korelasi putusan hakim dan dugaan pelanggaran kepph

128
Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama, November 2015 ISBN Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Korelasi Putusan Hakim.indd 1 12/18/2015 3:30:40 PM

Upload: donhi

Post on 17-Jan-2017

255 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik IndonesiaCetakan Pertama, November 2015

ISBN

Hak cipta dilindungi Undang-UndangDilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan

isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Korelasi Putusan Hakim.indd 1 12/18/2015 3:30:40 PM

Page 2: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Susunan RedaksiPembina

Anggota Komisi Yudisial

PenanggungjawabDanang Wijayanto

Pemimpin RedaksiRoejito

EditorTitik Ariyati Winahyu

Tri Purno UtomoImran

Tim AnalisisDr. Shidarta, S.H., M.Hum

Dr. Besar, S.H., M.HumBambang Pratama, S.H., M.H.

Paulus Aluk Fajar Dwi Santo, S.H., M.H.

SekretariatIkhsan Azhar

Festy Rahma HidayatiM. Ilham

Yuni YulianitaAtika Nidyandari

Heri Sanjaya Putra

Desain Grafis & LayoutW. Eka Putra

Komisi Yudisial Republik IndonesiaJl. Kramat Raya No.57, Jakarta Pusat

Telp. 021-390 5876, Fax: 021-390 6215, PO Box 2685www.komisiyudisial.go.id

Korelasi Putusan Hakim.indd 2 12/18/2015 3:30:40 PM

Page 3: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

iii

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Tim Penyusun .................................................................... ii

Daftar Isi .............................................................................. iii

Daftar Putusan Hakim yang Dianalisis ......................... v

Kata Sambutan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia ............................................................ vii

Sekapur Sirih Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial Republik Indonesia .............................. xi

Kata Pengantar Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia .............................. xv

Pengantar Tim Analis ...................................................... xvii

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang ........................................................ 1

B. Permasalahan ........................................................... 3

C. Tujuan dan Kegunaaan Penelitian ....................... 3

D. Metode Penelitian .................................................. 4

E. Kerangka Teori ........................................................ 7

Korelasi Putusan Hakim.indd 3 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 4: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

iv

DAFTAR ISI

Bab II. Analisis Putusan

A. Putusan 1 ................................................................. 11

B. Putusan 2 s.d. 6 .................................................. 35

C. Putusan 7 s.d 17 ...................................................... 49

D. Putusan 18 ............................................................... 77

E. Putusan 19 s.d 20 ..................................................... 85

Bab III. Catatan atas Laporan

Daftar Pustaka ............................................................... 107

Korelasi Putusan Hakim.indd 4 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 5: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

v

DAFTAR PUTUSAN

DAFTAR PUTUSAN HAKIM YANG DIANALISIS

No. Nomor Putusan Asal PengadilanKualifikasi

Pelanggaran KEPPH*

1 36 P/Hum/2011Mahkamah Agung

Terbukti

2699 PK/Pdt/1996

Mahkamah Agung

Terbukti

3 16/Pdt.G/2008 PN Kendari Terbukti

4 37/Pdt.G/2001 PN Kendari Terbukti

5 65/Pdt/2002PT Sulawesi Tenggara

Terbukti

63234 K/Pdt/2003

Mahkamah Agung

Terbukti

7 10/Merek/2011PN Niaga, Jakarta Pusat

Tidak Terbukti

Korelasi Putusan Hakim.indd 5 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 6: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

vi

DAFTAR PUTUSAN

811/Hak Cipta/2011

PN Niaga, Jakarta Pusat

Tidak Terbukti

912/Hak Cipta/2011

PN Niaga, Jakarta Pusat

Tidak Terbukti

1013/Hak Cipta/2011

PN Niaga, Jakarta Pusat

Tidak Terbukti

1114/Hak Cipta/2011

PN Niaga, Jakarta Pusat

Tidak Terbukti

1215/Hak Cipta/2011

PN Niaga, Jakarta Pusat

Tidak Terbukti

1316/Hak Cipta/2011

PN Niaga, Jakarta Pusat

Tidak Terbukti

14595 K/Pdt.Sus/2011

Mahkamah Agung

Tidak Terbukti

15608 K/Pdt.Sus/2011

Mahkamah Agung

Tidak Terbukti

16609 K/Pdt.Sus/2011

Mahkamah Agung

Tidak Terbukti

17610 K/Pdt.Sus/2011

Mahkamah Agung

Tidak Terbukti

18 05/PKPU/2012 PN Niaga Medan Terbukti

19 700/Pdt.G/2009 PA Palembang Terbukti

20 147/Pdt.G/2007 PA Samarinda Terbukti

*) Kualifikasi menurut Sidang Pleno Komisi Yudisial RI.

Korelasi Putusan Hakim.indd 6 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 7: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

vii

KATA SAMBUTAN

Putusan Hakim Menggambarkan Kehormatannya

Putusan hakim tidak hanya pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri

perkara, tetapi juga merupakan mahkota “sekaligus” “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki, hak asasi manusia; penguasaan hukum, fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, moralitas dan kehormatan dari hakim yang bersangkutan.

Cermin kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim tidak hanya terpancar dari tingkah laku kongkrit dirinya di dalam dan di luar sidang, tetapi juga dari putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat.

Usaha menjaga dan menegakkan kehormatan hakim tentu saja menjadi tanggungjawab utama hakim bersangkutan. Apa yang harus dilakukannya adalah memastikan dirinya memiliki dua hal sekaligus, yaitu integritas dan kompetensi. Integritas adalah kualitas moral yang tercermin pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.

Korelasi Putusan Hakim.indd 7 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 8: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

viii

KATA SAMBUTAN

Independensi dan imparsialitas adalah dua elemen dasar dari integritas hakim. Kedua prinsip utama tersebut bukan hak hakim, melainkan beban kewajiban yang harus dimiliki dan diwujudkan hakim dalam dinas dan luar dinas. Adalah masyarakat dan terutama pencari keadilan-lah yang berhak untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh hakim yang independen dan imparsial.

Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

Sementara kompetensi adalah kedalaman ilmu pengetahuan teoritik akademik dan kecakapan tehnis-tehnis hukum di bidang perkara hukum yang ditanganinya, dan mampu mengawinkan dengan tepat teks dan konteks perkara sehingga keseluruhan proses memeriksa, mengadili dan memutus mencerminkan hakim sebagai juru bicara keadilan (speaker of justice), dan bukan corong undang (speaker of law).

Putusan hakim bukan hanya bernilai buat perkara itu sendiri, tetapi produk kekuasaan profesi yang mencerminkan tinggi rendahnya mutu profesi hakim; paradigma hakim; ada tidaknya integritas hakim sebagai elemen dasar untuk menilai tinggi rendahnya, atau bahkan ada tidaknya kehormatan hakim.

Putusan hakim adalah data terbuka yang menyimpan kekayaan informasi yang harus digali dan ditemukan untuk kemudian dianalisis guna merumuskan langkah-langkah peningkatan integritas dan kompetensi hakim melalui pelbagai strategi.

Salah satu langkah KY adalah melakukan penelitian putusan yang diambil dari laporan masyarakat yang telah

Korelasi Putusan Hakim.indd 8 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 9: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

ix

KATA SAMBUTAN

diputuskan dalam pleno, baik laporan yang dikatagorikan dapat ditindaklanjutu (DL) maupun yang tidak dapat ditindaklanjuti (TDL).

Tujuan penelitian untuk mengetahui korelasi antara kualitas putusan dengan penyimpangan KE-PPH. Hasil penelitian ini berguna antara lain untuk pengayaan informasi atas anotasi yang sudah dilakukan, penambahan informasi tentang hakim-hakim tertentu yang putusannya menjadi sampel penelitian, serta untuk materi pelatihan.

Hasil penelitian yang dimuat dalam buku ini diharapkan memberi gambaran komprehensif tentang putusan dan kontribusi bagi peningkatan kompetensi hakim di masa depan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Di samping itu, dapat melengkapi literatur kajian putusan yang tergolong langka di Indonesia.

Kritik saran pembaca sangat kami harapkan. Kepada peneliti dan editor, kami ucapkan terimakasih. Selamat.

Jakarta, November 2015 Ketua Komisi Yudisial

Dr. Suparman Marzuki, S.H., M. Si.

Korelasi Putusan Hakim.indd 9 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 10: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim.indd 10 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 11: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

xi

SEKAPUR SIRIH

Sekapur Sirih

Kegiatan penelitian sudah menjadi rohnya Komisi Yudisial, karena sejak kegiatan penelitian dilakukan oleh Komisi Yudisial, menjadikan hasil penelitian sebagai pijakan

Komisi Yudisial untuk melakukan perubahan dan koreksi baik bagi internal Komisi Yudisial maupun sebagai masukan kepada lembaga yang menjadi mitra Komisi Yudisial. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Komisi Yudisial di dalamnya melibatkan jejaring perguruan tinggi. Kebijakan ini diambil karena Komisi Yudisial memandang untuk objektivitas dan kualitas atas hasil suatu penelitian itu sendiri. Tentunya out-put dari hasil penelitian ini bukan saja bermanfaat bagi Komisi Yudisial, terutama dalam implementasi kewenangan menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, tetapi dapat juga bermanfaat bagi para hakim dan pembaca untuk melihat aspek keilmuan dari analisis penelitian terhadap obyek penelitian itu sendiri.

Buku yang merupakan hasil penelitian berbasis pada pengaduan masyarakat ini dilakukan untuk dua hal. Pertama untuk kepentingan internal Komisi Yudisial terkait pemberian usul penjatuhan sanksi atau tidak dijatuhi sanksi yang berbasis laporan masyarakat yang berbasis pada putusan. Kajiannya berupa, apakah usul penjatuhan yang dijatuhkan oleh Komisi Yudisial sudah tepat atau mengandung unsur kekurangcermatan analisis. Kedua, bagi pihak eksternal khususnya hakim dapat melihat secara objektif atas analisis terhadap putusan yang dijatuhkannya.

Korelasi Putusan Hakim.indd 11 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 12: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

xii

SEKAPUR SIRIH

Membahas korelasi antara kualitas putusan dengan dugaan penyimpangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Di dalamnya perlu kecermatan dan pemahaman yang komprehensif antara pengetahuan hukum formil, hukum materil dan kode etik itu sendiri.

Namun demikian penelitian ini akan bermanfaat bagi uji akuntabilitas atas putusan yang dijatuhkan hakim. Hal ini untuk menjawab bahwa independensi tidak terlepas dari akuntabilitas, terutama suatu perkara yang sudah diputuskan dan telah memiliki kekuatan hukum mengikat (incracht). Hal ini penting karena lembaga peradilan memainkan peranan penting karena diberi mandat untuk mengelola segala permasalahan hukum dari setiap warga negara yang mengalami kesulitan dalam mencari keadilan. Sebagaimana diketahui bahwa antara independensi dan akuntabilitas memiliki korelasi. Oleh karenanya, setiap masyarakat khususnya dunia kampus dapat memerankan perannya sebagai lembaga ilmiah yang kritis terhadap dinamika masyarakat dalam sebuah bangsa. Dengan demikian hasilnya selain berguna bagi perkembangan hukum juga diharapkan akan berakibat dalam mendorong peningkatan kualitas putusan hakim dan akuntabilitas pengadilan itu sendiri.

Berangkat dari hal itu, penelitian dengan mengambil basis data pada pengaduan masyarakat akan sangat berharga apakah dapat ditemukan dalam putusan tersebut terdapat titik taut dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim atau tidak. Secara sepintas hasil penelitian ini telah menemukan titik taut tersebut, misalnya terdapat kualitas, putusan bermasalah, dan beberapa pelanggaran atas asas-asas hukum dan asas-asas undang-undang dalam putusan. Beberapa pelanggaran terhadap asas-asas tersebut antara terhadap asas nemo judex in rex sua, asas ne bis in idem, asas audi alteran partem, asas ius curia novit, asas res judicata pro veritate habetur.

Korelasi Putusan Hakim.indd 12 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 13: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

xiii

SEKAPUR SIRIH

Tentunya terhadap adanya analisis dalam putusan yang melanggar asas-asas sebagaimana dikemukakan di atas, hasil penelitian ini dapat membuka cakrawala bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan hukum di pengadilan, setidaknya ketika perkara tersebut berkaitahn dengan pemahaman asas-asas tersebut.

Mudah-mudah hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua kalangan, khususnya para hakim di dalam menangani suatu perkara yang dihadapinya.

Jakarta, November 2015 Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan/ Penanggung Jawab Penelitian

Dr. H. Jaja Ahmad Jayus, S.H.,M.Hum.

.

Korelasi Putusan Hakim.indd 13 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 14: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim.indd 14 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 15: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

xv

Pengantar Sekjen

PENGANTAR SEKJEN

Penerbitan buku ilmiah merupakan tradisi Komisi Yudisial untuk melakukan terobosan sebagai upaya memberi masukan kepada mitra Komisi Yudisial maupun

untuk perbaikan internal Komisi Yudisial itu sendiri. Pada kesempatan kali ini Komisi Yudisial kembali menerbitkan buku hasil penelitian bertajuk Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakm (KEPPH).

Putusan hakim merupakan gambaran dari kualitas hakim itu sendiri, melalui putusan hakim dapat dilihat tingkat profesionalitas hakim sebagai profesi yang mulia. Melalui putusan hakim juga dapat tergambar tinggi rendahnya integritas hakim.

Penelitian yang mengambil data dari pengaduan masyarakat ini sangat menarik untuk mengetahui korelasi antara kualitas putusan dan indikator-indikator dari dugaan pelanggaran KEPPH.

Penelitian ini bertujuan untuk pengayaan informasi atas anotasi yang sudah dilakukan terkait laporan pengaduan masyarakat ditinjau dari sisi putusan hakim yang dijadikan lampiran pengaduan. Selain itu, melalui penelitian ini dapat menjadi pengayaan materi penyegaran/pelatihan KEPPH untuk kalangan para hakim atau pelatihan eksaminasi putusan untuk kalangan akademisi/peneliti putusan

Korelasi Putusan Hakim.indd 15 12/18/2015 3:30:41 PM

Page 16: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

xvi

Pengantar Sekjen

Komisi Yudisial menyampaikan terima kasih kepada seluruh tim penyusunan buku ini dan khususnya kepada tim dari peneliti Jurusan Hukum Bisnis (Business Law Department) Universitas Bina Nusantara. Dengan harapan, adanya buku ini bisa memberi manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan dan semakin memperbanyak referensi tentang hasil penelitian terhadap putusan hakim.

Jakarta, November 2015

Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial

Danang Wijayanto

Korelasi Putusan Hakim.indd 16 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 17: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

xvii

Pengantar Tim Analisis

Pengantar Tim Analisis

Buku ini pada awalnya adalah hasil penelitian antara Komisi Yudisial dengan sejumlah perguruan tinggi untuk menganalisis putusan-putusan hakim yang dikategorikan

“bermasalah” berdasarkan laporan pengaduan masyarakat. Kategori “bermasalah” di sini berangkat dari kenyataan bahwa putusan tersebut memang dipakai sebagai dokumen utama pengaduan masyarakat terhadap figur-figur hakim yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa putusan hakim yang “bermasalah” akan memiliki celah hukum (legal gap) yang sangat mungkin dapat ditelusuri melalui analisis mendalam terhadap teks putusannya. Dengan demikian, penelitian ini akan memiliki kegunaan praktis bagi Komisi Yudisial karena dapat secara spesifik menunjukkan korelasi antara kualitas putusan dan indikator-indikator dari dugaan pelanggaran tersebut. Dalam konteks ini, peneliti berupaya bersikap netral untuk tidak secara prejudice menilai putusan itu “bermasalah” atau “tidak bermasalah” kendati ada anotasi dan Keputusan Sidang Pleno Komisi Yudisial yang sudah memberikan penilaian. Justru yang diinginkan dari penelitian ini adalah kemurnian sikap peneliti untuk mengungkapkan apa-apa yang mungkin belum disinggung di dalam anotasi dan Keputusan Sidang Pleno. Dengan demikian, hasil laporan penelitian ini menjadi “another

Korelasi Putusan Hakim.indd 17 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 18: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

xviii

Pengantar Tim Analisis

opinion” atas putusan-putusan hakim tersebut dari sudut pandang pihak ketiga yang independen.

Tim analis dari Universitas Bina Nusantara dikoordinasi oleh Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. sebagai Ketua Peneliti mendapat tugas membahas 20 putusan hakim dari berbagai tingkatan. Sekalipun demikian, ke-20 putusan hakim tersebut berasal dari lima pengaduan saja sehingga ada satu pengaduan yang berkisar dari satu sampai sebelas putusan hakim yang berbeda. Ada empat laporan pengaduan yang menghasilkan kesimpulan oleh Komisi Yudisial bahwa majelis hakim yang menerbitkan putusan itu “terbukti” melanggar KEPPH. Sedangkan satu pengaduan lainnya tidak mengantarkan pada kesimpulan “terbukti melanggar”.

Pemilihan ke-20 putusan hakim yang dianalisis ditentukan secara sepihak oleh Komisi Yudisial dengan teknik pilihan sampel secara purposif. Objek penelitian yang dikaji mencakup tidak hanya putusan hakim dari laporan pengaduan yang dapat ditindaklanjuti (DL), melainkan juga dari laporan pengaduan yang tidak dapat ditindaklanjuti (TDL). Kombinasi dari kedua jenis laporan pengaduan ini diperlukan sebagai komparasi guna memperkaya hasil analisis penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa korelasi antara kualitas putusan dan dugaan penyimpangan KEPPH. Hasil dari penelitian ini memiliki kegunaan sebagai : (1) pengayaan informasi atas anotasi yang sudah dilakukan terkait laporan pengaduan masyarakat ditinjau dari sisi putusan hakim yang dijadikan lampiran pengaduan tersebut; (2) penetapan indikator-indikator dugaan pelanggaran KEPPH dengan penggunaan putusan sebagai akses penelusuran; (3) pengayaan materi penyegaran/pelatihan KEPPH untuk kalangan para hakim atau pelatihan eksaminasi putusan untuk kalangan akademisi/peneliti putusan; dan (4) penambahan informasi atas figur-figur hakim tertentu yang telah dijadikan subjek

Korelasi Putusan Hakim.indd 18 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 19: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

xix

Pengantar Tim Analisis

pengaduan masyarakat terkait dengan kualitas putusan mereka, sehingga dapat dijadikan basis data apabila terdapat kebutuhan pemantauan/penilaian terhadap individu hakim-hakim tersebut.

Penelitian ini menggunakan teknis analisis sekunder (secondary analysis), yang oleh Ashley Crossman (2014) dimaknai sebagai “the practice of analyzing data that have already been gathered by someone else, often for a distinctly different purpose”. Dalam hal ini apa yang dilakukan oleh hakim dalam menghasilkan suatu putusan dapat dikategorikan sebagai hasil analisis mendalam yang sudah dilakukan oleh orang lain. Tugas tim analis adalah melakukan analisis kembali atas putusan ini. Hal-hal terkait dengan metodologi ini akan diungkapkan lebih lanjut dalam subbab tersendiri dalam laporan ini.

Dengan terlaksananya penelitian ini, tim analis dari Universitas Bina Nusantara Jakarta mengucapkan teirma kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh Komisi Yudisial. Bantuan dan pengarahan dari para Anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia dan Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial serta rekan-rekan dari unit terkait di Komisi Yudisial sangat meringankan pekerjaan tim analis. Besar harapan dari tim analis bahwa hasil analisis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Korelasi Putusan Hakim.indd 19 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 20: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim.indd 20 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 21: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

1

BAB I

Bab IPendahuluan

Latar Belakang A.

Komisi Yudisial menerima 2.193 laporan pengaduan masyarakat pada tahun 2013. Laporan masyarakat tersebut sudah diproses melalui pembahasan dalam

sidang panel pertama sejumlah 621 aduan, dengan rincian 365 aduan yang tidak dapat ditindaklanjuti dan 265 aduan yang dapat ditindaklanjuti. Kemudian laporan masyarakat yang sudah diputus dalam sidang panel kedua berjumlah 358 aduan dan sidang pleno sebanyak 160 aduan.

Dari 160 aduan yang telah diputus dalam sidang pleno, terdapat putusan hakim yang dijadikan lampiran oleh pelapor. Rincian keputusan sidang pleno menyatakan 98 putusan berkategori dapat ditindaklanjuti (DL), dengan kriteria 63 kasus yang dijatuhkan sanksi dan 35 kasus yang diberikan peringatan. Selebihnya, terdapat 62 putusan berkategori tidak dapat ditindaklanjuti (TDL).

Putusan-putusan ini menarik untuk dianalisis kembali secara komprehensif karena di dalamnya terdapat potensi

Korelasi Putusan Hakim.indd 1 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 22: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

2

BAB I

ditemukannya indikator-indikator pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dengan perkataan lain, perlu diteliti apakah ada korelasi antara kualitas putusan hakim yang dijadikan salah satu dokumen laporan pengaduan masyarakat tersebut dengan dugaan pelanggaran KEPPH.

Penelitian ini berangkat dari asumsi putusan hakim yang “bermasalah” akan memiliki celah hukum (legal gap) yang sangat mungkin dapat ditelusuri melalui analisis mendalam terhadap teks putusannya. Dengan demikian, penelitian ini akan memiliki kegunaan praktis bagi Komisi Yudisial karena dapat secara spesifik menunjukkan korelasi antara kualitas putusan dan indikator-indikator dari dugaan pelanggaran tersebut.

Objek penelitian yang akan dikaji tidak hanya mencakup putusan hakim dari laporan pengaduan yang dapat ditindaklanjuti (DL), melainkan juga dari laporan pengaduan yang tidak dapat ditindaklanjuti (TDL). Kombinasi dari kedua jenis laporan pengaduan ini diperlukan sebagai komparasi guna memperkaya hasil analisis penelitian.

Mengingat konfidensialitas yang cukup tinggi atas laporan-laporan pengaduan yang lampiran putusannya dijadikan objek analisis dalam penelitian ini, maka peneliti pada program penelitian tahun 2014 ini tidak lagi ditawarkan secara terbuka kepada jejaring Komisi Yudisial. Selama beberapa tahun terakhir, ada empat koordinator tim analis yang telah terlibat menyusun TOR beserta instrumen, sekaligus mengawal, menilai, dan mengkompilasi hasil penelitian putusan pengadilan, sehingga tim analis tersebut dilakukan penunjukan langsung. Tim inilah yang diminta untuk menyusun TOR dan instrumen, sekaligus bertanggung jawab memimpin dan menjalankan penelitian putusan ini.

Setelah melalui berbagai proses pertimbangan yang diputuskan dalam rapat Anggota Komisi Yudisial, tim dari Jurusan Hukum Bisnis (Business Law Department) Universitas Bina

Korelasi Putusan Hakim.indd 2 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 23: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

3

BAB I

Nusantara termasuk salah satu dari sekian tim yang dipercaya melakukan riset ini. Tim ini melakukan analisis atas dua puluh putusan yang secara karakteristik berasal dari lima laporan pengaduan yang masuk ke Komisi Yudisial selama tahun 2013.

PermasalahanB.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah terdapat korelasi antara kualitas putusan dengan dugaan penyimpangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)? Dengan demikian yang menjadi fokus analisis adalah kualitas dari tiap putusan dan apa kaitannya dengan penyimpangan menurut KEPPH.

Tujuan dan Kegunaan PenelitianC.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa korelasi antara kualitas putusan dan dugaan penyimpangan KEPPH.

Hasil dari penelitian ini memiliki kegunaan sebagai :1. Pengayaan informasi atas anotasi yang sudah dilakukan

terkait laporan pengaduan masyarakat, ditinjau dari sisi putusan hakim yang dijadikan lampiran pengaduan tersebut;

2. Penetapan indikator-indikator dugaan pelanggaran KEPPH dengan penggunaan putusan sebagai akses penelusuran;

3. Pengayaan materi penyegaran atau pelatihan KEPPH untuk kalangan para hakim atau pelatihan eksaminasi putusan untuk kalangan akademisi/peneliti putusan; dan

4. Penambahan informasi atas figur-figur hakim tertentu yang telah dijadikan subjek pengaduan masyarakat terkait dengan kualitas putusan mereka, sehingga dapat dijadikan basis data apabila terdapat kebutuhan pemantauan atau penilaian terhadap individu hakim-hakim tersebut.

Korelasi Putusan Hakim.indd 3 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 24: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

4

BAB I

Metode PenelitianD.

Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa korelasi antara kualitas putusan dan dugaan penyimpangan KEPPH, maka objek penelitian adalah putusan-putusan yang berasal dari dokumen yang menjadi bagian dari berkas laporan pengaduan masyarakat.

Penelitian ini mengandalkan objek putusan yang telah diputus dalam sidang pleno pada tahun 2013. Sidang pleno sendiri bekerja setelah laporan ini dianotasi oleh Tenaga Ahli Komisi Yudisial.

Dari 160 putusan tersebut, kemudian dipilih objek putusan hakim dengan rincian 60 putusan kategori DL dari semula 63 putusan yang telah ditetapkan rekomendasi sanksinya (95,24%). Sementara itu, untuk putusan TDL dipilih sebanyak 20 putusan dari total 62 putusan (32,26%) yang dilaporkan pada tahun 2013. Dari jumlah tersebut, khusus untuk setiap tim analis, dibagikan sebanyak 20 putusan yang merepresentasikan karakteristik putusan-putusan dimaksud.

Alur penetapan sampel putusan hakim yang dijadikan objek penelitian sebagai berikut:

Korelasi Putusan Hakim.indd 4 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 25: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

5

BAB I

Penelitian ini menggunakan metode analisis sekunder (secondary analysis). Menurut Chadwick dkk. (1991: 292), analisis sekunder biasanya mengacu pada pemakaian bahan-bahan penelitian yang sudah dilakukan orang lain. Jadi tim analis dalam konteks ini tidak bertugas mengumpulkan data.

Dalam kaitan dengan data ini, para ahli di bidang metode penelitian membedakan antara laporan yang disebut sumber primer dan sumber sekunder. Putusan hakim di level judex facti, terlebih pada pengadilan tingkat pertama dapat dimasukkan ke dalam sumber primer karena apa yang ditulis dalam putusan itu adalah apa yang diperoleh langsung oleh hakim di ruang sidang. Sementara apa yang ditulis oleh hakim di pengadilan tingkat kedua (kendati masih judex facti) dan Mahkamah Agung (sebagai judex juris) bisa diasosiasikan ke sumber sekunder. Chadwick, dkk. menyatakan bahwa dalam klasifikasi konvensional, sumber-sumber primer jelas lebih disukai.

Korelasi Putusan Hakim.indd 5 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 26: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

6

BAB I

Metode analisis sekunder memiliki kemiripan dengan metode analisis isi (content anaylsis) yang lazim digunakan dalam penelitian-penelitian ilmu komunikasi. Dalam penelitian ini, sesungguhnya dapat juga dianalogikan bahwa objek penelitian bukan pemberitaan atau artikel media massa sebagaimana dikenal dalam penelitian ilmu komunikasi, melainkan berupa putusan-putusan hakim.

Secara esensial, baik pemberitaan atau artikel media massa maupun putusan hakim memiliki peran yang sama, yaitu untuk disampaikan kepada pihak lain (pembaca). Putusan hakim tidak dibuat untuk diri si hakim dan para pihak yang terkait, melainkan untuk didiseminasi kepada publik. Putusan hakim yang sudah dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum adalah informasi publik.

Walaupun memungkinkan berpegang pada analogi ini, tim analisis lebih memilih untuk menggunakan terminologi analisis sekunder sebagaimana disebutkan oleh Chadwick (1991: 292-315). Alasan pemilihan ini karena kelaziman yang dikenal di dalam analisis isi mengarah pada model analisis kuantitatif, yang cukup “menyulitkan” jika diterapkan untuk penelitian putusan hakim ini.

Penelitian dengan analisis sekunder ini dilakukan dengan cara membaca secara cermat kasus posisi. Ada anggota dari tim analis yang ditugaskan untuk membaca kronologi duduk perkara peristiwa tersebut. Kemudian diidentifikasi apakah memang duduk perkara ini layak diidentifikasi sebagai peristiwa hukum, sebagaimana ditetapkan oleh majelis hakim. Fokus dari analisis ini adalah melihat seberapa tepat pertimbangan hukum dari majelis hakim dimunculkan dalam merelasikan antara dasar hukum dan peristiwa konkret yang dikonstatasi oleh majelis tersebut.

Mengingat banyak pertimbangan hakim yang bisa dimunculkan dalam penelitian ini, maka tim analis harus membuat prioritas. Dasar logika putusan dipilih secara purposif

Korelasi Putusan Hakim.indd 6 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 27: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

7

BAB I

sebagai sampel karena putusan tersebut menjadi bagian dari dokumen pengaduan masyarakat. Maka dengan sendirinya, substansi pengaduan ini harus digunakan sebagai orientasi analisis juga. Artinya, seberapa jauh putusan tadi bisa dikaitkan dengan dugaan penyimpangan KEPPH, sebagaimana ditanyakan di dalam rumusan masalah, akan bergantung pada seperti apa pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat kepada Komisi Yudisial.

Dalam penelitian ini dijumpai kesulitan yang lazim ditemukan dalam penelitian dengan metode analisis sekunder. Sumber informasi yang diperoleh dari penelitian ini hanya mengandalkan teks yang ada di dalam dokumen. Padahal, tidak semua dokumen ini mampu menyajikan urutan-urutan fakta secara logis. Ada majelis hakim yang cukup cermat sehingga mengurutkan peristiwa hukum secara linear, tetapi ada juga yang sebaliknya. Dalam hal ini, tim analis harus menempuh cara dengan melakukan pembacaan ulang setiap putusan oleh analis yang berbeda. Dengan demikian, diharapkan kesalahan dalam membaca teks dapat diminimalisasi.

Kelemahan lainnya adalah kelengkapan dokumen yang disajikan. Ada berkas putusan, misalnya, yang urutan halamannya melompat karena tidak terkopi lengkap. Tatkala hal ini ditanyakan kepada Komisi Yudisial, ketidaklengkapan ini rupanya sudah sejak pertama kali dokumen diterima dari pihak pelapor. Dalam hal ada kesulitan demikian, tim analis akan mengupayakan melengkapi informasinya dari sumber-sumber lain, seperti dokumen anotasi dan keputusan sidang pleno.

Kerangka TeoriE.

Penelitian ini menggunakan putusan hakim sebagai objek analisis. Kata “putusan” sendiri mengandung pengertian yang khas. Menurut R. Subekti (1982: 125), dalam dunia peradilan

Korelasi Putusan Hakim.indd 7 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 28: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

8

BAB I

dibedakan antara putusan (vonnis) dan penetapan hakim (beschikking). Putusan diambil untuk memutusi suatu perselisihan atau sengketa (perkara), sedangkan penetapan berhubungan dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yurisdiksi voluntair. Dalam hal yang terakhir ini, pengadilan (hakim) melakukan tindakan yang tidak berdasarkan suatu pemeriksaan terhadap para pihak yang saling berhadapan di mana yang satu dapat membantah apa yang diajukan oleh yang lain.

Dalam konteks penelitian ini, ada sejumlah putusan hakim yang secara karakteristik merupakan hasil permohonan, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai “putusan” (vonnis). Sekalipun demikian untuk memberikan penyeragaman penggunaan istilah, khusus untuk judul penelitian ini, digunakan satu istilah yang sama yaitu putusan hakim. Dengan pengertian adalah produk hukum yang ditetapkan oleh majelis hakim yang bersidang di pengadilan.

Dalam Pasal 183, 184, 187 HIR (bandingkan dengan Pasal 194, 195, dan 198 Rbg), disinggung tentang apa-apa yang harus dimuat dalam putusan hakim. Sudikno Mertokusumo (1988: 177-183) menyebut bagian-bagian putusan hakim menjadi: (1) kepala putusan, (2) identitas para pihak, (3) pertimbangan, dan (4) amar.

Dalam konteks penelitian ini, analisis sekunder dilakukan dengan memusatkan perhatian pada pertimbangan-pertimbangan hakim, baru kemudian akan ditelaah seberapa jauh muatan pertimbangan ini sinkron dengan amar. Kualitas putusan yang menjadi pertanyaan kunci di dalam rumusan masalah lebih dilihat dari aspek penalaran hakim dalam membuat pertimbangan untuk kemudian sampai pada kesimpulan di bagian amar putusan. Sisi formalitas putusan sejauh bersinggungan akan ikut disinggung.

Sudikno Mertokusumo (1988: 178) menyatakan, pertimbangan atau apa yang sering disebut konsiderans

Korelasi Putusan Hakim.indd 8 12/18/2015 3:30:42 PM

Page 29: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

9

BAB I

merupakan dasar dari putusan. Pertimbangan dalam putusan pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang hukumnya. Dalam proses perdata terdapat pembagian tugas antara para pihak dan hakim. Para pihak harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan soal hukum adalah urusan hakim. Atas dasar itulah maka dalam penelitian ini, fokus perhatian lebih kepada pertimbangan hukum. Hal yang terkait dengan peristiwa hukum dituangkan di dalam tabel kronologi posisi kasus.

Kualitas putusan hakim akan ditentukan seberapa majelis hakim dapat membuat konsistensi berpikir antara pertimbangan fakta dan pertimbangan hukum, hingga sampai pada amar putusan. Selama tidak terjadi “jumping to conclusion” dapat diasumsikan putusan ini memiliki kualitas yang baik. Oleh karena di sisi lain ada laporan pengaduan masyarakat yang

Korelasi Putusan Hakim.indd 9 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 30: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

10

BAB I

sudah terlebih dulu menyampaikan catatan terhadap “kualitas putusan” ini, dengan asumsi sudah terjadi pelanggaran KEPPH, maka analisis dilakukan untuk menjawab rumusan masalah, yaitu: apakah ada korelasi antara kualitas putusan dengan dugaan penyimpangan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim?

KEPPH yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009. Dalam KEPPH ini dikatakan, hakim adalah hakim agung dan hakim di semua lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, termasuk hakim ad hoc.

Posisi KEPPH di sini diposisikan sebagai suatu kerangka acuan untuk menilai perihal dugaan penyimpangan dan bukan penyimpangan. Secara yuridis posisi KEPPH pernah dijadikan objek uji materiil di Mahkamah Agung, yang berarti ditempatkan sebagai peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, secara akademis KEPPH dapat juga dianggap sebagai peraturan kebijakan yang tidak proporsional untuk dijadikan objek uji materiil.

Korelasi Putusan Hakim.indd 10 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 31: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

11

BAB II

BAB IIAnalisis Putusan

Putusan Perkara 1 A.

Nomor Perkara 36 P/HUM/2011

Identitas Perkara

Isu kunci : • Pengujian Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah

Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.Para Pihak :• - Henry P. Pangabean, Humala Simanjuntak, Linton

O. Siahaan, Sarmanto Tambunan (Pemohon).- Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi

Yudisial RI (Termohon I dan II).Majelis Hakim : Pemeriksa Perkara Nomor 36 P/• HUM/2011.

Korelasi Putusan Hakim.indd 11 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 32: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

12

BAB II

a. Posisi Kasus

No Waktu Peristiwa

1 24 Agustus 2011 Empat orang berprofesi advokat di Jakarta (beberapa adalah pensiunan hakim agung) mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009. Permohonan dilakukan agar rincian butir 8 dan 10 KEPPH dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum (dicabut).

2 9 Januari 2012 Terkait permohonan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 36 P/Hum/2011 yang mengabulkan permohonan Pemohon.

3 15 Februari 2012 Lima orang dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peradilan melakukan pelaporan ke Komisi Yudisial dengan register Nomor 0091/L/KY/II/2012.

4 28 Mei 2013 Komisi Yudisial mengeluarkan Keputusan Sidang Pleno Nomor 53/SP.KY/V/2013 yang menyatakan majelis hakim dalam Putusan Nomor 36 P/Hum/2011 telah melanggar KEPPH dan menjatuhkan sanksi ringan kepada dua orang anggota majelis hakim agung (yang belum pensiun) dengan teguran tertulis.

b. Dasar permohonan

Dari segi formal, pembentukan Surat Keputusan Bersama • (SKB) tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) adalah produk hukum yang melaksanakan

Korelasi Putusan Hakim.indd 12 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 33: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

13

BAB II

perintah undang-undang, sehingga SKB ini mempunyai kekuatan hukum mengikat karena diperintahkan oleh undang-undang.Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan uji • materiil terhadap butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 KEPPH.Pemohon sebagai badan hukum privat, kelompok • masyarakat, dan/atau individu profesional telah memenuhi kualifikasi dan kedudukan.

c. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan

Dalam putusannya, majelis hakim telah membaca jawaban dari para Termohon. Namun, majelis hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat meruntuhkan dalil-dalil para Pemohon dalam permohonannya.

Ada banyak sisi dari pertimbangan hukum yang dimasukkan di dalam putusan ini. Namun, salah satu hal yang menarik untuk dianalisis dalam konteks penelitian berbasis pengaduan masyarakat ini adalah pertimbangan soal ada tidaknya konflik kepentingan antara majelis hakim dengan perkara yang ditanganinya (asas nemo judex in rex sua).1

Pertimbangan hakim (dengan modifikasi redaksional seperlunya) dalam kaitannya dengan asas ini adalah sebagai berikut :

Majelis hakim menetapkan untuk mengadili kasus ini • karena “hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang lengkap” (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

1 Dalam beberapa literatur, asas ini juga ditulis “nemo iudex in causa sua” yang berarti tiada seorang pun dapat menjadi hakim untuk kasusnya sendiri.

Korelasi Putusan Hakim.indd 13 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 34: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

14

BAB II

Kecuali Mahkamah Agung, tidak ada lagi badan peradilan • lain yang secara absolut berwenang menyidangkan permohonan hak uji materiil.Asas • “nemo judex in rex sua” ini seharusnya menjadi kekhawatiran Pemohon, bukan Termohon. Dalam kenyataannya, justru Termohon II yang berkeberatan, padahal kepentingannya paralel (sama) dengan Termohon I (Mahkamah Agung).Mahkamah Agung boleh memeriksa dan mengadili • produk bersama dengan badan lain, tidak semata-mata produk Mahkamah Agung sendiri, dan harus bertanggung jawab sendiri.Majelis hakim lalu menyatakan keberatan Termohon II

(Komisi Yudisial) terhadap terlanggarnya asas nemo judex in rex sua ini tidak beralasan nalar yang sehat (common sense), sehingga harus ditolak dan karenanya harus ditolak. Karena itu, dari segi formil atau prosedural hak uji materiil adalah cukup beralasan dan dapat diterima.

Atas dasar pertimbangan ini pula, maka pada amar putusan majelis hakim menerima permohonan dengan menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perudang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Sebagai konsekuensi, semua butir yang disebutkan di atas dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan memerintahkan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial untuk mencabut butir-butir di atas. Panitera Mahkamah Agung diperintahkan untuk mencantumkan petikan

Korelasi Putusan Hakim.indd 14 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 35: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

15

BAB II

putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara, serta biaya perkara sebesar satu juta rupiah dibebankan kepada para Termohon (Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial).

d. Dugaan Pelanggaran yang Dilaporkan

Para pelapor yang terdiri dari Tama S. Langkun, Refli Saputra, Choky Risda Ramadhan, Jamil Mubarok, dan Ilham Saenong dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peradilan menyatakan para hakim yang mengadili kasus dengan Nomor Putusan 36 P/HUM/2011 ini telah melanggar KEPPH, dengan alasan:

KEPPH adalah panduan keutamaan moral bagi hakim, • sehingga hakim agung sesungguhnya juga terikat pada KEPPH. Di sini ada conflict of interest.Hakim agung yang mengadili perkara ini telah melanggar • Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kahakiman yang mewajibkan hakim mengundurkan diri dari persidangan apabila ada kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. Pasal 17 ayat (6) kemudian menyatakan : ”Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.Hakim agung yang mengadili perkara ini telah melanggar • Angka 5.1.2 KEPPH dalam hal kewajiban berintegritas tinggi. Butir 5.1.2 KEPPH ini menegaskan, “Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki

Korelasi Putusan Hakim.indd 15 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 36: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

16

BAB II

konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan”.

e. Analisis Putusan

Jika dicermati, permohonan uji materiil ini berawal dari argumentasi tentang adanya inkonsistensi materi muatan SKB dengan dua undang-undang, yakni Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Agung.2

Perbandingan antara dua kelompok aturan itu adalah sebagai berikut :

2 Pada tanggal 5 Maret 2012, bertempat di Gedung YLBHI Jakarta, ketua tim analis penelitian ini, Shidarta, pernah diundang membawakan makalah untuk diskusi publik dengan tema “Pencabutan SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.” Sebagian dari uraian di dalam laporan ini mengutip pandangan yang bersangkutan.

Korelasi Putusan Hakim.indd 16 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 37: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

17

BAB II

Pasal-pasal dalam UU terkait yang dinilai dilanggar :

Butir-butir dalam SKB yang dinilai melanggar :

Pasal 40 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman :Dalam melakukan p e n g a w a s a n s e b a g a i m a n a dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial m e m p u n y a i tugas melakukan p e n g a w a s a n terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Butir 8 :8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.8.2. Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.8.3. Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.8.4. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada majelis hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada hakim yang memiliki konflik kepentingan.

Butir 10 :10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.10.2. Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.10.3. Hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain secara profesional.10.4. Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.

Pasal 41 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman :Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Pasal 32A UU Mahkamah Agung :Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Korelasi Putusan Hakim.indd 17 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 38: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

18

BAB II

Ada cara sederhana untuk memahami kedua kelompok aturan dalam tabel di atas, yakni dengan menganalisis masing-masing norma itu menurut (1) subjek norma, (2) operator norma, (3) objek norma, dan (4) kondisi norma. Fokus dari ketentuan yang dijadikan patokan pelanggaran adalah Pasal 40 ayat (2), sedangkan pasal-pasal lain hanya memberi penegasan tentang otoritas yang membuat KEPPH, sebagaimana disinggung dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Analisis terhadap semua ketentuan di atas akan menghasilkan suatu struktur aturan sederhana sebagai berikut:1. Subjek norma : Komisi Yudisial;2. Operator norma : wajib (perintah);3. Objek norma : bertugas melakukan

pengawasan perilaku hakim [berdasarkan KEPPH];3

4. Kondisi norma : a. dalam hal Komisi Yudisial melakukan pengawasan;b. dalam hal KEPPH telah ditetapkan oleh Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial.Jika mengacu pada struktur aturan di atas, maka dapat

langsung dipahami bahwa sejak awal niat para pemohon untuk pengujian materi ini adalah untuk mengurangi kewenangan Komisi Yudisial, sekalipun Mahkamah Agung justru diposisikan sebagai Termohon I dan Komisi Yudisial sebagai Termohon II.4

3 Keterangan di dalam tanda kurung siku [...] ini sebenarnya juga bisa diposisikan sebagai kondisi norma. Pengertian kondisi norma dalam analisis ini dimaknai luas, tidak hanya sekadar soal waktu dan tempat berlakunya norma, melainkan termasuk juga syarat-syarat dan sebab-akibat (kondisional) yang terkait dengan tindakan (kata kerja) sebagaimana tercantum pada objek norma. Biasanya kondisi norma bisa dikenali antara lain dari anak kalimat dengan diawali kata-kata: “dalam hal...,” “secara...,” atau “jika....” Juga kata-kata yang menunjukkan kondisi yang diharapkan akan terjadi bila melakukan tindakan itu, misalnya dengan kata-kata “untuk...,” “agar/supaya...” atau “sehingga...”.

4 Dengan status sebagai Termohon, MA mungkin dapat berkilah bahwa secara

Korelasi Putusan Hakim.indd 18 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 39: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

19

BAB II

Melalui struktur aturan itu juga dapat diketahui bahwa Komisi Yudisial baru diwajibkan menjalankan tugas pengawasan setelah ada KEPPH yang ditetapkan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Jika kewenangan dari subjek norma Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan eksternal berdasarkan sejumlah butir KEPPH ini dibatalkan, maka kewenangan melakukan pengawasan internal dari subjek norma Mahkamah Agung pun juga ikut pula terbatalkan.

Struktur aturan serupa seperti di atas dapat pula dibuat untuk setiap butir SKB yang dipermasalahkan. Namun, jika keseluruhan butir tersebut (kecuali butir 8.4) digabungkan, maka struktur aturannya kurang lebih menjadi sebagai berikut :1. Subjek norma : Setiap hakim2. Operator norma : wajib (perintah/keharusan)3. Objek norma :

a. mengetahui, mendalami, melaksanakan tugas pokok [sesuai perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan];

b. menghormati hak-hak para pihak [dalam proses peradilan];

c. berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara [secara sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku];

d. membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan [untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan];

institusional ia sebenarnya ikut “dikalahkan” dalam putusan ini, namun tidak dapat disangkal bahwa MA telah memberi apresiasi atas putusan ini. Dalam situs resmi MA, putusan ini ternyata dikategorikannya sebagai “yurisprudensi”. Untuk itu lihat: <http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/bd890ad5515aa04a691b00ec36c38c9a> akses tanggal 2 Maret 2012. Sayangnya tidak jelas kaidah hukum apa yang menjadi petunjuk adanya yurisprudensi dimaksud.

Korelasi Putusan Hakim.indd 19 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 40: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

20

BAB II

e. mengambil langkah-langkah memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi [untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik];

f. melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain [dalam menjalankan administrasi peradilan; secara tekun];

g. mengutamakan tugas yudisial di atas kegiatan yang lain [secara profesional];

h. menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak [dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya].

Khusus untuk butir 8.4, struktur aturannya dapat diformulasikan sebagai berikut:1. Subjek norma : Ketua Pengadilan/Hakim yang

ditunjuk;2. Operator norma : wajib (perintah/keharusan);3. Objek norma :

a. mendistribusian perkara kepada Majelis Hakim [secara adil dan merata];

b. menghindari pendistribusian perkara kepada hakim yang memiliki konflik kepentingan.

Sangat menarik bahwa yang dijadikan “sasaran tembak” pengujian adalah kedelapan butir KEPPH di dalam SKB, sementara butir induknya, yaitu angka 8 dan 10 sama sekali tidak dipermasalahkan. Angka 8 KEPPH bertajuk “Berdisiplin Tinggi,” sedangkan angka 10 KEPPH “Bersikap Profesional”.

Korelasi Putusan Hakim.indd 20 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 41: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

21

BAB II

Dengan dihapusnya butir-butir ini, berarti angka 8 dan 10 tidak lagi diberikan rumusan penerapannya, melainkan dibiarkan terumuskan secara abstrak. Amar Putusan Mahkamah Agung ini tidak eksplisit memerintahkan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan susun ulang butir-butir yang dicabut itu, sekalipun dalam pertimbangan ada disebutkan kata-kata: “...dan selanjutnya perlu disusun atau diterbitkan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dalam penerapannya untuk memperjelas dan memberikan definisi yang konkrit tentang bentuk-bentuk teknis pengawasan yang menjadi wewenang Mahkamah Agung dan pengawasan perilaku dan pelanggaran kode etik yang menjadi ranah kewenangan Komisi Yudisial,...”5

Apabila kedua kelompok struktur aturan ini dihadap-hadapkan, yaitu antara kelompok Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung versus kelompok penerapan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, maka sesungguhnya dapat dilihat bahwa secara eksplisit tidak ada pertentangan prinsip di antara kedua struktur itu.

Struktur aturan pertama dialamatkan ke Komisi Yudisial, sedangkan struktur kedua ditujukan kepada setiap hakim. Komisi Yudisial diperintahkan oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan dan hakim adalah sasaran pengawasannya. Untuk melakukan pengawasan itu, dikondisikan harus ada KEPPH yang ditetapkan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Amanat undang-undang itu sudah pula dilaksanakan melalui pemberlakuan SKB.

5 Ada analogi yang bisa diajukan dalam hal ini, yaitu terhadap putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003 ketika beberapa pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibatalkan oleh MK. Salah satu pasal yang dinyatakan tidak lagi mengikat adalah Pasal 158 yang memuat alasan-alasan pihak pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja. Dengan hapusnya pasal ini, tidak lalu berarti pengusaha tidak dapat memutuskan hubungan kerja.

Korelasi Putusan Hakim.indd 21 12/18/2015 3:30:43 PM

Page 42: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

22

BAB II

Permasalahan baru terlihat setelah pertimbangan-pertimbangan hukum dari majelis hakim disimak secara mendalam. Di situ terlihat bahwa analisis atas pertentangan struktur aturan KEPPH ternyata pertama-tama tidak dihadapkan dengan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana diajukan pemohon.

Pasal-pasal yang dikonfrontasikan melalui pertimbangan hakim justru pertama-tama adalah Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya ayat (4). Subjek norma dari pasal ini adalah Mahkamah Agung, tetapi oleh majelis dianggap berlaku juga secara mutatis mutandis bagi Komisi Yudisial dalam hal melakukan pengawasan eksternal.

Jika bunyi penafsiran majelis hakim itu diformulasikan ulang secara bebas, maka kurang lebih akan tampak buah penalaran mereka menjadi berbentuk silogisme berikut ini:

Premis mayor

Semua lembaga negara yang mengawasi hakim adalah institusi yang terlarang melaksanakan pengawasan yang dapat mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Premis minor

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mengawasi hakim.

Konklusi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah institusi yang terlarang melaksanakan pengawasan yang dapat mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Dalam silogisme di atas, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial diposisikan oleh majelis hakim pada posisi sejajar, yakni sebagai sesama lembaga pengawas. Baru pada penalaran berikutnya, majelis hakim menyatakan bahwa sumber

Korelasi Putusan Hakim.indd 22 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 43: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

23

BAB II

kewenangan kedua lembaga tersebut berbeda. Mahkamah Agung mendasarkan kewenangannya pada Pasal 39, sedangkan Komisi Yudisial pada Pasal 40 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Dengan menggunakan rumusan Pasal 40 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, majelis ingin menonjolkan kata “perilaku hakim” sebagai area pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini berbeda dengan area pengawasan Mahkamah Agung yang mencakup tiga bidang sekaligus, yaitu teknis yuridis, administrasi, dan perilaku hakim. Namun, majelis hakim kemudian menambahkan bahwa di bidang teknis yuridis pun ada kewenangan Komisi Yudisial, yakni dengan pembatasan hanya pada analisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 42 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).

Area kewenangan di atas lalu dipertentangkan dengan butir 8.1 yang menurut pertimbangan majelis sama sekali tidak masuk ke dalam cakupan kedua area itu. Prihal pengetahuan atau pemahaman, menurut majelis, masuk ke wilayah kognitif bukan wilayah perilaku (behavior).

Gaya bernalar demikian kembali dapat diformulasikan secara bebas dalam pola silogisme berikut:

P r e m i s mayor

Semua perilaku hakim dan teknis yuridis tertentu (analisis putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) adalah area pengawasan Komisi Yudisial.

P r e m i s minor

Kewajiban hakim mengetahui dan mendalami peraturan perundang-undangan adalah BUKAN perilaku hakim dan BUKAN teknis yuridis tertentu (analisis putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap).

Konklusi Kewajiban hakim mengetahui dan mendalami peraturan perundang-undangan adalah BUKAN area pengawasan Komisi Yudisial.

Korelasi Putusan Hakim.indd 23 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 44: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

24

BAB II

Sayangnya, majelis hakim tidak bersedia membaca rumusan butir 8.1 secara lengkap. Butir 8.1 tidak boleh dipotong hanya sampai pada kata-kata “mengetahui dan mendalami”, tetapi harus diteruskan sampai pada “SERTA melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku...(dan seterusnya)”. Kata sambung “SERTA” pada rumusan itu menunjukkan keseluruhan rumusan butirnya sebagai satu kesatuan.

Selain butir 8.1, ada butir lain yang juga dimaknai sama, yaitu butir 10.4. Bunyi butir itu adalah: “Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya”. Menurut majelis hakim, pasal ini adalah di dalam wilayah kognisi. Apakah benar demikian?

Untuk memetakan secara tegas mana yang termasuk wilayah kognisi dan mana wilayah perilaku, seyogianya digunakan analisis dengan menggunakan dasar teoretis tertentu. Majelis Hakim Mahkamah Agung, sayangnya, sama sekali tidak bersedia menunjukkan dasar referensi mereka.

Apa yang disampaikan oleh Sussanne K. Langer dalam bukunya “Philosophy in A New Key” (1948) dan “Feeling and Form” (1952) mungkin bisa membantu memberikan pembedaan antara konsep “wilayah koginisi” dan “wilayah perilaku” sebagaimana disebut-sebut dalam putusan. Menurut filsuf Amerika keturunan Jerman tersebut, pada saat kita mendapatkan informasi tertentu, maka informasi itu akan kita cerna dalam bentuk diskursif. Cernaan ini memang sepenuhnya bersifat kognitif.

Jadi bila diterapkan dalam konteks butir 8.1, berarti tatkala hakim mendapat informasi-informasi terkait fakta hukum dan dasar hukum untuk kasus yang ditanganinya, ia wajib mencerna semua informasi itu. Pencernaan ini, sekali lagi,

Korelasi Putusan Hakim.indd 24 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 45: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

25

BAB II

dilakukan secara kognitif. Pada langkah berikutnya, hakim tentu harus menuangkan hasil serapan kognitifnya itu dalam format putusan. Penuangan ini termasuk kategori presentasional, yang oleh Sussanne K. Langer dinyatakan sebagai karya yang bersifat ekspresif.

Dengan meminjam kerangka berpikir demikian, jelaslah bahwa ada perbedaan wilayah kognisi dan wilayah perilaku. Sesuatu yang masih berada di dalam wilayah kognisi, tidak akan mungkin bisa diamati. Namun, ketika serapan kognisi itu diekspresikan menjadi sebuah karya presentasional, ia menjadi dapat diamati oleh orang lain lagi. Orang lain ini kembali melakukan serapan kognitifnya, untuk mungkin akan diekspresikan lagi kepada orang lain berikutnya. Dapat diduga, bahwa pada setiap karya presentasional yang baru, sangat terbuka ada penambahan atau pengurangan dari karya persentasional sebelumnya. Demikian rangkaian seperti itu terus berulang.6

Jadi, apabila hakim menerbitkan sebuah putusan, maka putusan itu hakikatnya adalah suatu karya presentasional yang bersifat ekspresif. Dengan meminjam kalimat Majelis Hakim Mahkamah Agung ini, wilayah ekspresif ini disebutkan sebagai “wilayah perilaku”. Justru karena sudah masuk ke dalam wilayah perilaku itulah, maka putusan itu dapat dicermati dan diberikan penilaian orang lain. Artinya, mustahil bagi Komisi Yudisial untuk dapat menilai wilayah kognisi hakim sebelum hakim itu menuangkannya ke dalam putusan.

Argumentasi di atas dapat saja dibantah oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dengan menyatakan bahwa kekurangpengetahuan dan kekurangpendalaman hakim itu seharusnya tidak perlu dinilai oleh Komisi Yudisial, tetapi bisa

6 Tentu tidak semua karya presentasional harus dicerna secara kognitif dan diekspresikan kembali. Sebagai contoh, apabila kita mendengar sebuah lagu asing yang makna syairnya tidak dimengerti , kita tentu tetap bisa menikmati lagu itu sebagai sebuah karya estetis. Juga tidak ada keharusan pula, misalnya, untuk menyanyikan kembali atau mengomentari lagu tersebut kepada pihak lain.

Korelasi Putusan Hakim.indd 25 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 46: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

26

BAB II

dinilai melalui mekanisme upaya hukum sebagaimana diatur dalam hukum acara.

Komisi Yudisial jelas tidak dapat ikut serta dalam pengawasan melalui mekanisme upaya hukum ini. Oleh sebab itulah Komisi Yudisial disebut sebagai pengawas eksternal. Kendati demikian, perlu diingat bahwa setiap putusan hakim selalu diucapkan di muka umum. Menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, putusan hakim juga termasuk kategori informasi publik. Dengan demikian, pada detik putusan itu dibacakan, pada detik itu juga putusan itu menjadi milik publik (public domain).

Selain itu, publik pun (khususnya komunitas hukum), sangat perlu untuk diajak ikut serta mencermati putusan-putusan pengadilan, mengingat konsekuensi yang tidak kecil dari berlakunya jargon “res judicata pro veritate habetur”. Dengan demikian, sebenarnya sah-sah saja jika putusan pengadilan yang telah dipublikasikan itu dinilai oleh publik. Apabila publik diberi keleluasaan untuk menilai, mengapa Komisi Yudisial harus dikecualikan dari keleluasaan demikian?

Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan ini kurang lebih mengatakan bahwa Komisi Yudisial perlu “dikecualikan” dari keleluasaan demikian karena dengan keleluasaan itu terbuka peluang bagi Komisi Yudisial untuk mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Misalnya, Komisi Yudisial dikhawatirkan akan berwenang memanggil hakim-hakim yang diduga telah melakukan kekeliruan itu, sehingga hal ini dipandang termasuk ke dalam kategori membahayakan kemandirian hakim.

Untuk tidak menunjukkan pandangan majelis hakim yang tendensius menolak keberadaan Komisi Yudisial dan KEPPH, Majelis Hakim Mahkamah Agung kemudian dalam pertimbangannya mencoba sedikit menetralisasi pandangannya dengan kata-kata sebagai berikut:

Korelasi Putusan Hakim.indd 26 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 47: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

27

BAB II

Akan tetapi Majelis Hakim berpendapat, jika memang ditemukan oleh Komisi Yudisial adanya indikasi yang didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup bahwa kekeliruan itu dilakukan dengan sengaja, masalah ini masuk ke dalam wilayah pengawasan “perilaku”, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial secara sendiri atau bersamaan. Pernyataan dalam pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah

Agung ini sangat penting untuk dicermati secara hati-hati karena berpotensi memunculkan kesesatan petitio principii. Majelis hakim mengatakan Komisi Yudisial boleh melakukan pengawasan jika ditemukan adanya bukti awal yang cukup tentang kesengajaan kekeliruan hakim terhadap penerapan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, khususnya butir 8.1 dan 10.4.

Konteks pengawasan demikian, menurut majelis hakim, termasuk ke dalam wilayah pengawasan perilaku. Berangkat dari rumusan pertimbangan hukum versi Majelis Hakim Mahkamah Agung tersebut, maka kurang lebih dapat dipaparkan definisi wilayah pengawasan perilaku itu akhirnya menjadi sebagai berikut:7

Wilayah pengawasan perilaku adalah area kewenangan Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung dalam menindaklanjuti temuan yang mengindikasi hakim untuk sengaja keliru dalam menerapkan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, dengan persyaratan bahwa temuan itu didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup.Apabila benar inilah tawaran formulasi ulang atas rumusan

butir-butir 8.1 dan 10.4 yang disarankan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung, maka bagi Komisi Yudisial sebenarnya tidak

7 Dalam kaitannya dengan supra catatan kaki nomor 4, seandainya ingin tetap juga dicari ada tidaknya sebuah kaidah yurisprudensi dalam putusan ini, maka barangkali formulasi tentang makna “wilayah pengawasan perilaku” inilah yang mendekati sebuah penemuan hukum. Penafsiran atas pengertian ini jelas merestriksi makna butir 8 dan 10 KEPPH. Lazimnya sebuah penemuan hukum yang bernilai tinggi sebagai yurisprudensi diperoleh dari penafsiran yang memperluas, bukan mempersempit.

Korelasi Putusan Hakim.indd 27 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 48: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

28

BAB II

harus ada keberatan yang berarti. Sebab, Komisi Yudisial berarti diminta untuk selalu melengkapi temuan-temuannya dengan bukti awal yang cukup.

Dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti awal ini, Komisi Yudisial berarti sangat boleh menganalisis putusan-putusan yang mengindikasikan keganjilan tertentu. Bukankah sebagian besar indikasi itu justru bertolak dari putusan? Oleh karena putusan hanya terdiri dari kumpulan teks, maka kesengajaan kekeliruan itu tidak akan dapat ditemukan di sana. Cara satu-satunya yang paling elegan adalah dengan meminta klarifikasi langsung dari hakim dan/atau pihak-pihak lain terkait di dalam perkara itu.

Pada titik ini perdebatannya menjadi sangat klasik, yaitu analisis putusan dan permintaan klarifikasi ini lalu ditafsirkan sebagai bentuk “ancaman” terhadap kemandirian hakim dan/atau intervensi ke dalam ranah teknis yudisial. Padahal, jika saja cara-cara permintaan keterangan itu disiapkan dan disepakati bersama, maka perdebatan seputar hal teknis ini seharusnya dapat diakhiri. Pekerjaan penyusunan tata cara dan instrumen demikian memang tidaklah mudah, tetapi dengan antara lain bantuan ahli-ahli etika profesi dan para profesional hukum, tidak ada kesulitan yang tidak bisa teratasi.

Dalam pertimbangan hukum yang diajukan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini, terdapat sebuah isu etis yang tampil ke permukaan. Saat majelis hakim memuat pertimbangan atas butir 10.4, tercantum kata-kata sebagai berikut: Kewenangan pengawasan teknis yuridis dilakukan oleh

Mahkamah Agung melalui penggunaan upaya-upaya hukum sesuai hukum acara oleh para pihak berperkara. Kewenangan Komisi Yudisial bersumber pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yaitu pengawasan atas perilaku hakim sebagai bentuk pengawasan eksternal. Dengan demikian, pengawasan eksternal oleh

Korelasi Putusan Hakim.indd 28 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 49: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

29

BAB II

Komisi Yudisial menurut ketentuan undang-undang harus semata-mata menyangkut “perilaku hakim” guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim. Kewenangan atas masalah teknis hukum hanya sebatas kewenangan menganalisis putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) sesuai ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, sehingga tidak ada dasar hukum kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk melakukan tugas pengawasan teknis hukum terhadap kasus yang belum berkekuatan hukum tetap.Sekalipun tidak eksplisit disebutkan, ada kesan

dari pertimbangan di atas, ditambah dengan amar berupa pencabutan atas delapan butir KEPPH, menggarisbawahi bahwa penghormatan hakim terhadap hukum acara dipandang hanya bersentuhan dengan masalah teknis yuridis yang ada dibawah kewenangan Mahkamah Agung untuk mengawasinya.

Atas dasar kesan ini, patut dipertanyakan, benarkah hukum acara (hukum formal) lebih bersentuhan pada dimensi hukum daripada dimensi etis? Apabila mengikuti pandangan demikian, kita disadarkan bahwa uraian tentang moralitas (sebagai bahan kajian etika) menjadi penting untuk diangkat kembali. Ulasan berikut ini, sekalipun agak berbau filosofis, kiranya diperlukan untuk mendudukkan secara tepat dan proporsional tentang hakikat pengawasan yang seyogianya diperankan oleh Komisi Yudisial.

Pandangan Lon F. Fuller berikut ini mungkin menarik untuk disimak. Lon F. Fuller dalam bukunya “The Morality of Law” (1969) pertama-tama membedakan antara moralitas kewajiban (the morality of duty) dan moralitas aspirasi (the morality of aspiration). Moralitas kewajiban ditujukan kepada para warga masyarakat, sedangkan moralitas aspirasi diarahkan ke individu.

Moralitas kewajiban selalu terbuka untuk diubah atau ditransformasikan ke hukum positif. Moralitas ini juga bisa

Korelasi Putusan Hakim.indd 29 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 50: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

30

BAB II

dipaksakan dengan sanksi. Di sisi lain, moralitas aspirasi lebih ditujukan untuk kesempurnaan individu sebagai manusia yang baik. Moralitas demikian tidak bisa dipaksakan atau ditransformasikan ke hukum positif.

Moralitas kewajiban adalah moralitas hukum yang sebenarnya. Moralitas hukum ini masih bisa dibagi lagi menjadi moralitas hukum internal (inner morality of law) dan moralitas hukum eksternal (outer morality of law). Moralitas hukum internal berisi syarat-syarat formal yang harus dipenuhi agar suatu moralitas dapat disebut hukum. Sementara itu, moralitas hukum eksternal adalah syarat-syarat substansial agar hukum bisa berfungsi mencapai keadilan dan kebenaran.

Sampai disini segera dapat diketahui bahwa Lon F. Fuller menunjukkan betapa moralitas hukum internal itu bersinggungan langsung dengan hukum acara. Jadi, hukum acara sebenarnya ada di dalam aras internal sebuah sistem hukum. Ketika Fuller menunjukkan ada delapan prinsip legalitas, maka terlihat bahwa kedelapan prinsip legalitas itupun merupakan asas-asas penting hukum formal.

Dengan demikian, tuntutan agar hakim menghormati ketentuan hukum acara, dalam perspektif ini, harus dilihat sebagai tuntutan etis terhadap profesi hakim. Dalam ketentuan-ketentuan formal itu diberikan koridor perilaku supaya aparat penegak hukum, termasuk hakim, tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya. Komisi Yudisial dengan demikian tidak akan keliru bila tetap menjadikan penghormatan hakim terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara dalam sebuah putusan sebagai indikasi atas dugaan pelanggaran KEPPH.

Terlihat bahwa conflict of interest dengan sendirinya benar telah terjadi. Alasan bahwa majelis hakim menetapkan untuk tetap mengadili kasus ini karena “hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang lengkap” (Pasal 10 ayat [1] Undang-Undang Nomor 48 Tahun

Korelasi Putusan Hakim.indd 30 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 51: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

31

BAB II

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) telah dimaknai secara keliru, sehingga maknanya jadi meleset seakan-akan setiap perkara wajib ditangani apapun alasannya.

Dugaan pelanggaran KEPPH terlihat dari konstelasi para pemohon yang cukup “aneh” karena berasal dari para advokat. Mereka mempersoalkan butir-butir 8 dan 10 KEPPH ini. Padahal justru cukup banyak advokat yang melakukan pelaporan ke Komisi Yudisial dengan menggunakan dalih pelanggaran kedua butir ini.

Sekalipun Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dijadikan sebagai pihak terlapor, pada hakikatnya pihak terlapor “tunggal” dalam pengujian ini adalah Komisi Yudisial. Hal ini terlihat dari pertimbangan majelis hakim yang menegaskan: (1) Asas “nemo judex in rex sua” ini seharusnya menjadi kekhawatiran pemohon, bukan termohon. Dalam kenyataannya justru Termohon II yang berkeberatan, padahal kepentingannya paralel (sama) dengan Termohon I (Mahkamah Agung) dan (2) Mahkamah Agung boleh memeriksa dan mengadili produk bersama dengan badan lain di mana tidak semata-mata produk Mahkamah Agung sendiri dan harus bertanggung jawab sendiri.

Apabila Mahkamah Agung setuju bahwa SKB merupakan bentuk peraturan perundang-undangan, maka seharusnya Mahkamah Agung paham bahwa SKB pada dasarnya adalah keputusan internal yang bisa dipandang berdiri sendiri. Indikatornya dapat dilihat dari penomoran surat yang berbeda. SKB yang memuat KEPPH diberi nomor masing-masing oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Tidak ada SKB dengan satu nomor surat. Jadi, seharusnya wajib dibaca bahwa Mahkamah Agung menganggap keputusan itu adalah produk lembaganya, demikian pula halnya dengan Komisi Yudisial. Secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bertanggung jawab atas produk ini.

Korelasi Putusan Hakim.indd 31 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 52: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

32

BAB II

Oleh sebab itu, Mahkamah Agung yang menerima pengujian materiil Surat KePutusan Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 ini adalah perbuatan menguji “peraturan perundang-undangan” produk sendiri. Pernyataan Mahkamah Agung bahwa “Mahkamah Agung boleh memeriksa dan mengadili produk bersama dengan badan lain, tidak semata-mata produk Mahkamah Agung sendiri dan harus bertanggung jawab sendiri” menyiratkan kesesatan bernalar yang fatal.

f. Simpulan

Secara implisit terlihat bahwa Putusan Nomor 36 P/HUM/2011 mendapat “dukungan” kuat dari majelis hakim sekaligus dari insitusi Mahkamah Agung karena beberapa indikasi:

Isu yang diangkat dari perkara ini merupakan kelanjutan • dari polemik yang berkembang, yaitu keberatan dari Mahkamah Agung terhadap tindakan Komisi Yudisial yang dinilai sudah mencampuri urusan teknis yudisial. Pintu masuk yang harus ditutup oleh Mahkamah Agung, dengan demikian adalah derivasi butir 8 dan butir 10 KEPPH.Para pemohon notabene adalah kalangan advokat • seluruhnya dan beberapa di antara mereka merupakan mantan hakim agung, yang secara faktual tidak langsung bersinggungan dengan kepentingan untuk menghilangkan eksistensi derivasi dari butir 8 dan butir 10 KEPPH.Alasan majelis untuk menerima pengujian SKB tentang • KEPPH dengan dalih bahwa aturan ini merupakan produk peraturan perundang-undangan dan Mahkamah Agung tidak dapat dianggap memeriksa dan mengadili peraturannya sendiri hanya karena SKB adalah produk bersama, memperlihatkan cara bernalar yang keliru.

Korelasi Putusan Hakim.indd 32 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 53: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

33

BAB II

g. Catatan atas Laporan

Laporan yang ditujukan kepada Komisi Yudisial oleh Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peradilan memang tidak dapat direspon lebih maksimal oleh Komisi Yudisial, kecuali dengan menyatakan bahwa laporan ini sudah diproses dan sudah diberi keputusan. Anggota Komisi Yudisial tidak cukup kompak untuk mencapai kesimpulan akhir secara aklamasi karena ada satu anggota yang menyatakan dissenting opinion.

Terlepas dari diskresi yang dimiliki oleh para Anggota Komisi Yudisial dalam menjatuhkan keputusan di dalam sidang pleno, kesimpulan bahwa para hakim terlapor sudah melakukan pelanggaran ringan KEPPH menjadi sebuah pertanyaan tersendiri. Pertanyaan tersebut adalah: apakah hakim yang mengadili suatu perkara atau permohonan yang di dalamnya terkandung “conflict of interest” dapat dianggap sebagai pelanggaran ringan?

Ada dua posisi yang sebenarnya bisa dipermasalahkan dalam konteks para pemohon dalam kasus ini. Kedua posisi ini dapat dibedakan menjadi dua situasi, yaitu normal dan tidak normal. Jika diasumsikan dalam keadaan “normal” permohonan oleh para advokat di atas memang benar tidak menguntungkan untuk diajukan. Hal ini terjadi karena pemohon akan berhadapan dengan Termohon I (Ketua Mahkamah Agung) dan Termohon II (Ketua Komisi Yudisial). Asumsinya, Termohon I dan Termohon II berada dalam satu posisi yang sama.

Argumentasi dari Pemohon benar, jika diasumsikan ada “conflict of interest” maka Pemohon justru adalah pihak yang berpeluang untuk dirugikan karena majelis hakim yang memiliki benturan kepentingan ini diasumsikan akan memutus untuk kepentingan Termohon.

Korelasi Putusan Hakim.indd 33 12/18/2015 3:30:44 PM

Page 54: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

34

BAB II

Asumsi di atas bisa jadi keliru apabila diasumsikan situasinya sudah tidak lagi normal. Apabila digambarkan akan tampak seperti skema berikut ini:

Di sini terlihat bahwa Pemohon dan Termohon I sangat mungkin berada dalam satu posisi yang sama. Situasi ini jelas bukan situasi yang normal. Namun, dari banyaknya kritik yang muncul dari sejumlah hakim Mahkamah Agung terhadap sikap dan tindakan Komisi Yudisial dapat dimengerti jika ada anggapan bahwa Pemohon sebenarnya sedang menyuarakan kepentingan Termohon I.

Korelasi Putusan Hakim.indd 34 12/18/2015 3:30:45 PM

Page 55: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

35

BAB II

Bagir Manan (2006: 9-11), misalnya, meyakini bahwa Komisi Yudisial bukanlah badan yang menjalankan kekuasaan kehakiman sehingga wewenangnya untuk “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” tidak boleh dilepaskan dari kedudukan tersebut. Komisi Yudisial dilarang campur tangan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman, baik dalam proses peradilan maupun putusan atau penetapan pengadilan.

Berangkat dari pemahaman Bagir Manan tersebut, maka Butir 8 dan 10 KEPPH dapat saja lalu dipahami sebagai “kekeliruan” yang harus diperbaiki. Permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh 31 orang Hakim Mahkamah Agung terkait Undang-Undang Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006) merupakan petunjuk yang kasat mata terkait situasi yang “tidak normal” di atas. Dengan demikian, posisi Pemohon untuk mengajukan uji materiil atas SKB KEPPH dalam konteks kasus ini justru sangat diuntungkan.

Putusan Perkara 2 s.d. 6B.

Perkara Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi8 jo Nomor 03/Pdt/2011/PT.Sultra

Perkara Nomor 11/Pdt.G/1989/PN.Kdi jo Nomor 44/Pdt/1990/PT.Sultra jo Nomor 2027/K/Pdt/1991 jo Nomor 699/PK/Pdt/1996

Perkara Nomor 37/Pdt.G/2001/PN.Kdi jo Nomor 65/Pdt.G/2002/PT.Sultra jo Nomor 3234 K/Pdt/2003

8 Menurut pelapor di Komisi Yudisial, ada kesalahan penulisan nomor perkara. Seharusnya Nomor 16/Pdt.G/2009/PN.Kdi.

Korelasi Putusan Hakim.indd 35 12/18/2015 3:30:45 PM

Page 56: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

36

BAB II

Identitas Perkara

Isu kunci :• Sengketa kepemilikan tanah. Ada lima putusan hakim yang satu sama lain saling

berkaitan karena mencakup duduk perkara yang sama. Oleh sebab itu, kelima putusan ini akan dianalisis sekaligus. Dari lima putusan tersebut, dua putusan pertama menjadi putusan kunci yang dilaporkan ke Komisi Yudisial.

Para Pihak :• - Siti Chaerani Kaimuddin (Penggugat/Terbanding);- Hj. Gusti Aminah K. Jusuf, dkk. (Tergugat/

Pembanding).Majelis Hakim :• - Majelis Hakim Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/

PN.Kdi.- Majelis Hakim Putusan Nomor 03/Pdt/2011/PT

Sultra.

a. Posisi Kasus

No Waktu Peristiwa

1 Tahun 1976 Terdapat tanah seluas 2.529 m2 di Kota Kendari milik Tantuang Daeng Mangepe. Karena Tantuang dan isteri memiliki utang ke Bank BNI 46 Cabang Kendari dengan nilai jaminan Rp 3 juta, maka Tantuang minta bantuan H. Sufu Yusuf mengambil alih utang ini. Dengan pengambilalihan utang ini, tanah dan bangunan menjadi milik H. Sufu Yusuf (Akta Jual Beli Nomor 173/Kdi/1976).

2 7 Februari 1989

Tantuang dan isteri menggugat H. Sufu Yusuf dengan alasan tanah dan bangunan (pavilion) ini belum dilunasi.

Korelasi Putusan Hakim.indd 36 12/18/2015 3:30:45 PM

Page 57: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

37

BAB II

3 20 Maret 1990 Keluar Putusan PN Nomor 11/Pdt.G/1989/PN.Kdi. yang memenangkan Tantuang. Atas Putusan PN Kendari, H. Sufu Yusuf mengajukan banding.

4 3 Oktober 1990

Keluar Putusan PT Sultra Nomor 44/Pdt/PT Sultra yang memenangkan H. Sufu Yusuf. Amarnya membatalkan Putusan Nomor 11/Pdt.G/1989. Atas dasar Putusan PT ini Tantuang mengajukan kasasi.

5 15 Februari 1996

Keluar Putusan Nomor 2027 K/Pdt/1991 yang memenangkan Tantuang dengan membatalkan Putusan PT. Tanah dan bangunan dinyatakan sah milik Tantuang. Atas dasar putusan ini, kemudian H. Sufu Yusuf mengajukan peninjauan kembali.

6 28 Januari 1997

Sebelum Putusan PK keluar, Tantuang menjual tanah ini ke Siti Chaerani Kaimuddin. Jual beli dilakukan di hadapan PPAT dan bersertifikat hak milik Nomor 1987/Kel.Kemaraya GS Nomor 1277/1994 atas nama Chaerani Kaimuddin.

7 9 Juli 1998 Muncul Putusan PK Nomor 699/PK/Pdt/1996 yang menyatakan tanah dan bangunan ini milik H. Sufu Yusuf.

8 22 April 2002 Atas dasar Putusan PK ini, ahli waris H. Sufu Yusuf, yaitu Hj. Gusti Aminah K. Jusuf menggugat Tantuang. Gugatannya didaftarkan di PN Kendari dengan Nomor 37/Pdt.G/2001/PN. Kdi. Pengadilan lalu menjatuhkan putusan yang menyatakan Hj. Aminah adalah ahli waris yang sah dari H. Sufu Yusuf. Jual beli antara Chaerani Kaimuddin dan Tantuan tidak sah. Juga menghukum Chaerani untuk mengosongkan dan menyerahkan ke Hj. Aminah tanpa syarat apapun. Siti Chaerani dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 1,142 miliar. Perbuatan para tergugat (Tantuang dan isteri serta Siti Chaerani) sebagai perbuatan melawan hukum. Atas dasar putusan ini, Tantuang mengajukan banding.

Korelasi Putusan Hakim.indd 37 12/18/2015 3:30:45 PM

Page 58: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

38

BAB II

9 27 November 2002

Keluarlah Putusan PT Sultra Nomor 65/Pdt/2002/PT.Sultra yang tetap memenangkan Hj. Gusti Aminah (Tantuang tetap kalah). Putusan ini juga menyatakan Siti Chaerani (Tergugat III) adalah pembeli yang beritikad baik. Tantuang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tergugat I (Tantuang) dan Tergugat II (isteri Tantuang) dihukum membayar ganti rugi kepada Aminah (Penggugat/termohon banding) sebesar Rp 1,031 miliar. Atas pernyataan PT Sultra bahwa Siti Chaerani adalah pembeli yang beritikad baik, maka Gusti Aminah mengajukan kasasi.

10 21 November 2007

Muncul Putusan Kasasi Nomor 3234 K/Pdt/2003 yang menolak gugatan Gusti Aminah (Pemohon Kasasi) dan menyatakan PT Sultra telah benar menerapkan hukum. Atas dasar putusan ini, Siti Chaerani mengajukan gugatan ke Gusti Aminah.

11 13 Oktober 2009

Keluar Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi (konon nomor yang benar adalah Nomor 16/Pdt.G/2009) yang memenangkan Siti Chaerani. Putusan menyatakan tanah sah sebagai milik penggugat (Siti Chaerani). Untuk itu, pengadilan menghukum tergugat (Gusti Aminah) untuk mengosongkan rumah dan menyerahkannya ke penggugat (Siti Chaerani). Atas putusan ini, Aminah mengajukan banding.

12 2 Maret 2010 Keluar Putusan Nomor 03/Pdt/2010/PT.Sultra yang tetap memenangkan Siti Chaerani dengan menguatkan putusan PN Nomor 16/Pdt.G/2008. Atas putusan ini, Gusti Aminah berusaha mengajukan kasasi, tetapi dinyatakan tidak bisa karena terlambat.

Korelasi Putusan Hakim.indd 38 12/18/2015 3:30:45 PM

Page 59: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

39

BAB II

13 15 April 2012 Gusti Aminah mengadu ke Komisi Yudisial dan terdaftar dengan Nomor 35/SP.KY/IV/2013. Untuk itu Komisi Yudisial menyatakan semua terlapor, baik para hakim yang mengadili Perkara Nomor 16/Pdt.G/2008 dan Nomor 03/Pdt/2010/PT.Sultra sebagai telah melanggar butir 8 dan butir 10 KEPPH dan untuk itu diberikan peringatan tertulis agar lebih berhati-hati membuat putusan.

b. Dasar Gugatan

Ada banyak putusan saling berseliweran terkait tanah sengketa di Kota Kendari ini, mulai dari tingkat pengadilan negeri sampai ke Mahkamah Agung, bahkan ke upaya luar biasa Peninjauan Kembali. Pada hakikatnya, dasar gugatan dan upaya-upaya hukum kasus perdata ini adalah klaim kepemilikan

Korelasi Putusan Hakim.indd 39 12/18/2015 3:30:45 PM

Page 60: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

40

BAB II

atas tanah berdasarkan alat-alat bukti yang ditunjukkan oleh masing-masing pihak.

Secara garis besar ada tiga kelompok para pihak dalam kasus yang berlarut larut ini, dengan dalihnya masing-masing, yaitu :

Tantuang Daeng Mangapeng dan keluarga (memiliki • tanah dan bangunan di atasnya karena H. Sufu Yusuf belum pernah melunasi tanah tersebut). Siti Chaerani (membeli tanah sengketa ini dari Tantuang • sebagai pembeli yang beritikad baik).H. Sufu Yusuf dan keluarga serta ahli warisnya Gusti • Aminah (memiliki tanah dan bangunan di atasnya dengan akta jual beli dari Tantuang berdasarkan kesepakatan karena Sufu Yusuf telah mengambil alih utang Tantuang di Bank BNI-46 Cabang Kendari).

c. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan

Amar Putusan di tingkat Pengadilan Negeri Kendari Nomor 16/Pdt.G/2008 adalah sebagai berikut:

Mengabulkan gugatan penggugat sebagian.• Menyatakan tanah sengketa sebagai milik penggugat Siti • Chaerani.Menghukum para tergugat dan/atau siapa saja untuk • mengosongkan dan menyerahkan tanah sengketa dalam keadaan kosong.Menghukum para tergugat untuk membayar uang • paksa sebesar Rp 500 ribu setiap hari atas keterlambatan melaksanakannya sejak putusan dibacakan.Menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dulu • meskipun ada upaya hukum banding dan kasasi.

Korelasi Putusan Hakim.indd 40 12/18/2015 3:30:45 PM

Page 61: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

41

BAB II

d. Dugaan Pelanggaran yang Dilaporkan

Dugaan pelanggaran dilakukan secara berbeda-beda oleh para terlapor yang terdiri dari majelis hakim di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Secara umum mereka dinilai tidak cermat, khilaf, dan tidak profesional.

Terlapor I majelis hakim di pengadilan negeri dinilai tidak cermat menulis nomor perkara (tertulis tahun 2008, seharusnya 2009). Terlapor I juga tidak cermat ketika membaca Putusan Nomor 37/Pdt.G/2001/PN.Kdi jo Putusan Nomor 65/Pdt/2002/PT.Sultra jo. Putusan Nomor 3234 K/Pdt/2003.

Terlapor I khilaf karena mengartikan pembeli yang beritikad baik sama dengan pemilik tanah. Padahal maksudnya adalah membebaskan Tergugat III, IV, dan V dari ganti rugi atas bangunan dan tanaman tumbuh yang telah dihancurkan. Terlapor I juga bertindak tidak profesional karena tidak mempertimbangkan alat-alat bukti secara memadai (disebutkan beberapa contoh perbuatan).

Terlapor II majelis hakim di pengadilan tinggi dinilai khilaf mempertimbangkan kepemilikan objek sengketa hanya karena mengacu ke Putusan Kasasi Nomor 2027 K/Pdt/1991, padahal ada Putusan PK Nomor 699 PK/Pdt/1996 yang membatalkannya. Terlapor II juga tidak cermat membaca Putusan Nomor 37/Pdt.G/2001 tentang gugatan ganti rugi bangunan dan tanaman tumbuh, bukan mengenai ganti rugi tanah.

Atas dugaan pelanggaran ini, Terlapor I dan Terlapor II diduga melanggar Butir 8 (berdisiplin tinggi) dan Butir 10 (bersikap profesional).

e. Analisis Putusan

Dari sekian banyak putusan yang disampaikan, sebenarnya hanya ada dua putusan saja yang dipakai oleh pihak pelapor di

Korelasi Putusan Hakim.indd 41 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 62: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

42

BAB II

Komisi Yudisial, yaitu Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi dan Putusan Nomor 03/Pdt/2010/PN.Sultra. Oleh sebab itu, fokus analisis akan ditujukan pada kedua putusan ini.

Putusan pertama, yaitu Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi ini memenangkan Siti Chaerani Kaimuddin (penggugat) sebagai pemilik sah bangunan ini berdasarkan sertifikat hak milik yang dimiliknya. Putusan ini dapat dijalankan lebih dulu meskipun ada upaya hukum banding dan kasasi (uitvoerbaar bij voorraad).

Lawan dari Siti Chaerani Kaimuddin adalah 12 orang ahli waris dari H. Sufu Yusuf, yaitu Gusti Aminah K. Yusuf dkk. Jelas bahwa putusan ini merupakan kebalikan dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 699/PK/Pdt/1996 yang pada amar putusannya menyatakan Sufu Yusuf dan ahli warisnya sebagai pemilik tanah sengketa beserta bangunan/paviliun dan segala tanaman yang tumbuh di atasnya.

Perbuatan Tantuang Daeng Mangepe yang telah menjual tanah itu kepada orang lain (Siti Chaerani) adalah suatu perbuatan melawan hukum, sehingga penjual ini harus membayar ganti rugi sebesar harga tanah, rumah serta paviliun yang dijual itu kepada para penggugat (Sufu Yusuf dan ahli warisnya).

Apabila Putusan Peninjauan Kembali Nomor 699/PK/Pdt/1996 ini dijadikan pegangan berarti posisi kepemilikan sudah jelas ada di tangan Sufu Yusuf/Gusi Aminah. Masalah menjadi tidak sederhana karena posisi Siti Chaerani menjadi terkatung-katung. Apalagi ketika pengadilan mengatakan bahwa ia adalah pembeli yang beritikad baik.

Atas dasar posisinya sebagai “pembeli yang beritikad baik” ini, maka dalam Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi dinyatakan Siti Chaerani harus dilindungi. Untuk itu, tanah yang semula sudah dinyatakan menjadi milik Sufu Yusuf/Gusti Aminah berdasarkan Putusan Nomor 699/PK/Pdt/1996 harus

Korelasi Putusan Hakim.indd 42 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 63: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

43

BAB II

diserahkan lagi ke Siti Chaerani.Dalam pertimbangannya majelis hakim PN Kendari

menyatakan, dengan adanya Putusan PT Sultra Nomor 65/Pdt/2002/PT.Sultra tanggal 27 November 2002 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 3234 K/Pdt/2003 tanggal 21 November 2007, kepentingan penggugat sebagai pembeli beritikad baik haruslah dilindungi undang-undang, sehingga sertifikat hak milik Nomor 1987 yang didasarkan pada akta jual beli tanggal 21 Januari 1997 Nomor 02/Kdi/I/1987 yang dibuat oleh PPAT Camat Kendari adalah sah dengan demikian penggugat haruslah dinyatakan pemilik sah atas tanah tersebut.

P r e m i s mayor

Semua pembeli tanah yang beritikad baik adalah pihak yang harus dilindungi undang-undang dan akta jual beli yang dibuatnya di hadapan PPAT harus dinyatakan sah dan pemilik dari tanah objek sengketa.

P r e m i s minor

Siti Chaerani Kaimuddin adalah pembeli tanah yang beritikad baik (karena sudah dinyatakan di dalam putusan pengadilan).

Konklusi Siti Chaerani Kaimuddin adalah pihak yang harus dilindungi undang-undang dan akta jual beli yang dibuatnya di hadapan PPAT harus dinyatakan sah dan pemilik dari tanah objek sengketa.

Konsep “itikad baik” menjadi menarik untuk dicermati karena menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pada Pasal 1339 disebutkan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Asas itikad baik dapat dimaknai secara subjektif sebagai sikap jujur dalam membuat dan melaksanakan perjanjian (goede trouw). Dalam praktik, tentu tidak mudah untuk mengidentifikasi

Korelasi Putusan Hakim.indd 43 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 64: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

44

BAB II

sikap jujur ini, sehingga dikembangkanlah indikator yang lebih objektif atas asas itikad baik tadi. Pasal 1339 yang memuat kata kepatutan (billijkheid) memperlihatkan suatu dimensi objektif dari itikad baik.

Banyak penulis sepakat, itikad baik memang harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual. Artinya, itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra-kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Jadi, fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bersifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut (Syarifuddin, 2012: 95-96).

Dalam literatur di Inggris misalnya, pernah dinyatakan ada putusan antara Interfoto Picture Library Ltd melawan Stiletto Visual Programmes Ltd (1989). Pada putusan ini, Hakim Bingham L.J. menulis sebagai berikut: “In many civil law system, … [good faith] does not simply mean that they should not deceive each other, a principle which any legal system must recognise; its effect is perhaps most aptly conveyed by such metaphysical colloquialisms as ‘playing fair’, ‘coming clean’ or ‘putting one’s cards face up on the table’. It is in essence a principle of fair and open dealing” (Elliott & Quinn, 2005: 140).

Dari pernyataan Bingham tersebut, minimal dapat dipahami bahwa itikad baik memang bersentuhan dengan “fair and open dealing”. Artinya, proses transaksi menjadi tolok ukur yang penting.

Dalam tradisi common law system, ada itikad baik yang disebut “good faith performance” dan “good faith purchase”. Itikad baik yang pertama bersinggungan dengan langkah-langkah para pihak selama mengikat perjanjian. Mereka harus menunjukkan kepatutan (reasonableness) dalam mengambil tindakan sehingga tidak ada pihak yang sengaja dirugikan dari transaksi ini. Sebagai contoh, mereka sudah melakukan pengecekan ke instansi yang berwenang untuk mendapatkan kepastian status tanah.

Korelasi Putusan Hakim.indd 44 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 65: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

45

BAB II

Sementara itu apa yang disebut “good faith purchase” merupakan kondisi mental para subjek hukum yang terlibat jual beli tadi. Apabila pihak pembeli sudah secara patut mengupayakan mendapatkan informasi atas kondisi tanah itu, dan ternyata di belakang hari ia baru tahu bahwa informasi yang diterimanya keliru atau tidak lengkap, maka pembeli ini layak disebut pembeli yang beritikad baik.

Dalam contoh kasus ini, Siti Chaerani dapat disebut sebagai pembeli yang beritikad baik apabila ia memang sudah melakukan segala tindakan yang cukup untuk menunjukkan bahwa ia diduga atau patut diduga memang tidak tahu bahwa tanah yang dibelinya sedang dalam proses di pengadilan. Harga tanah yang dibelinya juga dalam tataran nilai yang wajar (tidak terkesan harga yang sengaja dibanting karena status tanah yang belum jelas). Artinya, di sini perlu ada dua tolok ukur yang harus diperhatikan, yaitu terkait pada perilaku dan harga. Sangat disayangkan, majelis hakim dalam perkara ini tidak melakukan elaborasi terhadap Siti Chaerani yang membuat hakim sampai pada kesimpulan bahwa ia adalah pembeli yang beritikad baik.

Sangat tepat bahwa terhadap pembeli yang beritikad baik ini diberikan perlindungan, yang dalam hal ini pengaturannya mengacu pada Pasal 1491 KUH Perdata. Pasal ini menyatakan: “Penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu : pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram; kedua, terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”.

Dalam konteks kasus yang sedang dibahas, maka pihak-pihak yang terlibat adalah antara Tantuang Daeng Mangepe dan Siti Chaerani. Kewajiban Tantuang di sini yang memberikan penanggungan. Kewajiban penanggungan ini, menurut Pasal 1492 KUH Perdata tetap mengikat sekalipun tidak diperjanjikan terlebih dulu.

Korelasi Putusan Hakim.indd 45 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 66: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

46

BAB II

Pasal ini menyatakan: “Meskipun pada waktu penjualan dilakukan tiada dibuat janji tentang penanggungan, namun penjual adalah demi hukum diwajibkan menanggung pembeli terhadap suatu penghukuman untuk menyerahkan seluruh atau sebagian benda yang dijual kepada seorang pihak ketiga, atau terhadap beban-beban yang menurut keterangan seorang pihak ketiga memilikinya tersebut dan tidak diberitahukan sewaktu pembelian dilakukan.”

Karena tidak diperjanjikan, Siti Chaerani sebagai pembeli yang beritikad baik dan menghormati putusan pengadilan, seharusnya mengajukan gugatannya ke pihak Tantuan Daeng Mangepe yang menjadi pihak penjual menuntut agar uang yang sudah dikeluarkan dapat dikembalikan.

Pasal 1267 KUH Perdata menegaskan, “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga”.

Dalam konteks putusan ini, majelis hakim PN Kendari memang terkesan salah memaknai pengertian “perlindungan baik pembeli yang beritikad baik” ini dengan mengartikannya sebagai pemilik sah dari objek yang dibelinya. Majelis mengabaikan kenyataan bahwa sudah terdapat putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan bahwa di luar pembeli yang beritikad baik tersebut sudah terdapat pemilik sah yang lain.

Pembeli ini beritikad baik, tetapi ia tidak cukup hati-hati karena telah membeli objek tanah yang masih dalam sengketa pengadilan. Oleh sebab itu, sudah tepat apabila pihak penjual (Tantuang Daeng Mangepe) yang diwajibkan mengembalikan uang penjualan yang sudah diterimanya dari Siti Chaerani. Dengan menyatakan bahwa tanah sengketa tersebut adalah milik Siti Chaerani dengan sendirinya telah mementahkan putusan lembaga peradilan sebelumnya. Ada ketidakpastian hukum

Korelasi Putusan Hakim.indd 46 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 67: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

47

BAB II

baru yang diciptakan, karena pengadilan justru memunculkan dua pemilik yang sah atas satu bidang tanah yang sama.

Ada beberapa hal menarik dari pertimbangan Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi ini. Dalam eksepsinya, tergugat (Gusti Aminah) menyatakan gugatan dari pihak penggugat (Siti Chaerani) seharusnya dinyatakan ne bis in idem. Majelis hakim mengutip Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1972 tanggal 23 Juli 1973 yang menyatakan bahwa apabila dalam perkara baru ternyata para pihak berbeda dengan pihak dalam perkara yang sudah diputus terlebih dulu, maka tidak ada ne bis in idem.

Ketika perkara ini dibawa ke tingkat pengadilan tinggi, maka Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dalam Putusan Nomor 03/Pdt/2010/PT.Sultra menyatakan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Kendari. Apabila dicermati, sebenarnya tidak ada subjek dan objek baru di dalam perkara ini. Semula, yang berperkara adalah dua kelompok pihak, yaitu Tantuan vs Sufu Yusuf. Gusti Aminah adalah ahli waris dari Sufu Yusuf, sehingga mereka adalah satu kesatuan subjektif.

Masuknya subjek baru, Siti Chaerani ke dalam kasus ini adalah karena yang bersangkutan bertindak sebagai pembeli tanah, yang notabene tatkala proses pembelian terjadi tanah itu masih menjadi objek sengketa (sudah diputuskan di tingkat kasasi, tetapi diajukan peninjauan kembali).

Dua kelompok putusan : Pertama, Putusan Nomor 11/Pdt.G/1989/PN.Kdi jo Nomor 44/Pdt/1990/PT.Sultra jo Nomor 2027/K/Pdt/1991 jo Nomor 699/PK/Pdt/1996 dan Kedua, Putusan Nomor 37/Pdt.G/2001/PN.Kdi jo Nomor 65/Pdt.G/2002/PT.Sultra jo Nomor 3234 K/Pdt/2003, pada hakikatnya mengandung pihak-pihak yang sama. Memang baru pada kelompok putusan Ketiga, yaitu Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi jo Nomor 03/Pdt/2011/PT.Sultra, muncul nama penggugat Siti Chaerani, kendati nama ini sudah muncul

Korelasi Putusan Hakim.indd 47 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 68: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

48

BAB II

sebagai pihak juga di dalam kelompok putusan sebelumnya.Terlepas dari anggapan majelis bahwa subjek dari perkara-

perkara di atas berbeda (memperebutkan satu objek tanah yang sama), maka di sini disparitas putusan ini wajib dijadikan perhatian. Tidak selayaknya majelis hakim membiarkan beberapa putusan berdiri sendiri-sendiri dalam suatu objek putusan yang sama, yang pada akhirnya mencederai profesionalisme profesi hakim.

f. Simpulan

Secara kasatmata terlihat ada pengabaian majelis hakim • terhadap nilai-nilai aksiologis yang ingin diperjuangkan oleh para pencari keadilan dalam perkara ini. Para pihak tidak menerima apa yang menjadi pencarian mereka di dalam putusan tersebut. Akhir dari perkara ini dibiarkan mengambang, yang pada gilirannya merugikan pihak-pihak Sufu Yusuf dan ahli warisnya, bahkan termasuk juga pihak Siti Chaerani yang dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik.Disparitas putusan dibiarkan sengaja terjadi, yang • notabene membuat profesi hakim dan lembaga pengadilan menjadi tidak berwibawa. Nasib Putusan Nomor 699/PK/Pdt/1996 menjadi tidak jelas. Padahal sebagai rangkaian peristiwa, solusi yang ditawarkan melalui putusan ini hadir lebih dulu.Dua asas penting yang menjadi kunci dalam perkara • ini, yaitu asas “itikad baik” dan “ne bis in idem” tidak terelaborasi di dalam pertimbangan hakim. Akibat tidak adanya pertimbangan yang memadai terkait kedua asas ini, maka rangkaian putusan yang “malang-melintang” atas perkara ini telah mencederai profesionalisme hakim dalam memutuskan kasus ini.

Korelasi Putusan Hakim.indd 48 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 69: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

49

BAB II

g. Catatan atas Laporan

Ada dua posisi yang bertolak belakang antara Siti Chaerani yang relatif diuntungkan karena dianggap “pembeli beritikad baik” dan Gusti Aminah yang tidak diuntungkan sekalipun posisinya dibenarkan dalam putusan Peninjauan Kembali. Ketidakseimbangan posisi ini memperlihatkan bahwa kata kunci “itikad baik” yang harus dipahami oleh hakim secara tepat, sehingga tidak ada pencari keadilan yang dirugikan karena ketidakcematan majelis hakim.

Memang ada sinyalemen yang menyatakan “keberpihakan” pengadilan lebih karena latar belakang Siti Chaerani sebagai anggota keluarga kepala daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sinyalemen ini jelas sulit dikonfirmasi jika pelacakannya hanya berlandaskan naskah putusan.

Di sisi lain, juga ada dua pihak terlapor yang diajukan oleh Gusti Aminah (dalam kasus ini adalah ahli waris dari H. Sufu Yusuf) kepada Komisi Yudisial. Pertama, para hakim di PN Kendari (Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Kdi) dan para hakim di PT Sulawesi Tenggara (Putusan Nomor 03/Pdt/2010/PT.Sultra).

Majelis Sidang Pleno Komisi Yudisial memutuskan untuk menyatakan Terlapor I dan Terlapor II telah terbukti melanggar KEPPH butir 8 dan 10. Untuk itu, mereka diberi peringatan tertulis agar lebih berhati-hati dalam membuat putusan.

Putusan Perkara 7 s.d. 17C.

Nomor 10/Merek/2011/PN. Niaga. Jkt.Pst

Nomor 11/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst

Nomor 12/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst

Korelasi Putusan Hakim.indd 49 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 70: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

50

BAB II

Nomor 13/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst

Nomor 14/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst

Nomor 15/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst

Nomor 16/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst

Nomor 595 K/Pdt.Sus/2011

Nomor 608 K/Pdt.Sus/2011

Nomor 609 K/Pdt.Sus/2011

Nomor 610 K/Pdt.Sus/2011

Identitas Perkara

Isu kunci : Kesebelas putusan di atas pada hakikatnya mencakup satu pokok perkara yang sama, yaitu sengketa di bidang hak kekayaan intelektual. Kasus ini termasuk menarik perhatian publik mengingat hak kekayaan intelektual yang dipersengketakan, yaitu di bidang hak cipta dan merek minuman (larutan) penyegar ‘Cap Kaki Tiga’.

Para Pihak :Di bawah ini dapat disajikan tujuh rangkaian putusan, baik

yang dilanjutkan ke tingkat kasasi maupun tidak. Komposisi para pihak dari tiap putusan, dapat disajikan dalam tabel berikut:

Korelasi Putusan Hakim.indd 50 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 71: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

51

BAB II

No. Putusan

Pengadilan Niaga Mahkamah Agung

1 Nomor 10/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.PstPara Pihak:

Tjio Budi Yuwono (Penggugat)- Wen Ken Drug Co. (Pte) Ltd. - (Tergugat)Dirjen HKI Kemenkumham - (Turut Tergugat)

Nomor 595 K/Pdt.Sus/2011

Wen Ken - Drug. Co. (Pte) Ltd. (Pemohon Kasasi)Tjio Budi - Yuwono (Termohon Kasasi)

2 Nomor 11/Hak Cipta/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst

Tjio Budi Yuwono (Penggugat I)- PT. Sinde Budi Sentosa - (Penggugat II)Wen Ken Drug Co. (Pte) Ltd. - (Tergugat)Dirjen HKI Kemenkumham - (Turut Tergugat)

3 Nomor 12/Hak Cipta/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst

Tjio Budi Yuwono (Penggugat I)- PT. Sinde Budi Sentosa - (Penggugat II)Wen Ken Drug Co. (Pte) Ltd. - (Tergugat)Dirjen HKI Kemenkumham - (Turut Tergugat

Nomor 609 K/Pdt.Sus/2011

Wen Ken - Drug. Co. (Pte) Ltd. (Pemohon kasasi)Tjio Budi - Yuwono (Termohon Kasasi)

Korelasi Putusan Hakim.indd 51 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 72: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

52

BAB II

4 Nomor 13/Hak Cipta/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst

Tjio Budi Yuwono (Penggugat I)- PT. Sinde Budi Sentosa - (Penggugat II)Wen Ken Drug Co. (Pte) Ltd. - (Tergugat)Dirjen HKI Kemenkumham - (Turut Tergugat)

5 Nomor 14/Hak Cipta/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst

Tjio Budi Yuwono (Penggugat I)- PT. Sinde Budi Sentosa - (Penggugat II)Wen Ken Drug Co. (Pte) Ltd. - (Tergugat)Dirjen HKI Kemenkumham - (Turut Tergugat)

6 Nomor 15/Hak Cipta/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst

Tjio Budi Yuwono (Penggugat I)- PT. Sinde Budi Sentosa - (Penggugat II)Wen Ken Drug Co. (Pte) Ltd. - (Tergugat)Dirjen HKI Kemenkumham - (Turut Tergugat)

Nomor 608 K/Pdt.Sus/2011

Wen Ken - Drug. Co. (Pte) Ltd. (Pemohon Kasasi)Tjio Budi - Yuwono (Termohon Kasasi)

Korelasi Putusan Hakim.indd 52 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 73: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

53

BAB II

7 Nomor 16/Hak Cipta/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst

Tjio Budi Yuwono (Penggugat I)- PT. Sinde Budi Sentosa - (Penggugat II)Wen Ken Drug Co. (Pte) Ltd. - (Tergugat)Dirjen HKI Kemenkumham - (Turut Tergugat).

Nomor 610 K/Pdt.Sus/2011

Wen Ken - Drug. Co. (Pte) Ltd. (Pemohon Kasasi)Tjio Budi - Yuwono (Termohon Kasasi)

a. Posisi Kasus

Kasus yang mencakup putusan-putusan ini memiliki keterkaitan peristiwa satu sama lain yang dimulai dari kurun waktu cukup lama, yaitu sejak tahun 1978. Pihak-pihak yang terlibat dalam putusan-putusan ini juga berkisar pada orang yang sama. Pihak pelapor ke Komisi Yudisial justru adalah pihak lain yang tidak tergambarkan kaitannya dengan kasus ini, yaitu Harry Sanusi dari PT Kinocare Era Kosmetindo.

No. Waktu Peristiwa

1 8 Februari 1978

Dibuat perjanjian lisensi yang menyatakan Wen Ken Drug menunjuk Budi Yuwono atas nama PT. Sinde Budi Sentoso dan memberikan merek dagang ‘Kaki Tiga’ kepada Budi Yuwono untuk memproduksi dan memasarkan merek dagang tersebut.

2 29 Juni 1992 Budi Yuwono mendaftarkan hak cipta atas ‘seni lukisan badak di atas batu karang dengan pemandangan air laut dan gunung’.

3 24 Juli 1992 Ada bukti penerimaan uang pembayaran atas pemesanan 150.000 set botol tutup produk ‘Lasegar’.

Korelasi Putusan Hakim.indd 53 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 74: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

54

BAB II

6 April 1993

Surat Keputusan BPOM yang memutuskan memberikan persetujuan kepada PT. Sinde Budi Sentosa untuk memproduksi merek ‘Lasegar’.

4 18 April 1994

Budi Yuwono mendaftarkan hak cipta atas ‘Seni lukis badak’ di Ditjen HKI.

5 17 Oktober 1994

Pembayaran pendaftaran 2 hak cipta oleh penggugat dan tergugat, yaitu:

Seni lukisan badak menjangan.1. Seni lukisan menjangan dan Kaki Tiga.2.

6 31 Juli 1996 Budi Yuwono bersama Wen Ken Drug Co., (Ptd) Ltd mendaftarkan hak cipta ‘Seni lukisan larutan penyegar Cap Kaki Tiga’ yang terdiri atas unsur-unsur:

Lukisan ‘Badak’.1. Tulisan ‘Larutan Penyegar’.2. Tulisan ‘Si Rino’ sebagai singkatan 3. Rhinoceros yang berarti badak.Logo ‘Kaki Tiga’.4. Tulisan ‘Cap Kaki Tiga’.5.

7 8 November 1996

Ada bukti pembayaran pemasangan iklan ‘Lasegar’ di stasiun TV SCTV pada Oktober 1996.

8 20 Agustus 1997

Budi Yuwono memiliki Surat Keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 0146/Reg/B/97 tentang Persetujuan Pendaftaran ‘Larutan Penyegar Cap Badak’.

9 8 Desember 1997

Pengajuan permohonan merek ‘Lasegar’ : Suatu Penamaan yang merupakan singkatan dari larutan penyegar.

10 12 Juni 2002 Budi Yuwono memiliki bukti 1. perpanjangan kepemilikan merek atas lukisan ‘Badak’ untuk kelas barang 05.Budi Yuwono memiliki bukti 2. perpanjangan kepemilikan merek atas cap lukisan ‘Badak’ untuk kelas barang 32.

Korelasi Putusan Hakim.indd 54 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 75: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

55

BAB II

11 4 Maret 2004

Budi Yuwono memohonkan merek ‘ESPE’ yang merupakan singkatan dari kata Spesial Produk.

12 16 Juni 2004 Budi Yuwono memiliki sertifikat merek cap lukisan ‘Badak’ dan tulisan cap ‘Badak’.

13 11 Agustus 2004

Budi Yuwono mendaftarkan hak cipta atas ‘Seni lukis Badak’, kaligrafi arab dan tulisan ‘Larutan Penyegar Cap Badak’.

14 1 November 2004

Budi Yuwono mendaftarkan ciptaan seni lukis ‘Badak’ dan tulisan ‘Lasegar’ serta huruf kanji (Cina), dengan uraian ciptaan:

lukisan badak;- lukisan dua menjangan;- lukisan pemandangan gunung, sawah - dan sungai;tulisan ‘Lasegar’;- tulisan minuman penyegar.-

15 5 November 2004

Budi Yuwono memiliki sertifikat merek cap lukisan ‘Badak’ dan tulisan ‘Cap Badak’ untuk kelas barang 32.

16 27 Juli 2005 Budi Yuwono mendaftarkan hak cipta atas ‘Seni Lukis Badak dan tulisan Larutan Penyegar’.

17 30 November 2005

Budi Yuwono memiliki sertifikat merek cap lukisan ‘Badak’.

18 8 Desember 2007

Budi Yuwono memiliki sertifikat Merek ‘Lasegar’ : Suatu penamaan yang merupakan singkatan dari larutan penyegar.

19 7 Januari 2008

Budi Yuwono memiliki sertifikat merek kelas barang 05 atas tulisan ‘Larutan Penyegar’ dan tulisan ‘ Larutan Penyegar Badak dan lukisan ‘Badak’.

20 4 Februari 2008

Wen Ken Drug (Ptd) Ltd. menghentikan pemberian izin pemakaian merek ‘Cap Kaki Tiga’ secara sepihak.

Korelasi Putusan Hakim.indd 55 12/18/2015 3:30:46 PM

Page 76: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

56

BAB II

21 20 Juli 2008 Budi Yuwono memiliki sertifikat merek ‘ESPE’ yang merupakan singkatan dari spesial produk.

22 29 Agustus 2008

Budi Yuwono memiliki sertifikat merek atas ‘Rhinoceros Brand’ yang berarti cap ‘Badak’ dan lukisan ‘Badak’ untuk kelas barang 05.

23 11 Februari 2009

Wen Ken Drug Co., (Ptd) Ltd 1. mengajukan gugatan kepada Budi Yuwono di Pengadilan Niaga Jakarta agar tergugat menghentikan produksi, penjualan, pemasaran dan pendistribusian produk dengan merek ‘Cap Kaki Tiga’. Putusan Komisi Banding mengabulkan 2. permohonan Wen Ken dengan memerintahkan Dirjen HKI untuk melaksanakan pendaftaran dan menerbitkan sertifikat merek ‘Cap Kaki Tiga’, dan ‘Lukisan Badak’.

24 26 November 2009

Budi Yuwono memiliki sertifikat merek ‘Larutan Penyegar Badak’ dan lukisan ‘Badak’ untuk kelas barang 32.

25 Sejak tahun 2009

Budi Yuwono memasarkan produk minuman Teh Angin dengan merek lukisan ‘Badak’ dan tulisan ‘Cap Badak’.

26 31 Agustus 2010

Budi Yuwono memiliki Surat BPOM RI Nomor PN.03.41.411.05.10.1451 yang menyatakan bahwa produk ‘Larutan Penyegar Cap badak’ merupakan milik Budi Yuwono.

Korelasi Putusan Hakim.indd 56 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 77: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

57

BAB II

27 30 November 2010

Adanya Putusan PN Nomor 28/1. Hak Cipta/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst Wen Ken Drug Co., (Ptd) Ltd mengajukan gugatan pencabutan merek ‘gambar lukisan badak’ dan putusan pengadilannya mengabulkan permohonan. Putusan Kasasi Nomor 766. K/Pdt.2. Sus/2010 dengan putusan mengabulkan permohonan Budi Yuwono.Putusan PN Niaga Nomor 30/Hak 3. Cipta/2010/PN. Niaga.Jkt.Pst dengan putusan mengabulkan gugatan Wen Ken.Putusan PN Nomor 31/Hak 4. Cipta/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dengan putusan mengabulkan gugatan pencabutan seni lukis etiket ‘larutan penyegar Cap Kaki Tiga’ yang diajukan oleh Wen KenPutusan Kasasi Nomor 768 K/Pdt.5. Sus/2010 dengan putusan mengabulkan permohonan kasasi Budi Yuwono.Wen Ken mengajukan gugatan merek 6. dengan Nomor 29/Merek/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo. Nomor 767 K/Pdt.Sus/2010 yang di tingkat kasasi telah diputus dengan putusan mengabulkan permohonan kasasi Budi Yuwono.

Korelasi Putusan Hakim.indd 57 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 78: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

58

BAB II

Korelasi Putusan Hakim.indd 58 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 79: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

59

BAB II

b. Dasar Permohonan

Putusan Pengadilan Permohonan Putusan Hakim

Pengadilan Niaga tentang Hak Cipta :Nomor 11/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.PstNomor 12/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.PstNomor 13/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.PstNomor 14/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.PstNomor 15/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.PstNomor 16/Hak Cipta/2011/PN. Niaga.Jkt.Pst

Seni Lukisan :Menjangan;1. Badak;2. Cap Badak;3. Pemandangan 4. gunung, sawah, sungai dan rerumputan.

Seni Tulisan :Lasegar;1. Larutan 2. Penyegar;Badak;3. ESPE 4. singkatan dari Special;Cap Kaki 5. Tiga.

Mengabulkan gugatan untuk sebagian.

Pengadilan Niaga tentang Merek :Nomor 10/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst

Seni Tulisan:Larutan 1. penyegar;Cap 2. Badak.

Seni Lukisan ‘Badak’

Mengabulkan gugatan untuk seluruhnya.

Mahkamah Agung :Nomor 595 K/Pdt.Sus/2011Nomor 608 K/Pdt.Sus/2011Nomor 609 K/Pdt.Sus/2011Nomor 610 K/Pdt.Sus/2011

Judex facti telah salah dan keliru menilai akta sehingga keliru menerapkan hukum.

Menolak permohonan kasasi.

Korelasi Putusan Hakim.indd 59 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 80: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

60

BAB II

c. Pertimbangan Hukum

Dari enam sengketa hak cipta pada pengadilan niaga dan satu sengketa merek yang diajukan Sinde Budi, keseluruhan gugatan dikabulkan oleh hakim. Pihak Wen Ken Drug sebagai pihak yang kalah kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, permohonan kasasi yang diajukan ditolak semua oleh Mahkamah Agung. Dari keseluruhan putusan, tidak terlihat adanya pertimbangan hukum dari hakim pengadilan niaga yang memiliki terobosan hukum.

Temuan penelitian kasus ini ada pada bagian pertimbangan hukum, yaitu surat izin dari Dirjen POM yang dijadikan bukti pada tuntutan hak cipta dan hak merek. Surat izin dari Dirjen POM sebenarnya tidak relevan ketika dimasukan menjadi bukti, terlebih apabila dijadikan sebagai pertimbangan hukum.

Hal ini didasarkan adanya momentum kronologi kasus yang dapat dijadikan bukti hak cipta dan hak merek, yaitu: (1) bukti penggunaan ciptaan produk yang dilakukan pihak Sinde Budi sejak tahun 1993; dan (2) bukti permohonan pendaftaran merek pada 8 Desember 1997. Seharusnya hakim menggunakan dua fakta di atas sebagai pertimbangan hukum dengan berpegangan pada prinsip perlindungan hak cipta yang menganut prinsip deklaratif dan prinsip perlindungan merek first to file atau perlindungan melekat ketika merek didaftarkan.

Putusan hakim yang mendasarkan pertimbangan hukumnya pada bukti Dirjen POM memiliki indikasi hakim yang menyidangkan kasus ini sepertinya tidak memahami perkara yang disidangkan. Penguasaan hak kekayaan intelektual, seperti hak cipta dan merek, memang memerlukan keterampilan hukum tersendiri. Hal ini terbukti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang mensyaratkan lulus pendidikan hak kekayaan intelektual terlebih dahulu (pasal 3 dan pasal

Korelasi Putusan Hakim.indd 60 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 81: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

61

BAB II

4) dan adanya evaluasi berkala setiap 5 tahun sekali (pasal 5). Dengan demikian, menguasai hal teknis tentang hak kekayaan intelektual memang tidak mudah.

d. Dugaan Pelanggaran yang Dilaporkan

Pelapor atas dugaan pelanggaran hakim dilakukan Gunawan Wijaya, Yosef B. Badeoda dan Agus Nasrudin yang bertindak atas nama Harry Sanusi selaku Direktur Utama PT. Kinocare Era Kosmetindo. Pokok laporan berisi tuduhan terhadap hakim telah melanggar KEPPH butir 2.1. (2) dan butir 10. (4), dengan alasan:1. Pelapor menuduh ada tindakan tidak adil dan tidak

profesional yang dilakukan oleh hakim.2. Pelapor menuduh ada tindakan melanggar hukum acara

pembuktian dengan mengabaikan bukti dan fakta yang dilakukan oleh hakim.

3. Pelapor menyampaikan tidak adanya pertimbangan hukum tentang gugatan rekonvensi.

e. Analisis Putusan

Sebelum membahas temuan dari putusan ini, pembahasan akan dimulai dari butir-butir surat keputusan bersama dan kode etik hakim yang dilaporkan, yaitu: Angka 2.1 (2): Hakim harus memastikan bahwa sikap,

tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidak-berpihakan hakim dan lembaga peradilan (impartiality).

Angka 10. (4): Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan

Korelasi Putusan Hakim.indd 61 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 82: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

62

BAB II

fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditangani.Dari kedua angka tentang surat keputusan bersama dan

kode etik hakim, laporan didasarkan pada putusan hakim yang tidak adil dan dianggap mengabaikan fakta dalam putusannya. Jika mengurai fakta-fakta yang ada dalam kasus ini, sebenarnya ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu tentang hak cipta dan merek.

Secara singkat, beberapa isu konseptual yang dapat diidentifikasi dari putusan ini antara lain: (1) kekeliruan tentang konsep HKI tentang hak cipta dan merek; (2) asas liter finiri oportet dalam ne bis in idem; (3) asas peradilan yang cepat dan biaya ringan, (4) asas audi alteram partem. Kemudian akan disinggung relevansi bukti yang disertakan dalam gugatan, serta gugatan atas hak cipta dan merek larutan penyegar.

Semua hal di atas akan dibahas berikut:

Konsep Hak Cipta

Enam perkara dan dasar gugatan yang dimohonkan Budi Yuwono adalah tentang seni lukisan dan tulisan yang berhubungan dengan produk Larutan Penyegar ‘Cap Kaki Tiga’. Klaim gugatan mengacu pada bentuk logo berupa gambar badak, gambar latar belakang berupa pemandangan dan kata-kata dalam produk tersebut.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan, “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Korelasi Putusan Hakim.indd 62 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 83: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

63

BAB II

Jika dibandingkan dengan definisi hak cipta berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang baru adalah: “Hak cipta adalah hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Beberapa contoh bentuk hak cipta adalah buku, program, dan semua hasil karya tulis lain. Hak yang melekat pada semua bentuk HKI termasuk hak cipta adalah hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak pencipta untuk dicantumkan namanya atas ciptaan, dan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan keuntungan dengan diumumkan ciptaannya. Perlindungan yang diberikan kepada hasil sebuah ciptaan kepada pencipta, bukan sekadar sebagai penghormatan dan penghargaan, tetapi juga diharapkan akan membangkitkan semangat untuk melahirkan ciptaan baru (Usman, 2003: 56).

Jika membandingkan definisi hak cipta dari undang-undang yang lama dengan undang-undang yang baru, letak perbedaannya pada penegasan perlindungan pada hak cipta yang menganut prinsip deklaratif sejak ciptaan diwujudkan. Tentang hak yang melekat pada hak cipta tetap menganut hak moral dan hak ekonomi pada undang-undang hak cipta yang baru.

Sudargo Gautama berpendapat tentang hak cipta, di dalamnya ada dua aliran falsafah, yaitu falsafah Eropa dan Amerika. Penganut aliran falsafah Eropa tergabung dalam konvensi Bern yang berpandangan bahwa hak cipta adalah hak ilmiah dari si pengarang secara pribadi yang bersandarkan pada revolusi Perancis yang mengedepankan hak individual. Penganut falsafah Amerika justru berpandangan bahwa hak cipta adalah suatu monopoli yang diberikan agar dapat dikembangkan untuk kepentingan umum (Gautama & Winata, 1997: 79).

Korelasi Putusan Hakim.indd 63 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 84: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

64

BAB II

Konsep Merek

Dari tujuh gugatan yang diajukan, hanya satu yang perkara yang menyangkut tentang merek. Pada prinsipnya, perkara merek ini objek yang digugat tetap sama dengan perkara hak cipta, yaitu bentuk, logo gambar dan kata-kata dalam produk larutan penyegar ‘Cap Kaki Tiga’.

Menurut Encyclopaedia Britanica (A New Survey of Universal Knowledge), batasan mengenai merek adalah: “ A ‘Trade Mark’ may be defined as a symbol, consisting in general of a picture, a label or a word or words, applied or attached to a goods of a trader for the purpose of distinguishing them from the similar goods of other traders, and of indentifying them as his goods, or as those of his successors, in the business in which they are produced or put forward for sale”.

Dari pengertian di atas, merek itu dapat dirumuskan sebagai suatu simbol, yang terdiri dari lukisan yang umum, suatu etiket atau perkataan yang dicantumkan atau dilekatkan pada suatu barang dari seseorang pedagang dengan maksud untuk membedakan sebagai barangnya sendiri atau sebagai penggantinya dalam perdagangan yang mereka hasilkan dari perusahaan mereka atau mereka ajukan untuk dijual.

Merek adalah suatu tanda pembeda yang dapat memberikan tanda pengenal barang, guna membedakan barang seseorang atau perusahaan dengan barang orang lain atau barang perusahaan lain. Sehingga konsumen dapat memilih dan dapat membedakan antara satu barang dengan barang yang lain. Sebagai contoh, begitu banyaknya produk obat nyamuk, konsumen tetap dapat membedakan antara obat nyamuk merek ‘Baygon’ yang berwarna hijau, dengan obat nyamuk ‘3 Roda’ yang berwarna kuning misalnya.

Menurut Pasal 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, “Merek adalah berupa gambar, nama, kata huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur

Korelasi Putusan Hakim.indd 64 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 85: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

65

BAB II

tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”.

Merek dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:1. Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang

yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

2. Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.

3. Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan atau jasa sejenis lainnya.Menurut Harsono Adisumarto (1989: 46), “Merek, harus

mempunyai daya pembedaan (distinctiveness), merupakan unsur yang utama. Seperti halnya pada paten, pembaharuan (novelty) merupakan unsur pokok, dan untuk hak cipta, orisinalitas (originality) menjadi unsur utama, maka untuk merek yang menjadi unsur penting adalah daya pembedaan (distinctiveness)”.

Hak-hak yang melekat atas merek itu merupakan suatu hak yang eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek tersebut, yang telah terdaftar di dalam daftar umum merek yang untuk jangka waktu tertentu keberadaannya dapat dilindungi oleh negara. Dapat disimpulkan, selain merek itu mempunyai sifat yang khusus, merek juga merupakan suatu hal yang paling penting dalam suatu produk. Unsur merek yang paling utama adalah daya pembeda, baik itu dari guratan-guratan warna, tulisan atau bentuk-bentuk yang mempunyai

Korelasi Putusan Hakim.indd 65 12/18/2015 3:30:47 PM

Page 86: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

66

BAB II

nilai komersil tersendiri yang pada akhirnya dapat membedakan antara satu produk dengan produk lain bagi konsumen dalam memilih suatu barang.

Hak atas merek berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, “Hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena : pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan”. Sementara itu, untuk pengalihan hak atas merek tersebut harus dicatatkan di Direktorat Jenderal untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek. Biasanya pengalihan hak ini banyak dipergunakan oleh para pelaku usaha untuk mendapatkan hak sementara untuk memakai merek terkenal yang dapat dipergunakan untuk berdagang atau lazimnya dikenal dengan lisensi.

Benang merah yang dapat ditangkap dari sengketa hak cipta dan hak merek antara Sinde Budi dengan Wen Ken Drug, yaitu adanya celah hukum pada Kantor Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hal pendaftaran merek. Kantor HKI seharusnya menolak permohonan pendaftaran hak cipta yang dilakukan oleh Sinde Budi dan Wen Ken Drug karena hak cipta yang didaftarkan oleh mereka bukan lingkup hak cipta, akan tetapi termasuk ke dalam lingkup hak merek.

Mengenai permohonan pendaftaran hak cipta, jika melihat pada ketentuan Pasal 35 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, bagian penjelasan pasal tersebut memberi penjelasan bahwa pendaftaran hak cipta bukan merupakan keharusan bagi pencipta. Perlindungan ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal ini berarti suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar tetap dilindungi.

Pada undang-undang hak cipta yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, frasa ‘pendaftaran’ pada hak cipta diganti dengan frasa ‘pencatatan’.

Korelasi Putusan Hakim.indd 66 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 87: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

67

BAB II

Pembuat undang-undang sudah menyadari bahwa pendaftaran hak cipta tidak relevan dengan prinsip perlindungan hak cipta itu sendiri, yaitu prinsip publikasi pertama kali. Oleh karena itu, pencatatan hak cipta di Kantor HKI harus lebih diperketat khususnya pada pendaftaran yang menyangkut pada bidang merek.

Perlindungan hukum hak cipta berbeda dengan prinsip perlindungan hak merek yang mensyaratkan pendaftaran. Letak masalah kasus ini terletak pada kepemilikan bersama sertifikat merek antara Sinde Budi dengan Wen Ken Drug. Karena terjadi penyelundupan hukum oleh pihak Sinde Budi dan Wen Ken Drug dengan mendaftarkan produk dagangannya ke dalam lingkup hak cipta ketika terjadi sengketa di antara mereka, akhirnya mereka sendiri yang dirumitkan.

Asas Litis Finiri Oportet dalam Ne Bis in Idem

Nebis in idem diatur dalam Pasal 1917 ayat (2) KUH Perdata, bahwa gugatan dapat dikatakan sebagai nebis in idem apabila gugatan tersebut: tuntutannya sama, alasan penuntutan yang sama, diajukan oleh pihak yang sama dan para pihak memiliki hubungan yang sama. Kandungan asas yang terdapat pada nebis in idem adalah litis finiri oportet, yaitu sebuah perkara harus ada akhirnya sehingga perkara yang telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim (Mertokusumo, 1998: 173).

Pada kasus Sinde Budi dengan Wen Ken Drug, letak masalahnya ada pada perbedaan sertifikat kepemilikan merek dan kepemilikan hak cipta. Mungkin inilah yang menjadi salah satu alasan pengacara tidak melakukan penggabungan gugatan karena terdapat larangan pada pasal 103 Rv. Menurut Yahya Harahap, hal ini terkait pada tuntutan hak menguasai dan tuntutan hak milik (Harahap, 2013: 103).

Korelasi Putusan Hakim.indd 67 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 88: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

68

BAB II

Jika diamati lebih dalam, tuntutan Sinde Budi menunjukkan objek dan alasan yang sama. Seharusnya hakim dapat melakukan penafsiran historis untuk mempertimbangkan menolak gugatan lainnya yang diajukan oleh pengacara, khususnya pada sengketa hak cipta yang terdiri dari enam gugatan dengan objek yang sama, dengan alasan perbedaan putusan yang berpotensi menimbulkan konflik putusan pengadilan.

Asas Audi Alteram Partem

Asas audi alteram partem9 bermakna “Hear the other side; hear both sides. No man should be condemned unheard” (Black, 1990: 13). Penegasan ini juga ditemukan dalam Pasal 132, Pasal 121 ayat (2) HIR atau Pasal 145 ayat (2), Pasal 157 RBG.

Dalam kasus ini ada penilaian dari salah satu pihak bahwa majelis hakim tidak memberi pertimbangan atas gugatan rekonvensi. Hal ini diakui oleh hakim-hakim yang dimintakan klarifikasinya oleh Komisi Yudisial. Padahal, menurut Osborn (1960: 41), asas audi alteram partem ini sebagai “one of the principles of natural justice.”

Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

Jika melihat pokok gugatan dari tujuh putusan, seharusnya hakim mampu menangkap persamaan pada pokok perkara yang diajukan, sehingga sekurang-kurangnya dapat diajukan dua gugatan saja yang terdiri atas gugatan hak cipta dan merek.

9 Terkadang ditulis “audi et alteram partem”. Kata “et” tidak ditemukan dalam sejumlah Kamus hukum. Lihat misalnya Black’s Law Dictionary dan A Concise Law Dictionary.

Korelasi Putusan Hakim.indd 68 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 89: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

69

BAB II

Sudikno Mertokusumo (1998: 51-52) berpendapat, dalam hukum acara perdata dimungkinkan untuk melakukan tuntutan ‘kumulasi objektif’ apabila kesemuanya mengarah pada satu akibat hukum yang sama. Apabila salah satu tuntutan dipenuhi, maka tuntutan lainnya juga dikabulkan.

Akan tetapi ada tiga hal yang dikecualikan dalam hal kumulasi objektif menurut P.A. Stein seperti yang dikutip oleh Sudikno, yaitu: (1) kalau untuk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu acara khusus (gugat cerai), sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak boleh digabung dalam satu gugatan; (2) apabila hakim tidak berwenang (secara relatif) untuk memeriksa salah satu tuntutan yang diajukan bersama-sama dalam satu gugatan dengan tuntutan lain, maka kedua tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan; (3) tuntutan tentang ‘bezit’ tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang ‘eigendom’ dalam satu gugatan (Pasal 103 Rv).

Korelasi Putusan Hakim.indd 69 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 90: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

70

BAB II

Pendapat tentang penggabungan gugatan juga didukung oleh Yahya Harahap (2013: 102-103) yang mengutip pendapat Soepomo, bahwa kumulasi gugatan diperbolehkan menjadi satu gugatan. Sejalan dengan pendapat di atas, Putusan Mahkamah Agung Nomor 575K/Pdt/1983 dalam pertimbangan hukumnya tersirat bahwa tujuan penggabungan gugatan adalah untuk mewujudkan tercapainya process doelmatigheid, dengan berpedoman kepada ukuran: (1) benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan, (2) menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan.

Jika dihubungkan pendapat Sudikno dengan kasus Sinde Budi vs. Wen Ken Drug, maka seharusnya pengacara dalam gugatannya mampu mengkompilasi pokok gugatan khususnya pada gugatan hak cipta menjadi satu gugatan kumulasi. Tetapi sayangnya dari pihak pengacara dan hakim sama sekali tidak menggunakan konsep kumulasi objektif ini.

Relevansi Bukti pada Sengketa Hak Cipta dan Merek

Tuntutan Sinde Budi kepada Wen Ken Drug sebenarnya sederhana, yaitu keinginan pihak Sinde Budi untuk menjadi pemilik tunggal, semula milik bersama antara Sinde Budi dan Wen Ken Drug atas hak cipta dan merek larutan penyegar, cap badak dan ornamen lainnya yang berada pada produk minuman larutan penyegar. Kepemilikan bersama tersebut didasarkan pada kesepakatan perjanjian lisensi yang dibuat pada tahun 1979 bahwa mereka merupakan mitra usaha. Sebagai mitra usaha, kepemilikan bersama sertifikat merek adalah hal yang lumrah dilakukan sampai akhirnya mereka bersengketa.

Pembuktian di dalam sengketa hak cipta berbeda dengan hak merek. Perbedaan yang paling signfikan adalah pada hak cipta yang mengacu pada ketentuan Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang

Korelasi Putusan Hakim.indd 70 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 91: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

71

BAB II

mengatur perlindungan hak cipta mengacu pada asas deklaratif. Secara sederhana, kepemilikan hak cipta berlaku sejak pencipta pertama kali mengumumkan ciptaannya. Pada hak merek perlindungannya berlaku pada pemilik merek terdaftar atau first come first file.

Pada kasus Sinde Budi dan Wen Ken Drug jika merujuk pada kronologi kasus pada putusan, dalam hal pembuktian maka dapat dibuat dua momentum penting pada pembuktian hak cipta dan hak merek, yaitu:

Pada Hak Cipta :• Pada sisi formal : Budi Yuwono mendaftarkan hak cipta

atas ‘seni lukisan badan di atas batu karang dengan pemandangan air laut dan gunung’ pada 29 juni 1992. Kemudian, 8 Agustus 1992, Budi Yuwono mempercayakan kepada Wen Ken untuk melakukan pendaftaran hak cipta dengan judul seni lukisan pemandangan dengan 2 menjangan dan 1 badak yang terdiri atas unsur-unsur: lukisan “2 menjangan”, lukisan 1 badak dan lukisan pemandangan gunung, sawah, sungai dan rerumputan. Terakhir, 18 April 1994, Budi Yuwono mendaftarkan hak cipta atas ‘seni lukis badak’ di Dirjen HKI. Pada sisi publikasi/materil : Budi Yuwono memproduksi, memasarkan dan menjual produk-produk minuman dengan merek ‘lasegar espe’ sejak tahun 1993.

Kebersamaan antara Budi Yuwono dan Wen Ken Drug dalam penggunaan hak cipta larutan penyegar, Rhinoceros dan logo Kaki Tiga dilakukan pada 31 Juli 1996 dan pada 8 November 1996 yang ditunjukkan dengan bukti kuitansi pemasangan iklan di stasiun TV SCTV.

Pada Hak Merek :• Budi Yuwono mendaftarkan merek dagangnya pada 8

Desember 1997 dengan rincian etiket merek : lukisan badak,

Korelasi Putusan Hakim.indd 71 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 92: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

72

BAB II

lukisan 2 menjangan, lukisan pemandangan gunung, sawah dan sungai serta tulisan lasegar.

Dari titik tolak momentum tentang pembuktian kepemilikan hak cipta dan hak merek, seharusnya alat bukti yang digunakan hanyalah merujuk pada momentum kronologi kasus. Pada hak cipta Sinde Budi terbukti telah mengumumkan hak ciptanya sejak tahun 1993. Sedangkan pada hak merek pembuktiannya dapat menggunakan bukti pendaftaran merek pada 8 Desember 1997.

Akan tetapi, bukti-bukti yang disertakan oleh penggugat tidak relevan dengan objek yang digugat, misalnya pada bukti pendaftaran BPOM. Oleh sebab itu tidak heran jika pada jawaban tergugat (Wen ken Drug) dan turut tergugat (Dirjen HKI) menganggap gugatan yang diajukan oleh Sinde Budi obscure libel (gugatan kabur).

Gugatan atas Hak Cipta dan Merek Larutan Penyegar

Hak cipta yang tergambar dari penjelasan kasus ini dapat dengan mudah terjawab, hak cipta atas produk larutan penyegar ada sejak tahun 1978, ketika produk ‘Kaki Tiga’ masuk ke Indonesia melalui perjanjian lisensi merek antara Wen Ken dengan Budi Yuwono. Hal penting yang harus diketahui antara hak cipta dan merek bahwa rezim perlindungannya yang berbeda. Pada hak cipta rezimnya adalah deklaratif, yaitu perlindungannya ada sejak pertama kali dipublikasikan. Sebaliknya pada merek perlindungannya konstitutif, yaitu perlindungan hanya berlaku bagi merek terdaftar.

Pada lingkup hak cipta, Budi Yuwono mendaftarkan hak cipta atas ‘seni lukisan badak di atas batu karang dengan pemandangan air laut dan gunung’ pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 1994 mendaftarkan ‘seni lukis badak’ dan pada tahun yang sama juga Budi Yuwono bersama Wen Ken

Korelasi Putusan Hakim.indd 72 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 93: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

73

BAB II

mendaftarkan seni lukisan badan menjangan dan seni lukisan menjangan dan Kaki Tiga. Pendaftaran bersama antara Wen Ken dan Budi Yuwono terus berlanjut yaitu pada tahun 1996, mereka mendaftarkan lukisan badak. Tulisan larutan penyegar, tulisan si rino, logo Kaki Tiga dan tulisan Cap Kaki Tiga kemudian berlanjut pada tahun 2004 melengkapi pendaftaran untuk seni lukis, kaligrafi sehingga melengkapi seluruh objek gambar yang ada dalam produk larutan penyegar.

Perselisihan dimulai sejak tahun 2004, Wen Ken dianggap tidak memenuhi janji untuk memberikan dana investasi. Perselisihan memuncak pada tahun 2009, Wen Ken mengajukan gugatan kepada Budi Yuwono ke Pengadilan Niaga Jakarta untuk penghentian produksi, penjualan, pemasaran dan distribusi produk larutan penyegar sehingga keributan terus berlanjut hingga beberapa putusan pengadilan niaga pada kasus yang sama.

Dari keenam kasus, beberapa kejanggalan yang ditemui antara lain: (1) tanggal permohonan gugatannya adalah sama yaitu pada 26 Januari 2011, kecuali untuk Putusan Nomor 11 yang dimohonkan pada 30 Desember 2010. (2) sama-sama menggunakan ahli Sardjana O. Manulang, dan (3) Objek yang disengketakan sama yaitu tulisan dan lukisan, rinciannya untuk lukisan: (a) pemandangan gunung, sawah, sungai dan rerumputan; (b) Cap Kaki Tiga; dan (c) badak. Rincingan tulisan: (a) Lasegar; (b) Larutan penyegar; dan (c) ESPE singkatan dari Special.

Dalam hal ini, hakim seharusnya dapat menggabungkan keenam kasus ini hanya menjadi satu putusan, bukannya menyidangkan dalam waktu yang berbeda-beda dengan putusan yang berbeda-beda untuk objek yang sama. Meski demikian, disinyalir adanya varian produk dan rasa sehingga banyak gugatan dilayangkan oleh penggugat untuk mengamankan produknya. Tetapi sayangnya hal ini tidak dijelaskan secara rinci dalam putusan.

Korelasi Putusan Hakim.indd 73 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 94: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

74

BAB II

Kasus ini merupakan kasus hak cipta, tetapi objek yang diperkarakan adalah keberadaan hak cipta dalam sebuah produk yang menggambarkan distinction/daya pembeda dari merek lain sehingga menjadi sangat terkait dengan hak merek. Meski demikian, seharusnya argumentasi dalam kasus ini hanya tentang merek saja tanpa argumentasi merek.

Dalam kronologis putusan dapat terlihat bahwa penggunaan hak cipta badak sudah ada sejak tahun 1980-an, waktu tersebut dapat dikatakan sebagai tanggal publikasi. Tetapi anehnya hakim tidak mempertimbangkan tanggal publikasi, meskipun pendaftaran baru dilakukan pada 29 Juni 1992. Mengingat asas pendaftaran hak cipta adalah deklaratif (pemakai pertama), maka seharusnya waktu publikasi awal (tahun 1980-an) dapat dijadikan sebagai acuan oleh hakim dalam memutuskan perkara hak cipta ini. Anehnya, hal ini tidak dipertimbangkan oleh hakim.

Ada salah satu pertimbangan hukum hakim yang mendasarkan pada SK BPOM tentang produk larutan penyegar. Dalam putusannya, hakim tidak menarik rentang waktu publikasi awal penggunaan objek hak cipta yang disengketakan, tetapi malah bersandar pada pendaftaran BPOM. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan ketidakmampuan hakim dalam menguasai materi tentang hak cipta.

Dengan berpijak pada objek gugatan tentang hak cipta, maka paradigma berpikir tergugat dan turut tergugat adalah tentang hak cipta. Oleh sebab itu dalam eksepsinya, tergugat dan turut tergugat sama-sama menyatakan bahwa gugatan obscuur libel dengan alasan penggugat mencampuradukkan antara permasalahan hak cipta dengan merek.

Titik fokus gugatan sesungguhnya terletak pada kepemilikan hak cipta yang dimiliki bersama (penggugat dan tergugat) dan penggugat ingin agar tergugat tidak lagi bersama-sama menjadi pemilik bersama penggugat. Seharusnya

Korelasi Putusan Hakim.indd 74 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 95: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

75

BAB II

argumentasi gugatan lebih difokuskan pada pembahasan hak cipta kepemilikan, bukan merek.

Adanya fakta yang hilang (missing fact) dalam kasus ini, yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 765/K/Pdt.Sus/2010, Putusan Mahkamah Agung Nomor 766/K/Pdt.Sus/2010 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 768/K/Pdt.Sus/2010 yang dijadikan sebagai pertimbangan hukum oleh hakim. Tetapi tidak disebutkan secara jelas dari naskah putusan ini aspek apa yang dijadikan dasar baik oleh penggugat maupun oleh majelis hakim.

Deskripsi fakta dan kronologis yang dijelaskan oleh penggugat melebar dan tidak terfokus pada lingkup hak cipta. Meski pada intinya penggugat ingin mengungkapkan bahwa penggugat telah menggunakan hak cipta tersebut, tetapi banyak diskripsi kronologis kasus menceritakan tentang kepemilikan merek.

f. Simpulan

1. Putusan hakim tidak memuat pertimbangan terkait rekonvensi, padahal ada kelemahan di dalamnya karena gugatan penggugat justru mencampuradukkan antara objek hak cipta dan merek. Hal ini juga terlihat dari eksepsi tergugat dan turut tergugat yang sama-sama berpendapat bahwa dalil gugatan tidak fokus dan melebar.

2. Adanya penyelundupan hukum yang dilakukan oleh Sinde Budi (Penggugat) dan Wen ken Drug (Tergugat) ketika kerjasama mereka masih berjalan baik. Hal ini ditunjukkan dari pendaftaran hak cipta dan merek produk mereka (Larutan Penyegar). Penyelundupan hukum yang dilakukan adalah dengan mendaftarkan gambar hak cipta gambar pada produk merek, padahal produk mereka adalah memang termasuk dalam lingkup merek bukan hak cipta. Masalahnya perlindungan hukum antara hak cipta

Korelasi Putusan Hakim.indd 75 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 96: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

76

BAB II

dan hak merek berbeda. Pada hak cipta berlaku prinsip deklaratif dan pada hak merek berlaku prinsip konstitutif. Dengan adanya putusan hakim yang menggunakan bukti surat izin dari Dirjen POM sebagai produk terdaftar sebagai pertimbangan hukumnya membuktikan bahwa hakim tidak terlalu memahami prinsip-prinsip perlindungan pada hak cipta dan hak merek.

3. Dengan adanya enam gugatan hak cipta dan satu gugatan merek, hakim telah menyalahi prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya murah serta telah melanggar prinsip litis finiri oportet dalam nebis in idem. Tuntutan yang dimohonkan pada enam gugatan hak cipta pada prinsipnya sama. Ada dua opsi yang dapat dilakukan oleh hakim: (1) Setelah hakim memutus satu perkara seharusnya hakim menolak perkara yang lainnya dengan alasan nebis in idem atau (2) melakukan penggabungan gugatan dari enam gugatan tersebut untuk mewujudkan process doelmatigheid.

g. Catatan atas Laporan

Pihak terlapor yang diajukan ke Komisi Yudisial adalah Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengadili Perkara Nomor 10/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst, lalu Perkara Nomor 11/Hak Cipta/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst sampai dengan Perkara Nomor 16/Hak Cipta/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. Pelapor, yaitu Harry Sanusi (Dirketur Utama PT Kinocare Era Kosmetindo) menuduh pihak terlapor telah melanggar KEPPH, yaitu butir 2.1.(2) dan Butir 10.(4). Pelapor menuduh ada tindakan tidak adil dan tidak profesional yang dilakukan oleh terlapor. Pelapor menuduh ada tindakan melanggar hukum acara pembuktian dengan mengabaikan bukti dan fakta yang dilakukan oleh terlapor. Pelapor menyampaikan tidak adanya pertimbangan hukum tentang gugatan rekonvensi.

Korelasi Putusan Hakim.indd 76 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 97: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

77

BAB II

Dalam Sidang Pleno Komisi Yudisial, telah diputuskan bahwa Terlapor (Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk perkara-perkara a quo) telah melakukan pelanggaran KEPPH. Hal ini karena majelis tidak memberikan pertimbangan hukum tentang gugatan rekonvensi. Terlapor sudah mengakui bahwa mereka memang tidak membuat pertimbangan hukum tentang gugatan rekonvensi dalam perkara a quo. Butir KEPPH yang dilanggar adalah angka 2.1.(2) dan angka 10.(4). Atas dasar itu, maka sidang pleno memberikan sanksi teguran tertulis kepada Terlapor.

Dalam aspek hukum formal, kesalahan yang dilakukan majelis hakim sangat mendasar. Asas audi alteram partem merupakan suatu asas yang oleh Osborn (1960: 41) sebagai one of principles of natural justice. Artinya, pelanggaran asas penting dalam hukum acara ini merupakan pelanggaran serius atas keadilan yang hakiki.

Apabila kasus ini dibedah secara lebih mendalam, enam gugatan yang dimajukan ke persidangan untuk satu perkara ini memperlihatkan kurangnya perhatian majelis untuk memahami karakter hak kekayaan intelektual yang ditangani dan gagal mengedepankan penyelesaian perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Putusan Perkara 18D.

Nomor Perkara: 05/PKPU/2012/PN.Niaga.Mdn.

Isu kunci : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.Para Pihak : 1. Erwito (pemohon PKPU)

2. PT Maja Agung Latexindo (termohon PKPU) Majelis Hakim : Pemeriksa Perkara Nomor 05/PKPU/2012/PN.Niaga.Mdn.

Korelasi Putusan Hakim.indd 77 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 98: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

78

BAB II

a. Posisi Kasus

No. Waktu Peristiwa

1 23 Mei 2012

PT Maja Agung Latexindo memesan latex kepada Erwito dan telah mengambil latex tersebut seharga Rp 458 juta. PT Maja Agung Latexindo membayar panjar Rp 250 juta, sehingga masih tersisa utang Rp 208 juta.

2 Erwito mengirim surat teguran, tetapi PT Maja Agung Latexindo hanya dapat mengajukan permohonan maaf.

3 28 Juni 2012

Erwito (salah seorang yang mengaku Kreditor PT Maja Agung Latexindo) mengajukan permohonan PKPU ke PN Niaga Medan dengan Nomor : 05/PKPU/2012. Untuk itu Octolin H. Hutagalung diminta menjadi pengurus dalam PKPU.

4 -- Didapati kenyataan bahwa selain Erwito, terdapat 37 orang (individu) kreditor lain yang juga memberi utang ke PT Maja Agung Latexindo dengan total utang Rp 1,7 miliar. Di luar itu, ternyata PT Maja Agung Latexindo juga memiliki utang ke PT Morelia Carpio Mining atas penerbitan surat sanggup atas unjuk (promissory note with bearer) sebesar Rp 1 miliar.

5 6 Juli 2012 PT Maja Agung Latexindo mengakui besaran utang yang dimiliki ke Erwito dan 37 individu lainnya, tetapi untuk utang ke PT Morelia Carpio Mining diketahui utang yang sebenarnya adalah Rp 44 miliar.

6 13 Juli 2012

Hakim PN Niaga Medan mengabulkan permohonan PKPU dari pemohon Erwito; menetapkan PKPU Sementara selama 45 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan; menunjuk seorang hakim PN Medan sebagai hakim pengawas pada PN Niaga Medan; mengangkat Octolin H. Hutagalung menjadi pengurus dalam PKPU.

Korelasi Putusan Hakim.indd 78 12/18/2015 3:30:48 PM

Page 99: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

79

BAB II

7 4 Desember 2012

Suwandi Halim selaku kuasa hukum dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. menyampaikan laporan pengaduan ke Komisi Yudisial, mempersoalkan dugaan pelanggaran KEPPH atas hakim pengawas dalam Perkara PKPU Nomor 05/PKPU/2012/PN.Niaga.Mdn. Suwandi menyatakan, kliennya PT Bank Rakyat Indonesia adalah Kreditor PT Maja Agung Latexindo sebesar Rp 74 miliar.

Versi yang disampaikan oleh Suwandi Halim :Pada 5 Maret 2012 : PT Bank Rakyat Indonesia •sudah pernah mengajukan PKPU ke PN Niaga Medan, tetapi ditolak.Pada 22 Maret 2012: PN Niaga Medan •mengeluarkan Putusan Nomor 03/PKPU/2012/PN.Niaga.Mdn yang dalam amar putusannya menolak permohonan PKPU karena PT Maja Agung Latexindo tidak memiliki kreditor lain.Pada April 2012, muncul kreditor-kreditor lain •dengan nilai utang Rp 230 miliar. Pada 28 Juni 2012, muncul nama Erwito yang •mengajukan permohonan PKPU ke PN Niaga Medan. Erwito ini diduga sebagai kreditor fiktif.Pada 13 Juli 2012, Majelis Hakim PN Niaga •Medan melalui Putusan Nomor 05/PKPU/2012 mengabulkan permohonan Erwito dan putusan ini dianggap merugikan PT Bank Rakyat Indonesia. Hakim Pengawas PN Niaga Medan dinilai oleh PT Bank Rakyat Indonesia telah bertindak tidak adil, tidak mandiri, tidak profesional, dan mengabaikan hak-hak klien pelapor.

8 20 Agustus 2013

Komisi Yudisial melalui Keputusan Sidang Pleno Nomor 85/SP.KY/VIII/2013 menyatakan Terlapor terbukti melanggar KEPPH dan untuk itu memberikan peringatan kepada yang bersangkutan agar lebih memperdalam pengetahuan mengenai kepailitan dan PKPU.

Korelasi Putusan Hakim.indd 79 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 100: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

80

BAB II

b. Dasar Permohonan/Gugatan/Dakwaan :

Sesuai Pasal 222 ayat (1) dan (3) jo Pasal 225 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, Pemohon PKPU (Erwito) adalah kreditor sah dari Termohon PKPU (PT Maja Agung Latexindo) yang mempunyai hak untuk menagih pembayaran utang yang telah jatuh tempo kepada Termohon PKPU atas sisa utang pembayaran pembelian latex pada Mei 2012 sebesar Rp 208 juta lebih.

c. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan

Majelis hakim menimbang bahwa Erwito (Pemohon PKPU) telah memenuhi Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, yaitu ada dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas, sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Erwito juga dinilai sebagai pemegang tagihan utang yang sah atas penjualan latex yang belum dibayar

Korelasi Putusan Hakim.indd 80 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 101: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

81

BAB II

oleh Termohon PKPU sebesar Rp 208 juta lebih. Bahwa selain Pemohon PKPU, ada kreditor lain kepada 37 orang dan kepada PT Morelia Carpio Mining.

Amar putusan yang ditetapkan oleh majelis hakim adalah mengabulkan permohonan PKPU dari pemohon; menetapkan PKPU sementara selama 45 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan; menunjuk seorang Hakim Niaga pada PN Medan sebagai hakim pengawas; dan mengangkat Octolin H. Hutagalung menjadi pengurus dalam PKPU.

d. Dugaan Pelanggaran yang Dilaporkan

Dugaan pelanggaran yang dilaporkan oleh Suwandy Halim selaku Kuasa Hukum PT Bank Rakyat Indonesia pada hakikatnya tidak bersinggungan dengan putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor 05/PKPU/2010/PN.Niaga.Mdn tanggal 13 Juli 2012 karena hakim yang dilaporkan, yaitu hakim pengawas di PN Medan bukanlah majelis hakim dalam perkara tersebut.

Terlapor adalah hakim di PN Medan yang ditetapkan sebagai hakim pengawas oleh Majelis Hakim Perkara Nomor 05/PKPU/2010/PN.Niaga.Mdn ini. Baru setelah hakim pengawas ini menjalankan tugas, didapati oleh PT Bank Rakyat Indonesia ada perilaku Terlapor yang tidak perofesional, tidak mandiri, dan tidak transparan.

Perilaku negatif ini terindentifikasi sebagai berikut:Terlapor tidak menegur Pengurus PKPU Octolin • H. Hutagalung yang telah lalai menyediakan daftar piutang dalam waktu tujuh hari sebelum diadakan rapat pencocokan piutang tanggal 13 Agustus 2012. Hal ini melanggar Pasal 276 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.Terlapor telah menghalangi hak PT Bank Rakyat • Indonesia untuk mengetahui kebenaran materiil

Korelasi Putusan Hakim.indd 81 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 102: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

82

BAB II

mengenai ada tidaknya kreditor-kreditor yang diduga fiktif.Terlapor telah menghalangi hak PT Bank Rakyat • Indonesia untuk mengetahui tingkat kesanggupan dan kemampuan PT Maja Agung Latexindo untuk memenuhi kewajibannya, serta menolak pengangkatan ahli yang diajukan oleh pelapor.Terlapor telah mengabaikan hak PT Bank Rakyat • Indonesia untuk membantah piutang kreditor lain.Terlapor telah menghalangi hak PT Bank Rakyat • Indonesia mengakhiri proses PKPU yang merugikan pelapor.Terlapor mengabaikan hak PT Bank Rakyat Indonesia • agar menunda pembicaraan dan pemungutan suara tentang rencana perdamaian.Terlapor diduga telah melanggar Butir 8 dan Butir 10 • KEPPH, yaitu dalam hal tidak berdisiplin tinggi dan tidak bersikap profesional.

e. Analisis Putusan

Oleh karena hakim yang menjadi terlapor bukanlah hakim yang menjadi majelis dalam Putusan Perkara Nomor 05/PKPU/2012/PN.Niaga.Mdn, maka analisis kualitas putusan dan dugaan pelanggaran KEPPH tidak langsung saling terkait. Sebenarnya kontribusi majelis hakim yang menunjuk hakim pengawas yang bersangkutan adalah suatu tindakan yang cukup gegabah mengingat belum cukup menguasai prosedur PKPU.

Sangat menarik bahwa PN Niaga Medan tidak cukup jeli untuk memahami bahwa pengadilan ini sudah pernah menolak permohonan PKPU yang diajukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia terhadap PT Maja Agung Latexindo sebagaimana dicantumkan

Korelasi Putusan Hakim.indd 82 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 103: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

83

BAB II

dalam Putusan Nomor 03/PKPU/2012/PN.Niaga.Mdn tanggal 22 Maret 2012. Alasan penolakan adalah karena PT Maja Agung Latexindo tidak memiliki kreditor lain.

Padahal, dengan Putusan Nomor 05/PKPU/2012/PN.Niaga.Mdn tanggal 13 Juli 2014, permohonan PKPU yang diajukan oleh Erwito dikabulkan. Kali ini bisa ditunjukkan ada 37 kreditor dan PT Morelia Carpio Mining. Pelapor menyebut adanya kreditor-kreditor fiktif dengan nilai piutang sebesar Rp 232 miliar yang bermunculan dalam kurun waktu satu bulan. Hal ini terungkap dalam Keputusan Sidang Pleno Nomor 85/SP.KY/VIII/2013, bukan dalam putusan pengadilan.

Problem terbesar dari kasus-kasus PKPU adalah karakter yang sejak awal dibangun oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Undang-undang ini dibentuk dengan iklim dunia usaha di Indonesia yang sedang tidak kondusif sehingga berimplikasi pada banyaknya perusahaan yang menghadapi masalah keuangan. Oleh sebab itu, prosedur beracara untuk permohonan kepailitan dan PKPU sengaja dibuat sesederhana mungkin dengan tujuan tidak meletakkan beban pembuktian terlalu berat bagi pelaku usaha.

Ternyata asumsi ini tidak berjalan sebagaimana diperkirakan oleh pembentuk undang-undang. Akibatnya, ketentuan-ketentuan beracara yang terlalu sederhana justru membuat pelaku-pelaku usaha yang beritikad buruk memanfaatkan celah yang terselip di dalam undang-undang. Di sisi lain, infrastruktur kelembagaan dan sumber daya manusia yang menangani kasus-kasus bisnis sebagaimana terlihat pada kasus ini menjadi titik lemah yang cukup menonjol. Penunjukan sumber daya manusia yang belum atau tidak berpengalaman dalam menangani tugas yang menyangkut kepentingan masyarakat, menjadi bukti perilaku tidak profesional yang sangat kasat mata.

Korelasi Putusan Hakim.indd 83 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 104: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

84

BAB II

Seorang ahli hukum sekelas H.L.A. Hart (1978: 22) suatu ketika menyebut tentang adanya unsur paksaan dalam hukum dengan istilah ”gunman situation”, yaitu suasana yang tinggal diterima apa adanya oleh para pencari keadilan. Situasi ini dialami oleh pihak yang harus menerima putusan yang tidak berkualitas dan hakim pengawas yang tidak profesional. Pencari keadilan tidak memiliki pilihan apapun kecuali harus menerima putusan, seburuk apapun kualitasnya, semata-mata karena pengadilan dan majelis hakim yang bekerja di dalamnya, diasumsikan sebagai orang-orang yang pasti kompeten. Ius curia novit menjadi asas andalan para hakim, bahwa mereka adalah orang-orang yang (dianggap) tahu hukum.

Dengan pemahaman adanya asas ius curia novit ini, pencari keadilan seperti mendapat jaminan tentang adanya putusan yang memenuhi aksiologi hukum yang diharapkan. Putusan hakim ini harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur).

f. Simpulan

Putusan hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan PKPU oleh Erwito secara kasat mata tidak terlihat ada kejanggalan sebelum ada laporan yang masuk ke Komisi Yudisial. Padahal permohonan PKPU yang sama terhadap PT Maja Agung Latexindo sudah diajukan oleh pihak lain yang adalah kreditor, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia. Sementara berselang beberapa bulan kemudian, PN Niaga Medan memeriksa lagi permohonan PKPU oleh Erwito, yang mana nama ini tidak pernah muncul dalam permohonan PT Bank Rakyat Indonesia.

Dengan demikian, Hakim PN Niaga Medan yang memutuskan perkara dengan Putusan Nomor 05/PKPU/2012 tanggal 13 Juli 2014 harus dicermati sebagai “kelanjutan” dari permasalahan yang sama dengan Putusan Nomor 03/PKPU/2012 tanggal 22 Maret 2012.

Korelasi Putusan Hakim.indd 84 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 105: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

85

BAB II

g. Catatan atas Laporan

Dalam Keputusan Sidang Pleno Komisi Yudisial Nomor 85/SP.KY/VIII/2013 diungkapkan, ada tindakan-tindakan Terlapor yang telah menyalahi ketentuan prosedural PKPU dan jelas telah merugikan hak-hak PT Bank Rakyat Indonesia. Komisi Yudisial menyatakan Terlapor terbukti melakukan pelanggaran KEPPH (Butir 8 dan 10), sehingga sepantasnya terlapor dikenakan sanksi.

Terlapor menjadi hakim niaga hanya pada saat bertugas di Pengadilan Negeri Medan dan masih kurang berpengalaman dalam menangani perkara niaga, sehingga tidak perlu dijatuhi sanksi namun cukup diberikan peringatan agar lebih memperdalam pengetahuan mengenai kepailitan dan PKPU.

Sanksi untuk terlapor agar lebih memperdalam pengetahuan mengenai kepailitan dan PKPU ini menarik untuk dijadikan catatan. Ini berarti tidak ada halangan untuk tetap menjadi hakim pengawas, paling tidak dalam kurun waktu tertentu. Padahal, perilaku yang tidak berdisiplin tinggi dan tidak profesional ini telah menyebabkan kerugian cukup besar bagi Pelapor. Sangatlah berisiko apabila dalam kurun waktu “belajar” itu muncul korban-korban baru akibat rekomendasi sanksi yang tidak cukup tegas ini.

E. Putusan Perkara 19 s.d. 20

Nomor Perkara 0700/Pdt.G/2009/PA.PlgNomor Perkara 147/Pdt.G/2007/PA.SmdIdentitas PerkaraIsu kunci : Perkara ini mencakup sengketa orang tua dalam hal pemeliharaan anak dan pemberian nafkah. Namun, laporan kepada Komisi Yudisial lebih terkait pada penolakan salah satu pihak yang tidak mau menjalankan putusan.

Korelasi Putusan Hakim.indd 85 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 106: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

86

BAB II

Para Pihak :- Rahmayanti, S.H., M.Kn (Pemohon)

Majelis Hakim :- Majelis Hakim : Nomor 147/Pdt.G/2007/PA.Smd - Majelis Hakim : Nomor 0700/Pdt.G/2009/PA.Plg

a. Posisi Kasus

No Waktu Peristiwa

1 23 Maret 2003

Pernikahan antara Rahmayanti dan seorang hakim (pihak yang kemudian dilaporkan oleh Rahmayanti) dilangsungkan di Palembang secara Islam.

2 06 Juni 2007

Rahmayanti dan suaminya (si hakim) bercerai berdasarkan Putusan Verstek Pengadilan Agama Samarinda Nomor 147/Pdt.G/2007/PA.Smd. Dalam putusan tersebut belum dicantumkan tentang nafkah anak, nafkah istri, dan hak pemeliharaan anak berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (mencakup isu harta gono gini, nafkah anak, nafkah istri dan hadhonah).

Korelasi Putusan Hakim.indd 86 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 107: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

87

BAB II

3 06 Juli 2009

Rahmayanti mengajukan gugatan ke PA Palembang untuk menetapkan hak-hak Penggugat sebagai istri yang dicerai oleh suaminya dan telah diputus pada 7 Juli 2010. Pada pokoknya, pengadilan dalam Putusan Nomor 0700/Pdt.G/2009/PA.Plg menyatakan :

Mengabulkan gugatan konvensi untuk a. sebagian;Menetapkan bahwa anak bernama Zaki b. Firdaus M.D. berada di bawah hadhanah Penggugat konvensi selaku ibu kandung;Menghukum Tergugat untuk: (1) c. memberikan nafkah anak tersebut di atas melalui penggugat minimal Rp1,5 juta per bulan terhitung sejak putusan dijatuhkan hingga anak dewasa; (2) memberikan nafkah istri yang lampau/nafkah yang dilalaikan selama 25 bulan (Rp 500 ribu per bulan) sejumlah Rp 12,5 juta kepada Penggugat konvensi;Dalam rekonvensi: menolak gugatan d. Penggugat rekonvensi.

Korelasi Putusan Hakim.indd 87 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 108: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

88

BAB II

4 Agustus 2009

Rahmayanti memasukkan laporan ke Komisi Yudisial terhadap mantan suaminya, yang pada pokoknya berisi:

Bahwa Terlapor tidak melaksanakan a. kewajibannya memberikan hak kepada anaknya yang sampai sekarang masih tercatat dalam daftar gaji Terlapor;Agar Terlapor melaksanakan putusan/b. penetapan perkara yang telah diputus Pengadilan Agama Palembang dalam Perkara Nomor 0700/Pdt.G/2009/PA.Plg tanggal 7 Juli 2010 dengan mentransfer nafkah anak dan hadhanah yang dilakukan oleh bagian Keuangan PTUN di mana pun Terlapor bertugas;Bahwa atas penolakannya melaksanakan c. putusan pengadilan itu, terlapor sebagai hakim diduga telah melanggar KEPPH sebagaimana tertuang dalam butir 3 dan butir 7 poin 1, sebagai berikut:Angka 3 : Arif bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma hukum, norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mapu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.Angka 7.1 : Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Korelasi Putusan Hakim.indd 88 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 109: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

89

BAB II

5 18 Oktober 2010

Laporan Pelapor terhadap Terlapor selaku Tergugat kepada Komisi Yudisial tentang gugatan perkara pemeliharaan anak dan nafkah yang telah diputuskan oleh PA Palembang Nomor 700/Pdt.G/2010/PA.Plg yang belum melaksanakan putusan tersebut.

6 13 Februari 2011

Komisi Yudisial mengadakan sidang panel yang memutuskan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Pelapor.

7 21 April 2011

Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap Pelapor.

8 03 Januari 2012

Sidang Panel Komisi Yudisial memutuskan untuk meminta klarifikasi kepada Mahkamah Agung terkait hasil pemeriksaan yang dilakukan Mahkamah Agung terhadap Terlapor.

9 12 Januari 2012

Komisi Yudisial mengirim surat kepasa Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung untuk meminta data pemeriksaan terhadap Terlapor.

10 06 Maret 2012

Komisi Yudisial mengirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung untuk meminta data pemeriksaan terhadap Terlapor.

11 30 April 2012

Mahkamah Agung memberikan jawaban :Pada 30 Maret 2012, Mahkamah Agung a. telah memanggil Terlapor dalam Perkara Nomor 04/G/2009/PTUN.Bjm, dan bukan Perkara Nomor 700/Pdt.G/2009/PA.PlgTerlapor telah melanggar poin c angka 5.2.4 b. dan yang bersangkutan dijatuhi sanksi berupa hukuman tidak diperkenankan menangani perkara selama 6 bulan.

12 02 Oktober 2012

Sidang Panel Komisi Yudisial memutuskan bahwa laporan Pelapor tidak dapat ditindaklanjuti karena Terlapor telah dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung.

Korelasi Putusan Hakim.indd 89 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 110: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

90

BAB II

13 12 Februari 2013

Sidang Panel Komisi Yudisial memutuskan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Terlapor.

14 04 April 2013

Komisi Yudisial telah melakukan pemeriksaan terhadap Terlapor.

b. Dasar permohonan

Rahmayanti menggunakan dasar laporannya berdasarkan Putusan Nomor 700/Pdt.G/2009/PA.Plg. Pada hakikatnya bukan isi putusan ini yang menjadi “masalah”, melainkan penolakan pihak yang “dikalahkan” yaitu mantan suaminya, yang tidak mau menjalankan isi putusan. Padahal, mantan suaminya ini notabene adalah seorang hakim yang saat laporan itu masuk ke Komisi Yudisial sedang bertugas sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Bandung.

Dasar dari permohonan (laporan) Rahmayanti adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, khususnya berdasarkan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang harta gono gini, nafkah anak, nafkah istri dan hadhonah dapat dituntut, baik ketika berlangsung gugatan perceraian maupun setelah putusan perceraian memiliki kekuatan hukum tetap. Oleh karenanya, Penggugat (Pelapor) mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Palembang untuk menetapkan hak-hak Penggugat (Pelapor) sebagai istri yang bercerai oleh suaminya. Hal ini dianggap juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Nomor 45 Tahun 1990.

c. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan

Berangkat dari putusan perceraian antara Rahmayanti dan suaminya dengan Putusan Nomor 147/Pdt.G/2007/PA.Smd., yang kemudian dilanjutkan dengan Putusan Nomor 700/Pdt.G/2009/PA.Plg., secara jelas majelis hakim lebih cenderung

Korelasi Putusan Hakim.indd 90 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 111: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

91

BAB II

memberi Rahmayanti hak sebagai wali anak dan nafkah. Dalam putusan terakhir, yaitu putusan di Pengadilan

Agama Palembang, dipertimbangkan bahwa:1. Putusan sebelumnya (Nomor 147/Pdt.G/2007/PA.Smd)

memang belum mencantumkan tentang nafkah anak, nafkah istri, dan hak pemeliharaan anak berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang harta gono gini, nafkah anak, nafkah istri dan hadhonah, yang dapat dituntut walaupun sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Bahwa dalam perkawinan telah dilahirkan seorang anak.3. Bahwa Tergugat tidak sekalipun memberikan nafkah bagi

Penggugat, padahal Penggugat masih istri Tergugat dan masih terdaftar dalam gaji Tergugat.

4. Oleh karena perceraian adalah atas kehendak Tergugat, maka Penggugat meminta agar ditetapkan hak-hak Penggugat sebagai istri Pegawai Negeri Sipil.

5. Bahwa Zaki adalah anak yang masih di bawah umur dan penggugat adalah orang yang baik dan tidak ada cacat moral atau perilaku yang buruk yang menyebabkan tidak cakap untuk mengasuh anaknya. Hal ini sesuai dengan Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam.

6. Penggugat akan ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah terhadap anak tersebut.

7. Bahwa karena penggugat dianggap telah memenuhi syarat maka gugatan patut dikabulkan.

8. Bahwa gugatan Penggugat tentang besaran nafkah untuk anak sebesar Rp 1,5 juta per bulan, majelis menganggap wajar.

9. Bahwa Tergugat tidak pernah memberikan biaya hidup kepada Penggugat.

Korelasi Putusan Hakim.indd 91 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 112: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

92

BAB II

Amar Putusan dari Putusan Nomor 700/Pdt.G/2009/PA.Plg menyatakan :1. Menetapkan anak bernama Zaki berada di bawah hadhanah

si penggugat selaku ibu kandungnya;2. Menghukum memberikan nafkah anak tersebut di atas

melalui Penggugat minimal Rp 1,5 juta per bulan terhitung sejak putusan ini dijatuhkan hingga anak dewasa (21 tahun).

3. Memberikan nafkah istri yang telah dilalaikan selama 25 bulan sebesar Rp 12,5 juta kepada Penggugat.

d. Dugaan pelanggaran yang Dilaporkan

Pelanggaran angka 3 KEPPH :Angka 3 berbunyi: Arif bijaksana bermakna mampu

bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma hukum, norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.Pelanggaran angka 7.1 KEPPH:

Angka 7.1 berbunyi: Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan baik di dalam maupun di luar pengadilan.

e. Analisis Putusan

Perkara yang dilaporkan ke Komisi Yudisial ini jelas tidak bersentuhan langsung dengan kualitas putusan, baik di Pengadilan Agama Samarinda maupun Pengadilan Agama Palembang. Pokok persoalan justru pada penolakan mantan

Korelasi Putusan Hakim.indd 92 12/18/2015 3:30:49 PM

Page 113: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

93

BAB II

suami Rahmayanti yang menolak melaksanakan putusan tersebut. Posisi suami yang kebetulan adalah seorang hakim, seharusnya menghormati putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan perilaku demikian mengandung bobot pelanggaran KEPPH.

Sebagai hakim yang berkedudukan mulia, dalam berperilaku tidak hanya terikat terhadap butir-butir yang ada dalam KEPPH, namun juga terhadap aturan-aturan yang berlaku sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara.

Dalam posisinya sebagai seorang hakim, dapat dibedakan paling tidak ada tiga kondisi yaitu :1. Seorang hakim sedang menjalankan kewajibannya sebagai

hakim, baik di dalam maupun di luar pengadilan.2. Seorang hakim tidak sedang menjalankan kewajibannya

sebagai hakim dan apa yang dilakukannya tidak terkait sama sekali dengan posisinya dia sebagai hakim, namun perbuatannya atau tindakannya itu adalah tindakan tercela dan atau perbuatan tindak pidana.

3. Seorang hakim yang tidak sedang menjalankan kewajibannya sebagai hakim dan apa yang dilakukannya tidak terkait sama sekali dengan posisinya sebagai hakim.Pembedaan tersebut berakibat pada penjatuhan sanksi

yang akan diterimanya, yaitu:1. Seorang hakim yang sedang mejalankan kewajibannya sebagai

hakim baik di dalam maupun di luar pengadilan, maka yang bersangkutan terikat dengan KEPPH, sehingga yang bersangkutan tidak bisa lepas dari apa yang ditentukan dalam KEPPH. Sebagai contoh dalam hal ini adalah: a. Hakim ASN, yang terkait Kasus Korupsi Ketua

DPRD Grobogan yang ditangani olehnya di Pengadilan Tipikor Semarang. ASN telah terbukti melanggar KEPPH karena telah menemui seorang ‘broker’ atau makelar kasus yakni HK (Hakim ad hoc

Korelasi Putusan Hakim.indd 93 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 114: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

94

BAB II

Tipikor Pontianak) atas ajakan atau permintaan dari KM (seorang hakim ad hoc). Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menjatuhkan sanksi pemecatan secara tidak hormat. Alasan pemecatan ialah karena melanggar KEPPH.

b. NH, Hakim dan Ketua PN Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ini terbukti menerima uang Rp 20 juta dari seorang advokat yang perkaranya disidangkan oleh NH. NH dijatuhi sanksi non-palu alias tidak boleh bersidang selama 2 tahun. Hukuman yang dijatuhkan MKH ini lebih ringan dibandingkan rekomendasi Komisi Yudisial agar Nuril diberhentikan secara tetap dengan tetap memperoleh pensiun.

c. RLT dinyatakan terbukti melanggar KEPPH khususnya melanggar prinsip berlaku adil terkait larangan berkomunikasi dengan pihak yang berperkara, berperilaku jujur, dan menghindari perbuatan tercela, menjaga kepercayaan masyarakat, larangan meminta atau menerima sesuatu atau hadiah/janji. RLT menggunakan narkoba, bertemu dengan pihak yang berperkara dan menerima uang Rp 8 juta, agar vonis terdakwa menjadi 2 tahun. RLT dijatuhi sanksi pemberhentian secara hormat dengan hak pensiun.

d. AY terbukti melanggar KEPPH dengan mengubah Draf Putusan Peninjauan Kembali dengan mengubah amar putusan dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara atas Terpidana Narkoba Hengky Gunawan. MKH memutuskan untuk memberhentikan secara tidak hormat.

2. Seorang hakim yang tidak sedang menjalankan kewajibannya sebagai hakim dan apa yang dilakukannya tidak terkait sama

Korelasi Putusan Hakim.indd 94 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 115: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

95

BAB II

sekali dengan posisi dia sebagai Hakim, namun perbuatannya atau tindakannya itu adalah tindakan tercela dan atau perbuatan tindak pidana. Sebagai contoh dalam hal ini adalah :a. Hakim VN yang diberhentikan secara hormat

dengan hak pensiun. VN dinilai terbukti melanggar KEPPH dan Panduan Penegakan KEPPH karena berselingkuh dengan seorang hakim dan advokat. VN terbukti beberapa kali menerima Gali Dewangga (advokat) di rumahnya pada malam hari. Keduanya juga bertemu di Bali pada jam kerja tanpa izin atasannya. VN terbukti melanggar SKB Tahun 2009 tentang KEPPH huruf c butir 3.1 ayat (1), butir 5.1 ayat (1) jo. Pasal 9 ayat (4a), Pasal 11 ayat (3a) Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Tahun 2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH. Ketentuan itu mewajibkan hakim menghindari dan harus berperilaku tidak tercela, hakim wajib menjaga kewibawaan dan martabat lembaga peradilan dan profesi.

b. AS, Hakim Pengadilan Negeri Singkawang, diberhentikan dengan hormat sebagai hakim dengan hak pensiun. AS terbukti melanggar KEPPH karena berselingkuh dengan perempuan lain bernama Thu Fu Liang.

3. Seorang hakim yang tidak sedang menjalankan kewajibannya sebagai hakim dan apa yang dilakukannya tidak terkait sama sekali dengan posisinya dia sebagai hakim. Sebagai contoh adalah perkara yang dilaporkan oleh Rahmayanti sebagaimana sedang dibahas dalam tulisan ini.

Posisi mantan suami Rahmayanti dalam kasus tersebut adalah:a. Bukan sebagai hakim yang menjalankan

Korelasi Putusan Hakim.indd 95 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 116: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

96

BAB II

kewajibannya sebagai hakim (tidak sedang menyidangkan dan/atau memutus perkara) dan apa yang dilakukannya tidak terkait sama sekali dengan posisinya dia sebagai hakim.

b. Termohon dituntut karena Termohon tidak mau menjalankan Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor: 0700/Pdt.G/2009/PA.Plg tentang kewajiban untuk memberikan nafkah anak sampai anak dewasa (21 tahun) dan nafkah istri selama 25 bulan sebesar Rp 12,5 juta.

Sebagai hakim dalam melaksanakan kehidupan berkeluarga khususnya dalam hal perkawinan dan perceraian maka ia terikat dengan Peraturan Pemerintan Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintan Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintan Nomor 10 Tahun 1983 dalam pertimbangannya disebutkan, “Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga”.

Kehidupan rumah tangga tidak selamanya langgeng. Maka apabila PNS setelah menikah ternyata akan melakukan perceraian harus mengikuti aturan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintan Nomor 45 Tahun 1990 ini.

Tentang kewajiban setelah perceraian bagi PNS (Hakim) dapat kita temukan pada Pasal 8 ayat (1): Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya. Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya, Pasal 8 ayat (2).

Korelasi Putusan Hakim.indd 96 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 117: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

97

BAB II

Selanjutnya mengenai mekanisme pelaksanaannya diserahkan kepada Badan Administrasi Kepegawaian Negara sesuai dengan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ini.

Mekanisme atau teknis pelaksanaannya ada di dalam Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.252.2535/99 tanggal 22 Agustus 2011 tentang Hukuman Disiplin bagi PNS yang melanggar Peraturan Pemerintan Nomor 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. Dalam surat tersebut dengan jelas disebutkan bahwa: PNS yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian

gaji sesuai dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS (Nomor 1.a. point 10). Dalam angka X Nomor 5 Peraturan Kepala BKN Nomor 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil ditentukan bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, PNS yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin tingkat berat berdasarkan PP Nomor 53 Tahun 2010, (Nomor 1.c).Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang

Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Bagian Kedua tentang Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin, Pasal 7 ayat (4).

Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga)

tahun;b. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat

lebih rendah;

Korelasi Putusan Hakim.indd 97 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 118: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

98

BAB II

c. Pembebasan dari jabatan;d. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan

sendiri sebagai PNS; dane. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Lalu, bagaimana seharusnya perilaku hakim ini harus disikapi? Jelas bahwa apabila putusan hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur), maka tidak bisa tidak para pihak perlu menjalankan kewajiban yang harus dipikul. Sikap moral demikian merupakan dasar etis yang harus dijalankan oleh siapapun.

Hakim yang profesional sudah sewajarnya tahu akan konsekuensi dari suatu putusan yang tidak bisa dieksekusi. Putusan demikian akan membahayakan penghormatan masyarakat terhadap kewibawaan pengadilan. Dalam Shidarta (2009: 55-61) disebutkan jenis-jenis teori etika, yaitu idealisme etis, deontologisme etis, dan teleologisme etis. Dalam idealisme etis, perilaku dianggap baik atau buruk berlandaskan pada keyakinan etis bahwa rohani (spirit) merupakan ultimate reality yang paling menentukan daripada rasio dan pengalaman. Sementara deontologisme etis lebih menekankan baik-buruk perilaku pada perimbangan rasional, bahwa sesuatu dianggap baik/buruk karena memang sudah ditetapkan secara apriori bahwa hal itu memang baik/buruk, terlepas apapun konsekuensi sesudahnya. Selanjutnya, teleologisme etis lebih melihat baik/buruk dari sisi pragmatisme.

Dengan demikian, sebenarnya perilaku hakim (mantan suami Rahmayanti) yang menolak menjalankan putusan pengadilan tidak dapat dibenarkan secara idealisme etis, mengingat secara intuitif tidak mungkin pembangkangan terhadap putusan pengadilan seperti ini dapat dijustifikasi, apalagi tanpa alasan yang dapat dibenarkan secara etis. Secara rasional, perilaku ini juga tidak dapat dibenarkan karena

Korelasi Putusan Hakim.indd 98 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 119: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

99

BAB II

penghormatan terhadap putusan pengadilan merupakan bagian dari penghormatan terhadap nilai-nilai yang menjadi tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfatan. Dari sisi telologisme etis, pembangkangan seseorang terhadap putusan hakim, apalagi jika pembangkangan ini dilakukan oleh seorang hakim, tidak memberi contoh penerapan hukum yang baik.

Jawaban si hakim ini bahwa ia belum dapat melaksanakan putusan ini karena ia harus melapor terlebih dulu ke atasan, memperlihatkan kesadaran yang bersangkutan bahwa dirinya adalah seorang hakim, bukan sekadar suami dari Rahmayanti. Yang bersangkutan sadar bahwa pada dirinya melekat profesi hakim yang luhur, yang seharusnya tidak dibiarkannya berada dalam “gugatan” akibat ketidakmampuannya mengangkat profesinya menjadi profesi luhur (officium nobile). Oleh sebab itu, pengabaian (bahkan pembangkangan) demikian memperlihatkan suatu pelanggaran serius.

f. Simpulan

Dengan melihat aturan yang ada maka dapat diambil simpulan:1. Bahwa Termohon a quo dalam kapasitasnya tidak

menjalankan fungsinya sebagai hakim pada pengadilan baik di dalam maupun di luar pengadilan dan apa yang dilakukannya tidak terkait sama sekali dengan posisinya sebagai Hakim. Sehingga pemberian sanksi terhadap Termohon yang mendasarkan pada KEPPH angka 3 yang berbunyi: “arif bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat bfaik norma hukum, norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya.”

Korelasi Putusan Hakim.indd 99 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 120: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

100

BAB II

Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun adalah kurang tepat. Begitu juga angka 7.1, yang berbunyi: “hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan baik di dalam maupun di luar pengadilan, juga tidak tepat.”

2. Bahwa untuk penjatuhan sanksi berupa hukuman tidak diperkenankan menangani perkara selama 6 (enam) bulan yang telah diberikan kepada Termohon oleh MA adalah pada kasus yang berbeda yaitu dalam Perkara Nomor 04/G/2009/PTUN.Bjm, sehingga untuk kasus a quo seharusnya diberikan sanksi yang berbeda pula.

3. Pemberian sanksi walaupun tidak dalam kapasitasnya sebagai hakim yang memutus perkara namun sebaiknya diberikan yang lebih berat. Yang mendasarkan pada kapasitasnya termohon sebagai Pegawai Negeri Sipil, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 Pasal 7 ayat (4) di atas.

g. Catatan atas Laporan

Sidang Pleno Komisi Yudisial memutuskan bahwa Terlapor telah melanggar KEPPH angka 3 dan angka 7 poin 1. Untuk itu, Terlapor dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis. Apabila latar belakang penjatuhan sanksi ini adalah karena Terlapor sebagai hakim tidak melaksanakan putusan terkait perkara yang menimpa pribadi/keluarganya, maka perilaku ini dapat digolongkan sebagai bentuk “pengabaian” atau “ketidakhormatan” terhadap putusan dari lembaga terhormat yang dirinya ada di dalamnya. Sulit dapat diterima seorang penyandang profesi dapat menuntut orang lain untuk menghormati putusannya apabila dirinya sendiri tidak bersedia menghormati putusan dari rekan kolegialnya sendiri.

Korelasi Putusan Hakim.indd 100 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 121: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

101

BAB II

Sekalipun pelanggaran ini tergolong serius, Komisi Yudisial ternyata menyimpulkan bahwa permohonan pelapor (untuk memaksa pelapor menjalankan putusan) bukan menjadi kewenangan Komisi Yudisial, dan untuk itu meminta bantuan Mahkamah Agung agar memerintah Terlapor untuk segera melaksanakan Putusan Nomor 700/Pdt.G/2010/PA.Plg. Terhadap si Terlapor ini, Komisi Yudisial memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis.

Pencantuman “sanksi ringan” dengan teguran tertulis ini selayaknya juga disertai pencantuman sanksi tambahan yang secara eksplisit harus dinyatakan, yaitu menyatakan Terlapor berada dalam daftar hakim-hakim yang berada dalam pemantauan. Apabila hakim ini tidak melaksanakan putusan tersebut dalam waktu yang ditentukan, maka dengan sendirinya derajat sanksi dapat ditingkatkan.

Korelasi Putusan Hakim.indd 101 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 122: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim.indd 102 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 123: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

103

BAB III

Bab IIICatatan Atas Laporan

Ada banyak aspek yang bisa digali dari catatan-catatan yang disampaikan dalam laporan ini. Satu hal yang patut dicermati adalah bahwa analisis putusan memang

tidak serta merta dapat mengungkapkan titik-titik lemah yang menjurus kepada pelanggaran KE-PPH. Sekalipun demikian, secara spesifik dapat diidentifikasi ada korelasi antara kualitas putusan dengan dugaan penyimpangan KE-PPH.

Dari kasus-kasus yang dianalisis dalam laporan penelitian ini, hal-hal tersebut dapat diamati dari beberapa titik berangkat :

Ada putusan yang patut diduga dibuat sebagai bagian 1. dari “rekayasa” karena hakim sendiri memiliki konflik kepentingan untuk sampai pada suatu luaran tertentu dari putusan itu. Putusan perkara Nomor 36 P/HUM/2011 dapat digolongkan ke dalam kategori ini. Jenis luaran putusan seperti ini jelas telah mengandung “cacat” tersendiri sejak dilahirkan karena melanggar asas nemo judex in rex sua.

Ada lagi putusan yang kualitasnya dipertanyakan karena 2. terlalu banyak putusan terkait pada suatu perkara yang

Korelasi Putusan Hakim.indd 103 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 124: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

104

BAB III

sama, sehingga kasus yang sebenarnya tidak terlalu kompleks lalu berubah menjadi bermasalah akibat inkonsistensi pengadilan dalam mengambil sikap. Asas ne bis in idem menjadi salah satu problematika. Hal ini tercermin dari putusan perkara Nomor 16/Pdt.G/2008 dan seterusnya. Ada beberapa putusan yang berdiri sendiri-sendiri, yang pada akhirnya justru saling bertolak belakang. Kesalahan majelis hakim dalam memaknai asas itikad baik, berakibat pada kerugian salah satu pihak yang terlanjur dibenarkan dalam salah satu putusan.

Kualitas putusan yang bermasalah juga dapat ditemukan 3. karena pengabaian terhadap asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Inisiatif para pihak untuk memasukkan perkara sebanyak-banyaknya ke pengadilan membuka peluang pembebanan pada kinerja pengadilan. Hakim yang profesional harus dapat menimbang-nimbang seberapa perlu suatu perkara yang pada pokoknya sama, harus diadili secara terpisah. Kelemahan dari putusan-putusan yang berdiri sendiri-sendiri ini terlihat pada analisis kasus merek dan hak cipta pada perkara No. 10/Merek/2011 dan rangkaian putusan-putusan berikutnya. Bahkan ada kesan majelis hakim tidak memberi porsi yang seimbang dalam memberikan pertimbangan (asas audi alteram partem).

Kualitas putusan juga dapat dipertanyakan dalam hal 4. undang-undangnya sendiri tidak menyediakan panduan yang relatif lengkap. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah contoh dari kondisi ini. Asas beracara dengan pembuktian sederhana yang diperkenalkan dalam undang-undang ini terbukti membuka peluang pada lemahnya kontrol pengadilan terhadap kualitas putusannya. Padahal hakim dianggap sudah tahu hukumnya (ius curia novit). Hal inilah yang ditemukan dalam analisis putusan perkara

Korelasi Putusan Hakim.indd 104 12/18/2015 3:30:50 PM

Page 125: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

105

BAB III

Nomor 05/PKPU/2012/PN.Niaga Mdn.

Identifikasi terakhir ditemukan dalam putusan tentang 5. hak pemeliharaan anak dan pemberian nafkah. Pada kasus terakhir ini, bukan kualitas putusan yang dipersoalkan melainkan kualitas sikap moral hakim sendiri di dalam menghormati putusan pengadilan. Intinya, putusan pengadilan memiliki otoritas untuk dihormati sejalan dengan asas res judicata pro veritate habetur. Pengabaian terhadap putusan, terutama yang dilakukan oleh aparatur hakim itu sendiri, merupakan bentuk pelanggaran serius KE-PPH.Dari uraian di atas, ternyata cukup banyak indikasi yang

bisa diungkapkan dari suatu putusan hakim, yang menjurus pada pelanggaran KE-PPH. Dalam analisis terhadap putusan-putusan dalam penelitian ini dapat dicatat bahwa beberapa asas menjadi perhatian penting karena terindikasi telah dilanggar.

Korelasi Putusan Hakim.indd 105 12/18/2015 3:30:51 PM

Page 126: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

106

BAB III

Dengan gambaran di atas dapat dipahami bahwa anotasi atau jika perlu, eksaminasi putusan merupakan akses pembuka jalan untuk dapat mengetahui seberapa mungkin dapat ditelusuri pelanggaran-pelanggaran KE-PPH.

Disarankan agar kegiatan anotasi dan eksaminasi putusan harus lebih digalakkan kualitas. Minimal aspek-aspek seperti penguasaan hakim atas hukum acara, hukum material (khususnya asas-asas), penalaran hukum, menjadi variabel yang perlu dicermati. Selain itu, Komisi Yudisial juga perlu membuat kalibrasi sanksi agar bobot pelanggaran yang dilakukan dapat relatif konsisten antara satu putusan dengan putusan berikutnya.

Korelasi Putusan Hakim.indd 106 12/18/2015 3:30:51 PM

Page 127: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

107

BAB III

Daftar Pustaka

Adisumarto, Harsono. Hak Milik Intelektual, Khususnya paten dan Merek (Jakarta; Akademika Pressindo. 1989).

Black, Henry Campbell. (1990). Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Publishing.

Chadwick, Bruce; Howard M. Bahr, & Stan L. Albrecht. (1991). Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial. Terjemahan Sulistia dkk. Semarang: IKIP Semarang Press.

Crossman, Ashley. (2014). “Secondary Analysis”. <http://sociology.about.com/od/S_Index/g/ Secondary-Analysis>. Akses 1 Agustus 2014.

Elliott, Chaterine & Frances Quinn. (2005). Contract Law. Harlow: Pearson Education Ltd.

Gautama, Sudargo dan Rizawanto Winata. (1997). Pembaharuan Undang-Undang Hak Cipta. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya. (2013). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Hart, H.L.A. (1978). The Concept of Law. Oxford: Oxfod University Press.

Manan, Bagir. (2006). “Hubungan Ketatanegaraan MA dan MK dengan Komisi Yudisial (suatu pertanyaan)”. Majalah Varia Peradilan. Tahun XXI, No. 244/Maret. Mertokusumo, Sudikno. (1988). Hukum Acara Perdata

Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Osborn, P.G. (1960). A Concise Law Dictionary. London: Sweet & Maxwell Ltd.

Korelasi Putusan Hakim.indd 107 12/18/2015 3:30:51 PM

Page 128: Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

Korelasi Putusan Hakim dan Dugaan Pelanggaran KEPPH

108

BAB III

Shidarta. (2009). Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung: Refika Aditama.

Subekti, R. (1982). Hukum Acara Perdata. Bandung: Binacipta.

Syarifuddin, Muhammad. (2012). Hukum Kontrak. Bandung: Mandar Maju.

Usman, Rachmadi. (2003). Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandug: Alumni.

Korelasi Putusan Hakim.indd 108 12/18/2015 3:30:51 PM