livelihoods and csos assessments_almamater final report

49
FINAL REPORT KAJIAN KEBERADAAN DAN KAPASITAS CSO/CBO SERTA PERIKEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT PADA 4 KABUPATEN DI WILAYAH PAPUA Selatan Kerjasama Yayasan Almamater Merauke dan United Nation Development Programme (UNDP) Merauke, March 2005

Upload: jessytrae

Post on 19-Nov-2015

38 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Livelihood of Papua

TRANSCRIPT

  • FINAL REPORT

    KAJIAN KEBERADAAN DAN KAPASITAS CSO/CBO SERTA PERIKEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT

    PADA 4 KABUPATEN DI WILAYAH PAPUA Selatan

    Kerjasama

    Yayasan Almamater Merauke dan United Nation Development Programme (UNDP)

    Merauke, March 2005

  • ii Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua. UNDP-ALMAMATER

    RINGKASAN Survey Kajian Keberadaan dan Kapasitas CSO/CBO serta Perikehidupan Berkelanjutan Masyarakat Di Wilayah Papua Selatan dilakukan pada 4 Kabupaten yaitu; Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat dan Bouven Digoel pada 16 kampung. Penentuan lokasi sasaran survei dilakukan dengan pertimbangan hal-hal sebagai berikut: 1)Etnis dan karakteristik kehidupan sosial budaya masyarakat pada ke-4 kabupaten sangat berbeda dan tidak saling mewakili; 2)Perbedaan tingkat keberadaan, perkembangan dan pertumbuhan CSO/CBO yang sangat berbeda; 3)Letak kampung secara geografis (pesisir dan pedalaman) sehingga mewakili potensi sumberdaya alam yang berbeda; 4) Letak dan akses transportasi (Kampung pinggiran kota Kabupaten/Distrik dan daerah yang sulit dijangkau transportasi). Pengumpulan data dan informasi tentang keberadaan dan kapasitas CSO/CBO dilakukan di ke-4 Kabupaten melalui Inthep Interview orang-orang kunci, Diskusi dan Wawancara dengan masyarakat dan Badan Pengurus kelembagaan serta FGD pada kelompok-kelompok tertentu. Sedangkan pengumpulan data dan informasi tentang perikehidupan masyarakat dilakukan Observasi dengan pendekatan PRA, Diskusi dan wawancara dengan masyarakat pada ke 16 kampung. Pengumpulan data dan informasi ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang nyata tentang keberadaan dan kapasistas CSO/CBO serta kondisi kehidupan masyarakat saat ini sebagai dasar acuan perencanaan pembangunan di wilayah Selatan Papua ke depan. Hasil pelaksanaan survei secara umum dapat digambarkan keberadaan CSO/CBO tidak merata, lebih banyak terpusat pada Kabupaten Merauke (Kabupaten Induk) dan di ibukota ke-3 kabupaten pemekaran. Sebagian besar daerah kampung-kampung khususnya pada ke-3 kabupaten pemekaran sama sekali belum terjangkau. Tingkat kapasitas lembaga dan SDM personal khususnya NGO lokal masih sangat rendah, sehingga sangat berpengaruh terhadap kinerja pelayanan bagi masyarakat yang dilakukan. Capaian hasil pengembangan program yang dilakukan CSO umumnya belum memberikan manfaat bagi peningkatan keberlanjutan kehidupan pada masyarakat kelompok sasaran. Pengembangan program yang dilakukan hasilnya masih sebatas peningkatan motivasi dan pengembangan pemikiran kritis terhadap kehidupan mereka. Ketidakberlanjutan pengembangan program yang dilakukan, umumnya karena singkatnya waktu pendampingan dan perencanaan program yang kurang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masyarakat maupun akses pasar. Hampir seluruh masyarakat pada ke 16 melakukan dan mempertahankan kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya alam sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kampung-kampung yang dekat dengan ibukota Kabupaten/Distrik di Merauke lebih merasakan ketertekanan hidup secara ekonomi karena ketersediaan sumber daya alam semakin terbatas dan tingkat kebutuhan semakin tinggi. Merauke, Maret 2005 Tim Almamater

  • iii Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua. UNDP-ALMAMATER

    DAFTAR ISI Halaman

    Halaman Cover i Ringkasan ii Daftar Isi iii PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan dan Metodologi . 1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Survei 2 Hasil Yang Diharapkan 3 KEBERADAAN DAN KAPASITAS CSO/CBO 1. Perkembangan dan Penyebaran 3 2. Kelembagaan dan Program Kerja 5 3. Capaian Hasil dan Permasalahan 6 4. Kesimpulan 8 PERIKEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT 1. Kabupaten Merauke . 9 a) Sejarah dan keadaan umum . 9 b) Budaya dan pola kehidupan . 9 c) Profil Kampung .. 10 Kampung Onggaya . 10 Kampung Poo . 11 Kampung Okaba . 13 Kampung Tageepe . 14 2 Kabupaten Mappi . 15 a) Sejarah dan keadaan umum . 15 b) Budaya dan pola kehidupan . 16 c) Profil Kampung .. 16 Kampung Obaa 16 Kampung Muin.. 18 Kampung Mur . 19 Kampung Sumur Aman. 20 3. Kabupaten Asmat . 21 a) Sejarah dan keadaan umum . 21 b) Budaya dan pola kehidupan . 21 c) Profil Kampung . 23 Kampung Syuru . 23 Kampung Yamas 25 Kampung Erma . 26 Kampung Buetkuar . 28

  • iv Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua. UNDP-ALMAMATER

    4. Kabupaten Bouven Digoel 30 a) Sejarah dan keadaan umum . 30 b) Budaya dan pola kehidupan . 30 c) Profil Kampung .. 31 Kampung Sokanggo . 31 Kampung Mawan 32 Kampung Tinggam . 33 Kampung Awayanka . 34 5. Kesimpulan . 36 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1) Peta Lokasi Survei . 38 2) Peta Sebaran CBO . 39 3) Peta Sebaran CSO . 40 4. Rekapitulasi Profil CSO/CBO . 41.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    1

    PENDAHULUAN Latar Belakang Keterlibatan organisasi masyarakat sipil (CSO/CBO) dalam memfasilitasi maupun mendampingi masyarakat dalam proses pembangunan, merupakan bagian integral dari upaya percepatan pembangunan di Papua. Untuk itu, dalam Papua Needs Assessmentoleh UNDP (United Nation Development Programme) dilakukan Kajian Keberadaan dan Kapasitas CSO/CBO dan Analisa Prikehidupan Berkelanjutan pada Masyarakat. Pengkajian kapasitas Civil Society di seluruh Papua, dilaksanakan pada empat wilayah yang mewakili ciri-ciri khas kultural dan ekologik yang sama yaitu; Wilayah Papua Utara, Pegunungan Tengah, Teluk Cenderawasih dan Kepala Burung serta Papua Selatan. Pada wilayah Papua Selatan, pelaksanaan survey pengkajian kapasitas civil society dilakukan bekerjasama dengan Yayasan Almamater Merauke. Kegiatan pengkajian dilakukan pada 4 wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat dan Bouven Digoel. serta di 16 lokasi kampung. Di tingkat Kabupaten, survey dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi tentang keberadaan dan kapasistas CSO/CBO (LSM=Lembaga Swadaya Masyarakat dan KSM=Kelompok Sawadaya Masyarakat LA=Lembaga Agama; LMA=Lembaga Musyawarah Adat;). Pada tingkat kampung, kegiatan survey dilakukan untuk mendapatkan data dan gambaran tentang tingkat prikehidupan berkelanjutan masyarakat. Data dan informasi yang tercakup dalam laporan ini merupakan data primer yang diperoleh melalui Diskusi/Wawancara, FGD, Inthep Interview dan observasi langsung dengan pendekatan PRA. Pembahasan tentang keberadaan dan kapasitas CSO/CBO merupakan kajian dari data dan informasi yang dikumpulkan dalam bentuk notulensi FGD, Questioner Inthep Interview dan profil kelembagaan. Sedangkan pembahasan tentang Prikehidupan Berkelanjutan Masyarakat merupakan kajian dari data dan informasi yang dikumpulkan dalam bentuk profil kampung yang memuat tentang sejarah kampung, budaya dan pola kehidupan sehari-hari, potensi sumberdaya alam dan mata pencaharian, potensi SDM, akses kelembagaan dan aspirasi serta kebutuhan masyarakat. (Profil kampung secara detail dimuat terpisah dalam laporan ini sebagai dokumen tersendiri). Tujuan dan Metodologi Survei pengkajian keberadaan dan kapasitas CSO-CBO serta pengkajian prikehidupan berkelanjutan masyarakat di Kampung pada wilayah Papua Selatan ini bertujuan sebagai berikut:

    Mengidentifikasi dan mendata keberadaan dan kapasitas CSO-CBO sehubungan dengan pelayanan yang dilakukan dalam membangun kehidupan masyarakat mencakup, bidang pengembangan program, wilayah sasaran dan capaian hasil pelaksanaan program dan permasalahan. Mengkaji kondisi dan perkembangan kehidupan sosial, budaya, potensi

    sumberdaya (SDA dan SDM), kebutuhan dan permasalahan, serta menggali aspirasi, persepsi dan pola pikir masyarakat tentang rencana pembangunan bagi kehidupan mereka kedepan.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    2

    Metode dan pendekatan yang digunakan dalam mengumpulkan data maupun informasi adalah sebagai berikut:

    1. Indepth Interview dengan pendekatan nonformal dilakukan pada orang-orang kunci dan pimpinan-pimpinan CSO/CBO untuk mendapatkan data dan informasi tentang profil CSO-CBO, cakupan wilayah kerja capaian hasil dan perencanaan kedepan.

    2. Fokus Group Diskusi (FGD) dengan pendekatan semi formal pada kelompok-kelompok tertentu dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi tentang perkembangan pembangunan yang ada, isue-isue spesifik (Gender, HIV-AIDS serta advokasi hukum dan ham).

    3. Diskusi terbuka dan wawancara dengan pendekatan aspiratif dan partisipatif pada masyarakat, dilakukan untuk mengali aspirasi, persepsi, kebutuhan dan perkembangan permasalahan dan keberadaan CSO-CBO sehubungan dengan pengembangan kegiatan yang dilakukan.

    4. Observasi langsung dengan pendekatan PRA dilakukan pada lokasi kampung sasaran survey. untuk mendapatkan data dan potret kongkrit tentang profile kampung serta kondisi kehidupan masyarakat saat ini dan sebelumnya.

    Waktu dan Tempat Pelaksanaan Survei Pelaksanaan survey dilakukan selama 3 bulan dengan tahapan kegiatan sebagai berikut:

    Bulan dan Minggu Ke- Desember Januari Februari Maret

    Uraian Kegiatan

    3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 1. Pelatihan dan persiapan L 2. Kord.dan pengumpulan data di Kabupaten

    I

    3. Pelaksanaan survey Di Kampung

    B

    4. Analisa data dan penulisan Draf laporan

    U

    5. Lokakarya & penyerahan laporan akhir

    R

    Survei dilakukan di 4 wilayah kabupaten dan 16 kampung dengan perincian sebagai berikut:

    1. Kabupaten Merauke dan 4 kampung yaitu; Kampung Onggaya, Poo, Okaba dan Tagaepe.

    2. Kabupaten Mappi dan 4 kampung yaitu; Kampung Kepi, Mum, Mur dan Sumur Aman. Kabupaten Asmat dan 4 kampung yaitu: Kampung Syuru, Yamas, Erma dan Buetkuar.

    3. Wilayah Kabupaten Bouven Digoel dan 4 kampung yaitu: Kampung Sokanggo, Mawan, Awayanka dan Tinggam.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    3

    (Peta wilayah kabupaten dan 16 kampung lokasi survey, lampiran peta-1). Penentuan wilayah Kabupaten sebagai lokasi sasaran pelaksanaan studi ini dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:

    1. Etnis dan karakteristik kehidupan sosial budaya masyarakat pada keempat kabupaten sangat berbeda dan tidak saling mewakili satu sama lain.

    2. Tingkat keberadaan CSO/CBO, pada Kabupaten Merauke (kabupaten induk) tingkat perkembangan dan pertumbuhan CSO-CBOnya sangat tinggi sedangkan pada ke 3 kabupaten lainnya (kabupaten pemekaran) tingkat perkembangan dan pertumbuhan CSO-CBO masih sangat terbatas.

    Penentuan kampung sebagai lokasi pelaksanaan survey dilakukan dengan pertimbangan hal-hal tersebut;

    1. Letak secara geografis (pesisir pantai dan pedalaman) sehingga mewakili potensi sumber daya alam yang berbeda.

    2. Letak dan akses transportasi (dipingiran kota kabupaten/Distrik dan daerah yang sulit dijangkau transportasi).

    Hasil Yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan studi ini adalah sebagai berikut:

    1. Peta penyebaran keberadaan CSO-CBO dan data tentang kapasitas mencakup kelembagaan, program kerja, capaian hasil dan permasalahannya serta perkembangan dan hambatannya.

    2. Data dan gambaran tentang prikehidupan berkelanjutan pada masyarakat di ke 4 wilayah kabupaten mencakup sejarah dan kondisi geografis daerah, budaya dan pola kehidupan, potensi sumberdaya alam dan mata pencaharian, sumber daya manusia, akses kelembagaan serta aspirasi dan kebutuhan kedepan.

    3. Dokumentasi detail profil ke-16 kampung lokasi sasaran survey sebagai gambaran studi kasus.

    KEBERADAAN DAN KAPASITAS CSO/CBO

    1. Perkembangan dan Penyebaran

    Perkembangan CSO/CBO di wilayah Papua Selatan sangat terkait dengan sejarah masuknya penyebaran agama Katholik (Misionaris, 1905) dan Protestan (Zending, 1930). Masuknya kedua ajaran agama ini membawa perubahan besar pada kehidupan masyarakat setempat baik secara budaya, prilaku dan pola kehidupan sehari-hari. Misionaris maupun Zending tidak hanya menyebarkan agama tetapi membuka sekolah-sekolah secara formal maupun non formal. Oleh karena itu, setiap Misionaris maupun Zending yang datang selalu diikuti oleh guru-guru yang dibawa dari luar (Maluku dan Timor) yang mempunyai andil besar dalam meningkatkan SDM masyarakat setempat.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    4

    Era tahun 1963-1979 setelah Pemerintah Indonesia masuk, pihak gereja Katholik dan Protestan menyerahkan pengelolaan bidang pendidikan pada yayasan dibawah lembaga gereja. Semua sekolah yang telah dibangun oleh Misionaris diserahkan pengelolaannya pada YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katholik) dan gereja Protestan pada YPK (Yayasan Pendidikan Kristen). Pada tahun 1979 atas prakarsa beberapa tokoh gereja dan pemerhati masyarakat, didirikan Yayasan Santo Antonius (Yasanto) yang mandiri diluar lembaga gereja dan sepenuhnya melayani masyarakat. Selanjutnya diikuti berdirinya Yapsel (Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan) dan Yayasan Mitra Karya disponsori oleh WVI (Wahana Visi Indonesia). Tahun 1990-1998 berdiri beberapa yayasan lokal antara lain Yatari (Yayasan Wanita Mandiri), Yasamer (Yayasan Sabang Merauke), Yayasan Almamater (Alam Lestari Masyarakat Maju dan Sejahtera), YWL (Yayasan Wasur Lestari) dan masuknya 2 NGO Internasional yaitu WWF(World Wide Fund for Nature) dan WVI (Wahana Visi Indonesia). Tahun 19992001, setelah masa reformasi dan meningkatnya penularan HIV/Aids di Kabupaten Merauke, pertumbuhan yayasan berkembang pesat mencapai 43 yayasan lokal dan ditambah 1 NGO Internasional (MSF=Medecins Sans Frontieres). LMA (Lembaga Musyawarah Adat) di wilayah Papua Selatan mulai terbentuk pada tahun 1998-2002 yang difasilitasi Yayasan maupun lembaga Pemerintah. Saat ini hampir seluruh suku dan sub suku telah memiliki struktur dan badan kepengurusan kelembagaan adat.. Sedangkan Lembaga Agama Islam umumnya terbentuk berdasarkan jumlah pemeluknya dan berkembang secara mandiri Hasil pendataan survey yang dilakukan (Februari 2004), saat ini di Wilayah Papua Selatan CSO (Yayasan dan KSM) yang aktif kurang lebih 24 lembaga. Aktif dimaksudkan disini adalah memiliki kantor atau badan pengurus yang bisa dihubungi dan diperoleh data tentang kelembagaannya. Secara ringkas, perkembangan CSO di wilayah Papua Selatan digambarkan dalam diagram adalah sebagai berikut:

    Pertumbuhan dan Perkembangan CSO di Wilayah Selatan Papua

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    1963-1979 1979-1990 1990-1998 1998-2001 2004NGO-LokalNGO-Internasional

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    5

    Berdasarkan kajian hasil data profil lembaga, FGD dan Inthep Interview yang dilakukan, penyebaran CSO (LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat dan KSM = Kelompok Swadaya Masyarakat) pada ke-4 wilayah kabupaten terlihat bahwa sebagian besar masih terpusat di kota Merauke dan sekitarnya. (Peta Penyebaran CSO terlampir, peta-2). Penyebaran Lembaga Agama (Katholik, Protestan dan Islam) pada ke 4 wilayah kabupaten telah berkembang sampai ke kampung baik secara struktur maupun operasional mengikuti perkembangan penganutnya. Sedangkan LMA penyebarannya telah mengikuti suku/etnis tetapi secara operasional masih terbatas di Ibukota Kabupaten/Distrik. Peta penyebaran CBO/Lembaga Agama dan Lembaga Masyarakat Adat terlampir, peta-3.

    2. Kelembagaan dan Program Kerja Pendataan kelembagaan dan program kerja khusus untuk Lembaga Agama (Katholik, Protestan dan Islam) tidak dilakukan karena secara struktural maupun operasional berjalan dengan program yang tetap yaitu pengembangan ajaran agama pada penganutnya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan disampaikan bahwa pengembangan program lain, peran Lembaga Agama lebih bersifat mendampingi untuk mendekatkan pada umat sebagai kelompok sasaran. Pengumpulan profil lembaga masyarakat sipil (CSO/CBO) pada ke-4 kabupaten hanya dilakukan pada LSM< KSM dan LMA yang ada dan aktif. Hasil pengumpulan data di rekap dalam table ringkasan yang memuat tentang nama lembaga, status hukum, jumlah personal (dibedakan atas tingkat pendidikan dan jenis kelamin), Bidang/program kerja dan cakupan wilayah sasaran. Ringkasan data profil kelembagaan LSM/KSM dan LMA dari ke-4 wilayah kabupaten (Lampiran 3). Dari data profil kelembagaan berdasarkan cakupan daerah sasaran terlihat bahwa, sebagian besar CSO masih terpusat di Kabupaten Merauke sebagai kabupaten induk, sedangkan pada wilayah kabupaten pemekaran jumlahnya sangat terbatas. Cakupan program sangat bervariatif dalam berbagai bidang pelayanan. Jumlah dan tingkat pendidikan personal, pada masing-masing lembaga sangat bervariasi juga. Berdasarkan jumlah dan tingkat pendidikan, terlihat bahwa perbedaan NGO lokal dan NGO internasional sangat jelas, dimana pada NGO-Internasional jumlah dan tingkat pendidikan personal dapat dikatakan memadai sedangkan pada NGO lokal sebagian besar sangat terbatas. Dari kajian data profil kelembagan yang dikumpulkan dan hasil FGD serta Inthep interview yang dilakukan, keberadaan CSO (LSM dan KSM) berdasarkan bidang/program kerja yang dilakukan pada ke-4 kabupaten dapat digambarkan sebagai berikut:

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    6

    0123456789

    1011

    Merauke Mappi Asmat Bo.Digoel

    Diagram Jumlah dan Bidang Program CSO

    Pendidikan/SDM

    Ekonomi

    Kesehatan

    Gender

    Konservasi

    3. Capaian Hasil dan Permasalahan Data dan Informasi tentang capaian hasil suatu lembaga CSO secara detail sangat sulit didapatkan. Secara umum disampaikan bahwa tidak semua pengembangan program yang tercantum dalam profil kelembagaan dilaksanakan. Sebagian juga mengatakan ada yang sudah terlaksana tetapi tidak berlanjut sehingga hasilnya tidak tampak saat ini. Untuk itu, dalam pembahasan capaian hasil dan permasalahan sehubungan dengan pengembangan program yang dilakukan secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pengembangan program khususnya pada NGO lokal, capaian hasil

    umumnya terbatas pada pelaksanaan target program yang sudah direncanakan dalam batasan waktu dan dana yang tersedia. Keberlanjutan pengembangan program sangat tergantung dari ada tidaknya dukungan dana dari pihak donor. Hal ini mengakibatkan banyak program yang sudah terlaksana tetapi tidak berkelanjutan karena pendampingan yang dilakukan tidak sampai pada tahap tumbuhnya kemandirian kelompok sasaran.

    Misalnya: Program Peningkatan Keterampilan Usaha; pendampingan dilakukan sebatas pencapaian hasil terlaksananya kegiatan usaha yang direncanakan dan tidak berlanjut sampai pada pencapaian tumbuhnya kemandirian usaha dan berkembangnya produktifitas usaha yang dilakukan .

    Banyak pengembangan program dilakukan karena Trend Funding; sehingga perencanaan kegiatan tidak sepenuhnya berdasarkan kebutuhan masyarakat dan sifatnya sementara (isidentil). Capaian hasil pelaksanaan program terbatas pada target pelaksanaan dan kurang mempertimbangkan keberlanjutan dan perkembangan akses manfaat bagi kelompok sasaran. Pengembangan program lebih banyak disesuaikan dengan persyaratan dan keinginan pihak funding sehingga kurang mengakomodasi permasalahan dan kebutuhan yang ada pada kelompok sasaran.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    7

    Misalnya: Meningkatnya Issu Gender dan Penangulangan HIV/Aids Banyak Funding yang masuk menawarkan kerjasama, sebagian besar NGO-lokal terlibat dalam merencanakan/mengusulkan program dan pelaksanaan kegiatannya dilakukan sebatas pencapaian target program. Umumnya program tidak berlanjut dan capaian hasil kurang mempertimbangkan akses manfaat dan keberlanjutan bagi kelompok sasaran yang didampingi.

    Banyak program yang dilakukan tumpang tindih dan tidak saling menunjang baik dengan Pemerintah/Instansi terkait maupun antar NGO, sehingga menimbulkan kebingungan dan kejenuhan bagi kelompok sasaran. Hal ini juga mengakibatkan berkembangnya sikap pasif dan rendahnya keperdulian terhadap keberhasilan program pada kelompok sasaran. Masyarakat/kelompok sasaran umumnya menerima semua program dengan harapan ada bantuan yang bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sesaat. Pemikiran akan keberlanjutan dan akses manfaat hasil pelaksanaan program kurang tumbuh dan berkembang, sehingga program selesai semua kembali pada keadaan semula.

    Misalnya: Pada kelompok sasaran yang sama dan waktu yang sama, NGO-A mengembangkan program budidaya ternak, NGO-B melakukan kegiatan pelatihan peningkatan SDM dan Pemerintah/Dinas Pertanian memberi bantuan bibit tanaman buah-buahan ketiganya berjalan masing-masing. Masyarakat kelompok sasaran menerima semua program dengan merencanakan jadwal waktu yang berbeda dan menunjukan sikap antusias dan perduli. Hasilnya, semua program dapat diselesaikan tetapi tidak berkembang dan akses manfaatnya tidak merubah sikap dan kondisi kehidupan masyarakat kelompok sasaran. Masyarakat/kelompok sasaran pada akhir program menjual semua bantuan yang ada dan hidup seperti semula menunggu program lain yang datang.

    Pengembangan program yang dilakukan umumnya tidak didasari kajian yang menyeluruh tentang kondisi kehidupan masyarakat sehubungan dengan potensi SDA dan SDM, kebutuhan, permasalahan dan analisa keberlanjutan. Hal ini mengakibatkan banyak program yang sudah dilakukan tetapi hasilnya belum menunjang keberlanjutan kehidupan masyarakat tetapi justru menimbulkan sikap ketergantungan yang tinggi.

    Misalnya: Progam pengembangan tanaman pertanian seperti jambu mete sudah banyak dikembangkan tetapi hasilnya tidak merubah perekonomian elompok sasaran karena akses pasar yang sulit dan kwalitas hasil yang rendah. Atau program pengembangan usaha ekonomi dilakukan tanpa menumbuhkan pemahaman tentang manajemen usaha dan aspek pemasaran. Hasilnya tidak berkembang dan berkelanjutan, pengembangan kegiatan usaha kurang produktif sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sumber ekonomi yang tetap.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    8

    Permasalahannya; sulitnya mendapatkan donatur yang mau mendanai suatu kegiatan yang besar dan berkelanjutan serta terbatasnya SDM lembaga dalam perencanaan maupun komunikasi pada tingkat jaringan funding.

    Masalah lain yang sangat mempengaruhi keberadaan dan kapasitas khususnya

    pada NGO-lokal adalah sebagai berikut: Rendahnya jaminan kehidupan pada NGO-lokal sehingga keberadaan staf

    sulit dipertahankan. Sebagian besar staf yang sudah cukup berpengalaman beralih pada lembaga lain yang lebih menjamin secara profit atau beralih ke pegawai negeri.

    Sebagian besar NGO-lokal tidak memiliki funding tetap dan usaha produktif sehingga sangat tergantung pada donatur.

    Sebagian besar NGO-lokal memiliki kapasitas lembaga dan SDM staf yang sangat terbatas sehingga sulit membangun komunikasi dengan Funding Internasional.

    Pemahaman funding terhadap karakteristik dan geografis daerah sangat terbatas sehingga menyulitkan bagi perencanaan program pada daerah-daerah pedalaman yang membutuhkan biaya tinggi.

    4. Kesimpulan

    Berdasarkan gambaran perkembangan dan penyebaran, kelembagaan dan program kerja, capaian hasil dan permasalah sehubungan dengan pengkajian keberadaan dan kapasitas CSO/CBO di wilayah Selatan Papua beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah: Perkembangan CSO/CBO di Selatan Papua cukup tinggi tetapi

    penyebarannya tidak merata sehingga perlu di desentralisasi melalui dukungan dana bantuan bagi pengembangan program pada daerah-daerah yang belum mendapat akses.

    Kapasitas kelembagaan sebagian besar sangat terbatas sehingga perlu ditingkatkan melalui dukungan pemberdayaan secara kelembagaan dan pelatihan-pelatihan bagi peningkatan SDM personal.

    Berdasarkan pengumpulan data kelembagaan, variasi bidang dan pengembangan program CSO/CBO cukup tinggi tetapi banyak yang sifatnya hanya isidentil dan partcial. Pengembangan program tidak berkelanjutan sehingga hasilnya kurang berkembang dan umumnya kegiatan program kurang mengakomodir dampak-dampak lain yang ditimbulkan sehingga hasilnya kurang memberi manfaat terhadap peningkatan kehidupan kelompok sasaran.

    Capaian hasil pengembangan program sebagian besar belum memberikan manfaat bagi peningkatan keberlanjutan kehidupan pada masyarakat kelompok sasaran. Untuk itu, kerjasama antar NGO maupun dengan Pemerintah Daerah perlu ditingkatkan baik dalam perencanaan dan secara operasional dilapangan.

    Ketergantungan NGO-lokal pada donatur sangat tinggi sehingga perlu dukungan bagi usaha peningkatan kemandirian lembaga melalui pengembangan usaha produktif/Fund Rising.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    9

    PERIKEHIDUPAN BERKELANJUTAN MASYARAKAT 1. Kabupaten Merauke

    a) Sejarah dan keadaan Umum; Kabupaten Merauke merupakan wilayah Selatan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea (PNG). Sejarah berdirinya kota Merauke berawal dari dibukanya Pos pemerintahan oleh Pemerintah Belanda dekat sungai Maro pada tahun 12 Februari 1902. Kata Merauke berasal dari ucapan orang yang datang naik kapal Maroke (Artinya ini sungai maro), yang selanjutnya dipakai sebagai nama pos yang didirikan. Pendirian Pos Pemerintahan Belanda ini kemudian diikuti oleh masuknya Misionaris (Gereja Katholik) tahun 1905 dan Zending (Gereja Protestan) tahun 1930. Penyebaran kedua ajaran agama ini membawa suku Marind kepada perubahan hidup untuk tidak saling bermusuhan dengan tinggal bersama dalam suatu pemukiman. Sampai saat ini, masyarakat yang bermukim pada wilayah pesisir pantai memeluk agama Katolik dan pada daerah pedalaman memeluk agama Protestan. Setelah pemekaran wilayah kabupaten pada tahun 2000, luas wilayah Kabupaten Merauke menjadi 45.071 Km2 dengan jumlah penduduk 171.009 jiwa ( Laki-laki 89,235 orang dan perempuan 81.846 orang). Secara administrasi kepemerintahan, Kabupaten Merauke membawahi 11 Distrik, 8 kelurahan dan 160 kampung. Secara geografis, wilayah kabupaten Merauke merupakan daerah dataran yang didominasi oleh tanah lumpur, rawa, savanna dan hutan musson.

    b) Budaya dan Pola Kehidupan; secara budaya wilayah kabupaten Merauke merupakan wilayah hak ulayat suku Marind yang terbagi dalam 6 sub suku (Marind Pantai, Marind Bob, Marind Dek, Marind-Marori, Marind-Kanum dan Marind-Yeinan). Kepemilikan dan batas-batas hak ulayat antar sub suku dan antar marga dalam sub suku telah digariskan secara turun-temurun yang diturunkan dalam bentuk ceritra atau nyanyian. Batas-batas kepemilikan hak ulayat biasanya ditandai dengan tanda-tanda alam seperti kali, batas rawa, batas dek (tanah tinggi) atau dengan menanam tanaman seperti bambu maupun sagu. Aturan budaya selain batas-batas tanah adat, sampai sekarang masih dilakukan adalah pesta perkawinan, peringatan orang meninggal maupun prilaku saling menghargai antar marga. Sistim kekerabatan dalam adat suku Marind berdasarkan faham Patrilineal (Mengikuti garis keturunan Ayah/Laki-laki). Pola kehidupan masyarakat suku Marind yang telah berlangsung sejak turun-temurun dan masih dipertahankan sampai sekarang adalah sebagai peramu dan melakukan kegiatan pertanian tradisional. Sebagai peramu, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari diperoleh dengan meramu hasil-hasil sumberdaya alam baik hasil hutan maupun hasil laut. Hasil hutan yang dimanfaatkan berupa kayu sebagai sumber pemenuhan kebutuhan akan rumah, pagar kebun dan perahu serta binatang buruan sebagai sumber konsumtif. Makan pokok/utama suku Marind adalah sagu, pisang dan umbi-umbian yang dihasilkan dari kegiatan pertanian secara tradisional yang dilakukan pada dusun-dusun yang telah diwariskan dari generasi sebelumnya.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    10

    Untuk mengkaji lebih jauh tentang Prikehidupan berkelanjutan pada masyarakat suku Marind di Kabupaten Merauke, dilakukan survey pada 4 wilayah kampung. Penentuan lokasi ke-4 wilayah kampung berdasarkan pertimbangan letak geografis (pesisir pantai dan pedalaman), akses transportasi dan isolasi daerah serta tingkat homogenitas masyarakat yang bermukim. Temuan dan hasil survey yang dilakukan pada ke-4 lokasi kampung tersebut dijabarkan sebagai berikut:

    C. Profil kampung: Kampung Onggaya; mewakili kampung pesisir pantai yang mudah dijangkau berjarak hanya 40 Km dari kota Merauke dengan kondisi jalan aspal. Akses transportasi sangat baik bias dengan kendaraan roda 2 maupun roda 4. Pembentukan kampung dilakukan oleh Pemerintah Indonesia (1963) dengan menggabungkan beberapa masyarakat yang tinggal didusun masing-masing. Jumlah penduduk 296 jiwa (Laki-laki 150 dan perempuan 146 orang) dan merupakan kampung yang tingkat heterogenitasnya cukup tinggi. Dampak dari penggabungan ini masih dirasakan sampai sekarang terutama masalah kepemilikan tanah adat. Penduduk yang bukan pemilik hak ulayat tidak bebas mencari makan ataupun membuka lahan karena dilarang, Potensi sumber daya alam semakin menurun akibat usaha pemanfaatan yang cukup tinggi. Saat ini binatang buruan (rusa, babi, kasuari dan kangguru) semakin sulit didapat karena banyak persaingan pemburu luar yang menggunakan senjata yang masuk secara illegal., Pemanfaatan kayu untuk dijual sangat dibatasi karena merupakan wilayah Taman nasional (daerah konservasi). Hasil laut juga semakin berkurang karena tingginya persaingan dengan pihak luar, masyarakat selalu kalah bersaing. Makanan pokok dari sagu, pisang dan umbi-umbian telah lama beralih pada konsumtif beras. Tingkat kebutuhan semakin tinggi sementara penghasilan masyarakat sangat rendah karena hanya dengan mengandalkan usaha pemanfaatan sumber daya alam yang semakin terbatas. Akibat pergeseran pola kehidupan ini, dusun-dusun sagu dan lahan pertanian tradisional sudah tidak produktif dan sering terbakar karena kurang terawat, masyarakat lebih cendrung melakukan usaha yang cepat menghasilkan uang. Pengembangan program oleh NGO baik berupa pelatihan pertanian, peternakan, penyulingan minyak kayu putih dan berbagai pelatihan peningkatan keterampilan telah banyak dilakukan. Hasilnya tidak berkembang karena program tidak berlanjut sampai pada masyarakat benar-benar mandiri. (Pengembangan program biasanya dilakukan hanya sebatas pada pelaksanaan kegiatan pelatihan dan tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengembangan kegiatan secara langsung dilapangan). Pemerintah juga sudah banyak memberi bantuan berupa tanaman buah-buahan, peralatan penangkapan ikan tapi tidak berkembang karena bantuan diberikan tanpa pendampingan.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    11

    Sumber mata pencaharian yang masih diandalkan dan dipertahankan sampai saat ini adalah menangkap ikan, berburu dan menjual hasil kelapa (kopra maupun dalam bentuk minyak) dan buah kemiri. Hasil usaha yang dilakukan sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu, masyarakat berusaha menjual kayu dan kulit gambir atau pasir yang digali dari pantai secara ilegal (karena di larang) pada pedagang dikota. Tingkat pendidikan masyarakat umumnya masih rendah dan keterampilan juga masih terbatas khususnya bagi kaum perempuan (belum pernah ada program pelatihan khusus bagi kaum perempuan). Generasi muda yang melanjut ke tingkat SLTP dan SLTA di kota Merauke, sangat terbatas karena kurangnya dukungan biaya dalam keluarga. Kelembagaan kampung lengkat dan aktif secara struktur dan personil tetapi tidak produktif dalam perencanaan dan pengembangan dikampung hanya menunggu dari kecamatan. Pelayanan kesehatan cukup baik, sarana dan petugas aktif bekerja. Akses pendidikan terbatas pada tingkat SD cukup aktif dan mendapat dukungan dari WVI berupa beasiswa buku dan seragam sekolah. Aktifitas pertanian tidak produktif karena PPL kurang aktif dan tidak ada dukungan dari pihak yayasan Pembina (YWL) dan Balai Taman. Sumber air bersih sangat terbatas, hanya beberapa sumur yang baik sehingga bila musim kemarau air sulit harus diambil ke dusun yang jauh. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak adalah pasar yang dekat dengan kampung atau sarana transportasi yang khusus mengangkut hasil-hasil masyarakat. Disamping itu juga diharapkan adanya pembinaan yang baik untuk meningkatkan produktifitas usaha bidang perikanan, pertanian dan pemanfaatan sumber daya alam yang semakin berkurang. Harapan masyarakat juga adanya kerjasama pemerintah dengan pihak yayasan sehingga program bisa berkelanjutan.

    Kampung Poo; merupakan pemukiman yang didirikan oleh Misi pada tahun 1930 dengan mengumpulkan masyarakat dari dusun-dusun mereka. Jumlah penduduk 288 jiwa (86 KK; L = 189 dan P = 202). Masyarakat kampung Poo berasal dari suku Marind-Yeinan, merupakan kampung pedalaman yang jauh dari pesisir pantai. Jarak dari kampung Poo ke kota Merauke sekitar 150 Km, akses transportasi dapat dijangkau melalui darat atau sungai. Kondisi jalan kurang baik sehingga pada musim hujan sulit dijangkau dan banyak jembatan yang rusak. Potensi sumber daya alam cukup banyak dan telah dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber penghasilan. Hasil hutan seperti kayu sudah semakin menurun karena telah dimanfaatkan sejak tahun 1990 sedangkan hasil hutan non kayu dimanfaatkan bila ada pembeli. Binatang buruan juga menjadi potensi ekonomi karena dapat dipasarkan pada lokasi pemukiman transmigrasi yang dekat dari kampung.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    12

    Mata pencaharian utama bagi masyarakat saat ini adalah memanfaatkan hasil hutan dan kali sebagai sumber penghasilan yang dipasarkan melalui pedagang keliling. Hasil alam yang saat ini merupakan sumber penghasilan adalah penjualan anakan ikan arwana, batok kura-kura dan tanaman obat (cakar ayam) harganya cukup tinggi tetapi sifatnya musiman. Pengembangan kegiatan pertanian dan peternakan pada lahan pekarangan saat ini masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan konsumtif. Makanan pokok diperoleh dari menanam padi atau membeli beras dan sagu serta umbi-umbian menjadi makanan tambahan. Sagu sudah semakin berkurang karena tidak dipelihara, sehingga masyarakat sudah lebih banyak mengkonsumsi beras yang mudah didapat. Pembinaan oleh NGO khususnya bidang pertanian dan pelatihan keterampilan usaha telah dilakukan. Hasilnya, kegiatan usaha seperti menanam padi, pisang dan umbi-umbian; sayur dan kacang-kacangan, usaha peternakan khususnya ayam masih dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pemenuhan konsumtif sehari-hari. Bantuan ternak sapi dari pemerintah dan penanaman jambu mete tidak berhasil karena kurangnya pendampingan oleh tenaga PPL. Sapi bantuan kebanyakan mati atau dipotong masyarakat sedangkan lahan jambu mete terbakar pada musim kemarau. Tingkat pendidikan masyarakat secara umum masih sangat rendah (tamat SD) tetapi saat ini banyak generasi mudah sudah melanjut pendidikan ke tingkat SLTP dan SLTA yang ada pada lokasi pemukiman transmigrasi. Pendidikan ketrampilan yang dilakukan khusus pada kaum perempuan masih sangat terbatas. Pelatihan pembuatan emping pernah dilakukan hasilnya cukup baik usaha pembuatan emping masih dilakukan khususnya pada musim berbuah di hutan. Keterampilan menjahit pada kelompok ibu-ibu juga pernah dikembangkan tetapi tidak berjalan karena program tidak ditindak lanjuti sampai masyarakat mandiri. Kelembagaan kampung cukup aktif secara personal tetapi tidak produktif dalam meningkatkan pembangunan kampung. Lembaga lain seperti puskesmas cukup aktif dan kegiatan belajar pada sekolah dasar berjalan lancar karena kekurangan guru ditambah tenaga bantu dari masyarakat lokal yang sudah tamat SLTA. Akses pasar sangat terbatas sehingga masyarakat hanya mengharapkan pedagang keliling yang datang membeli hasil masyarakat. Sumber air minum bagi masyarakat cukup tersedia berupa sumur yang dibuat sendiri dan air kali terutama pada musim kemarau. Tetapi kualitasnya kurang baik sehingga perlu ditingkatkan denganmembangun prasarana yang lebih baik. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang utama adalah pasar atau alat transportasi yang khusus melayani masyarakat setempat. Pengembangan program peningkatan hasil usaha pertanian dan pengelolaan sumber daya alam seperti ikan dan emping yang hasilnya semakin menurun. Pengembangan program berupa rehabilitasi sagu dan budidaya sagu juga diharapkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang sudah semakin hilang.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    13

    Kampung Okaba; merupakan pusat ibu kota Distrik didirikan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1910. Saat ini, kampung Okaba merupakan kampung yang tingkat heterogenitas penduduknya sangat tinggi. Jumlah pendatang sudah lebih besar dari jumlah penduduk asli yang berasal dari suku Marind-pantai. Jumlah penduduknya sebanyak 780 jiwa (82 KK) terdiri dari laki-laki 534 dan perempuan 246, Akses transportasi dari kota kabupaten (Merauke) bisa melalui darat dan laut. Melalui darat dengan kenderaan roda dua melalui 2 kali penyebrangan (Sungai Kumbe dan Sungai Bian), kondisi jalan kurang baik sehingga sulit dilalui pada musim hujan. Melalui laut dengan kapal kayu yang jarak tempuh kurang lebih 1 malam dari Merauke. Kondisi perumahan masyarakat setempat umumnya sangat sederhana terbuat dari gaba-gaba dan atap daun sagu sangat berbeda dengan perumahan pendatang. Potensi sumber daya alam cukup banyak tetapi kondisinya mulai menurun akibat pemanfaatan yang kurang terkendali. Hasil alam yang telah dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber penghasilan keluarga adalah hasil laut seperti jenis-jenis ikan yang memiliki nilai jual tinggi , udang, gelembung dan sirip. Hasil rawa seperti ikan arwana yang dimanfaatkan secara musiman dengan menjual anakan, harganya cukup tinggi. Hasil hutan berupa kayu olahan telah banyak dilakukan sehingga hasilnya mulai menurun, hasil hutan non kayu seperti binatang buruan (rusa, babi, kangguru) juga sudah mulai terbatas. Mata pencaharian utama masyarakat setempat adalah sebagai nelayan dan mengelola hasil hutan yang laku dipasarkan, pembuatan kopra dan minyak kelapa dari hasil kebun kelapa yang telah dikembangkan sejak zaman Belanda. Makanan pokok adalah sagu, pisang dan umbi-umbian yang masih dipelihara pada dusun-dusun tradisional yang dimiliki. Sedangkan konsumsi beras sebagai makanan tambahan bila ada uang untuk membeli. Permasalahan utama yang dihadapi masyarakat adalah terbatasnya pasar hasil sumber daya alam karena hanya mengharapkan pedagang keliling yang mengambil dengan harga cukup rendah. Pendapatan dari hasil laut menurun karena meningkatnya persaingan dari nelayan luar yang memiliki perasarana tangkap yang lebih baik. Hasil buruan juga menurun karena tingginya tingkat perburuan liar yang dilakukan pendatang dari luar dengan menggunakan senjata api. Pengembangan pembangunan bidang pertanian, peternakan melalui bantuan pemerintah (Program IDT dan PPK) kurang berkembang karena kurangnya pendampingan dilapangan. Tingkat pendidikan masyarakat masih cukup rendah, rata-rata hanya tamat SD. Keterampilan masyarakat juga sangat terbatas karena belum pernah ada pelatihan keterampilan baik dari pemerintah maupun NGO-lokal. Masalah utama bagi peningkatan pendidikan adalah kurangnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya dan kurangnya biaya.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    14

    Kelembagaan kampung secara struktural lengkap dan aktif, tetapi secara administrasi dan operasional tidak produktif khususnya dalam meningkatkan pembangunan di kampung. Sebagai pusat distrik akses pelayanan bagi kesehatan, pendidikan dan keagamaan cukup aktif, dimana personal/petugas dan fasilitas/prasarana yang ada cukup memadai. PPL pertanian ada tetapi tidak aktif sehingga kegiatan pertanian tidak berkembang pada masyarakat. Lembaga adat (LMA) cukup aktif dan berperan terutama dalam penyelesaian permasalahan tanah adat dan konflik di masyarakat. Sumber air minum cukup baik berupa sumur peninggalan pemerintah Belanda yang tidak pernah kering walau musim kemarau. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang utama saat ini adalah bantuan perumahan karena kondisi rumah yang sudah rusak dan bocor; (membangun secara swadaya masyarakat tidak mampu karena rendahnya penghasilan); Bantuan beasiswa untuk anak melanjutkan sekolah dan penyadaran orang tua sehingga memiliki motivasi untuk mendorong anaknya sekolah; Akses pasar yang memadai dan pembinaan dan peningkatan keterampilan guna meningkatkan produktifitas hasil usaha perikanan dan pertanian. Kampung Tagaepe: didirkan tahun 1963 oleh Zending dengan mengumpul masyarakat dari dusun-dusun disepanjang pinggiran kali. Penduduknya berjumlah 351 jiwa (67 KK, L = 185, P = 166), mayoritas berasal dari suku Marind. Akses transportasi dari ibu kota Distrik melalui jalan darat dengan jarak berkisar 80 Km dapat ditempuh dengan menggunakan kenderaan roda empat dan roda dua. Kondisi jalan belum terlalu baik sehingga pada musim hujan sulit untuk dilalui. Kondisi perumahan masyarakat cukup baik terbuat dari papan dan atap seng bantuan Pemerintah kerjasama dengan TNI (program ABRI masuk desa). Potensi sumber daya alam masih cukup tinggi, baru sedikit yang dimanfaatkan untuk tujuan komersial karena tidak ada pemasaran. Hasil sumber daya kali berupa ikan dimanfaatkan terbatas untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif sehari-hari. Sumber penghasilan masyarakat utama adalah menjual anakan ikan arwana dan kakap batu yang harganya cukup tinggi serta pedagangnya datang bila musim penangkapan. Hasil hutan berupa kayu dan non kayu terutama binatang buruan hanya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena tidak ada pasaran. Makanan pokok masyarakat adalah sagu yang diperoleh dari dusun yang dipelihara sejak turun-temurun dan pisang serta umbi-umbian yang ditanam disekitar lahan pekarangan. Kebun kelapa peninggalan jaman Belanda dan Zending dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif dan dijual bila ada pedagang yang datang. Bantuan pengembangan program pertanian pernah dilakukan oleh Yasanto berupa penanaman jambu mete tetapi tidak berkembang dan berkelanjutan. Pembinaan dilakukan sebatas pengembangan tujuan penanaman dalam 1 tahun program. Setelah itu, belum ada bantuan pengembangan laian baik dari pihak

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    15

    pemerintah maupun NGO. Usaha ternak ayam telah dilakukan masyarakat secara swadaya dalam sekala kecil sebagai usaha sampingan keluarga, hasilnya dikonsumtif atau di jual bila ada pedagang. Rendahnya penghasilan masyarakat karena tidak adanya pemasaran hasil yang mereka miliki mengakibatkan pemenuhan kebutuhan konsumtif yang harus dibeli untuk keperluan hidup sangat terbatas. Tingkat pendidikan masyarakat sangat terbatas dan banyaknya anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan karena tidak aktifnya proses belajar mengajar di kampung, kurangnya kesadaran orang tua untuk mendorong anaknya sekolah dan tidak ada biaya. Keterampilan masyarakat juga sangat terbatas karena belum pernah ada pelatihan ataupun pembinaan yang dilakukan pemerintah maupun NGO. Keterampilan menggunakan gergaji dan Chainsow terutama pada kaum lelaki diperoleh setelah adanya pembanguan perumahan oleh TNI. Kelembagaan pemerintahan kampung secara struktur lengkap dan aktif tetapi pasif dalam merencanakan dan meningkatkan pembangunan Kampung. Fasilitas kesehatan ada tetapi tidak ada tenaga bidan, sehingga dibantu oleh ibu pendeta. Sarana dan bangunan SD ada tetapi tidak ada guru yang bertugas dan menetap di kampung sehingga proses belajar mengajar tidak jalan. Sumber air bersih diperoleh di dari kali dan pada musim kemarau kualitas airnya tidak baik, belum ada perhatian pemerintah terhadap perbaikan sarana air bersih. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang mendesak antara lain: Pengaktifpan sekolah SD yang ada; beasiwa bagi anak yang melanjut keluar kampung dan penyadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya; Pemasaran hasil-hasil masyarakat dan perbaikan jalan sehingga transportasi lancar; Kampung dimekarkan sebagai distrik sehingga pembangunan bisa lebih cepat..

    2. Kabupaten Mappi a) Keadaan umum; Kabupaten Mappi merupakan salah satu kabupaten

    pemekaran baru (tahun 2000), sebagaian besar masyarakatnya berasal dari suku Yaghai dan Auyu. Secara administrasi kepemerintahan, kabupaten Mappi mencakup 6 distrik dan 136 kampung. Akses transportasi ke wilayah Mappi dapat dilalui melalui jalur darat, laut dan udara. Jalur darat dari kota Merauke dengan menggunakan kenderaan roda dua melalui 2 kali penyebrangan (Sungai Kumbe dan Bian), waktu tempuh selama 2 hari. Jalur laut dari kota Merauke dengan menggunakan kapal pelayaran perintis dengan lama pelayaran 3-4 hari. Jalur udara dapat ditempuh dari kota Merauke melalui 3 Distrik ( Senggo, Bade dan Obaa) dengan menggunakan pesawat penerbangan printis (Merpati) waktu tempuh 1-1,5 jam.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    16

    b) Budaya dan Pola Kehidupan; Umumnya masyarakat suku Yaghai dan Auyu masih memegang teguh prinsip-prinsip adat dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kepemilikan hak ulayat sangat dihargai dan dijunjung tinggi, bila terladi pelanggaran batas-batas akan menimbulkan konflik yang besar dan berkepanjanagan. Penjagaan hak ualayat adalah tugas dan tanggung jawab yang telah dipercayakan leluhur masing-masing marga untuk menjaga dan memelihara kelestarian alam. Alam (Bumi) ditempatkan sebagai sumber yang kaya akan makanan sehingga harus dijaga supaya manusia tetap hidup sejahtera. Secara budaya aturan-aturan adat dalam kehidupan sehari-hari seperti perkawinan, pringatan kematian dan membuka lahan baru masih dipraktekkan. Secara sisitim kekerabatan dalam kampung, masyarakat diatur oleh seorang kepala suku yang dipercaya dan bertugas memberi nasehat dan mengawasi pelaksanaan aturan adat.

    Pola kehidupan masyarakat tidak terlepas dari budaya dan hubungan yang erat

    dengan alam sekitarnya. Usaha pemanfaatan sumber daya alam merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mengawasi wilayah hak tanah adatnya. Ketergantungan terhadap sumber daya alam dalam pandangan masyarakat adalah suatu keterikatan yang kompleks baik secara fisik, spiritual dan mentalitas. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari semuanya diambil dari alam dengan sistim meramu dengan memperhatikan ketentuan atau norma adat yang sudah digariskan. Untuk mengkaji lebih jauh tentang Prikehidupan Berkelanjutan masyarakat suku Yaghai dilakukan survei pada 4 lokasi kampung yang berbeda berdasarkan letak kampung (pesisir dan daerah pedalaman), jarak dan akses dengan pusat keramaian (ibu kota kabupaten atau Distrik). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka lokasi survei ditentukan pada empat lokasi kampung yaitu, Obaa, Muin, Mur dan Sumur Aman. Hasil kajian prikehidupan berkelanjutan pada masing-masing kampung dijabarkan sebagai berikut:

    c) Profil Kampung; Kampung Obaa; didirikan pada tahun 1937 oleh Misionaris (Katholik) yang

    datang mengajarkan ajaran agama dan membuka pendidikan formal maupun nonformal. Disamping itu juga mengajarkan keterampilan pada masyarakat terutama bertani. Kampung Obaa berjarak 15 Km dari kota Kabupaten dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau memakai kenderaan roda dua. Secara umum wilayah kampung merupakan daerah rawa dan lahan gambut, tipe hutannya merupakan hutan hujan tripis yang sangat kaya dengan berbagai keragaman habitat. Perumahan masyarakat dibuat dengan bahan-bahan lokal yang ada, konstruksi kayu dengan dinding gaba-gaba dan beratap daun sagu. Sumber air minum sangat terbatas khusunya pada musim kemarau karena sarana prasarana air bersih sama sekali tidak ada.

    Potensi sumber daya alam masih cukup berlimpah terutama potensi hasil hutan berupa kayu pertukangan yang memiliki nilai jual tinggi (kayu besi, kayu cina, linggua,bintanggur, mersawa dan lain-lain).

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    17

    Pemanfaatan kayu sudah sangat terbatas untuk tujuan komersial karena HPH sebagai pembeli kayu hasil tebangan rakyat sudah ditutup. Hasil hutan non kayu juga cukup banyak seperti damar, kulit lawang dan masoi tetapi sampai sejauh ini belum dimanfaatkan karena tidak ada pasaran dan keterampilan masyarakat terbatas. Hasil kali berupa ikan, udang dan lain-lain dimanfaatkan hanya untuk kebutuhan konsumtif karena tidak ada pemasaran.

    Mata pencaharian masyarakat saat ini sangat tergantung dari penjualan hasil

    pertanian berupa sayur dan buah-buahan tapi sangat terbatas karena kurangnya tempat pemasaran. Potensi pertanian lain yaitu berupa kebun karet yang dibiarkan menjadi hutan karena PT. Yudefo yang tadinya mengelola karet sudah tutup. Rendahnya penghasilan masyarakat dari menjual hasil pertanian mendorong masyarakat untuk menjual kayu dengan meminta bantuan pihak gereja untuk diolah menjadi balok atau papan. Hasilnya tidak memuaskan masyarakat karena pihak gereja tidak punya dana untuk membayar tunai jadi harus menunggu kayu laku dijual.

    Kebutuhan makanan pokok masih sangat cukup karena dusun sagu masih baik dan pisang atau umbi-umbian yang ditanam hasilnya tidak habis dimakan. Permasalahan utama akibat rendahnya pendapatan adalah pemenuhan kebutuhan konsumtif terhadap barang yang harus dibeli tidak terpenuhi. Bantuan usaha pengembangan ekonomi tidak pernah ada baik adari pemerintah maupun NGO, baik dalam bentuk barang maupun pelatihan-pelatihan.

    Tingkat pendidikan masyarakat umumnya masih sangat rendah, sebagian

    besar hanya taman SD dan sedikit orang yang tamat SMP. Khususnya perempuan tingkat pendidikannya lebih rendah dari kaum laki-laki dan banyak yang tidak sekolah. Ada anggapan dalam masyarakat bahwa kaum perempuan harus lebih rendah pedidikannya dari kaum laki-laki. Untuk mengatasi rendahnya pendidikan anak, pihak Misionaris menerapkan pola asrama bagi anak yang melanjut ke SLTP atau SLTA di kota Kabupaten. Kendala utama adalah pihak orang tua tidak mampu membiaya anaknya di asrama sementara pihak gerja juga tidak memiliki dana khusus untuk membiaya anak sekolah. Keterampilan masyarakat juga sangat rendah karena belum adanya perhatian pihak pemerintah maupun NGO khususnya dalam upaya peningkatan SDM masyarakat.

    Akses kelembagaan pemerintah pada kampung Obaa masih sangat terbatas,

    walaupun dekat dengan ibukota Kabupaten. Akses pendidikan berupa SD, SMP berjalan baik dan lancar semuanya dari YPPK (Yayasan Pendidikan Persekolahan Katholik), fasilitas/sarana serta guru ada dan cukup memadai.. Akses kesehatan hanya ada di ibu kota Kabupaten dan kesadaran masyarakat berobat juga masih sangat terbatas. Umumnya masyarakat masih menggunakan obat-obat tradisional dan jasa dukun kampung. Kegiatan geraja sangat aktif baik dalam pelayanan agama maupun pelayanan organisasi.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    18

    Aspirasi dan kebutuhan mendesak bagi masyarakat adalah akses pasar yang dekat dengan kampung atau transportasi udara, kapal dan darat yang baik sehingga hasil-hasil dapat dipasarkan keluar; sarana prasarana air bersih; bangunan perumahan rakyat, sekolah-sekolah keterampilan (pertukangan) dan penyuluhan berbagai bidang terutama HIV/Aids baik dari pemerintah maupun yayasan.

    Kampung Muin; didirikan pada tahun 1920 oleh masyarakat yang berpindah

    dalam rombongan besar. Masuknya Misionaris (Katholik) merubah masyarakat dari mengayau menjadi percaya Tuhan dan tinggal menetap. Selain ajaran agama juga dibuka sekolah dan diajarkan keterampilan pertanian pada masyarakat. Pemerintah masuk pada tahun 1970 membentuk desa dan membangun sekolah-sekolah. Pada tahun 1978 melalui bantuan Bangdes (pembangunan desa) masyarakat mendapatkan alat-alat pertanian dan bibit-bibit tanaman.

    Jarak kampung ke ibu kota kabupaten sekitar 20 Km dapat ditempuh dengan jalan darat menggunakan kenderaan roda dua, sedangkan ke Distrik harus melalui rawa dengan menggunakan perahu dayung. Secara umum wilayah kampung merupakan daerah rawa dan lahan gambut, tipe hutannya merupakan hutan hujan tripis yang sangat kaya dengan berbagai keragaman habitat. Perumahan masyarakat dibuat dengan bahan-bahan lokal yang ada, konstruksi kayu dengan dinding gaba-gana dan beratap daun sagu. Sumber air bersih diperoleh dari galian di pinggir rawa yang tergenang bila musim hujan dan musim kering rasanya agak payau.

    Potensi sumber daya alam masih cukup berlimpah terutama potensi hasil hutan

    berupa kayu pertukangan yang memiliki nilai jual tinggi (kayu besi, kayu cina, linggua,bintanggur, mersawa dan lain-lain). Pemanfaatan kayu dilakukan sebatas pemenuhan kebutuhan dan dijual pada pasaran lokal. Hasil hutan non kayu juga cukup banyak seperti damar, kulit lawang dan masoi tetapi belum dimanfaatkan. Hasil kali berupa ikan, udang dan lain-lain dimanfaatkan hanya untuk kebutuhan konsumtif karena tidak ada pemasaran.

    Mata pencaharian utama masyarakat adalah memanfaatkan hasil hutan dan

    hasil pertanian yang dijual di pasar lokal (Ibu kota Kabupaten). Hasil yang dipasarkan sangat terbatas karena tidak ada pedagang sehingga penghasilan masyarakat sangat rendah. Rendahnya penghasilan masyarakat mengakibatkan pemenuhan kebutuhan konsumtif sehari-hari dalam keluarga kurang terpenuhi. Kebutuhan makanan pokok masih sangat cukup karena dusun sagu masih baik dan pisang atau umbi-umbian yang ditanam hasilnya tidak habis dimakan. Pembangunan ekonomi masyarakat oleh pemerintah maupun yayasan belum pernah ada.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    19

    Tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah, terbatas tamat SD dan anak usia sekolah juga banyak tidak sekolah. Permasalahannya sekolah tidak aktif (tenaga guru tidak ada dan fasilitas/prasana sekolah terbatas. Kesempatan untuk melanjutkan sekolah pada tempat lain sangat terbatas karena tidak ada biaya dan dukungan orang tua.. Keterampilan masyarakat juga sangat rendah karena belum adanya perhatian pihak pemerintah maupun NGO khususnya dalam upaya peningkatan SDM masyarakat.

    Kelembagaan pemerintah kampung cukup aktif dalam melayani masyarakat, tetapi tidak ditunjang dengan dana oprasinal yang memadai dan keterampilan sehubungan dengan perencanaan pembangunan di kampung. LMA cukup aktif terutama dalam menangani permasalahan adat dan perselisihan dikampung akibat hak tanah adat. Akses kesehatan terbatas, ada Pustu (Puskesmas pembantu) tapi tidak ada petugas. Masyarakat berobat ke ibu kota Kabupaten denganmengunakan perahu dayung. Kegiatan geraja sangat aktif baik dalam pelayanan agama maupun pelayanan organisasi.

    Aspirasi dan kebutuhan mendesak bagi masyarakat adalah bantuan bangunan

    perumahan; sarana transportasi laut yang memadai; harga pasar yang stabil; pembangunan sekolah-sekolah kejuruan (pertanian, pertukangan dan mesin); kebutuhan tenaga guru dan penyuluhan dari pemerintah maupun yayasan untuk meningkatkan keterampilan.

    Kampung Mur; jarak kampung dengan kota Kabupaten kurang lebih 45 Km

    yang dapat ditempuh dengan kenderaan roda dua sekitar 1-2 jam, melalui sungai dengan kapal 6-8 jam. Jarak ke ibukota Distrik tidak jauh karena bersebelahan. Sumber air bersih cukup baik berupa sumur dalam dan dimiliki setiap rumah. Perumahan masyarakat dibuat dengan bahan-bahan lokal yang ada, konstruksi kayu dengan dinding gaba-gaba dan beratap daun sagu.

    Potensi sumber daya alam masih masih cukup baik, terutama hasil hutan sudah

    banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Hasil kayu seperti linggua, kayu dayung bintanggur, kayu besi dan kayu cina sudah diolah jadi papan dan dipasarkan secara lokal maupun keluar (ke Merauke). Hasil buruan dan ikan dari rawa dimanfaatkan terbatas untuk kebutuhan konsumtif.

    Makanan pokok masyarakat adalah sagu yang diperoleh dari dusun alam dan

    makanan tambahan berupa pisang dan umbi-umbian yang ditanam disekitar pekarangan dan beras yang dibeli dari pedagang. Penanaman tanaman pertanian berupa sayur-sayuran jagung dan rica dilakukan untuk konsumtif dan dipasarkan di kampung.

    Mata pencaharian masyarakat adalah menjual kayu olahan, mejual hasil laut

    ikan (kakap dan kuru), gelembung, sirip, kulit buaya dan ikan asin. Penjualan dilakukan pada pedagang yang datang tapi tidak menetap. Potensi pertanian lain yaitu berupa kebun karet yang dibiarkan menjadi hutan karena PT. Yudefo yang tadinya mengelola karet sudah tutup. Rendahnya penghasilan

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    20

    masyarakat dari menjual hasil pertanian mendorong masyarakat untuk menjual kayu dengan meminta bantuan pihak gereja untuk diolah menjadi balok atau papan. Hasilnya tidak memuaskan masyarakat karena pihak gereja tidak punya dana untuk membayar tunai jadi harus menunggu kayu laku dijual.

    Tingkat pendidikan masyarakat umumnya masih sangat rendah, karena

    kurangnya kesadaran dan dukungan motivasi dari orang tua. Keterampilan masyarakat juga sangat rendah karena belum adanya perhatian pihak pemerintah maupun NGO khususnya dalam upaya peningkatan SDM masyarakat.

    Kelembagaan yang memberikan akses pelayanan yang baik pada masyarakat

    antara lain; gereja dan puskesmas cukup aktif dan berjalan baik (Petugas ada dan sarana prasarana memadai). Khusus aspek pendidikan, sarana-prasarana SD-SMP cukup memadai, guru ada tetapi kurang aktif sehingga kegiatan belajar sering tidak berlangsung. LMA cukup aktif dalam menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat dan menegakkan aturan adat. Petugas PPL baru datang 2 kali selanjutnya tidak pernah datang sehingga pelayanan pembangunan bidang pertanian tidak berkembang.

    Aspirasi dan kebutuhan mendesak bagi masyarakat adalah akses pasar bagi

    tanaman pertanian; peningkatan mutu pendidikan; pelatihan keterampilan bagi masyarakat dan pengembangan usaha perikanan karena selama ini lebih dikuasai pemilik modal yang datang dari luar.

    Kampung Sumur Aman; penduduk berjumlah 272 jiwa (172 KK, laki-laki =

    141, Perempuan = 242) merupakan kampung masyarakat suku Asmat yang pindah pada tahun 1920. Masyarakat suku Yaghai sudah mengakui dan mensahkan secara adat sehingga diberi hak tinggal dan hidup, mereka disebut Yagmat (Yaghai Asmat). Kampung sumur aman merupakan pesisir pantai sehingga satu-satunya hubungan adalah sarana air berupa long boat atau perahu dayung. Sumber air satu-satunya adalah sumur umum yang dibuat oleh pihak gereja tetapi musim kemarau air kurang baik maka masyarakat mengambil air dari dusun sagu yang cukup jauh. Pola kehidupan masyarakat masih mengikuti budaya suku Asmat, Jew (Jew= rumah bujang, sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah dalam memecahkan masalah maupun merencanakan dan memutuskan sesuatu sehubungan dengan kehidupan masyarakat di kampung) masih dipertahankan, mengukir masih dilakukan tetapi mereka juga sangat menghargai budaya masyarakat setempat. Potensi sumber daya alam berupa hasil laut cukup berlimpah tetapi belum dikelola secara optimal. Potensi hutan berupa kayu hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi, sedangkan binatang buruan berupa babi dan rusa dimanfatakan dan sebagian dijual. Makanan poko masyarakat berupa sagu dan makanan tamabahan berupa beras, pisang dan umbi-umbian yang ditanam disekitar kampung. Tanaman pertanian lain juga ditanam seperti jenis-jenis sayuran untuk kebutuhan konsumtif.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    21

    Mata pencaharian utama masyarakat adalah sebagai nelayan tetapi hasilnya kurang memadai karena tidak memiliki peralatan tangkap dan keterampilan yang memadai. Harga penjualan ikan juga sangat tergantung dari ketentuan pedagang dan biasanya cukup rendah, kadang-kadang hanya ditukar dengan barang seperti gula, kopi dan beras. Tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat sangat rendah. Kesadaran dan motivasi sekolah belum tumbuh baik dari anak maupun orang tua. Upaya peningkatan keterampilan dari pemerintah maupun pihak swasta belum pernah ada.

    Akses kelembagaan yang aktif melayani masyarakat antara lain pihak gereja

    (Khatolik) yang juga banyak berperan dalam pengembangan wawasan serta keterampilan masyarakat, pelayanan kesehatan juga aktif walau kesadaran berobat bagi masyarakat sangat rendah, sekolah tingkat SD juga aktif, kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik dengan adanya 5 orang guru, tetapi banyak anak usia sekolah yang tidak mau sekolah. Umumnya setelah tamat SD tidak melanjutkan sekolah karena kurangnya dukungan motivasi orang tua dan anak tersebut..

    3. Kabupaten Asmat

    a) Keadaan Umum; Kabupaten Asmat merupakan kabupaten pemekaran baru (tahun 2000), luas wilayahnya 23.746 KM. atau 5,63% dari luas wilayah Propinsi Papua. Keadaan topografi umumnya datar dan berawa dengan kemiringan 0-8% dari bagian pantai ke bagian Utara. Secara administrasi, wilayah Kabupaten Asmat terdiri dari 7 Distrik dan 139 Kampung dengan jumlah penduduk 67.390 jiwa. Akses transportasi ke Kabupaten Asmat dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat udara (Twin Otter/Cessna) dari Merauke/Timika atau kapal laut (kapal perintis) dari Merauke. Hampir seluruh pemukiman penduduk di Kabupaten Asmat merupakan daerah pasang surut dan rawa gambut sehingga seluruh aktifitas kehidupan di atas rumah panggung dan jalan/jembatanyang terbuat dari kayu.

    b) Budaya dan Pola Kehidupan: masyarakat adat berasal dari suku Asmat yang

    terdiri dari 12 Far (Forum Adat Rumpun) yaitu Joerat,Bismam.Siamai. Kenok. Safan,Becembub, Yomagau, Emari Ducur, Kaimo, Tomor dan Jupmakjain. Rumpun dibagi berdasarkan wilayah tanah adat, kesamaan bahasa, batas daerah mencari makan/dusun, garis keturunan/marga, asal usul marga, wilayah kekuasaan dari jaman pengayaun yang diwariskan pada keturunan laki-laki/marganya. Secara budaya dan adat istiadat kepemilikan hak ulayat tanah adat diatur berdasarkan marga yang diwariskan kepada anak laki-laki. Sistim perkawinan masyarakat dilakukan dengan sistim/cara adat dan kawin campur antara suku/marga.

    Warisan budaya mengukir merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Asmat yang masih tetap dipertahankan terutama kaum pria. Kegiatan mengukir merupakan ekspresi emosional, inspirasi dan interaksi kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Bagi kaum perempuan kegiatan mengayam

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    22

    merupakan keterampilan budaya yang masih dipertahankan. Hasil anyaman seperti tikar pandan (Tapin), tas, keranjang dan hiasan-hiasan pakaian adatdigunakan dalam keperluansehari-hari dan dijual sebagai tambahan penghasilan.

    Pesta Budaya seperti pesta patung, pesta topeng, pesta perahu dan pesta ulat sagu masih rutin dirayakan oleh masyarakat dan biasanya pada bulan Oktober dan dilakukan secara besar-besaran. Pesta Patung Bis (Bispokombi) yaitu pesta mengukir patung Bis yang dilakukan bersama-sama di JEW atau JE bersamaan dengan pesta ulat sagu. Pesta ini lebih bermakna sebagai tradisi pembinaan generasi muda menuju kedewasaan dan pengajaran menjadi manusia Asmat (Asmat Ipits/Caut). Budaya leluhur suku Asmat mewariskan suatu pengertian bahwa dunia ini terdiri dari tiga lapis yaitu Asmat ow Capinmi (alam kehidupan sekarang); Dampu ow Capinmi (alam persinggahan roh yang sudah meninggal); dan Safar (surga). Dari pengertian ini diyakini bahwa agar roh seseorang masuk ke dalam surga maka keluarganya harus mengukir patung dan melakukan pesta/ritual adat. Nilai budaya yang sangat menarik dan masih dipertahankan adalah JEW atau JE (rumah bujang/rumah panjang) yang merupakan tempat untuk membicarakan program pembangunan kampung, pesta budaya, perkawinan dimana seluruh elemen masyarakat hadir untuk membicarakan, menyepakati dan memutuskannya. Azas demokrasi dalam kehidupan asyarakat asmat masih sangat kuat dan dipertahankan. JEW/JE merupakan tempat tinggal bagi kaum muda laki-laki dan kaum tua-tua sebagai tempat untuk belajar menjalankan kehidupan sehari-hari serta tempat belajar budaya, ukiran dan norma-norma adat.

    Pola kehidupan sehari-hari masyarakat didominasi oleh aktifitas memanfaatkan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan (Peramu) dan mengukir/menganyam. Aktifitas memanfaatkan sumber daya alam dikenal dengan istilah Pokomber (mencari makan di dusun dalam jangka waktu 1-2 hari) dan Usi (mencari makan dalam jangka waktu 1 minggu 3 bulan). Dilakukan secara bersama-sama dalam beberapa kelompok keluarga dengan mendirikan rumah sementara (Bevak/Isi Cem). Untuk melihat lebih jauh tentang prikehidupan berkelanjutan pada masyarakat di kabupaten Asmat, dilakukan survey pada 4 lokasi kampung. Penentuan lokasi kampung didasarkan pertimbangan posisi gegografis (pesisir pantai dan pedalaman); Akses dengan pusat-pusat keramaian (ibukota kabupaten dan Distrik). Berdasarkan pertimbangan ini, lokasi survey di tentukan pada 4 kampung yaitu Syuru, Yamas, Erma dan Buetkuar. Hasil survey yang dilakukan dijabarkan sebagai berikut:

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    23

    C. Profil Kampung Kampung Syuru; didirikan oleh masyarakat rumpun Bismam atas inisitif sendiri untuk menghindari perselisihan karena masalah perempuan yang sering terjadi akibat perang antar sub suku. Kampung Syuru berdekatan dengan Ibukota Distrik/Ibukota Kabupaten (Agats) yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki 10 15 menit melalui jalan jembatan kayu. Jumlah penduduknya sebanyak 237 KK dengan ratio jumlah laki-laki sebanyak 614 jiwa dan perempuan sebanyak 607 jiwa. Kondisi perumahan masyarakat pada umumnya sederhana terbuat dari kayu buah, berdinding gaba-gaba/kulit papan, beratap rumbia dan sebagian sudah rusak berat, di dalam satu rumah biasanya dihuni lebih dari satu keluarga.

    Potensi sumberdaya alam berupa hasil hutan terutama kayu bahan bangunan (Kayu besi, kayu Merah) yang sudah berkurang akibat pemanfaatan yang berlebihan. Hasil hutan non kayu berupa binatang buruan (babi, kasuari dan buaya) dimanfaatkan untuk dikonsumtif sendiri dan dijual bila ada pembeli. Potensi sumber daya laut masih sangat kaya seperti jenis-jenis ikan, kepiting dan udang dimanfaatkan terbatas konsumtif dan dijual di pasar lokal. Makanan pokok adalah sagu yang diperoleh dari dusun alam warisan generasi sebelumnya dan pisang serta umbi-umbian yang dikelola secara pertanian tradisional pada wilayah dusun. Mata pencaharian utama masyarakat adalah menjual kayu dan hasil laut (ikan kepiting, udang dan lain-lain) serta hasil ukiran. Pendapatan dari hasil usaha ekonomi yang dilakukan sangat terbatas karena kurangnya pemasaran, yang ada hanya pasaran lokal. Pengembangan usaha pertanian sulit dilakukan karena tidak tersedianya lahan kering. Untuk kebutuhan konsumtif, masyarakat menanam dibak-bak papan atau perahu bekas dengan mengambil tanah dari hutan. Hasilnya kurang memuaskan karena pertumbuhan tanaman kurang baik. Program pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah maupun NGO khususnya tentang pengembangan usaha ekonomi baik hasil laut maupun pertanian belum ada. Bantuan pengembangan usaha ekonomi dan pembinaan langsung pada masyarakat baru dilakukan oleh Yayasan Almamater. Pengembangan peogram dan pembinaan terbatas pada pemberian bantuan dana sebesar 14 juta sebagai modal usaha ukiran dengan pola pengembangan sanggar serta pelatihan manajemen usaha dan keuangan bagi anggota pengurus sanggar. Tingkat pedidikan masyarakat juga masih sangat rendah, motivasi orang tua menyekolahkan anak pada tingkat lanjut sangat rendah dan kurangnya dukungan biaya. Keterampilan masyarakat dalam pengembangan kegiatan usaha masih sangat terbatas karena kurangnya perhatian pemerintah maupun NGO. Pelatihan peningkatan SDM telah dilakukan khususnya pada kaum perempuan melalui program PKK dan Akat Cepes tetapi tidak ditindak lanjuti dalam bentuk kegiatan operasinal dilapangan sehingga tidak berkembang.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    24

    Akat Cepesadalah lembaga NGO lokal merupakan forum musyawarah kaum perempuan yang khusus didirikan untuk meningkatkan pemberdayaan kaum perempauan Asmat. (Akat Cepes bahasa suku Asmat yang artinya perempuan sejati). Kelembagaan Akat Cepes masih sangat terbatas baik secara kapasitas operasional kelembagaan maupun SDM personalnya. Kelembagaan pemerintahan Kampung memiliki aparat yang cukup aktif tetapi tidak ditunjang dengan sarana-prasarana yang memadai dan dana operasional. Kantor tidak ada dan perencanaan dan pelaksanaan program tidak berjalan karena dana desa sudah tidak ada. Lembaga pendidikan berupa SD dan SMP ada dan aktif tetapi banyak masyarakat tidak mampu menyekolahkan anaknya. Pelayanan kesehatan aktif karena ada Pustu (Puskesmas Pembantu), tetapi kesadaran berobat masyarakat kurang dan tidak punya uang beli obat. Lembaga adat (LMAA) cukup aktif secara operasional khususnya dalam menangani permasalahan konflik hak ulayat dan hal-hal yang berhubungan dengan adat dan budaya. Permasalahan yang utama dalam LMAA saat ini kurangnya biaya operasional dan personal pengurus karena sebagian pengurus sudah masuk pegawai. Lembaga penguatan perempuan (Akat Cepes) cukup aktif tetapi kurang produktif karena terbatasnya dana dan SDM personal lembaga. KOMPAD (Komisi penanggulangan Aids daerah) merupakan jaringan KIE yang dibentuk dan difasilitasi Almamater sudah tidak jalan, karena tidak ada dana dan tenaga professional yang mengkoordinir. Sarana-prasarana air minum sangat terbatas sehingga menyulitkan pada musim kemarau. Bantuan pemerintah berupa bak-bak penampungan air tidak dibagi adil sehingga menimbukan kecemburuan sosial dan sebagian besar sarana dirusak masyarakat dengan kampak. Sarana listrik sudah ada tapi belum masuk kerumah masyarakat karena tidak ada biaya penyambungan dan pembayaran tanggungan per bulan. Berdasarkan hasil studi, kondisi kehidupan masyarakat cukup memprihatinkan dan sangat berbeda dengan kehidupan pendatang yang ada. Secara ekonomi, kehidupan masyarakat hanya tergantung dari ketersediaan sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk konsumtif dan dijual secara lokal yang hasilnya sangat terbatas. Tingkat pendapatan masyarakat sangat rendah sehingga tidak mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan konsumtif yang terus bergeser sesuai perkembangan yang masuk. (kampung Syuru adalah bagian dari ibu kota Kabupaten Asmat dan merupakan pinggiran kota Agats)

    Aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang mendesak adalah bantuan sarana-prasarana air minum yang memadai dan subsidi untuk pemasangan dan biaya listrik. Hal lain yang diharapkan masyarakat adalah sarana pemasaran hasil dan pengembangan program untuk peningkatan usaha ekonomi produktif baik untuk pengelolaan sumber daya alam maupun program pertanian dari pemerintah dan pendampingan dari NGO. Pelatiahan-pelatihan peningkatan keterampilan juga sangat diharapkan khusnya bagi kaum perempuan.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    25

    Kampung Yamas ; didirikan oleh Pemerintah Belanda (1953) untuk menghindari terjadinya perang suku dengan masyarakat dari Mimika. Masyarakat adalah suku Asmat dari FAR Jourat, pendatang yang ada hanya beberapa orang sebagai pegawai pemerintahan atau pedagang. Kampung Yamas merupakan kampung yang terletak dipesisir pantai dan mewakili pemukiman yang tingkat homogenitasnya tinggi. Dari Ibukota Kabupaten (Agats) kampung Yamas dapat ditempuh dengan menggunakan speedboat/longboat selama 1 jam 1,5 jam, sedangkan dari Ibukota Distrik (Pos-Erma) ditempuh selama 1,5 3 jam. Kondisi tofografi kampung adalah 100 % datar dan tanah lumpur yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Jumlah penduduk sebanyak 126 KK dengan jumlah laki-laki = 176 jiwa dan perempuan = 213 jiwa. Sarana dan prasarana umum sangat terbatas dan kondisinya rusak parah seperti kantor Kampung dan jalan/jembatan didalam kampung yang telah dibangun sejak tahun 1995 dan sampai sekarang belum direhabilitasi. Sumber air bersih hanya mengandalkan air hujan dan mendapat bantuan berupa bak 8 unit (bantuan pemerintah) sehingga tidak mencukupi khususnya dimusim kemarau. Kondisi perumahan masyarakat sangat sederhana terbuat dari kayu buah, berdinding gaba-gaba/kulit kayu, beratap rumbia dan sebagian sudah rusak berat, di dalam satu rumah biasanya dihuni lebih dari satu keluarga. Sarana transportasi yang dilmiki masyarakat hanya perahu dayung yang digunakan untuk menjangkau ke kota Kabupaten maupun Distrik. Waktu tempuh 2-3 hari perjalanan dengan mengikuti arus pasang surut. Transportasi berupa speed boat hanya dimiliki para pedagang dan pegawai pemerintah.

    Potensi sumber daya alam berupa hasil hutan dan hasil laut sangat kaya tetapi sampai saat ini belum dikelola secara optimal karena tidak adanya pasaran. Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu pertukangan tadinya menjadi sumber penghasilan karena ada HPH yang membeli kayu tebangan rakyat. Tetapi sekarang tidak ada jadi dimanfaatkan untuk pemakaian sendiri atau pesanan dari kontraktor yang membangun kampung. Hasil laut berupa ikan, udang juga hanya dimanfaatkan untuk konsumtif karena tidak ada pasar untuk dijual dan keterampilan serta sarana-prasaran tangkap milik masyarakat juga sangat terbatas. Pemenuhan konsumtif makanan pokok didapatkan dari hasil menokok sagu dan melakukan kegiatan pertanian tradisional dengan menanam pisang dan umbi-umbian. Hasil tanaman pertanian lain seperti kelapa cukup banyak tetapi hanya dikonsumtif karena tidak ada pasar untuk menjual atau tidak ada pedagang yang datang.

    Mata pencaharian masyarakat saat ini hanya terbatas menjual hasil ukiran dan buat perahu kalau ada yang pesan. Penghasilan yang sangat rendah ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa, pembangunan kampung hanya menunggu bantuan pemerintah atau pihak swata. Dampak yang paling dirasakan masyarakat saat ini adalah tidak terpenuhinya kebutuhan konsumtif yang harus dibeli sehingga makanan sehari-hari cukup

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    26

    dari hasil alam yang ada. Kebutuhan barang-barang konsumtif luar meningkat setelah masyarakat mendapatkan penghasilan sewaktu adanya HPH. Untuk meningkatkan penghasilan, sebagian masyarakat bekeja pada proyek pembangunan di Kabupaten karena sejak ada HPH masyarakat sudah dilatih tentang pertukangan.

    Tingkat pendidikan masyarakat juga masih sangat rendah umumnya hanya tamat SD dan saat ini generasi usia sekolah juga hanya terbatas sampai SD karena untuk melanjut pada daerah lain tidak ada dukungan biaya. Keterampilan masyarakat juga masih sangat rendah karena belum banyak kegiatan pelatihan keterampilan oleh Pemerintah maupun NGO, ada tetapi tidak berkelanjutan. Kegiatan pelatihan yang pernah dilakukan adalah keterampilan pertukangan. (HPH Bina Desa) dan Keterampilan Manajemen organisasi dan Rumah Tangga, Kerajinan Anyaman dan Pertanian (WKRI cabang Agats). Hasilnya belum memberikan dampak bagi perubahan ekonomi masyarakat karena tidak ada kelanjutannya. Kelembagaan pemerintahan kampung aparatnya cukup aktif tetapi tidak ditunjang dengan bantuan dana operasional dan bantuan proyek-proyek pembangunan dari Distrik maupun Kabupaten. Lembaga pendidikan berupa SD berjalan aktif karena guru sudah ada dan menetap dikampung walaupun jumlahnya tidak mencukupi. Pelayanan kesehatan juga aktif, sarana Pustu (Puskesmas Pembantu) dan tenaga medis (Bidan) tetapi kesadaran dan biaya berobat rendah. Lembaga adat (Lembaga musyawarah adat asmat) di kampung Yamas diwakili oleh Lembaga adat rumpun Joerat yang aktifitasnya cukup berjalan dengan baik tetapi tidak ditunjang dengan dana oprasional yang memadai.

    Aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang mendesak adalah sarana transportasi umum berupa taksi air, bak penampung air hujan, perbaikan sarana jalan jembatan dalam kampung, perbaikan dan peningkatan sarana/prasarana sekolah dan Pustu serta perumahan masyarakat. Masyarakat juga mengharapkan adanya perhatian pemerintah maupun NGO untuk meningkatkan kegiatan perekonomian (khususnya program pengembangan produktifitas usaha pengelolaan sumberdaya alam) dan SDM masyarakat melalui pelatihan-pelatihan dan pembinaan yang baik. Kampung Erma; masyarakat berasal dari rumpun Kenok dengan inisiatif sendiri mendirikan kampung Erma sejak tahun 1930an yang dipelopori oleh dua keluarga yaitu Windepok dan Tenemu. Kampung Erma ke Pusat Distrik hanya dipisahkan oleh sungai Pii, dapat ditempuh dengan perahu dayung selama 5-10 menit, sedangkan ke Ibukota Kabupaten (Agats) dapat ditempuh dengan menggunakan speedboat/longboat yang ditempuh selama 1,5 2,5 jam. Kondisi fisik geografis daerah umumnya tanah rawa gambut yang terendam terutama pada musim hujan. Jumlah penduduk sebanyak 572 KK, laki-laki sebanyak 783 jiwa dan perempuan sebanyak 739 jiwa. Sarana

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    27

    dan prasarana umum berupa jalan/jembatan dalam kampung sudah rusak dan masih diperbaiki (bantuan Pemerintah) Sumber air bersih selain mengandalkan air hujan, masyarakat juga memanfaatkan air sungai Pii. Kondisi perumahan masyarakat pada umumnya terbuat dari kayu buah, berdinding gaba-gaba/kulit kayu, beratap rumbia dan sebagian sudah rusak, di dalam satu rumah biasanya dihuni lebih dari satu keluarga.

    Potensi sumber daya alam berupa hasil hutan maupun hasil kali masih cukup banyak tetapi tidak dimanfaatkan secara optimal karena tidak ada pasar. Makanan pokok adalah sagu yang diambil dari dusun-dusun alam warisan generasi sebelumnya. Makanan tambahan berupa pisang dan umbi-umbian yang ditanam didusun secara tradisional dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif sehari-hari. Hasil hutan non kayu seperti binatang buruan (babi, kuskus dan burung) dimanfaatkan hanya untuk konsumtif atau dijual bila ada pedagang yang beli. Hasil sumberdaya perairan sangat terbatas berupa udang dan ikan duri dimanfaatkan hanya untuk kebutuhan konsumtif dan dijual bila hasilnya cukup. Motivasi masyarakat untuk melakukan kegiatan pertanian cukup tinggi tetapi keterampilan dan bibit yang dimiliki sangat terbatas. Beberapa keluarga telah mencoba menanam tanaman buah-buahan seperti sukun, nangka dan salak tetapi belum produktif. Tingkat pendidikan sangat rendah masih banyak masyarakat yang tidak tahu baca tulis. Sebagian besar generasi muda hanya sampai tamat SD karena mau melanjut tidak ada biaya. Keterampilan masyarakat sangat rendah, program peningkatan keterampilan masyarakat dari Pemerintah maupun NGO belum pernah ada. Khususnya kaum perempuan, keterampilan dan wawasannya sangat rendah sehingga dalam setiap pertemuan umum tidak ada perempuan yang mau ikut dan terlibat.

    Kelembagaan pemerintahan kampung aparatnya cukup aktif dalam melayani masyarakat maupun memfasilitasi tamu yang datang, tetapi tidak ditunjang dengan bantuan dana operasional sehingga pembangunan kampung tidak berkembang. Lembaga pendidikan berupa SD tidak berjalan karena tidak ada guru dan terbatasnya sarana prasarana. Pelayanan kesehatan di kampung tidak ada tetapi masyarakat diharapkan ke ibukota Distrik yang jaraknya tidak jauh. Lembaga adat (Lembaga musyawarah adat asmat) di kampung Erma diwakili oleh FAR (Forum Adat Rumpun) Kenok, aktifitasnya cukup berjalan terutama dalam menyelesaikan masalah-maslah yang berhubungan dengan budaya dan aturan adat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan PPL Kehutanan sangat membantu masyarakat dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam hutan, karena petugas tersebut melayani, membantu, membina dan mendampingi masyarakat dengan baik serta telah menyatu dengan kehidupan masyarakat pada semua kampung di Distrik Sawaerma.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    28

    Aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang mendesak adalah sarana transportasi umum berupa taksi air, bak penampung air hujan, dan peningkatan sarana/prasarana sekolah dan Pustu. Masyarakat juga mengharapkan adanya perhatian pemerintah maupun NGO untuk meningkatkan kegiatan perekonomian (khususnya program pengembangan produktifitas usaha pengelolaan sumberdaya alam dan pertanian) dan SDM masyarakat melalui pelatihan-pelatihan dan pembinaan yang baik. Kampung Buetkuar; didirikan oleh masyarakat rumpun Simai dari dua marga yaitu Menet dan Bairim. Kondisi fisik tofografi daerah merupakan hutan hujan dengan tanah rawa gambut. Letak Kampung Buetkuar sangat terisolir, dengan menggunakan speedboat/longboat selama 510 jam perjalanan Agats dan 3-8 jam ke ibukota Distrik (Ayam). Pengembangan program pembangunan dan kunjungan pemerintah sangat jarang. Jumlah penduduk 60 KK, laki-laki sebanyak 124 jiwa dan perempuan sebanyak 104 jiwa. Pendatang yang ada dari suku Bugis-Makassar, Jawa dan NTB yang berprofesi sebagai pedagang yang telah 7 tahun hidup berdampingan dengan masyarakat. Sarana prasarana kampung sangat terbatas dan dalam kondisi rusak parah kecuali ruang sekolah 2 kelas yang baru diperbaiki Sumber air bersih/tawar selain mengandalkan air hujan, masyarakat juga memanfaatkan air sungai Itim dan sungai Serep. Perumahan masyarakat pada umumnya terbuat dari kayu buah, berdinding gaba-gaba/kulit kayu, beratap rumbia dan sebagian sudah rusak berat, di dalam satu rumah biasanya dihuni lebih dari satu keluarga. Potensi Sumberdaya Alam berupa hasil hutan cukup berlimpah seperti jenis-jenis kayu pertukangan yang berkualitas (kayu besi, kayu merah, kayu matoa dan lain-lain) dan hasil hutan non kayu seperti rotan dan buah matoa sangat banyak tetapi tidak dimanfaatkan karena tidak ada pasar. Hasil kali berupa ikan arwana, kakap batu, gurami dan kura-kura moncong babi belum dimanfaatkan untuk tujuan komersial. Hasil buruan seperti babi, mambruk dan kasuari dan hasil kali dimanfaatkan sebatas konsumtif keluarga atau dibarter dengan gula, kopi dan rokok dengan pedagang.

    Hasil hutan yang sudah dimanfaatkan terutama adalah kayu gaharu, perdagangannya sudah berlangsung sejak tahun 1999, dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Usaha pemanfaatan gaharu yang harganya sangat tinggi mengakibatkan perubahan prilaku dan konsumtif masyarakat. Makanan pokok sagu, pisang dan umbi-umbian mulai bergeser pada konsumtif beras, dan berbagai makanan kaleng. Uang yang tersedia dengan jumlah yang sangat besar (10-50 juta) dan keterbatasan pengetahuan mengakibatkan masyarakat lebih cendrung memilih hidup berfoya-foya. Penghasilan penjualan gaharu digunakan sampai habis untuk membeli apa yang meraka inginkan dan yang disediakan oleh para pedagang. Ketergantungan terhadap usaha mencari gaharu sangat tinggi dan mendominasi semua aktifitas kegiatan sehari-hari.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    29

    Permasalahan utama adalah setelah hasil usaha gaharu menurun, masyarakat mulai hidup tertekan karena kebiasaan konsumtif sudah tidak terpenuhi. Untuk itu, masyarakat masih terus melakukan kegiatan pencarian walaupun hasilnya sudah sangat terbatas.

    Tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah, sebagian besar tidak tahu baca tulis dan menghitung. Motivasi sekolah bagi generasi muda sangat rendah dan dukungan orang tua juga tidak ada. Keterampilan masyarakat juga masih sangat rendah karena kegiatan pembangunan di kampung dan kunjungan pemerintah sangat terbatas. Pembinaan oleh NGO pertama kali dilakukan Almamater pada tahun 2003-2004, berupa kegiatan survey potensi gaharu dan tingkat ketergantungan masyarakat. Bersamaan dengan kegiatan survei juga dilakukan penyuluhan konservasi dan pelatihan tentang pengelolaan sumber daya alam serta pengenalan manajemen usaha dan pengelolaan keuangan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat yang sangat tergantung dengan hasil gaharu dan barang konsumtif yang didatangkan pedagang, maka dilakukan kegiatan pengenalan terhadap tanaman pertanian seperti jenis-jenis sayuran, jagung dan kacang-kacangan. Pengenalan dilakukan berupa pelatihan secara teori dan praktek penanaman dalam kelompok-kelompok keluarga. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumtif makanan kaleng dan supermi. Pengembangan tanaman pertanian yang dilakukan sangat baik hasilnya sudah dikonsumtif dan sebagaian disimpan sebagai bibit. Pengembangan program akan ditindak lanjuti dengan upaya budidaya gaharu dan rehabilitasi kerusakan lahan hutan serta pengembangan lahan pertanian secara produktif untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif pangan keluarga. (Sedang dalam proses perencanaan pengusulan proposal pada Funding). Kelembagaan di kampung Buetkuar hampir secara keseluruhan tidak berjalan sama sekali. Kesibukan mencari gaharu membuat masyarakat tinggal cukup lama di hutan dengan membawa semua keluarga. Kegiatan proses belajar di sekolah SD yang ada baru mulai 6 bulan lalu karena tenaga guru sudah ada 1 orang. Pasar penjualan gaharu cukup tersedia karena pedagang yang tinggal di kampung. Akses transportasi dari kampung ke kampung lain dan ke ibukota Distrik maupun Kabupaten sangat sulit. Alat transportasi yang ada hanya milik pedagang yang kapasitasnya sangat terbatas.

    Aspirasi dan kebutuhan masyarakat di kampung Buetkuar yang mendesak adalah sarana transportasi umum berupa taksi air, bak penampung air hujan, perbaikan dan peningkatan sarana/prasarana sekolah dan Pustu serta peningkatan dan pengembangan sumber-sumber usaha ekonomi produktif masyarakat yang berasal dari pemanfaatan SDA. Masyarakat juga mengharapkan pihak yayasan Almamater masih mendampingi masyarakat dan mengembangkan kegiatan-kegiatan pelatihan yang bisa meningkatkan SDM masyarakat.

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    30

    4. Kabupaten Bouven Digoel a) Sejarah Keadaan Umum; Kabupaten Boven Digoel dibuka pertama kali oleh

    Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1927 di ikuti oleh Misionaris (Khatolik) pada tahun 1933. Pembukaan wilayah oleh Misionaris selain menyebarkan ajaran agama juga mengumpulkan masyarakat untuk hidup dalam suatu pemukiman yang tetap. Pada masyarakat juga diajarkan keterampilan bidang pertanian dan membuka sekolah-sekolah formal dan non formal. Bouven Digoel juga terkenal sebagai pembuangan tahanan politik, sehingga sampai sekarang menjadi tempat bersejarah dan menjadi objek wisata. Kabupaten Bouven Digoel merupakan kabupaten pemekaran (tahun 2000) yang memiliki luas kurang lebih 26.439 Km2 dengan jumlah penduduk sebesar 40,057 jiwa. Secara adminiatrasi, kabupaten Bouven Digoel mencakup 6 wilayah Distrik dengan 87 kampung. Tofografi wilayah kabupaten Bouven Digoel merupakan daerah bergelombang dan dominasi oleh hutan hujan tropis.

    b) Budaya dan Pola Kehidupan; masyarakat kabupaten Bouven Digoel berasal dari suku besar Wambon yang terbagi menjadi 2 sub suku Muyu dan Mandobo. Nilai budaya yang masih dipertahankan sampai sekarang adalah proses perkawinan dengan istilah Kawin Masuk dan Kawin Keluar. Kawin masuk adalah proses perkawinan bila keluarga tidak memiliki anak laki-laki dengan mengganti marga sesuai dengan marga istri. Kawin keluar adalah proses perkawinan bagi anak perempuan yang sudah diambil keluarga lain sehinga dikeluarkan dan tidak mendapat warisan hak atas tanah adat. Pesta Babi, merupakan acara besar yang dihadiri oleh semua pihak dan diadakan penjualan hasil ternak babi melalui barter barang yang seharga dengan nilai babi. Babi memiliki nilai yang tinggi bagi suku wambon karena merupakan harta atau mas kawin.

    Secara budaya, kepemilikan hak ulayat sangat dihargai dan dipertahankan, sehingga pelanggaran batas-batas hak ulayat bisa menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan baik antar marga maupun dengan pihak luar. Pola kehidupan masyarakat sejak turun-temurun merupakan petani peramu, kegiatan pertanian dilakukan secara berpindah-pindah bersamaan dengan kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif sehari-hari. Sumber daya alam yang dimanfaatkan berupa sagu sebagai makanan pokok yang diambil dari dusun sagu alam yang telah diwariskan dari generasi sebelumnya. Hasil pertanian berpindah yang dilakukan berupa pisang dan umbi-umbian sebagai tambahan makan pokok. Sejak dulu, masyarakat suku Wambon merupakan tipe pekerja keras dan memiliki falsafah hidup yang dipegang yaitu Bekerja Baru Bisa Makan. Motivasi ini mendorong kuatnya persaingan hidup antar keluarga untuk maju. Falsafah ini juga mendorong motivasi masyarakat suku Wambon untuk merantau kedaerah lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di wilayah Selatan Papua suku Wambon (Muyu dan Mandobo) merupakan suku yang lebih maju dari yang lainnya baik dalam tingkat pendidikan maupun

  • Kajian Masyarakat Sipil di Selatan Papua UNDP-ALMAMATER

    31

    dalam tingkat ekonomi. Untuk mengkaji lebih jauh Prikehidupan berkelanjutan masyarakat masyarakat dilakukan survei pada 4 wilayah kampung yang ditentukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: - Letak geo