makalah pak lukman

25
Indonesia Adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila Oleh Lukman Hakim Saifuddin Ketua Fraksi PPP DPR RI I. Pendahuluan Relasi agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami ketegangan sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun 1950-1960. Maklumlah, relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya. Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009. 1

Upload: sefrilia

Post on 30-Jun-2015

158 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: makalah pak lukman

Indonesia Adalah Negara Agamis:

Merumuskan Relasi Agama dan Negara

dalam Perspektif Pancasila

Oleh

Lukman Hakim Saifuddin

Ketua Fraksi PPP DPR RI

I. Pendahuluan

Relasi agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami

pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis

sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami ketegangan

sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun 1950-1960.

Maklumlah, relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi

persoalan politik, ekonomi, dan budaya.

Dari sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama (Islam) dan politik

(negara) tidak dapat dipisahkan. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya Islam

Liberalism & Human Rights bahwa; religion and politics are one.1 Jika memperhatikan

sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat dipungkiri jalinan (relasi

agama dan politik/negara) tersebut terjadi.2 Bahkan Piagam Madinah oleh beberapa ahli

dianggap merupakan sebuah konstitusi dikarenakan di dalamnya memuat kontrak di

Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009.1 Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003, hlm. 42. 2 Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang memperlihatkan adanya pengaruh agama dalam membangun negara salah satunya dapat ditelusuri melalui karangan Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003, hlm. 203.

1

Page 2: makalah pak lukman

antara kelompok-kelompok masyarakat di Madinah yang berisi pokok-pokok pedoman

kenegaraan dan pemerintahan. Piagam Madinah sering disebut sebagai Konstitusi

Madinah, seperti dirumuskan oleh salah seorang ahli terkemuka tentang Islam dari Barat,

Montgomery Watt yang menyebut Piagam Madinah sebagai The Constitution of

Medina.3

Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika Serikat

yang menyatakan memiliki konsep separation of church and state saja sesungguhnya

tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam konteks Amerika

pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan campur tangan negara atas

prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan dinding pemisah (wall) terhadap

masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam jalannya pemerintahan bernegara. Bahkan

menurut David A.J. Richards dalam Foundations of American Constitutionalis

dinyatakan bahwa bapak pendiri bangsa Amerika meyakini peran agama bagi Amerika.

Sebagaimana dipaparkan oleh Jhon Adam pada tahun 1765 yang memperlihatkan relasi

antara agama dan negara.4

Tentu saja relasi agama dan negara di Amerika memiliki perbedaan dengan

pandangan keindonesiaan. Indonesia memperlihatkan terdapatnya ”jalinan mutualisme”

antara agama dan negara. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama dan agama

dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Keberadaan UU Perkawinan dan UU

Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun jika dilihat

dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan produk perundang-undangan

tersebut juga memperlihatkan bahwa agama mempengaruhi jalannya hubungan antara

yang memerintah dan yang diperintah (masyarakat). Dengan kata lain agama juga

berperanserta dalam pemerintahan.

Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali menjadi

”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau

pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik

3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 16-17. Mengenai materi Piagam Jakarta dapat dibaca antara lain dalam buku Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk yang diterbitkan UI Press, Jakarta, 1995. Buku ini berasal dari disertasi penulis dengan topik yang sama.4 David A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University Press, New York, 1989, hlm. 26.

2

Page 3: makalah pak lukman

dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di

(negara) Barat maupun di (negara) Timur.

Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah

dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus

menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi

mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama

lain karena keduanya saling membutuhkan.

II. Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

a. Istilah Sekularisme

Sebelum ”membaca” sejauhmana pentingnya membangun agama yang

berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Maka perlu ditelusuri keberadaan pandangan

”oposisinya” yaitu prinsip sekularisme.

Sekularisme sendiri berasal dari terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis

”laiguisme”, namun kata ”laigue” sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah

timbulnya makna sekulerisme itu sendiri. Asal kata yang tepat adalah ”laikos” yaitu

berasal dari kata Yunani. Laikos bermakna apa yang berhubungan dengan masyarakat

umum untuk dibedakan dengan dari ”clirous” (tokoh agama).5 Jadi menurut Muhammad

Abid Al-Jabiri ”laque” adalah siapa saja yang bukan tokoh agama atau tidak termasuk

golongan pendeta.6

Kemudian penggunaannya disimpangkan dalam konteks kenegaraan di Prancis

dikarenakan terjadinya peminggiran terhadap (baca; memusuhi) agama dan tokoh

agama. Hal itu disebabkan ketika itu pengajaran-pengajaran agama menjadi wewenang

gereja yang dilaksanakan di gereja-gereja. Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat

umum dilakukan oleh negara yang terbatas kepada ilmu-ilmu seperti matematika, ilmu

alam dan humaniora.7

Dari pendekatan semantik dan sejarah itu oleh Jean Lacrowa diambil kesimpulan

bahwa ”Sesungguhnya pemikiran laguisme (sekulerisme-pen) bukanlah lawan dari 5 Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm. 104-105.6 Loc. cit.7 Loc cit.

3

Page 4: makalah pak lukman

pemikiran agama, namun sekurang-kurangnya ia menuntut adanya pembedaan antara

apa yang duniawi dan apa yang sakral.” Kesalahpahaman terhadap makna sekularisme

semakin mendalam ketika nilai-nilai agama semakin hari semakin ditinggalkan oleh

masyarakat Barat. Hal itu dikarenakan kepentingan individu menjadi begitu terganggu

dengan keberadaan nilai-nilai agama. Agama dianggap terlalu mengekang kebebasan

individu sebagai subjek yang mengelola negara. Dari bagan ini dapat dilihat bahwa

agama adalah hal yang telah dijauhi oleh masyarakat Barat.

Bagan Penurunan tingkat kehadiran di GerejaMasyarakat Inggris, Skotlandia, dan Wales8

b. Perdebatan mengenai negara dan agama dalam BPUPK

Pembahasan mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya tidak saja

berasal ketika rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK),

tetapi sudah berlangsung jauh hari di antara para pendiri bangsa. Namun tulisan ini

hanya membahas mengenai perbedaan cara pandang tersebut dalam rapat BPUPK. Hal

8 David Goldblatt, An Introduction to The Social Sciences: Understanding Social Change, Knowledge and The Social Sciences; Theory, Method, Practice, Routledge dan Open University, London, 2000, hlm.54.

4

Page 5: makalah pak lukman

itu dikarenakan dalam sidang-sidang BPUPK tersebutlah ditemukan kesepakatan

mengenai bagaimana relasi antara negara dan agama dalam semangat ke-bhineka tunggal

ika-an Indonesia.

Pidato Soepomo pada hari ketiga, 31 Mei 1945, di sidang BPUPK membahas

mengenai hubungan negara dan agama. Menurutnya setelah menguraikan mengenai

dasar-dasar negara maka konsekuensinya perlu dipaparkan olehnya persoalan yang

timbul dari pada teori integralistiknya. Menurut Soepomo soal-soal itu adalah;

1. perhubungan negara dan agama;

2. cara bentukan pemerintahan;

3. perhubungan negara dan kehidupan ekonomi.9

Sesungguhnya pembahasan antara para pendiri negara (founding fathers and

mothers) dan framers of constitution itu bukanlah berkaitan dengan relasi antara agama

dan negara. Akan tetapi lebih kepada bentuk negara, apakah berbentuk negara Islam atau

negara nasionalisme. Hal itu dapat terlihat jika dicermati perkataan Soepomo berikut ini;

”Oleh anggota yang terhormat tuan Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah; paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagaimana telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.”10

Soepomo bukan bermaksud menjauhkan nilai-nilai agama dari negara. Karena

itu tidaklah mungkin. Selagi negara diisi oleh orang-orang yang beragama, maka

tidaklah mungkin nilai-nilai agama dihindari dalam menjalankan negara. Soepomo

menjelaskan mengenai hal tersebut sebagai berikut;

Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan bersifat ”a religieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu hendaknya Negara Indonesia yang juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.11

9 RM, A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004, hlm. 128.10 Ibid.11 Ibdi, hlm. 130.

5

Page 6: makalah pak lukman

Bahkan Soekarno juga menjelaskan bahwa konsep pemilihan kepala negara

Indonesia juga berkesesuaian dengan paham agama (baca; Islam). Dari perkataan

Soekarno ini akan memperlihatkan bahwa nilai-nilai agama tidak dapat tidak akan selalu

”berkelindan” dalam menjalankan sistem bernegara.

Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie ”vooronderstelt erfelijkheid”, -turun temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap Kepala Negarapun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-kepala Negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat?12

Oleh karena relasi agama dan negara sudah diperlihatkan dan dinyatakan tidak

dapat dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para bapak bangsa, maka sangat

tidak mungkin, dalam konteks kekinian, kita menghindari nilai-nilai agama dalam

penyelenggaraan negara.

c. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila dan UUD 1945

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD

1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam

Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:

Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme

dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen

bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor

penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia

penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha

Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa

Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan

antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding

fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara

komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas kepentingan

primordial lainnya.12 Ibid, hlm. 163.

6

Page 7: makalah pak lukman

Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa

sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila

”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan

negara oleh rakyat.13 Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan

dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh

rakyat.

Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan

bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-

sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari

seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang

berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan)

yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan

beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia

(berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan

Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan

yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-

Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang

berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial,

yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang

bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila

lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya

Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan

(persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.

Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus

dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan

menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu,

Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk

13 Kesimpulan Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta yang lengkap dapat dilihat dalam Satya Arinanto, ”Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila” (Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997), Halaman 42-46.

7

Page 8: makalah pak lukman

Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme

masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …”

bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya,

negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin”

ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme

itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.

III. Prinsip Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara

Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa tindakan setiap manusia,

termasuk dalam mengelola bangsa dan negara akan dimintai pertanggungjawaban di

akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan manusia, baik yang bersifat personal maupun

bersifat kenegaraan, berdimensi ke-Tuhan-an atau berdimensi ibadah.

Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang

dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah (wakil Tuhan, pengelola alam

semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk

mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan

segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga kesinambungan alam itu sendiri.

Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka

sudah barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan kesempatan kepada

setiap aparatusnya (pejabat negara, pegawai negri sipil, pegawai BUMN/BUMD,

anggota TNI, anggota Polri, dan lainnya) melakukan penyalahgunaan kekuasaan, seperti:

pelanggaran hak asasi manusia, tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan, konflik

horizontal, dan hal-hal destruktif lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan

kerusakan, yang justru bertentangan dengan hakekat ajaran agama dan tujuan negara

didirikan.

8

Page 9: makalah pak lukman

IV. Penataan Hubungan antara Agama dan Negara

Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka

agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa yang dikatakan

Samuel P. Huntington dalam bukunya Who Are We?The Challenges to America’s

National Identity (New York: Simon & Schuster, 2004) bahwa: Betapa hebatnya

komunisme didedahkan di ruang-ruang publik, diindoktrinasikan di mana-mana, akan

tetapi karena ada persoalan ekonomi, tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk

karena tidak ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, kita masih

bertahan hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya kerohanian

yang dalam, yaitu Etika Protestan.14

Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan

“kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti

Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Jhon Locke dalam

tulisannya yang terkemuka berjudul An Essay Concerning The True Original, Extent and

End of Civil Government menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak dapat

dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan legislasi.

These are the bounds which the trust that is put in them by the society and the law of God and nature have set to the legislative power of every commonwealth, in all forms of government.15

Karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar kepada

negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau tidak telah

menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara juga memberikan

sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agama-agama di Indonesia

dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip mengayomi seluruh umat

manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin)16, untuk terus ditebarkan sebagai “kerohanian

yang dalam” kepada bangsa Indonesia.

14 Dikutip dari Pengantar Diskusi Yudi Latif dalam Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 111-112.15 Jhon Locke, An Essay Concerning The True Original, Extent and End of Civil Government , dalam Sir Ernest Barker (edt), Social Contract, essays by Locke, Hume, and Rousseau, Oxford University Press, London, 1947, hlm. 84. 16 Kitab Suci Al-Quran, Surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Nabi Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

9

Page 10: makalah pak lukman

Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus

dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling

memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan

negara menjamin kehidupan keagamaan.

Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar

checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini,

kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif

terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama

yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan

agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek

otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan

kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara.

V. Ketegangan Hubungan antara Agama dan Negara

Ketegangan hubungan antara agama dan negara terjadi manakala di antara

keduanya tidak terjadi hubungan yang simbiosis-mutualistis dan saling checks and

balances. Dalam hubungan seperti itu dimisalkan ketika negara tidak memberikan

kemerdekaan kepada warganya untuk beribadat sesuai dengan agamanya masing-

masing, atau sebaliknya agama menganggap negara menutup diri terhadap nilai-nilai

keagamaan sehingga tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan dengan nilai-nilai

keagamaan. Dalam situasi seperti itu, terbuka peluang agama cenderung berupaya

mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi atau

negara melakukan represi terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama

berkaitan dengan keadilan dan persamaan hak asasi manusia.

Hal itulah yang terjadi di banyak negara di dunia ketika negara tidak mampu

mengakomodir nilai-nilai religus agama. James M. Lutz dan Brenda J. Lutz

mengemukan ketegangan yang berkaitan dengan keagamaan dalam buku berjudul

Global Terrorism. Buku itu mengupas bagaimana seluruh nilai-nilai agama, dari Yahudi,

Kristen hingga Islam, dapat disimpangkan menjadi kekuatan teror yang menghancurkan

10

Page 11: makalah pak lukman

tatanan bernegara.17 Bahkan konflik itu sudah berlangsung ribuan tahun lamanya. Kasus

komunitas Yahudi di Provinsi Judea pada masa kerajaan Roma yang terjadi pada 66

sampai 71 Sebelum Masehi. Komunitas tersebut mencoba melakukan pembangkangan

berdasarkan agama terhadap kerajaan Roma.18 Konflik di India yang digerakkan oleh

komunitas agama Sikh pada 1970 di India.19 Aum Shinrikyo di Jepang, Islam di Aljazair

(1950-1960an), dan banyak agama lainnya di dunia.20 Bahkan ketegangan antarnegara

dapat ditimbulkan oleh agama dan menjadi krisis yang sulit dihentikan sebagaimana

terjadi antara Palestina dan Israel.21

Agar ketegangan di atas tidak terjadi di Indonesia, maka aparatus negara harus

menyadari bahwa dalam mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai keagamaan,

sementara itu tokoh agama harus menyadari bahwa dalam melakukan internalisasi nilai-

nilai keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai-

nilai demokrasi, persatuan, dan persaudaraan.

VI. Kebebasan Beragama dalam Negara Pancasila

Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah diperjelas dalam beberapa

pasal-pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa “Setiap orang bebas memeluk

agama dan beribadat menurut agamanya…” serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara

berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah:

1. Negara hanya menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama

masing-masing. Ini berarti, kebebasan untuk tidak memeluk agama tidak

dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang jika disertai dengan upaya mengajak

orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena secara tidak langsung

merusak jaminan negara kepada warganya untuk memeluk agamanya masing-

masing.

17 James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism, Routledge, London, 2004, hlm. 64-87.18 Ibid, hlm. 73.19 Ibid, hlm. 76.20 Ibid, hlm. 64-87.21 Ibid, hlm. 107.

11

Page 12: makalah pak lukman

2. Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada

agamanya masing-masing. Kalau memeluk agama Islam harus beribadat menurut

Islam, bukan berdasarkan cara lain. Begitu pula kalau memeluk Katolik,

Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain sebagainya.

3. Ritus-ritus keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama pemeluknya

harus dapat mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam

segala aspeknya serta dapat memperteguh persatuan dan persaudaraan di

kalangan masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya menjadi pemicu terjadinya

konflik horizontal.

VII. Indonesia Merupakan Negara Agamis

Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita tidak

cukup lagi mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan ”bukan negara

sekuler” sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Sebab pernyataan ”bukan negara agama”

telah mendegradasikan posisi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Sedangkan pernyataan ”bukan negara sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga

kurang eksplisit untuk memposisikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar

negara.

Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia adalah negara

agamis. Negara agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa

sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa bukti bahwa

Indonesia merupakan negara agamis, yaitu:

Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang

mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis, yakni:

1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang

Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.

2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut

agamanya.

3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di

bawah Mahkamah Agung.

12

Page 13: makalah pak lukman

4. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang

ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat yang demokratis.

5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan

satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta

akhlak mulia...”.

7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan

teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk

kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui

pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.

Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit mengadopsi nilai-

nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU

Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara

(SBSN) atau melalui pembentukan UU yang secara implisit mengadopsi nilai-nilai

keagamaan, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

dan lain sebagainya.

Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menafsirkan

semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa Indonesia adalah negara

agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama

terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah

negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama

untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.”

Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya

tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati

13

Page 14: makalah pak lukman

sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada

masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara

agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia)

merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan agama-agama itu

tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga berlandaskan pada

”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi,

Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel) di

mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama formal yang dianutnya,

meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan nilai-nilai substansial dari

beberapa agama.

Negara agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara sekuler22

menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha

Esa), maka negara agamis justru sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha

Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.

VIII. Penutup

Negara agamis yang dianut Indonesia justru menempatkan agama-agama pada

posisi yang tinggi, sehingga dalam konstitusi dirumuskan menjadi ”Negara berdasar atas

Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Untuk itu, agama-agama di Indonesia harus memanfaatkan rumusan konstitusi

itu untuk memasukkan prinsip-prinsip keagamaan terutama prinsip Ketuhanan Yang

Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan negara. Dengan berdasar Ketuhanan Yang

Maha Esa, persatuan dan persaudaraan antar komponen bangsa akan tetap terjaga,

sehingga memantapkan posisi agama-agama di Indonesia sebagai ”kerohanian yang

dalam” yang menopang kohesi sosial, daya tahan, dan keutuhan NKRI.

22 Negara sekuler adalah negara penganut sekularisme. Sekularisme adalah a system of political or social philoshopy that rejects all of forms of religious faith and worship. The Random House Dictionary of the English Languange (New York: Random House Inc, 1983), Halaman 1290.

14

Page 15: makalah pak lukman

Daftar Pustaka

Al qur’an.

15

Page 16: makalah pak lukman

Abuddin Nata (edt), Problematika Politik Islam di Indonesia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 2002.

David A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University Press, New York, 1989.

David Goldblatt, An Introduction to The Social Sciences: Understanding Social Change, Knowledge and The Social Sciences; Theory, Method, Practice, Routledge dan Open University, London, 2000.

Ernest Barker (edt), Social Contract, essays by Locke, Hume, and Rousseau, Oxford University Press, London, 1947.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

James M. Lutz dan Brenda J. Lutz, Global Terrorism, Routledge, London, 2004.

Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003.

Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003. Muhammad Abid Al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.

RM, A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004.

Satya Arinanto, Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997.

Yudi Latif, Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008.

The Random House Dictionary of the English Languange, Random House Inc, New York, 1983.

***

16