makalah uts

18
Paper Parasitologi Parasit Schistosomiasis (trematoda pipih) ( D isusun untuk memenuhi Ulangan Tengah Semester Mata kuliah Parasitologi) Oleh : TRI SETYA PUJA KELANTAN 100210103066

Upload: iyex-barker

Post on 30-Nov-2015

78 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Paper Parasitologi

Parasit Schistosomiasis (trematoda pipih)

(Disusun untuk memenuhi Ulangan Tengah Semester Mata kuliah Parasitologi)

Oleh :TRI SETYA PUJA KELANTAN

100210103066

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGIJURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVESITAS JEMBER

2013

1. Habitat → klasifikasi parasit

KLASIFIKASI ILMIAHKingdom         :           AnimaliaPhylum            :           PlatyhelminthesClass                :           TrematodaSubclass          :           DigeneaOrdo                :           StrigeididaFamily             :           Schistosomatidae

Distribusi :

Cina

Jepang

Filipina

Indonesia : Danau Lindu Sulawesi Tengah Lembah Napu

(Febrianfn ,2009)

Schistosomiasis dikenal juga sebagai bilharziasis atau demam siput atau demam keong ;

adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing pipih (cacing pita) dari beberapa

spesies dari genus Schistosoma yang memiliki habitat pada pembuluh darah di sekitar usus atau kandung

kemih. 

Schistosomiasis (juga dikenal sebagai bilharzia, bilharziosis atau demam siput)adalah

penyakit parasit yang disebabkan oleh beberapa spesies kebetulan dari genus

Schistosoma.Meskipun memiliki tingkat kematian rendah, schistosomiasis sering adalah

penyakit kronis yang dapat merusak organ-organ internal dan, pada anak-anak, mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan kognitif.

Klasifikasi schistosomiasis

Spesies Schistosoma yang dapat menginfeksi manusia:

''Schistosoma mansoni''(ICD-10 B65.1) dan''intercalatum Schistosoma''(B65.8)

menyebabkan schistosomiasis usus

''Schistosoma haematobium''(B65.0) menyebabkan schistosomiasis kemih

Schistosoma japonicum''''(B65.2) dan''Schistosoma mekongi''(B65.8) menyebabkan

schistosomiasis usus Asia

Spesies Schistosoma yang dapat menginfeksi binatang lain:

S. bovis - (biasanya menginfeksi sapi, domba dan kambing di Afrika, Eropa bagian

Selatan dan Timur Tengah)

Mattheei S. - (biasanya menginfeksi sapi, domba dan kambing di Tengah dan Afrika

Selatan)

Margrebowiei S. - (biasanya menginfeksi kijang, kerbau dan Waterbuck di Selatan dan

Afrika Tengah)

Curassoni S. - (biasanya menginfeksi ruminansia domestik di Afrika Barat) telah

dilaporkan.

Rodhaini S. - (biasanya menginfeksi tikus dan karnivora di beberapa bagian Afrika

Tengah).

2. Morfologi dan siklus hidup

Tubuh biasanya pipih dorso-ventral, biasanya tidak bersegmen, berbentuk panjang

langsing.

  Mempunyai lekukan yang bagian tengahnya berlubang, yang disebut alat penghisap

(batil isap/sucker) berjumlah dua buah, yang satu mengelilingi mulut dikenal dengan

istilah ”Oral Sucker ” dan yang lain berada 1/3 anterior tubuh dibagian ventral atau

pada ujung posterior disebut ” Ventral Sucker” (Asetabulum).

Kutikula atau tegumen cacing ada yang licin dan ada yang berduri, berfungsi sebagai

pembungkus badan juga secara faal bertanggung jawab dalam melaksanakan makanan.

Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5

mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan

halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat tonjolan halus

sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis gynaecophorus,

tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam pelukan cacing

jantan. Cacaing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16,0-26,0 mm x 0,3 mm.

Pada umumnya uterus berisi 50-300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah

terutama dalam kapiler darah dan vena kecil dekat dengan permukaan selput lendir usus atau

kandung kemih.

Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum.

Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri dan tergantung pada spesiesnya.

Telur berukuran 95 – 135 x 50 – 60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah,

bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian

ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air; dan larva yang keluar disebut

mirasidium.

Cacing ini hanya mempunyai satu macam hospes perantara yaitu keong air, tidak terdapat

hospes perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi

sporokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah

bentuk infektif cacing Schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit

pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan

untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, larva ini kemudian masuk ke

dalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu paru dan

kembali ke jantung kiri; kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang

vena portae dan menjadi dewasa di hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan

vena usus atau vena kandung kemih dan kemudian betina bertelur setelah berkopulasi.

Siklus Hidup

Daur hidup cacing S. japonicum mengikuti dua pola siklus hidup yakni pola siklus I

mulai dari manusia kemudian ke siput penular dan akhirnya kembali ke manusia, pola siklus II

mulai dari siput penular kemudian ke hewan dan akhirnya kembali ke siput. Kedudukan siput

penular sangat penting dalam rantai penularan karena dari tubuh siput ini cercaria dapat

menginfestasi baik manusia maupun hewan .

Dalam mekanisme perasukan cacing ini ke dalam tubuh inang, stadium kehidupan larva

mirasidium, larva serkaria dan bentuk morfologi maupun anatomi Schistosomula sangat penting.

Mirasidium berbentuk seperti pepaya atau daun. Pada tubuhnya terdapat bulu getar atau cilia,

dalam keadaan hidup lebih langsing yang telah difiksasi. Ukuran panjang berkisar 82,8 – 144 µ,

lebar antara 37,6 – 68,4 µ dengan angka rata-rata panjang 109,8 µ ± 11,9 µ dan lebar 54,6 µ ±

5,8 µ. Pada bagian luar tubuhnya terlihat sekitar 21 plat epidermal yang tersusun dalam 4 baris

dengan sel-sel yang berbentuk segitiga, segiempat, lonjong dan bentuk perisai. Pada sel-sel ini

terdapat banyak silia yang tidak terlihat di daerah interseluler, makin ke arah caudal silia makin

panjang.Dengan perlengkapan silia ini mirasidium berenang mencari siput perantara dan

menembus ke dalam tubuh siput kemudian berkembang menjadi sporokista induk, selanjutnya

sporokista anak akhirnya keluar sebagai larva serkaria. Larva serkaria bersilia sepanjang

permukaan tubuhnya, ekor bercabang, bergerak mundur (bagian kepala mengikuti ekor). Baik

larva miracidium maupun cercaria bergerak mengapung di bawah permukaan air, bersifat

fototaxis, gravitasi negatif, dan mobilitas dipengaruhi oleh temperatur sekitar. Larva mirasidium

dan larva serkaria dapat dilihat pada Gambar 1.

Larva serkaria berenang bebas di air untuk mencari inang tetap, manusia ataupun hewan

sebagai inang perantara kemudian menembus kulit dan menjadi schistosomulum yang

selanjutnya merasuk ke dalam jaringan dan berkembang menjadi dewasa, kemudian kawin dan

menghasilkan telur. Dari telur sampai menjadi dewasa dibutuhkan waktu sekitar 40 hari, serkaria

selama 24 jam dan selama 3 bulan sporokista dapat bertahan dalam siput penular (HADIDJAJA,

1982).

3. Mekanisme transmisi:

Proses Peraksukan Skistosoma (portal of entry)

Peraksukan cacing skistosoma ke dalam jaringan inang dimulai dengan perlekatan

bagian-bagian tertentu dari parasit itu pada permukaan tubuh inang. Bagian-bagian tersebut yaitu

batil isap mulut dengan papilla apicalisnya, sebagai bagian yang paling utama, dibantu oleh batil

isap perut (tidak untuk penetrasi), papila lateralis, reseptor-reseptor penunjang, papila dorsalis,

canalis gynaecophorus yang secara makroskopis posisinya dapat ditunjukkan pada Gambar 2

Perlekatan dan peraksukan cacing tesebut dapat terjadi karena adanya struktur jaringan

kulit dan jaringan dalam tubuh inang yang dapat dirusak setelah terjadi proses perlekatan. Tubuh

inang memiliki alat pertahanan untuk melawan kehadiran cacing tersebut antara lain adalah:

sistim pertahanan kulit, sistim pertahanan seluler (fagosit), sistim pertahanan humoral

(Immunoglobulin, antibodi), dan sistim pertahanan jaringan khusus (Fixed tissue phagocytes).

Sistim pertahanan kulit bersangkut paut dengan proses perlekatan dan penetrasi. Kulit

merupakan pintu masuk cacing yang utama, tidak semua bagian kulit dapat menjadi pintu masuk

tergantung pada jenis dan sturktur dari kulit tersebut Bagian kulit yang terbuka merupakan

tempat masuknya larva cacing. Pada tikus kebanyakan rambutnya berasal dari bagian sisik-sisik

keras (bertulang) maka pintu masuknya berada di antara sisik-sisik itu. Pada domba dengan

gerakan atau kontraksi otot maka cercaria akan masuk diantara lapisan selsel squamous dari

stratum korneum kulit dan mengalami perubahan menjadi skistosomulum setelah melepaskan

bagian ekornya.

Dalam proses ini bekerja enzim proteolitik seperti hyaluronidase, yang bekerja pada

serat-serat kolagen. Pada tupai, larva dapat masuk melalui pinggiran rambut (menyusur) ke

kelenjar sebacea. Sedangkan pada manusia pintu masuknya pada bagian kerutan kulit, bila

bagian kulit itu menebal dan tegang maka larva kurang bebas untuk mengadakan penetrasi

(HADIDJAJA, 1982).

Larva skistosomula memiliki sistim koordinasi gerakan yang kompleks. Dalam proses

penetrasi serkaria dan masuknya skistosomula dalam jaringan diperlukan bahan pengaktif

sebagai trigger berupa bahan kimia yakni host lipid, energi panas dan cahaya. Larva

skistosomula ini akan berkembang selama perjalanannya melalui jaringan inang dan menjadi

tahan terhadap tekanan osmotik serta salinitas yang tinggi .

- Proses pengeluaran (portal of extry)

Schistosoma haematobium paling sering terjadi pada pleksus vena kandung kemih, tetapi

juga dapat ditemukan dalam venula dubur.

cacing Schistoma jenis Betina berukuran lebih besar (ukuran 7-20 mm) dibanding yang

jenis jantan .

Telur dalam venula kecil dari sistem portal dan perivesical bisa bergerak pindah kearah

lumen pada usus pada cacing jenisSchistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum) dan

pada cacingSchistosoma haematobium telur bisa berada dikandung kemih dan ureter

sehingga telur pada kelompok cacing Schistoma ini bisa dikeluarkan melalui kotoran atau

urine.

Kemudian, Pada umumnya telur berisi sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah

mengandung mirasidium ( M ) yang mempunyai bulu getar. Didalam air telur menetas

bila sudah mengandung mirasidium ( telur matang ).

Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur berisi sel telur, telur akan menjadi

matang dalam waktu kurang lebih 2-3 minggu.

Pada beberapa spesies tremotoda telur matang menetas bila ditelan keong ( hospes

peramtara ) dan keluarlah mirasidium yang masuk ke dalam keong; (Gandahusada dalam

mazidatulkhoiroh,2010)

4. Penyebaran penyakit/distribusi geografis

Distribusi :

Cina

Jepang

Filipina

Indonesia : Danau Lindu Sulawesi Tengah Lembah Napu

SCHISTO, demikianlah namanya disebut sehari-hari di kalangan Medis atau di Lingkungan

Kesehatan umumnya, cukup keren mirip nama orang. Akan tetapi siapa yang menyangka ini

adalah panggilan untuk seekor cacing kecil yaitu Schistosoma. Cacing ini di Indonesia hanya

bisa ditemukan di dataran tinggi Lindu dan Napu sekitar Danau Lindu termasuk wilayah Taman

Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah dengan nama Schistosoma japonicum. Meski kecil, tetapi

kalau si schisto ini sudah berada di dalam tubuh manusia, si penderita akan mengalami berbagai

variasi gejala seperti ; keracunan, disentri, penurunan berat badan sehingga kurus yang

berlebihan, hingga pada pembengkakan hati yang bisa diakhiri dengan kematian. Penularannya

tidak seperti proses cacingan yang sering kita dengar dan alami yang masuk ke tubuh

manusia  dari mulut, tetapi langsung menembus pori-pori kulit mengikuti aliran darah menuju ke

jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati kemudian ke kandung kemih dan usus

untuk menetap dan berkembang biak di sana.  

5. Sumber infeksi/ hospes reservoir.

Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai

hospes reservoar. Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis atau

bilharziasis.

6. Patofisioligi dan gejala klinis.

Ketika Schistosoma (serkaria) pertama kali memasuki kulit, akan timbul gatal-gatal

dengan sedikit bengkak dan warna kemerahan yang biasa dikenal sebagai gatal perenang. Sekitar

4 - 8 minggu kemudian ketika cacing pita dewasa mulai bertelur, akan muncul gejala demam,

panas-dingin, nyeri otot, lelah, rasa tidak nyaman yang samar (malaise), mual, dan nyeri perut.

Pembuluh getah bening bisa membesar untuk sementara waktu, kemudian kembali normal.

Kumpukan gejala-gejala ini biasa disebut demam katayama. Gejala-gejala lain selanjutnya

bergantung pada organ-organ yang terkena. Jika pembuluh darah pada usus terinfeksi secara

kronis gejala dapat berupa perut tidak nyaman, nyeri, dan pendarahan sedikit-sedikit (terlihat

pada kotoran), yang bisa mengakibatkan anemia (kekurangan sel darah merah). Jika hati terkena

dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada pembuluh darah hati sehingga terjadi pembesaran

hati dan limpa atau muntah darah dalam jumlah banyak. Jika kandung kemih terinfeksi secara

kronis akan terasa sangat nyeri, sering berkemih, kemih berdarah dan dapat meningkatkan resiko

terkena kanker kandung kemih. Jika otak atau tulang belakang terinfeksi secara kronis (jarang

terjadi) akan timbul kejang-kejang atau kelemahan otot.

7. Diagnosis dan terapi

Diagnosis Schistosomiasis dapat dimulai dengan menanyakan tempat tinggal atau riwayat

bepergian dari daerah-daerah endemis Schistosomiasis. Harus ditanyakan  pula apakah mereka

telah berenang atau menyeberangi air alam. Untuk memastikan diagnosa dengan memeriksa

telur-telur pada sampel kotoran atau urin penderita. Biasanya, diperlukan beberapa sampel

kotoran dan urin. Pemeriksaan imunologis darah bisa dilakukan untuk memastikan apakah

seseorang telah terinfeksi dengan Schistosoma, tetapi tes tersebut tidak dapat mengindikasikan

seberapa berat infeksi atau seberapa lama orang tersebut telah terinfeksi. Kadangkala,

dibutuhkan pengambilan sampel jaringan (biopsi) usus atau jaringan kantung kemih untuk diteliti

telur-telur di bawah mikroskop. Ultrasonografi (USG) bisa digunakan untuk mengukur seberapa

berat Schistosomiasis pada saluran kemih atau hati.

Pengobatan spesifik Shistosomiasis masih menggunakan Praziquantel oral selama satu

hari terbagi dalam 2 atau 3 dosis. Disamping itu dapat diberikan pengobatan penunjang lainnya

sesuai dengan berat-ringannya penyakit dan komplikasi yang menyertainya. Schistosomiasis

paling baik dicegah dengan menghindari berenang, mandi, atau menyeberang di air alam di

daerah yang diketahui mengandung Schistosoma. Pengendalian Schistosomiasis di Sulawesi Tengah

diawali tahun 1974 melalui pengobatan penderita, pemberantasan siput sebagai hospes perantara dengan

molusida dan melalui agroengineering. Program pengendalian dilanjutkan dengan program pengendalian yang

lebih intensif dengan melibatkan berbagai institusi dimulai pada tahun 1982. Program ini mampu menekan

tingkat infeksi. Walaupun secara umum program pengendalian berhasil menekan angka infeksi, akan tetapi

dengan adanya orang yang masih terinfeksi menunjukkan reinfeksi masih terus berlangsung dan infeksi

Schistosoma masih mengancam penduduk pada dua wilayah tersebut. Reinfeksi masih berlangsung

dimungkinkan karena masih adanya sumber infeksi yang berasal dari hewan reservoar (hewan yang terinfeksi

misalnya sapi, babi dan lain-lain) dan kebiasan manusia yang memungkinkan kontak dengan larva infektif

(serkaria) sehingga infeksi berlangsung secara terus-menerus. Selama ini program pengendalian yang telah

dilakukan belum melibatkan hewan yang dapat bertindak sebagai reservoar yang akan menjadi sumber

penularan bagi manusia.Schistosoma japonicum selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan

mamalia. Schistosomiasis dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia ke manusia

melalui perantaraan siput Oncomelania hupensis lindoensis. (Wardanaharun, 2011)

8. Usaha-usaha pencegahan

Sanitasi air, yaitu pembersihan air dengan menghindari dari tempat perkembang biakan

hewan parasit tersebut

Mengontrol populasi keong air

Melindungi kulit : bersepatu, berpakaian , tidak buang air besar disembarag tempat.

Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara penularan

dan cara pemberantasan penyakit ini.

Buang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak

mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang antara.

Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan tetapi biasanya

tidak praktis.

Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong dengan

membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan dan mengalirkan

air.

Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia mungkin

terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).

Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh : gunakan sepatu bot

karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang

terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang basah

dengan air yang diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa juga dengan

mengoleskan alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh serkaria.

Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil dari

sumber yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh serkariannya.

Obati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah penyakit berlanjut

dan mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan telur oleh cacing.

Para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan risiko penularan

dan cara pencegahan

(Ayu , 2011).

Gambar penderita:

Daftar Pusataka

Ayu , 2011.(Online). http://ayu-dani91.blogspot.com/2011/01/trematoda.html. Diakses pada

tanggal 20 Maret 2013.

Febrianfn , 2009. (Online). http://febrianfn.wordpress.com/2009/03/14/schistosoma-atau-

bilharzia/. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.

Gandahusada, srisasi Prof.dr. dkk (ed). Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga, 2002. balai

Penerbit FKUI. Jakarta.

Hadidjaja, P. 1989. Important trematodes in man in Indonesia. Bul. Penel. Kes. 17(2):107-113.

Wardanaharun, 2011 .(Online). http://wardanaharun.blogspot.com/2011/11/schistosomiasis-

khas-sulawesi-tengah_12.html. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013.