laporan survei rawa tripa

16
KOALISI NGO HAM ACEH 2012 Survei Sosial Ekonomi untuk Masyarakat di Kawasan Rawa Tripa

Upload: ahmady-meuraxa

Post on 17-Feb-2015

118 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

Penelitian tentang tingkat sosial ekonomi masyarakat di kawasan Rawa Tripa, Provinsi Aceh. Rawa Tripa merupakan kawasan hutan lindung di wilayah Nagan Raya dan Aceh Barat daya sudah tergerus oleh kepentingan kapitalisme para perusahaan kelapa sawit.

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Survei Rawa Tripa

KOALISI NGO HAM ACEH

2012

Survei Sosial Ekonomi

untuk Masyarakat di

Kawasan Rawa Tripa

Page 2: Laporan Survei Rawa Tripa

I. PENDAHULUAN Pengalihan lahan di kawasan Rawa Tripa menjadi lokasi lahan usaha oleh sekelompok

perusahaan perkebuan kelapa sawit telah memicu perdebatan yang sangat serius di

Aceh. Kebijakan Pemerintah Aceh yang memberi izin untuk usaha sawit di kawasan

rawa tersebut, menghadirkan banyak protes dari berbagai pihak. Tidak hanya warga

lokal dan kalangan pecinta lingkungan, tapi juga dunia internasional mempertanyakan

kebijakan tersebut. Wajar jika kemudian program pembanguan Green Aceh yang

dikampanyekan Pemerintah Aceh sejak Juli 2007, mendapat gugatan dari banyak pihak.

Pemerintah Aceh diangga tidak konsisten dalam menjalankan programnya terkait

dengan pelestarian lingkungan.

Sebagaimana diketahui, Aceh termasuk dari sedikit wilayah di Indonesia yang masih

memiliki kawasan hutan tropika basah yang cukup luas, yaitu 3.549.813 hektar (

sumber: Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian, Kehutanan). Dari kawasan hutan

tersebut, di antaranya merupakan kawasan konservasi dengan berbagai jenis, yaitu

hutan lindung di dalam kawasan dan di luar kawasan, hutan produksi konversi, hutan

produksi dan rawa.

Bila dibandingkan dengan luas wilayah darat Provinsi Aceh sekitar 5.677.081 hektar,

maka luas hutan Aceh ada sekitar 62,53% dari luas daratan Aceh. Kawasan hutan

tersebut tidak hanya memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat lokal dan

negara tetapi juga berperan dalam menjaga keseimbangan lingkungan secara

komprehensif, terutama terkait dengan jasa lingkungan dan meminimalisasi bencana.

Dalam hal ini terkait dengan fungsi hutan untuk:

(1) menjaga keberlangsungan fungsi hidrologis,

(2) mencegah erosi,

(3) mempertahankan tingkat kesuburan tanah,

(4) mencegah terjadi pemanasan global, serta

(5) perubahan iklim.

Dengan demikian keberadaan hutan Aceh tidak hanya bermanfaat untuk masyarakat

lokal, kabupaten, provinsi, maupun pusat melainkan juga untuk kepentingan

masyarakat dunia. Oleh sebab itu keberadaan Aceh secara komprehensif menjadi

sangat penting untuk diperhatikan, sehingga kesejahteraan masyarakatnya dapat terus

ditingkatkan dan sekaligus berkontribusi untuk menyelamatkan lingkungan di

sekitarnya serta kepentingan dunia internasional (terkait perubahan iklim global).

Berbicara dalam konteks kawasan hutan tentu, maka kawasan hutan rawa gambut

termasuk salah satu di dalamnya. Secara ekonomis wilayah ini memang relatif lebih

rendah dalam memberikan manfaat secara langsung, karena untuk memanfaatkan

wilayah ini perlu suatu teknologi yang tepat dan recovery-nya perlu waktu yang relatif

Page 3: Laporan Survei Rawa Tripa

lama sehingga biaya yang diperlukan untuk pemanfaatannya menjadi lebih besar.

Namun secara ekologis wilayah ini mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu :

1) daerah cekungan mengandung gambut dapat berfungsi menyimpan air ketika

luapan sungai terjadi;

2) mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan;

3) sebagai habitat satwa langka (harimau, orang utan, mentok rimba, beruang

madu, buaya muara, burung rangkong, ikan kerling, ikan lele, belut, paitan,

dan karang); dan

4) pengendali cuaca dan iklim.

Luas hutan rawa gambut yang dimiliki Aceh pada saat ini tersebar di beberapa

kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Singkil seluas 100.000 hektar, Aceh Selatan (Kluet)

seluas 18.000 hektar, dan Tripa (Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya) seluas

61,803 hektar. Untuk kawasan hutan rawa gambut yang berada di Kabupaten Aceh

Singkil dan Aceh Selatan sudah ditetapkan menjadi kawasan lindung Suaka Margasatwa

Rawa Singkil sehingga secara legal harus dilindungi.

Peta kawasan Rata Tripa

Namun kawasan hutan rawa gambut yang berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh

Barat Daya hingga saat ini statusnya masih APL (Area Penggunaan Lain), padahal

sebahagian kedalaman gambut di Tripa bisa mencapai 3 - 5 meter, sehingga menurut

Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, daerah ini

Page 4: Laporan Survei Rawa Tripa

seyogyanya harus dijadikan sebagai kawasan lindung. Namun, hutan yang berada

dalam kawasan ini sudah banyak dibuka untuk dikonversikan menjadi lahan

perkebunan kelapa sawit yang konsesinya dimiliki oleh beberapa perusahaan besar

mencapai sekitar 85% dari kawasan ini.

Beberapa perusahaan perkebunan yang beroperasi di kawasan ini adalah P.T. Gelora

Sawita Makmur, P.T. Kallista Alam, P.T. Patriot Guna Sakti Abadi II, P.T. Cemerlang Abadi

dan P.T. Agra Para Citra. Pada tahun 2007, P.T. Astra Agro Lestari mengambil alih P.T.

Agra Para Citra concession.

Agar kawasan hutan gambut rawa tripa tidak musnah akibat intervensi dari beberapa

perusahaan besar perkebunan maka perlu segera dicari solusinya agar dapat dijadikan

sebagai kawasan lindung, terutama yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 meter. Hal

ini perlu melibatkan partisipasi semua pemangku kepentingan (multi stakeholder) agar

dapat berjalan dengan baik, tidak hanya komponen lembaga di tingkat daerah

melainkan juga ditingkat pusat.

Kawasan hutan rawa gambut Tripa yang berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh

Barat Daya ini luasnya mencapai 61.803 hektar, di mana sekitar 60% dari wilayah

tersebut berada di Kabupaten Nagan Raya, dan selebihnya 40% berada di wilayah

Kabupaten Aceh Barat Daya.

Surveri Fakultas Pertanian Unsyiahm Banda Aceh (2008) menyebutkan, kawasan hutan

gambut Tripa memiliki tingkat kedalaman gambut mencapai 3 - 5 meter. Pada kawasan

ini mengalir 4 buah sungai, yaitu sungai Tripa, Seuneuam, Batee dan Seumayam.

Tingkat kerusakan ekosistem hutan gambut Tripa yang semakin meningkat perlu

segera dicari jalan pemecahannya. Hal yang sangat mendesak adalah menyelamatkan

hutan gambut yang masih tersisa dari kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunan

dan aktivitas lainnya. Untuk melakukan hal tersebut tentu memerlukan suatu

kesamaan persepsi dan komitmen yang kuat dari semua pihak.

Selanjutnya perlu ditetapkan kawasan potensial untuk dilindungi dan kemudian

dilakukan upaya restorasi agar kawasan ekosistem hutan gambut Tripa menjadi pulih

seperti sediakala sehingga fungsi ekologisnya dapat berperan dalam menjaga

keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Dalam melaksanakan upaya restorasi tentu

perlu keterlibatan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya sehingga dalam

jangka panjang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal dan

sekaligus kawasan hutan gambut dapat diselamatkan.

II. UPAYA PENYELAMATAN RAWA TRIPA

Melihat pentingnya peranan kawasan Rawa Tripa dalam pelestarian ekosistem lahan

gambut, tentu saja membuat pra kelompok pecinta lingkungan dan dunia internasional

Page 5: Laporan Survei Rawa Tripa

sangat memprihatikan kalau kawasan yang penting justru menjadi lokasi perkebunan.

Penguasaan 85 persen kahan rawa Tripa oleh kalanga perusahaan perkebunan sawit

menghadirkan protes dari berbagai kalangan.

Selain kelompok masyarakat sipil pecinta lingkungan, juga dari kelompok tokoh

masyarakat. Upaya penyelamatan Kawasan Tripa sudah dilakukan sejak tahun 2008

dengan dibentuknya Tim Kerja Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT). Gerakan ini

mendapat dukungan dari 21 gampong di wilayah itu. Penguasaan perusahaan

perkebunan kelapa sawit di wilayah itu membuat masyarakat pada 5 Juni 2010,

mengajukan petisi yang meminta agar perusahaan kepala sawit tersebut segera

meninggalkan kawasan Rawa Tripa.

TKPRT menemukan sedikitnya ada 16 undang-undang atau aturan yang dilanggar oleh

kalangan perusahaan swasta yang menguasai kawasan Rawa Twripa tersebut, mulai

dari Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tetang Penataan Ruang, Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem,

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air, Undang-Undang Nomor

11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta sejumlah peraturan Presiden,

peraturan pemerintah dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup.

Pembakaran lahan Rawa Tripa

Page 6: Laporan Survei Rawa Tripa

Pelanggaran yang sama juga ditemukan oleh Ketua Unit kerja Presiden Bidang

Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Satuan Tugas Reducing

Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Menurut tim Pemerintah

pusat ini, pihak perusahaan yang menguasai kawasan Rawa Tripa telah melanggar

sedikitnya tiga aturan hukum tentang lingkungan hidup di Indonesia, yaitu Undang-

Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 32 tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang

Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.

Sejumlah fakta terlihat jelas bagaimana para perusahaan itu melakukan pembakaran di

areal hutan lindung tersebut. Padahal menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2009,

tegas disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha melakukan pembakaran hutan

akan dikenai hukuman penjara.

Melihat rentetan pelanggaran tersebut, TKRPT melalui Wahana Lingkungan Hidup

(Walhi) Aceh berupaya mengajukan gugatan hukum. Yang digugat adalah Surat

keputusan Gubernur Aceh No.525/BP2T/5322/2011 tentang izin usaha perkebunan

seluas 1.605 seluas yang diberikan kepada PT Kalista Alam yang terletak di Desa Pulo

Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten nagan Raya. Dalam pandangan Walhi, izin

itu seharunya tidak bisa diberika, sebab lahan tersebut merupakan kawasan rawa Tripa

yang mutlak harus mendapat perlindungan. Lagi pula, Walhi menilai areal perkebunan

itu berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser, oleh karena itu, menujuk kepada

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional, lahan tersebut seharusnya tidak diperuntukkan sebagai lahan perkebunan.

Namun dalam putusannya yang dibacakan pada 3 April 2012, Majelis hakim PTUN

Banda Aceh yang diketuai oleh Barmawi menyatakan menolak gugatan tersebut.

Alasannya, karena PTUN Banda Aceh tidak berwenang memeriksa perkara gugatan

tersebut. Majelis Hakim meminta agar penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak

berperkara harus terlebih dahulu ditempuh jalan musyawarah di luar pengadilan. "Hal

ini sesuai dengan Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup," kata Barmawi dalam putusannya.

Tak puas dengan putusan tersebut, Walhi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara (PTTUN) di Medan. Hasilnya, pada 4 September 2012, PTTUN Medan

mengabulkan gugatan banding tersebut. Pengadilan memutuskan agar Gubernur Aceh

segera mencabut izin usaha perkebunan yang telah diberikan kepada PT Kalista Alam.

Putusan tersebut bersifat final, sehingga mau tidak mau Gubernur Aceh akhirnya

sepakat untuk mencabut izin yang telah mereka berikan itu.

Keberhasilan para pecinta lingkungan Aceh mengusir penguasahaan PT Kalista Alam di

Kawasan Rawa Tripa baru merupakan langkah awal, sebab masih ada sejumlah

perusahaan lain yang menguasai wilayah tersebut. Upaya untuk pengusiran mereka

Page 7: Laporan Survei Rawa Tripa

tetap akan dilakukan tanpa henti, sejalan dengan itu, langkah-langkah penguatan

masyarakat lokal agar peduli dengan kelestrian alam di kawasan Rawa Tripa, juga harus

mendapat perhatian.

Tidak bisa dipungkiri, masalah lokal adalah penyangga utama yang diharapkan berada

di garis depan dalam upaya penyelamatan kawasan tersebut. Hal ini penting mendapat

perhatian, sebab masyarakat yang tinggal di sejumlah gampong di kawasan Rawa tripa

itu justru bekerja sebagai buruh harian dan staf di sejumlah perusahaan perkebunan

kepala sawit yang merambah rawa Tripa. Jika upaya penyadaran masyarakat tentang

Rawa Tripa dan lIngkungan hidup tidak diberikan, maka bukan tidak mungkin para

perusahaan itu akan berlindung di balik kepentingan masyarakat lokal.

III. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Yayasan Ekosistem Lesuer (YEL) menyadari kalau upaya pelestarian kawasan Rawa

Tripa harus dilakukan dengan berbagai cara. Selain dengan metode kampanye

pelestarian lingkungan, gugatan hukum, penggalangan dukungan masyarakat lokal,

salah satu program lain yang tidak bisa dilupakan adalah penguatan ekonomi

masyarakat lokal. Penguatan ekonomi ini sangat penting mengingat masyarakat lokal

adalah tiang penyangga bagi program pelestarian lingkungan di wilayah itu.

Persoalan sedikit pelik, sebab sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa-desa

kawasan Rawa Tripa berpenghasilan cukup rendah, di bawah Rp 1 juta. Nilai ini lebih

rendah dari upah minimun pekerja tingkat Provinsi Aceh yang sebesar Rp 1,55 juta per

bulan.

Rendahnya penghasilan masyarakat lokal tentu saja akan mengundang mereka untuk

menerapkan ketergantungan kepada kalangan perusahaan perkebunan yang merambah

kawasan Rawa Tripa. Sebagai perusahaan yang menggarap lahan relatif luas, sudah

pasti perusahaan perkebunan itu membutuhkan banyak pekerja harian. Sebagian besar

dari pekerja harian itu direkrut dari masyarakat lokal. Kondisi ini membuat sebagian

masyarakat lokal bergantung kepada kehadiran perusahaan tersebut.

Kalau saja jumlah masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya di perusahaan itu

semakin banyak, maka sudah pasti perusahaan itu akan mendapat keuntungan ganda.

Pertama, mereka bisa secara mudah mendapatkan tenaga kerja dengan gaji murah.

Kedua, mereka bisa menjadikan kehadiran pekerja lokal itu sebagai tameng untuk

menghindar dari serangan para pegiat lingkungan. Kondisi ini sejak awal sudah terlihat

jelas dengan terjadinya perpecahan di antara sesama masyarakat lokal. Mereka yang

bekerja dan menggantukan penghasilannya dari kehadiran perusahaan perkebunan

kelapa sawit itu, cenderung mendukung pengembangan perkebunan di kawasan Rawa

Tripa. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang memahami pentingnya keberadaan

rawa Tripa, bersama-sama dengan para pegiat lingkungan turut melakukan aksi protes.

Page 8: Laporan Survei Rawa Tripa

Ironisnya, sejumlah tokoh masyarakat di Nagan Raya sudah banyak yang direkrut

sebagai pekerja di perusahaan. Beberapa di antaranya mendapat jabatan cukup

strategis. Untuk pekerja harian di perkebunan itu dibayar secara beragam, mulai Rp 40

ribu hingga Rp 60 ribu per hari. Beberapa orang yang mendapat jabatan strategis,

seperti mandor atau staf, bis mendapat gaji di atas Rp 2,5 juta per bulan. Mereka inilah

yang kemudian berada di garis depan menghadang semua protes terhadap kehadiran

para perusahaan perkebunan tersebut di kawasan Rawa Tripa.

Tidak bisa dibantah lagi, perpecahan di antara sesama warga kawasan Tripa juga

terjadi. Sebagian mendukung kehadiran perusahaan perkebunan tersebut, sebagian lagi

menolak. Yang menarik, kalangan perusahaan itu juga merekrut sejumlah anak muda

lokal yang vokal untuk bergabung dalam kelompok mereka. Para anak muda ini bukan

untuk dipekerjakan sebagai tenaga ahli di bidang perkebunan, melainkan untuk

berkampanye menentang upaya pengusiran perusahaan itu dari kawasan Rawa Tripa.

Melihat fenomena ini, maka pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal yang tinggal di

kawasan Rawa Tripa menjadi sangat penting untuk dilakukan demi mendorong mereka

agar tidak bergantung kepada kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di

kawasan itu.

Konsep pemberdayaan ekonomi di kawasan-kawasan konflik seperti di Rawa Tripa

merupakan hal yang lazim dilakukan sebagai respon atau interaksi sosial dan

kesenjangan ekonomi di wilayah itu. Pemberdayaan ekonomi ini juga sangat penting

dilaksanakan demi mencegah degradasi sumberdaya alam dan alienasi masyarakat dari

tangan-tangan kapitalis. Pemberdayaan yang dimaksud di sini adalah mendorong peran

aktif masyarakat untuk mengeluarkan kemampuannya dalam menggerakkan roda

ekonomi secara bersama-sama. Pemberdayaan tersebut disepadankan dengan

partisipasi.

Agar partisipasi berjalan secara maksimal, maka proses demokrasi dalam menjalankan

program pemberdayaan itu juga penting dilaksanakan. Proses demokrasi yang

dimaksud adalah mendorong lahirnya ide dari masyarakat untuk mengusulkan

aktivitas ekonomi yang mereka anggap cocok dikembangkan di wilayah mereka. Untuk

menggalang ide tersebut, maka kegiatan pemberdayaan ekonomi itu diawali dengan

survei untuk mendata aktivitas ekonomi yang dianggap ekonomis untuk dikembangkan.

Sebagai pegelola program, YEL sepakat akan memberikan bantuan dana untuk

menjalankan aktivitas ekonomi tersebut, termasuk memberi pelatihan kepada

masyarakat terkait sistem pengelolaan kegiatan yang dimaksud. Survei untuk menjaring

usulan dari masyarakat terkait dengan aktivitas ekonomi itu telah dilakukan oleh Tim

Survei Koalisi NGO HAM Aceh selama lima hari pada minggu ketiga Desem ber 2012 di

beberapa desa yang sudah ditentukan sebelumnya.

Page 9: Laporan Survei Rawa Tripa

IV. METODE SURVEI Sebelum survei dilakukan, Tim YEL menentukan terlebih dahulu 120 orang calon

penerima manfaat untuk program pemberdayaan sosial ekonomi ini. Mereka adalah

masyarakat yang berdiam di 21 desa di kawasan tersebut.

Setelah penentuan nama-nama penerima manfaat ini, survei dilakukan terhadap

mereka untuk mendapat beberapa data penting, yaitu, terkait dengan penghasilan per

bulan, pekerjaan dan juga kepemilikan lahan. Survi juga akan menampung berbagai ide

terkait dengan program-program ekonomi yang berpotensi utuk dikembangkan secara

bersama-sama maupun secara persorangan.

Survei dilakukan dengan dua cara:

Pertama, secara tertulis, yaitu meminta para penerima manfaat mengisi formulir yang

sudah disiapkan tim Koalisi NGO HAM. Formulir itu berisi data-data pribadi para

penerima manfaat, mulai dari nama, umur, asal desa, pekerjaan, kepemilikan lahan dan

penghasilan per bulan.

Beberapa warga desa yang kurang paham dengan tulis menulis sempat kelabakan

ketika diminta untuk mengisi formulir ini. Tapi masalah itu segera diatasi setelah tim

surveior dari Koalisi NGO HAM membantu mereka mengisi formulis tersebut sesuai

dengan data yang dimiliki penerima manfaat tersebut. Semua penerima manfaat yang

didata oleh Tim YEL tela mengisi secara menjawab secara lengkap pertanyaan-

pertanyaan yang dicantumkan dalam formulir tersebut. Dari jawaban itu , setidaknya

profil 120 penerima manfaat sudah diperoleh secara lengkap.

Kedua, melakukan wawancara dan Focus group discussion (diskusi secara

berkelompok). Diskusi dilakukan di tiga tempat, yaitu:

1. Pertemuan di Gampong Blang Luah, Kecamatan Darul Makmur, Kemukiman

Seuneam Timur,

2. Pertemuan di Makarti Jaya, Kecamatan Darul Makmur, Kemukiman Seunaam

Barat,

3. Pertemuan di Gampong Simpang Gadeng, Kecamatan Baharot.

Sebanyak 120 calon penerima manfaat yang didata berasal dari 12 gampong. Masing-

masing kemukiman diwakili empat gampong, dengan rincian:

1. Kemukikan Seuneam Timur diwakili dari masyarakat yang tinggal di gampong:

- Gampong Blang Luah

- Gamponbg Alue Bateung Brok

- Gampong Ladang Baro

- Ujong Tanjong

Page 10: Laporan Survei Rawa Tripa

Pertemuan dengan masyarakat Seuneam Barat

2. Kemukiman Seuneam Barat diwakili empat warga gampong dari:

- Gampong Makarti Jaya

- Gampong Alue Kuyun

Page 11: Laporan Survei Rawa Tripa

- Gampong Pulo Kruet

- Gampong Sumber Makmur

3. Untuk kemukiman Babahrot diwakili empat gampong, yaitu:

- Gampong Simpang Gandeng

- Gampong Jeureujak

- Gampong Cot Seumantuk

- Gampong Pante Cermen/Teladan.

Pertemuan dengan warga desa ini, berlangsung malam hari, sebab pada siang hari

umumnya masyarakat desa tersebut sibuk bekerja. Peserta pertemuan tidak hanya dari

laki-laki, tapi juga kelompok perempuan meski dalam jumlah yang relatif sedikit.

Hampir 85 persen dari calon penerima manfaat itu umumnya bekerja sebagai petani.

Hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai nelayan sungai, bengkel, sopir, usaha

warung, buruh bangunan. Mereka yang bekerja sebagai buruh kebuh kebun juga

menyebut dirinya sebagai petani.

Proses Dialog

Dalam proses survei yang berjalan, penerima manfaat terlihat sangat antusias mengisi

polling yang disampaikan secara tertulis dan sangat aktif menyampaikan usulan

mereka terkait usaha ekonomi yang akan dikembangkan. Agar diskusi pengembangan

usaha berjalan lebih fokus, surveior sejak awal menetapkan agar bidang usaha yang

diusulkan harus memenuhi kreiteria, antara lain:

- Yang bisa memberi hasil dalam jangka pendek ( paling lama setahun)

- Usaha tersebut bersifat komunitas.

- Menigngat dana yang terbatas, sebaikya usaha yang diusulkan tergolong

UKM

- Bukan usaha dengan skala besar.

- Memiliki pasar yang luas.

- Bahan bakunya mudah didapatkan.

Begitupun, tetap saja ada muncul usulan dari masyarakat terkait usaha ekonomi jangka

panjang. Misalnya, ada usulan untuk pengembangan ternak sapi dan ternak kambing

yang tentu saja membutuhkan investasi besar dan masa usaha yang relatif panjang. Ada

pula yang mengusulkan usaha yang sifatnya pribadi, misalnya membuka bengkel

sepeda motor dan usaha doorsmer ( servis cuci kendaraan bermotor).

Surveior menampung semua aspirasi itu tapi tetap memberi catatan mana yang

memungkinkan dan mana yang sulit untuk dijalankan. Namun surveior berkali-kali

menekankan agar usaha tersebut yang mampu memberi hasil dalam jangka pendek.

Seperti yang ditetapkan dalam rencana YLI, dengan dijalankannya usaha pemberdayaan

Page 12: Laporan Survei Rawa Tripa

Pertemuan dengan masyarakat di Seuneam Timur

ekonomi masyarakat ini, diharapkan pendapatan mereka akan mengalami kenaikan

sekitar 10 persen dalam jangka relatif pendek (setahun). Atau setidaknya setelah usaha

tersebut dikembangkan, aset usaha akan meningkat.

Surveior juga menekankan kepad masyarakat bahwa tim survei Koalisi NGO HAM akan

datang lagi menemui mereka dalam jangka waktu tertentu setelah usaha itu dijalankan.

Tim survei nantinya akan meneliti apakah target yang diharapkan dari program

pengembangan ekonomi ini memberi hasil positif atau tidak kepada mereka selaku

penerima manfaat. Karena itu, penekanan usaha yang dikembangkan harus bisa diukur

dalam waktu relatif pendapat.

Dalam prose menyampaikan pendapat, semua peserta diskusi diberi hak bersuara yang

sama. Kesempatan menyampaikan ide juga diberikan kepada peserta diskusi dari

kelompok perempuan. Surei ini memastikan bahwa tidak ada bias gender dalam proses

diskusi yang berlangsung. Kalaupun jumlah peserta perempuan relatif sedikit, semua

itu karena pilihan dari tim YEL yang sudah menentukan para penerima manfaatnya.

V. HASIL SURVEI A. Profil Calon Penerima Manfaat

Data tertulis yang diperoleh tim membuktikan kalau penghasilan masyarakat calon

penerima manfaat relatif sangat rendah. Bahkan tidak ada seorang pun yang

Page 13: Laporan Survei Rawa Tripa

berpenghasilan di atas upah minimun regional Provinsi Aceh yang sebesar Rp 1,55 juta/

bulan.

Dari 120 calon penerima manfaat yang disurvei, ada satu orang yang mengaku

berpenghasilan Rp 6 juta per bulan, dua orang yang mengaku berpenghasilan Rp 1,5

juta, enam orang bepenghaslan Rp 1,2 serta 16 orang mengaku berpenghasilan Rp 1

juta per bulan. Selebihnya, semua mengaku berpenghasilan di bawah Rp 1 juta.

Sedangkan berdasarkan pemetaan mata pencarian atau pekerjaan, sebagian besar dari

calon penerima manfaat itu bekerja sebagai petani atau buruh tani. Hanya sedikit sekali

yang berprofesi di luar itu. Di Babahrot misalnya dari 40 orang calon penerima manfaat

yang disurvei di kemukinan tersebut, hanya seorang yang berprofesi sebagai sopir,

selebihnya adalah petani atau buruh tani. Untuk masyarakat di Kemukiman Seuneam

Timur, ada seorang pengelola perbengkelan sepeda motor dan seorang lagi pedagang

warung.

Dengan kata lain, survei membuktikan kalau 96 persen dari 120 calon penerima

manfaat yang disurvei berprofesi sebagai petani. Dari jumlah itu, ada 23 orang yang

mengaku memiliki lahan sekitar 1 sampai 2 hektar. Selebihnya mengaku tidak punya

lahan, atau sebagai buruh tani atau menyewa lahan orang lain.

Survei penghasilan 120 calon penerima manfaat program Sosek Rawa Tripa

Rp 6 juta = 0,8%

Rp 1,5 juta = 1,6%

Rp 1 juta- Rp 1,2 juta=19%

< Rp 1 juta= 78,3%

Page 14: Laporan Survei Rawa Tripa

Secara rinci, data penghasilan masing-masing para penerima manfaat terlampir pada

bagian akhir laporan ini.

B. Jenis usaha yang diusulkan

Adapun jenis usaha yang diusulan para calon penerima manfaat tersebut cukup

beragam. Berikut ini adalah usulan unit usaha yang disampaikan mereka berdasarkan

usulan dengan rangking terbesar.

B.1 Usulan dari Masyarakat Seuneam Timur:

1. Pengembangan usaha kacang tanah.

Usaha yang dimaksud mulai dari penanaman hingga pengolahan kacang tanah untuk

dijual ke pasar di seluruh Nagan Raya dan wilayah Aceh lainnya. Masyarakat setempat

mengaku banyak petani di wilayah yang yang menanam kacang tanah, sehingga sangat

memudahkan untuk mendapatkan bahan baku. Selama ini mereka hanya mengolah

kacang tanah tersebut secara tradisional dan memasarkan di tingkat lokal.

2. Ternak ikan limbek ( lele Tripa)

Bibitnya diperoleh dari hasil penangkapan oleh penduduk setempat di rawa-rawa

sekitar desa itu. Lele tersebut dibudidayakan hingga besar dan selanjutnya dijual ke

kota. Lele atau Limbek Tripa ini terkenal sangat gurih dan sangat diminati masyarakat

Nagan Raya dan juga para pendatang.

4. Ternak ayam potong atau bebek

Pasarnya cukup terbuka, lokasi untuk pengembangan ternak juga sangat banyak

sehingga usaha ini cukup mudah untuk dijalankan. Pasar juga terbuka mengingat ayam

dan bebek menjadi makanan yang banyak digemari masyarakat Nagan Raya dan

sekitarnya.

Pekerjaan 120 calon penerima manfaat progam Sosek Rawa Tripa

petani =96%

non petani=4%

Page 15: Laporan Survei Rawa Tripa

5. Pengembangan kedela hingga menjadi tempe dan tahu

Bahan baku banyak tersedia karena petani desa banyak yang menanam kacang kedela

di sela-sela tanaman sawit. Selama ini kacang tersebut hanya diolah secara tradisional

sehingga tidak terlalu memberi nilai ekonomi yang berarti.

B.2 Usulan dari Masyarakat Seuneam Barat

1. Ikan lele atau limbek atau ikan nila

2. Ternak ayam dan bebek pedaging

3. pengembangan tanaman melon di sela-sela kebun sawit yang baru tumbuh

4. Pengembangan pertanian palawija lainnya, seperti cabai.

Alasan masyarakat Seuneam Barat mengusulkan ide in sama dengan yang disampikan

masyarakat Seunaam Timur.

B.3 Usulan dari warga Kemukiman Babahrot

1. Mendirikan koperasi penjuulangan kebuuthan rumah tangga ( sembako)

2. Penanaman pertanian palawija, seperti cabai.

3. Ternak ikan air tawar

Di samping itu ada pula usulan yang sifatnya untuk usaha pribadi, seperti

pengembangan usaha perbengkelan sepeda motor, jahit menjahit untuk perempuan,

serta membuka usaha doorsmer. Beberapa usulan lain ada yang sifatnya membutuhkan

investasi besar dan masa kerja yang cukup lama, seperti usaha peternakan sapi dan

kambing. Pengembangan tanaman Jabon dan Coklat dan sebagainya. Usulan terakhir

ini hanya ditampung tapi tidak direkomendasikan.

VI. KESIMPULAN

1. Survei ini dilakukan terhadap calon penerima manfaat secara sukarela. Hasil

survei sepenuhnya didasarkan kepada jawaban dan usulan dari para nara

sumber. Survei ini tanpa didukung data investigasi, sehingga apa yang dijawab

dan ditulis oleh nara sumber, sepenuhnya ditampung dan dituangkan dalam

laporan.

2. Untuk data penghasilan misalnya, ada kecurigaan kalau data yang disampaikan

para nara sumber tidak sepenuhnya benar. Namun surveior tidak kuasa untuk

menolak jawaban mereka. Namun sejak awal surveior meminta para calon

penerima manfaat untuk memberikan jawaban sejujurnya.

3. Dari data penghasilan yang disampaikan para calon penerima manfaat, terlihat

sekali kalau kehidupan mereka secara ekonomis berada di bawah garis

Page 16: Laporan Survei Rawa Tripa

kemiskinan. Wajar jika masyarakat tersebut pantas mendapat bantuan program

pemberdayaan masyarakat.

4. Usaha yang diusulkan para penerima manfaat itu umumnya sama di masing-

masing wilayah yang dilakukan survei. Calon penerima manfaat mengusulan

sejumlah usaha, antara lain:

- Ternak lela atau limbek

- Ternak ayam/bebak

- Pengolahan kacang tanah

- Pengembangan tanaman holtikurlura, seperti cabai

- Koperasi Sembako

- Ternak ikan Nila

- Penanaman buah Melon di sela-sela kebun sawit

5. da pula usulan yang membutuhkan investasi besar dan sifatnya jangka panjang.

Namun usulan itu tidak direkomendasikan untuk program ini. Usulan tersebut,

seperti peternakan sapi, peternakan kambing, usaha perbengkelan dan

pengembangan tanaman wasit.