lapsus sle dvinta ^_^

41
7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^ http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 1/41  Laporan Kasus SINDROMA NEFROTIK ET CAUSA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS DENGAN ANEMIA Oleh: Devinta Ifandari, S.Ked I1A005085 Pembimbing: dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/BLUD RS ULIN BANJARMASIN AGUSTUS, 2010 1

Upload: rwikenpramuditas

Post on 30-Oct-2015

109 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sle

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 1/41

 Laporan Kasus

SINDROMA NEFROTIK ET CAUSA SYSTEMIC LUPUS

ERYTHEMATOSUS DENGAN ANEMIA

Oleh:

Devinta Ifandari, S.Ked

I1A005085

Pembimbing:

dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/BLUD RS ULIN

BANJARMASIN

AGUSTUS, 2010

1

Page 2: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 2/41

LEMBAR PENGESAHAN

 Laporan Kasus

SINDROMA NEFROTIK ET CAUSA SYSTEMIC LUPUS

ERYTHEMATOSUS DENGAN ANEMIA

Oleh

Devinta Ifandari, S. Ked

Pembimbing

dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD

Banjarmasin, Agustus 2010

Telah setuju diajukan

.……………………….

(dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD)

Telah selesai dipresentasikan

.………………………

(dr. Djallalluddin, PKK, M.Kes, Sp.PD)

2

Page 3: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 3/41

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR 

Gambar 1. Skema barier glomerulus ginjal.1...........................................................8

Gambar 2. Insidensi penyebab umum sindroma nefrotik.1.....................................9

Gambar 3. Ruam malar klasik pada SLE: Butterfly rash di pipi dan jembatan

hidung.3, 4..............................................................................................................18

3

Page 4: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 4/41

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria diagnostik SLE tahun 1997 dari American College of 

Rheumatology........................................................................................................16

Tabel 2. Hasil pemeriksaan darah rutin tanggal 5 Juli 2010..................................23

Tabel 3. Hasil pemeriksaan urin rutin tanggal 5 Juli 2010....................................23

Tabel 4. Hasil pemeriksaan hemoglobin tanggal 6 Juli 2010................................26

Tabel 5. Hasil pemeriksaan albumin dan kolesterol darah tanggal 7 Juli 2010.....27

Tabel 6. Hasil pemeriksaan protein urin tanggal 12 Juli 2010...............................28

4

Page 5: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 5/41

Tabel 7. Hasil pemeriksaan LFT tanggal 6 Juli 2010............................................28

Tabel 8. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.........................................29

Tabel 9. Hasil pemeriksaan urinalisis tanggal 12 Juli 2010...................................30

Tabel 10. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.......................................30

Tabel 11. Hasil pemeriksaan bilirubin darah dan LFT tanggal 20 Juli 2010.........30

Tabel 12. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.......................................31

Tabel 13. Hasil pemeriksaan LFT tanggal 20 Juli 2010........................................32

Tabel 14. Hasil pemeriksaan imunoserologi tanggal 23 Juli 2010........................32

BAB I

PENDAHULUAN

 

Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai adanya proteinuria,

hipoalbuminemia, dan edema. Sindrom nefrotik dapat bersifat primer akibat

keadaan khusus pada ginjal, atau dapat bersifat sekunder, sebagai akibat dari

 penyakit sistemik. Penyebab sekunder meliputi penyakit berikut secara berurutan

sesuai angka kejadiannya: 1) Diabetes mellitus, 2) Lupus eritematosus; 3)

Amiloidosis dan paraproteinemia; 4) Infeksi virus (misalnya, hepatitis B, hepatitis

C, human immunodeficiency virus [HIV]) dan 5 ) Preeklamsia.1 Pada sindroma

nefrotik sekunder, morbiditas dan mortalitas lebih banyak berkaitan dengan proses

 patofisiologi pada penyakit primernya, seperti diabetes atau lupus, meskipun

5

Page 6: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 6/41

dalam nefropati diabetikum, besarnya proteinuria itu sendiri berkaitan langsung

dengan kematian.2

Ginjal adalah organ viseral yang paling sering terlibat dalam SLE.

Meskipun hanya sekitar 50% dari pasien SLE memiliki manifestasi klinis

 penyakit ginjal yang jelas, pemeriksaan biopsi menunjukkan keterlibatan ginjal

 pada penyakit ini di hampir semua pasien. Penyakit glomerulus biasanya dialami

setelah beberapa tahun pertama onset SLE dan biasanya tanpa gejala. Gagal ginjal

akut atau kronis dapat menyebabkan gejala yang berhubungan dengan uremia dan

kelebihan cairan. Penyakit nephritis akut dapat bermanifestasi sebagai hipertensi

dan hematuria.3,4 Prevalensi yang dilaporkan dari SLE dalam populasi umum

adalah 52 kasus per 100.000.5 Meskipun sebelum tahun 1955 angka harapan hidup

5 tahun adalah kurang dari 50%, SLE memiliki angka harapan hidup 10 tahun

rata-rata melebihi 90%.4,6,7 

Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 20 tahun

yang didiagnosis sindroma nefrotik akibat systemic lupus erythematosus dengan

anemia ringan. Pasien dirawat dari tanggal 5 Juli s/d 9 Agustus 2010 di bangsal

Penyakit Dalam Wanita RSUD Ulin Banjarmasin.

6

Page 7: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 7/41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1. Sindroma nefrotik 

Sindroma nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai adanya proteinuria,

hipoalbuminemia, dan edema. Rentang proteinuria sindroma nefrotik adalah 3

gram/24 jam atau lebih. Pada pengambilan urin sewaktu, nilai rentang ini menjadi

2 gram protein per gram kreatinin urin.1

 

7

Page 8: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 8/41

Gambar 1. Skema barier glomerulus ginjal.1

 

2.1.1. Etiologi

Sindrom nefrotik dapat bersifat primer akibat dari kondisi spesifik pada

ginjal, atau dapat bersifat sekunder, sebagai manifestasi penyakit sistemik pada

ginjal. Pada semua kasus, cedera pada glomerulus adalah gambaran definitif yang

 penting pada penyakit ini. Adapun penyebab primer dari sindroma nefrotik antara

lain (diurutkan sesuai angka kejadian perkiraan): 1) Minimal-change nephropathy;

2)  Focal glomerulosclerosis; 3)  Membranous nephropathy; dan 4)  Hereditary

nephropathies. Sedangkan penyebab sekunder meliputi (diurutkan sesuai angka

kejadian perkiraan): 1) Diabetes mellitus, 2) Lupus erythematosus, 3) Amiloidosis

dan paraproteinemia; 4) Infeksi virus (misalnya, hepatitis B, hepatitis C, human

immunodeficiency virus [HIV]); dan 5 ) Preeklamsia.1

 

8

Page 9: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 9/41

Gambar 2. Insidensi penyebab umum sindroma nefrotik.

1

 

2.1.2. Diagnosis

Tanda pertama dari sindroma nefrotik pada anak-anak biasanya adalah

edema pada wajah, hal ini kemudian diikuti oleh edema seluruh tubuh. Sedangkan

orang dewasa dapat memperlihatkan edema dependen. Kencing berbusa juga

dapat muncul sebagai salah satu gambaran klinisnya. Komplikasi trombotik,

seperti deep vein thrombosis dari vena tungkai atau bahkan embolus paru, dapat

menjadi petunjuk pertama adanya sindroma nefrotik. Tambahan gambaran klinis

lainnya dapat pula dikaitkan dengan penyebab sindroma nefrotik. Dengan

demikian, riwayat dimulainya penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid

(NSAID) baru ini atau riwayat diabetes selama 10 tahun juga sangat relevan

dengan penyakit ini. Edema adalah gambaran klinis utama dari sindroma nefrotik 

dan awalnya berkembang di sekitar mata dan kaki. Seiring waktu, edema menjadi

umum dan mungkin terkait dengan peningkatan berat badan, timbulnya ascites,

atau efusi pleura. Hematuria dan hipertensi dapat terjadi pada sebagian kecil

 pasien. Gambaran klinis tambahan pada saat pemeriksaan akan bervariasi sesuai

9

Page 10: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 10/41

dengan penyebab dan sebagai akibat apakah dari gangguan fungsi ginjal atau

tidak. Jadi, dalam kasus diabetes kronis, mungkin pula didapatkan retinopati

diabetikum, yang berkorelasi erat dengan nefropati diabetikum. Jika fungsi ginjal

 berkurang, mungkin ada hipertensi dan/atau anemia.1

Urinalisis adalah pemeriksaan laboratorium pertama yang digunakan

dalam mendiagnosis sindroma nefrotik. Proteinuria nefrotik akan terlihat sebagai

3+ atau 4+ pada bacaan dipstick atau dengan pemeriksaan semikuantitatif oleh

asam sulfosalisilat. Secara kuantitatif, bacaan 3+ dapat berarti 300 mg/dL protein

urin atau lebih yang sama dengan 3 g/L atau lebih, dan dengan demikian, masuk 

dalam rentang proteinuria nefrotik. Susunan kimia dipstick mendeteksi urin

sedemikian rupa sehingga hanya albumin yang menjadi protein utama yang diuji.

Adanya glukosuria dapat menjadi petunjuk adanya diabetes. Pemeriksaan sedimen

urin dapat menunjukkan sel dan/atau cast . Waxy cast merupakan penanda adanya

 penyakit ginjal proteinurik. Dengan menggunakan mikroskop polarisasi,

 pemeriksa dapat melihat oval fat bodies dan juga fatty cast . Hal ini menunjukkan

adanya sindroma nefrotik yang terjadi karena filtrasi glomerulus dari lipoprotein

dimana penyerapan oleh sel-sel tubulus kemudian masuk ke dalam urin. Dilihat

dari polarizer, oval fat bodies dan  fatty cast  menyebabkan adanya gambaran

" Maltese cross". Adanya lebih dari 2 sel darah merah per lapangan pandang

 berdaya tinggi merupakan indikasi adanya mikrohematuria. Mikrohematuria dapat

terjadi pada membranous nefropathy tetapi tidak ada pada minimal-change

nefropathy. Penyakit glomerulus memungkinkan sel darah merah untuk melintasi

membran basal glomerulus yang telah rusak dan sel darah merah dalam sedimen

10

Page 11: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 11/41

kemudian dapat menjadi cacat atau dismorfik. Hal ini menunjukkan adanya

 penyakit glomerulus dengan peradangan dan kerusakan pada struktur normal,

yaitu nefritis sehingga disebut gambaran nephritis. Hal ini dapat terjadi, misalnya,

 pada sindroma nefrotik yang berhubungan dengan nefropati IgA atau

glomerulonefritis proliferatif. Lebih dari 2 cast granular di seluruh sedimen

merupakan penanda biologis adanya penyakit parenkim ginjal. Cast granular 

 bermacam kaliber juga menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal.1 Protein

urin diperiksa dengan urin sewaktu atau kolektif.8

Urin kolektif biasanya dilakukan selama 24 jam, mulai pukul 7 pagi

hingga pada hari berikutnya pada pukul yang sama. Pada individu yang sehat,

tidak boleh ada lebih dari 150 mg protein total dalam urin kolektif 24 jam.

Sedangkan pengumpulan urin sewaktu lebih mudah untuk didapatkan. Jika rasio

 protein urin dan kreatinin urin lebih besar dari 2 g/g, maka hal ini sesuai dengan 3

gram protein urin per hari atau lebih. Tipe spesifik protein urin masih menjadi

topik yang disoroti saat ini. Hal ini dapat diuji dengan elektroforesis protein urin.

Proteinuria yang tidak termasuk albumin akan menunjukkan adanya overflow

 proteinuria yang terjadi di paraproteinemia, seperti multiple myeloma. Dalam

kasus proteinuria yang selektif, terdapat kebocoran selektif albumin pada barier 

glomerulus, sedangkan proteinuria yang non-selektif akan menunjuk pada cedera

glomerulus yang lebih besar dan mungkin juga memberikan respon yang lebih

rendah untuk terapi prednison.1 

Pemeriksaan serum untuk fungsi ginjal juga sangat penting. Kreatinin

serum akan berada dalam kisaran normal pada sindroma nefrotik tanpa

11

Page 12: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 12/41

komplikasi, seperti yang terjadi pada minimal-change nephropathy. Pada anak-

anak, kadar serum kreatinin ini akan lebih rendah daripada pada orang dewasa.

Kadar kreatinin serum dewasa normal adalah sekitar 1 mg/dL, sedangkan seorang

anak berusia 5 tahun akan menjadi sekitar 0,5 mg/dL. Nilai tinggi ini

menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Kadar serum albumin rendah pada

sindroma nefrotik klasik, yaitu di bawah kisaran normal 3,5-4,5 g/dL.1 Penelitian

di satu centre tunggal menunjukkan bahwa ketika kadar serum albumin pasien

normal, maka  focal glomerulosclerosis, dan bukan kondisi lain, cenderung

menjadi penyebab sindroma nefrotik.9

 

2.1.3. Terapi

Prinsip-prinsip terapi untuk gejala akut pada orang dewasa dengan

sindrom nefrotik adalah sama dengan anak-anak. Diuretik akan sangat

dibutuhkan, seperti furosemid, spironolactone, dan bahkan metolazone. Deplesi

volume mungkin terjadi pada penggunaan diuretik, yang harus dipantau dengan

menilai gejala, berat badan, denyut nadi, dan tekanan darah. Antikoagulan telah

dianjurkan oleh beberapa klinis untuk digunakan dalam pencegahan komplikasi

tromboembolik tetapi penggunaannya dalam pencegahan primer masih belum

terbukti. Agen hypolipidemic dapat pula digunakan tetapi jika sindroma nefrotik 

tidak dapat dikendalikan maka akan terjadi hiperlipidemia persisten. Pada

sindroma nefrotik sekunder, seperti yang terkait dengan nefropati diabetikum,

angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan/atau angiotensin II receptor 

blocker telah secara luas digunakan. Hal ini dapat mengurangi proteinuria dengan

12

Page 13: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 13/41

mengurangi tekanan darah sistemik dan dengan mengurangi tekanan

intraglomerulus serta dengan aksi langsung pada podocytes. Terapi spesifik 

sindroma nefrotik tergantung pada penyebab penyakit ini. Jadi,

glukokortikosteroid, seperti prednison, daapt pula digunakan untuk nefropati

minimal-change nephropathy. Prednison dan siklofosfamid berguna dalam

 beberapa bentuk nephritis lupus. Amiloidosis sekunder akibat sindroma nefrotik 

akan berespon dengan pengobatan anti-inflamasi untuk penyakit primer.1

 

2.1.4. Komplikasi

Infeksi merupakan masalah utama dalam sindroma nefrotik, pasien rentan

terhadap infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia

coli, dan bakteri gram negatif lainnya. Infeksi varicella juga umum terjadi.

Komplikasi infeksi yang paling umum adalah sepsis, selulitis, pneumonia, dan

 peritonitis. Hipotesis untuk penjelasan komplikasi ini antara lain penurunan kadar 

imunoglobulin dimana cairan edema bertindak sebagai medium, terjadinya pula

kekurangan protein, penurunan aktivitas bakterisida dari leukosit, terapi

imunosupresif, penurunan perfusi limpa akibat hipovolemia, dan kehilangan

faktor komplemen di urin (faktor properdin B) yang opsonisasi bakteri tertentu.1

 

Beberapa lipoprotein serum akan disaring di glomerulus yang

menyebabkan lipiduria dan temuan klasik  oval fat bodies dan  fatty cast  pada

sedimen urin.1 Terjadinya hiperlipidemia dapat dianggap sebagai tanda khas

sindroma nefrotik, bukan hanya komplikasi. Hal ini terkait dengan

hipoproteinemia dan tekanan onkotik serum yang rendah pada sindroma nefrotik 

13

Page 14: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 14/41

yang kemudian menyebabkan sintesis protein yang reaktif di hati, termasuk 

lipoprotein.10

Penyakit vaskular aterosklerotik tampaknya terjadi dengan frekuensi yang

lebih besar pada individu dengan sindroma nefrotik daripada individu sehat pada

usia yang sama. Curry dan Roberts menunjukkan bahwa frekuensi dan luasnya

 penyakit arteri koroner stenosis lebih besar pada pasien dengan sindroma nefrotik 

dibandingkan subjek kontrol non-nefrotik. Ketika penelitian mereka diterbitkan

(1977), perlakuan penurunan lipid kurang banyak digunakan daripada sekarang.

Dengan demikian, kolesterol total serum rata-rata tertinggi dalam seri penelitian

ini lebih dari 400 mg/dL. Nilai tersebut masuk dalam rentang nilai kolesterol

serum pada hiperkolesterolemia familial, yaitu penyakit yang mempengaruhi

individu untuk mengalami infark miokard.11

Hipokalsemia umum terjadi pada sindroma nefrotik yang biasanya

disebabkan oleh kadar serum albumin yang rendah. Kepadatan tulang yang rendah

dan histologi tulang yang abnormal telah dilaporkan pula dalam kaitannya dengan

sindroma nefrotik. Hal ini dapat disebabkan oleh hilangnya vitamin D terikat

 protein lewat urin dengan konsekuensi hipovitaminosis D, dan sebagai akibatnya,

mengurangi penyerapan kalsium usus. Tessitore et al melaporkan bahwa ketika

GFR itu normal, subjek dengan sindroma nefrotik tidak memiliki kadar kalsium

yang konsisten maupun kelainan tulang. Namun dalam penelitian yang sama,

ketika GFR tersebut menurun, telah ditemukan defek mineralisasi tulang yang

ditemukan oleh biopsi.12

14

Page 15: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 15/41

Penelitian berikutnya kemudian menemukan adanya osteomalacia pada

 biopsi tulang di lebih dari separuh orang dewasa yang telah berlangsung lama

mengalami sindroma nefrotik dengan GFR yang dijaga tetap normal.13 Komplikasi

lebih lanjut dapat berasal dari terapi, khususnya prednison. Massa tulang yang

rendah dapat pula ditemukan dalam kaitannya dengan dosis kumulatif steroid. 14

Seperti dilaporkan oleh Leonard et al pada tahun 2004, pengobatan kortikosteroid

intermiten pada kanak-kanak dengan sindroma nefrotik yang sensitif steroid

tampaknya tidak dikaitkan dengan defisit mineral tulang. Ada kemungkinan

 bahwa lamanya durasi sindroma nefrotik atau pemberian terapinya adalah faktor 

risiko yang penting terjadinya penyakit tulang pada pasien.15

Hipovolemia terjadi ketika keadaan hipoalbuminemia menurunkan

tekanan onkotik plasma yang berakibat pada hilangnya cairan plasma ke

intersititium dan menyebabkan penurunan volume darah yang bersirkulasi.

Hipovolemia umumnya didapati hanya jika kadar albumin pasien kurang dari 1,5

g/dL. Gejalanya meliputi muntah, nyeri perut, dan diare. Tanda-tanda dapat

 berupa akral dingin, pengisian kapiler yang tertunda, oliguria, dan takikardia.

Sedangkan hipotensi merupakan gambaran klinis yang lebih lambat muncul.

Gagal ginjal akut dapat mengindikasikan adanya glomerulonefritis tetapi lebih

sering dipicu oleh hipovolemia atau sepsis. Edema dari ginjal diduga akibat dari

 penurunan GFR yang disebabkan oleh turunnya tekanan darah. Sedangkan

hipertensi berhubungan dengan retensi cairan dan penurunan fungsi ginjal yang

terjadi. Gagal tumbuh mungkin terjadi pada pasien dengan edema kronis,

termasuk ascites dan efusi pleura. Gagal tumbuh dapat disebabkan oleh anoreksia,

15

Page 16: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 16/41

hipoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau komplikasi infeksi.

Edema usus dapat menyebabkan gangguan penyerapan yang menyebabkan

kekurangan gizi kronis.1

 

2.2. Systemic lupus erythematosus (SLE)

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada

multi sistem organ dengan banyak manifestasi klinis dan imunologis. Hal ini

ditandai oleh adanya respon autoantibodi untuk antigen nuklear dan sitoplasmik.

Penyakit ini terutama melibatkan kulit, sendi, ginjal, sel darah, dan sistem saraf. 3

 

2.2.1. Diagnosis

Trias demam, nyeri sendi, dan ruam pada wanita usia subur menimbulkan

kecurigaan adanya systemic lupus erythematosus (SLE). Ketiga gejala ini

merupakan beberapa gejala yang paling sering ditemukan pada pasien dengan

lupus.16,17 Kriteria diagnostik untuk SLE dari  American College of Rheumatology

terakhir diperbaharui pada tahun 1997. Kriteria tersebut telah tercantum pada

 bawah ini.18,19

 

Tabel 1. Kriteria diagnostik SLE tahun 1997 dari American College of Rheumatology.

Kriteria Definisi

1. Ruam malar Eritema menetap, rata atau meninggi, di atas eminensia malar, yang

cenderung mengenai lipatan nasolabial

2. Ruam diskoid Makula eritematosa yang meninggi dengan skala keratotik adheren dansumbatan folikel (jaringan parut atrofik dapat terjadi pada lesi lama)

3. Fotosensitif Ruam kulit akibat reaksi sinar matahari yang tidak biasa, berdasarkananamnesis pasien atau pengamatan dokter 

4. Ulserasi oral Ulserasi oral atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, yang diamati oleh dokter 

5. Radang sendi Arthritis non-erosive yang melibatkan ≥2 sendi perifer, yang ditandai olehnyeri, bengkak, atau efusi

6. Serositis (A) Pleuritis: Pastikan riwayat berhubunga dengan nyeri pleuritik atau bunyi

16

Page 17: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 17/41

menggosok oleh dokter atau adanya bukti efusi pleura

ATAU

(B) Perikarditis: Terdokumentasi dari EKG atau bunyi menggosok atau buktiefusi perikardial

7. Gangguan ginjal (A) Persistent proteinuria >0,5 g/hari atau >3+ jika tidak dilakukan kuantisasi

ATAU

(B) Cellular cast: Mungkin sel darah merah, hemoglobin, granular, tubular,

atau campuran

8. Gangguan saraf (A) Kejang: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau kekacauan metabolik 

misalnya, uremia, ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolitATAU

(B) Psikosis: Tanpa adanya konsumsi obat-obatan atau kekacauan metabolik misalnya, uremia, ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit

9. Gangguan darah (A) Hemolytic anemia: Dengan retikulositosis

ATAU(B) Leukopenia: <4000/mm3 pada ≥ 2 kali pemeriksaan

ATAU

(C) Limfopenia: <1500/mm3 pada ≥ 2 kali pemeriksaanATAU

(D) Trombositopenia: <100.000/mm3 tanpa adanya obat-obatan

10. Gangguan imun (A) Anti-DNA: Antibodi untuk DNA asli dalam titer abnormal

ATAU

(B) Anti-Sm: Adanya antibodi terhadap antigen Sm nuklear ATAU

(C) Temuan positif antibodi antifosfolipid berdasarkan: (1) tingkat IgG

serum abnormal atau antibodi IgM anticardiolipin, (2) hasil tes positif untuk 

antikoagulan lupus dengan menggunakan metode standar, atau (3) sero- positif palsu untuk tes sifilis positif paling tidak selama 6 bulan dandikonfirmasi dengan imobilisasi Treponema pallidum atau tes penyerapan

fluorensens terhadap antibodi treponemal

11. Ab antinuklear Suatu titer antibodi antinuclear yang abnormal berdasarkan pemeriksaan

immunofluorescence pada setiap titik waktu dan tidak ada obat yangdiketahui terkait dengan sindroma lupus yang diinduksi obat

Seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada 4 atau lebih dari 11 kriteria di atas, secara

 serial atau bersamaan, selama interval pengamatan.

 

17

Page 18: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 18/41

Gambar 3. Ruam malar klasik pada SLE:  Butterfly rash di pipi dan jembatan hidung.3, 4

 

2.2.2. Terapi

Terapi systematic lupus erythematosus (SLE) tergantung pada tingkat

keparahan penyakit. Tindak lanjut secara periodik dan pemeriksaan laboratorium,

seperti urinalisis, darah lengkap dengan hitung diferensial, dan kreatinin, penting

dilakukan untuk mendeteksi gejala-gejala dan tanda-tanda keterlibatan organ-

sistem baru dan untuk memantau respon atau efek samping terapi. Setidaknya

diperiksa setiap 3 bulan sekali.  European League Against Rheumatism (EULAR)

 baru-baru ini merilis rekomendasi baru untuk terapi SLE. Rekomendasi terapi

untuk SLE tergantung pada manifestasi penyakit yang timbul.4

Secara umum, gejala seperti demam, manifestasi kulit, manifestasi

muskuloskeletal, dan serositis merupakan gejala pada penyakit ringan, yang

mungkin berkurang seiring aktivitas penyakit. Keadaan ini dapat dikontrol dengan

 pemberian obat steroid potensi rendah atau durasi singkat. Keterlibatan SSP dan

 penyakit ginjal harus diakui sebagai manifestasi penyakit yang lebih parah dan

18

Page 19: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 19/41

sering diobati dengan imunosupresi yang lebih agresif. Darurat akut pada SLE

antara lain termasuk keterlibatan neurologis yang berat, vaskulitis sistemik,

trombositopenia dengan sindroma mirip TTP, glomerulonefritis progresif akut,

dan perdarahan alveolar difus. Keadaan-keadaan ini dapat diobati dengan steroid

dosis tinggi intravena dan terapi sitotoksik seperti siklofosfamid. Dalam kasus

yang jarang terjadi, seperti TTP, pendarahan alveolar difus, atau trombositopenia

refraktori steroid berturut-turut membutuhkan transfusi plasma atau terapi dengan

intravena immunoglobuline (IVIG). Sindroma katastrofik antibodi antifosfolipid

 juga mengharuskan terapi akut yang agresif.4

Tindakan perawatan preventif untuk pasien dengan SLE diperlukan untuk 

meminimalkan risiko osteoporosis akibat steroid dan penyakit aterosklerosis yang

 progresif. Pedoman dari ACR dapat digunakan untuk mencegah osteoporosis

akibat glukokortikosteroid ini yang menunjukkan langkah-langkah klasik terapi

dan pertimbangan perlu/tidaknya terapi profilaksis dengan bifosfonat.4 Baru-baru

ini, banyak peneliti yang menyusun pedoman pencegahan kardiovaskuler yang

menyamakan SLE sebagai CAD dengan risiko setara dengan diabetes mellitus.

Hal ini didasarkan pada sebesar 13-15% pada pasien dengan SLE aktif 

dibandingkan dengan angka kejadian koroner dalam 10 tahun tahun sebesar 

18,8% pada pasien yang diketahui CAD.20

BAB III

19

Page 20: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 20/41

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas pasien

 Nama : Ny. S

Umur : 20 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Pulang Pisau , Kal-Teng

MRS : 5 Juli 2010 pukul 20.00 WITA

RMK : 79-07-10

3.2. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Juli 2010.

3.2.I KELUHAN UTAMA

 Nyeri perut.

3.2,II RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien sudah mengeluh nyeri

 perut disertai merasa lemah. Pasien juga mengalami demam sejak 5 hari

sebelum masuk rumah sakit dan sedikit buang air kecil. Pasien juga

mengeluhkan nyeri setelah buang air kecil. Nafsu makan mulai menurun

karena pasien sering merasa mual. Pasien juga mengaku muka menjadi

20

Page 21: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 21/41

kemerahan bila terpapar sinar matahari. Pasien juga mengeluhkan sering

sariawan. Pasien mengeluhkan nyeri dada tiap kali berpindah posisi tidur.

3.2.III RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit Diebetes Melitus, Hipertensi

dan Asma.

3.2.IV RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

  Pasien mengaku Di keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit

Diabetes Meilitus, Hipertensi, dan Asma.

 

3.3. Pemeriksaan fisik 

Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Juli 2010.

Tanda vital

Kesadaran : Compos mentis GCS : 4-5-6

Tekanan darah : 110/70 mm Hg

Laju nadi : 88 kali/menit

Laju nafas : 22 kali/menit

Suhu tubuh (aksiler) : 35,6oC

Kepala dan leher 

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema

 periorbita (+/+), konj. palpebra hiperemis (-/-)

Leher : Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-/-)

Toraks

Pulmo I : Tarikan nafas simetris

21

Page 22: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 22/41

P : Fremitus raba simetris

P : Suara perkusi sonor (+/+)

A : Suara nafas vesikuler, rhonkii (-/-), wheezing (-/-)

Jantung I : Ictus cordis (+), voussure cardiaque (-)

P : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula,

getaran/ thrill (-)

P : Suara perkusi pekak, batas kanan ICS III, IV, V

linea parasternalis dextra , batas kiri ICS V linea

midclavicula sinistra

A : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar 

suara bising

Abdomen

Inspeksi : Cembung, distensi (-), venektasi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Turgor cepat kembali, nyeri tekan epigastrik (+),

hepar, lien, massa tidak teraba

Perkusi : Timpani

Eksremitas

Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

3.4. Pemeriksaan penunjang

22

Page 23: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 23/41

Tabel 2. Hasil pemeriksaan darah rutin tanggal 5 Juli 2010.

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

Hemoglobin 8,3 12,0-16,0 g/dL

Lekosit 4.500 4.000-10.500 /uL

Eritrosit 3,03 3,90-5,50 juta/uL

Trombosit 155.000 150.000-450.000 /uL

MCV 77,3 80,0-97,0 fl

MCH 27,4 27,0-32,0 pg

MCHC 35,5 32,0-38,0 %

Tabel 3. Hasil pemeriksaan urin rutin tanggal 5 Juli 2010.

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

Protein/albumin 3+  Negatif 

Darah samar  3+  Negatif 

 Nitrit Positif   Negatif 

Sedimen lekosit 8-10 0-3 /LPB

Sedimen eritrosit Banyak  0-2 /LPB

3.5. Daftar abnormalitas

Beberapa abnormalitas pada kasus ini adalah sebagai berikut:

- Edema periorbita

- Nyeri epigastrik 

- Buang air besar dan kecil berdarah

- Demam

- Ruam malar  

- Nyeri sendi lutut kanan

- Anemia mikrositik hipokromik 

- Peningkatan enzim liver 

23

Page 24: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 24/41

- Hiperbilirubinemia

3.6. Rencana awal

1. Edema periorbita

a.  Assessment  : 1. Sindroma nefrotik 

2. Konjungtivitis papilar 

 b.  Planning  : 1. Diagnostik : Albumin darah, kolesterol darah,

 protein urin

2. Terapetik : Methylprednisolon, transfusi

albumin, simvastatin

3. Monitoring : Edema, asites, tanda efusi pleura

4. Edukasi : Tidak terlalu banyak asupan air  

maupun makanan asin atau

 berlemak, disiplin jadwal obat

2. Nyeri epigastrik 

a.  Assessment  : 1. Dispepsia

2. Hepatitis

 b.  Planning  : 1. Diagnostik : LFT, USG abdomen

2. Terapetik : Ranitidin

3. Monitoring : Nyeri ulu hati

4. Edukasi : Tidak mengonsumsi makanan asam

atau pedas, disiplin waktu makan

24

Page 25: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 25/41

3. Buang air besar dan kecil berdarah

a.  Assessment  : 1. Perdarahan spontan ec. gangguan pembekuan darah

2. Perdarahan lambung dengan ISK 

 b.  Planning  : 1. Diagnostik : PT/APTT, urin rutin, USG abdomen

2. Terapetik : Asam traneksamat

3. Monitoring : KU, tanda vital, BAB, dan BAK 

4. Edukasi : Tidak mengonsumsi makanan asam

atau pedas, tirah baring

4. Demam, ruam malar dan nyeri sendi lutut kanan

a.  Assessment  : 1. Nefritis lupus (SLE) dengan infeksi sekunder 

2. Hepatitis dengan osteoartritis genu dekstra

 b.  Planning  : 1. Diagnostik : Anti ds-DNA IgG, LFT, USG abd.

2. Terapetik : Methylprednisolon, cefotaxime,

antrain

3. Monitoring : Suhu aksiler, ruam, nyeri sendi

4. Edukasi : Tirah baring

5. Anemia mikrositik hipokromik 

a.  Assessment  : 1. Anemia ec. perdarahan

2. Anemia defisiensi besi

3. Anemia hemolitik 

 b.  Planning  : 1. Diagnostik : Kadar Hb, besi serum, MDT

2. Terapetik : Transfusi PRC

25

Page 26: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 26/41

3. Monitoring : KU, tanda vital, kadar Hb

4. Edukasi : Penjelasan mengenai keadaan

 pasien ini, penanganan, prognosis

6. Peningkatan enzim liver dan hiperbilirubinemia

a.  Assessment  : 1. Hepatitis (lupus)

2. Heart attack  dengan anemia hemolitik 

 b.  Planning  : 1. Diagnostik : LFT, bilirubin serum, EKG, MDT

2. Terapetik : Curcuma

3. Monitoring : KU, tanda vital, LFT

4. Edukasi : Tirah baring

3.7. Evaluasi

Tanggal 6 Juli 2010

Problem: Anemia mikrositik hipokromik 

a. Subjective : Lelah (-), lesu (-)

 b. Objective :

TD = 110/70 mm Hg RR = 20 kali/menit

 N = 80 kali/menit T = 36,5oC

Kulit pucat (-), konjungtiva anemis (-)

Tabel 4. Hasil pemeriksaan hemoglobin tanggal 6 Juli 2010.

26

Page 27: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 27/41

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

Hemoglobin 11,6 12,0-16,0 g/dL

c.  Assessment  : Anemia (terkoreksi)

1. ec. perdarahan

2. ec. defisiensi besi

3. ec. hemolitik 

d.  Planning  : 1. Diagnostik : Tetap

2. Terapetik : -

3. Monitoring : -

4. Edukasi : Tetap

Tanggal 12 Juli 2010

Problem: Edema periorbita

a. Subjective : BAK keruh (+), sesak (-)

 b. Objective :

TD = 100/60 mm Hg RR = 18 kali/menit

 N = 78 kali/menit T = 36,4oC

Edema periorbita (+)

Rhonkii (-/-)

Asites (-)

Edema ekstremitas (-/-)

Tabel 5. Hasil pemeriksaan albumin dan kolesterol darah tanggal 7 Juli 2010.

27

Page 28: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 28/41

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

Kolesterol total 208 131-250 mg/dL

Albumin 2,4 3,9-4,4 g/dL

Tabel 6. Hasil pemeriksaan protein urin tanggal 12 Juli 2010.

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

Protein/albumin 3+  Negatif 

c.  Evaluation : Sindroma nefrotik (masih hipoalbuminemia dan

 proteinuria)

d.  Planning  : 1. Diagnostik : -

2. Terapetik : Tetap

3. Monitoring : Edema, asites, tanda efusi pleura

4. Edukasi : Tetap

Tanggal 18 Juli 2010

Problem: Nyeri epigastrik 

a. Subjective : Nyeri ulu hati (-), mual/muntah (-/-)

 b. Objective :

TD = 100/70 mm Hg RR = 20 kali/menit

 N = 82 kali/menit T = 36,5oC

 Nyeri tekan epigastrik (-)

Tabel 7. Hasil pemeriksaan LFT tanggal 6 Juli 2010.

28

Page 29: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 29/41

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

SGOT 49 16-40 U/I

SGPT 20 8-45 U/I

Tabel 8. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.

ULTRASONOGRAFI ABDOMEN

Hepar/lien/gallbladder  tidak tampak kelainan, pembesaran KGBregional (-), asites (-)

Ren dekstra et sinistra tidak tampak kelainan

Vesica urinaria tidak tampak massa

Kesimpulan: Neurogenic bladder?

c.  Evaluation : Dispepsia (membaik)

d.  Planning  : 1. Diagnostik : -

2. Terapetik : Ranitidin (stop)

3. Monitoring : -

4. Edukasi : Tetap

Problem: Buang air besar dan kecil berdarah

a. Subjective : Nyeri ulu hati (-), BAB darah (-), BAK darah (+)

 b. Objective :

TD = 100/70 mm Hg RR = 20 kali/menit

 N = 82 kali/menit T = 36,5oC

 Nyeri tekan epigastrik (-)

29

Page 30: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 30/41

Tabel 9. Hasil pemeriksaan urinalisis tanggal 12 Juli 2010.

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

Darah samar  3+  Negatif 

 Nitrit Positif   Negatif 

Sedimen lekosit 8-10 0-3 /LPB

Sedimen eritrosit Banyak  0-2 /LPB

Tabel 10. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.

ULTRASONOGRAFI ABDOMEN

Hepar/lien/gallbladder  tidak tampak kelainan, pembesaran KGB

regional (-), asites (-)Ren dekstra et sinistra tidak tampak kelainan

Vesica urinaria tidak tampak massa

Kesimpulan: Neurogenic bladder?

c.  Evaluation : ISK dan perdarahan lambung (membaik)

d.  Planning  : 1. Diagnostik : -

2. Terapetik : Levofloxacin

3. Monitoring : KU, tanda vital, dan BAK 

4. Edukasi : Tidak lama menahan kencing

Tanggal 20 Juli 2010

Problem: Peningkatan enzim liver dan hiperbilirubinemia

a. Subjective : Demam (-), nyeri perut(+)

 b. Objective :

TD = 140/100 mm Hg RR = 20 kali/menit

 N = 104 kali/menit T = 36,1oC

Tabel 11. Hasil pemeriksaan bilirubin darah dan LFT tanggal 20 Juli 2010.

30

Page 31: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 31/41

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

Bilirubin total 1,24 0,20-1,20 Mg/dL

Bilirubin direk  0,61 0,00-0,50 Mg/dL

Bilirubin indirek  0,63 0,20-0,60 Mg/dL

SGOT 203 16-40 U/I

SGPT 305 8-45 U/I

c.  Assessment  : Hepatitis (lupus)

d.  Planning  : 1. Diagnostik : EKG, MDT

2. Terapetik : Curcuma

3. Monitoring : Tetap

4. Edukasi : Tetap

Tanggal 23 Juli 2010

Problem: Demam, ruam malar dan nyeri sendi lutut kanan

a. Subjective :

“Sejak ½ bulan lalu, sempat muncul ruam berwarna hitam yang

mengelupas di kulit pipi dan pasie mengaku pernah sering sesak 

nafas sebelum masuk rumah sakit. Selama ini, pasien telah

mengalami penurunan berat badan dari 42 kg menjadi 35 kg.”

 b. Objective :

TD = 100/70 mm Hg RR = 20 kali/menit

 N = 82 kali/menit T = 36,5oC

Tabel 12. Hasil pemeriksaan USG tanggal 18 Juli 2010.

31

Page 32: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 32/41

ULTRASONOGRAFI ABDOMEN

Hepar/lien/gallbladder  tidak tampak kelainan, pembesaran KGBregional (-), asites (-)

Ren dekstra et sinistra tidak tampak kelainan

Vesica urinaria tidak tampak massa

Kesimpulan: Neurogenic bladder?

Tabel 13. Hasil pemeriksaan LFT tanggal 20 Juli 2010.

Pemeriksaan Hasil Referensi Satuan

SGOT 203 16-40 U/I

SGPT 305 8-45 U/I

Tabel 14. Hasil pemeriksaan imunoserologi tanggal 23 Juli 2010.

Anti ds-DNA IgG (EIA) = 335,25 IU (positif kuat)

Skor SLE

- Kejang (-)

- Arthritis (+) lutut

kanan (sudah ada

mulai ½ bulan lalu)

- Ruam malar (+)

- Ruam diskoid (-)

- Fotosensitif (-)

- Ulserasi (-)

- Serositis (-)

- Kelainan ginjal (-)

- Kelainan hematologi (-)

- Kelainan imun (-)

- ANA (+)

Kesimpulan: Skor SLE +3

c.  Evaluation : SLE (nefritis dan hepatitis lupus ) + infeksi sekunder 

d.  Planning  : 1. Diagnostik : -

2. Terapetik : Methylprednisolon, cefotaxime,

antrain

32

Page 33: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 33/41

3. Monitoring : KU, tanda vital, komplikasi SLE

4. Edukasi : Tirah baring

BAB IV

PEMBAHASAN

 

Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai adanya proteinuria,

hipoalbuminemia, dan edema. Meskipun ketiga kriteria definitif di atas banyak 

mengandalkan pemeriksaan fisik dan laboratorik, pada kasus ini, pasien tetap

dilakukan anamnesis untuk menelusuri perjalanan penyakitnya. Dari anamnesis,

informasi yang didapatkan tidak mengarah langsung ke sindroma nefrotik.

Informasi tersebut antara lain nyeri perut, lemah, demam, sedikit buang air kecil,

 penurunan nafsu makan dan mual. Secara teoritis, tanda pertama dari sindroma

nefrotik pada anak-anak biasanya adalah edema pada wajah, hal ini kemudian

diikuti oleh edema seluruh tubuh. Sedangkan orang dewasa dapat memperlihatkan

edema dependen. Edema adalah gambaran klinis utama dari sindroma nefrotik dan

awalnya berkembang di sekitar mata dan kaki. Namun, hal ini tidak ditemukan di

anamnesis. Gambaran klinis tambahan pada saat pemeriksaan akan bervariasi

sesuai dengan penyebab dan sebagai akibat apakah dari gangguan fungsi ginjal

atau tidak. Gejala yang mungkin berkaitan dengan hal ini adalah demam, sedikit

 buang air kecil, penurunan nafsu makan dan mual.

33

Page 34: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 34/41

Pada tanggal 19 Juli 2010, terdapat beberapa informasi tambahan yang

mungkin mengarah kepada salah satu dari 3 penyebab terbanyak sindroma

nefrotik sesuai dengan grafik pada Gambar 2 di atas tentang insidensi penyebab

sekunder sindroma nefrotik, yaitu systemic lupus erythematosus (SLE). Dari

anamnesis tambahan tersebut, didapatkan adanya riwayat ruam berwarna hitam

yang mengelupas di kulit pipi dan pasien mengaku pernah sering sesak nafas

sebelum masuk rumah sakit. Selama ini, pasien telah mengalami penurunan berat

 badan dari 42 kg menjadi 35 kg. Trias demam, nyeri sendi, dan ruam pada wanita

usia subur menimbulkan kecurigaan adanya systemic lupus erythematosus (SLE).

Pada kasus ini, pasien mengalami demam, nyeri sendi lutut kanan dan ruam di

wajah. Ruam tersebut merupakan suatu ruam malar seperti tergambarkan pada

Gambar 3 di atas. Sedangkan adanya sesak menunjukkan adanya efusi pleura

yang merupakan manifestasi edema pada pasien ini.

Dari pemeriksaan fisik, tanda vital pasien masih dalam batas normal.

Edema periorbita ditemukan dan dapat mendukung diagnosis sindroma nefrotik 

meskipun pada kasus ini tidak didapatkan edema eksrtremitas. Meskipun diakui

sering sesak, konfirmasi pemeriksaan fisik tidak menemukan bunyi rhonkii pada

auskultasi dinding dada. Sedangkan kelainan lainnya hanya berupa nyeri

epigastrik dan tidak ada kelainan pada pemeriksaan fisik ginjal. Hal ini tidak 

 bersifat sugestif untuk terjadinya sindroma nefrotik. Pada tanggal 20 Juli 2010,

dilakukan penilaian skor SLE untuk menegakkan diagnosis penyakit ini. Dari

 penilaian tersebut, pasien dilaporkan hanya memenuhi 2 skor, yaitu arthritis di

lutut kanan dan ruam malar. Namun demikian, penilaian ini sebenarnya tidak 

34

Page 35: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 35/41

tepat. Secara teoritis, skor untuk radang sendi terpenuhi jika terdapat arthritis non-

erosive yang melibatkan ≥2 sendi perifer, yang ditandai oleh nyeri, bengkak, atau

efusi sehingga criteria arthritis tersebut tidak memenuhi syarat system skor 

tersebut. Justru adanya proteinuria +3 yang persisten (dua kali pemeriksaan

dengan rentang satu minggu, yaitu tanggal 5 Juli 2010 dan 12 Juli 2010) masuk 

sebagai skor untuk SLE pada kasus ini. Namun demikian, kasus ini hanya

memenuhi 2 skor saja padahal seseorang dapat didiagnosis dengan SLE jika ada 4

atau lebih dari 11 kriteria di atas, secara serial atau bersamaan, selama interval

 pengamatan. Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan imunoserologi (anti ds-

DNA IgG [EIA]) dan hasilnya menunjukkan positif kuat menderita SLE. Jika

Dengan demikian, diagnosis SLE ini tegak berdasarkan sistem skor dari American

College of Rheumatology ini.

Diagnosis sindroma nefrotik pada kasus ini ditegakkan dengan

ditemukannya proteinuria (pemeriksaan urin rutin menunjukkan +3 dari dua kali

 pemeriksaan tanggal 5 Juli 2010 dan 12 Juli 2010), hipoalbuminemia (kadar 

albumin darah hanya 2,4 g/dL pada tanggal 7 Juli 2010), dan edema periorbita

yang ditemukan pada pemeriksaan fisik. Diagnosis banding diabetic neuropathy,

yang juga mengindikasikan sindroma nefrotik akibat diabetes melitus,

disingkirkan dengan hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 6 Juli 2010 dimana

nilai GDS adalah 87 mg/dL meskipun GDS sebenarnya tidak sensitif untuk 

diabetes melitus. Pemeriksaan yang sensitif sebenarnya adalah kadar HbA1c

dimana dapat menunjukkan status glikemia seseorang secara stabil dalam 3 bulan

terakhir. Harusnya pemeriksaan ini dilakukan mengingat tingginya penyebab

35

Page 36: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 36/41

sekunder akibat diabetes melitus pada sindroma nefrotik dewasa. Adanya

 penuruanan berat badan dari anamnesis mencerminkan bagaimana glukosa tidak 

dimetabolisme dengan baik sehingga sel kekurangan kalori dan menjadi ‘lapar’.

Pada kasus ini, pasien diberikan terapi suportif berupa pemberian cairan

ringer laktat dan drip Neurobion® untuk mendukung metabolisme dalam

melakukan perbaikan jaringan selama proses pengobatan. Selain itu, kandung

vitamin neurotropik pada Neurobion® dapat membantu mengatasi nyeri yang

dialami pasien. Injeksi ranitidin diberikan pada pasien untuk mengurangi asam

lambung atau dispepsia yang umum terjadi pada pasien-pasien rawat inap lama

dimana kebanyakan dari mereka mengalami ansieta akibat pengalaman sakitnya.

Ansietas ini berimbas pada gejala psikosomatik yang umumnya berupa ansietas.

Adanya pengurangan asam lambung ini juga akan mengurangi rasa mual yang

disebabkannya. Injeksi Antrain®  berisi metamizol yang bersifat antipiretika,

analgetika dab antiinflamasi kuat untuk mengatasi nyeri dan demam yang

dirasakan pasien.

Selain terapi suportif dan simptomatik di atas, pasien juga diberikan terapi

definitif sesuai diagnosis. Secara teoritis, gejala SLE seperti demam, manifestasi

kulit, manifestasi muskuloskeletal, dan serositis merupakan gejala yang ringan,

yang mungkin berkurang seiring aktivitas penyakit. Keadaan ini dapat dikontrol

dengan pemberian obat steroid potensi rendah atau durasi singkat. Pada kasus ini,

diberikan methylprednison sebagai terapi definitif yang dimaksud di atas. Untuk 

sindroma nefrotik sendiri, juga diberikan terapi ini dimana prednison dan

siklofosfamid berguna dalam beberapa bentuk nephritis lupus, seperti kasus ini.

36

Page 37: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 37/41

Diuretik akan sangat dibutuhkan, seperti furosemid, spironolactone, dan

 bahkan metolazone. Deplesi volume mungkin terjadi pada penggunaan diuretik,

yang harus dipantau dengan menilai gejala, berat badan, denyut nadi, dan tekanan

darah. Karena pada kasus ini edema sangat minimal dan tidak terbukti

menyebabkan efusi pleura, dengan mempertimbangkan rendahnya tekanan darah

rerata selama masa perawatan, maka pemberian diuretik pun tidak dilakukan.

Agen hypolipidemic dapat pula digunakan tetapi jika sindroma nefrotik tidak 

dapat dikendalikan maka akan terjadi hiperlipidemia persisten. Pada kasus ini

 pasien diberikan simvastatin sebagai agen hypolipidemic-nya.

Karena pasien memiliki nilai Hb di bawah 10 g/dL, maka diberikan pula

transfusi PRC untuk mengoreksi hal ini. Sebenarnya transfusi darah bukan tanpa

adanya komplikasi, komplikasi berupa infeksi dapat terjadi pada pasien-pasien

yang mendapat transfusi.  Port de entrée kuman pada kasus ini adalah transfusi,

 baik pemberian cairan infus, darah maupun albumin. Infeksi merupakan masalah

utama dalam sindroma nefrotik, pasien rentan terhadap infeksi Streptococcus

 pneumoniae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, dan bakteri gram negatif 

lainnya. Infeksi varicella juga umum terjadi. Untuk itu, pasien juga diberikan

antibiotik spektrum luas, seperti cefotaxime, levofloxacin atau ciprofloxacin.

Agen infeksi seperti jamur juga dapat terlibat sehingga pasien ini juga diberikan

ketoconazole. Adanya peningkatan SGOT/SGPT merupakan salah satu

kemungkinan adanya keterlibatan infeksi virus di liver atau akibat obat-obatan,

seperti ketoconacole. Untuk melindungi fungsi hati tersebut, maka pasien juga

diberikan curcuma sebagai hepatoprotektor. Pada sindroma nefrotik sekunder,

37

Page 38: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 38/41

angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan/atau angiotensin II receptor 

blocker  telah secara luas digunakan. Pada kasus ini, obat yang digunakan adalah

captopril dengan catatan pemberiannya sesuai tekanan darah yang diperiksa sesaat

sebelum obat diberikan.

Meskipun sebelum tahun 1955 angka harapan hidup 5 tahun adalah kurang

dari 50%, SLE memiliki angka harapan hidup 10 tahun rata-rata melebihi 90%

sehingga prognosis vitam kasus ini baik meskipun pasien akan terus menjalani

 pengobatan secara residif seumur hidupnya. Pada kasus ini, pasien tidak lagi

mengalami nyeri perut, demam, maupun mual. Pasien juga sudah dapat makan

dan minum serta tidak lagi memerlukan pemberian cairan intravena. Dengan

demikian, pasien ini dapat menghentikan rawat inap dan menjalani rawat jalan

hingga gejala dan tanda SLE dapat terkontrol.

38

Page 39: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 39/41

BAB V

PENUTUP

 

Telah dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 20 tahun yang

didiagnosis sindroma nefrotik akibat systemic lupus erythematosus dengan

anemia ringan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik 

dan pemeriksaan laboratorium. Pasien telah ditatalaksana dengan terapi suportif,

simptomatik dan definitif dengan pemberian methylprenisolon. Setelah pasien

dirawat selama 35 hari dari tanggal 5 Juli s/d 9 Agustus 2010 akhirnya pasien

dapat menghentikan rawat inap dan mendapat pengobatan lanjutan secara rawat

 jalan.

39

Page 40: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 40/41

DAFTAR PUSTAKA 

1. Cohen EP. Nephrotic Syndrome. Available at:

http://emedicine.medscape.com/244631-print.

2. Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al. Natural history and prognostic

factors of diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Quart J Med. 2002;95:371-7.

3. Leber MJ, Lakdawala VS. Systemic Lupus Erythematosus. Available at:

http://emedicine.medscape.com/809378-print.

4. Bartels CM, Muller D. Systemic Lupus Erythematosus. Available at:

http://emedicine.medscape.com/332244-print.

5. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus

erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus.

2006;15(5):308-18.

6. Trager J, Ward MM. Mortality and causes of death in systemic lupus

erythematosus. Curr Opin Rheumatol. Sep 2001;13(5):345-51.

7. Kasitanon N, Magder LS, Petri M. Predictors of survival in systemic lupuserythematosus. Medicine (Baltimore). May 2006;85(3):147-56.

8. Cohen EP, Lemann J. The role of the laboratory in evaluation of kidney

function. Clin Chem. 1991;37:785-796.

9. Gupta K, Iskandar SS, Daeihagh P, et al. Distribution of pathologic findings in

individuals with nephrotic proteinuria according to serum albumin. Nephrol Dial

Transplant. May 2008;23(5):1595-9.

10. Appel GB, Blum CB, Chien S, Kunis CL, Appel AS. The hyperlipidemia of 

the nephrotic syndrome. Relation to plasma albumin concentration, oncotic pressure, and viscosity. N Engl J Med. Jun 13 1985;312(24):1544-8.

11. Curry RC Jr, Roberts WC. Status of the coronary arteries in the nephrotic

syndrome. Analysis of 20 necropsy patients aged 15 to 35 years to determine if 

coronary atherosclerosis is accelerated. Am J Med. Aug 1977;63(2):183-92.

12. Tessitore N, Bonucci E, D'Angelo A, Lund B, Corgnati A, Lund B, et al. Bone

histology and calcium metabolism in patients with nephrotic syndrome and

normal or reduced renal function. Nephron. 1984;37(3):153-9.

40

Page 41: Lapsus Sle Dvinta ^_^

7/16/2019 Lapsus Sle Dvinta ^_^

http://slidepdf.com/reader/full/lapsus-sle-dvinta- 41/41

13. Mittal SK, Dash SC, Tiwari SC, Agarwal SK, Saxena S, Fishbane S. Bone

histology in patients with nephrotic syndrome and normal renal function. Kidney

Int. May 1999;55(5):1912-9.

14. Gulati S, Godbole M, Singh U, Gulati K, Srivastava A. Are children with

idiopathic nephrotic syndrome at risk for metabolic bone disease?. Am J Kidney

Dis. Jun 2003;41(6):1163-9.

15. Leonard MB, Feldman HI, Shults J, Zemel BS, Foster BJ, Stallings VA. Long-

term, high-dose glucocorticoids and bone mineral content in childhood

glucocorticoid-sensitive nephrotic syndrome. N Engl J Med. Aug 26

2004;351(9):868-75.

16. Dubois EL, Tuffanelli DL. Clinical manifestations of systemic lupuserythematosus. Computer analysis of 250 cases. JAMA. Oct 12 1964;190:104-11.

17. Harvey AM, Shulman LE, Tumulty PA, Conley CL, Schoenrich EH. Systemic

lupus erythematosus: review of the literature and clinical analysis of 138 cases.

Medicine (Baltimore). Dec 1954;33(4):291-437.

18. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothfield NF, et al. The

1982 revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus.

Arthritis Rheum. Nov 1982;25(11):1271-7.

19. Hochberg MC. Updating the American College of Rheumatology revised

criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum.

Sep 1997;40(9):1725.

20. Wajed J, Ahmad Y, Durrington PN, Bruce IN. Prevention of cardiovascular 

disease in systemic lupus erythematosus--proposed guidelines for risk factor 

management. Rheumatology (Oxford). Jan 2004;43(1):7-12.