lintasan sejarah pasar di kota Makassar

atau dalam bahasa Makassar ‘Ni buntuluki ammotere pasaraka’.

D. Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan

AcSI telah melakukan pendampingan sekaligus penelitian etnografis di pasar Terong.

Pendampingan secara kelembagaan sudah berlangsung sejak tahun 2005 dan secara

individual sudah berlangsung sejak akhir 1990an. Dengan demikian data yang

diperoleh sangat mendalam melalui wawancara dengan informan kunci, baik dari

pedagang pasar, pengusaha, pemerintah, maupun pihak pengelola pasar, pihak

keamanan baik formal dari pihak kepolisian maupun non kepolisian seperti preman

yang hidup dan mengambil keuntungan di pasar. Selain itu, penelitian juga dilakukan

Page 18: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

melalui serangkaian diskusi dengan pihak akademisi dan praktisi hukum dan LSM

yang memiliki perhatian kepada sektor informal dan pasar lokal, serta melalui kajian

literatur atas hasil-hasil riset yang pernah dilakukan.

Serangkaian riset, diskusi, dan pendampingan yang dilakukan berada dalam frame

keberpihakan kepada sektor informal yang selama ini dipinggirkan baik melalui

regulasi maupun sikap yang ditunjukkan oleh pengambil kebijakan. Adapun

kerangka analisis (analytical framework) yang digunakan adalah dengan

menggunakan kajian ekonomi-politik melalui pendekatan politik aliran kelembagaan

baru yang dipadukan dengan pendekatan pikiran rasional (rational choice). Dalam

literature ilmu politik, pendekatan ini disebut rational choice institutionalism yang

berusaha melihat hubungan aktor-aktor yang bermain dalam bingkai ekonomi dan

politik. Juga bagaimana mereka menggunakan instrument kekuasaan yang

dimilikinya untuk mempengaruhi kebijakan yang ada, atau mempengaruhi lahirnya

kebijakan baru yang berpihak kepada pemodal besar, atau mempengaruhi oknum

pemerintah, kepolisian, hukum, dan lain-lain agar secara langsung maupun tidak

langsung menyetujui tindakan-tindakan mereka dengan merugikan pihak lain, dalam

hal ini pedagang kecil dan pasar lokal.

Secara ringkas, maka metode penelitian yang digunakan adalah dengan

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode:

1. Metode etnografi (Tinggal di pasar lokal dan rumah pedagang, mini tour dengan

mengunjungi pasar-pasar lokal)

2. Metode sejarah lisan

3. Metode wawancara mendalam

4. Kajian literatur

5. Diskusi Kelompok Terfokus

Page 19: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Adapun sistematika penulisan adalah deskriptif-induktif yang menjabarkan fakta-

fakta secara khusus dan mengambil kesimpulan secara umum yang bermanfaat bagi

penyusunan kebijakan tentang perlindungan dan pemberdayaan pasar lokal serta

penataan pusat perbelanjaan dan toko modern dan sejenisnya.

Page 20: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

BAB II

PERMASALAHA�

A. Hakikat dan Ruang Lingkup Permasalahan

Masalah tata kelola pasar bukan sekedar masalah ekonomi, melainkan meliputi aspek

sosial, politik, dan budaya. Dari sudut pandang historis, keberadaan pasar lokal

adalah bagian dari dinamika masyarakat atau komunitas setempat yang saling

membutuhkan. Dari dokumen foto yang dimiliki oleh pemerintah kota Makassar,

tampak bahwa pedagang-pedagang lokal menggunakan pikulan dan sapeda sebagai

media yang lazim disapa palembara’ dan pagandeng. Demikian pula pasar Boetoeng

untuk pertama kalinya dibangun oleh pemerintah kolonial di tahun 1917

menunjukkan eksistensi pasar ini melampaui keberadaan toko ‘moderen’ atau toko

dari perusahaan luar negeri di tahun 1930an, saat kota Makassar menjadi lebih

kosmopolit. Paska kemerdekaan, di tahun 1955, pasar lokal tetap eksis sebagaimana

tertulis dalam sebuah peta di tahun itu yang menyebutkan adanya 5 pasar lokal yakni

pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Bahkan tidak

menutup kemungkinan peta itu hanya mengakomodir pasar besar sementara pasar

kecil lainnya seperti pasar Kokolojia yang juga sudah demikian lama tidak tertulis.

Jejak pasar lokal di Makassar dapat ditelusuri jauh ke belakang pada tahun 1776. Di

abad ke-17, Sejak kejatuhan benteng Sombaopu, pusat kota berpindah dari area

sekitar benteng Sombaopu ke wilayah sekitar benteng Oejoeng Pandang yang

kemudian diganti namanya oleh Cornelis Speelman (1628-1684), sesuai kota

kelahirannya di Belanda, Rotterdam. Sebuah kota kolonial yang lalu berkembang dan

mengalami masa ‘keemasan’ ketika kota ini menjadi lebih modern dan kosmopolit di

tahun 1930an. Berbagai suku bangsa hadir di sana sehingga komposisi penduduk

berdasarkan sensus tahun itu adalah sekitar 3500 orang “Eropa”, 15.000 orang

“China” dan lebih 65.000 “Bumi Putra” yang didominasi oleh etnis Makassar dan

Bugis. Di masa ini, saudagar Wajo dikenal menguasai area perdagangan di pasar-

Page 21: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

pasar lokal dan menjadi komunitas yang dipercayai oleh pemerintah kolonial dalam

mengelola dunia bisnis atau jual beli. Hal ini sesuatu yang luar biasa ketika system

lokal, dari sebuah komunitas kecil yang dipimpin oleh seorang Arung Matoa, salah

satunya adalah Ammana Gappa, diberi kepercayaan besar untuk mengelola arus

perdagangan internasional di Makassar (Noorduin, 2009, Sirimorok, 2007).

Sebagaimana ditulis oleh Dias Pradadimara, dalam 2 artikel ilmiahnya tentang

sejarah kota Makassar, di tahun-tahun ‘keemasan’ ini, kota Makassar telah

dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memanjakan penduduk khususnya para

pendatang yang berkunjung atau menetap untuk keperluan bisnis ataupun berlibur.

Dengan merujuk pada sebuah buku petunjuk turis masa itu, Pradadimara

memaparkan bahwa sudah terdapat beberapa perusahaan dan konsulat asing yang

bekerja di kota Makassar karena lengkapnya fasilitas di kota ini. Bahkan, dari aspek

peneranganpun, kota ini disinyalir sebagai kota yang paling diterangi di Hindia

Belanda dengan persediaan tenaga listrik yang disuplai dari Makassar dan

Sungguminasa (Dias Pradadimara, 2007).

Berdirinya pasar Boetoeng tahun 1917 dan terlihat begitu rapi dengan model

hamparan tentu punya alasan, apa lagi disertai aturan ketat dalam ‘Surat edaran

tertanggal 1 September 1917 no. 15’ tertanda W. Fryling. salah satu alasan yang

dapat ditarik adalah pasar ini sebentuk kontrol atau upaya penataan pedagang,

khususnya pagandeng dan palembara yang bagi pemerintah kolonial mengganggu

jalan-jalan utama kota. Di era itu, banyak kota di Indonesia sedang berkembang,

selain Batavia, Malang, dan Surabaya, Makassar juga sedang menuju kehidupan

kosmopolitnya.

Seorang perencana kota kolonial Ir. Thomas Karsten banyak menjelaskan bagaimana

sebuah kota di tata dari ketidakteraturannya (unruly), termasuk para pedagang yang

mengisi badan-badan jalan (street vendors). Dalam ‘Explanatory Memorandum in

Wertheim 1958’, diceritakan bahwa:

“… that instead of going to the pasar, the small-scale trader, who is usually �ative,

tries to find his costumers in the street, either keeping on the move most of the time

Page 22: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

or else, if he can, finding a more or less fixed spot, often at or nerby an

intersection… the objection are the sometimes-gross pollution of the street, the

unsigthliness… the western authorities, particularly, often findi it intolerable that

this typical, and unusually rather unpretentious, forms of �ative economic live

manifest themsleves in “European” sections. Indeed the disorderliness usually

accompanying such economic forms is out of place, and hence is a nuisance

objectively as well as subjectively… the warongs (food stalls) are disfiguring the

urban scene with an unsightly structure generally having an extensive appendage of

benches, awnings, screens, and cooking utensils. Properly such warongs should be

located only at well-chosen and well-equipped points… such things need to be given

full consideration in drafting the street plans and neighborhood plans” (di kutip dari

Abidin Kusno dalam ‘The significance of appearance in the zaman normal, 1927-

1942 yang mengutip dari ‘Explanatory Memorandum in Wertheim 1958’: 37-38)

Dari catatan itu menunjukkan alasan-alasan maraknya pembangunan pasar kota pada

tahun-tahun yang dikenal sebagai ‘zaman normal’ tahun 1920an-1930an, guna

mengendalikan ketidakteraturan pedagang jalanan (street vendors) atau kini lazim

disebut pedagang kaki lima yang tak menetap.

Di masa pergerakan, khususnya pada awal kemerdekaan dan terbentuknya Negara

Indonesia Timur (NIT), kota Makassar adalah ibukota Negara dan menjadi tempat

berkumpulnya politisi dari Indoensia Timur. Saat itu, sebagaimana ditulis

Pradadimara, migrasi ke kota Makassar banyak berasal dari luar Sulawesi Selatan,

khususnya Minahasa, Ambon dan seterusnya.

Setelah NIT bubar di tahun 1950, babak baru sejarah kota Makassar dimulai. Masa-

masa ‘gerombolan’ yang dipimpin oleh Qahhar Mudzakkar dengan jumlah prajurit

tidak kurang dari 20.000 bergelora melakukan perjuangan militer akibat menolak

demobilisasi militer dengan basis perdesaan. Akibatnya, keadaan sosial di desa-desa

yang menjadi basis gerakan Qahhar Mudzakkar—khususnya setelah bergabung

dengan DI/TII pimpinan Karto Suwiryo—lebih bergejolak dan tidak aman (Ricklefs,

2008). Saat itu, penduduk desa mengalami tekanan dari ‘gerombolan’ di malam hari

dan tindakan refresif oleh TNI di siang hari. Salah seorang informan di pasar Terong,

Haji Daeng Mado (67) menceritakan bahwa pilihannya meninggalkan kampungnya,

Kassi-Kassi di Gowa menuju Makassar adalah karena tidak tahan dengan teror

‘gerombolan’ dimana ayahnya mati tertembak oleh seorang anggotanya.

Page 23: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Dalam keadaan seperti itu, maka migrasi atau meninggalkan desa menuju kota

Makassar adalah pilihan yang paling memungkinkan ketimbang bertahan di

kampung. Di tahun 1950an ini para migran mulai menempati wilayah-wilayah

pinggiran kota Makassar seperti Pannampu, Baraya, Kalukubodoa, Maccini, dan

Barabaraya. Wilayah-wilayah ini kemudian semakin hari semakin padat dan

kepadatannya bisa dirasakan hingga sekarang. Bahkan, 20 Maret 2009 lalu, salah

satu pemukiman di kampung Maccini Gusung terbakar dan karena kepadatannya,

proses pemadaman api menjadi terhambat dan meludeskan ratusan rumah di sana.

Merujuk sejarah berdirinya pasar Terong

Bila merujuk pada cerita Haji Tula, salah seorang pedagang buah pertama di pasar

Terong, maka hadirnya pasar ini pertama kali sudah muncul di tahun 1960 atau

setidaknya akhir tahun 1950-an. Suatu masa yang bersamaan dengan gelombang

migrasi kedua dari desa-desa di Sulawesi Selatan. Kemunculannya pertama kali

bukan inisiatif pemerintah atau siapapun melainkan oleh para pedagang sendiri yang

kemudian meramaikan area kecil di ujung Selatan jalan Terong atau dekat dengan

jalan Bawakaraeng yang dulu bernama jalan Maros (Maros weg). Demikianlah,

berawal dari pagandeng (dengan sepeda) dan palembara (dengan pikulan) yang

membawa aneka buah dan sayur mayur terjadilah transaksi atau jual beli di area jalan

Terong dan lorong-lorong sekitarnya seperti kini menjadi jalan Mentimun, jalan

Kubis, jalan Sawi dan sebagainya.

Kurang lebih 7 tahun sejak munculnya pertama kali, bangunan pasar mulai terlihat di

tahun 1967 hingga 1968. Menurut beberapa pedagang yang hidup saat itu, wujud

pasar hanyalah bertiangkan bambu dan beratapkan nipa. Saat itu, kanal Panampu

belum selebar dan sekotor sekarang ini. Kanal itu dulunya hanya sebuah got besar

yang oleh penduduk setempat disebut ‘solongang lompoa’ yang dipenuhi kangkung

dan rumput liar di kedua sisinya.

Area pasar sendiri masih sangat terbatas infrastrukturnya sehingga setiap musim

hujan selalu terjadi banjir. Bila banjir tiba, maka bagian-bagian dalam bangunan

Page 24: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

pasar dapat hanyut seperti hanyutnya buah-buah dagangan seperti mangga, salak,

kedondong, dan lain-lain.

Sekitar 1967, terjadi kebakaran hebat di area perkampungan Terong, atau kini

dikenal kelurahan Tompobalang. Banyak warga kehilangan tempat tinggal dan

dipindahkan ke area lain seperti di sekitar pasar Karuwisi atau sebelah Utara Kebun

Binatang, Rappokalling, Rappojawae, Korban 40.000, Cambayya, dan belakang

Galangan Kapal (Capoa).

Lokasi eks kebakaran ini kemudian oleh pemerintah kota, saat itu walikota adalah

HM. Daeng Patompo , dibangunkan pasar pemanen berupa front toko dan lods-lods

yang tahap pekerjaannya dilakukan sejak tahun 1970 oleh PT Antara. Pada tahun

1971 pasar Terong diresmikan dan ditempati oleh pedagang. Bentuk bangunan masih

sederhana. Berdasarkan ilustrasi Siswandi yang melakukan riset etnografis di pasar

Terong menyebutkan bahwa bagian luar pasar berbentuk front toko yang menyerupai

huruf ‘U’. Front toko ini mirip dengan bangunan rumah toko (ruko) tetapi tidak

bertingkat dan ukurannya lebih kecil. Di sebelah Barat yang menjadi bagian tengah

front toko adalah pintu gerbang yang menghubungkan pasar Terong dengan jalan

Terong (Siswandi, 2009).

Di sebelah Selatan juga terdapat pintu gerbang di antara jejeran front toko dan

beberapa pedagang Tionghoa juga sudah di sana. Di atas pintu gerbang tersebut

adalah tempat kantor pasar. Di bagian Timur bisa ditemukan sebuah Mushalla yang

terletak di atas pintu gerbang tersebut. Sementara di bagian Utara tidak terdapat

front toko. Di tengah front toko terdapat hamparan los induk, dan beberapa hamparan

los kecil di tiap sisinya. Adapun kondisi jalan Terong di sekitar tahun 1980 masih

berupa pengerasan atau aspal berkerikil.

Di era tahun 1980 hingga 1990-an, penataan pedagang pasar mencapai titik

ekstrimnya di mana pedagang pasar berada dalam kontrol anggota militer yang

bertugas menjaga keamanan. Tahun-tahun tersebut pedagang pasar Terong

bersentuhan sehari-harinya dengan aparat militer khususnya seorang anggota yang

bernama Sampe atau pak Sampe. Bentuk kontrolnya dapat dilihat melalui banyaknya

Page 25: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

pos militer yang ditempatkan di area pasar Terong, yakni 2 pos di dua sisi jalan

Terong, dan 2 pos di dua sisi jalan Sawi (samping kanal). “Tidak boleh pedagang

berjualan di luar area front toko atau area pasar yang ada”, demikian petunjuk

penataan yang harus dilaksanakan.

Saat itu, jumlah pedagang sudah marak. Harga satu kios atau satu tempat di dalam

front toko tersebut bisa mencapai Rp. 10.000,- yang nilainya menurut salah satu

informan di pasar Terong senilai dengan menjual sepetak sawah di kampung.

Akibatnya persoalan klasik timbul di mana tidak semua pedagang dapat membeli

tempat di dalam front toko. Pilihan yang tersedia adalah berjualan di luar front dan

memilih kucing-kucingan dengan pak Sampe dan anggota militer lainnya. Bila

ketahuan, maka resiko memperoleh tendangan ataupun gebukan dari tongkat kayu

yang disinyalir beralirkan listrik itu akan mengenai tubuh pedagang yang

‘membandel’. Tentu ada pula pedagang yang memilih pindah ke pasar lain, seperti

ke pasar Panampu. Tapi tak jarang, banyak yang akhirnya memilih kembali ke pasar

Terong dan melakukan serangkaian “perlawanan” dalam menghadapi kerasnya

militer melakukan pengamanan.

Dari ragam cerita yang dituturkan oleh pedagang yang pernah mengalaminya seperti

Daeng Nur (49) di mana ia harus berpura-pura gila untuk menemui pelanggannya

dan membuat janji untuk bertemu di tempat tertentu untuk melakukan transaksi

sesuai pesanan pelanggan. Lain lagi cerita Daeng Jama’ (55) dimana ia menyuruh

putri-putrinya untuk menjaga barang dagangan agar anggota militer itu tidak

mengganggu. Malah seorang diantaranya akhirnya menikah dengan tentara itu. Lain

lagi dengan pak Dolly (40an) yang karena saat itu adalah pedagang plus peminum

‘Anggur’ tanpa ragu mengajak beberapa tentara untuk minum bersama dan saling

kenal di kedai tempat dia mangkal agar jualannya tidak diganggu.

Macam-macam saja cerita pedagang mengakali ketatnya pengawasan pak Sampe ini.

Inilah bentuk perlawanan pedagang atas berbagai kontrol yang diterapkan. Namun,

satu hal yang pasti, pak Sampe benar-benar menjadi momok bagi pedagang yang

menjual di luar area pasar. Tidak hanya itu, pasar Terong yang dikenal sebagai

Page 26: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

tempat “preman” berkumpul dari berbagai kampung sekitarnya, khususnya dari

Maccini Gusung dan Maccini Kidul (Baru), Kandea, Barabaraya, Pucca,

Rappokalling dan lainnya juga dibuat jera oleh aksi para ‘tentara pasar’ ini.

Pak Sampe, tentara yang berasal dari tanah Mandar dan mengomandoi rekan-

rekannya di pasar Terong ini benar-benar ditakuti.

Menjelang tahun 1994, ide untuk melakukan revitalisasi pasar tahap kedua bergulir.

Berawal dari sebuah studi banding yang dilaksanakan oleh walikota Makassar saat

itu, Malik B. Masri di Hawaai, USA, terbersitlah keinginan merombak pasar Terong

menjadi sebuah pasar modern. Saat itu, terpilihlah PT. Prabu Makassar Sejati sebagai

developer dimana Ferry Soelisthio sebagai komisaris yang memenangkan tender

untuk revitalisasi pasar “tradisional”. Mulailah persoalan baru muncul menghampiri

pedagang pasar Terong.

Dengan desain yang ‘terlalu moderen’ lahirlah sebuah gedung berlantai 4, yakni

lantai dasar, 1, 2, dan 3 di lahan seluas 13.253 m2. Sebagaimana revitalisasi tahap

pertama di masa walikota Daeng Patompo, revitalisasi tahap kedua ini juga menuai

banyak masalah. Persoalan klasik juga mencuat, harga kios dan lods terlampau

mahal bagi pedagang kecil yang mendominasi berdagang di pasar Terong. Banyak

yang dengan terpaksa membeli kios yang berharga 40 – 80 juta rupiah atau lods bagi

pedagang kecil karena tiada pilihan lain, walau banyak pula yang memilih mengisi

badan jalan di luar bangunan yang kini berdiri.

Masalah lain timbul seiring kepindahan pedagang ke dalam gedung baru. Tidak

sampai 6 bulan, para pedagang ‘basah’ kecewa dengan sulitnya proses angkut barang

naik turun setiap harinya. Belum lagi pembeli yang tidak ingin naik hingga ke lantai

2 apalagi 3. Pembeli berkurang berarti pemasukan minim. Pemasukan minim

berimplikasi pada cicilan tempat terhambat sementara biaya untuk mencukupi

anggota keluarga di rumah juga dituntut setiap harinya. Akhirnya banyak pedagang

memilih keluar dan meninggalkan tempat mereka yang sudah dibeli dan sedang

berjalan cicilannya. Ramailah kembali badan-badan jalan, lorong, trotoar, dan

berbagai sudut pasar yang memungkinkan untuk ditempati. Sementara di lain pihak,

Page 27: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Developer melalui perjanjian yang dibuat dengan pedagang pembeli kios/lods

menikmati keuntungan akibat macetnya cicilan yang membuat uang muka (DP) dan

diskon 12 persen menjadi milik developer tanpa harus kehilangan kios dan lods yang

sudah dibeli pedagang. Hingga kini, masalah ini masih menyisakan banyak

kekecewaan di hati pedagang yang terlanjur membayar mahal namun kehilangan

daya melanjutkan cicilan. Tidak membayar selama 3 bulan berturut-turut berarti

kehilangan uang DP dan diskon 12 persen.

Memasuki awal tahun 2000an keadaan pasar semakin semerawut. Pengusaha atau

developer dan pedagang berada dalam kerugian akibat model bangunan yang

dipaksakan dalam kondisi yang berbeda kultur. Pedagang pasar Terong tumbuh

dalam budaya hamparan yang melebar horisontal dan kini dihadapkan pada area

dengan bangunan vertikal meninggi ke atas. Mereka lalu memilih kembali melebar.

Karena maraknya pedagang di luar gedung ketimbang di dalam gedung maka secara

naluria—dan berdasarkan kebiasaan pemerintah masa itu—persoalan ini akan

diselesaikan melalui pembersihan pedagang di luar gedung yang kemudian dicap

“liar”. Maka ditempuhlah beragam cara baik legal maupun di luar kerangka regulasi.

Cara legal tentulah melalui jalur resmi pemerintah seperti pengerahan satuan polisi

pamong praja atau satpol PP. Lalu cara sebaliknya adalah melalui mobilisasi

“preman” untuk melakukan aksi teror dan penyebaran ketakutan atas pedagang di

pasar. Bahkan, kedua model ini dapat bekerja secara bersamaan sebagaimana terjadi

di tahun 2003, 2005, dan 2007. Dimana preman dan satpol PP turut andil dalam

serangkaian pembongkaran dan penggusuran kepada pedagang.

Mengenai penggunaan “preman” dalam upaya penataan pasar Terong bukanlah

sesuatu kebohongan. Bahkan menjadi keniscayaan bagi pengusaha dan pemerintah

dalam hal ini perusahaan daerah yang mengelola pasar, PD Pasar Makassar Raya.

Sekian tahun berada di pasar relasi itu sudah terlihat secara nyata. Peran salah

seorang yang dikenal sebagai salah satu “preman” di pasar Terong misalnya yang

bernama Daeng ‘X’ yang telah menjadi kaki tangan baik pihak developer maupun

pihak tertentu di PD Pasar Makassar Raya (Wawancara dengan Daeng ‘X’, 2009).

Page 28: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Pasar berkembang, pedagang juga berkembang tapi persoalan tetap sama, yakni

ketidakadilan terhadap banyak pedagang pasar yang tidak mampu mengakses kios

dan lods di dalam gedung dan merugi akibat kios/lods yang dibeli tiada dikunjungi

pembeli. Pasar kini dikelola oleh dua aktor, yakni pihak developer dan pihak Perusda

milik pemerintah kota Makassar. Bentuk perlawanan pedagang juga berubah dan

tidak lagi sporadis dan sembunyi-sembunyi. Di tahun 2003 sudah ada organisasi

yang lahir dari kalangan mereka yang mereka sebut Persaudaraan Pedagang Pasar

Terong, disingkat SADAR. Organisasi ini sudah berhasil meningkatkan nilai tawar

pedagang sehingga tidak lagi terlalu rentan oleh aksi penggusuran dan ancaman teror

dari preman.

B. Pelaku dan Perilaku yang Bermasalah

Bila merujuk pada paparan di atas, maka dapat diidentifikasi pihak-pihak yang

terlibat dalam tata kelola pasar di kota Makassar, yakni:

1. Pemerintah Kota Makassar (Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan, satuan polisi

Pamong Praja)

2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota Makassar (Basis konstituen)

3. Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya dan jajarannya (Kepala Unit Pasar dan

jajarannya)

4. Pihak swasta (Pengembang dan Developer)

5. Pelaku Usaha Besar atau pengusaha pengelola pusat perbelanjaan dan toko

Moderen

6. Pelaku Usaha Menengah

7. Pelaku Usaha Kecil dan Mikro

8. Pihak Keamanan (Kepolisian setempat)

Page 29: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

9. Pihak Pertahanan (TNI setempat)

10. Pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan secara non-legal formal,

seperti Preman.

11. Organisasi Masyarakat Sipil, Mahasiswa, dan Media

12. Konsumen

Adapun perilaku yang dianggap bermasalah, dapat meliputi:

1. Pemerintah Kota memiliki beberapa kegagalan dalam menata dan manjaga

eksistensi pasar lokal dan membiarkan pengusaha ritel moderen bermain dengan

bebas mempengaruhi selera konsumen kota Makassar. Pemerintah dalam hal ini

gagal membangun proses penanganan pasar khususnya pasar lokal secara

partisipatif dengan melibatkan lebih banyak pedagang dalam memutuskan yang

terbaik bagi keberadaan dan kelangsungan berdagang bagi pedagang kecil/mikro

yang rentan menjadi korban dalam persaingan ekonomi yang tidak sehat dan

seimbang ini;

Pemerintah juga gagal mengatur ketentuan jenis dan skala barang dagangan

pusat perbelanjaan dan toko moderen agar tidak merugikan pelaku usaha pasar

lokal. Misalnya, pemerintah membiarkan saja harga-harga kebutuhan pokok

dijual oleh pusat perbelanjaan dan toko moderen di bawah harga pasar lokal.

Membiarkan pusat perbelanjaan dan toko moderen menjual kebutuhan pokok

secara eceran, padahal selama ini menjadi kekuatan pasar lokal kita. Mengapa

pemerintah kota tidak menetapkan bahwa peritel besar menjualnya hanya dalam

bentuk kemasan. Bahkan pemerintah tak berdaya ketika para peritel besar ini

menembus desa-desa dan mengatur pola dan jenis tanam kepada petani atau

pemilik lahan yang akhirnya menyisakan barang-barang kelas dua bagi pasar

lokal, sementara barang kelas satu semuanya ada di mall, hypermarket,

supermarket, perkulakan, dan harganya lebih murah pula.

Page 30: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Dan yang lebih parah, pemerintah kota sangat tidak konsisten mengatur

pendirian dan keberadaan pusat perbelanjaan dan toko moderen berdasarkan

dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar. Sebagai contoh,

lingkungan Tamalanrea yang seharusnya menjadi sentra pendidikan kini dengan

mudahnya kita temukan berbagai pusat perbelanjaan (MTos), pusat pertokoan,

dan aneka rumah toko lainnya.

2. Perusahaan Daerah (Perusda) Pasar Makassar Raya gagal mengelola 16 pasar

lokal yang dianggap resmi dan pasar darurat lainnya sehingga sarana dan

prasarana pasar sangat kurang dan terancam ditinggalkan oleh konsumen yang

lebih mengutamakan kebersihan atau kenyamanan berbelanja. Belum lagi

pendekatan pihak perusda dalam menangani tuntutan pedagang pasar yang

masih bersifat topdown, berbasis kekerasan melalui satuan polisi pamong praja

dan bahkan premanisme.

Pimpinan Perusda bahkan lebih suka berdialog dengan pihak pengembang di

hotel-hotel berbintang ketimbang mengajak pedagang kecil dialog bagaimana

sebaiknya menata pasar lokal yang semakin hari semakin tersudut dan

terpinggirkan dimainkan oleh pelaku pusat perbelanjaan dan toko moderen.

3. Pihak Pengembang seperti PT. Melati di Makassar Mall dan PT. Makassar Putra

Perkasa di pasar Terong gagal membangun atau merevitalisasi pasar lokal yang

dijiwai oleh budaya pasar lokal yang model bangunannya hamparan dan ramah

terhadap pedagang kecil dan mikro. Kegagalan ini tercermin dari bangunan yang

berlantai lebih dari 2 tingkat, penempatan pedagang ‘basah’ dan ‘kering’ di

tempat yang tidak efektif, system drainasi dan sanitasi yang buruk, harga kios

maupun lods yang jauh dari terjangkau, dan aneka peraturan lainnya yang

belakangan merugikan pedagang sebagai pengguna bangunan.

Sebagai contoh bisa dilihat nasib pasar Terong yang terus menerus terbengkalai,

sementara proses revitalisasi seolah mengabaikan sebaran pedagang kecil yang

kini memenuhi jalan-jalan dan lorong-lorong di sana. Kini bahkan “pasar

Terong” versi Ferry Soelisthio semakin melencengkan nilai kesejarahan dan cirri

Page 31: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

khas pasar Terong sebagai pasar induk kota Makassar dan sentral sayur-mayur,

rempah-rempah atau Sembilan bahan pokok untuk masyarakat kota dan daerah

sekitarnya.

Demikian pula nasib pasar Sentral yang kini tinggal nama di telan nama besar

‘Makassar Mall’ yang sebenarnya juga menunggu ‘kematiannya’. Yang bertahan

tinggallah pengusaha garmen, sementara pedagang ‘basah’ seperti ikan dan

daging harus merasakan ‘kesepian yang panjang’ di lantai dasar yang berbau,

pengap, dan saluran air yang sempit dan seringkali macet. Belum lagi bila

musim hujan yang mengundang banjir. Para pedagang yang bertahan di sana

yang tidak punya pilihan lagi selain bertahan karena pasar alternatif seperti pasar

Bacan tinggal bernostalgia tentang pasar mereka sebelum direvitalisasi tahun

1994 lalu. “Dulu, begitu indahnya pasar Sentral hingga ada taman kecil di area

pedagang basah sehingga nikmat sekali menikmati udara lepas.”

Coba juga lihat nasib pasar Butung yang sebelumnya sudah berdiri tahun 1917

itu. Pasar itu kini sudah beberapa kali mengalami revitalisasi hingga menjadi

pusat grosir sekarang ini. Sebuah bangunan megah yang gagal memenuhi

kewajiban dasarnya menjadi tempat berlangsungnya proses jual-beli. Lantai

dasar dan satu kekurangan pasokan listrik sehingga pedagang harus membeli

genset dan memasangnya di depan tangga utama untuk memenuhi kelebihan

daya dari hanya 80 watt yang disediakan pihak pengelola listrik. Di lantai 2 tidak

semua kios terisi. Jangan Tanya lagi di lantai tiga dan empat. Menurut pedagang

di sana yang ada mungkin kuntilanak atau sundel bolong.

4. Pihak-pihak lain yang mengambil untung dari ketimpangan relasi antara pelaku

usaha pasar lokal, developer, pusat perbelanjaan dan toko moderen seperti aparat

pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer dan kepolisian yang

menyediakan jasa keamanan. Bahkan, preman-preman ‘dipelihara’ oleh pihak-

pihak tertentu agar sewaktu-waktu bisa digunakan untuk mendesakkan

kepentingan baik dalam berhadapan dengan pedagang kecil maupun dalam

berhadapan dengan aparat Negara.

Page 32: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Ke depan, pihak-pihak ini sebaiknya berkoordinasi dengan pengelola pasar

secara terbuka dan diketahui publik. Sebagi contoh, ada aparat TNI beroperasi di

pasar dengan tugas di luar fungsinya sebagai penegak pertahanan. Ada anggota

polisi yang bekerja membantu dalam penarikan retribusi juga di luar fungsi

sebagai penjaga keamanan. Sebaliknya, para ‘preman’ juga seringkali hadir di

pasar lokal, khususnya pasar yang mengalami revitalisasi ‘membantu’ pihak

developer menjadi ‘bamper’ bagi kebijakan keras untuk menggusur pedagang

yang menurut mereka membuat pasar semerawut.

5. Pelaku usaha pusat pertokoan dan Toko Moderen yang diberikan kemudahan

oleh pemerintah kota dalam berusaha membuat aktor pengusaha ritel besar ini

memiliki kuasa untuk bergerak mengikuti logika bisnisnya, yakni maksimalisasi

keuntungan dan minimalisasi pengeluaran atau kerugian. Akibatnya, tindakan

mereka berakibat pada rusaknya system jual beli yang selama ini berlangsung di

pasar lokal.

Sebagai contoh adalah persoalan harga kebutuhan sembako yang jauh dari harga

pasar lokal sebagaimana dijelaskan di atas. Lalu kemampuan mereka dalam

mengiklankan pasar dan produk mereka di media lokal juga membuat pasar

lokal semakin kehilangan pelangganya dari waktu ke waktu.

Seharusnya pemerintah dapat lebih mengatur pola usaha ini mengingat

ketidakberdayaan pasar lokal berhadapan dengan pelaku ritel besar yang

memiliki modal besar. Pemerintah perlu menunjukkan dan membuktikan

keberpihakan kepada pasar lokal melalui pengaturan yang lebih baik.

6. Tak dapat dipungkiri ada juga pedagang yang dengan terpaksa melanggar

ketentuan yang telah dibuat baik oleh pengelola pasar maupun developer sebagai

pihak yang diberi kuasa mengelola tata bangunan pasar. Tindakan mereka

banyak didasarkan kepada beberapa alasan, yakni, kegagalan bangunan baru

menampung pedagang kecil dan mikro akibat mahalnya harga tempat di dalam

gedung atau area berjualan paska revitalisasi.

Page 33: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Alasan lain adalah karena semakin tidak memadainya lokasi berjualan pada

pasar lokal yang telah eksis akibat pemerintah kota tidak membangun pasar

lokal baru di tempat lain selain revitalisasi pasar, seolah-olah revitalisasi dapat

menyelesaikan masalah meningkatnya pedagang sektor informal.

Maraknya pedagang sektor informal mengisi badan jalan yang tidak

diperuntukkan untuk itu merupakan ‘kritik’ bagi pemerintah kota yang gagal

memberikan area jual-beli kepada warganya.

C. Dampak Sosial-Ekonomi dari Permasalahan

Beberapa masalah yang ditimbulkan akibat dari buruknya tata kelola pasar di kota

Makassar adalah:

1. Menurunnya minat masyarakat kota Makassar untuk berbelanja di pasar lokal.

2. Hal ini berimplikasi pada menurunnya omzet pedagang pasar lokal. Walaupun

belum ada riset untuk menghitung berapa besaran kerugian, namun secara

kualitatif, kerugian ini tergambar dari informasi yang diberikan oleh banyak

pedagang bahwa kini mereka hanya melayani langgana tetap mereka saja.

Sebelumnya akan banyak orang-orang baru datang berbelanja. Kini, seperti

infromasi dari Tia pedagang lombok di pasar Terong dan beberapa pedagang

dari berbagai pasar lokal seperti pasar Sentral, pasar Cidu, Daya, dan sebagainya

menyebutkan bahwa waktu menjualnya selain semakin panjang juga semakin

kehilangan pembeli baru.

3. Dampak lain adalah pasar lokal tidak terkelola akibat lemahnya sistem

pembinaan dan penataan seperti yang dijelaskan di atas. Kotornya pasar lokal

dan aneka problematika lainnya terus menerus tak tertangani dengan baik.

4. Akhirnya pasar semakin semrawut dan para pedagang rentan dengan penyakit

akibat system drainase yang rusak dan sanitasi yang buruk.

Page 34: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Bila ini terus berlanjut, maka peran pasar lokal sebagai sektor pelindung dari jumlah

atau angka kemiskinan akan tidak berfungsi. Akibatnya, kemiskinan akan bertambah

ketika pendapatan semakin menurun dan lingkungan usaha yang semakin tidak sehat.

Data yang diperoleh menggambarkan bahwa pasar lokal adalah area bisnis yang

mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan biaya yang tidak perlu puluhan atau

ratusan miliar rupiah. Cukup sediakan lahan yang memadai, tenda yang tertata rapi,

drainasi dan sanitasi yang baik, dan konsistensi dalam penataan maka masalah

kemiskinan dapat segera diatasi melalui tersedianya lapangan kerja.

D. Pengalaman dari Kota Lain

Mengelola pasar lokal dengan baik pada dasarnya adalah mengelola atau menata

pedagang sektor informal atau Pedagang Kaki Lima (PKL). Dua kota yang dapat menjadi

rujukan penting dalam tata kelola pasar lokal adalah kota Solo dan kota Manado. Kota

Solo memperlihatkan sebuah proses tata kelola pertisipatif sementara kota Manado

cenderung dengan pendekatan otoriter. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr.

Elizabeth Morrell, dkk tentang ‘tata kelola ekonomi infomal’ menggambarkan

bagaimana Pemda kota Solo sejak tahun 2006 menjadi pemimpin dalam mengorganisir

pedagang sektor informal secara efektif (Morrell, dkk, 2009).

Kota Solo

Seperti yang terjadi di daerah lain di Indonesia, jumlah PKL di kota Solo meningkat

tajam akibat krisis ekonomi pada tahun 1997. Terdapat 1100 PKL pada tahun 2001 dan

meningkat tajam pada tahun 2005 menjadi 5817 PKL. Dengan meningkatnya jumlah

pedagang sektor informal yang mengisi badan jalan akibat tidak memadainya pasar lokal

membuat pemerintah kota Solo melakukan relokasi PKL. Dengan sangat hati-hati Pemda

melakukan relokasi terhadap 3917 pedagang yang beroperasi di jalan-jalan kota Solo.

Untuk menjaga sikap kehati-hatian itu, Pemda Solo mengadopsi pendekatan komunikasi

dan inovasi dalam membantu pedagang, dalam kerangka pengawasan dan mengaturan.

Pada tahun 2001, Pemda kota Solo pembentuk suatu kantor yang mengurusi pengelolaan

PKL yang sebelumnya berada di bawah pengelolaan Dinas Pengelolaan Pasar. Fungsi

Page 35: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

utama dari dinas ini adalah mengumpulkan data, serta melaksanakan, mengevaluasi, dan

melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, penataan, dan penertiban

pedagang.

Pada Juli 2005, walikota terpilih Joko Widodo, memperkenalkan kebijakan yang

mengakui bahwa Pemda tidak harus hanya fokus pada mengembangkan usaha kecil,

menengah dan besar, tetapi juga harus memfasilitasi pengembangan usaha mikro. Tahun

berikutnya, tim khusus dibentuk untuk melakukan identifikasi dan menindaklanjuti

masukan dari masyarakat. Saat itu, tim ini mempertimbangkan berbagai faktor yang

berkaitan dengan:

1. Permintaan masyarakat untuk penyelesaiaan masalah PKL

2. Sejumlah ruang publik yang tidak dapat diakses, tidak aman, atau tidak nyaman

karena keberadaan PKL

3. Isu lingkungan disebabkan kurangnya ruang terbuka hijau

4. Kesehatan masyarakat dan kebersihan

5. Keamanan dan keselamatan bagi pedagang

6. Meningkatnya masalah sosial ekonomi di masyarakat Solo

Pemda Kota Solo saat itu, bertekat untuk mengelola pedagang dengan cara mendesain

kawasan pedagang. Ketentuan kawasan pedagang ini diatur sedemikian rupa dimana kios

permanen dibangun di lokasi yang tepat; beberapa kawasan, pedagang dapat beroperasi

menggunakan tenda tidak permanen selama periode tertentu setiap hari; kios yang dapat

dibongkar diizinkan di beberapa lokasi; gerobak dibagikan untk pedagang berpindah di

mana tidak tersedia lahan untuk kios atau tenda.

Hal lain yang juga ditempuh oleh pemerintah kota Solo adalah mendirikan pasar lokal

baru untuk menampung para pedagang yang sulit terserap di pasar-pasar lokal yang sudah

ada. Saat itu, pasar dimaksud mampu menampung sekitar 1000 pedagang. Selain itu,

Pasar lokal mengalami revitalisasi/renovasi serta para pedagangnya diberi bekal

pengetahuan bisnis melalu berbagai pelatihan. Jika diperlukan, setiap upaya penertiban

akan didahului oleh 3 surat peringatan lisan.

Page 36: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Dengan melalui proses panjang konsultasi dan partisipasi banyak pedagang kini Pemda

memiliki pemasukan (PAD) hingga 32 persen lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun

sebelumnya.

Kota Menado

Krisis ekonomi tahun 1997 dan konflik kota Posa dan Ambon di tahun 2000an telah

meningkatkan jumlah pengungsi di kota Menado. Akibatnya, usaha sektor informal atau

PKL meningkat drastis. Hingga tahun 2006, jumlah pedagang di sektor ini sudah

mencapai 4.046 PKL dan ‘menghilang’ pada tahun 2007. Pemerintah kota Menado

melalui mesin Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berhasil membuat Menado

terbebas dari PKL.

Kemana perginya pedagang-pedagang itu setelah penggusuran? Menjadi pertanyaan

menarik yang membimbing Morrell, dkk untuk melihat pendekatan tata kelola pasar lokal

di sana. Menurut temuan dalam riset, hanya berkisar 1500 pedagang yang mampu

terserap di pasar lokal yang kemudian mengalami kemunduran dalam pengelolaan.

Kerasnya sikap pemerintah kota terlihat dari penolakan pemerintah kota berhubungan

dengan pedagang secara langsung melainkan sekedar melalui asosiasi pedagang kaki lima

yang dibentuk untuk itu. Setelah pedagang terus-menerus ditertibkan membuat asosiasi

itu dengan sendirinya lenyap.

Implikasi dari pola ini adalah menurunnya pendapatan pedagang dibandingkan pada

tahun-tahun ketika kebebasan berjualan masih mereka nikmati. Karena berkurangnya

pedagang sektor informal dan menurunya jumlah pemasukan bagi pedagang yang masih

eksis di pasar lokal juga berkurang mengakibatkan pemerintah tak lagi memiliki

pendapatan tambahan. Akibatnya pasar lokal atau ‘tradisional’ juga kehilangan

penghasilan dan biaya perawatannya. Pasar lokal, sebagai contoh pasar Bersehati

dibiarkan semerawut oleh pemerintah, sehingga menjadi kotor, bau, dan tidak nyaman

bagi pengunjung. Konsekuensinya, pegunjung terus berkurang dan lebih memilih

supermarket atau toko moderen.

Page 37: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Dari dua contoh kasus ini, Morrell, dkk menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya

pedagang di sektor informal atau pasar lokal lebih baik dipandang sebagai sebuah

peluang untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi warga kota ketimbang sebagai

ancaman bagi pertumbuhan kota dan wargan di dalamnya.

Maka, dengan merujuk pada dua kasus itu, sebaiknya pasar-pasar lokal harus dipandang

sebagai sebuah asset daerah dan perlu diperlakukan secara adil melalui pelibatan

pedagang pasar dalam tata kelola pasar lokal se-kota Makassar.

Page 38: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

BAB III

A�ALISA ATAS PE�YEBAB PERILAKU BERMASALAH

A. Pengantar

Permasalahan yang dihadapi pertama kali akan dilihat dari sudut pandang

kelembagaan atau institusi. Lembaga dalam pengertian ini adalah sebuah organisasi

plus nilai yang terdapat di dalamnya. Selain melihatnya dari aspek kelembagaan,

perspektif penelitian ini juga melihat peran aktor yang menentukan bagaimana tata

kelola pasar berlangsung. Jadi bila merujuk pada kelembagaan yang mengurusi pasar

maka pertama-tama akan bersentuhan dengan pemerintah kota sebagai penyedia

layanan publik. Pemerintah kota dalam hal ini telah membentuk sebuah lembaga

yang bernama Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya.

Lembaga selanjutnya adalah sektor swasta berupa lembaga yang diberikan

kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan pembangunan pasar (sejauh ini baru

sebatas revitalisasi) yakni pihak pengembang, sebutlah PT. Melati yang mengelola

pasar Sentral, PT. PT Sulwood dan KSU Bina Duta yang mengelola pasar Butung,

PT. Makassar Putra Perkasa mengelola pasar Terong dan pasar Baru, dan

sebagainya. Perusahaaan-perusahaan ini jelas berorientasi profit.

Termasuk di dalamnya adalah lembaga swasta yang mengelola pusat perbelanjaan

dan toko moderen atau dalam hal ini para pengusaha ritel moderen dengan modal

yang besar dan kuat. Institusi ini juga adalah berorientasi profit dan berpotensi untuk

mengendalikan pasar karena kuatnya modal usaha yang mereka miliki. Dalam

konteks modernisasi kota, tidak dapat diragukan bahwa para pengusaha ini mampu

menyediakan ruang belanja bagi masyarakat kelas menengah ke atas kota Makassar.

Institusi terakhir yang menjadi fokus adalah organisasi yang dibentuk khusus untuk

mengakomodir kepentingan pedagang dalam berhubungan dengan para pihak yang

punya kepentingan di pasar. Beberapa organisasi yang berdiri secara independen

sepanjang pemantauan dalam penelitian ini adalah ‘Persaudaraan Pedagang Pasar

Page 39: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Terong’ di singkat SADAR, ‘Asosiasi Pedagang Pasar Terong’ (APPT), Kelompok

Usaha Kecil (KUKMI) Pasar Daya, Asosiasi Pedagang Kaki Lima (Aspek 5) pasar

Sentral, dan asosiasi yang didirikan berkaitan dengan organisasi yang sudah

terbentuk secara nasional seperti Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia

(APPSI) berikut cabang-cabangnya di setiap provinsi dan rantingnya di setiap pasar

lokal.

B. Analisa atas Penyebab Perilaku

Setiap institusi baik milik pemerintah maupun non-pemerintah harus memiliki

system pengelolaan internal dan antar lembaga yang disebut ‘aturan’ atau regulasi.

Lemahnya regulasi dalam tata kelola pasar menyebabkan banyak aktor dengan

kepentingan yang berbeda satu sama lain, atau sama berusaha mengambil untung

dari kelemahan ini.

Dalam perspektif ilmu politik, pendekatan ini disebut pendekatan ‘pilihan rasional’

dan ‘kelembagaan’ atau dalam kategori March dan Olsen ‘The rational Choice

institutionalism’ sebuah pendekatan dalam mazhab kelembagaan baru (March and

Olsen, 1983). Pendekatan ini memadukan aspek ekonomi dan politik dalam melihat

perilaku aktor-aktor politik. Prinsip utama pendekatan ‘pilihan rasional’ adalah

bagaimana seorang aktor memegang prinsip ekonomi ‘memaksimalkan keuntungan

dan meminimalkan resiko’. Aliran ini menganggap bahwa setiap orang tidak lepas

dari kenyataan kalkulasi ekonomi dalam melakukan sesuatu.

Pendekatan ini juga menyediakan instrumen pendukung seperti teori permainan (the

game theory) yang pendekatannya sangat matematis. Karena orang-orang ini

bertujuan bermain dalam lembaga-lembaga negara maka perpaduan dua pendekatan,

yakni ‘pilihan rasional’ dengan ‘kelembagaan’ menjadi perlu dalam menjelaskan

fenomena politik ini.

Pendekatan kelembagaan baru—demi membedakan diri dengan pendekatan

kelembagaan lama yang formalistik—menyatakan bahwa lembaga adalah organisasi

plus nilai atau norma. Jadi bila seseorang berhasil masuk ke dalam sebuah organisasi

Page 40: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

(formal maupun informal) maka dia harus memahami bahwa terdapat nilai-nilai atau

norma-norma yang mengatur perilaku anggota organisasi. Norma-norma inilah yang

mengatur bagaimana anggota sebaiknya berperilaku, namun di sisi yang lain mereka

juga dapat menentukan arah [dan memanipulasi] keberadaan norma melalui aturan

main (rule of the game) yang sudah disepakati bersama demi meraup keuntungan

sebesar-besarnya.

Perilaku semacam ini, menurut teoritisi the rational choice institutionalism, terjadi

secara kolektif (collective action) dan dapat menyerap aktor-aktor tunggal untuk

masuk dalam aturan main yang berlaku internal. Ingatlah bagaimana istilah ‘korupsi

berjamaah’ digaungkan oleh banyak pihak dalam menggambarkan fenomena politik

ini. Kebersamaan bertindak ini merujuk bukan hanya mereka di dalam satu institusi

formal/informal, namun juga melibatkan pihak lain di luarnya dengan kepentingan

yang sama.

Salah satu contoh kolektivitas ini dapat dilihat dalam pelaksanaan proyek-proyek

pemerintah. Sudah sangat banyak kasus dimana seorang atau kelompok (baik

kontraktor maupun LSM) masuk dalam pekerjaan ‘manipulasi proyek-proyek

pembangunan’. Seorang kontraktor harus menyuap ‘orang-orang dalam’ (costs) demi

memperoleh satu proyek (utilities), atau sekumpulan kontraktor secara kolektif

‘membayar’ para politisi di lembaga pemerintah dan parlemen agar satu kebijakan

lahir dalam mendukung aktifitas bisnis mereka.

Dalam beberapa kasus revitalisasi pasar lokal kecenderungan developer untuk lebih

memperioritaskan keuntungan lebih terlihat secara jelas ketibang tujuan utamanya

ingin mengelola pasar lokal yang nyaman dan aman. Harga kios dan lods yang

tinggi, adalah salah satu bukti yang kemudian merusak relasi social pedagang yang

selama ini sudah terbangun secara alamiah. Pasar Butung rusak, pasar Terong rusak,

pasar Sentral rusak, adalah dampak dari pelaku ‘pencari rente’ ini beraksi.

Demikian pula, maraknya pendirian pusat perbelanjaan dan toko moderen di kota

Makassar telah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah sedang bermain mata

dengan para pengusaha ritel bermodal besar, kawasan pendidikan seperti di

Page 41: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

kecamatan Tamalanrea yang seharusnya menjadi lingkungan akademisi kini dihiasi

ratusan toko moderen dan puluhan pusat pertokoan. Bahkan ke depan, aliran sungai

Tallo yang seharusnya masih area pendidikan akan menjadi area investor besar.

Pengusaha ritel moderen dengan mudah mengantongi izin usaha tanpa transparansi

kepada publik memang jauh lebih sederhana ketimbang mengurus pasar lokal sehari-

hari melalui penarikan retribusi, pengurusan sampah, parkir, listrik dan sebagainya.

Namun, sebenarnya, bila pengelolaan pasar bisa lebih baik maka pendapatan

pemerintah kota (PAD) bisa terdongkrak seperti terjadi di kota Solo.

Lemahnya pengaturan ini diperparah oleh lemahnya regulasi atau bahkan tiadanya

regulasi yang secara khusus digunakan untuk mengontrol tata kelola pemerintah atas

pasar-pasar lokal, pusat perbelanjaan dan toko moderen serta posisi keduanya agar

bisa saling bekerjasama untuk kesejahteraan pedagang kecil dan mikro serta pasar

lokal itu sendiri.

C. Kesimpulan Singkat

Pemerintah kota perlu mengatur pasar agar lebih baik melalui pendekatan

komunikasi dan inovasi yang tidak lagi melulu dengan pendekatan kekerasan baik

melalui satpol PP maupun agen ‘keamanan’ lainnya seperti preman dan sebagainya.

Hal ini ditempuh mengingat pemerintah sendiri memiliki keterbatasan dalam

mengelola lebih 50 pasar lokal di kota Makassar, untuk itu dengan regulasi dan

turunannya ke depan (peraturan walikota). Di sisi lain, keberpihakan ‘oknum’

pemerintah yang seringkali dengan mudah memberi izin pelaku atau pengusaha ritel

moderen turut mengganggu manajemen pasar. Dalam keadaan seperti ini,

terbentuknya tim independen yang berfungsi mengawasi dan mengevaluasi tata

kelola pasar lokal dan pusat perbelanjaan dan toko moderen adalah mutlak

diperlukan demi masa depan pasar lokal dan konsumennya.

Page 42: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Bab IV

SOLUSI

A. Alternatif-alternatif Solusi

Banyak orang, bukan hanya ahli ekonomi tetapi bahkan pedagang sendiri berpikir

bahwa pasar ‘tradisional’ atau pasar lokal harus ditata sedemikian rupa agar mampu

bersaing dengan pasar moderen yang sedang menjamur. Lalu, para pengambil

kebijakan pun berpikir senada dan dimulailah apa yang disebut revitalisasi atau

modernisasi pasar ‘tradisional’ dilakukan khususnya di era tahun 1990an dengan

mengundang developer. Di Makassar, 2 pasar lokal utama mengalaminya di era itu,

di antaranya pasar Sentral yang telah berganti nama Makassar Mall dan pasar induk

Terong yang kini ‘malu-malu’ berganti nama Mal Terong. 2 pasar ini, bila ditinjau

berdasarkan bangunan memang terkesan ‘moderen’, berlantai keramik, bertingkat

lebih dari 2 lantai, dengan eskalator dan lift, namun sangat disayangkan bangunan itu

tidak mampu memenuhi kewajiban dasarnya, menjadi tempat terjadinya transaksi

jual beli. Di pasar Sentral, pedagang sektor informal memilih memenuhi badan jalan

di sekitarnya, demikian pula pasar Terong, yang memenuhi beberapa jalan dan

puluhan lorong di sekitarnya.

Pilihan pedagang untuk memilih berdagang di luar gedung tersebut, bukan semata-

mata karena pedagang ini keras kepala dan tidak mau mengikuti perkembangan

jaman dan oleh karena itu harus dikerasi dengan alat kekerasan negara yang bernama

polisi dan satpol pemerintah. Ada banyak faktor mengapa upaya revitalisasi ini

secara total mengalami kegagalan. Diantara faktor itu adalah internal dan eksternal.

Faktor internal

Sejak awal, konstruksi gedung yang mentereng jelas berusaha mengubah kultur

berdagang dan kultur berbelanja di pasar lokal yang sudah berlangsung puluhan

bahkan ratusan tahun. Setidaknya untuk pasar Terong sudah di mulai akhir tahun

Page 43: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

1950an dan pasar Sentral tahun 1960an. Jenis pedagang yang berjualan di pasar

‘tradisional’ sangat beragam dengan modal dan cara berdagang yang juga beragam.

Di sana ada pamejang dengan skala dagangan mikro dan kecil, juga palapara yang

sekedar menggunakan tikar sebagai alas untuk berjualan segenggam-dua genggam

lombok, cabe, dan sayur mayur. Di sana ada pagandeng baik dengan sepeda maupun

motor dari berbagai pelosok Takalar maupun Gowa. Ada becak yang harus keluar

masuk untuk mengangkut penumpang, khususnya barang dagangan pedagang dari

jalan raya ke dalam area pasar dan banyak lagi aktifitas lainnya.

Di luar aktifitas pasar, pedagang juga menikmati suasana kekeluargaan yang tiada

tara yang tidak dimiliki oleh gedung-gedung pasar mentereng hasil revitalisasi pasar

‘tradisional’ karena umumnya pedagang tinggal di sekitar pasar. Mengapa banyak

pedagang tinggal di sekitar pasar, karena secara historis pasar-pasar lokal di

Makassar memang tumbuh karena kebutuhan komunitas dan bukan sama sekali

bentukan pemerintah. Orang-orang di kampung Maccini Gusung dan kampung

Baraya misalnya, menjadikan pasar Terong sebagai bagian wilayah pergaulan

mereka karena kisaran 40-50% penduduknya adalah pedagang di sana atau

setidaknya bekerja dengan menyediakan jasa di pasar.

Setelah revitalisasi banyak pedagang yang tidak mampu bertahan dengan model

gedung yang tidak familiar dengan mereka. Sekedar contoh, lokasi berjualan bagi

pedagang basah (ikan, daging, ayam potong) di tempatkan di area basement yang

berada di bawah permukaan tanah dengan saluran drainasi yang sangat sempit

berkisar 10 cm. Ruang yang pengap untuk barang dagangan yang berbau yang

seharusnya membutuhkan udara segar dan lapang tidak tersedia. Konon, menurut

cerita dari seorang pedagang daging, dulu pasar Sentral menyediakan bukan hanya

area berdagang yang lapang, tapi juga lokasi antara penjual ikan daging di antarai

oleh taman kecil sehingga selain berdagang bisa menghirup udara segar pandangan

mata juga tidak jemu dan jenuh. Belum lagi bagi pedagang sayur mayur yang di

tempatkan di lantai 2 atau 3, yang secara teknis amat tidak efisien.

Page 44: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Banyak pedagang masih mencintai model pasar lama yang sangat simpel dan

memudahkan banyak orang (sekali lagi banyak orang) untuk dapat mengambil peran

di sana. Sekali pasar ini di revitalisasi dengan menyediakan aneka lods yang seragam

dan harga yang sama rata puluhan juta maka hilanglah kemampuan aneka pedagang

mikro dan kecil yang tak mampu. Bangunan berlantai keramik dan adanya tangga

walaupun hanya 3 buah anak tangga akan menghilangkan mata pencaharian daeng

becak, pagandeng, dan penyedia jasa sampah non-pemerintah di sana dan banyak

lagi.

Faktor eksternal

“Pedagang pasar ‘tradisional’ harus tumbuh mengikuti logika ekonomi

pertumbuhan.” demikian ahli ekonomi kampus berpikir dan pendapatnya dikutip

oleh para pengambil kebijakan. “Pedagang-pedagang itu harus mampu bersaing

dengan pedagang pasar moderen.” Demikian pemikiran yang lain. Pada akhirnya,

pendapatnya menjadi “Pasar ‘tradisional’ harus mampu bersaing di tengah gempuran

Pasar Moderen.” Inilah logika-logika ekonomi yang menyesatkan sehingga terjadi

carut marut tata kelola ekonomi sektor informal di pasar lokal.

Maraknya pasar moderen adalah suatu keniscayaan untuk sebuah kota yang terus

berkembang. Namun, perkembangan itu seyogyanya tidak mendiskriminasikan yang

lain. persoalan harga dan barang dagangan misalnya. Bila pasar moderen turut

menjual aneka kebutuhan sembilan bahan pokok dengan harga jauh dari harga pasar

lokal maka lambat laun konsumen akan lebih memilih pasar moderen. Ada beberapa

faktor yang membuat harga di pasar moderen lebih murah dari pasar lokal, seperti

akses pedagang ritel yang langsung kepada petani dengan berbagai cara. Pemodal

memberi petani modal, bibit, dan paling tidak akses pemasaran dengan lebih mudah.

Bila panen tiba, pemodal mengambil barang kelas satu tanpa cacat dan memberikan

sisanya untuk dijual di pasar lokal dan di jalan-jalan.

Faktor lain adalah, karena pemodal ritel moderen adalah pemodal besar maka

murahnya harga kebutuhan pokok merupakan strategi dagang untuk menarik minat

Page 45: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

konsumen untuk datang. Dengan aneka barang yang dijual oleh seorang pedagang

saja, maka harga satu kebutuhan dengan aneka barang lain bisa bervariasi dan saling

menutupi, sesuatu yang tidak dimiliki oleh pasar lokal.

Selain itu, perkulakan yang seyogyanya menjual barang secara grosir ternyata

ditemukan praktek dimana konsumen dapat membeli secara eceran. Ini adalah

sebuah pelanggaran persaingan usaha yang selalu luput dari pantauan negara.

B. Solusi Pilihan

Pertama, proses penyelenggaraan dan atau revitalisasi pasar lokal harus

mempertimbangkan beberapa hal yakni, area relokasi yang jelas dan baik untuk

berdagang selama revitalisasi pasar lokal berlangsung; besaran harga

sewa/pembelian kios/lods baru yang tidak memberatkan bagi pedagang kecil dan

mikro; bangunan tak lebih dari dua tingkat atau sebisa mungkin hamparan yang

tertata rapi dan memperhatikan drainase dan ruang udara bagi pedagang basah; tetap

memberi akses bagi pagandeng dan daeng becak yang selama ini hidup dari

kehidupan pasar lokal;

Kedua, persaingan usaha antara pasar lokal dan pasar moderen harus diatur

sedemikian rupa oleh negara/pemerintah. Di sini seyogyanya kebijakan ekonomi

berpihak pada pedagang mikro/kecil dan tidak melepaskan begitu saja mengikuti

logika permintaan dan penawaran apa lagi harus bersaing dalam ketidakimbangan

kekuatan. Pasar moderen sudah seharusnya dibatasi dalam menjual sembilan bahan

pokok, kalaupun boleh hanya dapat dalam bentuk kemasan. Bahkan, bila pemerintah

benar-benar mau berpihak untuk melindungi sebagaimana bunyi judul ranperda ini,

maka pasar moderen seharusnya memenuhi barang kebutuhan pokoknya dari pasar

lokal dan tidak boleh langsung kepada petani sebagaimana pedagang pengumpul

pasar lokal selama ini lakukan. Dengan demikian, bila hal ini benar-benar terjadi

Page 46: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

maka pasar lokal kita bisa tetap bertahan dan pedagang mikro-kecil tetap terserap

dalam pasar mereka, pasar rakyat.

Ketiga, harus ada satu lembaga independen yang berfungsi melakukan pengawasan

atas pengelolaan dan penyelenggaraan pasar lokal, pusat perbelanjaan dan toko

moderen ini, agar supaya segala pelanggaran yang selama ini terjadi dapat dengan

mudah dipantau oleh tim independen.

Page 47: Microsoft Word - Laporan Penelitian Pasar Tradisional Makassar

Dokumen: Active Society Institute (AcSI)

Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 �o. 76, Makassar

Bab V

PE�UTUP

Pasar lokal dalah pasar rakyat. Pasar ini sudah hadir seiring dengan perkembangan kota

sejak awal. Pusat perbelanjaan dan toko moderen adalah konsekuensi sebuah kota yang

mengalami moderenisasi. Namun, terkhusus masalah pasar lokal, dalam penataannya,

menggunakan kerangka berpikir modernisasi jelas keliru. Dalam pemikiran ini, yang

tradisional (pasar tradisional/pasar lokal) harus dimodernisasi (baca revitalisasi) untuk

mampu bersaing dengan pyusat perbelanjaan yang dimainkan oleh pengusaha ritel kelas

kakap.

Untuk itu, karena daya serap pasar lokal atas tenaga kerja yang banyak akan membuat

pasar ini akan semakin sumpek bila tidak di tata atau diperluas. Bila pilihannya tidak ada

dari kedua itu, maka sebuah pasar rakyat baru perlu didirikan di salah satu kampung

untuk mengakomodasi pertumbuhan penduduk kota.

Akibat lemahnya regulasi yang mengatur pasar lokal membuat kondisi pasar semakin

semerawut. Pemerintahpun alfa melihat bahwa penyebab dari kesemerawutan ini adalah

kesalahan pendekatan dalam memndang system ekonomi kota Makassar. Logika

ekonomi pertumbuhan yang mengandalkan pengusaha besar (padat modal) sangat

menyesatkan dan sudah waktunya ditinggalkan oleh pemerintah kota Makassar dan mulai

beralih ke sistem ekonomi kerakyatan yang mengandalkan sistem padat karya (sebanyak

mungkin orang meraih manfaat).

Ke depan, sebuah regulasi yang berpihak pada pelaku ekonomi kecil dan mikro yang

memanfaatkan pasar-pasar lokal harus menjadi perhatian utama agar tercipta keadilan

bagi seluruh rakyat.