laporan nusantara februari 2015

90
Februari 2015 VOLUME 10 NOMOR 1

Upload: anang-nugroho-triatmaja

Post on 09-Nov-2015

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

-

TRANSCRIPT

  • Februari 2015

    VOLUME 10 NOMOR 1

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 1

    Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553

    Daftar Isi 3

    Kata Pengantar 5

    Bagian I Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah 7

    Bagian II Perekonomian Sumatera 13

    Bagian III Perekonomian Jawa 49

    Bagian IV Perekonomian Kalimantan 99

    Bagian V Perekonomian Kawasan Timur Indonesia

    Bagian V Isu Khusus Daerah 139

    Isu Khusus 1: Strategi Pembangunan Infrastruktur Daerah

    Isu Khusus 2: Agenda Pembangunan Maritim

    139

    144

    147

    150

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 1

    Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek dalam proses perumusan kebijakan, termasuk berbagai

    dinamika ekonomi dan isu terkini dalam perspektif kedaerahan. Pembahasan menyeluruh mengenai

    perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara

    periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah

    di seluruh Indonesia1 dan/atau Kepala Kantor Perwakilan BI di daerah. Hasil dari pembahasan dimaksud

    menjadi bagian penting dalam melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi

    dengan berbagai aspek risiko yang berkembang.

    Secara umum dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan IV 2014 menunjukkan tanda-

    tanda pemulihan dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,01%, meningkat dari 4,92% pada triwulan III

    2014. Perbaikan kinerja ekonomi di Jawa yang didukung oleh membaiknya aktivitas di sektor industri

    pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan perekonomian nasional. Selain itu, membaiknya

    perekonomian nasional juga ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Kalimantan dan stabilnya perekonomian

    Sumatera. Sementara di KTI, pertumbuhan perekonomian masih tertahan karena kontraksi kinerja

    pertambangan yang terjadi di beberapa daerah, kecuali beberapa provinsi di Sulawesi yang tumbuh cukup

    tinggi didukung oleh kinerja sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Secara keseluruhan tahun 2014,

    perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,03%, lebih rendah

    dibandingkan tahun 2013 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi

    akibat ketidakpastian dinamika perekonomian global serta ketergantungan yang tinggi sebagian besar wilayah

    di Indonesia terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya pada 2014 masih belum membaik.

    Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan

    kinerja perekonomian masih akan berlanjut meskipun masih dibayangi berbagai risiko, baik dari sisi global

    maupun domestik. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera yang ditopang oleh

    masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Jawa. Perekonomian di KTI akan didorong oleh perbaikan aktivitas

    pertambangan seiring dengan ekspor mineral yang dapat dilakukan kembali. Sementara itu, perekonomian

    Jawa masih didukung oleh perbaikan sektor industri pengolahan seiring dengan perbaikan permintaan ekspor

    manufaktur. Di sisi lain, perekonomian di Kalimantan diperkirakan cenderung melambat karena terbatasnya

    ekspor batubara. Untuk keseluruhan tahun 2015, perbaikan ekonomi nasional diperkirakan terus berlanjut

    sebagaimana tercermin pada agregasi prakiraan pertumbuhan ekonomi daerah yang tumbuh dikisaran 5,4-

    5,8%, lebih tinggi dibanding tahun 2014. Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber

    dari langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan infrastruktur yang

    diperkirakan akan mampu mengakselerasi investasi dan belanja pemerintah pada tahun 2015.

    Di sisi inflasi, laju inflasi pada triwulan IV-2014 meningkat signifikan yakni tercatat sebesar 8,36% (yoy) pada

    Desember 2014, dibanding periode September 2014 yang sebesar 4,53% (yoy). Peningkatan inflasi merupakan

    dampak dari implementasi kebijakan reformasi energi pada November 2014 dan berkurangnya pasokan

    komoditas cabai merah dan beras. Kendala pasokan akibat pergeseran masa panen dan faktor cuaca yang

    menghambat produksi dan distribusi mengakibatkan kenaikan harga cabai merah dan beras di sejumlah

    daerah melebihi rata-rata tiga tahun terakhir. Peningkatan inflasi terbesar terjadi di wilayah Sumatera, Jakarta

    dan Jawa yang melebihi 8%. Namun, perkembangan inflasi sepanjang 2014 secara umum relatif terkendali

    dibandingkan tahun 2013. Hal ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014

    dibanding tahun 2013 yang sebesar 8,38%.

    Memasuki tahun 2015, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di sebagian

    besar daerah. Tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih cenderung rendah

    1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan

    Kawasan Timur Indonesia (KTI mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 2

    seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi BBM disertai prospek

    berlanjutnya penurunan harga minyak di pasar internasional dan mulai masuknya masa panen di berbagai

    daerah sentra produksi pangan. Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat

    masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%1%. Kondisi ini didukung oleh prospek

    produksi pangan yang diperkirakan mampu mencatat surplus, kondisi curah hujan yang relatif stabil serta tren

    penurunan harga BBM. Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan

    tekanan inflasi di 2015 khususnya terkait dengan kesinambungan jumlah pasokan bahan pangan antar waktu

    di tengah estimasi surplus pangan secara tahunan. Mempertimbangkan risiko tersebut, ke depan upaya

    pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan untuk meminimalkan dampak dari kebijakan administered

    prices, pengelolaan pasokan pangan serta berbagai langkah kebijakan yang perlu ditempuh untuk menjaga

    ekspektasi masyarakat agar tetap positif.

    Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam

    buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat isu khusus terkait dengan

    agenda pembangunan infrastruktur nasional dan agenda kemaritiman yang menjadi prioritas agenda

    pembangunan di era Kabinet Kerja.

    Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh beberapa satuan kerja di Bank Indonesia, yaitu

    Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter, Departemen Regional I (Sumatera), Departemen Regional II (Jawa),

    Departemen Regional III (Kalimantan), dan Departemen Regional IV (Sulampua-Bali-Nustra). Akhir kata, kami

    berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati

    ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.

    Jakarta, 20 Februari 2015

    Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

    Juda Agung

    Direktur Eksekutif

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 3

    PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH

    Tanda-tanda pemulihan ekonomi nasional mulai tampak pada di triwulan IV 2014 sebagaimana terindikasi

    dari realisasi pertumbuhan ekonomi yang sedikit meningkat dari 4,92% menjadi 5,01%1, terutama didorong

    oleh perbaikan kinerja ekonomi Jawa. Perbaikan kinerja ekonomi berbagai daerah di Jawa didorong oleh

    membaiknya aktivitas di sektor industri pengolahan sejalan dengan membaiknya kinerja ekspor manufaktur.

    Perbaikan kinerja ekonomi juga terjadi di Kalimantan seiring dengan peningkatan aktivitas di sektor

    pertambangan meski masih pada level yang rendah karena harga komoditas ekspor yang masih rendah.

    Sementara itu, kinerja ekonomi berbagai daerah di Sumatera secara agregat mulai tumbuh stabil ditopang oleh

    kinerja perkebunan yang membaik. Sementara itu, kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah timur Indonesia

    secara agregat masih tertahan karena kontraksi kinerja pertambangan di beberapa daerah di wilayah timur

    Indonesia, seperti di Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Meski demikian, capaian

    pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah di Sulawesi secara umum masih cukup tinggi. Sulawesi Barat

    bahkan dapat mencatat angka pertumbuhan hingga 10,9%, diikuti oleh Sulawesi Tengah (9,5% dan Gorontalo

    (8,2%) didukung oleh kinerja sektor pertanian yang cenderung tumbuh meningkat.

    Sumber : BPS, diolah

    Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 2014

    Secara keseluruhan, pada tahun 2014 perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun

    sebelumnya. Perekonomian Indonesia pada tahun 2014 tumbuh sebesar 5,03%, lebih rendah dibandingkan

    tahun 2013 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi dari dinamika

    perekonomian global yang masih diwarnai ketidakpastian yang tinggi. Selain itu, penyesuaian terhadap

    1 Badan Pusat Statistik (BPS) mulai menggunakan tahun dasar 2010 dalam menghitung pertumbuhan ekonomi terhitung sejak rilis

    pertumbuhan ekonomi Triwulan IV 2014 pada tanggal 5 Februari 2015.

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 4

    penerapan kebijakan pengendalian ekspor mineral yang diterapkan pada awal tahun 2015 memerlukan proses

    konsolidasi perekonomian daerah-daerah yang menjadi basis produksi tambang mineral. Melambatnya

    perekonomian di berbagai daerah juga terkait dengan masih tingginya ketergantungan Sumatera, Kalimantan,

    dan beberapa daerah di KTI terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya masih menurun. Beberapa

    daerah yang menunjukkan perlambatan ekonomi akibat terbatasnya kinerja sektor berbasis sumber daya alam

    (SDA) antara lain Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua. Di tengah melambatnya kinerja ekonomi

    di daerah-daerah basis produksi SDA, kinerja daerah yang mengandalkan kinerja manufaktur seperti Jawa dan

    Jakarta, serta beberapa daerah di Sulawesi masih relatif tumbuh kuat sehingga dapat menahan perlambatan

    ekonomi lebih lanjut.

    Sumber : BPS, diolah *Berdasarkan Tahun Dasar 2000

    Gambar I.2. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah 2014

    Sejalan dengan perekonomian nasional yang mulai pulih, laju perlambatan kredit di wilayah Jawa, Jakarta,

    dan Sumatera pada triwulan IV-2014 tidak setajam triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit di berbagai

    daerah di Kalimantan secara agregat bahkan terindikasi mulai meningkat. Pertumbuhan penyaluran kredit di

    Jawa sebesar 14,73%, tergolong cukup tinggi dibandingkan wilayah lain, mengkonfirmasi kondisi

    perekonomian Jawa yang relatif masih terjaga. Sementara itu, penyaluran kredit di Jakarta dan Sumatera pada

    2014 masing-masing tumbuh sebesar 9,39%, dan 9,43%. Penyaluran kredit di Kalimantan tumbuh 9,69%, lebih

    tinggi dari triwulan III-2014 yang tumbuh 6,85% (yoy). Secara keseluruhan 2014 laju pertumbuhan kredit di

    semua wilayah masih melambat, namun disertai dengan tingkat non performing loans (NPL) yang relatif

    rendah pada kisaran 1,6% - 3,0%. Secara triwulanan, terdapat indikasi perbaikan risiko kredit, terlihat dari

    menurunnya persentase NPL di berbagai daerah dibandingkan dengan kondisi di triwulan III-2014. Namun,

    perkembangan harga komoditas di pasar global yang masih cenderung turun perlu diwaspadai sebagai sumber

    kerentanan kredit di daerah, khususnya bagi daerah yang perekonomiannya ditopang oleh kinerja komoditas

    sumber daya alam (SDA).

    Arah perbaikan kinerja perekonomian juga tercermin dari transaksi keuangan melalui sistem pembayaran

    non tunai. Sepanjang triwulan IV 2014, transaksi pembayaran yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross

    Settlement (RTGS) rata-rata sebesar Rp10,42 ribu triliun per bulan, lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi

    RTGS pada periode triwulan sebelumnya yang sebesar Rp8,75 ribu triliun per bulan. Peningkatan aktivitas

    transaksi keuangan ini diperkirakan berasal dari perbaikan kinerja sektor manufaktur dan pertanian yang

    sedang berlangsung secara gradual.

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 5

    Di sisi inflasi, setelah cenderung menurun hingga akhir triwulan III 2014, laju inflasi pada triwulan IV-2014

    meningkat signifikan sebagai dampak implementasi kebijakan kenaikan harga BBM pada November 20142.

    Pada akhir tahun 2014, inflasi tercatat sebesar 8,36% (yoy) naik dibanding periode September 2014 yang

    tercatat sebesar 4,53% (yoy). Tekanan kenaikan inflasi paling tinggi tercatat dialami oleh beberapa daerah di

    Sumatera - Sumatera Barat bahkan merupakan daerah dengan inflasi tertinggi secara nasional - dan wilayah

    Sulampua-Balnustra seperti di Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Dampak kenaikan harga BBM terhadap

    kenaikan tarif angkutan, harga komponen kendaraan dan biaya jasa pemeliharaan kendaraan di Sulawesi Utara

    dan Maluku Utara lebih besar daripada di daerah-daerah lain. Selain itu, kenaikan inflasi dipicu oleh tekanan

    kenaikan harga beberapa komoditas pangan strategis dan sejumlah komoditas pada kelompok inti. Tekanan

    kenaikan harga cabai dan beras di sejumlah daerah bahkan cenderung melebihi rata-rata tiga tahun terakhir.

    Kondisi ini timbul sebagai dampak rambatan dari kenaikan harga BBM, kendala pasokan karena pergeseran

    masa panen, dan faktor cuaca yang menghambat produksi dan distribusi.

    Namun, perkembangan inflasi sepanjang 2014 secara umum relatif terkendali dibandingkan tahun 2013. Hal

    ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014 (8,36%) dibanding tahun 2013 (8,38%).

    Relatif lebih terkendalinya inflasi tidak terlepas dari bauran kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia,

    disertai intensifnya koordinasi kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam memitigasi risiko inflasi

    yang timbul sepanjang 2014. Peran aktif daerah semakin kuat dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan

    masyarakat khususnya melalui upaya memperkuat sisi produksi pangan dan menjaga kelancaran distribusi.

    Berbagai rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) mulai menyentuh

    persoalan struktural yang perlu diatasi segera untuk lebih menjaminnya stabilitas harga seperti masalah tata

    niaga produk pangan dan upaya memperluas akses pasar melalui penguatan kerjasama perdagangan antara

    daerah.

    Gambar I.3. Peta Inflasi Daerah, Januari 2015

    2 Keputusan Menteri ESDM No. 34.PM/11/MEM/2014 tanggal 17 November 2014 tentang Penyesuaian Harga Jual Eceran BBM Bersubsidi,

    dengan rincian harga bensin premium dari Rp6.500 per liter menjadi Rp8.500 per liter dan minyak solar dari Rp5.500 per liter menjadi Rp7.500 per liter.

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 6

    Memasuki tahun 2015, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di

    sebagian besar daerah. Koreksi harga terjadi sebagai dampak dari kembali dilakukannya penyesuaian

    kebijakan subsidi BBM yang diikuti dengan penurunan harga jual BBM3. Kebijakan ini selanjutnya diikuti

    adanya penurunan tarif angkutan di berbagai daerah4 - meski belum seluruh daerah menerapkan penurunan

    tarif angkutan. Selain itu, beberapa daerah sentra produksi mulai memasuki masa panen, khususnya untuk

    komoditas aneka bumbu, sehingga berdampak pada relatif minimalnya tekanan inflasi pangan. Meski

    demikian, beberapa daerah di Kalimantan, Maluku, NTT dan Kepulauan Bangka Belitung mencatat inflasi yang

    lebih tinggi dibanding daerah lainnya.

    PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN

    Prospek Ekonomi Daerah

    Pada triwulan I 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan kinerja

    perekonomian masih akan berlanjut. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera,

    disertai masih relatif stabilnya perekonomian Jawa. Sementara itu, perekonomian Kalimantan diperkirakan

    kembali tumbuh melambat karena masih lemahnya indikasi perbaikan permintaan ekspor batubara - terutama

    dari Tiongkok - serta harga jual yang masih rendah. Potensi meningkatnya kinerja ekonomi KTI didorong oleh

    aktivitas pertambangan yang diperkirakan meningkat seiring dengan aktivitas ekspor mineral yang kembali

    dapat dilakukan khususnya di Papua dan NTB. Sementara itu, membaiknya perekonomian Sumatera

    bersumber dari meningkatnya aktivitas perkebunan didukung adanya perbaikan harga. Kinerja ekonomi Jawa

    yang stabil ditopang oleh ekspor manufaktur yang masih akan meningkat seiring dengan semakin solidnya

    prospek perbaikan ekonomi Amerika Serikat.

    Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan I 2015*

    * Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)

    3 Peraturan Menteri ESDM No.4 Tahun 2015 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

    4 Kementerian Perhubungan menerbitkan Surat Edaran No.1 Tahun 2015 kepada seluruh Kepala Daerah tentang Penyesuaian Tarif

    Angkutan Umum Kelas Ekonomi.

    Tendensi

    KawasanAsesmen

    Tendensi

    JakartaAsesmen

    Tendensi

    KawasanAsesmen

    Tendensi

    KawasanAsesmen

    Pertumbuhan

    Ekonomi

    Konsumsi RT

    Ekpektasi konsumen turun, SPE turun,

    penjualan kendaraan bermotor

    terbatas (liaison )

    Kenaikan gaji sektor swasta dan

    optimisme peningkatan lapangan

    kerja pasca terbentuknya

    pemerintahan baru.

    Ekspektasi konsumsi menurun Tingkat pendapatan di sektor utama

    meningkat, tekanan harga berkurang,

    penjualan eceran tumbuh lebih tinggi

    Konsumsi

    Pemerintah

    Simpanan pada akhir 2014 masih

    tinggi shg diperkirakan akan

    dilakukan di awal tahun 2015

    Efisiensi belanja rutin pemerintah,

    mis: biaya rapat, perjalanan dinas &

    belanja pegawai.

    Penyaluran DBH lebih baik Adanya indikasi percepatan proyek

    pemerintah yg melalui proses

    pelelangan dan proyek pekerjaan

    umum, apalagi estimasi penyerapan

    anggaran di akhir tahun 2014 belum

    optimal

    Investasi (PMTB)

    Perbaikan kegiatan usaha (SKDU),

    PMDN hingga triwulan IV tumbuh

    tinggi

    Didominasi investasi non bangunan

    (mesin), tindak lanjut transisi

    industri ke semi otomatis. Investasi

    bangunan didominasi belanja

    infrastruktur pemerintah.

    Perbaikan iklim investasi Selesainya proyek beberapa smelter

    yang sudah beroperasi serta

    optimalisasi kapasitas terpasang

    para pelaku usaha

    Ekspor LN

    Diperkirakan sejalan perbaikan

    industri pengolahan.

    Ditopang oleh komoditas ekspor

    utama seperti produk tekstil, kimia,

    dan produk makanan dan minuman

    Penurunan volume ekspor hasil

    tambang energi (batubara & migas),

    ekspor karet dan CPO tertahan

    Ijin ekspor yang telah dikantongi

    mendorong ekspor tembaga tumbuh

    signifikan

    Impor LN

    Impor meningkat. Kenaikan belanja impor mesin

    (swasta) & alat angkutan

    (pemerintah). Impor bahan baku

    meningkat seiring peningkatan

    produksi sektor industri dan belanja

    infrastruktur pemerintah.

    Turunnya permintaan bahan

    penolong tambang

    Import content meningkat untuk

    mendukung kegiatan ekspor dan

    menguatnya konsumsi

    SUMATERA JAWA & JAKARTA TIMUR INDONESIAKALIMANTAN

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 7

    Indikasi pemulihan ekonomi di berbagai daerah pada awal tahun 2015 diperkirakan terus berlanjut sehingga

    perekonomian daerah untuk keseluruhan tahun 2015 secara agregat diprakirakan tumbuh di kisaran 5,4-

    58%, lebih tinggi dibanding tahun 2014. Semakin solidnya prospek pemulihan ekonomi di AS diperkirakan

    memberi dampak yang positif bagi kinerja ekspor manufaktur, terutama dari Jawa. Meski perlu tetap dicermati

    imbas dari perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.

    Selain itu, meningkatnya kinerja sektor manufaktur Jawa juga didukung oleh kembali menggeliatnya

    perdagangan antardaerah, seiring dengan membaiknya perekonomian berbagai daerah di timur Indonesia.

    Prakiraan meningkatnya kinerja perekonomian Kalimantan dan berbagai daerah di wilayah timur Indonesia

    lebih banyak ditopang oleh kembali dapat dilakukannya ekspor mineral dan mulai beroperasinya beberapa

    smelter. Meski demikian, prospek harga komoditas di pasar global yang masih cenderung rendah sebagai

    imbas dari melambatnya ekonomi Tiongkok merupakan risiko bagi masih terbatasnya peningkatan ekonomi

    Kalimantan dan wilayah timur Indonesia.

    Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber dari langkah strategis pemerintah

    untuk menempuh beberapa agenda pembangunan. Pada awal tahun 2015, pemerintah telah menetapkan

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 sebagai tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan

    Jangka Panjang 2005-2025. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, prioritas

    pembangunan diarahkan antara lain pada kedaulatan pangan, kedaulatan energi, penguatan konektivitas,

    serta pengembangan maritim dan kelautan. Dalam kerangka agenda pembangunan tersebut, pemerintah akan

    mempercepat pembangunan infrastruktur di berbagai daerah yang akan mulai diinisiasi pada tahun 2015.

    Untuk mendukung hal tersebut, sebagai langkah awal, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian

    alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 2015 yang sebagian besar ditujukan bagi pelaksanaan program

    prioritas melalui peningkatan belanja infrastruktur serta peningkatan transfer daerah.

    Dari sisi inflasi, tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih cenderung

    rendah. Gambaran rendahnya inflasi yang terjadi di awal tahun 2015 berpotensi akan berlanjut sepanjang

    triwulan I 2015. Kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi dan penerapan harga BBM

    pada awal Januari disertai prospek berlanjutnya penurunan harga minyak merupakan faktor utama yang akan

    menyebabkan minimalnya tekanan inflasi. Rendahnya inflasi juga dipengaruhi oleh penurunan tarif angkutan

    meski penurunan tarif yang terjadi terindikasi cenderung lebih rendah dibanding pada saat terjadinya kenaikan

    November 2014 (downward rigidity)5. Selain itu, mulai masuknya masa panen di berbagai daerah sentra

    produksi diperkirakan turut berdampak bagi minimalnya tekanan inflasi pangan di triwulan I 2015.

    Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran

    sasaran inflasi nasional sebesar 4%1%. Prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang secara umum masih

    berada di bawah tingkat potensialnya mengindikasikan tekanan dari sisi permintaan diprakirakan masih

    moderat. Prospek produksi pangan, khususnya beras, secara tahunan diprakirakan akan mencatat surplus.

    Kondisi curah hujan yang relatif stabil dan merata sepanjang tahun, didukung dengan intensifnya kebijakan

    pemerintah untuk mengamankan capaian produksi pangan di 2015 diyakini dapat meminimalkan tekanan

    inflasi pangan. Potensi kenaikan produksi beras di tahun 2015 terutama dikontribusi oleh kenaikan produksi di

    Jawa dan Sumatera. Selain itu, minimalnya tekanan inflasi didukung prakiraan masih cukup rendahnya harga

    komoditas di pasar global, khususnya tren penurunan harga BBM.

    Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan tekanan inflasi di 2015.

    Kesinambungan pasokan beberapa komoditas pangan seperti daging sapi dan bawang putih masih akan

    terbatas, serta pengaruh pola musiman pada sistem pertanian nasional sehingga mengganggu kestabilan

    pasokan antar waktu. Prognosa sementara mengindikasikan defisit beras dapat terjadi pada Januari, Mei,

    5 Besaran rata-rata penurunan tarif angkutan yang telah ditetapkan hingga akhir Januari 2015, tercatat penurunan yang terjadi secara

    rata-rata tertimbang lebih lebih rendah (7,8%) dibanding kenaikannya pada bulan November 2014 lalu (29,1%).

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 8

    September dan triwulan IV 2015 sebagaimana periode yang sama tahun 2014. Mundurnya panen raya karena

    musim kemarau yang terjadi pada akhir 2014 diperkirakan masih akan memengaruhi perkembangan harga

    beras setidaknya sampai April 2015. Sama halnya dengan beras, meski produksi aneka cabai dan bawang

    merah secara tahunan memadai, namun kestabilan pasokan setiap periode masih sangat rentan. Selain itu,

    permasalahan struktur pasar yang terjadi pada perdagangan komoditas pertanian mengakibatkan kebijakan

    penetapan harga referensi sebagai acuan pembentukan harga di tingkat konsumen relatif belum efektif,

    khususnya pada komoditas cabai dan daging sapi. Beberapa risiko di atas akan memberikan dampak yang

    semakin besar apabila tidak ditunjang dengan kelancaran distribusi pangan terutama untuk Kawasan Timur

    Indonesia yang sangat mengandalkan konektivitas jalur pelayaran.

    Mempertimbangkan berbagai risiko tersebut, Bank Indonesia bersama pemerintah, baik di tingkat pusat

    maupun daerah, melalui TPI dan TPID akan meningkatkan koordinasi pengendalian inflasi yang difokuskan

    pada upaya meminimalkan dampak kebijakan administered prices, pengelolaan pasokan pangan serta

    menjaga ekspektasi masyarakat agar tetap positif. Di tingkat daerah, TPID diarahkan untuk memperkuat

    sinergi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan perwakilan instansi vertikal, untuk mendukung

    agenda pemerintah dalam membangun ketahanan dan kemandirian pangan melalui penguatan infrastruktur

    pertanian. Oleh karena itu, program pengendalian inflasi daerah pada 2015 secara umum di seluruh wilayah

    ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pertanian, pengelolaan stok pangan di setiap daerah, serta

    percepatan implementasi kerja sama perdagangan antar daerah dalam rangka mendorong peningkatan

    efisiensi struktur tata niaga pangan didukung dengan ketersediaan data dan informasi pangan secara

    terintegrasi.

    Risiko dan Tantangan Ke Depan

    Optimisme perbaikan kondisi perekonomian di tahun 2015 menghadapi beberapa risiko yang dapat

    memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah, yakni: (i) risiko terkait lambannya

    perbaikan ekonomi global akibat risiko memburuknya perekonomian Tiongkok, Euro Area, dan Jepang masih

    cukup besar; (ii) risiko penurunan harga komoditas ekspor sehingga menekan pendapatan ekspor daerah; (iii)

    risiko terkait kemampuan dan kapasitas pemerintah pusat maupun daerah dalam implementasi percepatan

    pembangunan infrastruktur. Sementara itu, risiko yang tekait inflasi diperkirakan lebih didominasi oleh risiko

    yang bersifat downside risk, antara lain yaitu prospek harga komoditas yang diperkirakan masih rendah,

    potensi daya beli masyarakat yang diperkirakan terbatas terkait masih rendahnya pendapatan ekspor karena

    faktor harga komoditas yang rendah, dan implementasi berbagai program ketahanan pangan oleh pemerintah

    yang bertujuan untuk meningkatkan produksi bahan pangan.

    Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut, diperlukan strategi kebijakan yang terintegrasi dan koordinasi yang

    intensif, khususnya mengingat risiko yang terindentifikasi mencakup lingkup implementasi di tingkat daerah.

    Urgensi percepatan implementasi pembangunan infrastruktur perlu disuarakan lebih intens agar seluruh

    daerah yang terlibat didalamnya memilki prioritas dan tingkat kepentingan yang setara sehingga akselerasi

    pembangunan dapat dilakukan. Di tingkat nasional, urgensi akan pentingnya pembangunan infrastruktur yang

    komprehensif telah digambarkan melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Fakta di

    lapangan mengenai kondisi ekonomi berbiaya tinggi di Indonesia di tengah melimpahnya kekayaan SDA

    mengindikasikan manajemen sumber daya yang belum optimal dan berujung pada rendahnya peringkat

    Indonesia dalam berbagai penilai peringkat daya saing ekonomi. Maka dari itu, pembangunan infrastruktur

    khususnya yang terkait dengan konektivitas menjadi tulang punggung utama bagi efisiensi kegiatan ekonomi

    sekaligus kunci quick wins untuk memacu daya saing Indonesia6. Jika dikaitkan dengan kondisi geografis

    Indonesia dengan wilayah kelautan yang mendominasi, maka pembangunan konektivitas antar daerah menjadi

    hal yang mendesak khususnya bila dikaitkan dengan semangat untuk meminimalisir ketimpangan ekonomi

    antar wilayah. Selain konektivitas, fokus agenda pembangunan Kabinet Kerja juga diarahkan pada

    6 Lihat Isu Khusus 1. Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur.

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 9

    pengembangan kemaritiman antara lain melalui optimalisasi sumber daya yang terkandung didalam wilayah

    kelautan Indonesia guna mendongkrak kinerja ekonomi nasional sekaligus mengurangi kesenjangan antar

    wilayah7.

    Dalam rangka memberikan dukungan yang konstruktif khususnya bagi implementasi pembangunan

    infrastruktur dan pengembangan ekonomi daerah secara umum, Bank Indonesia akan berupaya meningkatkan

    perannya yang difokuskan pada: (a) mendorong dilakukannya reformasi struktural di daerah melalui

    pembenahan enabling factors dan memantau implementasi agenda pembangunan ekonomi daerah sesuai

    RPJMN 2015-2019; (b) mendorong transaksi non-tunai dan layanan keuangan digital (LKD) yang lebih luas

    sebagai upaya untuk memperkuat efisiensi perekonomian nasional dan daerah, serta inklusi keuangan; (c)

    mengupayakan keterkaitan antara program pengembangan UMKM dan layanan keuangan digital (LKD) Bank

    Indonesia dengan upaya mendukung stabilisasi harga pangan dan agenda pembangunan sektor unggulan;

    serta (d) melakukan applied research (kajian strategis) untuk mengidentifikasi lebih dalam permasalahan

    pembangunan di daerah.

    7 Lihat Isu Khusus 2. Agenda Pembangunan Maritim.

    Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala

    Departemen Regional pada 13 Februari 2015 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik

    untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah

    sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia

  • L a p o r a n N u s a n t a r a

    Halaman ini sengaja dikosongkan

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 11

    PERTUMBUHAN EKONOMI

    Perekonomian Sumatera1 secara agregat terindikasi tumbuh membaik pada triwulan IV 2014 sebesar 4,37%

    (yoy), terutama ditopang oleh konsumsi swasta maupun pemerintah yang tumbuh cukup tinggi. Di sisi lain,

    kinerja ekspor dan investasi masih terbatas. Laju perekonomian tertinggi tercatat di Provinsi Kepulauan Riau,

    Jambi, dan Sumatera Selatan masing-masing sebesar 7,77%, 7,52%, dan 5,96%. Secara sektoral, pertumbuhan

    ekonomi terutama didukung oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Di sektor tersebut optimisme

    mulai muncul di perkebunan sawit, yang tercermin dari perbaikan harga minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO)

    dan di pertanian tanaman bahan pangan, yang tercermin dari peningkatan produksi pada periode triwulan IV

    2014.

    Secara keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Sumatera melambat dibandingkan dengan tahun

    2013. Perekonomian Sumatera tercatat tumbuh sebesar 4,66 %, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang

    sebesar 5,01%. Perlambatan ini terutama bersumber dari menurunnya kinerja ekspor, terutama ekspor yang

    berbasis komoditas perkebunan, karena rendahnya harga di pasar global. Hal ini berdampak pada melemahnya

    pendapatan ekspor sehingga menekan konsumsi secara keseluruhan. Selain itu, melambatnya ekonomi

    Sumatera juga dipengaruhi oleh produksi minyak dan gas (migas) yang terus mengalami penurunan, seperti

    gas di Aceh dan minyak bumi di Riau. Perlambatan ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi wilayah

    Sumatera, kecuali Kepulauan Riau dan Jambi.

    Perekonomian Sumatera pada triwulan I 2015 diperkirakan mengalami perbaikan. Pada periode tersebut,

    pertumbuhan ekonomi Sumatera diperkirakan mencapai 4,2-4,7% (yoy). Pertumbuhan perekonomian

    Sumatera tersebut akan didukung oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Peningkatan diperkirakan akan

    didorong oleh perbaikan kinerja sektor utama Sumatera, yaitu sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.

    Perbaikan di sektor tersebut akan memberikan dampak positif bagi industri yang mengolah hasil-hasil dari

    sektor tersebut, terutama industri pengolahan komoditas perkebunan, seperti industri CPO. Selain itu,

    penggunaan teknologi injeksi kimia di sektor pertambangan diperkirakan dapat menahan laju penurunan

    lifting minyak, terutama di Provinsi Riau. Untuk keseluruhan tahun 2015, ekonomi Sumatera diperkirakan akan

    tumbuh lebih optimis dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu diperkirakan akan tumbuh di kisaran 4,6-5,1%,

    didorong oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan dan masih tingginya pertumbuhan sektor

    Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.

    Konsumsi

    Konsumsi Swasta

    Konsumsi swasta Sumatera tumbuh terbatas pada triwulan IV 2014, namun masih pada level yang tinggi.

    Secara keseluruhan tahun 2014, konsumsi swasta mengalami perlambatan akibat harga komoditas yang belum

    membaik, seperti yang terjadi pada komoditas karet. Adanya berbagai kebijakan administered prices, terutama

    kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjelang akhir tahun, menekan daya beli masyarakat.

    Menurunnya daya beli masyarakat tercermin dari melambatnya penghimpunan dana masyarakat di

    perbankan, yang mengindikasikan bahwa masyarakat mulai menggunakan simpanan untuk memenuhi

    1 Data pertumbuhan menggunakan tahun dasar 2010, berbasis SNA 2008, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 5 Februari

    2015.

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 12

    kebutuhan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)3 di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Lampung

    mengindikasi level keyakinan masyarakat terhadap perekonomian pada akhir tahun 2014 mengalami

    penurunan.

    Perlambatan konsumsi swasta diperkirakan masih akan berlanjut hingga triwulan I 2015. Pola musiman

    menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat relatif melambat pascaperayaan keagamaan dan akhir tahun.

    Selain itu, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya aktivitas belanja masyarakat pada

    triwulan I 2015 juga diperkirakan lebih rendah. Hal ini disebabkan karena berbagai kegiatan masyarakat terkait

    dengan Pemilu, tidak lagi terjadi pada periode ini. Beberapa indikator hasil survei juga mengonfirmasi

    pelemahan konsumsi swasta. Survei Penjualan Eceran menunjukkan Indeks Penjualan Eceran4 yang masih

    mengalami kontraksi hingga Januari 2015 (Grafik II.1). Hal tersebut menunjukkan menurunnya kegiatan

    belanja masyarakat. Selain itu, survei konsumen di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Sumatera

    Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Lampung menunjukkan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang lebih

    rendah, yaitu dari 123,09 pada triwulan IV 2014, menjadi 122,31 pada Januari 2015 (Grafik II.2).

    -20

    -10

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    I II III IV I II III IV I II III IV Jan

    2012 2013 2014 2015

    %yoyIndeks Indeks SPE Pertumbuhan (Skala Kanan)

    90

    100

    110

    120

    130

    140

    I II III IV I II III IV I II III IV I*

    2012 2013 2014 2015

    IKK IKE IEK

    Sumber : Survei Konsumen, Bank Indonesia

    * hingga Januari 2015 Grafik II.1. Perkembangan Survei Penjualan Eceran Grafik II.2. Indeks Keyakinan Konsumen

    Konsumsi Pemerintah

    Konsumsi Pemerintah pada triwulan IV 2014 mengalami pertumbuhan positif dan membuat capaian

    keseluruhan tahun 2014 mengalami peningkatan. Posisi simpanan pemda di bank pada triwulan IV 2014 yang

    lebih rendah dari triwulan sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan belanja pemda pada periode

    tersebut (Grafik II.3). Meski demikian, pertumbuhan konsumsi pemerintah tersebut relatif masih terbatas,

    ditandai dengan posisi simpanan pada akhir tahun 2014 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013

    lalu, yang mengalami kontraksi sebesar 14,3% (yoy). Lebih tingginya simpanan tahun ini dibandingkan dengan

    tahun sebelumnya mengindikasikan bahwa persentase realisasi belanja pemerintah daerah pada tahun ini

    lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

    Kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan akan mengalami perbaikan pada triwulan I 2015. Perbaikan

    tersebut akan ditopang oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Komitmen beberapa pemerintah

    kota/kabupaten untuk mempercepat proses pelelangan, seperti yang terjadi di provinsi Riau, Sumatera Barat,

    dan Sumatera Selatan, menjadi faktor pendukung meningkatnya konsumsi pemerintah. Pada tahun

    sebelumnya proses pelelangan baru dilaksanakan setelah bulan Maret, sehingga pelaksanaan proyek banyak

    yang baru dimulai setelah memasuki triwulan II. Percepatan proses lelang tersebut akan mendorong capaian

    3 Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera.

    4 Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan di Sumatera Utara.

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 13

    konsumsi Pemerintah pada triwulan I 2015 yang lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan

    kondisi tersebut, pertumbuhan konsumsi pemerintah akan menjadi salah satu sumber pendorong ekonomi

    Sumatera.

    Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera

    di Bank Umum Grafik II.4. Perkembangan Jenis Simpanan Pemda Sumatera di

    Bank Umum

    Investasi

    Perbaikan investasi pada triwulan IV 2014 pasca-Pemilihan Umum diperkirakan masih minimal. Kondisi

    tersebut menyebabkan investasi Sumatera selama tahun 2014 melambat dibandingkan dengan tahun 2013.

    Dari sisi pembiayaan, dorongan terhadap investasi juga terbatas, sebagaimana tercermin dari rendahnya

    pertumbuhan kredit investasi di Sumatera. Pertumbuhan kredit investasi di Sumatera tercatat sebesar 5,39%

    (yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 8,81% (yoy), dan dari periode yang sama tahun

    sebelumnya sebesar 37,80% (yoy). Melambatnya investasi juga ditunjukkan oleh lebih rendahnya realisasi

    Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 2014 dibandingkan

    dengan tahun sebelumnya (Grafik II.6). Investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Pemda)

    diperkirakan juga masih terbatas, yang ditandai dengan tingginya simpanan Pemda di bank umum pada

    triwulan IV 2014. Adanya kenaikan harga BBM bersubsidi pada November 2014 telah menyebabkan pelaku

    usaha bersikap wait and see (menunggu) atas kebijakan energi lanjutan yang akan dilakukan.

    Sumber : Asosiasi Semen Indonesia Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal dan BI, diolah Grafik II.5. Konsumsi Semen Sumatera Grafik II.6. Perkembangan PMA dan PMDN serta Penyaluran

    Kredit Investasi Perbankan Sumatera

    Pada triwulan I 2015, investasi diperkirakan akan sedikit mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil liaison,

    beberapa perusahaan swasta berencana melakukan peningkatan kapasitas seperti perluasan pabrik,

    penambahan mesin baru dan peningkatan kapasitas pelabuhan di Lampung, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka

    Belitung. Dari sisi investasi bangunan, perbaikan investasi tercermin dari masih meningkatnya konsumsi

    -50.00

    -40.00

    -30.00

    -20.00

    -10.00

    0.00

    10.00

    20.00

    30.00

    40.00

    50.00

    60.00

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

    2011 2012 2013 2014

    %yoyRp Triliun

    Simpanan Pemda gSimpanan Pemda (Skala Kanan)

    -100

    -50

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

    2011 2012 2013 2014

    %yoy

    TabunganDeposito

    Giro

    -4

    -2

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    -

    0.5

    1.0

    1.5

    2.0

    2.5

    3.0

    3.5

    4.0

    I II III IV I II III IV I II III IV

    2012 2013 2014

    %yoyJuta Ton Konsumsi Semen gKonsumsi Semen (Skala Kanan)

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    40

    45

    50

    -200

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1400

    I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

    2011 2012 2013 2014

    %yoy

    PMA

    PMDN

    %yoy

    Kredit Investasi

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 14

    semen di Sumatera (Grafik II.5). Selain itu, komitmen pemerintah daerah untuk memperbaiki iklim investasi,

    memberikan optimisme bagi kegiatan investasi.

    Perdagangan Luar Negeri

    Ekspor

    Kinerja ekspor Sumatera pada triwulan IV 2014 menunjukkan perlambatan dari sisi nilai, namun sedikit

    mengalami peningkatan dari sisi volume (Grafik II.7). Ekspor Sumatera pada triwulan IV 2014 tercatat senilai

    USD 10,7 miliar atau mengalami kontraksi sebesar 10,1% (yoy). Kontraksi ini terjadi hampir di seluruh provinsi

    di Sumatera, kecuali Aceh dan Jambi. Berdasarkan komoditasnya, penurunan ekspor terjadi di seluruh

    komoditas utama seperti karet, kelapa sawit dan batubara (Grafik II.8). Untuk keseluruhan tahun 2014, ekspor

    Sumatera tercatat USD 42,8 miliar, turun 3,7% (yoy) lebih dalam dibandingkan dengan tahun 2013. Penurunan

    paling dalam terjadi pada komoditas karet dan kopi, sementara komoditas kelapa sawit dan CPO relatif

    mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun 2013.

    Ekspor Sumatera pada triwulan I 2015 diperkirakan akan meningkat, seiring dengan perbaikan perekonomian

    negara mitra dagang yaitu Amerika Serikat (AS). Komoditas ekspor Sumatera yang ditujukan ke pasar AS

    terutama karet dan kopi. Selain itu, adanya harapan perbaikan harga komoditas karet, memberikan dorongan

    positif bagi kegiatan pengolahan karet (crumb rubber). Di samping itu, adanya bencana banjir di Malaysia

    diperkirakan akan menciptakan peluang pemasaran komoditas perkebunan dari Sumatera Barat, Riau, dan

    Jambi.

    Grafik II.7. Perkembangan Ekspor Impor Sumatera Grafik II.8. Perkembangan Ekspor Komoditas Utama

    Impor

    Sementara itu, impor Sumatera juga mengalami penurunan pada triwulan IV 2014 (Grafik II.10). Penurunan

    terutama terjadi pada komoditas barang modal dan bahan baku (Grafik II.9). Di sisi lain, pertumbuhan impor

    barang konsumsi terus mengalami peningkatan, seiring dengan kinerja konsumsi rumah tangga yang masih

    tumbuh tinggi, diikuti dengan masih meningkatnya kredit konsumsi. Dengan capaian tersebut, pertumbuhan

    impor keseluruhan tahun 2014 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013.

    Pada triwulan I 2015, impor Sumatera diperkirakan tumbuh meningkat, sejalan dengan perkiraan peningkatan

    investasi, terutama investasi nonbangunan. Kegiatan penambahan/perluasan kapasitas pabrik dan

    penambahan mesin baru akan mendorong impor barang modal di Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan

    Sumatera Barat. Selain itu, konsumsi pupuk di sektor perkebunan diperkirakan bertambah, sehingga

    mendorong kebutuhan impor pupuk, terutama di Provinsi Sumatera Barat dan Riau.

    -30

    -20

    -10

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    -

    2,000

    4,000

    6,000

    8,000

    10,000

    12,000

    14,000

    16,000

    I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

    2011 2012 2013 2014

    %yoyUSD Juta Nilai Ekspor Nilai Impor

    gEkspor (Skala Kanan) gImpor (Skala Kanan)

    -100

    -50

    0

    50

    100

    150

    200

    I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

    2011 2012 2013 2014

    %yoyKaret CPO Batubara

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 15

    Grafik II.9. Perkembangan Nilai Impor Sumatera Berdasarkan Jenis

    Grafik II.10. Perkembangan Nilai dan Volume Impor Sumatera

    Kinerja Sektor Utama Daerah

    Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

    Kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan IV 2014 tercatat cukup baik, sehingga secara

    keseluruhan tahun 2014, sektor ini masih mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan di sektor pertanian

    yang cukup tinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung. Dari sisi

    komoditas, perbaikan kinerja terutama didorong oleh peningkatan pertumbuhan tanaman bahan makanan,

    seperti yang terjadi di provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung. Selain itu, perbaikan juga terjadi pada

    produksi kelapa sawit, yang didorong oleh harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi di Provinsi Riau

    (Grafik II.11) dan Sumatera Utara. Sebaliknya, kinerja karet belum menunjukkan perbaikan, seperti tercermin

    pada produksi karet yang terus turun di Sumatera Selatan (Grafik II.12), Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

    Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan I 2015 diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi,

    terutama di provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Hal ini terkonfirmasi dari Indeks Perkiraan

    Kegiatan Usaha6

    yang meningkat dari 1,76 menjadi 2,72 (Grafik II.13). Perbaikan kinerja terjadi pada komoditas

    kelapa sawit, terutama di Riau, seiring dengan harga yang mengalami perbaikan, dan komoditas beras di

    beberapa sentra produksi di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Bengkulu, yang diperkirakan memasuki

    masa panen.

    Sumber: Dinas Perkebunan Riau Sumber : Gapkindo

    Grafik II.11. Harga TBS Riau Grafik II.12. Produksi Karet Sumatera Selatan

    6 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh seluruh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera.

    -30

    -20

    -10

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    0

    500

    1,000

    1,500

    2,000

    2,500

    I II III IV I II III IV I II III IV I

    2012 2013 2014 2015

    %yoyRp/kgHarga TBS % Kenaikan (Sumbu Kanan)

    -20

    -15

    -10

    -5

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    -

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

    2011 2012 2013 2014

    Ribu Ton Produksi Karet

    gProduksi Karet (Skala Kanan)%yoy

    -30

    -25

    -20

    -15

    -10

    -5

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    I II III IV I II III IV I II III IV

    2012 2013 2014

    %yoy Total Barang Konsumsi

    Barang Modal Bahan Baku

    (40)

    (30)

    (20)

    (10)

    -

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

    2011 2012 2013 2014

    %yoy Pertumbuhan Nilai Impor

    Pertumbuhan Volume Impor

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 16

    Sektor Pertambangan dan Penggalian

    Sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan IV 2014 mengalami pertumbuhan negatif, sehingga untuk

    keseluruhan tahun 2014 kinerja sektor ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Kegiatan di sektor

    pertambangan dan penggalian didominasi oleh produksi minyak bumi di Provinsi Riau. Berdasarkan informasi

    liaison, lifting minyak bumi di Riau terus mengalami penurunan dan kondisi sumur yang ada memiliki

    produktivitas yang terus menurun. Berdasarkan informasi dari kontak liaison, penurunan lifting minyak secara

    normal tercatat sebesar 18%-19% per tahun. Namun, penurunan tersebut dapat ditahan dengan teknologi

    injeksi kimia, sehingga penurunan selama tahun 2014 diperkirakan hanya 5%-6%. Sementara itu, data

    perkiraan produksi batubara di provinsi Sumatera Selatan (Grafik II.14) serta data produksi bijih dan logam

    timah di provinsi Bangka Belitung, pada akhir tahun 2014, menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan

    tahun 2013, sehingga diperkirakan dapat menahan pertumbuhan laju penurunan sektor pertambangan

    nonmigas di Sumatera.

    Pada triwulan I 2015 sektor pertambangan diperkirakan masih mengalami kontraksi, namun tidak sedalam

    dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor pertambangan pada periode ini diperkirakan mengalami

    pertumbuhan -0,35% (yoy). Kondisi ini juga tercermin dari Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha sektor

    pertambangan, yang juga menunjukkan perbaikan walaupun masih mengalami kontraksi (Grafik II.13).

    Perbaikan di sektor pertambangan ditunjukkan oleh komoditas batubara di Sumatera Selatan, yang didorong

    oleh meningkatnya penjualan domestik. Namun, dari sisi ekspor, kinerja batubara menghadapi sejumlah

    tantangan jangka pendek akibat pemberlakuan kewajiban menggunakan cara pembayaran Letter of Credit

    (L/C) bagi para eksportir barang tertentu.7 Sementara itu, pertumbuhan negatif, yang masih berlanjut di sektor

    pertambangan, tidak terlepas dari produksi lifting minyak di Riau yang terus mengalami penurunan.

    Sumber : McCloskey Sumber : McCloskey

    Grafik II.13. Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha Sektor Pertanian dan Pertambangan Sumatera

    Grafik II.14. Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan

    Sektor Industri Pengolahan

    Sejalan dengan sektor pertanian, kinerja industri pengolahan, khususnya pengolahan karet dan CPO, pada

    triwulan IV 2014 memberikan kontribusi positif pada perekonomian Sumatera. Namun, capaian tersebut

    belum cukup mengangkat kinerja tahun 2014 secara keseluruhan setinggi perkiraan sebelumnya. Harga CPO

    internasional hingga bulan Desember 2014 masih mengalami penurunan 21,17% (yoy) atau sebesar USD 624,5

    USD/mt (Grafik II.15). Sementara itu, harga karet internasional turun lebih dalam yaitu hingga 29,66% (yoy)

    atau sebesar USD 185,29 cent/kg (Grafik II.16). Harga kedua komoditas tersebut lebih rendah dibandingkan

    dengan harga tahun 2013. Kondisi harga yang terus menurun tidak mendorong daya tarik dalam berproduksi.

    7 Peraturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2015 Tentang Ketentuan Penggunaan Letter of Credit untuk Ekspor

    Barang Tertentu untuk mendorong optimalisasi dan akurasi perolehan devisa hasil ekspor khususnya hasil ekspor komoditas Sumber Daya

    Alam.

    -40

    -30

    -20

    -10

    0

    10

    20

    30

    I II III IV I II III IV I II III IV I

    2012 2013 2014 2015

    Indeks Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan danPerikanan

    Pertambangan

    -80

    -60

    -40

    -20

    0

    20

    40

    60

    80

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1400

    1600

    1800

    2000

    1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

    2012 2013 2014

    %yoykt Produksi Batubara gProduksi Batubara (Skala Kanan)

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 17

    Hal ini terkonfirmasi dari hasil liaison, yang menunjukkan bahwa kapasitas utilisasi perusahaan penghasil CPO

    hanya berkisar 50% -54%, lebih rendah dari kapasitas periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai

    55% 80%.

    Kinerja industri pengolahan diperkirakan akan mengalami peningkatan pada triwulan I 2015. Perbaikan kinerja

    sektor industri pengolahan diperkirakan akan terjadi di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung,

    Sumatera Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung. Walaupun masih dalam tren yang menurun, laju penurunan

    harga karet tidak sedalam periode sebelumnya, sehingga terdapat optimisme perbaikan harga di masa

    mendatang bagi industri pengolahan karet di Jambi. Adanya potensi perbaikan harga terlihat dari Indeks Harga

    Jual Komoditas industri pengolahan pada triwulan mendatang yang meningkat dari 1,65% menjadi 3,80%.

    Meski demikian, lemahnya pengelolaan perkebunan karet dan adanya masalah mendasar pada tata niaga dan

    hulu karet, membuat pertumbuhan karet diperkirakan masih akan terbatas. Industri pengolahan makanan dan

    minuman, khususnya kopi di Lampung dan Sumatera Utara, diperkirakan akan mengalami peningkatan, seiring

    dengan perbaikan permintaan dari negara mitra dagang Amerika, India dan Eropa. Industri pengolahan gula di

    Sumatera Utara juga diperkirakan meningkat pascadibukanya keran impor gula rafinasi pada akhir tahun 2014.

    Sementara itu, volume ekspor CPO diperkirakan masih akan terus mengalami pertumbuhan positif dan

    mendorong industri pengolahan kelapa sawit di Sumatera Barat dan Riau.

    Sumber : Bloomberg Sumber : Bloomberg

    Grafik II.15. Perkembangan Harga CPO Internasional Grafik II.16. Perkembangan Harga Karet Internasional

    LAJU INFLASI

    Inflasi Sumatera pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 8,62% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya

    (4,64%; yoy). Realisasi inflasi tersebut berada di atas realisasi inflasi nasional (8,36%,yoy) (Grafik II.17).

    Berdasarkan disagegrasi inflasi, peningkatan inflasi tertinggi dialami oleh komoditas yang tergabung dalam

    kelompok administered prices diikuti dengan volatile foods (Grafik II.18). Meningkatnya inflasi administered

    prices disebabkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi yakni bensin dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 serta solar

    dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Kondisi ini kemudian diikuti dengan meningkatnya tarif angkutan dalam kota

    dan antarkota dengan rata-rata Sumatera mencapai masing-masing 28% dan 20%. Sementara itu, peningkatan

    inflasi volatile food disebabkan oleh meningkatnya harga bumbu-bumbuan terutama cabai merah sebesar

    137%. Turunnya produksi cabai merah, di tengah tingginya permintaan, terkait banyaknya kegiatan pada akhir

    tahun, menjadi penyebab meningkatnya harga komoditas ini.

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 18

    Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah

    Grafik II.17. Inflasi Nasional dan Sumatera di Sumatera Grafik II.18. Disagregasi inflasi Sumatera

    Berdasarkan provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat (11,57%; yoy) diikuti dengan Provinsi

    Bengkulu (10,85%; yoy), sementara inflasi terendah terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (7,59%; yoy) (Grafik

    II.19). Tingginya inflasi di Sumatera Barat disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas bumbu-bumbuan,

    terutama cabai merah. Dalam empat bulan terakhir tahun 2014, harga cabai merah meningkat hampir

    mencapai tiga kali lipat. Meskipun Sumatera Barat merupakan salah satu sentra produksi cabai merah di

    Sumatera, tingginya konsumsi komoditas ini, baik untuk rumah tangga maupun hotel dan restoran serta

    tingginya permintaan dari luar provinsi, menyebabkan harga di dalam provinsi turut meningkat. Kondisi yang

    sama juga terjadi di Bengkulu, yaitu sumbangan inflasi terbesar berasal dari meningkatnya harga komoditas

    cabai merah yang mencapai 225% dalam empat bulan terakhir. Di sisi lain, inflasi di Kepulauan Riau relatif

    terjaga. Hal ini disebabkan oleh relatif stabilnya harga kelompok bahan makanan di provinsi ini, yang didukung

    oleh memadainya pasokan.

    Tekanan inflasi pada triwulan I 2015 menurun, sejalan dengan menurunnya harga komoditas yang tergabung

    dalam kelompok administered prices dan volatile food. Kondisi tersebut tercermin dari menurunnya laju inflasi

    pada Januari 2015 menjadi sebesar 6,63% (yoy) dari akhir tahun 2014 sebesar 8,62% (yoy). Turunnya harga

    minyak dunia, yang diikuti dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM bersubsidi dalam dua

    tahap yakni pada tanggal 1 dan 19 Januari 2015, menyebabkan turunnya inflasi kekompok administered prices.

    Sampai dengan bulan Februari 2015, harga bensin terjaga di level Rp6.600 dan solar di level Rp6.400.

    Penurunan harga BBM bersubsidi kemudian diikuti dengan keputusan pemerintah untuk mewajibkan

    penurunan harga tarif angkutan minimum sebesar 5% 15% oleh Organda. Namun, dari 23 kota yang menjadi

    basis penghitungan inflasi di Sumatera, belum semua kota melakukan penyesuaian penurunan tarif secara

    langsung pada bulan Januari. Beberapa kota yang sudah melakukan penyesuaian, baik untuk tarif angkutan

    dalam kota maupun luar kota pada bulan Januari 2015 adalah Meulaboh, Banda Aceh, Lhoksumawe, Medan,

    Padang Sidempuan, Palembang, Lubuk Linggau, dan Bandar Lampung. Penurunan Tarif angkutan tersebut rata-

    rata 3% 10% untuk tarif angkutan dalam kota dan 5% - 15% untuk tarif angkutan luar kota (Grafik II.20).

    Penurunan tersebut, masih lebih rendah dari kenaikan pada saat terjadi peningkatan harga BBM bersubsidi

    tahun lalu, yang secara rata-rata lebih dari 20%. Berdasarkan quick survey yang dilakukan, kondisi ini

    disebabkan oleh adanya biaya pembelian spare part yang juga cenderung meningkat. Dengan perilaku ini

    masih terdapat selisih perubahan tarif angkutan sebesar 0,30% akibat perubahan kebijakan tersebut.

    Menurunnya harga BBM juga memicu optimisme ekspektasi masyarakat terhadap penurunan harga barang.

    Dengan harga BBM yang lebih rendah, diharapkan akan menurunan biaya produksi, yang selanjutnya

    ditransmisikan ke harga barang akhir.

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    I II III IV I II III IV I II III IV Jan

    2012 2013 2014 2015

    Inflasi Sumatera

    Inflasi Nasional

    0.00

    5.00

    10.00

    15.00

    20.00

    I II III IV I II III IV I II III IV 1

    2012 2013 2014 2015

    IHK Umum Core

    Volatile Foods Adm. Prices%yoy

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 19

    Sumber: BPS, diolah Sumber: BPS, diolah

    Grafik II.19. Inflasi Provinsi di Sumatera Grafik II.20. Penuruan Tarif Angkutan Januari 2015

    Faktor risiko yang perlu menjadi perhatian selanjutnya adalah dampak penyesuaian harga yang asimetris

    terhadap perubahan harga BBM. Berdasarkan quick survey yang dilakukan kepada 88 perusahaan8 di

    Sumatera mengenai perilaku apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga BBM, 35% pengusaha

    menyatakan akan meningkatkan harga ketika terjadi kenaikan BBM dengan rata-rata kenaikan 6%. Sementara

    itu, jika terjadi penurunan harga BBM, hanya 16% pengusaha yang akan menurunkan harga jual dengan rata-

    rata penurunan hanya 3,5%. Namun, mayoritas pengusaha masih tidak melakukan penyesuaian harga secara

    langsung ketika terjadi perubahan harga BBM. Sebagian besar pengusaha lebih memilih untuk efisiensi,

    meningkatkan pemasaran dan pengalihan energi terlebih dahulu ketika terjadi perubahan harga BBM.

    Faktor risiko inflasi lain muncul sebagai dampak dari penerapan Peraturan Gubernur No. 59 tahun 2014

    Provinsi Lampung, tentang Pengendalian Distribusi Produk Impor mulai awal Januari 2015. Peraturan tersebut

    dikenakan pada komoditas gula, beras, kopi, jagung dan daging sapi, yang merupakan komoditas utama yang

    dihasilkan Lampung. Berdasarkan peraturan tersebut, memasukkan komoditas-komoditas tersebut dari luar

    Lampung harus mendapat izin dari Gubernur. Dengan adanya peraturan tersebut pasokan gula, beras, kopi,

    jagung dan daging sapi di Lampung sangat bergantung pada kemampuan produksi lokal. Peraturan ini, di sisi

    lain, bertujuan untuk melindungi produk komoditas lokal, di sisi lain bila kemampuan lokal tidak memadai,

    berpotensi memicu inflasi pangan.

    Koordinasi Pengendalian Inflasi

    Disepanjang tahun 2014, koodinasi pengendalian inflasi di Sumatera terus diperkuat sisi kelembagaannya

    melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah di 10 provinsi serta 115 kabupaten/kota. Kegiatan

    pengendalian inflasi di berbagai daerah di Sumatera difokuskan pada tiga hal utama yakni memperluas akses

    informasi harga kepada masyarakat, memperkuat kapasitas produksi pangan melalui pengembangan klaster,

    dan memperkuat kerjasama antar daerah. Ketiga fokus pengendalian inflasi di Sumatera tersebut dilakukan

    melalui beberapa program kegiatan antara lain :

    1. Transparansi harga melalui pembentukan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis)

    Sampai dengan tahun 2014, provinsi yang telah memiliki PIHPS berupa papan harga elektronik adalah

    Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Aceh dan Jambi. Sementara itu,

    8 Perusahaan yang menjadi responden adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan

    -

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    10.00

    12.00

    14.00Tw III-2014 Tw IV-2014 Tw I-2015

    %yoy

    Tw III-2014 Sumatera 4,64%

    Tw I-2015 Sumatera 6,63%

    Tw IV-2014 Sumatera 8,62%

    7.33

    4.42

    9.12

    3.86

    5.316.04

    12.50

    9.40

    8.21

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    10.00

    12.00

    14.00

    Lhoksumawe Medan P. Sidempuan Palembang LubukLinggau

    BandarLampung

    Tarif Angkutan Dalam Kota Tarif Angkutan Luar Kota

    %yoy

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 20

    pengembangan PIHPS berupa website, yang memuat harga komoditas utama, telah dibentuk di Sumatera

    Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Pada tahun 2015, PIHPS provinsi akan diintegrasikan dengan PIHPS

    nasional. Dengan integrasi tersebut, nantinya, masyarakat dapat memperoleh informasi harga pangan di

    provinsi-provinsi lainnya di luar Sumatera.

    2. Pengembangan klaster ketahanan pangan

    Dalam upaya untuk mengendalikan inflasi dari sisi supply, Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah telah

    mengembangkan klaster pertanian, terutama untuk komoditas penyumbang inflasi utama seperti cabai

    merah, padi, daging sapi, dan perikanan. Pada tahun 2015, pengembangan klaster pertanian akan

    dilanjutkan dengan penambahan lokasi baru serta peningkatan kualitas klaster melalui program inklusi

    keuangan.

    3. Kerjasama antardaerah

    Program TPID kerjasama antardaerah telah dilaksanakan oleh Provinsi Lampung melalui kerjasama dengan

    DKI Jakarta untuk komoditas beras, daging ayam, daging sapi, dan pisang. Pada tahun 2015, kerjasama

    antardaerah akan lebih ditingkatkan dengan menambah komoditas strategis lainnya.

    Menghadapi berbagai risiko inflasi ke depan, TPID di Sumatera akan lebih memfokuskan kegiatan

    pengendalian inflasi pada beberapa hal berikut :

    1. Melanjutkan penguatan aspek kelembagaan TPID melalui :

    a. penyusunan roadmap pengendalian inflasi yang disepakati dari nasional sampai dengan

    kabupaten/kota,

    b. percepatan pendirian TPID di setiap Kabupaten/Kota di Sumatera.

    2. Mendorong terjaganya keseimbangan kapasitas produksi, khususnya untuk komoditas pangan dengan

    permintaan produk-produk pertanian melalui :

    a. pembangunan sistem pola, waktu dan lokasi penanaman produk-produk pertanian.

    b. pembangunan sentra-sentra produksi pertanian (termasuk perikanan).

    c. pelipatgandaan jumlah petani pakar dan klaster ketahanan pangan.

    d. pengembangan terminal agribisnis untuk penjualan produk pertanian bersama.

    e. penyempurnaan neraca pangan Sumatera.

    f. pengembangan industri agribisnis di dekat sentra-sentra produksi bahan pangan untuk menjamin

    keberlanjutan absorpsi produk bahan pangan, khususnya pada saat surplus produksi

    g. peningkatan produktivitas pangan melalui penelitian, pendampingan dan pelatihan

    3. Memberi subsidi kepada sektor transportasi publik oleh pemerintah daerah untuk mengendalikan

    dampak inflasi dari kenaikan biaya transpotasi.

    STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN

    Ketahanan Sektor Korporasi

    Perlambatan kredit Bank Umum kepada sektor korporasi pada triwulan IV 2014 masih berlanjut, sejalan

    dengan perlambatan ekonomi di wilayah Sumatera. Pada triwulan IV 2014, kredit sektor korporasi tumbuh

    8,73% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 10,91% (yoy) (Grafik II.21).

    Penurunan laju pertumbuhan kredit korporasi terutama terjadi pada sektor utama, yaitu sektor pertanian,

    sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan (Grafik II.22). Menurunnya harga jual komoditas utama

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 21

    seperti CPO dan karet meningkatkan risiko pelaku usaha di sektor pertanian, perdagangan dan industri

    pengolahan yang terkait dengan komoditas-komoditas tersebut.

    Berdasarkan provinsi, pertumbuhan kredit korporasi terendah dialami oleh Aceh dan Kepulauan Riau. Kredit di

    kedua provinsi tersebut tumbuh negatif masing-masing 1,53% (yoy) dan 0,25% (yoy) (Grafik II.23).

    Menurunnya penyaluran kredit industri pengolahan di Aceh dan kredit konstruksi di Kepulauan Riau menjadi

    penyebab utama penurunan tersebut. Sementara itu, beberapa provinsi yang masih menunjukkan peningkatan

    pertumbuhan kredit korporasi yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau.

    Grafik II.21. Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera Grafik II.22. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera

    Dari sisi kualitas kredit, kinerja kredit kepada korporasi relatif masih cukup baik. Hal ini terlihat dari tingkat non

    performing loan (NPL) yang masih dalam batas aman (di bawah 5%). NPL kredit korporasi menunjukkan tren

    penurunan yakni dari 2,84% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 2,59% (yoy) (Grafik II.3.23). Nilai NPL tersebut

    juga lebih rendah dari rata-rata tiga tahun terakhir sebesar 2,94% (yoy). Sejalan dengan hal tersebut, kualitas

    kredit kepada tiga sektor utama relatif masih terjaga, (NPL di bawah 5%), bahkan pada triwulan IV 2014 NPL

    lebih rendah dibandingkan dengan triwulan lalu, di tengah menurunnya penyaluran kredit pada sektor-sektor

    tersebut (Grafik II.24). Demikian halnya dengan NPL disektor perdagangan yang cenderung lebih tinggi

    dibanding dengan kredit pada sektor lainnya, namun pada akhir triwulan IV 2014 telah menunjukkan adanya

    perbaikan.

    Grafik II.23. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Korporasi

    Provinsi Grafik II.24. Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera

    Ketahanan Sektor Rumah Tangga

    Penyaluran kredit konsumsi oleh bank umum tumbuh meningkat, yakni dari 9,73% (yoy) pada triwulan III 2014

    menjadi 10,87% (yoy) pada triwulan IV 2014. Berdasarkan peruntukannya, mayoritas kredit sektor rumah

    tangga ditujukan untuk kredit multiguna (43,57%) diikuti dengan kredit kepemilikan rumah, apartemen dan

    10.91

    8.73

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    400

    I II III IV I II III IV I II III IV

    2012 2013 2014

    Rp TriliunKredit Sektoral gKredit (Skala Kanan)

    %yoy

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    I II III IV I II III IV I II III IV

    2012 2013 2014

    %yoy gKredit Lapangan Usaha gPertanian

    gIndustri Pengolahan gPHR

    -10.00

    0.00

    10.00

    20.00

    30.00

    40.00

    50.00 %yoy Tw I-2014 Tw II-2014 Tw III-2014 Tw IV-2014

    3.05

    1.76

    1.24

    4.08

    0.00

    0.50

    1.00

    1.50

    2.00

    2.50

    3.00

    3.50

    4.00

    4.50

    5.00

    I II III IV I II III IV I II III IV

    2012 2013 2014

    %

    PHR

    Sektoral

    Pertanian

    Industri Pengolahan

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 22

    rukan (26,91%) serta kredit kendaraan bermotor (13,03%) (Grafik II. 25). Dibandingkan dengan pertumbuhan

    pada triwulan III 2014, penyaluran kredit multiguna dan kendaraan bermotor masih menunjukkan percepatan

    pertumbuhan yakni masing-masing 31,47% dan 24,82%. Di sisi lain, kredit kepemilikan rumah cenderung

    melambat, yaitu tumbuh 7,31%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya 7,94% (Grafik II.26). Berdasarkan

    provinsi, penyaluran kredit rumah tangga di sebagian besar provinsi masih menunjukkan peningkatan

    pertumbuhan, dengan pertumbuhan tertinggi di provinsi Bengkulu (Grafik II.27). Adapun penyaluran kredit

    rumah tangga terbesar di provinsi Sumatera Utara yang mencapai 23,11% dari total kredi rumah tangga

    Sumatera.

    Grafik II.25. Pangsa Kredit Rumah Tangga Grafik II.26. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera

    Kualitas kredit sektor rumah tangga masih terjaga, dengan angka NPL yang relatif rendah dan menurun. NPL

    kredit rumah tangga pada triwulan IV 2014 tercatat 1,62%, lebih rendah dari 1,81% pada triwulan III 2014.

    Berdasarkan jenisnya, NPL yang tertinggi berasal dari peyaluran kredit untuk perumahan atau apartemen yakni

    sebesar 3,40%. NPL tersebut lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 3,82%. Sementara itu, NPL

    penyaluran kredit kepada kendaraan bermotor dan multiguna relatif rendah yakni masing-masing 1,18% dan

    0,94% (Grafik II.28).

    Grafik II.27. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Rumah Tangga

    Provinsi Grafik II.28. NPL Kredit Rumah Tangga

    Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

    Penyaluran kredit kepada UMKM di Sumatera pada triwulan IV 2014 mencapai 27,61% dari total kredit

    Sumatera, dengan pertumbuhan kredit mencapai 13,49% (yoy). Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari

    pertumbuhan total kredit yang sebesar 9,43%. Namun, bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang

    tumbuh sebesar 15,68% (yoy), pertumbuhan tersebut melambat. Dari sisi sektoral, kredit UMKM mayoritas

    disalurkan kepada sektor perdagangan sebesar 51,3%, diikuti dengan sektor pertanian sebesar 20,4%, dan

    KPR KPA Rukan27%

    KKB13%

    Multiguna44%

    Lainnya16%

    -40

    -20

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    I II III IV I II III IV I II III IV

    2012 2013 2014

    %yoy

    g. Multiguna

    g. KPR, KPA, Rukang. Kredit RT

    g. KKB

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    10.00

    12.00

    14.00

    16.00

    18.00

    20.00 %yoyTw I-2014 Tw II-2014 Tw III-2014 Tw IV-2014

    0

    0.5

    1

    1.5

    2

    2.5

    3

    3.5

    4

    4.5

    I II III IV I II III IV I II III IV

    2012 2013 2014

    NPL Multiguna

    NPL KPR, KPA, Rukan

    NPL Kredit RT

    NPL KKB

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 23

    sektor industri pengolahan sebesar 6,6%. Perlambatan penyaluran kredit terutama terjadi di sektor pertanian

    dan industri pengolahan, sementara sektor perdagangan masih relatif stabil, yaitu tumbuh sebesar 9,9% (yoy).

    Berdasarkan provinsi, penyaluran kredit UMKM terbesar ditujukan ke provinsi Sumatera Barat dengan pangsa

    sebesar 33,83%, diikuti dengan Bengkulu sebesar 32,02%

    Berdasarkan kualitasnya, penyaluran kredit UMKM cenderung memiliki NPL yang relatif tinggi yakni mencapai

    5,27%, meski membaik dari triwulan sebelumnya sebesar 5,63%. Dari sisi lapangan usaha, NPL kredit kepada

    UMKM yang tercatat tinggi yaitu sektor konstruksi dan perdagangan. Berdasarkan provinsi, kualitas kredit

    UMKM terbaik dialami oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan NPL sebesar 3,74%, sementara

    terburuk dialami oleh Provinsi Aceh dengan NPL mencapai 11,56%.

    Grafik II.29. Perkembangan Kredit UMKM Sumatera Grafik II.30. Pangsa Sektor Utama Kredit UMKM Sumatera

    Kinerja Sistem Pembayaran

    Transaksi perbankan di wilayah Sumatera melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada

    triwulan IV 2014 mengalami peningkatan secara nilai, namun dari sisi volume transaksi mengalami penurunan.

    Secara nilai, transaksi RTGS pada triwulan IV 2014 tumbuh 32,04% (yoy), menjadi Rp816 triliun, lebih besar

    dibandingkan dengan triwulan III yang hanya tumbuh sebesar 13,88% (yoy). Sementara itu, volume transaksi

    RTGS pada triwulan IV 2014 turun sebesar 2,84% (yoy). Penurunan transaksi RTGS tersebut terkait dengan

    ketentuan Bank Indonesia yang mengharuskan transaksi bernilai di bawah 100 juta menggunakan Sistem

    Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).

    Tabel II.1. Perkembangan Transaksi RTGS Sumatera

    Tabel II.2. Perkembangan Transaksi Kliring Sumatera

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    I II III IV I II III IV I II III IV

    2012 2013 2014

    Rp Triliun Kredit UMKM g. Kredit UMKM

    NPL Kredit UMKM

    %

    Pertanian20.41%

    Industri6.57%

    Konstruksi5.67%

    PHR51.32%

    Laiinnya16.03%

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 24

    Transaksi pembayaran melalui kliring pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan baik volume maupun nilai

    transaksi. Secara nilai, transaksi kliring tumbuh sebesar 9,72% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan

    III yang hanya 6,51% (yoy), dengan total transaksi kliring mencapai Rp.72,1 Triliun. Sementara itu, volume

    kliring meningkat signifikan sebesar 23,67% (yoy) pada triwulan IV 2014 dibandingkan dengan triwulan III 2014

    yang hanya tumbuh sebesar 5,79%. Peningkatan ini merupakan akibat dari diberlakukannya ketentuan Bank

    Indonesia yang mengharuskan transaksi keuangan di bawah 100 juta menggunakan SKNBI dan meningkatnya

    transaksi masyarakat pada masa liburan akhir tahun.

    Kinerja Pengelolaan Uang Tunai

    Perkembangan aliran uang kartal di wilayah Sumatera pada triwulan IV 2014 secara umum mengalami net

    outflows. Jumlah uang yang keluar dari Bank Indonesia (outflow) selama triwulan IV 2014 mencapai Rp23,98

    triliun dengan jumlah uang yang masuk (inflow) Rp14,49 triliun. Untuk tahun 2014, net outflow terjadi hampir

    di seluruh provinsi Sumatera kecuali Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. Hal ini berhubungan

    dengan kegiatan perdagangan yang tinggi di ketiga provinsi tersebut. Perkembangan peredaran uang palsu di

    Sumatera pada tahun 2014 mengalami penurunan 20,45% (yoy) dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

    Total peredaran uang palsu pada tahun 2014 berjumlah 7827 lembar atau 6,41% dari total peredaran uang

    palsu Nasional. Dalam menanggulangi peredaran uang palsu, Bank Indonesia senantiasa melakukan sosialisasi

    ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat, melalui sekolah, universitas, pemerintah daerah, dan

    sebagainya. Selain itu, Bank Indonesia juga secara rutin melakukan kas keliling untuk menjangkau seluruh

    wilayah Indonesia, seperti yang dilakukan

    Grafik II.31. Perkembangan Inflow dan Outflow Sumatera

    (2014) Grafik II.32. Perkembangan Uang Palsu

    PROSPEK PEREKONOMIAN

    Prospek Pertumbuhan Ekonomi

    Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan mengalami perbaikan. Ekonomi

    Sumatera diperkirakan tumbuh 4,6% - 5,1% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2014.

    Peningkatan diperkirakan terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera kecuali Riau dan Jambi. Hal tersebut

    didukung oleh berbagai rencana infrastruktur yang akan dilaksanakan pada tahun 2015, sehingga investasi

    diperkirakan akan meningkat. Adanya pengalihan subsidi BBM ke berbagai proyek seperti bangun desa, irigasi,

    dan waduk juga diperkirakan akan mendorong kegiatan investasi dan konsumsi Pemerintah. Optimisme

    perbaikan ekonomi negara mitra dagang dan harga komoditas internasional diperkirakan juga akan

    mendorong kegiatan ekspor Sumatera.

    -10

    -5

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    Aceh Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Babel Lampung Bengkulu

    Rp TriliunInflow Outflow Net Inflow (Outflow)

    0

    500

    1000

    1500

    2000

    2500

    3000

    3500

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

    2013 2014

    lembar

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 25

    Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi diperkirakan akan didorong oleh sektor industri pengolahan; dan sektor

    perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor yang masih tumbuh tinggi. Berbagai

    pengembangan infrastruktur jalan maupun pelabuhan diperkirakan akan mendorong aktivitas sektor industri

    pengolahan lebih tinggi. Selain itu, kegiatan perdagangan di kawasan Sumatera juga diperkirakan akan terus

    mengalami pertumbuhan akibat konsumsi rumah tangga yang masih relatif tinggi,

    Prospek Inflasi

    Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan mendukung pencapaian target sasaran inflasi

    nasional 41%. Inflasi Sumatera diperkirakan berada pada kisaran 3,9% - 4,4% (yoy), sejalan dengan

    menurunnya harga minyak dunia. Tren penurunan harga minyak dunia akan menurunkan tekanan harga pada

    kelompok Administered Prices seperti harga bahan bakar rumah tangga dan tarif transportasi.

    Menurunnya biaya produksi, akan menurunkan tekanan harga secara umum. Dengan harga minyak dunia yang

    cenderung turun, dan kenaikan UMP yang tidak setinggi tahun sebelumnya, memengaruhi biaya produksi yang

    menjadi relatif lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan menurunkan harga jual barang atau jasa. Selain

    itu, sentimen penurunan harga jual barang dan jasa akan menjaga ekspektasi masyarakat. Di sisi lain, harga

    komoditas yang masih cenderung rendah, akan menahan tingkat konsumsi masyarakat. Hal ini akan menekan

    inflasi khususnya kelompok inti (core).

    Faktor lain yang diperkirakan mampu menahan laju inflasi pada tahun 2015 adalah faktor iklim, yang

    diperkirakan oleh BMKG lebih kondusif dibandingkan dengan tahun 2014. Sehingga produksi bahan pangan di

    Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara diperkirakan meningkat dari

    tahun sebelumnya. Dengan kondisi ini supply pasokan, terutama, bahan pangan akan lebih terjamin.

    Selanjutnya, ketersediaan pasokan pangan yang lebih baik diperkirakan akan cukup menahan laju inflasi pada

    kelompok volatile food.

    Beberapa faktor yang dapat memperbesar inflasi pada tahun 2015 adalah, penyesuaian tarif Listrik, dan

    kenaikan tarif pembuatan SIM. Selain itu, potensi risiko dari kenaikan imported inflation masih perlu dicermati

    dampaknya pada prospek inflasi Sumatera secara keseluruhan. Menghadapi risiko ini, seluruh TPID di seluruh

    provinsi Sumatera telah merancang roadmap jangka pendek dan jangka panjang terkait penanganan inflasi

    daerah yang diharapkan dapat menekan risiko peningkatan inflasi di Sumatera.

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 26

    Kondisi Perekonomian Kabupaten dan Kota di Sumatera

    Latar belakang isu regional ini adalah adanya dugaan bahwa pertumbuhan ekonomi Sumatera selama ini lebih

    banyak terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan yang sebagian besar berlokasi di pantai timur Sumatera.

    Hal ini mendorong perlunya asesmen singkat untuk mengidentifikasi symptom awal terjadinya ketimpangan

    perekonomian antarkabupaten dan kota di Sumatera. Pendekatan yang diambil dalam menerjemahkan

    ketimpangan adalah dengan menggunakan angka Williamson Index9 setiap kabupaten atau kota se-Sumatera.

    Beberapa variabel yang digunakan untuk lebih memahami ketimpangan perekonomian ini yaitu tingkat

    kapasitas perekonomian, kapasitas fiskal serta tingkat kemiskinan. Kapasitas perekonomian diterjemahkan

    sebagai besaran pendapatan per kapita kabupaten atau kota yang bersangkutan. Sementara kemampuan fiskal

    didekati dari dua sisi yaitu dari sisi kemampuan APBD mendukung perekonomian serta sisi kemampuan PAD

    mendukung perekonomian daerah. Digunakannya APBD dan PAD sebagai variabel terpisah dimaksudkan untuk

    lebih mendalami kemampuan fiskal genuine suatu Kabupaten/Kota mengingat di dalam APBD masih

    terkandung Dana Alokasi yang bersumber dari pemerintah pusat.

    Sumber: WorldBank-diolah Sumber: WorldBank-diolah Grafik II.33. Wlliamson Index berdasarkan PDRB Per Kapita Grafik II.34. Wlliamson Index berdasarkan APBD Per Kapita

    Angka Williamson Index berdasarkan PDRB per kapita mengonfirmasi hipotesis awal bahwa pertumbuhan

    ekonomi di Sumatera hanya terpusat pada daerah-daerah yang selama ini telah dikenal sebagai pusat

    pertumbuhan, baik karena kondisi infrastrukturnya yang memadai maupun karena kandungan sumber daya

    alamnya. Berdasarkan hasil pemetaan, Kabupaten Bengkalis, Rokan dan Siak serta Batam, Medan dan Padang

    tercatat sebagai Kabupaten/Kota dengan PDRB perkapita jauh di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna hijau

    tua). Seluruh Kabupaten/Kota tersebut berlokasi di pantai timur Sumatera, kecuali Kota Padang. Sementara

    9 Williamson Index digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan perekonomian (pendapatan per kapita, fiskal) suatu wilayah pada

    waktu tertentu. Perhitungan indeks ini adalah jika mendekati 1 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah sangat timpang dengan

    wilayah lainnya sebaliknya jika mendekati 0 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah relatif merata dibandingkan wilayah lainnya.

    0 - 0,05

    0,05 - 0,15

    > 0,15

    Indeks Vw

    0 - 0,05

    0,05 - 0,15

    > 0,15

    Indeks Vw

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 27

    Kabupaten/Kota lainnya yang juga memiliki PDRB per kapita sedikit di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna

    hijau muda) juga berlokasi di pantai timur Sumatera.

    Dari pemetaan sisi kapasitas fiskal Kabupaten/Kota dalam mendukung perekonomian juga terkonfirmasi

    bahwa perekonomian Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera jauh lebih berkembang dibandingkan dengan

    perekonomian Kabupaten/Kota di pantai barat Sumatera. Hal ini tercermin dari banyaknya Kabupaten/Kota di

    pantai timur Sumatera yang memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata kapasitas fiskal kabupaten/Kota di

    Sumatera. Selain itu, variabel ini juga dapat menunjukkan indikasi pengelolaan anggaran Kabupaten/kota.

    Sebagai contoh pada beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan

    memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata (warna hijau tua), namun memiliki PDRB per kapita di bawah rata-

    rata. Begitu pun sebaliknya, beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki kapasitas fiskal di bawah rata-rata

    namun memiliki PDRB per kapita di atas rata-rata seperti misalnya Kota Banda Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh

    Darussalam.

    Sama halnya dengan Williamson index berdasarkan APBD, Williamson index berdasarkan PAD juga

    mengonfirmasi lebih tingginya kapasitas fiskal asli Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera. Perbandingan

    Williamson index berdasarkan PDRB per kapita dan PAD semakin menunjukkan banyaknya Kabupaten/Kota

    dengan PAD di atas rata-rata PAD Sumatera, namun kurang optimal dalam mengelola kapasitas fiskal.

    Meskipun demikian, jika dilihat dari sebaran tingkat kemiskinannya, sebagaimana Grafik II.36, hanya

    Kabupaten/Kota di propinsi NAD dan sebagian Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung

    yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata (warna kuning pastel) tingkat kemiskinan Kabupaten/Kota

    se-Sumatera.

    Sumber: WorldBank-diolah Sumber: WorldBank-diolah

    Grafik II.35. Wlliamson Index berdasarkan PAD Per Kapita Grafik II.36. Sebaran tingkat kemiskinan

    Mengingat pola pertumbuhan di regional Sumatera terpusat di beberapa lokasi di pantai timur, maka perlu

    untuk mempertimbangkan penciptaan pusat pertumbuhan baru atau pemanfaatan pusat pertumbuhan

    existing di pantai Barat Sumatera seperti halnya Kota Padang untuk dapat lebih mengurangi kesenjangan

    perekonomian antar Kabupaten/Kota di Sumatera.

    0 - 0,05

    0,05 - 0,20

    > 0,20

    Indeks Vw

    0 - 12%

    12 - 15%

    > 15%

    Tingkat Kemiskinan

  • L a p o r a n N u s a n t a r a | 28

    Potensi Pengembangan Perekonomian Pantai Barat Sumatera

    Implikasi dari ketimpangan perekonomian di Sumatera adalah diperlukannya pusat-pusat pertumbuhan baru

    di Sumatera, khususnya di wilayah pantai barat Sumatera. Berdasarkan identifikasi terkini pada Desember

    2014, 24% dari total nilai ekspor Sumatera bertujuan ke negara-negara di tepi Samudera Hindia dan 20,70%

    dari total ekspor ke negara-negara anggota IORA (Indian Ocean Rim Association). Adapun produk ekspor

    Sumatera ke negara tersebut antara lain karet remah (crumb rubber), CPO, dan kelompok kopi, teh, dan

    bumbu-bumbuan.

    Saat ini mitra dagang utama Sumatera adalah Jepang, USA dan Korea. Data World Trade Organization

    menunjukkan bahwa negara-negara tersebut saat ini sedang mengalami stagnasi ataupun perlambatan dalam

    perdagangan mereka. Sementara itu, perdagangan negara lainnya seperti India, Turki dan United Arab

    Emirates terus tumbuh. Kondisi ini melahirkan peluang bagi Sumatera untuk mendiversifikasi pasar ekspornya.

    Dengan keunggulan posisi geografis Sumatera, khususnya pantai barat yang berbatasan langsung dengan

    Samudera Hindia, potensi diversifikasi ke negara-negara di tepi Samudera Hindia dapat menjadi salah satu

    peluang. Saat ini 50% lalu lintas kargo curah serta dua pertiga pengapalan minyak dunia melalui Samudera

    Hindia. Selain itu, posisi Indonesia yang mendapat giliran sebagai ketua IORA pada akhir tahun 2015 juga dapat

    mendorong implementasi penguatan transportasi kelautan, perikanan dan Preferential Tariff Aggreement

    (PTA) yang merupakan fokus utama organisasi ini. Potensi infrastruktur yang telah dimiliki, yaitu pelabuhan

    Teluk Bayur dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus di Sumatera Barat juga dapat dioptimalkan.

    Pelabuhan Teluk Bayur saat ini masih under capacity