lapsus saraf anies dyaning astuti

54
LAPORAN KASUS SARAF Ensefalitis et causa infeksi bakteri dan Otitis Eksterna Difusa Aurikula dekstra dan sinistra Oleh Anies Dyaning Astuti (H1A 010 009) SUPERVISOR : dr. Ilsa Hunaifi. Sp. S DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN SARAF 1

Upload: yuvita-dewi-priyatni

Post on 10-Dec-2015

238 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS SARAF

Ensefalitis et causa infeksi bakteri dan Otitis Eksterna Difusa Aurikula dekstra dan

sinistra

Oleh

Anies Dyaning Astuti (H1A 010 009)

SUPERVISOR :

dr. Ilsa Hunaifi. Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB

2015

1

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Ny. Sahlan

Usia : 42 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Parampuan Barat, Labu Api, Lombok Barat

Suku : Sasak

Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No. RM : 15-84-46

MRS : 11 April 2015

Tanggal pemeriksaan : 20 April 2015

B. SUBJECTIVE (HETEROANAMNESIS)

Keluhan Utama : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien dikeluhkan Demam sejak 2 minggu SMRS. Demam dikeluhkan terus menerus namun

deman dirasakan tidak terlalu tinggi. Demam tidak disertai menggigil. Demam dirasakan

sama baik pada waktu pagi, siang maupun malam hari. Pasien sempat memiliki fase bebas

demam selama 2-3 hari. Demam turun dengan obat penurun panas namun beberapa saat

kemudian demam dirasakan lagi.

Pasien dikeluhkan mual sejak 1 minggu SMRS dan muntah 1 hari SMRS. Muntah sebanyak 3

kali menyemprot berisi makanan dan tidak terdapat darah. Volume muntah kurang lebih 500

cc setiap kali muntah.

Pasien dikeluhkan nyeri kepala sejak 2 minggu SMRS, nyeri terutama dirasakan di seluruh

bagian kepala, nyeri terasa seperti mencengkram dan kepala terasa seperti akan pecah, nyeri

dirasakan terus menerus. Nyeri kepala masih dirasakan saat pasien sedang istirahat. Nyeri

bertambah saat pasien duduk atau saat pasien membuka mata. Riwayat trauma kepala

disangkal.

2

Pasien dikeluhkan bicaranya kurang jelas sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga tidak bisa

diajak berkomunikasi sejak 3 hari SMRS. Pasien juga sering gelisah saat demam. Pasien juga

masih banyak tidur sejak 3 hari SMRS. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri berwarna

kuning kehijauan, kental, dan agak berbau sejak 2 bulan yang lalu. Pendengaran dirasakan

menurun sejak 15 tahun yang lalu.

Pasien juga dikeluhkan kejang. Kejang seluruh tubuh terjadi 12 jam setelah masuk rumah

sakit. Saat kejang tubuh kaku, frekuensi kejang 3 kali, lama kejang 3-5 menit, antara serangan

kejang pasien tidak sadar. Ini merupakan kejang yang kedua kalinya.

Aktivitas buang air kecil sebanyak 4-5 kali per hari. Berwarna kuning agak pekat. Terkadang

dirasakan panas saat buang air kecil namun tidak nyeri dan tidak terdapat darah. Aktivitas

buang air besar 1 kali perhari terkadang 2 hari sekali. Feses berwarna kecoklatan dan

konsistensinya lembek. Darah, lendir dan feses berwarna hitam disangkal. Pasien dikeluhkan

nafsu makannya menurun sejak 2 bulan terakhir. Pasien terlihat semakin kurus selama 2

bulan terakhir.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien memiliki keluhan serupa 2 bulan yang lalu. Pasien dirawat di RS selama 2 minggu dan

pasien juga sempat kejang 1 kali pada awal masuk RS.

Pasien memiliki riwayat sering sakit telinga sejak 15 tahun yang lalu. Pasien sering berobat

ke Puskesmas untuk memeriksakan telinganya. Biasanya setelah diberi obat sakit telinga nya

menghilang namun 1 bulan atau 2 bulan kemudian pasien dikeluhkan sakit telinga lagi. Saat

sakit telinga terkadang disertai keluar cairan lengket dan berbau. Pasien juga mengalami

pendengaran sejak sakit telinga.

Pasin tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus maupun asma. Pasien tidak

memiliki riwayat infeksi saluran pernapasan akut ataupun batuk yang lama.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa seperti pasien. Riwayat darah tinggi,

penurunan kesadaran, kejang dan kencing manis disangkal. Riwayat infeksi pernapasan atau

batuk lama juga disangkal.

3

Riwayat alergi

Pasien menyangkal memiliki riwayat alergi terhadap suhu, debu, maupun makanan tertentu.

Pasien juga mengaku tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu. Pasien

tidak memiliki riwayat asma.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan 3 orang anak. Pasien tinggal di kampong

bersama 3 orang anaknya dalam satu rumah. Pasien memiliki kandang kambing dan ayam di

samping rumahnya. Sejak 3 bulan yang lalu pasien sudah tidak bekerja dan sering sakit-

sakitan. Suami pasien merupakan seorang supir truck jika suami pasien sedang bekerja

terkadang sampai 1 bulan tidak pulang.

Riwayat Pengobatan

Pasien merupakan rujukan dari RSUD Patut Patuh Patju. Pasien langsung dirujuk ke RSUP

NTB. Terapi yang diberikan IVFD RL 20 tpm, Paracetamol infuse 500 mg, Injeksi Ranitidin

1 ampul, dan Injeksi Deksametason 1 ampul.

C. OBJEKTIF

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : lemah

Kesadaran : GCS: E4V5M6

Status gizi :

BB: 55 kg; TB: 155 cm (BMI = 22,89 kg/ m2)

Vital Signs :

Tekanan darah : 100/ 70 mmHg

Nadi : 92 x/menit

Frekuensi nafas : 22x/ menit

Suhu : 37,5 ºC

4

Status Lokalis

Kepala

Anemis : (+/+)

Ikterus : (-/-)

Sianosis : (-)

Bentuk dan ukuran : normal

Rambut : normal.

Edema (-)

Malar rash (-)

Hiperpigmentasi (-)

Nyeri tekan kepala (+) di seluruh bagian kepala terutama pada daerah post aurikula

sinistra

Massa (-)

Telinga : pada inspeksi tampak sekret kental dan berbau pada aurikula sinistra.

Thorax

1. Inspeksi:

Bentuk & ukuran: normal, simetris antara sisi kiri dan kanan

pergerakan dinding dada simetris, jejas (-), kelainan bentuk dada (-), ictus cordis

tidak tampak

Pergerakan dinding dada: simetris.

Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-),

vena kolateral (-), massa (-).

Penggunaan otot bantu nafas: SCM tidak aktif, tak tampak hipertrofi SCM, otot bantu

abdomen tidak aktif

Iga dan sela iga: simetris, pelebaran ICS (-)

Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: simetris kiri dan kanan.

Tipe pernapasan: torako-abdominal

2. Palpasi:

pengembangan dada simetris, vocal fremitus (+/+), simetris, nyeri tekan

Trakea: deviasi (-)

Nyeri tekan (-), benjolan (-), edema (-), krepitasi (-), getaran (-)

5

Gerakan dinding dada: simetris

Fremitus vocal: +/+, simetris kiri dan kanan.

3. Paru-paru :

Perkusi : sonor (+/+)

Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki basah halus (-/-), wheezing (-/-).

4. Jantung :

Perkusi : batas kanan → ICS 2 parasternal dekstra

batas kiri → ICS 5 midklavikula sinistra

Auskultasi : S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-).

5. Abdomen :

Inspeksi : distensi (-), jejas (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba.

Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen

Ekstremitas : edema (-), akral teraba hangat (+),

Ekstremitas

- Akral hangat : + +

+ +

- Edema : - -

- -

- Deormitas : - -

- -

Status Neurologis

GCS : E4V5M6

Kepala : Posisi→ normal

Penonjolan → (-)

Meningeal sign :

Kaku kuduk : -

6

Kernig Sign : -

Nervus Cranialis

N. I (olfaktorius) : tde

N. II (optikus) :

OD OS

Ketajaman penglihatan + +

Lapang pandang Tde tde

Funduskopi Tde tde

N. III, IV dan VI

Celah kelopak mata

Ptosis : (-)

Exophthalmus : (-)

Posisi bola mata : normal

Pupil

Ukuran/bentuk : Ø 3 mm / bulat

Isokor/anisokor : isokor

Refleks cahaya : RCL (+/+), RCTL (+/+)

Gerakan bola mata

Paresis ke arah : (-)

Nistagmus : (-)

N. V (Trigeminus)

Sensibilitas : N. V1 → sde

N. V2 → sde

N. V3 → sde

Motorik : inspeksi/palpasi (istirahat/menggigit) sde

Refleks kornea : (+/+)

7

N. VII (fasialis) :

Motorik m. frontalis m. orbicularis

okuli

M .orbikularsi

oris

- Istirahat normal normal normal

- gerakan mimic normal normal normal

pengecapan 2/3 lidah bagian depan : sde

N. VIII (Auditorius) :

Pendengaran :

Tes Rinne/Weber : tde

Fungsi vestibularis : tde

N. IX, X (Glodsofaringeus, Vagus) :

Posisi arkus faring (istirahat/AAH) : sde/sde

Refleks menelan/muntah : sde

Pengecap 1/3 lidah bagian posterior : rasa pahit (sde)

Suara : dbn

Takikardia/bradikardia : (-)

N. XI (Accecorius) :

Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : dengan tahanan normal

Mengangkat bahu : sde

N. XII (Hypoglosus) :

Deviasi lidah : (-)

Fasikulasi : (-)

Atrofi : (-)

Tremor : (-)

Ataksia : (-)

Leher

Kelenjar lymphe : pembesaran KGB (-)

Arteri carotis

- Palpasi : frekuensi 96 x/menit, reguler, kuat angkat, thrill (-).

- Auskultasi : bruit (-)

8

Kelenjar tiroid : struma (-)

Abdomen

Refleks kulit dinding perut : tde

Kolumna Vertebralis

Inspeksi : tde

Pergerakan : tde

Palpasi : tde

Perkusi : tde

Ekstremitas

Motoriksuperior inferior

Dextra sinistra dextra sinistra

Pergerakan

Kekuatan 5 5 5 5

Tonus Otot

Bentuk Otot Normal normal normal normal

Otot yang terganggu : (-)

Refleks Fisiologis

o Biceps : +2/+2

o Triceps : +2/+2

o Patella : +2/+2

o Achilles : +2/+2

Refleks patologis

o Hoffman : (-/-)

o Trommer : (-/-)

o Babinsky : (-/-)

o Chaddock : (-/-)

o Gordon : (-/-)

o Schaefer : (-/-)

o Oppenheim : (-/-)

9

Sensibilitas

o Eksteroseptif : Nyeri → sde

Suhu → tde

Raba halus → sde

o Proprioseptif : Rasa sikap → tde

Nyeri dalam → tde

o Fungsi kortikal : Diskriminasi → tde

Stereognosis → tde

Pergerakan Abnormal yang Spontan : (-)

Gangguan Koordinasi : tde

Gangguan Keseimbangan : tde

Pemeriksaan Fungsi Luhur : tde

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Darah lengkap

ParameterHasil

Nilai Rujukan

HGB 8,1 11,5 – 16,5 g/dL

RBC 2,83 4,0 – 5,0 x 106 /µL

HCT 25,9 37,0 – 45,0 %

MCV 91,5 82,0 – 92,0 fl

MCH 28,6 27,0 – 31,0 pg

MCHC 31,3 32,0 – 37,0 g/dL

WBC 3,46 4,0 – 11,0 x 103 /µL

PLT 235 150 – 400 x 103 /µL

10

Diferensiasi leukosit

Parameter

Leukosit

Hasil %Nilai Rujukan %

EOS 7,8 0-1

BASO 0 0-1

NEUT 64,5 50-70

LYMPH 22,5 25-33

MONO 5,2 3-8

Kimia Klinik

Parameter

Kimia klinik

HasilNilai Rujukan

GDS 104 < 160

Kreatinin 0,5 P : 0,6-1,1

Ureum 17 10-15

SGOT 27 < 40

SGPT 11 < 41

Pemeriksaan elektrolit

Parameter

Kimia klinik

HasilNilai Rujukan

Na 137 135-146

K 3,5 3,4-5,4

Cl 110 95-108

11

Pemeriksaan Liquor Cerebrospinal

Parameter HasilNilai Rujukan

Protein 200 20-45 mg/dl

Glukosa 64 40-70 mg/dl

Leukosit 6 < 4 /mm3

Eritrosit 0 0 /mm3

PMN 11 -Mono 0 -

12

Pemeriksaan penunjang rontgen thoraks

~ Identitas sesuai, tanggal pemeriksaan 15 April 2015

~ Foto thorax, proyeksi AP, posisi supine.

~ Kondisi dan inspirasi cukup.

~ Soft tissue dalam batas normal, tidak ada udara subkutis, edema serta massa.

~ Tulang: tulang intak,tidak ditemukan fraktur costa dan klavikula.

~ Trakea : deviasi (-)

~ Hilus : Terdapat peningkatan corakan vaskular di sekitar hilus

~ Hemidiafragma : hemidiafragma kanan dan kiri berbentuk dome shape

~ Sudut costrofrenikus kiri dan kanan tidak dapat dievaluasi

~ Cor : Side: normal; Size: CTR <50%, Shape: normal shape

~ Pulmo : tampak infiltrate pada paru kanan atas

~ Kesan : TB Paru aktif

13

Foto rontgen skull lateral

Tampak radiolussen pada gambaran mastoid dextra

14

Pada gambaran mastoid sinistra tampak perselubungan yang tidak homogen pada daerah

antrummastoid dan sel udara mastoid serta trabekula yang menebal.

15

CT Scan :

.

- Tampak Hypodens area serebral yang cukup luas berbentuk ireguler pada korteks-

subkorteks parietal oksipital basal ganglia kiri

- Tidak tampak massa / perdarahan

- Sulkus-sulkus dan girus kiri tampak menyempit

- Ventrikel lateralis kiri menyempit

- Deviasi medline ke kanan 0,43 cm

Kesan : ensefalitis

16

E. RESUME

Wanita, 42 tahun rujukan RSUD Gerung dengan keluhan demam sejak 2 minggu SMRS.

Demam dikeluhkan terus menerus dan dirasakan tidak terlalu tinggi. Menggigil (-) Pasien

sempat memiliki fase bebas demam selama 2-3 hari. Demam turun dengan obat penurun

panas namun beberapa saat kemudian demam dirasakan lagi. Mual (+) Muntah (+) sejak 1

hari SMRS sebanyak 3 kali berisi makanan. Darah (-).

Pasien dikeluhkan nyeri kepala sejak 2 minggu SMRS, terus menerus terasa seperti

mencengkram dan kepala terasa seperti akan pecah. Nyeri bertambah saat duduk atau saat

membuka mata. Riwayat trauma kepala disangkal.

Pasien dikeluhkan bicaranya kurang jelas sejak 2 minggu SMRS. Pasien juga tidak bisa

diajak berkomunikasi sejak 3 hari SMRS. Pasien juga sering gelisah saat demam. Pasien juga

dikeluhkan banyak tidur sejak 3 hari SMRS. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri berwarna

kuning kehijauan, kental, dan agak berbau sejak 2 bulan yang lalu. Pendengaran dirasakan

menurun sejak 15 tahun yang lalu.

Pasien juga dikeluhkan kejang. Kejang seluruh tubuh terjadi 12 jam setelah masuk rumah

sakit. Saat kejang tubuh kaku, frekuensi kejang 3 kali, lama kejang 3-5 menit, antara serangan

kejang pasien tidak sadar. Ini merupakan kejang yang kedua kalinya.

BAB dan BAK dalam batas normal. Penurunan nafsu makan (+) penurunan berat badan (+)

Pasien memiliki riwayat keluar cairan dari telinga kiri berwarna kehijauan dan kental dari

telinga kiri sejak 2 bulan yang lalu dan pasien sering menderita sakit telinga sejak 15 tahun

yang lalu.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 92x/mnt, RR 22x/mnt,

suhu 37,5o C. Keadaan umum lemah, dengan kesadaran kompos mentis. Status gizi baik.

Didapatkan anemis dan otthorea aurikula sinistra. Tidak didapatkan kelainan pada

pemeriksaan, leher, thoraks maupun abdomen. Dari pemeriksaan status neurologis

didapatkan kaku kuduk (-), Kernig’s sign (-), Pemeriksaan refleks fisiologis normal dan tidak

didapatkan kelainan refleks patologis.

Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,1 dan WBC 3,46. Pada hasil

pemeriksaan lumbal pungsi didapatkan Protein 200, Glukosa 64, leukosit 6, WBC 0, PMN

11, mono 0. Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan gambaran infiltrate pada

pulmo dextra, pada pemeriksaan rontgen skull lateral sinistra tampak perselubungan yang

17

tidak homogen pada daerah antrummastoid dan sel udara mastoid serta trabekula yang

menebal. Pada hasil pemeriksaan CT Scan Kepala terdapat kesan ensefalitis pada pasien.

F. ASSESSMENT

Diagnosa klinis : Observasi Demam, Konvulsi, Cephalgia (Suspect Ensephalitis)

Diagnosa topis : Parenkim Serebrum

Diagnosis etiologis : Bakteri

Diagnosis sekunder : Otitis Eksterna Difusa Aurikula dekstra dan sinistra

G. PLANNING

DIAGNOSTIK

- Cek sputum BTA 3x, sputum gram

TERAPI

Terapi farmakologi

- IVFD RL 20 tpm

- Transfusi PRC 2 kolf.

- Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam

- Inj. Dexamethasone 125gr/ 8 jam

- Inj. Ranitidin 1 amp/ 8 jam

- Inj. Piracetam 3 gr/ 8 jam

- Inj. Phenitoin 3x100 mg

- Inj. Diazepam ½ ampul (bila kejang)

- Gentamycin tetes telinga 2x3 tetes pagi dan sore

Non Farmakologis :

- Pasang NGT, Diet MB 1900 kalori

- Pasang DC, Balance Cairan

- Mengurangi memanipulasi atau mengkorek korek telinga

I. Prognosis

- Ad vitam : dubia ad malam

- Ad funcionam : dubia ad malam

18

TINJAUAN PUSTAKA

ENSEFALITIS

I. PENDAHULUAN

Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Dari perspektif

epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada

evaluasi klinis, keduanya mempunyai tanda dan gejala inflamasi meningeal, seperti

photophobia, sakit kepala, atau leher kaku.1

Cerebritis menunjukkan tahap pembentukan abses dan infeksi bakteri yang

sangat merusak jaringan otak, sedangkan ensefalitis akut umumnya infeksi virus dengan

kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai dengan sangat berat. 1

Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder.

Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang

belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat lain di

tubuh dan kemudian ke otak. 2

Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan atau

memperburuk gejala gangguan perkembangan atau penyakit mental. Disebut ensefalitis

lethargica, yang membentuk berbagai gejala penyakit Parkinson seperti

parkinsonianism postencephalitik. Dalam beberapa kasus ensefalitis menyebabkan

kematian. Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini mungkin untuk menghindari

dampak serius dan efek seumur hidup. Terapi tergantung pada penyebab peradangan,

mungkin termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat-obatan anti-inflamasi. Jika hasil

kerusakan otak dari ensefalitis, terapi (seperti terapi fisik atau terapi restorasi kognitif)

dapat membantu pasien setelah kehilangan fungsi. 3

II. INSIDEN dan EPIDEMIOLOGI

Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan. Sekitar 150-3000 kasus,

yang kebanyakan ringan dapat terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Kebanyakan

kasus herpes virus ensefalitis di Amerika Serikat. 1,4

Arboviral ensefalitis lebih lazim dalam iklim yang hangat dan insiden bervariasi

dari daerah ke daerah dan dari tahun ke tahun. St Louis ensefalitis adalah tipe yang

paling umum, ensefalitis arboviral di Amerika Serikat, dan ensefalitis Jepang adalah

19

tipe yang paling umum di bagian lain dunia. Ensefalitis lebih sering terjadi pada anak-

anak dan orang dewasa muda.1,4

III. ETIOLOGI

Penyebab ensefalitis yang paling sering adalah infeksi karena virus. Beberapa

contoh termasuk:

Herpes virus

Arbovirus ditularkan oleh nyamuk kutu dan serangga lainnya

Rabies ditularkan melalui gigitan hewan 1,2

Ensefalitis mempunyai dua bentuk, yang dikategorikan oleh dua cara virus dapat

menginfeksi otak :

Ensefalitis primer. Hal ini terjadi ketika virus langsung menyerang otak dan saraf

tulang belakang. Hal ini dapat terjadi setiap saat (ensefalitis sporadis), sehingga

menjadi wabah (epidemik ensefalitis).

Ensefalitis sekunder. Hal ini terjadi ketika virus pertama menginfeksi bagian lain

dari tubuh kemudian memasuki otak. 2,4

Bakteri-bakteri patogen seperti mikoplasma atau bakteri penyebab ricketsia juga

bisa menyebabkan ensefalitis namun sangat jarang. Infeksi bakteri dan parasit seperti

toksoplasmosis dapat menyebabkan ensefalitis pada orang yang memiliki sistem

kekebalan tubuh yang lemah. 1,2

Berikut adalah beberapa penyebab yang lebih umum ensefalitis:

Virus herpes

Beberapa virus herpes yang menyebabkan infeksi umum juga dapat menyebabkan

ensefalitis. Ini termasuk:

* Herpes simpleks virus. Ada dua jenis virus herpes simpleks (HSV) infeksi. HSV tipe

1 (HSV-1) lebih sering menyebabkan cold sores lepuh demam atau sekitar mulut

Anda. HSV tipe 2 (HSV-2) lebih sering menyebabkan herpes genital. HSV-1

merupakan penyebab paling penting dari ensefalitis sporadis yang fatal di Amerika

Serikat, tetapi juga langka.

20

* Varicella-zoster virus. Virus ini bertanggung jawab untuk cacar air dan herpes zoster.

Hal ini dapat menyebabkan ensefalitis pada orang dewasa dan anak-anak, tetapi

cenderung ringan.

* Virus Epstein-Barr. Virus herpes yang menyebabkan infeksi mononucleosis. Jika

ensefalitis berkembang, biasanya ringan, tetapi dapat berakibat fatal pada sejumlah

kecil kasus. 1,2

Infeksi pada Anak

Pada kasus yang jarang, ensefalitis sekunder terjadi setelah infeksi virus anak

dan dapat dicegah dengan vaksin, termasuk:

* Campak (rubeola)

* Mumps

* Campak Jerman (rubella)

Dalam kasus tersebut ensefalitis mungkin disebabkan karena reaksi hipersensitivitas -

reaksi yang berlebihan dari sistem kekebalan tubuh untuk suatu zat asing / antigen. 2

Arboviruses

Virus yang ditularkan oleh nyamuk dan kutu (arboviruses) dalam beberapa

tahun terakhir, menghasilkan epidemi ensefalitis. Organisme yang menularkan penyakit

hewan dari satu host ke yang lain disebut vektor. Nyamuk adalah vektor untuk transmisi

ensefalitis dari burung atau tikus ke manusia. Jenis ensefalitis ini cukup jarang. 2

Faktor Risiko

Beberapa faktor yang menyebabkan risiko lebih besar adalah:

* Umur. Beberapa jenis ensefalitis lebih lazim atau lebih parah pada anak-anak atau

orang tua.

* Sistem kekebalan tubuh semakin lemah. Jika memiliki defisiensi imun, misalnya

karena AIDS atau HIV, melalui terapi kanker atau transplantasi organ, maka lebih

rentan terhadap ensefalitis.

* Geografis daerah. Mengunjungi atau tinggal di daerah di mana virus nyamuk umum

meningkatkan risiko epidemi ensefalitis.

* Kegiatan luar. Jika memiliki pekerjaan outdoor atau mempunyai hobi, seperti

berkebun, joging, golf atau mengamati burung, harus berhati-hati selama wabah

ensefalitis.

* Musim. Penyakit yang disebabkan nyamuk cenderung lebih menonjol di akhir musim

panas dan awal musim gugur di banyak wilayah Amerika Serikat.2

21

IV. PATOFISIOLOGI

Gambar 1. Patofisiologi Ensefalitis

( Dikutip dari kepustakaan 6 )

Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral meningitis,

yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah (hematogen) dan melalui

saraf (neuronal spread)2. Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak

secara langsung melalui arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung

dapat juga dijumpai, misalnya arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari

arteri tersebut itu kuman dapat tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi

melalui penerobosan dari pia mater.

Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui

neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua

penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port

d’entry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus dari

ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi

kuman untuk tiba di susunan saraf pusat.

Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus

dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah untuk

membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus

22

berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan rumah. Karena kontak ini sitoplasma

dan nukleus sel tuan rumah membuat nucleic acid yang sejenis dengan nucleic acid

virus. Proses ini dinamakan replikasi

Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat dihancurkan.

Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi,

replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi toksemia

yang kemudian disususl oleh manifestasli lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri

dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi

lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan

motorik (gangguan penglihatan, gangguan berbicara,gannguan pendengaran dan

kelemahan anggota gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang

mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan.

V. DIAGNOSIS

1. Manifestasi Klinis

Secara umum gejala berupa trias ensefalitis :

1. Demam

2. Kejang

3. Kesadaran menurun

Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi

umum dengan tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala

yang kronik dan progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun.

Pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis

tergantung pada lokasi dan luasnya abses. 1,6

2. Pemeriksaan Radiologi

CT dan MRI sekarang merupakan pilihan tepat untuk menyelidiki suspek lesi pada

otak.7

- CT Scan

Sifat atau komposisi jaringan dapat ditentukan dengan melihat kepadatan

atau nilai Hounsfield. Ada empat kategori kepadatan secara umum, yaitu

pengapuran tulang atau yang sangat padat dan putih terang, kepadatan jaringan

lunak yang menunjukkan berbagai nuansa warna abu-abu, kepadatan lemak

yang berwarna abu-abu gelap dan udara yang berwarna hitam. Dengan

23

menerapkan prinsip-prinsip ini, dimungkinkan untuk menentukan bagian yang

terlihat pada CT scan apapun, dan CT scan kepala pada khususnya. 8

CT scan kepala dapat menunjukkan :

1. CT bisa menunjukkan hipodens pada pre kontras-hyperdensity pada post

kontras salah satu atau kedua lobus temporal, edema / massa dan kadang-

kadang peningkatan kontras. 9

2. Lesi isodens atau hipodens berbentuk bulat cincin, noduler atau pola

homogen dan menyangat dengan kontras, tempat predileksi pada hemisfer

(grey-white junction). 10

3. Bias ditemukan edema cerebri.

4. Kadang disertai tanda-tanda perdarahan.

- MRI ( Magnetic Resonance Imaging )

Gambaran ensefalitis pada MRI di dapatkan :

1. Perubahan patologis yang biasanya bilateral pada bagian medial lobus

temporalis dan bagian inferior lobus frontalis ( adanya lesi ). 14

2. Lesi isointens atau hipointens berbentuk bulat cincin, noduler atau pola

homogen dan menyangat dengan kontras, tempat predileksi pada hemisfer

(grey-white junction), pada T1WI. 10

3. Hiperintens lesi pada T2WI dan pada flair tampak hiperintens . 10

Gambar 2. Gambar proton density-Axial

pada wanita 62 tahun dengan ensefalitis

herpes yang menunjukkan hyperintensity

T2, melibatkan lobus temporal kanan. 1

24

Gambar 3. Axial nonenhanced gambar

T1-menunjukkan cortical hyperintensity

(panah) sesuai dengan petechial

hemorrhage. Secara umum, adalah

patologis tetapi kurang umum

digambarkan pada ensefalitis herpes. 1

Gambar 4:

Axial gadolinium T1 menunjukkan

peningkatan citra lobus temporal kanan

anterior dan gyrus Parahippocampalis.

Pada ujung anterior temporal kanan

adalah hypointense, daerah seperti bulan

sabit yang dikelilingi oleh meningkatnya

abses epidural. 1

Gambar 5. Axial menunjukkan citra

difusi terbatas pada lobus temporal

medial kiri yang sesuai dengan

ensefalitis herpes. Pasien ini juga

memiliki hasil positif pada uji reaksi

polymerase chain untuk herpes simplex

virus, baik yang sensitif maupun yang

spesifik. Selain itu, pada hasil EEG

didapatkan periodik epileptiform

lateralized, yang mendukung diagnosis

ensefalitis herpes. 1

Gambar 6. Coronal T2 menunjukkan citra

hyperintensity di lobus temporal kiri (panah)

25

yang serupa dengan kelainan difus. Dapat dilihat

pada Gambar 5. Sehingga dapat dikatakan

ensefalitis herpes. Pada pasien dengan infeksi

HHV6, di samping tengah abnormalitas lobus

temporal, hyperintensity T2 normal telah terlihat

dan di inferior frontal, sehingga dapat ditentukan

diagnosis. Dapat terlihat 2 pencitraan khas: satu

terlihat pada orang dewasa yang lebih tua

melibatkan hyperintensity T2 terbatas pada

lobus temporal medial; pada orang remaja, pola

yang lebih bervariasi menunjukkan difus,

batasan focal dengan MR dinyatakan normal,

difus korteks nekrosis, atau daerah focal kecil

hyperintensity T2 abnormal. 1

Gambar 7. MRI: Herpes encephalitis. 1

26

Gambar 8. Herpes simpleks tipe 1 ensefalitis pada seorang anak 11 tahun. gambar a. T2-tertimbang

menunjukkan lesi bilateral hyperintense dalam lobus temporal (panah). b. gambar DW jelas menunjukkan lesi

ini sebagai hyperintense (anak panah). c. gambar ADC menunjukkan penurunan ADC ini lesi (panah).

( Dikutip dari kepustakaan 14 )

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium :

Pemeriksaan darah lengkap, ditemukan jumlah leukosit meningkat.

Pemeriksaan cairan serobrospinal, pemeriksaan cairan srebrospinal merupakan

pemeriksaan yang penting. Tekanan intrakcranial dapat normal atau meningkat,

terdapat pleositosis limfositik atau monositik dengan jumlah sel biasanya < 1000/ml

(pada koriomeningitis limfositik atau herpes simpleks ensefalitis didapatkan jumlah

yang lebih banyak). Polimorfonuklear pleositosis dapat terjadi pada tahap awal viral

meningitis sedang sel darah merah dapat terdeteksi pada herpes simpleks ensefalitis.

Protein biasanya normal atau sedikit meningkat (biasanya 80 – 200 mg/dl). Glukosa

biasanya normal atau sedikit meningkat, kadarnya berkurang pada mumps, herpes

zoster atau herpes simpleks ensefalitis.11

27

Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal pada pasien penurunan kesadaran

(gambar dikutip dari kepustakaan 11)

Pemeriksaan lainnya :

- EEG didapatkan gambaran penurunan aktivitas atau perlambatan.

VI. KOMPLIKASI

Kemungkinan komplikasi ensefalitis termasuk kejang, kerusakan otak yang

menyebabkan hilangnya sensasi, koordinasi dan kontrol di daerah-daerah tubuh

tertentu, dan / atau kesulitan bicara, dan kematian. Selaput yang mencakup dan

melampirkan otak (meninges) juga mungkin terlibat, dan membran ini dapat mengalami

peradangan (meningoencephalitis). 2,15

VII. DIAGNOSIS BANDING

Cerebral abses

Cerebral infark 15

Abses Otak

28

Abses otak disebabkan terutama oleh penyebaran infeksi telinga tengah atau

mastoiditis. Bisa soliter atau multipel.

Pada CT scan tampak area hipodens di daerah korteks atau persambungan

kortikomeduler yang bisa soliter atau multipel. Pada pemberian media kontras

tampak enhancemenet berbentuk cincin sekeliling daerah hipodens. Di luar

daerah yang enhancement tampak edema perifokal.

Pada MRI : T1WI memperlihatkan gambaran lesi dengan daerah sentral lesi yg

hipointens yang dikelilingi oleh lingkaran tipis iso/hiperintens. Sedangkan

T2WI memperlihatkan daerah sentral lesi yang hiperimtens yang dibatasi oleh

kapsul yang hipointens serta dikelilingi oleh edema yang hiperintens.

Abses otak, sebelum kontras, terlihat area hipodens di daerah parietal kanan, para-sagital dengan perifokal edema.

29

Abses otak di lobus temporal kiri. (a) CT Scan post kontras menunjukkan lesi ring-enhancement di lobus temporal kiri. Pada lesi yang hipotens (b). T1W1 dan (c) hiperintens pada T2W1 dengan edema peripheral dan mass effect. (d) Post kontras T1W1 menunjukkan lesi kistik ring-enhancement(dikutip dari kepustakaan 16)

Infark Serebri

Infark serebri disebabkan oleh oklusi pembuluh darah serebral, hingga

terbentuk nekrosis iskemik jaringan otak. Penyebabnya bisa oleh karena trombosis

ataupun emboli. Pada stadium awal sampai 6 jam sesudah onset, tak tampak kelainan

pada CT scan, kadang-kadang sampai 3 hari belum tampak gambaran yang jelas pada

CT. Sesudah 4 hari, tampak pada CT, area hipodens.

Pada CT Scan, infark sering berbentuk segitiga walaupun dapat terlihat bulat

dalam potongan axial. Daerah ini berkurang densitasnya, dibarengi dengan

efek massa yang ringan.

30

Pada MRI : T1WIA tampak area infark dengan penurunan nintensitas sinyal

dengan hilangnya sinyal normal perbedaan antara daerah abu-abu dan putih.

T2WI tampak area infark terlihat sebagai area intensitas sinyal tinggi.

Infark Serebri, terlihat area hipodens di daerah lobus parietal kanan. Terlihat juga dilatasi ventrikel lateralis dan pelebaran sulsi di daerah frontalis yang menunjukkan atrofi serebri

IX. PENATALAKSANAAN

1. Ensefalitis supurativa

- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.

- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.

2. Ensefalitis syphilis

- Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari

- Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat + probenesid 4 x 500mg oral

selama 14 hari.

Bila alergi penicillin :

- Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari

- Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari

- Cloramfenicol 4 x 1 g intra vena selama 6 minggu

- Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari.

3. Ensefalitis virus

- Pengobatan simptomatis

Analgetik dan antipiretik : Asam mefenamat 4 x 500 mg

Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.

31

- Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan penyebab herpes

zoster-varicella.

Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200 mg peroral

tiap 4 jam selama 10 hari.

4. Ensefalitis karena parasit

- Malaria serebral

Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8 jam hingga tampak

perbaikan.

- Toxoplasmosis

Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan

Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan

Spiramisin 3 x 500 mg/hari

- Amebiasis

Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.

5. Ensefalitis karena fungus

- Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6 minggu

- Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu.

6. Riketsiosis serebri

- Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari

- Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari. 6

Meskipun ensefalitis secara umum disebabkan oleh virus namun antibiotik empiris

perlu diberikan berdasarkan basis epidemiologi bakteri yang menginfeksi. Antibiotik

diberikan apabila secara klinis didapatkan tanda-tanda infeksi bakteri. Pada infeksi

Mycobacterium tuberculosis, 4 obat-obatan FDC perlu diberikan. Pada infeksi riketsia

doksisiklin adalah antibiotik yang direkomendasikan. Pada infeksi spiroseta ceftriaxone,

cefotaksim, atau penisilin G bisa diberikan.12

X. PROGNOSIS

Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Pasien yang

pengobatannya terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada ensefalitis Herpes

Simpleks) angka kematiannya tinggi bisa mencapai 70-80%. Pengobatan dini

dengan asiklovir akan menurukan mortalitas menjadi 28%. 6

32

Sekitar 25% pasien ensefalitis meninggal pada stadium akut. Penderita yang

hidup 20-40%nya akan mempunyai komplikasi atau gejala sisa. 6

Gejala sisa lebih sering ditemukan dan lebih berat pada ensefalitis yang tidak

diobati. Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk,

demikian juga koma. Pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh

dengan gejala sisa yang berat. 6

Banyak kasus ensefalitis adalah infeksi dan recovery biasanya cepat ensefalitis

ringan biasanya pergi tanpa residu masalah neurologi. Dan semuanya 10% dari

kematian ensefalitis dari infeksinya atau komplikasi dari infeksi sekunder . 6

Beberapa bentuk ensefalitis mempunyai bagian berat termasuk herpes

ensefalitis dimana mortality 15-20% dengan treatment dan 70-80% tanpa treatment. 6

33

PEMBAHASAN

Pada pasien ini didapatkan keluhan demam sejak 2 minggu SMRS. Demam yang terjadi pada

pasien ini diakibatkan oleh infeksi. Pusat termoregulator tubuh terletak pada bagian anterior

dari hipotalamus. Ketika pembuluh darah yang ada di sekitar hipotalamus terpapar oleh

pirogen eksogen tertentu (bakteri) ataupun pirogen endogen (interleukin-1, interleukin-6,

Tumor Necroting Factor) maka sel endothelial dari vascular akan menghasilkan metabolit

asam arakidonat. Metabolit tersebut misalnya Prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 akan menembus

sawar darah otak dan tersebar di sekitar termoregulator di hipotalamus, hal ini memicu

kaskade yang meningkatkan set point. Dengan keadaan set point yang meningkat hipotalamus

mengirim sinyal ke pembuluh darah perifer menyebabkan vasokonstriksi dan mengurangi

kehilangan panas melalui kulit.

Pasien juga mengalami kejang, kejang terjadi akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas

kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan. Beberapa hal yang

terjadi pada saat kejang adalah instabilitas membran sel saraf sehingga sel lebih mudah

mengalami pengaktifan. Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera

setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat

hiperaktivitas neuron.

Kejang juga bisa diakibatkan oleh kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi,

atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau

defisiensi asam gama-aminobutirat.

Pada keaadaan normal otak memiliki mekanisme kontrol untuk mencegah terjadinya aktivitas

listrik yang abnormal pada sel saraf. Pada pasien ini diduga mengalami ensefalitis sehingga

mengganggu mekanisme kontrol pada sel saraf dan terjadilah kejang.

Pada pasien ini kejang merupakan kejang kedua dimana kejang pernah terjadi sebelumnya

yakni kurang lebih 2 bulan yang lalu. Kejang bisa saja merupakan keadaan pada fase lanjut

dimana efek yang terjadi setelah terkena ensefalitis adalah sel-sel otak bertanggung jawab

untuk menimbulkan ledakan aktivitas neuron sehingga terjadi kejang dan kejang lebih mudah

terjadi bila dipicu oleh infeksi akut.

34

Nukleus trigeminoservikalis merupakan pusat nosiseptif dan taktil untuk daerah tenggorokan,

kepala, dan leher bagian atas. Nukleus trigeminoservikalis terdiri dari 3 pars yaitu : pars

oralis, pars interpolaris, pars kaudalis. Nyeri kepala yang timbul pada pasien ini diakibatkan

karena telah terjadi kerusakan pada jaringan ensefal yang disebabkan oleh infeksi bakteri

sehingga akan merangsang ujung serabut saraf disana dan ditransmisikan ke nukleus

trigeminoservikalis pars kaudalis yang merupakan daerah nosiseptik untuk daerah kepala.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia ringan normokromik normositik dan

sel darah putih yang rendah. Anemia ringan pada pasien ini bisa disebabkan karena infeksi

penyakit kronis. Pada pasien ini dicurigaii sumber dari anemianya adalah karena infeksii

terdapat TB paru karena itu perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk menegakkan

diagnosis TB paru. Hasil sel darah putih yang rendah dan pasien sudah pernah terkena

penyakit serupa sebelumnya menunjukkan bahwa daya tahan tubuh pasien menurun sehingga

mudah terkena infeksi bakteri.

Pada pasien ini didapatkan riwayat keluar cairan dari telinga kiri berwarna kehijauan dan

kental dari telinga kiri sejak 2 bulan yang lalu dan pasien sering menderita sakit telinga sejak

15 tahun yang lalu. Hal ini menandakan terdapat infeksi bakteri yang kronis pada daerah

telinga tengah. Bakteri gram negatif dan St. aureus adalah beberapa bakteri yang paling

sering didapatkan pada infeksi ini. Setelah diperiksa oleh dokter spesialis THT, didapatkan

othorrea aurikula dekstra dan sinistra. Setelah dilakukan irigasi didapatkan laserasi CAE

dekstra dan sinistra, edema +/+, hiperemis CAE dekstra dan sinistra, Membran Timpani

dekstra : intak, sinistra : - .Pasien didiagnosa dengan Otitis Eksterna Difusa Aurikula dekstra

dan sinistra.

Pada pasien dapat didiagnosis ensefalitis karena didapatkan manifestasi klinis demam,

kejang, cephalgia serta penurunan kesadaran . Pada pemeriksaan meningeal sign tidak

didapatkan kaku kuduk dan Kernig’s sign negatif. Pada hasil pemeriksaan lumbal pungsi

yang didapatkan protein meningkat dan dominan PMN hal ini menandakan bahwa sumber

infeksi berasal dari bakteri. Dari hasil pemeriksaan CT Scan juga didapatkan tampakan

Hypodens area serebral yang cukup luas berbentuk ireguler pada korteks-subkorteks parietal

oksipital basal ganglia kiri, tidak tampak massa / perdarahan, sulkus-sulkus dan girus kiri

35

tampak menyempit, Ventrikel lateralis kiri menyempit, deviasi medline ke kanan 0,43 cm

sehingga memberikan kesan ensefalitis.

Pada pasien ini sumber infeksi dari ensefalitis bisa berasal dari infeksi krronis pada daerah

telinga kronik yang menginfeksi mastoid sehingga menjadi mastoiditis. Perjalanan Organism

piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi

tembus. Pada awalnya terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak, peradangan supuratif

terjadi di substansia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah.Proses peradangan

ini membentuk eksudat, thrombosis septic pada pembuluh-pembuluh darah, dan agregasi

trombosit yang sudah mati.

Pada pasien ini penyebab dari ifeksi pada ensefal bisa berasal dari infeksi pada telinganya

maka penyebabnya secara empiris adalah bakteri gram negatif. Antibiotik yang diberikan

adalah golongan Cephalosporin generasi 3 yakni Ceftriakson intravena dengan dosis 2gr per

hari.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Lazoff M. Encephalitis. February 26, 2010. Available from : URL ;

www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/htm

2. Anonymous. Encephalitis. May 5, 2009. Available from : URL ;

www.mayoclinic.com/health/encephalitis/DS00226

3. Anonymous. Definition of encephalitis. 26 March, 1998. Available from : URL ;

www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=3231

4. Anonymous. Encephalitis. September 25, 2002. Available from : URL ;

www.neurologychannel.com/encephalitis/index.shtml

5. Faller A, Schuenke M, Schuenke G. The central and peripheral nervous systems. In :

The human body - an introduction to structure and function. New York : Thieme ;

2004. p. 538-53

6. Fransisca SK. Ensefalitis. Februari 19, 2009. Available from : URL ;

http://last3arthtree.files.wordpress.com/2009/02/ensefalitis2.pdf

7. Sutton D, Stevens J, Mizklel K. Intracranial lesions. In : Sutton D, editor. Text book

of radiology and imaging 7th ed. London : Churchill Livingstone ; 2003. p. 1726

8. Hopkins R, Peden C, Gandhi S. Principles of interpreting CT. In : Radiology for

anaesthesia and intensive care. London : Greenwich Medical Media ; 2003. p. 219-21

9. Zamponi N, Rossi B, Polonara G, Salvolini U. Neuropaediatric emergencies. In :

Scarabino T, Salvolini U, Jinkins JR, editors. Emergency neuroradiology. New York :

Springer ; 2006. p. 371,390-1

10. Hendrik F. Toksoplasmosis serebri sebagai manifestasi awal AIDS. September 23,

2009. Available from : URL ; http://neurology.multiply.com/journal/item/19

11. Simon RP, Greenberg DA, Aminof MJ. Clinical Neurology. Seventh edition. Lange

Medical Book. 2008. P 11

12. Tunkel AR et al, The Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by

the Infectious Disease Society of America, IDSA Guidline, 2008. p 322

13. Hermans R. Imaging techniques. In : Head and neck cancer imaging. Germany :

Springer ; 2006. p. 32, 38-9

14. Moritani T, Ekhlom S, Westesson PL. Pediatrics. In : Diffusion-weighted MR

imaging of the brain. New York : Springer ; 2005. p. 191

37

15. Anonymous. Encephalitis. December 21, 2004. Available from : URL ;

http://www.mdguidelines.com/encephalitis/differential-diagnosis

16. Lee EJ. Unusual findings in cerebral abscess. British journal of radiology; 2006.

79,e156-e161.

38