laporan teknologi pengemasan

49
ACARA I Global Migrasi, Gramatur, Densitas dan Ketahanan Jatuh A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Sesuai dengan fungsi mendasarnya sebagai wadah yang melindungi produk dari kerusakan, harapannya kemasan dapat memiliki kualitas yang sesuai dengan standar. Namun, selama distribusi dan penyimpanan terdapat kemungkinan bagi kemasan untuk mengalami peningkatan suhu sehingga migrasi komponen kemasan dalam produk yang dikemas dapat terjadi. Global migrasi menyatakan jumlah senyawa dalam kemasan yang termigrasi (terlarut) dalam produk yang dikemas. Selain itu, kualitas kemasan juga dapat dilihat dengan mengetahui nilai gramatur, densitas dan ketahanan jatuhnya. Gramatur menunjukkan nilai bobot bahan per satuan luas bahan, densitas (bobot jenis) menyatakan nilai bobot bahan per satuan volume, sedangkan ketahanan jatuh menyatakan ketahanan kemasan untuk tidak mengalami kerusakan (bocor, pecah

Upload: yasmin-nabila

Post on 24-Nov-2015

744 views

Category:

Documents


27 download

DESCRIPTION

Pengemasan

TRANSCRIPT

ACARA IGlobal Migrasi, Gramatur, Densitas dan Ketahanan Jatuh

A. Pendahuluan1. Latar BelakangSesuai dengan fungsi mendasarnya sebagai wadah yang melindungi produk dari kerusakan, harapannya kemasan dapat memiliki kualitas yang sesuai dengan standar. Namun, selama distribusi dan penyimpanan terdapat kemungkinan bagi kemasan untuk mengalami peningkatan suhu sehingga migrasi komponen kemasan dalam produk yang dikemas dapat terjadi. Global migrasi menyatakan jumlah senyawa dalam kemasan yang termigrasi (terlarut) dalam produk yang dikemas. Selain itu, kualitas kemasan juga dapat dilihat dengan mengetahui nilai gramatur, densitas dan ketahanan jatuhnya. Gramatur menunjukkan nilai bobot bahan per satuan luas bahan, densitas (bobot jenis) menyatakan nilai bobot bahan per satuan volume, sedangkan ketahanan jatuh menyatakan ketahanan kemasan untuk tidak mengalami kerusakan (bocor, pecah maupun retak) setelah dijatuhkan dari ketinggian minimal 75 cm. Jika suatu kemasan tidak memiliki ketahanan jatuh, maka tingkat kerusakan kemasan selama distribusi akan sangat besar dan dapat merugikan baik produsen maupun konsumen.2. TujuanTujuan dari praktikum Acara I Global Migrasi, Gramatur, Densitas dan Ketahanan Jatuh ini, yaitu:a) Menentukan global migrasi, gramatur dan densitas kemasanb) Menentukan ketahanan jatuh dari kemasan gelas plastik

B. Tinjauan PustakaTeknologi pengemasan berkembang pesat sejalan denganperkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Revolusi industri yang telah mengubah tatanan hidup manusia ke arah kehidupan yang lebih modern, telah pula mengubah teknologi kemasan hingga mencakup aspek perlindungan pangan (mutu, nutrisi, cita rasa, kontaminasi dan penyebab kerusakan pangan) serta aspek pemasaran (mempertahankan mutu, memperbaiki tampilan, identifikasi produk, informasi komposisi danpromosi) (Anggriani, 2010).Pengemasan komoditi hortikultura adalah suatu usaha menempatkan komoditi segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat. Mutu produkpun akan tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima oleh konsumen akhir. Dengan pengemasan, komoditi dapat dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis, fisik, kimia dan mikrobiologis selama pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran (Sacharow dan Griffin, 1980).Plastik dan bahan-bahan tambahan dalam pembuatan plastik plastisizer, stabilizer dan antioksidan dapat bermigrasi ke dalam bahan pangan yang dikemas dengan kemasan plastik dan mengakibatkan keracunan. Monomer plastik yang dicurigai berbahaya bagi kesehatan manusia adalah vinil klorida, akrilonitril, metacrylonitril, vinilidenklorida dan styrene. Monomer vinil klorida dan akrilonitril berpotensi untuk menyebabkan kanker pada manusia, karena dapat bereaksi dengan komponen DNA yaitu guanin dan sitosin (pada vinil klorida) sedangkana denin dapat bereaksi dengan akrilonitril (vinil sianida) (Julianti, 2007).

C. Metodologi1. Alat2. Bahan3. Cara KerjaD. Hasil dan PembahasanDalam praktikum Acara I ini, dilakukan beberapa uji untuk menentukan kualitas kemasan, antara lainglobal migrasi, gramatur, densitas dan ketahanan jatuh. Pada Tabel 1.1 dapat diketahui global migrasi dari kemasan kembang gula menggunakan prinsip gravimetri berdasarkan SNI 06-0182-2004. Global migrasi itu sendiri menyatakan jumlah senyawa dalam kemasan yang termigrasi (terlarut) dalam produk yang dikemas, karena selama distribusi dan penyimpanan terdapat banyak kemungkinan bagi komponen-komponen dalam kemasan untuk termigrasi ke dalam produk akibat peningkatan suhu. Selain berpengaruh terhadap kesehatan konsumen, peristiwa migrasi dapat menyebabkan efek negatif lain pada produk, seperti terjadinya penyimpangan bau dan rasa. Jika hal ini terus menerus terjadi, tentunya dapat menurunkan penerimaan konsumen terhadap produk.Untuk mengetahui berapa ppm senyawa dari kemasan yang berpindah ke produk, digunakan simulan sebagai simulasi komposisi pangan untuk mengukur zat atau komponen yang bermigrasi. Menurut McCort-Tipton dan Pesselman (1999), uji dengan pangan langsung terkadang sulit dilakukan karena produk pangan merupakan matriks yang sangat kompleks. Pada praktikum ini, digunakan simulan berupa asam asetat 4%, etanol 96% dan aquades. Sedangkan sampel yang digunakan ialah kemasan kembang gula dengan merk Mintz, Fox dan Blaster.Nilai ppm global migrasi didapatkan dari berat sampel (W), berat beker glass (A) serta berat akhir konstan dari larutan berisi sampel dan simulan yang telah dioven serta didinginkan dengan desikator. Pada kelompok 1 didapatkan nilai global migrasid ari kemasan Mintz dan simulan asam asetat sebesar 66.757,5 ppm. Pada kelompok 2 didapatkan nilai global migrasi dari kemasan Fox dan simulan aquades sebesar 19.117,6 ppm. Pada kelompok 3 didapatkan nilai global migrasi dari kemasan Blaster dan simulan etanol sebesar 2.590,6736 ppm. Pada kelompok 4 didapatkan nilai global migrasi dari kemasan Mintz dan simulan etanol sebesar 125.000 ppm. Pada kelompok 5 didapatkan nilai global migrasi dari kemasan Fox dan simulan asam asetat sebesar 285.714,2857 ppm. Sedangkan pada kelompok 6 didapatkan nilai global migrasi dari kemasan Blaster dan simulan aquades sebesar 250.000 ppm.Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, diketahui bahwa nilai global migrasi terbesar terdapat pada kemasan Fox dengan simulan asam asetat, yaitu sebesar 285.714,2857 ppm. Sedangkan nilai global migrasi terkecil terdapat pada kemasan Blaster dengan simulan etanol, yaitu sebesar 2.590,6736 ppm. Berdasarkan SNI 06-0182-2004, nilai global migrasi maksimum dari kemasan kembang gula pada uji global migrasi suhu 60C selama 30 menit dengan simulan aquades, etanol 20% dan asam asetat 4% adalah sebesar 30 ppm. Sedangkan, dalam buku Pedoman Uji Migrasi yang dikeluarkan oleh BPOM,disebutkan bahwa menurut aturan Uni Eropa (EU) batas migrasi menjadi dua, yaitu batas migrasi total dan batas migrasi spesifik. Batas migrasi total adalah perpindahan seluruh zat yang berpindah dari kemasan ke dalam pangan dalam simulan tertentu sesuai jenis atau tipe pangan dengan batas maksimal sebesar 60mg/kg pangan. Sementara batas migrasi spesifik adalah jumlah maksimum suatu zat spesifik yang diperbolehkan berpindah dari suatu FCS (food contact substances) dari kemasan ke dalam pangan dan dipresentasikan sebagai perpindahan senyawa spesifik (FCS) tersebut ke dalam simulan pangan.Hasil yang diperoleh pada praktikum sangat menyimpang dari standar yang telah ditentukan baik oleh SNI maupun aturan dari Uni Eropa dalam buku Pedoman Uji Migrasi BPOM. Besarnya nilai global migrasi mengindikasikan banyaknya komponen-komponen toksik dan nontoksik dari kemasan yang termigrasi ke makanan yang dikemas. Menurut Budiawan (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi proses migrasi, antara lain: (1) jenis dan konsentrasi bahan kimia yang terkandung dalam kemasan, (2) sifat alamiah pangan atau pilihan larutan simulan pangan disertai kondisi saat terjadi kontak (suhu dan lama kontak), (3) ketebalan kemasan, dan (4) sifat intrinsik bahan kemasan (inert atau tidak).Potensi migrasi pun dapat meningkat seiring dengan meningkatnya lama kontak, suhu kontak, luas permukaan kontak, semakin tinggi konsentrasi komponen aditif dalam bahan kemasan, dan adanya bahan pangan yang agresif. Sehingga, dari keenam jenis kemasan, diketahui bahwa kemasan Blaster dengan simulan etanol adalah kemasan terbaik karena memiliki nilai global migrasi terkecil, yaitu sebesar 2.590,6736 ppm.Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan oleh Budiawan (2004), simulan pangan pun dapat mempengaruhi keberlangsungan migrasi. Penelitian Warsiki (2013) menunjukkan bahwa dari keempat jenis simulan pangan, diketahui bahwa 95% alkohol memberikan kenaikan nilai global migrasi tertinggi, diikuti oleh 15% alkohol, 3% asam asetat dan aquades. Hal ini mengindikasikan kekuatan larutan penguji dalam mengekstrak komponen bahan kemasan.

Pada Tabel 1.2 dapat diketahui nilai gramatur dan densitas dari kemasan kertas. Gramatur didefinisikan sebagai massa lembaran kertas atau lembaran karton dalam gram dibagi dengan satuan luasnya dalam meter persegi dan diukur pada kondisi standar (SNI, 2006). Sedangkan densitas diperoleh dari hasil pembagian antara gramatur dengan tebal kemasan. Tebal kemasan tersebut diukur menggunakan jangka sorong di lima tempat berbeda pada satu lembar contoh bahan, yang kemudian diambil nilai rata-ratanya. Pengukuran tebal kemasan dilakukan pada beberapa titik yang berbeda karena dalam satu lembar kertas nilai ketebalannya tidak merata (Harper, 1985).Supaya dihasilkan angka yang valid dan akurat, pada setiap percobaan dilakukan 3 kali pengulangan. Kelompok 1 menggunakan sampel kemasan Nabati dengan rerata gramatur sebesar 332,133 g/m2 dan rerata densitas sebesar 750.713,21 g/m3. Pada kelompok 2 didapatkan nilai rerata gramatur dari kemasan Fitbar sebesar 355,467 g/m2 dan rerata densitas sebesar 623.626 g/m3. Pada kelompok 3 didapatkan nilai rerata gramatur dari kemasan Tango sebesar 323,467 g/m2 dengan rerata densitas sebesar 610.680 g/m3. Pada kelompok 4 didapatkan nilai rerata gramatur dari kemasan Beng-Beng sebesar 373,33 g/m2 dengan rerata densitas sebesar 629.378,53 g/m3. Pada kelompok 5 didapatkan nilai rerata gramatur dari kemasan Richbar sebesar 469,867 g/m2 dengan rerata densitas sebesar 629.549,146 g/m3. Sedangkan pada kelompok 6 didapatkan nilai rerata gramatur dari kemasan Superman sebesar 340,133 g/m2 dengan rerata densitas sebesar 6.758,118 g/m3. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai rerata gramatur dan nilai rerata densitas yang terbesar maupun yang terkecil. Nilai rerata gramatur terbesar terdapat pada kemasan Richbar sebesar 469,867 g/m2, sedangkan nilai rerata gramatur terkecil terdapat pada kemasan Tango sebesar 323,467 g/m2. Untuk nilai rerata densitas terbesar, diketahui terdapat pada kemasan Nabati sebesar 750.713,21 g/m3, sedangkan nilai rerata densitas terkecil terdapat pada kemasan Superstar sebesar 6.758,118 g/m3. Berdasarkan penelitian Sandra et al. (2010), nilai gramatur kemasan yang semakin besar juga menyebabkan nilai densitas kemasan menjadi semakin besar juga (berbanding lurus). Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil praktikum, karena kemasan yang memiliki nilai rerata gramatur terbesar ternyata tidak memiliki nilai rerata densitas yang terbesar pula. Hal serupa juga terjadi sebaliknya, kemasan dengan rerata gramatur terkecil ternyata tidak memiliki rerata densitas yang terkecil pula.Dari hasil praktikum pun dapat dilihat adanya nilai yang beragam, baik untuk gramatur maupun densitas dari masing-masing kemasan kertas. Gramatur kertas dipengaruhi oleh berat bahan dan luasan bahan. Semakin besar berat kertas, semakin besar nilai gramaturnya. Sedangkan luas bahan yang semakin lebar menyebabkan nilai gramatur semakin kecil. Densitas kertas dipengaruhi oleh nilai gramatur dan tebal kertas. Semakin besar nilai gramatur, maka semakin besar pula densitasnya. Sedangkan semakin tebal suatu bahan, maka nilai densitas semakin kecil. Gramatur dan densitas ditentukan untuk mengetahui mengetahui seberapa besar kemampuan kemasan untuk menahan benturan selama penyimpanan dan distribusi. Sandra et al. (2010) menyebutkan bahwa kemasan kertas yang disarankan adalah kemasan yang memiliki gramatur, ketebalan dan densitas yang kuat untuk produk pangan, sehingga semakin besar gramatur dan densitasnya, maka kemasan tersebut dapat dikategorikan sebagai kemasan yang baik. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dari hasil praktikum kemasan yang terbaik adalah kemasan dengan rerata gramatur dan densitas yang terbesar, yaitu kemasan Richbar dan kemasan Nabati.

Uji terakhir melibatkan uji ketahanan jatuh dari sampel berupa kemasan gelas plastik untuk minuman. Ketahanan jatuh merupakan indikasi ketahanan kemasaan untuk tidak rusak baik berupa bocor, pecah maupun retak jika dijtuhkan dari ketinggian minimal 75 cm. Selama pengangkutan dan distribusi, sangat memungkinkan bagi air minum dalam kemasan gelas untuk mengalami benturan maupun tekanan. Maka dari itu, ketahanan jatuh kemasan gelas plastik sangat penting untuk diketahui dalam rangka mengurangi tingkat kerusakan, sehingga baik konsumen maupun produsen sama-sama tidak dirugikan.Gelas plastik untuk air minum dalam kemasan sekali pakai yang dibuat dari bahan plastik harus memenuhi persyaratan tara pangan (food grade) dalam berbagai macam bentuk dan volume. Berdasarkan syarat mutu botol plastik untuk air minum dalam kemasan oleh SNI 19-4370-2004, terdapat beberapa parameter yang menentukan syarat mutu gelas plastik untuk air minum dalam kemasan. Untuk parameter visual, kemasan harus bersih, tidak ada benda asing yang menempel dan tidak ada kerusakan berupa penyok, goresan serta retak. Untuk parameter bau dan rasa syaratnya adalah tidak boleh menyebabkan perubahan terhadap bau dan rasa pada air minum. Untuk parameter kapasitas penuh (terhadap kapasitas nominal) adalah minimal 102,5%. Untuk parameter kompresi adalah minimal 4,5 kgf (kilogram force) Sedangkan untuk parameter jatuh (drop test) persyaratannya adalah tidak boleh ada bocor, pecah maupun retak.Untuk pengujian ketahanan jatuh, botol plastik dinyatakan lulus syarat uji, jika dari 16 buah botol yang diuji terdapat maksimal 3 buah yang rusak. (SNI, 2004). Pada praktikum ini digunakan 3 jenis gelas air minum dalam kemasan, yaitu AC, Total dan Viro. Ketiga sampel sebanyak 16 gelas untuk masing-masing sampel kemudian dijatuhkan dari ketinggian 85 cm dengan posisi vertikal dan 2 kali ulangan. Kelompok 1 menggunakan kemasan AC dengan jumlah gelas yang rusak sebanyak 4 buah pada ulangan pertama dan 4 buah pada ulangan kedua, sehingga dinyatakan tidak lolos. Kelompok 2 menggunakan kemasan Total dengan tidak adanya gelas yang rusak untuk semua ulangan, sehingga dinyatakan lolos. Kelompok 3 menggunakan kemasan Viro dengan 0 gelas rusak pada ulangan pertama dan 1 gelas rusak pada ulangan kedua, sehingga dinyatakan lolos. Kelompok 4 menggunakan kemasan AC dengan jumlah kemasan rusak sebanyak 4 buah pada ulangan pertama dan 5 buah pada ulangan kedua, sehingga dinyatakan tidak lolos. Kelompok 5 menggunakan kemasan Total dengan 0 gelas rusak pada ulangan pertama dan 1 gelas rusak pada ulangan kedua, sehingga dinyatakan lolos. Kelompok 6 menggunakan kemasan Viro dengan 2 gelas rusak pada ulangan pertama dan 3 gelas rusak pada ulangan kedua, sehingga dinyatakan lolos pada ulangan pertama dan tidak lolos pada ulangan kedua. Dari hasil percobaan dapat diketahui bahwa kemasan yang memiliki kualitas ketahanan jatuh terbaik adalah kemasan Total karena kemasan tersebut lolos uji, baik pada percobaan kelompok 1 maupun kelompok 4. Sedangkan, kemasan AC memiliki kualitas ketahanan jatuh terburuk karena kemasan Total tidak lolos uji, baik pada percobaan kelompok 1 maupun kelompok 4 pada setiap ulangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa air minum dalam kemasan merk Total memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan air minum dalam kemasan merk Viro maupun AC.Ketahanan jatuh dari kemasan gelas dipengaruhi oleh tebal tipisnya jenis plastik yang digunakan sebagai bahan pengemas. Jika kemasannya tipis, maka ketika dijatuhkan dari ketinggian 85 cm akan mengalami kerusakan, begitu juga sebaliknya. Kemasan yang baik harus dapat melindungi produk (air minum) dari guncangan supaya tidak pecah maupun bocor. Kemasan dengan bahan plastik yang tebal akan lebih melindungi produk dari guncangan dan kerusakan.

E. KesimpulanBerdasarkan praktikum Acara I. Global Migrasi, Gramatur, Densitas dan Ketahanan Jatuh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:1. Global migrasi menyatakan jumlah senyawa dalam kemasan yang termigrasi (terlarut) dalam produk yang dikemas akibat suhu tinggi selama distribusi dan penyimpanan2. Simulan digunakan sebagai simulasi komposisi pangan untuk mengukur zat atau komponen yang bermigrasi3. Kemasan Fox dengan simulan asam asetat memiliki nilai global migrasi terbesar, yaitu 285.714,2857 ppm. Sedangkan kemasan Blaster dengan simulan etanol memiliki nilai global migrasi terkecil, yaitu 2.590,6736 ppm4. Hasil praktikum tidak sesuai dengan teori karena standari minimal global migrasi menurut SNI adalah 30 ppm5. Gramatur adalah massa lembaran kertas atau lembaran karton dalam gram dibagi dengan satuan luasnya dalam meter persegi dan diukur pada kondisi standar6. Densitas diperoleh dari hasil pembagian antara gramatur dengan tebal kemasan7. Kemasan Richbar memiliki nilai rerata gramatur terbesar, yaitu 469,867 g/m2, sedangkan nilai rerata gramatur terkecil terdapat pada kemasan Tango sebesar 323,467 g/m28. Kemasan Nabati memiliki nilai rerata densitas terbesar, yaitu 750.713,21 g/m3, sedangkan nilai rerata densitas terkecil terdapat pada kemasan Superstar sebesar 6.758,118 g/m39. Hasil praktikum tidak sesuai teori karena semakin besar gramatur, maka semakin besar pula nilai densitas10. Ketahanan jatuh merupakan indikasi ketahanan kemasaan untuk tidak rusak baik berupa bocor, pecah maupun retak jika dijtuhkan dari ketinggian minimal 75 cm11. Menurut SNI, botol plastik dinyatakan lulus syarat uji jika dari 16 buah botol yang diuji terdapat maksimal 3 buah yang rusak12. Kemasan Total memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan air minum dalam kemasan merk Viro maupun AC

ACARA IIBiodegradable Film

A. Pendahuluan1. Latar BelakangPolisakarida seperti karagenan, agar, gum, khitosan, dan sebagainya dapat digunakan dalam pembuatan biodegradable film, suatu pengemas alternatif tanpa biaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Seperti yang kita tahu, pengemas sintetis seperti plastik terbuat dari bahan baku minyak bumi yang terbatas persediannya, serta tidak mudah didekomposisi. Kemasan biodegradable tidak ditujukkan untuk mengganti secara total pengemas sintetis, tetapi biodegradable film memiliki potensi untuk mengurangi pengemasan dan membatasi perpindahan uap air, aroma dan lemak antara komponen makanan.Dalam pengemasan buah-buah segar, polimer dari polisakarida dapat menjadi pengemas yang sesuai karena sifat permeabilitas selektif polimer tersebut terhadap oksigen dan karbondioksida. Untuk mengurangi permeabilitas uap air, ditambahkan asam lemak. Selain itu, umumnya digunakan komponen berupa polimer berbobot molekul tinggi.2. Tujuan

B. Tinjauan PustakaPlastik banyak digunakan untuk berbagai hal, diantaranya sebagai pembungkus makanan, alas makan dan minum, untuk keperluan sekolah, kantor, automotif dan berbagai sector lainnya. karena memiliki banyak keunggulan antara lain: fleksibel, ekonomis, transparan, kuat, tidak mudah pecah, bentuk laminasi yang dapat dikombinasikan dengan bahan kemasan lain dan sebagian ada yang tahan panas dan stabil (Nurminah, 2002). Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas menghadapi berbagai persoalan lingkungan, yaitu tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat diuraikan secara alami oleh mikroba di dalam tanah, sehingga terjadi penumpukan sampah palstik yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan bagi lingkungan. Kelemahan lain adalah bahan utama pembuat plastik yang berasal dari minyak bumi, yang keberadaannya semakin menipis dan tidak dapat diperbaharui. Seiring dengan persoalan ini, maka penelitian bahan kemasan diarahkan pada bahan-bahan organik, yang dapat dihancurkan secara alami dan mudah diperoleh (Winarno, 1990).Sampah plastik rata-rata memiliki porsi sekitar 10 persen dari total volume sampah. Dari jumlah itu, sangat sedikit yang dapat didaur ulang. Padahal, sampah plastik berbahan polimer sintetik tidak mudah diurai organisme dekomposer. Butuh 300-500 tahun agar bisa terdekomposisi atau terurai sempurna. Membakar plastik pun bukan pilihan baik. Plastik yang tidak sempurna terbakar, di bawah 800 derajat Celsius, akan membentuk dioksin. Senyawa inilah yang berbahaya (Vedder, 2008).

C. Metodologi1. Alat2. Bahan3. Cara KerjaD. Hasil dan PembahasanDewasa ini penggunaan polimer sintetik seperti plastik mempunyai peran penting dalam ekonomi masyarakat industri modern. Akan tetapi, penggunaan polimer sintetik menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena polimer sintetik sulit didegradasi secara alami baik oleh komponen biotik seperti mikroorganisme pengurai maupun komponen abiotik misalnya sinar matahari. Hal ini menimbulkan masalah sangat besar bagi lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian dan penguasaan teknologi pembuatan materi baru yang dapat dan mudah terurai secara alami. Salah satu alternatif yang bisa dipilih adalah pengemas ramah lingkungan berupa biodegradable film. Menurut Austin (1985), biodegradable film secara umum diartikan sebagai film yang dapat didaur ulang dan dihancurkan secara alami oleh mikroorganisme menjadi polimer rantai-rantai pendek. Pada praktikum acara II. Biodegradable Film ini digunakan polisakarida jenis tepung tapioka dan maizena yang merupakan sumber daya terbarukan sebagai bahan bakunya.Pembentukan biodegradable film dari polisakarida, pada prinsipnya merupakan gelatinisasi molekul polisakarida. Proses pembentukan film adalah suatu fenomena pembentukan gel akibat perlakuan suhu, sehingga terjadi pembentukan matriks atau jaringan (Mc Hugh dan Krochta, 1994). Pembentukan larutan film dimulai dengan mensuspensikan 5 gr bahan polisakarida ke dalam 100 ml pelarut aquades dengan penambahan KCL.Selanjutnya, larutan dipanaskan di atas hot plate dengan mekanisme pengaturan suhu yang bertujuan untuk mencapai suhu gelatinisasi pati, sehingga pati dapat tergelatinisasi sempurna dan diperoleh film yang homogen serta utuh. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembentukan gel yang dimulai dengan hidrasi pati, yaitu penyerapan molekul-molekul air oleh molekul-molekul pati. Apabila tanpa adanya pemanasan, kemungkinan terjalin interaksi intermolekuler sangat kecil, sehingga pada saat dikeringkan film menjadi retak. Gelatinisasi dapat terjadi apabila air melarutkan pati yang dipanaskan sampai suhu gelatinisasinya (Mc Hugh dan Krochta, 1994). Menurut Furia (1968), suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 52-64oC, sedangkan tepung maizena memiliki suhu gelatinisasi yang berkisar antara 62-72oC. Selain dilakukan pengontrolan terhadap suhu, dilakukan juga pengadukan menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan rpm yang dapat diatur. Menurut Mustika (2006), waktu dan kecepatan pengadukan akan berpengaruh terhadap pemecahan granula pati. Kecepatan tinggi dan waktu pengadukan yang lama akan menyebabkan terjadinya pemecahan partikel menjadi partikel yang lebih kecil. Selain itu, penambahan garam elektrolit seperti KCl (Anzel, 1989 dalam Chairu dan Sofnie, 2006) dapat menyebabkan stabilitas suspensi terganggu, sehingga suspensi pecah dan pati mengendap secara perlahan-lahan. Dengan penambahan gaya kecepatan putaran (sentrifugal), pati akan lebih cepat mengendap. Setelah larutan pati tergelatinisasi, dilakukan penambahan 2 ml gliserol. Gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofobik, sehingga cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik seperti pati. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya dapat meningkatkan fleksibilitas film (Bertuzzi et al., 2007 dalam Kusumasmarawati 2007). karena plasticizer mampu mengurangi ikatan hidrogen internal yang dapat meningkatkan jarak antar molekul sehingga dapat mengurangi kerapuhan film yang dihasilkan. Saat terjadi gelatinisasi, granula pati pecah dan molekul-molekul amilosa dan amilopektin terlarut ke dalam larutan. Molekul-molekul amilosa dan amilopektin saling berhubungan sebagian besar melalui ikatan hidrogen. Menurut Liu dan Han (2005) dalam Kusumasmarawati (2007), tanpa plasticizer amilosa dan amilopektin akan membentuk suatu film dan suatu struktur dimana satu daerah kaya amilosa dan amilopektin. Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin mendukung formasi film, menjadikan film pati menjadi rapuh dan kaku. Keberadaan dari plasticizer di dalam film pati bisa menyela pembentukan double helices dari amilosa dengan cabang amilopektin, lalu mengurangi interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin, sehingga meningkatkan fleksibilitas film pati (Zhang dan Han, 2006 dalam Kusumasmarawati 2007).Setelah dilakukan penambahan gliserol, larutan diaduk selama 30 menit. Untuk memperoleh lapisan film, maka larutan film kemudian yang masih hangat selanjutnya dituang dan diratakan di atas mika. Larutan yang kemudian dikeringkan pada oven bersuhu 60 C selama 10 jam. Pengeringan dilakukan untuk menguapkan pelarut supaya diperoleh biodegradable film. . Menurut Kayserilioglu et al. (2003) pengeringan dapat mempengaruhi sifat mekanis. Suhu yang digunakan akan mempengaruhi waktu pengeringan dan kenampakan edible film yang dihasilkan. semakin lama pengeringan kadar air edible film semakin rendah. Semakin lama pengeringan, semakin banyak kandungan uap air dari edible film yang menguap. Penurunan kadar air menyebabkan elongasi menjadi menurun, sehingga terjadi penurunan kemampuan edible film untuk digulung karena edible film menjadi ber-kurang kemampuannya untuk diregangkan.Tapioka adalah pati yang diekstrak dari ubi kayu segar (Astawan, 2010). Tapioka tersusun dari dua macam karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Dari hasil praktikum, diketahui bahwa film yang dihasilkan dari pati tapioka memiliki sifat yang elastis dan berkenampakan jernih. Hal tersebut relevan dengan pernyataan Chandra (2011) bahwa dalam pembuatan biodegradable film, tapioka digunakan untuk meningkatkan kehalusan permukaan, menambah kecerahan, dan meningkatkan kemampuan daya cetak lembaran. Arinda (2009) juga menambahkan bahwa pembuatan edible film dari pati tapioka memiliki karakteristik yang cukup baik walaupun laju transmisi terhadap uap air cukup tinggi.Maizena merupakan tepung yang diperoleh dari jagung. Zein dalam maizena mempunyai komposisi asam amino penyusun yang sebagian besar berupa asam amino non polar seperti leusin, prolin, dan alanin (Shewry dan Miflin, 1985 dalam Krochta et al., 1994), kandungan inilah yang diharapkan mampu menurunkan laju transmisi uap air dari edible film yang dihasilkan. Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa film yang terbuat dari tepung maizena bersifat bening, kuat namun cukup elastis. Hal tersebut sesuai dengan teori Krochta et al., (1994) yang berkata bahwa tepung maizena dapat digunakan untuk membuat edible film yang kuat namun tetap ulet atau elastis, serta mempunyai sifat penghambat yang bagus terhadap uap air. Zein juga mempunyai sifat thermoplastik dan hidrofobisitas yang unik. Bila zein dipanaskan dengan pati pada suhu lebih besar 60C campuran tersebut akan menjadi suatu adonan dan mempunyai sifat viscolatil.Tepung komposit yang terdiri dari tapioka dan maizena juga digunakan dalam pembuatan biodegradable film. Dari hasil praktikum dapat diketahui bahwa tepung komposit menghasilkan film yang bersifat transparan namun agak keruh dan memiliki keelastisitasan yang cukup kuat. Menurut teori dari Siswanti (2008) dan Manuhara (2003) yang menggunakan bahan berupa glukomanan, maizena serta karaginan, penambahan komponen lain yang bersifat hidrofobik, seperti maizena dapat meningkatkan presentase kelarutan film dan viskositas, sehingga film yang dihasilkan dapat bersifat elastis. Sehingga dapat diketahui bahwa hasil praktikum telah sesuai dengan teori. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas biodegradable film, antara lain suhu, konsentrasi polimer dan plasticizer. Perlakuan suhu diperlukan untuk membentuk edible film yang utuh. Tanpa adanya perlakuan panas kemungkinan terjadinya interaksi molekuler sangatlah kecil, sehingga pada saat film dikeringkan akan menjadi retak dan berubah menjadi potongan-potongan kecil. Perlakuan panas diperlukan untuk membuat pati tergelatinisasi, sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal dari edible film. Kisaran suhu gelatinisasi pati rata-rata 64,50C - 700 C ( Mc Hugh dan Krochta, 1994).Konsentrasi pati pun sangat berpengaruh, terutama pada sifat fisik serta sifat pasta dari film yang dihasilkan. Menurut Krochta dan Johnson (1997), semakin besar konsentrasi pati maka jumlah polimer penyusun matrik film semakin banyak sehingga dihasilkan film yang tebal. Sedangkan plasticizer yang mempunyai titik didih tinggi juga berperan sangat penting dalam mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif (Gotard et al., 1993). Menurut Krochta dan Jonhson (1997), plasticizer polyol yang sering digunakan yakni seperti gliserol dan sorbitol. Konsentrasi gliserol 1 - 2 % dapat memperbaiki karakteristik film.

E. KesimpulanBerdasarkan praktikum Acara II. Biodegradable Film, dapat ditarik kesimpulan, antara lain:1.

ACARA IIIPengujian Karakteristik dan Aplikasi Biodegradable Film

A. Pendahuluan1. Latar BelakangAkibat pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, alga) dengan kondisi dan waktu tertentu, struktur kimia dari plastik biodegradable dapat mengalami perubahan.Perubahan tersebut dapat mempengaruhi sifat-sifat yang dimiliki oleh biodegradable film. Sifat fisik film meliputi sifat mekanik, yaitu kekuatan film menahan kerusakan bahan selama pengolahan, serta sifat penghambatan, yaitu kemampuan film melindungi produk yang dikemas. Beberapa sifat fisik film antara lain ketebalan, kekuatan renggang putus (tensile strength), pemanjangan (elongasi), kelarutan (solubility), laju transmisi uap air (water vapour transmission rate).Persen kelarutan film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan dalam air selama 24 jam. Laju transmisi uap air adalah jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Permeabilitas uap air menyatakan kemudahan kemasan untuk ditembus oleh uap air, sangat dipengaruhi oleh jenis bahan kemasan, ketebalan kemasan, suhu dan RH.2. Tujuan

B. Tinjauan PustakaEdible film sebagai bahan pengemas sampai saat ini sudah digunakan secara luas pada beberapa produk buah, sayuran, maupun produk olahan lainnya, misalnya: pisang, apel, jeruk, tomat, mentimun segar, lada, steak sapi dan candy (Krochta dan de Mulder Johnston, 1997). Diperoleh banyak keuntungan dari penggunaan edible film sebagai pengemas dibandingkan pengemas sintetis, yang sebagian besar berasal dari plastik. Keuntungan tersebut antara lain dapat dikonsumsi langsung bersama produk yang dikemas, berfungsi sebagai suplemen gizi, sebagai pembawa flavor, pewarna, zat antimikrobia dan antioksidan (Gennadios dan Weller, 1990 dalam Krochta dan de Mulder Johnston, 1997).Berdasarkan bahan baku yang dipakai, biodegradable film dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama campuran petrokimia (non-renewable resources) dengan bahan aditif dari senyawa bio-aktif yang bersifat biodegradable. Kelompok kedua bahan baku dari sumber daya alam terbarukan (renewable resources) secara keseluruhan seperti dari bahan tanaman pati, selulosa dan hewan seperti cangkang atau mikroorganisme (Ningsih, 2010).Bahan tambahan yang dicampurkan pada pembuatan plastik bertujuan untuk memperbaiki sifat mekanik plastik. Sifat mekanik plastik sangat penting dalam pengemasan dan penyimpanan produk terutama dari faktor mekanis seperti tekanan fisik (jatuh dan gesekan), getaran, benturan antara bahan dengan alat atau wadah selama penyimpanan dan pendistribusian (Harsunu, 2008). Bahan yang ditambahkan berfungsi sebagai plasticizer, penstabil, pewarna, dan penyerap UV.

C. Metodologi1. Alat2. Bahan3. Cara KerjaD. Hasil dan PembahasanDalam praktikum acara III Pengujian Karakteristik dan Aplikasi Biodegradable Film ini diuji sifat fisik dan aplikasi dari biodegradable film. Menurut Austin (1985), biodegradable film secara umum diartikan sebagai film yang dapat didaur ulang dan dihancurkan secara alami oleh mikroorganisme menjadi polimer rantai-rantai pendek. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, biodegradable film merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan (Firdaus dan Anwar, 2008).Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan mampu memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Pada Tabel 3.1 dapat diketahui persen kelarutan film dari 3 jenis sampel biodegradable film berbahan tepung komposit (tapioka + maizena), tapioka dan maizena. Kelompok 1 dengan film komposit memiliki berat kertas saring sebesar 0,6966 gr, berat kertas saring setelah di oven sebesar 0,783 gr dan berat film tidak larut sebesar 0,087 gr. Kelompok 2 dengan film tapioka memiliki berat kertas saring sebesar 0,653 gr, berat film awal sebesar 0,175 gr, berat kertas saring setelah di oven sebesar 0,688 gr dan berat film tidak larut sebesar 0,035 gr. Kelompok 3 dengan film maizena memiliki berat kertas saring setelah di oven sebesar 0,847 gr. Kelompok 4 dengan film komposit memiliki berat kertas saring sebesar 0,676 gr, berat film awal sebesar 0,207 gr, berat kertas saring setelah di oven sebesar 0,772 gr dan berat film tidak larut sebesar 0,096 gr. Kelompok 5 dengan film tapioka memiliki berat kertas saring sebesar 0,676 gr, berat film awal sebesar 0,285 gr, berat kertas saring setelah di oven sebesar 0,803 gr dan berat film tidak larut sebesar 0,127 gr. Kelompok 6 dengan film maizena memiliki berat kertas saring setelah di oven sebesar 0,910 gr. Berdasarkan data-data yang telah didapatkan, dapat diketahui persen kelarutan biodegradable film. Menurut Gontard (1993), persen kelarutan adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selam 24 jam. Persen kelarutan didapatkan dengan menghitung selisih berat film awal dan berat film tidak larut dibagi dengan berat film awal, lalu dikalikan 100%. Kelompok 2 dengan film tapioka memiliki persen kelarutan film sebesar 80%, kelompok 4 dengan film komposit memiliki persen kelarutan film sebesar 53,6232% sedangkan kelompok 5 dengan film tapioka memiliki persen kelarutan film sebesar 49,2248%. Kelarutan film merupakan faktor yang penting dalam menentukan biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemas. Ada film yang dikehendaki tingkat kelarutannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis produk yang dikemas (Nurjannah, 2004).Seharusnya jenis polisakarida yang sama memberikan nilai kelarutan yang sama, namun pada praktikum dapat diketahui bahwa film tapioka dari kelompok 2 dan 5 memiliki tingkat kelarutan yang berbeda, yaitu 80% dan 49,2248%. Padahal menurut Haryadi (1999), amilopektin umumnya merupakan penyusun utama kebanyakan granula pati. Tepung tapioka mengandung kadar amilosa sebesar 17,41% dan amilopektin sebesar 82,13% (Helmi, 2001). Dengan kadar amilopektin yang tinggi maka kelarutan tepung tapioka dalam air lebih rendah. Rokhaniah (2003) menambahkan bahwa suhu juga mempengaruhi kelarutan film. Beberapa molekul ada yang tidak larut dalam air dingin, namun dengan semakin meningkatnya suhu akan terjadi pelelehan atau chain melting yang memungkinkan terpenetrasinya air ke bagian yang bersifat hidrofilik, oleh karena itu pemanasan yang kurang tepat dapat menyebabkan penyimpangan. Begitu pula dengan proses pengadukan menggunakan magnetic stirrer, dimana dijelaskan oleh Mustika (2006) bahwa waktu dan kecepatan pengadukan akan berpengaruh terhadap pemecahan granula pati. Kecepatan tinggi dan waktu pengadukan yang lama akan menyebabkan terjadinya pemecahan partikel menjadi partikel yang lebih kecil, sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kelarutan film. Secara umum karakteristik kemasan yang diukur dan diamati dari biodegradable film antara lain adalah kuat tarik (tensile strength), persen pemanjangan (elongation to break), permeabilitas (Harsunu, 2008) dan kelarutan (Gontard and Guilbert, 1992). Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film sebelum film putus atau robek. Kuat tarik menggambarkan gaya maksimum yang terjadi pada film selama pengukuran berlangsung. Hasil pengukuran kuat tarik berhubungan erat dengan konsentrasi plasticizer yang ditambahkan pada proses pembuatan film. Penggunaan plasticizer pada konsentrasi tertentu akan menghasilkan film dengan kuat tarik yang lebih rendah (Harsunu, 2008).Persen pemanjangan menggambarkan perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan hingga film terputus. Pada umumnya plasticizer dalam jumlah lebih besar akan membuat nilai persen pemanjangan suatu film meningkat lebih besar (Harsunu, 2008). Nilai laju transmisi uap digunakan untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas di dalamnya. Nilai laju transmisi uap juga digunakan untuk menentukan produk atau bahan pangan apa yang sesuai untuk kemasan tersebut. Nilai laju transmisi uap mencakup laju transmisi uap terhadap uap air dan gas (Harsunu, 2008). Sedangkan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, persen kelarutan adalah persentase kelarutan biodegradable film yang dilihat dari berat kering setelah dicelupkan dalam air selama waktu tertentu (Gontard and Guilbert, 1992).Pada Tabel 3.2 dapat diketahui aplikasi biodegradable film dalam pengaruhnya terhadap susut berat buah anggur. Anggur-anggur tersebut diberi 3 jenis perlakuan, yaitu perlakuan control (tanpa dikemas), perlakuan kemasan wrap dan perlakuan kemasan biodegradable film. Kemasan biodegradable itu sendiri terdiri dari 3 jenis polisakarida, yaitu tepung komposit, tepung tapioka dan tepung maizena. Pengamatan dilakukan dengan menimbang cawan berisi buah anggur pada jam ke-0, 2, 4, 6, dan 8. Untuk kelompok 4 pada perlakuan control atau tanpa dikemas didapatkan berat sebesar 9,672 gr pada jam ke-0, 9,597 gr pada jam ke-2, 9,537 gr pada jam ke-4, 9,478 pada jam ke-6 dan 9,416 pada jam ke-8. Buah anggur mengalami penurunan berat sepanjang penyimpanan tanpa kemas. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Poeloengasih dan Marseno (2003) yang berkata bahwa susut berat terbesar terjadi pada buah yang tidak dikemas (control). Hal ini disebabkan karena tidak ada film yang berfungsi sebagai penghalang terjadinya migrasi uap air. Hal yang sama terjadi pada perlakuan wrapping dimana didapatkan berat sebesar 8,675 gr pada jam ke-0, 8,664 gr pada jam ke-2, 8,651 gr pada jam ke-4, 8,639 gr pada jam ke-6 dan 8,627 gr pada jam ke-8. Sedangkan pada perlakukan coating dengan biodegradable film berbahan komposit didapatkan berat sebesar 11.155 gr pada jam ke-0, 11.245 gr pada jam ke-2, 11.239 gr pada jam ke-4, 11.221 gr pada jam ke-6 dan 11.136 pada jam ke-8. Dari perlakuan ini didapatkan hasil yang fluktuatif.

Tabel 3.3 Hasil Regresi Pengamatan Susut Berat Buah Anggur pada Aplikasi Biodegradable FilmKelPerlakuanSlope

1Kontrol-0,017

Wrap-0,007

BF Komposit0,002

2Kontrol-0,033

Wrap-0,012

BF Tapioka-0,019

3Kontrol-0,017

Wrap-0,008

BF Maizena-0,005

4Kontrol-0,031

Wrap-0,031

BF Komposit-0,003

5Kontrol-0,021

Wrap-0,013

BF Tapioka-0,010

6Kontrol-0,027

Wrap-0,015

BF Maizena0,013

Sumber: Laporan SementaraSetelah diketahui data susut berat, dihitung nilai slope dengan menggunakan cara regresi, dimana x adalah waktu penimbangan dan y adalah susut berat. Kelompok 1 mendapatkan hasil slope dari perlakuan control sebesar -0,017, perlakuan plastic wrap sebesar -0,007 dan perlakuan biodegradable film jenis komposit sebesar 0,002. Kelompok 2 mendapatkan hasil slope dari perlakuan control sebesar -0,033, perlakuan plastic wrap sebesar -0,012 dan perlakuan biodegradable film jenis tapioka sebesar -0,019. Kelompok 3 mendapatkan hasil slope dari perlakuan control sebesar -0,017, perlakuan plastic wrap sebesar -0,008 dan perlakuan biodegradable film jenis maizena sebesar -0,005. Kelompok 4 mendapatkan hasil slope dari perlakuan control sebesar -0,031, perlakuan plastic wrap sebesar -0,031 dan perlakuan biodegradable film jenis komposit sebesar -0,003. Kelompok 5 mendapatkan hasil slope dari perlakuan control sebesar -0,021, perlakuan plastic wrap sebesar -0,013 dan perlakuan biodegradable film jenis tapioka sebesar -0,010. Kelompok 6 mendapatkan hasil slope dari perlakuan control sebesar -0,027, perlakuan plastic wrap sebesar -0,015 dan perlakuan biodegradable film jenis maizena sebesar 0,013.Nilai minus pada hasil slope menunjukkan penurunan berat. Jika penurunan berat semakin besar, maka dapat disimpulkan kemasan tersebut memiliki kualitas yang tidak baik. Dari hasil praktikum, perlakuan control pada kelompok 2 menghasilkan penurunan berat yang paling tinggi, yaitu -0,033. Sedangkan perlakuan wrapping memberikan hasil penurunan berat yang stabil. Perlakuan coating dengan biodegradable film menunjukkan hasil yang naik turun (tidak stabil), kadang terjadi penambahan berat dan penurunan berat. Hasil praktikum telah sesuai dengan penelitian Poeloengasih dan Marseno (2003) yang berkata perlakuan control menyebabkan susut berat dan wrapping dapat memperkecil terjadinya susut berat. Aplikasi coating kurang efektif dalam mempertahankan susut berat jika dibandingkan dengan cara wrapping. Hal ini disebabkan pada cara coating lapisan film yang terbentuk pada permukaan buah sangat tipis, sehingga tidak mampu mencegah kontak antara buah dengan oksigen yang mengakibatkan terjadinya transmisi air keluar dari buah. Sedangkan aplikasi wrapping lebih efektif karena film yang terbentuk relatif lebih tebal. Baldwin (1994) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan biodegradable film untuk menghambat susut berat adalah jenis dan ketebalan film. Namun, menurut Kester dan Fenema (1986), film yang sesuai untuk produk buah-buahan segar adalah film dari polimer polisakarida karena sifat permeabilitasnya yang selektif dari polimer tersebut terhadap oksigen dan karbondiokasida. Untuk memperkecil permeabilitasnya, terhadap uap air maka dalam polimer sering ditambahkan asam lemak, salah satunya adalah gliserol.Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik, seperti pektin, pati, gelatin, dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis protein. Gliserol merupakan suatu molekul hidrofilik yang relatif kecil dan mudah disisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen yang gugus amida dan protein gluten. Hal ini berakibat pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antar rantai protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati film gluten yang dilaporkan meningkat seiring dengan peningkatan kadar gliserol dalam film akibat dari penurunan kerapatan jenis protein (Gontard et al., 1993).Kemampuan edible film dalam menahan migrasi uap air dari buah merupakan sifat yang penting untuk diketahui, karen menurut Gontard et.al. (1993), salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap. Krochta et. al. (1994) juga menyebutkan, pada umumnya kehilangan air pada produk buah-buahan dan sayur-sayuran merupakan penyebab utama kerusakan selama penyimpanan. Kehilangan air dapat menyebabkan buah-buahan dan sayuran mengalami susut berat dan tampak layu atau berkerut sehingga kurang diminati oleh konsumen. Uji susut berat menunjukkan kemampuan film untuk melindungi produk yang dikemas dari migrasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam bahan sehingga bahan tetap terjaga kualitasnya. Semakin kecil nilai susut beratnya, maka kemasan semakin baik.Selain itu, kemasan juga memiliki kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi tertentu yang disebut dengan permeabilitas film kemasan (Omor, 2010). Menurut Syarief et al. (1989), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan, yaitu jenis film, suhu, ada tidaknya plasticizer, jenis polimer film, sifat dan besar molekul gas serta solubilitas atau kelarutan gas. Plastik wrap terbuat dari PVC (Polyvinyl chloride) dimana menurut Suyitno (1990), PVC mempunyai sifat keras, kaku, jernih dan mengkilap, sangat sukar ditembus air dan permeabilitas gasnya rendah sehingga sesuai untuk mengemas makanan yang banyak mengandung air. Begitu pula dengan polimer berbahan dasar komposit, menurut Pratiwi (2011), beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan membran komposit menawarkan permeabilitas dan kekuatan mekanik yang tinggi. Dari ketiga sampel yang digunakan dalam acara III, biodegradable film yang terbuat dari film yang paling baik merupakan film yang terbuat dari biodegradasi film berbahan dasar tepung yang ditambahkan dengan gliserol, hal sesuai dengan teori yang telah ada dan dibuktikan dengan berat susut buah yang tidak terlalu menurun apabila dikemas menggunakan plastik berbahan dasar tepung yang ditambahkan dengan gliserol. Selain itu, daya larutnya terhadap air pun tinggi, sehingga aman pula untuk lingkungan dalam hal proses pendaur ulang sampah.

DAFTAR PUSTAKA

Anggriani, Dewi., et al. 2010. Identifikasi Kemasan Pangan. Supervisor Jaminan Mutu Pangandirektorat Program Diploma. Institut Pertanian Bogor.Austin. 1985. Shereves Chemical Process Industries. Mc. Graw : Hill Book Co. Tokyo.Baldwin, E. A. 1994. Edible Coatings for Fresh Fruits and Vegetables: Past, Present and Future. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. Basel.Bertuzzi, M.A., E.F.C. Vidaurre, M. Armada dan J.C Gottifredi, 2007. Water Vapor Permeability of Edible starch based films. J. Food Enggineering. 80 : 972-978 doi : 10.1016/J.J Foodeng. 2006.07.016Bourtoom, T. 2007. Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible Film Prepared from Starches. Songkhla: Department of Material Product Technology. Challenges and Opportunities. Food Technology. 51 (2): 61-73.Budiawan, R.N. 2004. Ekses Bahan Kemasan terhadap Kesehatan dan Lingkungan. Di dalam: Prosiding Lokakarya Wadah Pangan. Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPPOM, Jakarta. Chandra, L.H. 2011. Pengaruh konsentrasi tapioka dan sorbitol dalam pembuatan edible coating pada penyimpanana buah melon. (Skripsi). Departemen Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. 68 Hlm. Firdaus, Feris dan Chairil Anwar. 2008. Potensi Limbah Padat-cair Industri Tepung Tapioka sebagai Bahan Baku Film Plastik Biodegradabel. Logika. Yogyakarta.Furia, Thomas E. 1968. CRC Handbook of Food Additives. Chemical Ruber Co Press. California.Gennadios, A., H.J. Park dan C.L. Weller, 1990. Relative Humidity and Temperature Effecs on Tensile Strength of Edible Proteins and Cellulose Ether Film. Trans ASAE 36:1867-1872Gontard, N., Guilbert., S., dan Cuq, J.L., 1993. Water and Glyserol as Plasticizer Afect Mechanical and Water Barrier Properties of an Edible Wheat Gluten Film. J. Food Science. 58(1): 206 - 211.Harsunu, Bayu Tri. 2008. Edible Film dari Khitosan dengan Plasticizer Gliserol. Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.Helmi, Harris. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dari Pati Tapioka untuk Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 3. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.Julianti, Elisa dan Mimi Nurminah. 2006. Buku Ajar Teknologi Pengemasan. Universitas Sumatera Utara.Kayserilioglu, B.S., U. Bakir, L. Yilmaz, and N.I Akkasu. 2003. Drying temperature and relative humidity effects on wheat gluten film properties. J. Agric. Food Chem. 51: 964-968 Krochta & De Mulder Johnston, 1997. Edible and Biodegradable Polymers Film: Changes & Opportunities. Food Technology 51Liu, Z. dan J.H Han, 2005. Film forming characteristics of starches. J. Food Science. 70 (1) : E 31- E 36.Manuhara, G.J., 2003. Ekstraksi Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma sp. Untuk Pembuatan Edible Film. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Mc Hugh, T. H and J. M. Krochta, 1994. Permeability Properties of Edible Film, dalam Krochta, J. M. , E. A. Baldwin and M.O. Nisperos Carriedo ( Eds ), Edible Coating and Film to Improve Food Quality, Technomic Pulb. Co. Inc. , Lancester, Basel McCort-Tipton, M. and R.L. Pesselman. 1999. What Simulant is Right for My Intended End Use?. In: Food Packaging. Testing Methods and Applications. (S. J. Risch, ed.). American Chemical Society, Washington DC.Mustika, Deni., et al. 2006. Pengaruh Waktu dan Kecepatan Pengadukan terhadap Distribusi Ukuran Partikel pada Analisa Standar Garnet Menggunakan Alat Sedigraph 5100. ISSN 0854 - 5561Nurminah, M. 2002. Penelitian Sifat Berbagai Bahan Kemasan Plastik dan Kertas serta Pengaruhnya terhadap Bahan yang Dikemas. Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian USU.Omor, Nabilah Binti. 2010. Characterization and Antimicrobial Analysis of Cassava Starch- Chitosan Blend Biodegradable Film with Addition of Black Cumin Oil. Faculty of Chemical & Natural Resources Engineering Universiti Malaysia Pahang. Poeloeningsih, C. Dewi dan Djagal W. Marseno. 2003. Karakterisasi Edible Film Komposit Portein Biji Kecipic dan Tapioka. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. 17. No. 3. Pratiwi, Mumpuni Asih(2011). PEMBUATAN MEMBRAN KOMPOSIT PERVAPORASI BERBASIS POLYETHER SULFONE-BIOPOLIMER UNTUK DEHIDRASI BIOETHANOL.Masters thesis, Universitas Diponegoro. Rokhaniah, 2003. Isolasi dan Karakterisasi Pati Biji Nangka (Artocorpus heterophyllus Lamk) untuk Pembuatan Biodegradable Film. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian UGM. YogyakartaSacharow. S. dan R.C. Griffin. 1980. Principles of Food Packaging. The AVI Publishing. Co. Inc. Westport. Connecticut.Sandra?Shewry, P.R. and B.J. Miflin, 1985. Seed Storage Proteins of Economically Important Cereals in Advances in Cereal Science and Technology, Vol 7, Y. Pomeranz, ed. St. Paul, MN : American Association of Cereal Chemists. Inc., pp 1-83.SNI, 2004. SNI 06-0182-2004: Film PVC untuk Kemasan Kembang Gula. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. SNI, 2004. SNI 19-4370-2004: Botol Plastik untuk Air Minum dalam Kemasan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. SNI, 2006. SNI 14-0440-2006; Gramatur Kertas dan Karton. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.Syarief, R., Sasya Sentausa; dan St Isyana, 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor.Vedder, T. 2008. Edible Film. http://japemethe.port5.com Diakses pada hari Rabu, 9 April 2014 pukul 01.00 WIB.Warsiki, E. 2013. Material Kontak Pangan dan Kemasan Pangan. Teknologi Pengemasan Lanjut Bab 3: 29-30Winarno, F.1990. Karakterisasi Kulit. Diakses pada hari Rabu, 9 April 2009 pukul 00.56 WIB.Zhang, V., and J.H. Han, 2006. Plasticization of pes starch film with monosaccharides and polyols. J. Food ist. 71 (6) : E 253-E261

LAMPIRAN