makalah joyful learning

49
JOYFUL LEARNING Makalah Dibuat untuk tugas mata kuliah Inovasi Pendidikan Dosen : DR. H. Sholehuddin, MA, M.Pd. Oleh : SUBUH ANGGORO/1201002 DESEMBERI TRIANUGRAHWATI/1201304 HILMAN HILMAWAN/1201612 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR ~ 0 ~

Upload: subuh-anggoro

Post on 01-Jan-2016

364 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

model pembelajaran

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Joyful Learning

JOYFUL LEARNING

Makalah Dibuat untuk tugas mata kuliah Inovasi Pendidikan

Dosen : DR. H. Sholehuddin, MA, M.Pd.

Oleh :

SUBUH ANGGORO/1201002DESEMBERI TRIANUGRAHWATI/1201304

HILMAN HILMAWAN/1201612

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASARSEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013

~ 0 ~

Page 2: Makalah Joyful Learning

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Mutu pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia.  Berdasarkan tabel

liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, mutu pendidikan Indonesia

berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua

ditempati Finlandia dan Korea Selatan (Kompas, 27 Nopember 2012). Hal ini bertolak

belakang dengan pengakuan sebagian negara-negara Asia (Singapura, Hongkong dan

Korea Selatan) sebagai negara-negara yang menempati peringkat tertinggi untuk bidang

matematika, sains dan membaca yang dikeluarkan oleh peneliti dari Boston College

Amerika Serikat (Kompas, 12 Desember 2012). Kedua penelitian tersebut didasarkan pada

tiga mata pelajaran utama yaitu matematika, sains dan membaca dan keberhasilan negara-

negara memberikan status tinggi pada guru serta memiliki "budaya" pendidikan.

Menurut survei Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2011

menyatakan bahwa “ siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam

hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi Sains

Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada

pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang di survei, dan posisi Indonesia berada di

bawah Vietnam. Disamping pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di

dunia internasional sangat rendah. Menurut (Suseno, http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/).

Menurut Suseno (http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/) penyebab rendahnya mutu

pendidikan di Indonesia disebabkan masalah efektifitas, efisiensi dan standadisasi

pembelajaran. Permasalahan khusus yang teridentifikasi adalah (1) rendahnya sarana fisik;

(2) rendahnya kualitas guru; (3) rendahnya kesejahteraan guru; (4) rendahnya prestasi

belajar siswa; (5) rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan dan (6) mahalnya biaya

pendidikan. Pada penelitian ini permasalahan dibatasi pada rendahnya kualitas guru,

rendahnya prestasi belajar siswa dan rendahnya sarana fisik khususnya pada

pembelajaran Sains.

Rendahnya kualitas guru Sekolah Dasar dapat dilihat dari Data Balitbang Depdiknas

(1998) yang menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang

berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Hasil penelitian Ditjen PMPTK

menunjukkan, kondisi guru secara nasional memprihatinkan dalam segi kemampuan

melaksanakan pembelajaran dengan profesional. Guru, misalnya, belum memiliki tingkat

~ 1 ~

Page 3: Makalah Joyful Learning

kualifikasi akademik standar minimal sebesar 44 persen dan belum memenuhi standar

kompetensi sebesar 61,96 persen. Itu merupakan hasil penelitian dengan sampel 29.238

guru. Bertolak dari hasil itu, dapat dipahami bila sekarang mutu pendidikan nasional

sangat rendah (Kompas, 8 Oktober 2012). Padahal berdasarkan PP No 19/2005 tentang

Standar Pendidikan Nasional, terutama Pasal 28, menggariskan bahwa standar pendidik

ialah memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat

jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi

akademik pendidik minimal berijazah S-1 atau D-4, sedangkan kualifikasi kompetensi

adalah bersertifikat profesi pendidik. Walaupun guru d bukan satu-satunya faktor penentu

keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan

kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada

kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya

Kegiatan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran bertujuan untuk mendorong

siswa agar mengamati dan mengeksplorasi lingkungan mereka, untuk memahami

hubungan di alam, hubungan antara manusia dan alam, dan untuk belajar memahami

manusia sebagai bagian integral dari mata rantai kehidupan. Belajar dapat menjadi lebih

menyenangkan, baik untuk siswa dan guru, apabila didasarkan pada pengalaman nyata.

(Hart et. al. 2000)

Keberhasilan pendidikan Sains atau pendidikan IPA di sekolah dasar banyak

ditentukan oleh guru. Guru selain mengajarkan pelajaran secara teoritis di kelas perlu juga

mengembangkan pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan dalam proses

pembelajaran IPA. Akan tetapi berdasarkan hasil observasi pada 20 SD yang digunakan

untuk PPL Terpadu Universitas Muhammadiyah Purwokerto Tahun Akademik 2011/2012

di Kembaran Kabupaten Banyumas, 90% guru mengalami masalah dalam melakukan

pembelajaran Sains dan Matematika (Anggoro dan Harmianto, 2012). Berdasarkan temuan

sertifikasi guru pada tahun 2010 di Rayon 40 (Kabupaten Banyumas dan Cilacap)

menunjukkan 99% guru tidak membuat alat peraga sendiri (Anggoro dan Iswasta Eka,

2011).

~ 2 ~

Page 4: Makalah Joyful Learning

Beberapa hasil penelitian lain menunjukkan kecenderungan yang sama. Penelitian

yang dilakukan oleh Jaya (2010: vi) tentang pembelajaran Sains di SD Kota Bandung

menunjukkan

“Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah dasar, khususnya dalam mata pelajaran Sains, terlalu ditekankan pada proses menghafalkan materi pelajaran, yang bersumber pada buku paket. Proses pembelajaran seperti itu sangat tidak sesuai dengan hakikat Sains sebagai proses. Proses pembelajaran yang lebih mengarahkan siswa kepada kemampuan untuk menghafal informasi, hanya memaksa otak siswa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi, tanpa dituntut untuk memahami informasi tersebut dan tidak berupaya untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ketika peserta didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, tetapi miskin dalam aplikasi”

Penelitian yang dilakukan Yasbiati (2001: 1) tentang pembelajaran IPA di SD Tasikmalaya

di Bandung menyimpulkan bahwa:

“diketahui bahwa pengajaran Sains yang dilakukan guru belum secara optimal mengacu pada karakteristik Sains, seperti yang tertuang dalam kurikulum pendidikan dasar dan karakteristik anak SD sebagaimana mestinya. Penyajian pengajaran Sains masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab, serta kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan benda-benda konkrit. Keberhasilan pembelajaran Sains di SD masih pada taraf siswa trampil mengerjakan soal-soal tes yang terdapat dalam buku ajar serta soal sumatif dan soal UAN”.

Hasil penelitian Jaenudin (2003) terhadap pembelajaran di SD di Palembang menyatakan

bahwa:

“Praktek penilaian di SD pada umumnya dilakukan dengan lebih menekankan pada aspek penguasaan pengetahuan. Guru melakukan penilaian dengan lebih menekankan pada aspek pengulangan materi dengan cara menghafalkan sejumlah konsep. Sistem penilaian yang dilakukan dan di kembangkan masih mengandalkan tes sebagai satu-satunya alat penilaian. Penilaian terhadap kinerja siswa dalam bentuk penugasan cenderung diabaikan dan tidak diperhatikan sebagai penilaian alternatif yang lebih bermakna”.

Berdasarkan ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa lebih banyak

menerima pelajaran atau lebih banyak menghapal yang diberikan melalui beberapa mata

pelajaran bahkan hanya mengingat-ingat pengetahuan yang dibacanya, jadi hasil bacaan

yang diulang-ulang kemudian diekspresikan secara otomatis. Akibat cara belajar seperti ini

aspek pemahaman siswa kurang diperhatikan karena lebih diutamakan hasil hapalan atau

penerimaan informasi yang berkaitan dengan stimulus dan respon (S-R) yang dibangun.

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan

ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan

penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan

soal pilihan ganda. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya peringkat Indonesia

dalam pembelajaran Matematika, Sains dan membaca (Suseno,

http://www.mii.fmipa.ugm.ac.id/)

~ 3 ~

Page 5: Makalah Joyful Learning

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dasar yang gedungnya rusak,

kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap.

Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan

sebagainya. Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan peneliti selama periode

2010-2012 di beberapa kabupaten di eks Karesiden Banyumas dan Tegal ditemukan

banyaknya alat peraga IPA berupa Kit IPA yang berdebu atau bahkan rusak karena tidak

pernah digunakan. Beberapa alasan yang dikemukakan, antara lain (1) hanya satu guru

yang pernah dilatih menggunakan peralatan tersebut; (2) peralatan yang tersedia tidak

sebanding dengan jumlah murid dan (3) kekhawatiran peralatan akan rusak ketika

digunakan. Padahal berdasarkan penelitian Anggoro dan Husin (2008), Anggoro dan

Badarudin (2009) serta Anggoro dan Iswasta (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran

menggunakan metode ceramah atau diskusi tingkat keberhasilannya lebih rendah

dibandingkan apabila menggunakan pendukung berupa media pembelajaran. Hal ini

sejalan dengan pendapat Silberman (2009) yang menyatakan penguasaan suatu konsep

yang paling baik adalah melalui serangkaian kegiatan mendengar, melihat,

mendiskusikan, melakukan dan mengajarkan kepada orang lain (What I hear, see, discuss,

do, and teach to another, I master).

Setiap pembelajaran seharusnya dikembangkan sedemikian rupa supaya siswa

merasa bahwa kondisi dalam pembelajaran memiliki suasana yang fleksibel,

menyenangkan, dan inpiratif. Bila suasana itu terjadi dalam pembelajaran maka kegiatan

belajar siswa akan penuh kebermaknaan serta aktivitas dan kreativitas yang dilakukan

siswa dapat dicapai secara optimal (Ruhimat, 2009).

Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur

dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya. Kuncinya adalah pada

permainan atau kegiatan bermain. Permainan atau bermain adalah kata kunci pada

pendidikan anak. Bermain adalah sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan

itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil

bermain yang melibatkan semua indra anak (Brotherson, 2009).

Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran

terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan

pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, bermain sebagai

gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam

berbagai lingkungan budaya (Brotherson, 2009). Menurut Bruner perkembangan kognitif

seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan.

~ 4 ~

Page 6: Makalah Joyful Learning

Tahap pertama adalah tahap enaktif, di mana individu melakukan aktivitas–aktivitas

dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana ia

melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap

simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi

bahasa dan logika (Slavin, 2009).

Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut

Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh

anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua

aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat

berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan

menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan

semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan

spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak merupakan jembatan bagi berkembangnya

semua aspek.

Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan

praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran bermakna,

pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active

learning) dan psikologi perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya

sama, bahkan metodologi pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi yang

berbeda terkait dengan penekanan konseptualnya yang relevan dengan perkembangan

moral dan kejiwaan anak. Anak akan bersemangat dan gembira dalam belajar karena

mereka tahu apa makna dan gunanya belajar, karena belajar sesuai dengan minat dan

hobinya (meaningful learning) karena mereka dapat memadukan konsep pembelajaran

yang sedang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan dengan berbagai topik

yang sedang “in” berkembang di masyarakat (Marsh, 2008; Willis, 2011 dan Kholil,

2009).

Dave Meier (2002:36) dalam Indrawati dan Setiawan (2010) memberikan

pengertian menyenangkan atau fun sebagai suasana belajar dalam keadaan gembira.

Suasana gembira disini bukan berarti suasana ribut, hura-hura, kesenangan yang sembrono

dan kemeriahan yang dangkal.

~ 5 ~

Page 7: Makalah Joyful Learning

Tabel 2. Ciri-ciri suasana belajar yang menyenangkan dan tidak menyenangkan

Menyenangkan Tidak menyenangkan1. Rileks2. Bebas dari tekanan3. Aman4. Menarik5. Bangkitnya minat belajar6. Adanya keterlibatan penuh7. Perhatian peserta didik tercurah8. Lingkungan belajar yang menarik

(misalnya keadaan kelas terang, pengaturan tempat duduk leluasa untuk peserta didik bergerak)

9. Bersemangat10. Perasaan gembira11. Konsentrasi tinggi

1. Tertekan2. Perasaan terancam3. Perasaan menakutkan4. merasa tidak berdaya5. tidak bersemangat6. malas/tidak berminat7. jenuh/bosan8. suasana pembelajaran monoton9. pembelajaran tidak menarik siswa

Sumber : Dave Meier (2002) dalam Indrawati dan Setiawan (2010)

Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dapat dinikmati

siswa. Siswa merasa nyaman, aman dan asyik. Perasaan yang mengasyikan mengandung

unsur inner motivation, yaitu dorongan keingintahuan yang disertai upaya mencari tahu

sesuatu. Selain itu pembelajaran yang menyenangkan perlu memberikan tantangan kepada

siswa untuk berfikir, mencoba, dan belajar lebih lanjut, penuh dengan percaya diri dan

mandiri untuk mengembangkan potensi diri secara optimal. Dengan demikian, diharapkan

kelak menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan

mempunyai kemampuan yang kompetitif (berdaya saing) (Marsh, 2008 dan Willis, 2011).

Sampai anak-anak berusia remaja, pembelajaran yang menyenangkan akan seiring

dengan belajar sambil bermain, yang mau tidak mau akan mengajak peserta didik untuk

aktif. Sambil bermain mereka aktif belajar dan sambil belajar mereka aktif bermain. Dalam

bermain mereka mendapatkan hikmah esensi suatu pengetahuan dan keterampilan, sambil

belajar mereka melakukan refreshing agar kondisi kejiwaan mereka tidak dalam suasana

tegang terus-menerus. Tidak ada metode standar untuk pembelajaran yang menyenangkan

ini. Setiap guru sesuai dengan konteks kelas dan perkembangan usia mental siswa dapat

memilah dan memilih metode yang sesuai atau bahkan metode yang diciptakannya sendiri.

B. Identifikasi dan perumusan masalah

Guru yang kompeten adalah kunci dalam sebuah sistem pendidikan secara keseluruhan.

Hanya melalui inisiatif dan inovasi dari guru bahwa setiap program yang berhasil dapat

dilakukan. Peran guru dalam kegiatan pendidikan, sesuai dengan teori belajar

~ 6 ~

Page 8: Makalah Joyful Learning

konstruktivistik, tidak hanya mentransfer pengetahuan melainkan sebagai fasilitator,

pemimpin dan narasumber dalam proses pembelajaran yang partisipatif dan

menyenangkan. Berdasarkan fenomena dan hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa peran guru baru sampai pada tahap mentransfer pengetahuan. Hal ini

berimbas pada rendahnya prestasi belajar siswa baik secara nasional maupun internasional

yang ditunjukkan dari berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

internasional.

Setiap pembelajaran seharusnya dikembangkan sedemikian rupa supaya siswa

merasa bahwa kondisi dalam pembelajaran memiliki suasana yang fleksibel,

menyenangkan, dan inpiratif. Bila suasana itu terjadi dalam pembelajaran maka kegiatan

belajar siswa akan penuh kebermaknaan serta aktivitas dan kreativitas yang dilakukan

siswa dapat dicapai secara optimal. Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya

merupakan strategi, konsep dan praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari

pembelajaran bermakna, pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme,

pembelajaran aktif (active learning) dan psikologi perkembangan anak. Pembelajaran

yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dapat dinikmati siswa. Siswa merasa

nyaman, aman dan asyik. Pembelajaran yang menyenangkan dan memberikan tantangan

kepada siswa untuk berfikir, mencoba, dan belajar lebih lanjut, penuh dengan percaya diri

dan mandiri untuk mengembangkan potensi diri secara optimal, diharapkan siswa kelak

menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan

mempunyai kemampuan yang kompetitif.

C. Manfaat/signifikansi Penelitian

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis studi literatur ini ini diharapkan dapat mendukung prinsip-prinsip

pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas perbelajaran

sains di sekolah dasar

2. Manfaat Praktis

Hasil studi literatur ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam

melaksanakan proses pembelajaran yang mampu mengantarkan siswa kelak

menjadi manusia yang berkarakter penuh percaya diri, menjadi dirinya sendiri, dan

mempunyai kemampuan yang kompetitif

~ 7 ~

Page 9: Makalah Joyful Learning

BAB II:

KAJIAN PUSTAKA

Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah berkenaan masalah pendidikan dan

keimanan. Allah berfirman:

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq : 1-5).

Dalam melaksanakan proses pembelajaran Allah memberikan pelajaran yang

sangat indah yaitu pada QS An Nahl: 125 yang artinya:

“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmmu dengan hikmah (perkataan yang tegas dan benar) dan pengajaran yang baik/menyenangkan , dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik/ma’ruf. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”

Berdasarkan kedua ayat diatas memberikan gambaran bahwa pendidikan

merupakan pondasi yang seharusnya menjadi kekuatan sebuah bangsa dan peradaban.

Sedangkan dalam proses pembelajarannya, kasih sayang, hikmah dan amar ma’ruf menjadi

filosofi yang membangun terjalinnya hubungan yang sederajat antara pendidik dan yang

dididik.

A. Belajar dan Pembelajaran

Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan mutu pendidikan adalah

pembelajaran, karena pembelajaran merupakan aspek yang utama dalam pendidikan.

Jadi, mutlak kalau ingin meningkatkan mutu pendidikan perlu dimulai dari

pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa di sekolah. Ini artinya guru harus

berupaya semaksimal mungkin mengkondisikan pembelajaran agar menjadi suatu

proses yang bermakna dalam membentuk pengalaman dan kemampuan siswa

(Ruhimat, 2009 )

Belajar merupakan proses perubahan tingkahlaku yang diperoleh melalui

latihan, perubahan itu disebabkan karena ada dukungan dari lingkungan yang positif

yang menyebabkan terjadinya interaksi edukatif (Ruhimat, 2009). Menurut Slavin

(2009), belajar merupakan perubahan individu yang disebabkan oleh pengalaman.

~ 8 ~

Page 10: Makalah Joyful Learning

Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif dimana si

subjek didik belajar membangun sendiri pengetahuannya, dan mencari sendiri makna

dari sesuatu yang dipelajari (Sardiman, 2004). Selain itu, belajar dapat diartikan juga

sebagai aktivitas pengembangan diri melalui pengalaman, bertumpu pada kemampuan

diri belajar di bawah bimbingan pengajar. Belajar juga dapat dikatakan sebagai proses

penting bagi perubahan perilaku bagi perubahan perilaku manusia dan ia mencakup

segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa belajar merupakan suatu proses terjadinya suatu perubahan tingkah laku

sebagai hasil dari interaksi lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal

(Sardiman, 2004).

B. Teori belajar dan implikasinya terhadap pendidikan

1. Teori Belajar Kognitif

Teori belajar yang dikembangkan oleh Piaget ini didasarkan pada asumsi bahwa (1)

individu mempunyai kemampuan memproses informasi, (2) kemampuan memproses

informasi tergantung pada faktor kognitif yang perkembangannya berlangsung secara

bertahap sejalan dengan tahapan usianya, (3) belajar adalah proses internal yang

kompleks yang berupa pemrosesan informasi, (4) hasil belajar adalah berupa

perubahan struktur kognitif, (5) cara belajar anak-anak dan orang dewasa berbeda

sesuai dengan tahap perkembangannya (Marsh, 2008 dan Nurihsan dan Agutin, 2011)

Teori belajar kognitif berkembang dari Piaget, Vygotsky dan teori pemrosesan

informasi.

Teori kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. Dalam pandangan Piaget pengetahuan

datang dari tindakan, jadi perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada

seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu : struktur, isi dan fungsi

(http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/

Chapter_3:_Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Pi

aget).

Struktur atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada

individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku

khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang

dihadapinya. Sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk

membuat kemajuan intelektual. Fungsi itu terdiri dari organisasi dan adaptasi. Semua

~ 9 ~

Page 11: Makalah Joyful Learning

organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri

dengan lingkungan mereka. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu

dengan yang lain. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui 2 proses yaitu :

assimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur

atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam

lingkungan. Dan proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental

yang ada untuk mengadakan respon terhadap tantangan lingkungan

http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_ Educational_Psychology/Chapter_3:_

Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Piaget.

Piaget menjelaskan bagaimana tiap individu mengembangkan schema, yaitu suatu

sistem organisasi aksi atau pola pikir yang membuat manusia secara mental

mencerminkan “berpikir mengenainya”. Dua proses diaplikasikan dalam hal ini yaitu

asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi kita berusaha memahami hal yang baru

dengan mengaplikasikan schema yang ada; sedangkan akomodasi terjadi ketika

seseorang harus merubah pola berpikirnya untuk merespon terhadap situasi yang baru.

Seseorang melakukan adaptasi dalam situasi yang makin kompleks ini dengan

menggunakan schema yang masih bisa dianggap layak (asimilasi) atau dengan

melakukan perubahan dan menambahkan pada schema-nya sesuatu yang baru karena

memang diperlukan (akomodasi) (Marsh, 2008).

Penjelasan di atas menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang

dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi

pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan.

Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif

dan berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya

(Piaget, 1962).

Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak

harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya

bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif

darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang

dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru

sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk

bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik,

bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih

membantu siswa dalam belajar dan memahami sesuatu

~ 10 ~

Page 12: Makalah Joyful Learning

(http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_

Student_Development/Cognitive_Development:_The_Theory_of_Jean_Piaget).

Menurut Slavin (2009) implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai

berikut :

1) Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada

produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses

yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.

2) Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam

inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas

Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak

didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan

lingkungan.

3) Tidak menekankan pada praktek-praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-

anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.

4) Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori

Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan

perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang

berbeda.

Dari uraian tersebut pembelajaran menurut konstruktivis dilakukan dengan

memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada

hasilnya dan mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran serta

memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan yang dapat

dipegaruhi oleh perkembangan intelektual anak.

2. Teori Belajar Konstruktivisme

Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti

dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan

masalah, menemukan sesuatu bagi diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-

ide. Tugas pendidikan tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi

ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting

dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa

(http://projects.coe.uga.edu/epltt/index.php?title=Constructionism,_Learning_by_

Design, _ and_Project_Based_Learning )

Teori yang dikenal dengan constructivist theories of learning menyatakan bahwa

siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek

~ 11 ~

Page 13: Makalah Joyful Learning

informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu apabila tidak lagi

sesuai. Hakekat dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menjadikan

informasi itu miliknya sendiri (Nur dan Retno,2000:2).

Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down

daripada bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk

dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru)

keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up

tradisional yang mana keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun

menjadi keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 2009). Sehingga dapat

dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa, peran guru adalah membantu

siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan

ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.

Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu konsep kunci dari teori belajar

konstruktivis adalah pembelajaran dengan pengaturan diri (self regulated learning) yaitu

seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta

kapan menggunakan pengetahuan itu (Slavin, 2009). Jadi apabila siswa memiliki strategi

belajar yang efektif dan motivasi serta tekun menerapkan strategi itu sampai pekerjaan

terselesaikan maka kemungkinan mereka adalah pelajar yang efektif.

Salah satu pendekatan dalam pengajaran konstruktivis yang sangat berpengaruh

dari Jerome Bruner adalah belajar penemuan (inquiry) dimana siswa didorong untuk

belajar sebagian besar melalui partisipasi aktif mereka sendiri dengan konsep dan prinsip

dimana guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman serta dapat melakukan

eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka

sendiri. (Metin, 2011).

Pendekatan yang lain dalam pengajaran dan pembelajaran yang juga berlandaskan

pada teori konstruktivis adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual

teaching and learning). Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu

konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia

nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya

dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara dan tenaga kerja. Pada

dasarnya CTL juga menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan

mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. PBM lebih diwarnai student

centred daripada teacher centered. Sebagaian besar waktu PBM berlangsung dengan

berbasis pada aktivitas siswa. Inquiry-Based Learning dan Problem-Based Learning

~ 12 ~

Page 14: Makalah Joyful Learning

disebut sebagai strategi CTL yang diwarnai student centered dan aktivitas siswa

(http://teachertomsblog. blogspot.com /2012/04/teaching-play-based-curriculum.html)

a. Teori Piaget

b. Teori Vygotsky

Teori Vygotsky memberikan suatu sumbangan yang sangat berarti dalam kegiatan

pembelajaran. Teori ini memberi penekanan pada hakekat sosiokultural dari

pembelajaran. Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta

didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun

tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada

dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan

anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah

bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

(http://en.wikibooks.org/wiki/Contemporary_

Educational_Psychology/Chapter_3 :_Student_Development).

Vygotsky menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir

dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa,

lambang dan simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini ke anak dalam

kegiatan sehari-hari dan si anak menginternalisasi hal tersebut. Sehingga alat

psikologis ini dapat membantu siswa meningkatkan perkembangan mental dan

berpikirnya. Pada saat anak berinteraksi dengan orang tua atau teman yang lebih

mampu, mereka saling bertukar ide dan cara berpikir tentang representasi dan

konsep. Sehingga pengetahuan, ide, sikap dan sistem nilai yang dimiliki anak

berkembang seperti halnya cara yang dia pelajari dari lingkungannya (http://en.

wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_

Student_Development)

Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal dengan istilah

scaffolding (perancahan), dimana perancahan mengacu kepada bantuan yang

diberikan teman sebaya atau orang dewasa yang lebih lompeten, yang berarti

bahwa memberikan sejumlah besar dukungan kepada anak selama tahap-tahap awal

pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan

kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera

setelah ia mampu melakukannya sendiri. ((http://en.

wikibooks.org/wiki/Contemporary_Educational_Psychology/Chapter_3:_Student_

Development)

~ 13 ~

Page 15: Makalah Joyful Learning

Implikasi dari teori Vygostky dalam pendidikan yaitu :

1) Dikehendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga

siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas dan saling memunculkan strategi-

strategi pemecahan masalah afektif dalam zona of proximal development.

2) Dalam pengajaran ditekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin

bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri.

c. Teori Ausubel Tentang Belajar Bermakna (Meaningful)

Ausubel mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful) jika

informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif

yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi

barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel juga menyatakan

bahwa agar belajar bermakna terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa syarat,

yaitu: (1). Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial, (2). Anak

yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga

mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna

(

http://sites.wiki.ubc.ca/etec510/Ausubel's_Assimilation_Learning_Theory :_Theore

tical_Basis_for_Concept_Maps_and_E-Maps)

Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel ada tiga kebaikan dari belajar bermakna

yaitu : (a) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (b)

Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya

untuk materi pelajaran yang miri, (c) Informasi yang dipelajari secara bermakna

mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa

(http://www.edutopia.org/pdfs/edutopia-teaching-for-meaningful-learning.pdf ) .

Bermain adalah pekerjaan anak. Bermain sangat penting untuk perkembangan anak

dan belajar. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak belajar lebih baik dalam

suasana yang mendorong eksplorasi, penemuan dan bermain (Brotherson, 2009)

Bermain sangat penting untuk pertumbuhan yang sehat dan perkembangan anak.

Sebagai anak-anak dengan bermain, mereka belajar untuk memecahkan masalah,

untuk bergaul dengan orang lain dan untuk mengembangkan keterampilan motorik

halus dan kasar yang dibutuhkan untuk tumbuh dan belajar (Brotherson, 2009) .

Bermain membantu anak melakukan hal berikut:

a. Mengembangkan keterampilan fisik. Keterampilan motorik kasar anak

berkembang melalui proses belajar untuk mencapai, pegang, merangkak, berjalan,

~ 14 ~

Page 16: Makalah Joyful Learning

memanjat, dan keseimbangan. Sedangkan keterampilan motorik halus anak

dikembangkan melalui penggunaan mainan berukuran kecil dan lebih rumit

b. Mengembangkan konsep kognitif. Anak-anak belajar untuk memecahkan masalah

(Apa yang dilakukan ini? Apakah ini potongan puzzle cocok di sini?) melalui

bermain. Anak-anak juga belajar warna, angka, ukuran dan bentuk. Mereka

memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan memori mereka serta

rentang perhatian mereka. Anak-anak beralih ke tingkat yang lebih tinggi dari

pemikiran karena mereka bermain di lingkungan yang lebih merangsang.

c. Mengembangkan kemampuan bahasa. Bahasa anak berkembang melalui kegiatan

bermain dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dimulai dengan bermain

bersama antara orang tua dengan anak-anak mereka lewat bercerita dan membuat

lelucon.

d. Mengembangkan keterampilan sosial. Dengan bermain anak belajar untuk bekerja

sama, bernegosiasi, bergiliran dan bermain sesuai aturan keterampilan yang

dipelajari di awal permainan. Keterampilan ini tumbuh sebagai sejalan dengan

pertumbuhan usia anak. Dengan demikian anak-anak akan belajar tentang peran

dan aturan dalam suatu masyarakat

Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan tentang bermain dan pengaruhnya

terhadap diri dan lingkungannya seperti disajikan pada Tabel 2.1. berikut ini

~ 15 ~

Page 17: Makalah Joyful Learning

Tabel 2.1. Teori Belajar Berdasarkan Alasan dan Manfaat

THEORIES REASONS FOR PLAY GREATEST BENEFITS

Surplus EnergyH. Spencer

To discharge the natural energy of the body

Physical

Renewal of EnergyG.T.W. Patrick

To avoid boredom while the natural motor functions of the body are restored Physical

RecapitulationG.S. Hall

To relive periods in the evolutionary history of the human species Physical

Practice for AdulthoodK. Groos

To develop skills and knowledge necessary for functioning as an adult

Physical, intellectual

PsychoanalyticS. Freud, A. Freud , E. Erikson

To reduce anxiety by giving a child a sense of control over the world and an acceptable way to express forbidden impulses

Emotional, social

Cognitive – DevelopmentalJ. Bruner, J. Piaget

B. Sutton-Smith

To facilitate general cognitiveDevelopment; To consolidate learning that has already taken place while allowing for the possibility of new learning in a relaxed atmosphere

Intellectual, social

Arousal ModulationD.E. Berlyne, G. Fein

H. Ellis

To keep the body at an optimal state of arousal; To relieve boredomTo reduce uncertainty

Emotional, physical

NeuropsychologicalO. Weininger, D. Fitzgerald

To integrate the functioningof the right and left cerebral hemispheres

Biological, intellectual

Sumber: HUGHES, FERGUS P. Children, Play, and Development. USA; Allyn & Bacon, 1995. p. 15

Pada awalnya teori bermain lebih mengarah hanya pada manfaat fisik dari

bermain. Menurut Herbert Spencer (1873) dengan teori "Surplus energi", bermain

diperlukan untuk memungkinkan anak-anak untuk membuang kelebihan energi.

Kebalikan dari pandangan Spencer, G.T.W. Patrick (1916) menjelaskan tujuan

bermain sebagai pembaharuan energi (Hughes,1995) dan kebutuhan untuk relaksasi

(Mussen, 1983). Dia melihat bermain sebagai alat yang membuat anak-anak yang

diduduki sementara mereka mengembalikan pasokan energi alami mereka.

Teori kontemporer Erikson, Freud, Ellis dan Piaget menekankan pentingnya

bermain dalam pembangunan sosial, kognitif dan emosional anak-anak. Mereka

menganggap bermain sebagai bagian penting dan integral dari masa kanak-kanak

(Hart, 1993). Sebagai ahli teori psychoanalitic, Sigmund Freud menyarankan fungsi

utama bermain sebagai pengurangan kecemasan. Menurut dia, sumber perasaan anak,

seperti marah, takut tidak masuk akal, dan rasa ingin tahu seksual, diciptakan oleh

~ 16 ~

Page 18: Makalah Joyful Learning

masyarakat dewasa. Dengan bermain, anak mengeksplorasi perasaan ditolak tanpa

menghadapi halangan dewasa (Hughes, 1995).

Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran

terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan

pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, bermain sebagai

gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam

berbagai lingkungan budaya (Singer, et al, 2006). Menurut Bruner perkembangan

kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat

lingkungan Tahap pertama adalah tahap enaktif, di mana individu melakukan

aktivitas–aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap

ikonik, dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap

terakhir adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang

banyak dipengaruhi bahasa dan logika (Slavin 2009)

Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut

Conny R. Semiawan (Jalal, 2002) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh

anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua

aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak

dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui

dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat

mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental

intelektual dan spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak merupakan jembatan bagi

berkembangnya semua aspek.

Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan

praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran bermakna,

pembelajaran kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active

learning) dan psikologi perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya

sama, bahkan metodologi pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi

yang berbeda terkait dengan penekanan konseptualnya yang relevan dengan

perkembangan moral dan kejiwaan anak. Anak akan bersemangat dan gembira dalam

belajar karena mereka tahu apa makna dan gunanya belajar, karena belajar sesuai

dengan minat dan hobinya (meaningful learning) karena mereka dapat memadukan

konsep pembelajaran yang sedang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan

dengan berbagai topik yang sedang “in” berkembang di masyarakat (Kholil, 2009).

~ 17 ~

Page 19: Makalah Joyful Learning

Adapun ciri-ciri pokok Pembelajaran yang menyenangkan ( joyful learning ) ialah:

a)   Adanya lingkungan yang rileks, menyenangkan, tidak membuat tegang ( stress ),

aman, menarik, dan tidak membuat siswa ragu melakukan sesuatu meskipun

keliru untuk mencapai keberhasilan tinggi;

b)   Terjaminnya ketersediaan materi pelajaran dan metode yang relevan;

c)   Terlibatnya semua indera dan aktivitas otak kiri dan kanan;

d)   Adanya situasi belajar yang menantang ( challenging ) bagi peserta didik untuk

berfikir jauh ke depan dan mengeksplorasi materi yang sedang dipelajari ;

e)   Adanya situasi belajar emosional yang positif ketika para siswa belajar bersama,

dan ketika ada humor, dorongan semangat, waktu istirahat, dan dukungan yang

enthusiast.

(Corbell, 1999)

Dalam pembelajaran yang menyenangkan guru tidak membuat siswa :

a)   Takut salah dan dihukum;

b)   Takut ditertawakan teman-teman;

c)   Takut dianggap sepele oleh guru atau teman;

Di sisi lain, pembelajaran yang menyenangkan dapat membuat siswa :

a)      Berani bertanya;

b)      Berani mencoba/membuat;

c)       Berani mengemukakan pendapat/gagasan ;

d)      Berani mempertanyakan gagasan orang lain.

Dalam mempelajari IPA banyak menerapkan konsep dasar dan prinsip dasar, maka

siswa dituntut untuk berfikir secara ilmiah dan memiliki sifat ilmiah, oleh karena itu

penggunaan pendekatan keterampilan proses sangat tepat dilakukan. Hal ini dapat

diwujudkan melalui penerapan teori pembelajaran kognitif yang dalam psikologi

pendidikan dikelompokkan dalam teori konstruktivisme dan memberikan penjelasan

tentang pembelajaran yang berpusat pada proses mental yang sulit diamati.

Salah satu rahasia keberhasilan dalam belajar Sains pada anak adalah dengan

mengkombinasikannya dengan permainan.  Selain itu proses belajar ini harus dirangkai

dengan diskusi dan pengulangan penyajian materi. Penelitian tentang penguasaan materi

pengajaran Sains menggunakan sistem belajar yang dikombinasikan dengan permainan

yang dilakukan oleh Saptorini (2011) pada sejumlah anak di SD Al Azhar Syifa Budi

Cibinong menunjukkan bahwa 93 % siswa mengalami ketuntasan belajar atau memperoleh

nilai di atas 70 setelah 3 kali pengulangan. 

~ 18 ~

Page 20: Makalah Joyful Learning

Siswa yang akan diuji, setelah menerima materi dari guru, diminta untuk

mengungkapkan pendapat baik dalam kelompok maupun dalam diskusi kelas.

Kemudian dilanjutkan dengan sistem bermain menggunakan gambar. Kemudian anak

di perlihatkan gambar di kartu,  sesaat kemudian diperlihatkan tulisannya kemudian

anak dibagi menjadi 4 kelompok. Diakhir pengujian anak mengerjakan test untuk

mengetahui tingkat penguasan materi.  Siswa yang diuji berjumlah 29 orang. Masing-

masing  kelompok diberi 10 set kartu  bergambar dikartu  dan siswa diminta

menuliskan gambar yang dilihatnya tadi. Dalam 1 kelompok dibagi 2 yang kelompok

satu memegang kartu gambar yang kelompok yang lain memegang kartu tulisan.

Kemudian mereka saling menebak kartu yang dipegang. Setelah hafal mereka

bertukar peran. Dengan metoda ini ternyata. Hal ini menunjukkan bahwa untuk

penerapan belajar dengan bermain efektif meningkatkan daya serap anak untuk belajar

Sains.

~ 19 ~

Page 21: Makalah Joyful Learning

BAB III:PEMBAHASAN

Terdapat tiga isu utama dalam peningkatan kualitas pendidikan yaitu pembaruan

kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektifitas metode pembelajaran.

Kurikulum pendidikan harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial,

relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan keberagaman keperluan dan

kemajuan teknologi. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan

kualitas hasil pendidikan. Dan secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan

pembelajaran yang efektif di kelas, yang lebih memberdayakan potensi anak (Nurhadi,

dkk.,2003).

Paradigma baru pendidikan yang semula sentralistik kini telah berubah menjadi

desentralistik. Institusi pendidikan (sekolah) dan pengajar (guru) menjadi tumpuan utama

tingkat keberhasilan dan mutu pendidikan. Sekolah dan guru harus mampu merancanakan,

mengelola dan mengevaluasi dari kinerja rancangannya tersebut. Untuk itulah manfaatnya

manggaluri/mendeskripsikan alur apa dan mengapa KTSP harus menerapkan pembelajaran

yang menyenangkan dan model pembelajaran inovatif.

Pembelajaran yang menyenangkan sebenarnya merupakan strategi, konsep dan

praktik pembelajaran yang merupakan sinergi dari pembelajaran bermakna, pembelajaran

kontekstual, teori konstruktivisme, pembelajaran aktif (active learning) dan psikologi

perkembangan anak. Dengan demikian walaupun esensinya sama, bahkan metodologi

pembelajaran yang dipilih juga sama, tetap ada spesifikasi yang berbeda terkait dengan

penekanan konseptualnya yang relevan dengan perkembangan moral dan kejiwaan anak.

Anak akan bersemangat dan gembira dalam belajar karena mereka tahu apa makna dan

gunanya belajar, karena belajar sesuai dengan minat dan hobinya (meaningful learning)

karena mereka dapat memadukan konsep pembelajaran yang sedang dipelajarinya dengan

kehidupan sehari-hari, bahkan dengan berbagai topik yang sedang “in” berkembang di

masyarakat (Kholil, 2009).

Mereka dapat belajar dari lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun

lingkungan sosialnya (contextual teaching and learning). Mereka juga bergembira dalam

belajar karena memulainya dari sesuatu yang telah dimilikinya sendiri, sehingga timbul

rasa “PD” (percaya diri) dan itu akan menimbulkan perasaan diakui dan dihargai yang

menyenangkan hatinya karena ia diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya (teori

konstruktivisme) sesuai ciri-ciri perkembangan fisiologis dan psikologisnya. Hal tersebut

~ 20 ~

Page 22: Makalah Joyful Learning

pada gilirannya akan memotivasi mereka untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran

karena atmosfer pembelajaran yang sesuai kepentingannya dan diciptakannya sendiri

(Slavin, 2009).

Dalam hal ini, sampai kira-kira anak-anak berusia remaja, pembelajaran yang

menyenangkan akan seiring dengan belajar sambil bermain, yang mau tidak mau akan

mengajak peserta didik untuk aktif. Sambil bermain mereka aktif belajar dan sambil

belajar mereka aktif bermain. Dalam bermain mereka mendapatkan hikmah esensi suatu

pengetahuan dan keterampilan, sambil belajar mereka melakukan refreshing agar kondisi

kejiwaan mereka tidak dalam suasana tegang terus-menerus. Tidak ada metode standar

untuk pembelajaran yang menyenangkan ini. Setiap guru sesuai dengan konteks kelas dan

perkembangan usia mental siswa dapat memilah dan memilih metode yang sesuai atau

bahkan metode yang diciptakannya sendiri (Kholil, 2009 ).

Siswa akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat

mengkomunikasikan gagasannya dengan siswa lain atau guru. Dengan kata lain siswa

membangun pemahaman melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi

memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa melalui diskusi, saling

bertanya, dan saling menjelaskan. Interaksi dapat ditingkatkan dengan belajar kelompok.

Penyampaian gagasan oleh siswa dapat mempertajam, memperdalam, memantapkan atau

menyempurnakan gagasan itu karena memperoleh tanggapan dari siswa lain atau guru.

PBM perlu mendorong siswa untuk mengkomunikasikan gagasan, hasil kreasi dan

temuannya kepada siswa lain., guru atau pihak-pihak lain. Dengan demikian KBM

memungkinkan siswa bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap,

kemampuan, prestasi ) dan berlatih untuk bekerja sama. Artinya KBM perlu mendorong

siswa untuk mengembangkan empatinya sehingga dapat mengembangkan saling

pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakan.

Hasil belajar yang bermakna (meaningful learning) lebih lama dikuasai daripada

belajar menghafal. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang substantif dan non arbiter

dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif. Keadaan demikian

memungkinkan sejumlah besar bahan dapat disatukan dalam struktur kognitif dengan

penguasaan yang lebih efektif (Sukmadinata, 2010 dan Vallori, 2002).Hubungan suatu

konsep yang dipelajari dengan pembelajaran yang bermakna menyebabkan konsep tersebut

lebih lama dikuasai dalam ingatan.

Dikatakan lebih lanjut oleh Ausubel ada tiga kebaikan dari belajar bermakna

yaitu : (a) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, (b)

~ 21 ~

Page 23: Makalah Joyful Learning

Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk

materi pelajaran yang miri, (c) Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah

belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa

(http://www.edutopia.org/pdfs/edutopia-teaching-for-meaningful-learning.pdf ) .

Berdasarkan hasil penelitian Anggoro dan Husin (2008), Anggoro dan Badarudin

(2009) serta Anggoro dan Iswasta (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran IPA

menggunakan metode ceramah atau diskusi tingkat keberhasilannya lebih rendah

dibandingkan apabila menggunakan pendukung berupa media pembelajaran. Sebagai

contoh, dalam pembelajaran matematika atau IPA (sains) di kelas III SD, siswa bermain

pesawat terbang kertas (origami) sambil belajar. Setiap anak menyiapkan soal matematika

yang ditulis di sisi sayap sebelah kiri, kemudian pesawat terbang diterbangkan. Pesawat

terbang meluncur, siswa yang kebetulan kejatuhan dan atau tertabrak pesawat terbang itu

adalah siswa yang wajib menjawab soalnya di sisi sayap sebelah kanan. Setiap anak

berkesempatan untuk menerbangkan pesawat terbangnya sendiri, dengan kata lain, setiap

siswa diberi kesempatan secara aktif membuat soalnya sendiri. Pada akhir pembelajaran

guru dan para siswa melakukan refleksi dan penarikan simpulan bersama. Refleksi adalah

cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa

yang sudah dilakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya

sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari

pengetahuan sebelumnya. Inilah yang menjadi ciri pendekatan konstruktivistik.

Belajar yang menyenangkan itu penting. Sebagai guru diharapkan untuk

menciptakan kondisi tersebut. Terkait hal tersebut dalam buku “Genius Learning Strategy”

Andi Wira Gunawan menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada mata pelajaran yang

membosankan, yang ada adalah guru yang membosankan, suasana belajar yang

membosankan. Hal ini terjadi karena proses belajar berlangsung secara monoton dan

merupakan proses perulangan dari itu ke itu juga tiada variasi. Proses belajar hanya

merupakan proses penyampaian informasi satu arah, siswa terkesan pasif menerima materi

pelajaran (Brougere, 1999).

Suatu penelitian tentang “cara kerja otak” menunjukkan bahwa ketika kita senang,

maka hormon “neorotransmitter dopamine” dilepaskan dalam otak. Hal itulah yang

membuat kita merasa senang. Jude Willis (2011) mengemukakan bahwa kita

membutuhkan dopamine mengalir di dalam otak peserta didik, ketika mereka belajar.

Kesenangan itu harus menjadi bagian dari pembelajaran. Semakin para siswa aktif terlibat

dalam sebuah kegiatan pembelajaran, semakin otak mengalami perubahan.

~ 22 ~

Page 24: Makalah Joyful Learning

Metode pembelajaran yang berlangsung saat ini dengan penyajian lebih menitik

beratkan pada rangsangan dengar (auditory) berupa latihan (drill), pengulangan,

orientasinya detail, kurang melibatkan proses pemecahan suatu masalah, sangat sesuai

dengan pola belajar pada otak kiri, dimana individu tersebut kurang hiperaktif dan tidak

mendapatkan terlalu banyak rangsangan. Masalah mulai timbul karena pada generasi anak

saat ini dimana dengan berkembangnya budaya, sejak kecil anak telah diberi banyak

rangsang penglihatan (visual), misalnya rangsangan dari TV dll; sehingga pola

pembelajaran anak bergeser kearah otak kanan dengan pola berpikir secara visual dan

lemah dalam menerima rangsang dengar (auditory) tetapi mempunyai kemampuan untuk

pemecahan masalah. Hal ini mengakibatkan jurang antara anak didik dan guru menjadi

lebar, karena pola pembelajaran disekolah tidak sesuai dengan pola pembelajaran yang

dibutuhkan; sekolah menjadi tidak sejalan dengan pikiran anak. Sementara itu para

pendidik yang umumnya adalah populasi dengan pola otak kiri, seperti juga pada dominasi

otak kiri lainnya, mempunyai kelemahan berupa kesulitan untuk dapat memahami bahwa

orang lain mempunyai cara pandang yang berbeda dalam memproses keadaan. (Freed,

1997 dalam Willis, 2011).

Sains selain sebagai produk juga sebagai proses tidak dapat dipisahkan satu sama

lain. Pernyataan di atas selaras dengan pendapat Carin yang menyatakan bahwa sains

sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum dan teori sains.

Fakta merupakan kegiatan-kegiatan empiris di dalam sains dan konsep, prinsip, hukum-

hukum, teori merupakan kegiatan-kegiatan analisis di dalam sains. Sebagai proses sains

dipandang sebagai kerja atau sesuatu yang harus dilakukan dan diteliti yang dikenal

dengan proses ilmiah atau metode ilmiah, melalui keterampilan menemukan antara lain,

mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan keterampilan spesial,

mengkomunikasikan, memprediksi, menduga, mendefinisikan secara operasional,

merumuskan hipotesis, menginterprestasikan data, mengontrol variabel, melakukan

eksperimen. Sebagai sikap sains dipandang sebagai sikap ilmiah yang mencakup rasa ingin

tahu, berusaha untuk membuktikan menjadi skeptis, menerima perbedaan, bersikap

kooperatif, menerima kegagalan sebagai suatu hal yang positif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya sains terdiri atas tiga

komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan

pengetahuan atau fakta yang dihafal, namun juga merupakan kegiatan atau proses aktif

menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam. Hal ini dapat dicapai

melalui joyful learning dan active learning (Benek-Rivera dan Mathews,2004).

~ 23 ~

Page 25: Makalah Joyful Learning

Dalam mempelajari IPA banyak menerapkan konsep dasar dan prinsip dasar, maka

siswa dituntut untuk berfikir secara ilmiah dan memiliki sifat ilmiah, oleh karena itu

penggunaan pendekatan keterampilan proses sangat tepat dilakukan. Hal ini dapat

diwujudkan melalui penerapan teori pembelajaran kognitif yang dalam psikologi

pendidikan dikelompokkan dalam teori konstruktivisme dan memberikan penjelasan

tentang pembelajaran yang berpusat pada proses mental yang sulit diamati.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang

ditentukan oleh caranya melihat lingkungan Tahap pertama adalah tahap enaktif, di

mana individu melakukan aktivitas–aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan.

Tahap kedua adalah tahap ikonik, dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan

visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-

gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika (Slavin 2009).

Joyful learning diakui berhasil membuat siswa merasakan atmosfer pembelajaran

yang berbeda dan menyenangkan. In seperti yang dilaporkan oleh Hongkong Arts

Development Council (2005) yang melakukan kolaborasi pembelajaran antara minimimal

2 sekolah untuk membuat pembelajaran tentang seni dan sejarah. Hasil penelitian Chopra

dan Chabra (2013) menujukkan hal yang sama di India. Melalui Project PEACE yang

dilaporkan oleh Posma (2004) pendekatan joyful learning dapat digunakan untuk

membelajarkan tentang sanitasi dan pemanfaatan sumberdaya air yang baik. Hayes (2007)

melaporkan bahwa joyful learning sangat tepat digunakan untuk sekolah dasar dalam

bebrbagai mata pelajaran.

~ 24 ~

Page 26: Makalah Joyful Learning

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching and assessing: A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives: Complete edition, New York : Longman

Anggoro, Subuh dan Arief Husin (2008). Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa dalam Mata Kuliah Fisiologi Tumbuhan pada Pokok Bahasan Difusi dan Osmosis menggunakan Model Pembelajaran CBSA dengan Pendekatan Discovery. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)

Anggoro dan Iswasta Eka (2009). Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa dalam Mata Kuliah Konsep Dasar IPA pada Pokok Bahasan Energi dan Perubahannya menggunakan Model Pembelajaran CBSA dengan Pendekatan Discovery. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)

______________________(2009). Pengembangan Perangkat Praktikum Pembelajaran BIOLOGI SD Model Laboratorium Kering. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)

_____________________ (2010). Model Pembelajaran PAKEM dan Perangkat Praktikum Pembelajaran berbasis Multimedia (Upaya peningkatan pemahaman konsep dalam Mata Kuliah BIOLOGI SD). Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)

Anggoro, Subuh dan Badarudin (2011). Perangkat Pembelajaran Bumi dan Ruang Angkasa berbasis Multimedia (Upaya peningkatan Prestasi dan Minat Mahasiswa dalam Mata Kuliah Bumi dan Ruang Angkasa). Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)

Bloom, Benjamin S. & David R. Krathwohl. (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals, by a committee of college and university examiners. Handbook 1: Cognitive domain. New York , Longmans.

Benek-Rivera, J and Vinilla E. Mathews. (2004). Active Learning with Jeopardy: Students Ask the Questions J. Of Management Educations 2004. Vol 28: 104 [Online] tersedia: h ttp://jme.sagepub.com/content/28/1/104

Brougere. (1999). Some Elements Relating to Children's Play and Adult Simulaton/ Gaming. Simulation Gaming 1999 30: 134 . DOI: 10.1177/104687819903000204 [Online] tersedia:http://sag.sagepub.com/content/30/2/134

Brotherson, Sean. (2009). Young Children and the important of Play. dalam Bright Beginning #23 August 2009 [Online] tersedia. www.ag.ndsu.edu [20 Agusutus 2012]

~ 25 ~

Page 27: Makalah Joyful Learning

Chopra, Varma dan Sonal Chabra,.2013. Digantar In India: A Case Study For Joyful Learning. Journal of Unschooling and Alternative Learning 2013 Vol. 7 Issue 13.

Corbell, Peter. (1999). Learning from the Children: Practical and Theoretical Reflections on Playing and Learning Simulation and Gaming 1999 30:163. [Online] tersedia:http://sag.sagepub.com/ content/30/2/163 DOI: 10.1177/1057083710373578

Furtak, Erin Marie, Tina Seidel, Heidi Iverson and Derek C. Briggs 2012. Teaching : A Meta-Analysis Experimental and Quasi-Experimental Studies of Inquiry-Based Science Review Of Educational Research 2012 82: 300 104 [Online] tersedia:http://rer.sagepub.com / content/82/3/300 DOI: 10.3102/0034654312457206

Hart, Christina, P. Mulhall, A. Berry, J. Loughram, R. Gunstone. 2000. What is the Purpose of this Experiment?Or Can Students Learn Something from Doing Experiments? J Res Sci Teach 37: 655±675 . John Wiley & Sons, Inc.

Hayes, Denis, 2007 . Joyful Teaching and Learning in Primary School. Great Britain by Bell & Bain Ltd, Glasgow

Hongkong Arts Development Council, 2005. Joyful Learning The Arts-in Education Program. Hongkong Arts Development Council. Hongkong

Hughes, F.P. (1995). Children, Play, and Development. Allyn and Bacon U S A : Simon & Schuster Company

Kartikawati dan W. Setiawan. 2010. Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). P4TK IPA. Bandung

Kholil, Anwar. (2009). Joyful Learning sebagai Landasan Pembelajaran Siswa Aktif. [Online] tersedia http.kholil.blogspot.com

Koops, Lisa Huisman and Cynthia Crump Taggart. 2010. Learning Through Play: Extending an Early Childhood Music Education Approach to Undergraduate and Graduate Music Education Journal of Music Teacher Education 2011 20: 55 originally published online 15 June 2011 Ciaran Sugrue (ed.) London: Routledge, 2008 ISBN 0415431077

Kompas, 2012. Sistem Pendidikan Indonesia Terendah di Dunia. 27 Nopember 2012 [Online] tersedia : www.kompas.com

Kompas, 2012. Pendidikan Asia Nomor Satu di Dunia. 12 Desember 2012 [Online] tersedia : www.kompas.com

Marsh, Collin. (2008). Becoming a Teacher. Knowledge, Skills and Issues. Pearson Education. Australia

~ 26 ~

Page 28: Makalah Joyful Learning

Metin, Pinar. (2010). The Effects Of Traditional Playground Equipment Design In Children’s Developmental Needs [Online] tersedia:

Moore, R.C., Goltsman, S.M., & Iacofano, D.S. (1992). Play for All Guidelines: Planning, Design and Management of Outdoor Play Settings For All Children. Berkeley: MIG Communications,

Mussen, P.H. (1983). Handbook of Child Psychology. United States of America: John Wiley & Sons,

Nurihsan, A. Juntika dan Agustin Mubiar. (2011). Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja Tinjauan Psikologi, Pendidikan dan Bimbingan. Bandung: Refika Aditama

Papalia, D.E., & Olds, S.W. (1993). A Child’s World: Infancy Through Adolescence.

United States of America: Mc Graw-Hill,

Perry, B.D. (2001). “ The Importance of Pleasure in Play” Early Childhood Today. Vol.15, 7(2001)

Piaget, J. (1962). Play, Dreams and Imitation in Childhood. NewYork:Norton.

Posma, Leonia, 2004. Joyful Learning on Hygiene, Sanitation, Water, Health and The Environment. Source Book for Lesson Plan. Participatory Education Activities for Children and Educators (PEACE) IRC International Water and Sanitation Centre 2004

Rana M. Tamim, Robert M. Bernard, Eugene Borokhovski, Philip C. Abrami and Richard F. Schmid. 2011. Learning : A Second-Order Meta-Analysis and Validation Study What Forty Years of Research Says About the Impact of Technology on Education. Review Of Educational Research 2011 81: 4 . 104 [Online] tersedia: http://sag.sagepub.com/ content/40/2/217. DOI: 10.3102/0034654310393361

Raymund, J.F.(1995) “From Barnyards to backyards: An Exploration Through Adult Memories and Children’s Narratives in Search of an Ideal Playscape” Children’s Environ m ents.1995 12(3)

Roth, Wolff-Michael and Lee, Yew-Jin . 2007. “Vygotsky’s Neglected Legacy”: Cultural-Historical Activity Theory. Review of Educational Research June 2007, Vol. 77, No. 2, pp. 186–232. [Online] tersedia:http://rer.aera.net . DOI: 10.3102/0034654306298273

Ruhimat, Toto. 2009. Pengembangan Pembelajaran Siswa Aktif (Active Learning). [Online] tersedia. http//www.repository. upi.edu [21 September 2012]

Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Sardiman. (2004). Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

~ 27 ~

Page 29: Makalah Joyful Learning

Schneider, Rebecca M. and Kellie Plasman. (2011) Science Teacher Learning Progressions : A Review of Science Teachers' Pedagogical Content Knowledge Development. Review Of Educational Research 2011 81: 530. [Online] tersedia: http://rer.sagepub.com/content/81/4/530

Slavin, Robert E. ( 2009 ). Cooperative Learning. Bandung: Nusamedia.

Stewart, Alice Stewart, Susan M. Houghton and Patrick R. Rogers.(2012). Using a Trading Room to Teach Strategy Instructional Design, Active Learning, and Student Performance: J. Of Management Educations 2004. Vol 8: 27 [Online] tersedia:http://jme.sagepub.com/content/early/ 2012/08/27 /1052562912456295

Singer, D., Golinkoff, R. M., & Hirsh-Pasek, K. (Eds.) (2006). Play=Learning:How play motivates and enhances children’s cognitive and social-emotional growth. New York, NY: Oxford University Press.

Spicer, David Eddy. 2010. Book Review: The Future of Educational Change: International Perspectives. Journal of Research in International Education 2010 9: 100 [Online] tersedia:http://jri.sagepub.com/content/9/1/100 DOI: 10.1177/14752409100090010603

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung ; PT Remaja Rosdakarya

Vallori, A. Ballester. (2002). Meaningful Learning in Practice: How to put meaningful learning in the classroom. Seminar of Meaningful Learning. [Online]. tersedia: http://www.aprendizajesignificativo.es/wp-content/uploads/ 2011/05/meaningful_learning_in_practice.pdf (tanggal 19 Desember 2012)

Wadell, K.A. ( 2 0 0 1 ) “ What is the Minimum Standard of Care That the Playground Owner Must Provide?” Parks and Recreation. Vol.36, 4(2001)

Willis, Jude. (2011). Understanding How the Brain Thinks. [Online]  tersedia: http://www.edutopia.org/blog/willis_judemd/ Understanding How the Brain Thinks

http://sites.wiki.ubc.ca/etec510/Ausubel's_Assimilation_Learning_Theory:_Theoretical_Basis_for_Concept_Maps_and_E-Maps (19122012)

http://www.edutopia.org/pdfs/edutopia-teaching-for-meaningful-learning.pdf (19122012)

~ 28 ~

Page 30: Makalah Joyful Learning

PROPOSAL TESIS

Dibuat untuk Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Pedagogy Pendidikan Dasar

Dosen : DR. H. Y. Suyitno, M.Pd.

Oleh :

SUBUH ANGGORO1201002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASARSEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013

~ 29 ~

Page 31: Makalah Joyful Learning

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil’alamin saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayahNya, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Joyful Learning”

untuk pemenuhan salah satu tugas Mata Kuliah Inovasi Pendidikan yang diampu oleh Dr. H.

Sholehuddin, MA, M.Pd. Secara garis besar makalah ini berisikan uraian tentang sebuah alternatif

pendekatan pembelajaran yang dapat membuat siswa merasa belajar adalah menyenangkan.

Saya menyadari tulisan ini masih belum sempurna. Saran dan kritik saya harapkan untuk

menjadikan hasil makalah ini selalu lebih baik. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi

khasanah pengetahuan kita.

Bandung, 03 April 2013

Subuh AnggoroHilman Himawan

Desemberi Tri Anugrahwati

~ 30 ~