laporan penelitian gambaran hasil pemeriksaan … · laporan penelitian gambaran hasil pemeriksaan...

25
1 Laporan Penelitian GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN AUDIOMETRI SKRINING SISWA SMK JURUSAN OTOMOTIF DI PROVINSI BALI Oleh : I Gusti Ayu Oka Sri Utari, I Made Wiranadha IImu Kesehatan THT-KL FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pendengaran akibat bising atau noice induce hearing loss adalah hilangnya sebagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat menetap, mengenai satu atau dua telinga yang disebabkan oleh paparan bising yang cukup keras dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dari lingkungan sekitarnya. 1,2 Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang tinggi, frekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian. 2,3 Bising di sekitar kita sering kali tidak dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya sehingga kurang mendapat perhatian, padahal gangguan pendengaran akibat kebisingan seharusnya dapat dicegah dengan menggunakan pelindung telinga diantaranya yaitu sumbat telinga atau ear plug, tutup telinga atau ear muff dan pelindung kepala atau helmet. 1,4,5 Selama ini banyak keluhan yang menyangkut gangguan pendengaran yang dapat muncul setelah beberapa lama terpapar dengan suara bising antara lain tinitus, kurang mendengar serta nyeri telinga. 2,4,6 Dampak yang dapat ditimbulkan akibat adanya gangguan pendengaran adalah terganggunya perkembangan kognitif, psikologi dan sosial. 1,4,7 Badan kesehatan dunia WHO melaporkan sebanyak 16% gangguan pendengaran pada orang dewasa disebabkan oleh dampak kebisingan dan pada tahun 2000 dilaporkan sebanyak 250 juta orang atau 4,2% penduduk dunia menderita gangguan pendengaran akibat dampak kebisingan dalam berbagai bentuk. Angka itu diperkirakan akan terus meningkat. 2 Di Amerika Serikat

Upload: phamthien

Post on 17-Apr-2019

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

Laporan Penelitian

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN AUDIOMETRI SKRINING SISWA

SMK JURUSAN OTOMOTIF DI PROVINSI BALI

Oleh :

I Gusti Ayu Oka Sri Utari, I Made Wiranadha

IImu Kesehatan THT-KL FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan pendengaran akibat bising atau noice induce hearing loss

adalah hilangnya sebagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat

menetap, mengenai satu atau dua telinga yang disebabkan oleh paparan bising

yang cukup keras dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dari

lingkungan sekitarnya.1,2

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli

akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang tinggi, frekuensi tinggi,

lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat

menimbulkan ketulian.2,3

Bising di sekitar kita sering kali tidak dianggap sebagai sesuatu yang

berbahaya sehingga kurang mendapat perhatian, padahal gangguan pendengaran

akibat kebisingan seharusnya dapat dicegah dengan menggunakan pelindung

telinga diantaranya yaitu sumbat telinga atau ear plug, tutup telinga atau ear muff

dan pelindung kepala atau helmet.1,4,5

Selama ini banyak keluhan yang

menyangkut gangguan pendengaran yang dapat muncul setelah beberapa lama

terpapar dengan suara bising antara lain tinitus, kurang mendengar serta nyeri

telinga.2,4,6

Dampak yang dapat ditimbulkan akibat adanya gangguan pendengaran

adalah terganggunya perkembangan kognitif, psikologi dan sosial.1,4,7

Badan kesehatan dunia WHO melaporkan sebanyak 16% gangguan

pendengaran pada orang dewasa disebabkan oleh dampak kebisingan dan pada

tahun 2000 dilaporkan sebanyak 250 juta orang atau 4,2% penduduk dunia

menderita gangguan pendengaran akibat dampak kebisingan dalam berbagai

bentuk. Angka itu diperkirakan akan terus meningkat.2 Di Amerika Serikat

2

terdapat sekitar 22 juta orang atau 10% penduduk terancam menderita tuli akibat

bising.2 Di Belanda jumlahnya mencapai 200.000-300.000 orang, di Canada dan

Swedia masing-masing sekitar 0,03% dari seluruh populasi, dan sekitar 75 - 140

juta orang atau 50% berada di Asia Tenggara.4,8

Indonesia berada pada urutan

keempat prevalensi gangguan pendengaran di Asia Tenggara sesudah Sri Lanka

8,8%, Myanmar 8,4% dan India 6,3% yaitu diperkirakan sekitar 4,6% dan salah

satu penyebabnya adalah bising di lingkungan kerja.9

Bising adalah bunyi yang tidak diinginkan.6,10

Menurut Permenakertrans

No. 13 Tahun 2011, nilai ambang batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah

nilai rata-rata intensitas kebisingan yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa

mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus menerus

yaitu 85 dB dengan waktu maksimum 8 jam perhari atau 40 jam perminggu dan

kurang dari 91 dB selama 2 jam perhari.11

Menurut Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan ketulian

atau PGPKT, salah satu populasi resiko tinggi untuk terjadinya ketulian akibat

bising adalah siswa SMK akibat bising mesin pelatihan. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Komnas PGPKT pada SMK jurusan otomotif di Ternate dan

Cirebon didapatkan bahwa bising mesin-mesin di tempat pelatihan bengkelnya

rata-rata berkisar 100 dB dan para siswa tidak memakai pelindung telinga,

sedangkan mereka bekerja di bengkel pelatihan tersebut selama 2 jam, sehingga

mereka sangat beresiko mengalami gangguan pendengaran akibat bising.12

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Komnas PGPKT tersebut, kami

melakukan penelitian deskriptif di 4 SMK jurusan otomotif yang ada di provinsi

Bali yaitu SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1 Tabanan, SMK Negeri 1

Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem untuk mengetahui tingkat

kebisingan di tempat pelatihan bengkel mereka dan gambaran hasil pemeriksaan

audiometri skrining para siswa SMK tersebut.

3

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada siswa SMK jurusan otomotif yang mengalami penurunan fungsi

pendengaran setelah masa pendididikan tertentu akibat paparan bising di tempat

pelatihan bengkel.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hasil pemeriksaan audiometri skrining pada siswa SMK

jurusan otomotif setelah masa pendididikan tertentu.

1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1 Mengetahui tingkat kebisingan di tempat pelatihan bengkel pada siswa

SMK jurusan otomotif.

1.3.2.2 Mengetahui hasil pemeriksaan audiometri skrining siswa SMK setelah

melewati masa pendidikan tertentu.

1.3.2.3 Mengetahui adanya penurunan fungsi pendengaran pada siswa SMK

setelah melewati masa pendidikan tertentu.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Penelitian ini dapat memberikan gambaran hasil pemeriksaan audiometri

skrining pada siswa SMK jurusan otomotif selama masa pendidikan

tertentu.

1.4.2 Untuk skrining awal adanya penurunan fungsi pendengaran pada siswa

SMK jurusan otomotif, sehingga dapat dilakukan sosialisasi penggunaan

alat pelindung telinga seperti earplug, earmuff atau helmet untuk

pencegahan lebih dini terjadinya gangguan pendengaran akibat bising.

1.4.3 Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam

usaha untuk menurunkan angka kejadian ganggguan pendengaran akibat

bising di Indonesia.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Telinga terdiri dari telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga

luar terdiri dari daun telinga atau aurikula serta liang telinga atau kanalis

auditorius eksternus. Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot. Liang

telinga sepertiga lateral dibentuk oleh tulang rawan dan dua pertiga bagian dalam

dibentuk oleh tulang. Panjang keseluruhan liang telinga adalah sekitar 2,5 cm.13,14

Telinga tengah berbentuk kubah dengan enam sisi. Organ konduksi pada telinga

tengah adalah membrana timpani, rangkaian tulang-tulang pendengaran,

ligamentum penunjang dan fenestra rotundum.13,14

Telinga bagian dalam terdiri dari koklea dan komponen penyusunnya.

Koklea berbentuk kumparan yang terdiri dari skala vestibuli, skala media dan

skala timpani. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, suatu cairan

ekstraseluler yang kaya natrium yaitu 139 mEq/L dan rendah kalium yaitu 4

mEq/L. Perilimfe di skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe di skala

timpani melalui suatu apeks koklea yang disebut helikotrema. Skala media

mengandung cairan endolimfe, suatu cairan intraselular yang kaya kalium yaitu

144 mEq/L dan rendah natrium yaitu 13 mEq/L yang dikelilingi oleh membran

Reissner, membrane basilaris, lamina spiralis pars osseus dan dinding lateral

koklea.13,14

Gambar 1. Anatomi telinga.14

5

Organon korti terletak pada membran basilaris berbentuk seperti spiral

yang lebarnya 0,12 mm di bagian basal dan melebar sampai 0,5 mm di bagian

apeks yang merupakan kumpulan neuroepitel yang merupakan ujung organ

penerima rangsangan saraf akibat getaran bunyi. Organon Corti mempunyai tiga

bangun penting yaitu sel-sel rambut, sel penyokong dan membrane tektoria. Sel

rambut memiliki stereosilia yang mengandung aktin dan prestin. Aktin merupakan

protein yang sensitif terhadap sentuhan dan pergerakan, sedangkan prestin

merupakan protein motorik yang berperan untuk mengatur dan mengendalikan

kekuatan elektromotilitas sel-sel rambut.13,14

2.2 Fisiologi Pendengaran

Pada mekanisme mendengar, aurikula berfungsi untuk menangkap,

memantulkan, mengumpulkan serta mengarahkan gelombang suara ke kanalis

auditorius eksternus. Gelombang suara ini oleh kanalis auditorius eksternus

diresonansikan, diperkuat dan diteruskan ke membrana timpani. Telinga tengah

berfungsi untuk meneruskan gelombang suara dari telinga luar ke telinga dalam

dan memperkuat gelombang tersebut.2,3,14

Impul akustik dalam perjalanannya dari

telinga luar sampai telinga dalam sebagian besar akan hilang atau tertahan akibat

perpindahan media yaitu udara menuju padat dan cair. Suara yang hilang ini

mencapai 99,9% sehingga impuls akustik yang mencapai organon korti tinggal

0,1%. Telinga tengah memiliki mekanisme ungkit dan hidrolik yang memperkuat

impuls akustik sebesar 18,2 kali setara dengan 25 dB.2,3,14

Pada telinga dalam terjadi dua proses penting dalam sistem pendengaran.

Pertama adalah proses transmisi hidrodinamik yaitu perpindahan energi bunyi dari

foramen ovale ke sel-sel bersilia. Kedua adalah proses transduksi yaitu terjadi

pengubahan pola energi bunyi pada organon korti menjadi potensial aksi dalam

nervus auditorius. Proses transduksi dimulai dari pergerakan membran basilaris

dan membran tektoria akibat bergeraknya skala media dan endolimfe karena

proses transmisi sehingga terbentuk suatu pola energi listrik yang berjalan

sepanjang membran basilaris.13,14

Pola pergeseran membran basilaris membentuk

gelombang berjalan dengan amplitude maksimal yang berbeda dan sesuai dengan

6

frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang

timbul oleh bunyi berfrekuensi tinggi yaitu 10 kHz mempunyai pergeseran

maksimal pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus bunyi berfrekuensi

rendah sebesar 125 Hz mempunyai pergeseran maksimum lebih kearah apeks.

Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat

mencapai bagian apeks sedangkan bunyi yang berfrekuensi sangat rendah dapat

melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris. Pergerakan

membran basilaris merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya

defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan

ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi

sel rambut terlepasnya neurotransmitter ke dalam sinapsis yang menimbulkan

potensial aksi pada saraf auditorius dan dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai

ke pusat pendengaran di korteks serebri.2,13,14

2.3 Derajat Gangguan Pendengaran

World Health Organization atau WHO mengklasifikasikan derajat

gangguan pendengaran menjadi 5 yaitu derajat 0-4 yang menggambarkan dari

tidak adanya gangguan pendengaran sampai adanya gangguan pendengaran sangat

berat yang ditunjukkan pada tabel 1. Nilai ambang dengar ditentukan berdasarkan

hasil rata-rata ambang dengar frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz pada

pemeriksaaan audiometri.15-17

American Speech Language Hearing Association atau ASHA juga

menetapkan derajat gangguan pendengaran yang dapat digunakan untuk program

skrining anak usia sekolah yang beresiko mengalami gangguan pendengaran

akibat berbagai faktor predisposisi. Adanya gangguan pendengaran pada anak usia

sekolah akan dapat berpengaruh terhadap pendidikan, kesehatan serta

komunikasi.18,19

ASHA menetapkan kriteria gangguan pendengaran derajat sangat

ringan sampai derajat sangat berat dengan derajat gangguan pendengaran sangat

ringan merupakan nilai ambang dengar 16-25 dB seperti ditunjukkan pada tabel 2,

sehingga gangguan pendengaran yang minimal pada anak usia sekolah dapat

diidentifikasi .18,19

7

Tabel 1. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan WHO 199115

Derajat gangguan

pendengaran

Audiometri

rata-rata dari 500,

1000, 2000, 4000 Hz

Deskripsi gangguan

0 : tidak ada gangguan 25 dB atau kurang

Tidak ada atau ada

gangguan sangat ringan,

dapat mendengar bisikan

1 : gangguan ringan 26-40 dB

Dapat mendengar atau

mengulang kata-kata dengan

suara normal yang

diucapkan dari jarak 1 meter

2 : gangguan sedang 41-60 dB

Dapat mendengar atau

mengulang kata-kata dengan

suara keras yang diucapkan

dari jarak 1 meter

3 : gangguan berat 61-80 dB

Dapat mendengar kata-kata

yang diteriakkan pada

telinga yang lebih baik

4 : gangguan sangat

berat atau tuli 81 dB atau lebih

Tidak dapat mendengar atau

mengerti kata-kata

walaupun telah diteriakkan

Tabel 2. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan ASHA 198118

Derajat gangguan

pendengaran

Audiometri

rata-rata dari 500, 1000, 2000, 4000 Hz

Normal -10 – 15

Sangat ringan 16 – 25

Ringan 26 – 40

Sedang 41 – 55

Sedang - berat 56 – 70

Berat 71 – 90

Sangat berat >90

8

2.4 Definisi Bising

Bising adalah bunyi yang tidak diinginkan.6,10

Bunyi yang menimbulkan

keluhan subyektif pada individu dikategorikan sebagai suatu kebisingan,

walaupun frekuensi dan intensitas dari bunyi tersebut masih dalam batas

normal.4,20

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor

PER.13/MEN/X/2011, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki

yang bersumber dari alat-alat proses produksi atau alat-alat kerja yang pada

tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.11

Kebisingan dapat dibagi berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi

antara lain 1) Steady State, Wide Band Noise adalah kebisingan yang terjadi terus

menerus dengan spektrum frekuensi yang luas dan relatif tetap dalam batas kurang

lebih 6 dB, misalnya mesin, kipas angin dan dapur pijar. 2) Steady State Noise,

Narrow Band Noise adalah kebisingan yang terjadi terus menerus dengan

spektrum frekuensi yang sempit dan relatif tetap, akan tetapi hanya mempunyai

frekuensi tertentu saja yaitu pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz, misalnya

gergaji sirkuler dan katup gas. 3) Impact noise adalah kebisingan dimana waktu

yang diperlukan untuk mencapai intensitas maksimal kurang dari 35 milidetik dan

waktu yang diperlukan untuk penurunan intensitas sampai 20 dB di bawah puncak

kurang dari 500 milidetik, misalnya suara meriam, palu dan paku bumi.

4) Intermitten Noise atau kebisingan terputus-putus adalah kebisingan dimana

suara mengeras kemudian melemah secara perlahan-lahan, misalnya: bising lalu

lintas dan bising pesawat udara yang tinggal landas. 5) Implusif Noise atau

kebisingan berulang adalah kebisingan yang tidak beraturan terkadang keras tapi

tiba–tiba melemah tetapi berulang ulang, misalnya mesin tempa di pabrik

peralatan berat.21,22

Berdasarkan pengaruhnya pada manusia, bising dapat dibagi menjadi 3

yaitu 1) Irritating Noise atau bising yang mengganggu adalah bising yang

mempunyai intensitas tidak terlalu keras, misalnya mendengkur. 2) Masking

Noise atau bising yang menutupi adalah bunyi yang menutupi pendengaran yang

jelas namun secara tidak langsung akan membahayakan kesehatan dan

keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya dalam bising

9

dari sumber lain menjadi tidak terdengar. 3) Damaging noise atau bising yang

merusak adalah bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas sehingga

akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.10,21,22

2.5 Efek Kebisingan

Efek kebisingan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu

gangguan indera pendengaran atau auditori dan gangguan non pendengaran atau

non auditori.1,5,6,14

Efek bising terhadap indera pendengaran secara klinis dapat

menimbulkan reaksi adaptasi, perubahan ambang dengar sementara atau

temporary threshold shift, trauma akustik dan perubahan ambang dengar menetap

atau permanent threshold shift.1,23,24

Gangguan non auditori dapat berupa

gangguan komunikasi, ganggguan pelaksanaan tugas, perasaan tidak senang serta

mudah marah.1,4,7

Reaksi adaptasi merupakan fenomena fisiologis yang disebabkan oleh

kelelahan saraf pendengaran yaitu terjadinya perubahan ambang dengar segera

akibat paparan bising pada frekuensi tertentu dengan intensitas di atas 90 dB.

Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa detik.3,6,24

Perubahan ambang dengar

sementara adalah keadaan terdapatnya perubahan ambang dengar akibat paparan

bising dengan intensitas yang cukup tinggi dan biasanya waktu pemaparan terlalu

singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya

dengarnya akan pulih kembali. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau

jam.3,6,22

Perubahan ambang dengar sementara dapat berlangsung singkat yang

disebut dengan kelelahan fisiologik dan masa pemulihan lengkap terjadi dalam

24-48 jam. Perubahan ambang dengar sementara yang berlangsung lama disebut

dengan kelelahan patologik dan terjadi perpanjangan masa pemulihan.2,3,6

Trauma akustik adalah setiap perlukaan yang merusak sebagian atau

seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau

beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi berupa ledakan

atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat

menyebabkan pecahnya membrana timpani, putusnya rantai tulang pendengaran

atau rusaknya saraf sensoris pendengaran.2,3,25

10

Perubahan ambang dengar menetap dapat disebabkan oleh paparan bising

dengan intensitas yang sangat tinggi dalam waktu yang singkat atau intensitas

yang cukup tinggi dan berlangsung lama sehingga terjadi kerusakan atau

perubahan yang menetap pada struktur koklea.1,17,20

Bila paparan bising terus

berlangsung, kerusakan koklea makin meluas mengenai sel rambut dan saraf yang

berperan untuk mengantarkan impuls bunyi frekuensi lebih rendah dan lebih

tinggi sehingga penderita mulai merasa adanya kendala dalam berkomunikasi.3,6

NIHL merupakan perubahan ambang dengar menetap yang diduga terjadi

akibat adanya stress mekanis dan metabolik pada organ sensorik auditorik

bersamaan dengan kerusakan sel sensorik atau bahkan kerusakan total organ Corti

di dalam koklea. Kepekaan terhadap stress pada sel rambut luar ini berada pada

kisaran 0-50 dB sedangkan untuk sel rambut dalam di atas 50 dB.1,3,6

Berbagai

proses mekanis yang dapat menyebabkan kerusakan sel rambut akibat pajanan

terhadap bising meliputi aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat

menyebabkan robeknya membran Reissner sehingga cairan dalam endolimfe dan

perilimfe bercampur yang mengakibatkan kerusakan sel rambut, gerakan

membran Basilaris yang kuat dapat menyebabkan gangguan organ Corti dengan

pencampuran endolimfe dan kortilimfe yang mengakibatkan kerusakan sel

rambut, aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat langsung merusak sel

rambut dengan melepaskan organ Corti atau merobek membran Basilaris.1,3,4

Proses metabolik yang dapat merusak sel rambut akibat pajanan bising

meliputi pembentukan vesikel dan vakuol di dalam retikulum endoplasma sel

rambut serta pembengkakan mitokondria dapat berlanjut menjadi robeknya

membran sel dan hilangnya sel rambut, kehilangan sel rambut mungkin

disebabkan kelelahan metabolik akibat gangguan system enzim yang esensial

untuk produksi energi, biosintesis protein dan pengangkutan ion.1,3,22

Daerah organ Corti sekitar 8 hingga 10 mm dari ujung basal yaitu daerah

yang sesuai dengan 4 kHz pada audiogram dianggap sebagai daerah yang secara

khas rentan terhadap kebisingan.1,6,18

Daerah 4 kHz mungkin lebih rentan karena

insufisiensi vaskular akibat bentuk anatomis yang tidak biasa di daerah ini dan

amplitude pemindahan di dalam saluran koklea mulai terbentuk di daerah 4 kHz

11

saat kecepatan perambatan gelombang yang berjalan masih cukup tinggi dan

struktur anatomi koklea menyebabkan pergeseran cairan pada daerah 4 kHz.1,25

2.6 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor PER.

13/MEN/X/2011 pasal 1 ayat 8 membahas tentang nilai ambang batas faktor fisika

dan faktor kimia di tempat kerja, yang dimaksud dengan nilai ambang batas

adalah standar rata-rata waktu kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa

mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan adalah tidak melebihi 8 jam

perhari atau 40 jam perminggu. Pada pasal 5 ditetapkan nilai ambang batas

kebisingan sebesar 85 dB.11

Tabel 3. Nilai ambang batas kebisingan berdasarkan Peraturan Menteri

Tenaga Kerja nomor PER. 13/MEN/X/2011.11

Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisingan dalam dBA

8 Jam 85

4 88

2 91

1 94

30 Menit 97

15 100

7,5 103

3,75 106

1,88 109

0,94 112

28,12 Detik 115

14,06 118

7,03 121

3,52 124

1,76 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

2.7 Pengukuran Kebisingan

12

Pengukuran kebisingan dapat dilakukan menggunakan alat Sound Level

Meter yaitu alat digital yang dapat menunjukkan secara langsung hasil kebisingan

di tempat kerja. Alat ini dapat mengukur intensitas kebisingan antara 30-130 dB

dan frekuensi 20 - 20.000 Hz yang terdiri dari mikropon, alat penunjuk elektronik,

amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran yaitu skala A untuk memperlihatkan

kepekaan yang terbesar telinga pada frekuensi rendah dan tinggi, skala B untuk

memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas sedang, skala

C untuk memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas

tinggi.26

Gambar 2. Sound Level Meter 26

2.8 Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising

2.8.1 Anamnesis dan gejala klinis

Dari anamnesis didapatkan informasi mengenai riwayat pajanan bising

dalam waktu tertentu. Selain itu ditanyakan juga adanya riwayat penyakit pada

telinga sebelumnya dan riwayat konsumsi obat ototoksik seperti streptomisin yang

juga menjadi faktor predisposisi terjadinya gangguan pendengaran.1,3,9

Gejala yang dapat muncul adalah tinnitus dengan suara berdenging pada

telinga yang timbul segera setelah pajanan dan dapat menjadi permanen pada

pajanan yang berlangsung terus menerus. Tinitus akibat pajanan bising biasanya

bernada tinggi.2,9,18

Vertigo dapat juga timbul setelah mengalami pajanan yang

13

sangat kuat. Penderita mengalami kesulitan memahami pembicaraan terutama

dalam suasana bising.2,6,15,20

2.8.2 Pemeriksaan fisik dan audiometri

Pada pemeriksaan otoskopi penderita dengan gangguan pendengaran

akibat bising tidak ditemukan adanya kelainan patologis. Pada pemeriksaan garpu

tala didapatkan tes rinne positif pada kedua telinga, tes weber lateralisasi ke

telinga yang sehat dan tes schwabach memendek, kesan tuli sensorineural.1,2,9

Pada pemeriksaan audiometri, tahap awal audiogram menunjukkan gambaran

yang khas berupa penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi 3 kHz, 4 kHz dan

6 KHz, sedangkan pada frekuensi lain masih normal.1,3,20

Pada audiogram

didapatkan suatu takik yang dikenal dengan takik akustik. Pada keadaan lanjut,

bila paparan bising terus menerus berlangsung, kerusakan koklea makin meluas

mengenai sel rambut dan saraf yang berperan untuk mengantarkan impuls bunyi

dengan frekuensi lebih rendah atau frekuensi komunikasi sehingga penderita

mulai merasa adanya kendala dalam mendengar atau berkomunikasi.1-3

III. KERANGKA KONSEP

Intensitas bising di

tempat pelatihan

bengkel

Pemeriksaan

audiometri

skrining

Derajat nilai

ambang dengar

Penggunaan alat

pelindung telinga

Siswa SMK

- Jenis kelamin

- Umur

14

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan rancangan potong lintang

untuk mengetahui tingkat kebisingan selama melakukan pelatihan bengkel dan

hasil pemeriksaan audiometri siswa di 4 SMK jurusan otomotif yang ada di

provinsi Bali.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada 4 SMK jurusan otomotif yang ada di provinsi

Bali yaitu SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1 Tabanan, SMK Negeri 1

Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem pada bulan April dan Mei

2013.

4.3 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah siswa SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati

1 Tabanan, SMK Negeri 1 Kuta Selatan dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem.

4.4 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah siswa SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1

Tabanan, SMK Negeri 1 Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem

yang telah menjalani masa pendidikan selama 1 tahun 9 bulan atau kelas 2 dengan

besar sampel sebanyak 120 orang. Sampel penelitian dipilih secara stratified

random sampling.

4.4.1 Kriteria inklusi

Siswa SMK yang berusia 15-19 tahun dan berlatih rutin minimal 1 kali

dalam satu minggu.

4.4.2 Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi dari sampel adalah adanya riwayat konsumsi obat

ototoksik, riwayat ketulian dalam keluarga, riwayat otore, perforasi membran

timpani, dan riwayat kurang pendengaran sebelum menjadi siswa SMK jurusan

otomotif.

15

4.5 Definisi Operasional Variabel

1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan, tidak disukai dan

mengganggu.

2. Intensitas bising adalah tingkat kebisingan yang diukur dengan menggunakan

alat Sound Level Meter.

3. Umur adalah umur sejak lahir dalam tahun.

4. Alat pelindung telinga adalah perlengkapan perlindungan personal yang

dipergunakan selama pelatihan bengkel seperti earplug, earmuff atau helmet.

5. Nilai ambang dengar adalah bunyi terlemah pada frekuensi tertentu yang masih

dapat didengar oleh telinga seseorang pada pemeriksaan audiometri dan

kemudian dihitung dengan menggunakan indek Fletcher yaitu nilai rata-rata

ambang dengar hantaran tulang pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz.

6. Derajat nilai ambang dengar adalah hasil penghitungan rata-rata ambang

dengar hantaran udara pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz, kemudian

ditentukan derajat ambang dengar sesuai dengan ASHA 1981.

7. Ketulian adalah peningkatan nilai ambang dengar diatas normal sesuai dengan

ASHA 1981.

4.6 Cara Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara seleksi subyek melalui

anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik THT, untuk selanjutnya dilakukan

pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan audiometri yang dilakukan adalah air

conduction atau hantaran udara pada frekwensi 500, 1000, 2000, 4000 dan 8000

Hz pada kedua telinga. Intensitas kebisingan di tempat pelatihan bengkel diukur

dengan alat sound level meter.

4.7 Pengolahan Data

Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dipaparkan secara deskriptif

dalam bentuk tabel dan narasi.

16

V. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian yang dilakukan terhadap

siswa SMK jurusan otomotif di provinsi Bali pada bulan April dan Mei 2013

didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 3. Intensitas kebisingan di tempat pelatihan bengkel yang diukur

dengan sound level meter

No Nama Sekolah

Bising di tempat pelatihan bengkel

1 SMK Saraswati 1 Tabanan

69,7 dB - 98,7 dB

2 SMK Negeri 1 Kuta Selatan

94,1 dB - 110 dB

3 SMK PGRI 6 Denpasar

95,7 dB - 101,7 dB

4 SMKN 2 Manggis Karangasem

79,9 dB - 98,9 dB

Dari hasil pengukuran dengan sound level meter didapatkan pada SMK

Negeri 1 Kuta Selatan dan SMK PGRI 6 Denpasar, intensitas kebisingan mesin di

tempat pelatihan bengkelnya rata-rata adalah lebih dari 91 dB, sedangkan di SMK

Saraswati 1 Tabanan dan SMKN 2 Manggis Karangasem, terdapat beberapa

mesin di tempat pelatihan bengkelnya memiliki intensitas lebih dari 91 dB.

Tabel 4. Distribusi siswa SMK berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Frekuensi %

Laki-laki 119 99,2

Perempuan 1 0,8

Siswa SMK yang menjadi sampel penelitian kebanyakan adalah laki-laki

yaitu sebanyak 119 orang dan hanya 1 orang siswa SMK perempuan yaitu siswa

dari SMK Negeri I Kuta Selatan.

17

Tabel 5. Distribusi siswa SMK berdasarkan Umur

Umur ( tahun ) Frekuensi %

15 11 9,2

16 29 24,2

17 64 53,3

18 15 12,5

19 1 0,8

Siswa SMK yang dilakukan pemeriksaan audiometri pada penelitian ini

adalah berusia antara 15 sampai 19 tahun dan terbanyak berusia 17 tahun yaitu

sebanyak 53,3 %.

Tabel 6. Distribusi siswa SMK berdasarkan nilai ambang dengar sesuai

dengan ASHA 1981

Ambang dengar

( dB )

Derajat

gangguan

pendengaran

Telinga kanan Telinga kiri

Frekuensi %

Frekuensi %

-10 - 15 Normal 52 43,3 58 48,3

16 - 25 Sangat ringan 58 48,4 56 46,7

26 - 40 Ringan 10 8,3 6 5

41 - 55 Sedang - - - -

56 - 70 Sedang berat - - - -

71-90 Berat - - - -

>90 Sangat berat - - - -

Berdasarkan hasil pemeriksaan audiometri pada 120 orang siswa SMK

yang menjadi sampel penelitian didapatkan hasil ambang dengar normal pada

telinga kanan sebanyak 52 orang dan pada telinga kiri sebanyak 58 orang. Siswa

SMK dengan gangguan pendengaran derajat sangat ringan pada telinga kanan

sebanyak pada 58 orang dan pada telinga kiri sebanyak 56 orang sedangkan siswa

18

SMK dengan gangguan pendengaran derajat ringan pada telinga kanan adalah

sebanyak 10 orang dan pada telinga kiri sebanyak 6 orang.

Pada siswa SMK yang mengalami gangguan pendengaran derajat sangat

ringan terdapat 6 orang siswa memiliki gambaran takik akustik di frekuensi 4000

Hz yaitu sebanyak 4 orang pada telinga kanan dan 2 orang siswa pada telinga kiri

sedangkan pada siswa SMK yang mengalami gangguan pendengaran derajat

ringan terdapat 1 orang siswa dengan hasil pemeriksaan audiometri memiliki

gambaran takik akustik di frekuensi 4000 Hz pada telinga kiri.

Tabel 7. Distribusi siswa SMK berdasarkan sisi telinga yang mengalami

gangguan pendengaran

Hasil pemeriksaan

audiometri

Frekuensi %

Normal 37 30,8

Ketulian Unilateral 36 30

Ketulian Bilateral 47 39,2

Total 120 100

Berdasarkan sisi telinga yang terkena terdapat 36 siswa SMK mengalami

ketulian pada satu sisi telinga atau unilateral dan 47 siswa SMK mengalami

ketulian pada kedua sisi telinga atau bilateral.

VI. PEMBAHASAN

Bising adalah bunyi yang tidak diinginkan yang pada tingkat tertentu dapat

menyebabkan gangguan pendengaran.6,10

Menurut Permenakertrans No. 13 Tahun

2011, nilai ambang batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah 85 dB dengan

waktu maksimum 8 jam perhari atau 40 jam seminggu dan kurang dari 91 dB

selama 2 jam perhari.11

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komnas PGPKT

pada SMK jurusan otomotif di Ternate dan Cirebon didapatkan bahwa bising

mesin-mesin di tempat pelatihan bengkelnya rata-rata berkisar 100 dB dan para

siswa tidak memakai pelindung telinga, sedangkan mereka bekerja di bengkel

19

pelatihan tersebut selama 2 jam, sehingga mereka sangat beresiko mengalami

gangguan pendengaran akibat bising. Dengan demikian dilakukan penelitian

deskriptif pada bulan April dan Mei 2015 di 4 SMK jurusan otomotif yang ada di

provinsi Bali yaitu SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1 Tabanan, SMK

Negeri 1 Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem untuk

mengetahui tingkat kebisingan di tempat pelatihan bengkel mereka dan gambaran

pemeriksaan audiometri para siswa SMK tersebut.

Dari hasil pengukuran dengan sound level meter didapatkan pada SMK

Negeri 1 Kuta Selatan dan SMK PGRI 6 Denpasar, intensitas kebisingan mesin di

tempat pelatihan bengkelnya adalah lebih dari 91 dB, sedangkan di SMK

Saraswati 1 Tabanan dan SMKN 2 Manggis Karangasem, sebagian besar mesin di

tempat pelatihan bengkelnya memiliki intensitas lebih dari 91 dB. Intensitas

kebisingan lebih dari 91 dB melebihi nilai ambang batas kebisingan di tempat

kerja dengan waktu kerja selama 2 jam perhari.11

Feidihal melakukan penelitian

terhadap mahasiswa tehnik mesin Politeknik Negeri Padang didapatkan

pengukuran intensitas kebisingan di tempat prakteknya adalah 95,3 dB -101,5

dB.27

Siswa SMK yang menjadi sampel penelitian kebanyakan adalah laki-laki

yaitu sebanyak 119 orang dan hanya 1 orang siswa SMK perempuan yaitu siswa

dari SMK Negeri 1 Kuta Selatan. Siswa SMK tersebut berusia antara 15 sampai

19 tahun dan terbanyak berusia 17 tahun yaitu sebanyak 64 % dengan masa

pendidikan 1 tahun 6 bulan. Selama masa pendidikan, siswa SMK melakukan

pelatihan bengkel selama 2 jam perhari dengan tanpa pelindung telinga sedangkan

nilai ambang batas untuk kebisingan dengan lama kerja 2 jam perhari adalah

91 dB. Alat pelindung telinga dapat mengurangi intensitas bising yang diterima

telinga dalam. Sumbat telinga dapat mengurangi kebisingan antara 8 sampai 30

dB, tutup telinga dapat mengurangi kebisingan 25 sampai 40 dB dan helmet dapat

mengurangi kebisingan 40 sampai 50 dB.4

Berdasarkan hasil pemeriksaan audiometri pada 120 orang siswa SMK

yang menjadi sampel penelitian didapatkan hasil ambang dengar normal pada

telinga kanan sebanyak 52 orang dan pada telinga kiri sebanyak 58 orang. Siswa

20

SMK dengan gangguan pendengaran derajat sangat ringan pada telinga kanan

sebanyak pada 58 orang siswa dan pada telinga kiri sebanyak 56 orang. Gangguan

pendengaran derajat ringan pada telinga kanan adalah sebanyak 10 orang siswa

dan pada telinga kiri sebanyak 6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan

hasil pemeriksaan audiometri skrining didapatkan sebagian besar siswa SMK

jurusan otomotif tersebut mengalami gangguan pendengaran yaitu sebanyak 68

siswa mengalami gangguan pendengaran pada telinga kanan dan 62 siswa

mengalami gangguan pendengaran pada telinga kiri. Gambaran takik akustik di

frekuensi 4000 Hz pada pemeriksaan audiometri didapatkan pada 7 orang siswa

yang mengalami gangguan pendengaran tersebut. Berdasarkan sisi telinga yang

terkena, sebanyak 36 siswa SMK mengalami ketulian unilateral dan 47 siswa

SMK mengalami ketulian bilateral dan hanya 37 orang atau 30,8% mempunyai

pendengaran normal pada kedua sisi telinga.

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap siswa SMK jurusan tertentu

yang beresiko mengalami gangguan pendengaran akibat bising di tempat

prakteknya diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Tumundo S dkk.28

terhadap 20 siswa SMK Negeri 1 Tumpaan jurusan otomotif didapatkan 1 orang

yang mengalami gangguan pendengaran unilateral.28

Raintung HF dkk.29

melakukan penelitian terhadap siswa SMK Negeri 2 Manado Jurusan Teknik

Konstruksi Batu Beton didapatkan hasil dari 20 siswa yang diperiksa sebanyak 4

orang siswa mengalami gangguan pendengaran. Sedangkan Feryadi dkk.30

melakukan penelitian terhadap 15 pekerja bengkel las di kelurahan Sepang Raya

Way Halim Bandara Lampung yang bekerja selama 1-3 tahun dengan intensitas

kebisingan 83,4 dB - 92,6 dB didapatkan sebanyak 11 orang mengalami gangguan

pendengaran dan hanya 4 orang yang mempunyai pendengaran normal.

VII. SIMPULAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan pada siswa di 4

SMK jurusan otomotif yaitu SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1 Tabanan,

SMK Negeri 1 Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem dengan

21

tujuan untuk mengetahui tingkat kebisingan di tempat pelatihan bengkel dan hasil

pemeriksaan audiometri siswa SMK tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pada SMK Negeri I Kuta

Selatan dan SMK PGRI 6 Denpasar, intensitas kebisingan mesin di tempat

pelatihan bengkelnya adalah lebih dari 91 dB, sedangkan di SMK Saraswati 1

Tabanan dan SMKN 2 Manggis Karangasem, sebagian besar mesin di tempat

pelatihan bengkelnya memiliki intensitas lebih dari 91 dB. Berdasarkan

pemeriksaan audiometri yang dilakukan terhadap 120 orang siswa SMK

didapatkan hasil yaitu siswa SMK yang mengalami gangguan pendengaran pada

telinga kanan sebanyak 68 orang dan telinga kiri sebanyak 62 orang, sebanyak 36

orang siswa mengalami gangguan pendengaran unilateral, 47 orang siswa

mengalami gangguan pendengaran bilateral dan 37 orang memiliki pendengaran

normal pada kedua sisi telinga. Pada hasil pemeriksaan audiometri tersebut

didapatkan gambaran takik akustik di frekuensi 4000 Hz pada 7 orang siswa.

VIII. SARAN

Penelitian mengenai gambaran hasil pemeriksaan audiometri skrining pada

siswa SMK jurusan otomotif dapat dilakukan secara berkelajutan dan sebaiknya

dilakukan pada seluruh siswa SMK jurusan otomotif yang ada di provinsi Bali.

Pemeriksaan audiometri dilakukan setelah pelatihan bengkel untuk menentukan

adanya temporary threshold shift pada siswa SMK tersebut serta dapat dilakukan

pemeriksaan terhadap hantaran udara dan hantaran tulang untuk dapat

menentukan jenis ketuliannya. Dengan pemahaman yang baik terhadap adanya

gangguan pendengaran akibat bising diharapkan siswa sekolah dapat melakukan

upaya pencegahan dengan menggunakan alat pelindung telinga secara lebih dini.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Dobie RA. Noise-Induced Hearing Loss. In : Bailey BJ, Johnson JT editors.

Head and Neck Surgery - Otolaryngology. 5th

ed. Philadelphia : Lippincott

Williams and Wilkins; 2014.p. 2190-99.

2. Hong O, Kerr MJ, Poling GL, Dhar S. Understanding and Preventing Noise

Induced Hearing Loss. Disease-a-Month. 2013 ; 59 : 110-18.

3. Moller AR. Noise-Induced Hearing Loss. In : Moller AR editor. Hearing:

Anatomy, Physiology, and Disorders of The Auditory System 2nd

ed.

London : Elsevier ; 2006.p. 220-5.

4. Timmins P, Granger O. Occupational noise-induced hearing loss in

Australia: Overcoming barriers to effective noise control and hearing loss

prevention. Barton: Common wealth of Australia ; 2010.p. 12-86.

5. Meinke DK. School Based Hearing Screening Won’t Prevent Noise

Induced Hearing Loss. Arch Pediatr Adolesc Med. 2011; 165(12): 1135-

1136

6. Alberti PW, Occupational Hearing Loss. In: Ballenger JJ, Snow JB,editors.

Ballenger,s Ohinolaryngology Head and Neck Surgery. 16

th ed. Chicago :

BC Decker; 2003.p.357-60.

7. Sekhar DL, Rhoades JA, Longenecker ALet al. Improving Detection of

Adolescent Hearing Loss. JAMA. 2011; 165(12): 1094-1100.

8. Abel SM. Risk factors for the development of noise induce hearing loss in

Canadian Forces personnel. Toronto: DRDC Toronto ECR, 2004 ; h 11-25.

9. McBride D, Zhang Z. Purdy S. Williams W. Guideline for diagnosing

occupational noise Indiced hearing loss.In : Greville A, Gilbert J, Baber B,

editors. Assessment of occupational noise induced hearing loss for ACC.

The New Zealand Society of Otolaryngology, Head and Neck Surgery.

New Zealand : ACC ; 2011. P. 20-30

10. Kirchner DB, MD, Evenson CE, Dobie RA, Rabinowitz P, Crawford J,

Kopke R, Hudson TW. Occupational Noise-Induced Hearing Loss. JOEM .

2012 ; 54( 1 ) :106-8.

23

11. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.

13/MEN/X/2011 Tahun 2011.

12. Soetjipto D. Program dan Gerakan Peningkatan Kesehatan Telinga.

Komnas PGPKT. Januari 2013.

13. Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and Physiology of Hearing.

In : Bailey BJ, Johnson JT editors. Head and Neck Surgery -

Otolaryngology. 4th

ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins;

2006.p. 2190-99.

14. Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of The Auditory and Vestibular Systems.

In: Ballenger JJ, Snow JB,editors. Ballenger,s Ohinolaryngology Head and

Neck Surgery. 16th

ed. Chicago : BC Decker; 2003.p.1-24.

15. Mathers C, Smith A, Concha M. Global Burden of hearing loss in the year

2000. Geneva: World Health Organization; 2000.p. 1-30

16. Shield B. Evaluation of the Social and Economi Costs of Hearing

Impairment. A report for hear it. 2006; 11- 20.

17. Espina C. Children and noise. WHO Training Package for The

Health Sector. World Health organization. Available from URL:

http://www.who.int/ceh.capacity.noise.pdf. Accessed on june 3, 2015.

18. Clark, J. G. Type, Degree, and Configuration of Hearing Loss. ASHA .

2011 ; 7976-16.

19. Anderson KL, Bown C, Cohen MR, Miller SD, Smiley DF, Gwinner D et

al. The charge of the Subcommittee on Childhood Hearing Screening was

to develop evidence‐based recommendations for screening hearing of

children age 6 months through high school. American Academy of

Audiology Childhood Hearing Screening Guidelines. September 2011; 1-

78.

20. Phillips SL, Henrich VC, Mace ST. Prevalence of noise-induced hearing

loss in student musicians. International Journal of Audiology. 2010 ; 4:

309-316.

24

21. Abel SM. Risk factors for the development of noise induce hearing loss in

Canadian Forces personnel. Toronto: DRDC Toronto ECR, 2004 ; p 11-25.

22. Ijaz S, Verbeek J, Toppila E, Kateman E, Rytkonen E, Dreschler W,

Ojajarvi A, Neuvonen K. A systematic review of predictors of noise

induced hearing loss. Helsinki : Finnish Institute of Occupational Health ;

2014.

23. Christensen K, Karam L, Douglas J, Walters J, Green M. Occupational

Noise- induced Hearing Loss. National Institute for Occupational Safety

and Health. 2009 ; 1-10.

24. Rabinowitz PM. The Public Health Significance of Noise-Induced Hearing

Loss. In : Lee Prell CG, Henderson d, Fay RR. popper AN editors. Noise-

Induced Hearing Loss : Scientific Advances, New Haven : Springer, 2012;

p. 1-14.

25. Suskovic D. Noise Induced Hearing Loss. Acoustical Society of Croatia.

2012 ; 1-5.

26. David N, Nina AC, Nwamaka EI , Opeyemi AA. Library Sound Level

Meter. Journal of Electronics and Communication Engineering

Research.2013 ; 1: 1 20-29.

27. Feidihal. Tingkat Kebisingan dan Pengaruhnya Terhadap Mahasiswa di

Bengkel Tehnik Mesin Politeknik Negeri Padang. Jurnal Teknik Mesin.

2007 ; 4:1 1-11.

28. Tumundo S, Dehoop J, Mengku S. Kesehatan Telinga Siswa SMK Negeri 2

Manado dan SMK Negeri 1 Tumpaan. Jurnal e Clinic. 2014 ; 2:2 1-4.

29. Raintung HF. Mengko SK. Dehoop J. Pengaruh Paparan Bising Terhadap

Ambang Pendengaran Siswa SMK Negeri 2 Manado Jurusan Teknik

Konstruksi Batu Beton. Jurnal e-Clinic. 2014 ; 2:2 1-7

30. Feryadi H. Pengaruh paparan bising dengan fungsi pendengaran pada

pekerja bengkel las di kelurahan Sepang Raya Way Halim Bandar

Lampung. Medical Journal of Lampung University. 2013 ; 2 : 3 44-52.

25