laporan survei rawa tripa
DESCRIPTION
Penelitian tentang tingkat sosial ekonomi masyarakat di kawasan Rawa Tripa, Provinsi Aceh. Rawa Tripa merupakan kawasan hutan lindung di wilayah Nagan Raya dan Aceh Barat daya sudah tergerus oleh kepentingan kapitalisme para perusahaan kelapa sawit.TRANSCRIPT
KOALISI NGO HAM ACEH
2012
Survei Sosial Ekonomi
untuk Masyarakat di
Kawasan Rawa Tripa
I. PENDAHULUAN Pengalihan lahan di kawasan Rawa Tripa menjadi lokasi lahan usaha oleh sekelompok
perusahaan perkebuan kelapa sawit telah memicu perdebatan yang sangat serius di
Aceh. Kebijakan Pemerintah Aceh yang memberi izin untuk usaha sawit di kawasan
rawa tersebut, menghadirkan banyak protes dari berbagai pihak. Tidak hanya warga
lokal dan kalangan pecinta lingkungan, tapi juga dunia internasional mempertanyakan
kebijakan tersebut. Wajar jika kemudian program pembanguan Green Aceh yang
dikampanyekan Pemerintah Aceh sejak Juli 2007, mendapat gugatan dari banyak pihak.
Pemerintah Aceh diangga tidak konsisten dalam menjalankan programnya terkait
dengan pelestarian lingkungan.
Sebagaimana diketahui, Aceh termasuk dari sedikit wilayah di Indonesia yang masih
memiliki kawasan hutan tropika basah yang cukup luas, yaitu 3.549.813 hektar (
sumber: Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian, Kehutanan). Dari kawasan hutan
tersebut, di antaranya merupakan kawasan konservasi dengan berbagai jenis, yaitu
hutan lindung di dalam kawasan dan di luar kawasan, hutan produksi konversi, hutan
produksi dan rawa.
Bila dibandingkan dengan luas wilayah darat Provinsi Aceh sekitar 5.677.081 hektar,
maka luas hutan Aceh ada sekitar 62,53% dari luas daratan Aceh. Kawasan hutan
tersebut tidak hanya memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat lokal dan
negara tetapi juga berperan dalam menjaga keseimbangan lingkungan secara
komprehensif, terutama terkait dengan jasa lingkungan dan meminimalisasi bencana.
Dalam hal ini terkait dengan fungsi hutan untuk:
(1) menjaga keberlangsungan fungsi hidrologis,
(2) mencegah erosi,
(3) mempertahankan tingkat kesuburan tanah,
(4) mencegah terjadi pemanasan global, serta
(5) perubahan iklim.
Dengan demikian keberadaan hutan Aceh tidak hanya bermanfaat untuk masyarakat
lokal, kabupaten, provinsi, maupun pusat melainkan juga untuk kepentingan
masyarakat dunia. Oleh sebab itu keberadaan Aceh secara komprehensif menjadi
sangat penting untuk diperhatikan, sehingga kesejahteraan masyarakatnya dapat terus
ditingkatkan dan sekaligus berkontribusi untuk menyelamatkan lingkungan di
sekitarnya serta kepentingan dunia internasional (terkait perubahan iklim global).
Berbicara dalam konteks kawasan hutan tentu, maka kawasan hutan rawa gambut
termasuk salah satu di dalamnya. Secara ekonomis wilayah ini memang relatif lebih
rendah dalam memberikan manfaat secara langsung, karena untuk memanfaatkan
wilayah ini perlu suatu teknologi yang tepat dan recovery-nya perlu waktu yang relatif
lama sehingga biaya yang diperlukan untuk pemanfaatannya menjadi lebih besar.
Namun secara ekologis wilayah ini mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu :
1) daerah cekungan mengandung gambut dapat berfungsi menyimpan air ketika
luapan sungai terjadi;
2) mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan;
3) sebagai habitat satwa langka (harimau, orang utan, mentok rimba, beruang
madu, buaya muara, burung rangkong, ikan kerling, ikan lele, belut, paitan,
dan karang); dan
4) pengendali cuaca dan iklim.
Luas hutan rawa gambut yang dimiliki Aceh pada saat ini tersebar di beberapa
kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Singkil seluas 100.000 hektar, Aceh Selatan (Kluet)
seluas 18.000 hektar, dan Tripa (Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya) seluas
61,803 hektar. Untuk kawasan hutan rawa gambut yang berada di Kabupaten Aceh
Singkil dan Aceh Selatan sudah ditetapkan menjadi kawasan lindung Suaka Margasatwa
Rawa Singkil sehingga secara legal harus dilindungi.
Peta kawasan Rata Tripa
Namun kawasan hutan rawa gambut yang berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh
Barat Daya hingga saat ini statusnya masih APL (Area Penggunaan Lain), padahal
sebahagian kedalaman gambut di Tripa bisa mencapai 3 - 5 meter, sehingga menurut
Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, daerah ini
seyogyanya harus dijadikan sebagai kawasan lindung. Namun, hutan yang berada
dalam kawasan ini sudah banyak dibuka untuk dikonversikan menjadi lahan
perkebunan kelapa sawit yang konsesinya dimiliki oleh beberapa perusahaan besar
mencapai sekitar 85% dari kawasan ini.
Beberapa perusahaan perkebunan yang beroperasi di kawasan ini adalah P.T. Gelora
Sawita Makmur, P.T. Kallista Alam, P.T. Patriot Guna Sakti Abadi II, P.T. Cemerlang Abadi
dan P.T. Agra Para Citra. Pada tahun 2007, P.T. Astra Agro Lestari mengambil alih P.T.
Agra Para Citra concession.
Agar kawasan hutan gambut rawa tripa tidak musnah akibat intervensi dari beberapa
perusahaan besar perkebunan maka perlu segera dicari solusinya agar dapat dijadikan
sebagai kawasan lindung, terutama yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 meter. Hal
ini perlu melibatkan partisipasi semua pemangku kepentingan (multi stakeholder) agar
dapat berjalan dengan baik, tidak hanya komponen lembaga di tingkat daerah
melainkan juga ditingkat pusat.
Kawasan hutan rawa gambut Tripa yang berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh
Barat Daya ini luasnya mencapai 61.803 hektar, di mana sekitar 60% dari wilayah
tersebut berada di Kabupaten Nagan Raya, dan selebihnya 40% berada di wilayah
Kabupaten Aceh Barat Daya.
Surveri Fakultas Pertanian Unsyiahm Banda Aceh (2008) menyebutkan, kawasan hutan
gambut Tripa memiliki tingkat kedalaman gambut mencapai 3 - 5 meter. Pada kawasan
ini mengalir 4 buah sungai, yaitu sungai Tripa, Seuneuam, Batee dan Seumayam.
Tingkat kerusakan ekosistem hutan gambut Tripa yang semakin meningkat perlu
segera dicari jalan pemecahannya. Hal yang sangat mendesak adalah menyelamatkan
hutan gambut yang masih tersisa dari kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunan
dan aktivitas lainnya. Untuk melakukan hal tersebut tentu memerlukan suatu
kesamaan persepsi dan komitmen yang kuat dari semua pihak.
Selanjutnya perlu ditetapkan kawasan potensial untuk dilindungi dan kemudian
dilakukan upaya restorasi agar kawasan ekosistem hutan gambut Tripa menjadi pulih
seperti sediakala sehingga fungsi ekologisnya dapat berperan dalam menjaga
keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Dalam melaksanakan upaya restorasi tentu
perlu keterlibatan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya sehingga dalam
jangka panjang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal dan
sekaligus kawasan hutan gambut dapat diselamatkan.
II. UPAYA PENYELAMATAN RAWA TRIPA
Melihat pentingnya peranan kawasan Rawa Tripa dalam pelestarian ekosistem lahan
gambut, tentu saja membuat pra kelompok pecinta lingkungan dan dunia internasional
sangat memprihatikan kalau kawasan yang penting justru menjadi lokasi perkebunan.
Penguasaan 85 persen kahan rawa Tripa oleh kalanga perusahaan perkebunan sawit
menghadirkan protes dari berbagai kalangan.
Selain kelompok masyarakat sipil pecinta lingkungan, juga dari kelompok tokoh
masyarakat. Upaya penyelamatan Kawasan Tripa sudah dilakukan sejak tahun 2008
dengan dibentuknya Tim Kerja Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT). Gerakan ini
mendapat dukungan dari 21 gampong di wilayah itu. Penguasaan perusahaan
perkebunan kelapa sawit di wilayah itu membuat masyarakat pada 5 Juni 2010,
mengajukan petisi yang meminta agar perusahaan kepala sawit tersebut segera
meninggalkan kawasan Rawa Tripa.
TKPRT menemukan sedikitnya ada 16 undang-undang atau aturan yang dilanggar oleh
kalangan perusahaan swasta yang menguasai kawasan Rawa Twripa tersebut, mulai
dari Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tetang Penataan Ruang, Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem,
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air, Undang-Undang Nomor
11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta sejumlah peraturan Presiden,
peraturan pemerintah dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup.
Pembakaran lahan Rawa Tripa
Pelanggaran yang sama juga ditemukan oleh Ketua Unit kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Satuan Tugas Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Menurut tim Pemerintah
pusat ini, pihak perusahaan yang menguasai kawasan Rawa Tripa telah melanggar
sedikitnya tiga aturan hukum tentang lingkungan hidup di Indonesia, yaitu Undang-
Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Sejumlah fakta terlihat jelas bagaimana para perusahaan itu melakukan pembakaran di
areal hutan lindung tersebut. Padahal menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2009,
tegas disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha melakukan pembakaran hutan
akan dikenai hukuman penjara.
Melihat rentetan pelanggaran tersebut, TKRPT melalui Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Aceh berupaya mengajukan gugatan hukum. Yang digugat adalah Surat
keputusan Gubernur Aceh No.525/BP2T/5322/2011 tentang izin usaha perkebunan
seluas 1.605 seluas yang diberikan kepada PT Kalista Alam yang terletak di Desa Pulo
Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten nagan Raya. Dalam pandangan Walhi, izin
itu seharunya tidak bisa diberika, sebab lahan tersebut merupakan kawasan rawa Tripa
yang mutlak harus mendapat perlindungan. Lagi pula, Walhi menilai areal perkebunan
itu berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser, oleh karena itu, menujuk kepada
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, lahan tersebut seharusnya tidak diperuntukkan sebagai lahan perkebunan.
Namun dalam putusannya yang dibacakan pada 3 April 2012, Majelis hakim PTUN
Banda Aceh yang diketuai oleh Barmawi menyatakan menolak gugatan tersebut.
Alasannya, karena PTUN Banda Aceh tidak berwenang memeriksa perkara gugatan
tersebut. Majelis Hakim meminta agar penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak
berperkara harus terlebih dahulu ditempuh jalan musyawarah di luar pengadilan. "Hal
ini sesuai dengan Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup," kata Barmawi dalam putusannya.
Tak puas dengan putusan tersebut, Walhi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN) di Medan. Hasilnya, pada 4 September 2012, PTTUN Medan
mengabulkan gugatan banding tersebut. Pengadilan memutuskan agar Gubernur Aceh
segera mencabut izin usaha perkebunan yang telah diberikan kepada PT Kalista Alam.
Putusan tersebut bersifat final, sehingga mau tidak mau Gubernur Aceh akhirnya
sepakat untuk mencabut izin yang telah mereka berikan itu.
Keberhasilan para pecinta lingkungan Aceh mengusir penguasahaan PT Kalista Alam di
Kawasan Rawa Tripa baru merupakan langkah awal, sebab masih ada sejumlah
perusahaan lain yang menguasai wilayah tersebut. Upaya untuk pengusiran mereka
tetap akan dilakukan tanpa henti, sejalan dengan itu, langkah-langkah penguatan
masyarakat lokal agar peduli dengan kelestrian alam di kawasan Rawa Tripa, juga harus
mendapat perhatian.
Tidak bisa dipungkiri, masalah lokal adalah penyangga utama yang diharapkan berada
di garis depan dalam upaya penyelamatan kawasan tersebut. Hal ini penting mendapat
perhatian, sebab masyarakat yang tinggal di sejumlah gampong di kawasan Rawa tripa
itu justru bekerja sebagai buruh harian dan staf di sejumlah perusahaan perkebunan
kepala sawit yang merambah rawa Tripa. Jika upaya penyadaran masyarakat tentang
Rawa Tripa dan lIngkungan hidup tidak diberikan, maka bukan tidak mungkin para
perusahaan itu akan berlindung di balik kepentingan masyarakat lokal.
III. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Yayasan Ekosistem Lesuer (YEL) menyadari kalau upaya pelestarian kawasan Rawa
Tripa harus dilakukan dengan berbagai cara. Selain dengan metode kampanye
pelestarian lingkungan, gugatan hukum, penggalangan dukungan masyarakat lokal,
salah satu program lain yang tidak bisa dilupakan adalah penguatan ekonomi
masyarakat lokal. Penguatan ekonomi ini sangat penting mengingat masyarakat lokal
adalah tiang penyangga bagi program pelestarian lingkungan di wilayah itu.
Persoalan sedikit pelik, sebab sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa-desa
kawasan Rawa Tripa berpenghasilan cukup rendah, di bawah Rp 1 juta. Nilai ini lebih
rendah dari upah minimun pekerja tingkat Provinsi Aceh yang sebesar Rp 1,55 juta per
bulan.
Rendahnya penghasilan masyarakat lokal tentu saja akan mengundang mereka untuk
menerapkan ketergantungan kepada kalangan perusahaan perkebunan yang merambah
kawasan Rawa Tripa. Sebagai perusahaan yang menggarap lahan relatif luas, sudah
pasti perusahaan perkebunan itu membutuhkan banyak pekerja harian. Sebagian besar
dari pekerja harian itu direkrut dari masyarakat lokal. Kondisi ini membuat sebagian
masyarakat lokal bergantung kepada kehadiran perusahaan tersebut.
Kalau saja jumlah masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya di perusahaan itu
semakin banyak, maka sudah pasti perusahaan itu akan mendapat keuntungan ganda.
Pertama, mereka bisa secara mudah mendapatkan tenaga kerja dengan gaji murah.
Kedua, mereka bisa menjadikan kehadiran pekerja lokal itu sebagai tameng untuk
menghindar dari serangan para pegiat lingkungan. Kondisi ini sejak awal sudah terlihat
jelas dengan terjadinya perpecahan di antara sesama masyarakat lokal. Mereka yang
bekerja dan menggantukan penghasilannya dari kehadiran perusahaan perkebunan
kelapa sawit itu, cenderung mendukung pengembangan perkebunan di kawasan Rawa
Tripa. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang memahami pentingnya keberadaan
rawa Tripa, bersama-sama dengan para pegiat lingkungan turut melakukan aksi protes.
Ironisnya, sejumlah tokoh masyarakat di Nagan Raya sudah banyak yang direkrut
sebagai pekerja di perusahaan. Beberapa di antaranya mendapat jabatan cukup
strategis. Untuk pekerja harian di perkebunan itu dibayar secara beragam, mulai Rp 40
ribu hingga Rp 60 ribu per hari. Beberapa orang yang mendapat jabatan strategis,
seperti mandor atau staf, bis mendapat gaji di atas Rp 2,5 juta per bulan. Mereka inilah
yang kemudian berada di garis depan menghadang semua protes terhadap kehadiran
para perusahaan perkebunan tersebut di kawasan Rawa Tripa.
Tidak bisa dibantah lagi, perpecahan di antara sesama warga kawasan Tripa juga
terjadi. Sebagian mendukung kehadiran perusahaan perkebunan tersebut, sebagian lagi
menolak. Yang menarik, kalangan perusahaan itu juga merekrut sejumlah anak muda
lokal yang vokal untuk bergabung dalam kelompok mereka. Para anak muda ini bukan
untuk dipekerjakan sebagai tenaga ahli di bidang perkebunan, melainkan untuk
berkampanye menentang upaya pengusiran perusahaan itu dari kawasan Rawa Tripa.
Melihat fenomena ini, maka pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal yang tinggal di
kawasan Rawa Tripa menjadi sangat penting untuk dilakukan demi mendorong mereka
agar tidak bergantung kepada kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di
kawasan itu.
Konsep pemberdayaan ekonomi di kawasan-kawasan konflik seperti di Rawa Tripa
merupakan hal yang lazim dilakukan sebagai respon atau interaksi sosial dan
kesenjangan ekonomi di wilayah itu. Pemberdayaan ekonomi ini juga sangat penting
dilaksanakan demi mencegah degradasi sumberdaya alam dan alienasi masyarakat dari
tangan-tangan kapitalis. Pemberdayaan yang dimaksud di sini adalah mendorong peran
aktif masyarakat untuk mengeluarkan kemampuannya dalam menggerakkan roda
ekonomi secara bersama-sama. Pemberdayaan tersebut disepadankan dengan
partisipasi.
Agar partisipasi berjalan secara maksimal, maka proses demokrasi dalam menjalankan
program pemberdayaan itu juga penting dilaksanakan. Proses demokrasi yang
dimaksud adalah mendorong lahirnya ide dari masyarakat untuk mengusulkan
aktivitas ekonomi yang mereka anggap cocok dikembangkan di wilayah mereka. Untuk
menggalang ide tersebut, maka kegiatan pemberdayaan ekonomi itu diawali dengan
survei untuk mendata aktivitas ekonomi yang dianggap ekonomis untuk dikembangkan.
Sebagai pegelola program, YEL sepakat akan memberikan bantuan dana untuk
menjalankan aktivitas ekonomi tersebut, termasuk memberi pelatihan kepada
masyarakat terkait sistem pengelolaan kegiatan yang dimaksud. Survei untuk menjaring
usulan dari masyarakat terkait dengan aktivitas ekonomi itu telah dilakukan oleh Tim
Survei Koalisi NGO HAM Aceh selama lima hari pada minggu ketiga Desem ber 2012 di
beberapa desa yang sudah ditentukan sebelumnya.
IV. METODE SURVEI Sebelum survei dilakukan, Tim YEL menentukan terlebih dahulu 120 orang calon
penerima manfaat untuk program pemberdayaan sosial ekonomi ini. Mereka adalah
masyarakat yang berdiam di 21 desa di kawasan tersebut.
Setelah penentuan nama-nama penerima manfaat ini, survei dilakukan terhadap
mereka untuk mendapat beberapa data penting, yaitu, terkait dengan penghasilan per
bulan, pekerjaan dan juga kepemilikan lahan. Survi juga akan menampung berbagai ide
terkait dengan program-program ekonomi yang berpotensi utuk dikembangkan secara
bersama-sama maupun secara persorangan.
Survei dilakukan dengan dua cara:
Pertama, secara tertulis, yaitu meminta para penerima manfaat mengisi formulir yang
sudah disiapkan tim Koalisi NGO HAM. Formulir itu berisi data-data pribadi para
penerima manfaat, mulai dari nama, umur, asal desa, pekerjaan, kepemilikan lahan dan
penghasilan per bulan.
Beberapa warga desa yang kurang paham dengan tulis menulis sempat kelabakan
ketika diminta untuk mengisi formulir ini. Tapi masalah itu segera diatasi setelah tim
surveior dari Koalisi NGO HAM membantu mereka mengisi formulis tersebut sesuai
dengan data yang dimiliki penerima manfaat tersebut. Semua penerima manfaat yang
didata oleh Tim YEL tela mengisi secara menjawab secara lengkap pertanyaan-
pertanyaan yang dicantumkan dalam formulir tersebut. Dari jawaban itu , setidaknya
profil 120 penerima manfaat sudah diperoleh secara lengkap.
Kedua, melakukan wawancara dan Focus group discussion (diskusi secara
berkelompok). Diskusi dilakukan di tiga tempat, yaitu:
1. Pertemuan di Gampong Blang Luah, Kecamatan Darul Makmur, Kemukiman
Seuneam Timur,
2. Pertemuan di Makarti Jaya, Kecamatan Darul Makmur, Kemukiman Seunaam
Barat,
3. Pertemuan di Gampong Simpang Gadeng, Kecamatan Baharot.
Sebanyak 120 calon penerima manfaat yang didata berasal dari 12 gampong. Masing-
masing kemukiman diwakili empat gampong, dengan rincian:
1. Kemukikan Seuneam Timur diwakili dari masyarakat yang tinggal di gampong:
- Gampong Blang Luah
- Gamponbg Alue Bateung Brok
- Gampong Ladang Baro
- Ujong Tanjong
Pertemuan dengan masyarakat Seuneam Barat
2. Kemukiman Seuneam Barat diwakili empat warga gampong dari:
- Gampong Makarti Jaya
- Gampong Alue Kuyun
- Gampong Pulo Kruet
- Gampong Sumber Makmur
3. Untuk kemukiman Babahrot diwakili empat gampong, yaitu:
- Gampong Simpang Gandeng
- Gampong Jeureujak
- Gampong Cot Seumantuk
- Gampong Pante Cermen/Teladan.
Pertemuan dengan warga desa ini, berlangsung malam hari, sebab pada siang hari
umumnya masyarakat desa tersebut sibuk bekerja. Peserta pertemuan tidak hanya dari
laki-laki, tapi juga kelompok perempuan meski dalam jumlah yang relatif sedikit.
Hampir 85 persen dari calon penerima manfaat itu umumnya bekerja sebagai petani.
Hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai nelayan sungai, bengkel, sopir, usaha
warung, buruh bangunan. Mereka yang bekerja sebagai buruh kebuh kebun juga
menyebut dirinya sebagai petani.
Proses Dialog
Dalam proses survei yang berjalan, penerima manfaat terlihat sangat antusias mengisi
polling yang disampaikan secara tertulis dan sangat aktif menyampaikan usulan
mereka terkait usaha ekonomi yang akan dikembangkan. Agar diskusi pengembangan
usaha berjalan lebih fokus, surveior sejak awal menetapkan agar bidang usaha yang
diusulkan harus memenuhi kreiteria, antara lain:
- Yang bisa memberi hasil dalam jangka pendek ( paling lama setahun)
- Usaha tersebut bersifat komunitas.
- Menigngat dana yang terbatas, sebaikya usaha yang diusulkan tergolong
UKM
- Bukan usaha dengan skala besar.
- Memiliki pasar yang luas.
- Bahan bakunya mudah didapatkan.
Begitupun, tetap saja ada muncul usulan dari masyarakat terkait usaha ekonomi jangka
panjang. Misalnya, ada usulan untuk pengembangan ternak sapi dan ternak kambing
yang tentu saja membutuhkan investasi besar dan masa usaha yang relatif panjang. Ada
pula yang mengusulkan usaha yang sifatnya pribadi, misalnya membuka bengkel
sepeda motor dan usaha doorsmer ( servis cuci kendaraan bermotor).
Surveior menampung semua aspirasi itu tapi tetap memberi catatan mana yang
memungkinkan dan mana yang sulit untuk dijalankan. Namun surveior berkali-kali
menekankan agar usaha tersebut yang mampu memberi hasil dalam jangka pendek.
Seperti yang ditetapkan dalam rencana YLI, dengan dijalankannya usaha pemberdayaan
Pertemuan dengan masyarakat di Seuneam Timur
ekonomi masyarakat ini, diharapkan pendapatan mereka akan mengalami kenaikan
sekitar 10 persen dalam jangka relatif pendek (setahun). Atau setidaknya setelah usaha
tersebut dikembangkan, aset usaha akan meningkat.
Surveior juga menekankan kepad masyarakat bahwa tim survei Koalisi NGO HAM akan
datang lagi menemui mereka dalam jangka waktu tertentu setelah usaha itu dijalankan.
Tim survei nantinya akan meneliti apakah target yang diharapkan dari program
pengembangan ekonomi ini memberi hasil positif atau tidak kepada mereka selaku
penerima manfaat. Karena itu, penekanan usaha yang dikembangkan harus bisa diukur
dalam waktu relatif pendapat.
Dalam prose menyampaikan pendapat, semua peserta diskusi diberi hak bersuara yang
sama. Kesempatan menyampaikan ide juga diberikan kepada peserta diskusi dari
kelompok perempuan. Surei ini memastikan bahwa tidak ada bias gender dalam proses
diskusi yang berlangsung. Kalaupun jumlah peserta perempuan relatif sedikit, semua
itu karena pilihan dari tim YEL yang sudah menentukan para penerima manfaatnya.
V. HASIL SURVEI A. Profil Calon Penerima Manfaat
Data tertulis yang diperoleh tim membuktikan kalau penghasilan masyarakat calon
penerima manfaat relatif sangat rendah. Bahkan tidak ada seorang pun yang
berpenghasilan di atas upah minimun regional Provinsi Aceh yang sebesar Rp 1,55 juta/
bulan.
Dari 120 calon penerima manfaat yang disurvei, ada satu orang yang mengaku
berpenghasilan Rp 6 juta per bulan, dua orang yang mengaku berpenghasilan Rp 1,5
juta, enam orang bepenghaslan Rp 1,2 serta 16 orang mengaku berpenghasilan Rp 1
juta per bulan. Selebihnya, semua mengaku berpenghasilan di bawah Rp 1 juta.
Sedangkan berdasarkan pemetaan mata pencarian atau pekerjaan, sebagian besar dari
calon penerima manfaat itu bekerja sebagai petani atau buruh tani. Hanya sedikit sekali
yang berprofesi di luar itu. Di Babahrot misalnya dari 40 orang calon penerima manfaat
yang disurvei di kemukinan tersebut, hanya seorang yang berprofesi sebagai sopir,
selebihnya adalah petani atau buruh tani. Untuk masyarakat di Kemukiman Seuneam
Timur, ada seorang pengelola perbengkelan sepeda motor dan seorang lagi pedagang
warung.
Dengan kata lain, survei membuktikan kalau 96 persen dari 120 calon penerima
manfaat yang disurvei berprofesi sebagai petani. Dari jumlah itu, ada 23 orang yang
mengaku memiliki lahan sekitar 1 sampai 2 hektar. Selebihnya mengaku tidak punya
lahan, atau sebagai buruh tani atau menyewa lahan orang lain.
Survei penghasilan 120 calon penerima manfaat program Sosek Rawa Tripa
Rp 6 juta = 0,8%
Rp 1,5 juta = 1,6%
Rp 1 juta- Rp 1,2 juta=19%
< Rp 1 juta= 78,3%
Secara rinci, data penghasilan masing-masing para penerima manfaat terlampir pada
bagian akhir laporan ini.
B. Jenis usaha yang diusulkan
Adapun jenis usaha yang diusulan para calon penerima manfaat tersebut cukup
beragam. Berikut ini adalah usulan unit usaha yang disampaikan mereka berdasarkan
usulan dengan rangking terbesar.
B.1 Usulan dari Masyarakat Seuneam Timur:
1. Pengembangan usaha kacang tanah.
Usaha yang dimaksud mulai dari penanaman hingga pengolahan kacang tanah untuk
dijual ke pasar di seluruh Nagan Raya dan wilayah Aceh lainnya. Masyarakat setempat
mengaku banyak petani di wilayah yang yang menanam kacang tanah, sehingga sangat
memudahkan untuk mendapatkan bahan baku. Selama ini mereka hanya mengolah
kacang tanah tersebut secara tradisional dan memasarkan di tingkat lokal.
2. Ternak ikan limbek ( lele Tripa)
Bibitnya diperoleh dari hasil penangkapan oleh penduduk setempat di rawa-rawa
sekitar desa itu. Lele tersebut dibudidayakan hingga besar dan selanjutnya dijual ke
kota. Lele atau Limbek Tripa ini terkenal sangat gurih dan sangat diminati masyarakat
Nagan Raya dan juga para pendatang.
4. Ternak ayam potong atau bebek
Pasarnya cukup terbuka, lokasi untuk pengembangan ternak juga sangat banyak
sehingga usaha ini cukup mudah untuk dijalankan. Pasar juga terbuka mengingat ayam
dan bebek menjadi makanan yang banyak digemari masyarakat Nagan Raya dan
sekitarnya.
Pekerjaan 120 calon penerima manfaat progam Sosek Rawa Tripa
petani =96%
non petani=4%
5. Pengembangan kedela hingga menjadi tempe dan tahu
Bahan baku banyak tersedia karena petani desa banyak yang menanam kacang kedela
di sela-sela tanaman sawit. Selama ini kacang tersebut hanya diolah secara tradisional
sehingga tidak terlalu memberi nilai ekonomi yang berarti.
B.2 Usulan dari Masyarakat Seuneam Barat
1. Ikan lele atau limbek atau ikan nila
2. Ternak ayam dan bebek pedaging
3. pengembangan tanaman melon di sela-sela kebun sawit yang baru tumbuh
4. Pengembangan pertanian palawija lainnya, seperti cabai.
Alasan masyarakat Seuneam Barat mengusulkan ide in sama dengan yang disampikan
masyarakat Seunaam Timur.
B.3 Usulan dari warga Kemukiman Babahrot
1. Mendirikan koperasi penjuulangan kebuuthan rumah tangga ( sembako)
2. Penanaman pertanian palawija, seperti cabai.
3. Ternak ikan air tawar
Di samping itu ada pula usulan yang sifatnya untuk usaha pribadi, seperti
pengembangan usaha perbengkelan sepeda motor, jahit menjahit untuk perempuan,
serta membuka usaha doorsmer. Beberapa usulan lain ada yang sifatnya membutuhkan
investasi besar dan masa kerja yang cukup lama, seperti usaha peternakan sapi dan
kambing. Pengembangan tanaman Jabon dan Coklat dan sebagainya. Usulan terakhir
ini hanya ditampung tapi tidak direkomendasikan.
VI. KESIMPULAN
1. Survei ini dilakukan terhadap calon penerima manfaat secara sukarela. Hasil
survei sepenuhnya didasarkan kepada jawaban dan usulan dari para nara
sumber. Survei ini tanpa didukung data investigasi, sehingga apa yang dijawab
dan ditulis oleh nara sumber, sepenuhnya ditampung dan dituangkan dalam
laporan.
2. Untuk data penghasilan misalnya, ada kecurigaan kalau data yang disampaikan
para nara sumber tidak sepenuhnya benar. Namun surveior tidak kuasa untuk
menolak jawaban mereka. Namun sejak awal surveior meminta para calon
penerima manfaat untuk memberikan jawaban sejujurnya.
3. Dari data penghasilan yang disampaikan para calon penerima manfaat, terlihat
sekali kalau kehidupan mereka secara ekonomis berada di bawah garis
kemiskinan. Wajar jika masyarakat tersebut pantas mendapat bantuan program
pemberdayaan masyarakat.
4. Usaha yang diusulkan para penerima manfaat itu umumnya sama di masing-
masing wilayah yang dilakukan survei. Calon penerima manfaat mengusulan
sejumlah usaha, antara lain:
- Ternak lela atau limbek
- Ternak ayam/bebak
- Pengolahan kacang tanah
- Pengembangan tanaman holtikurlura, seperti cabai
- Koperasi Sembako
- Ternak ikan Nila
- Penanaman buah Melon di sela-sela kebun sawit
5. da pula usulan yang membutuhkan investasi besar dan sifatnya jangka panjang.
Namun usulan itu tidak direkomendasikan untuk program ini. Usulan tersebut,
seperti peternakan sapi, peternakan kambing, usaha perbengkelan dan
pengembangan tanaman wasit.