kejang demam tami - copy

Upload: tamiwikarta

Post on 06-Jul-2015

451 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT I KEJANG DEMAM Instalasi Rawat Darurat RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Penyusun : BUDI UTAMI 3208140

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JENDRAL AHMAD YANI YOGYAKARTA 2011

LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM

A. KONSEP DASAR KEJANG DEMAM 1. Pengertian

Kejang demam ialah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu badan (suhu rectal) di atas 38oC yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. (Soemarno Markam, 1992).

Kejang demam/kejang demam tonik-klonik adalah serangan kejang yang sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun yang disebabkan oleh adanya awitan hipertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus, karena peningkatan suhu secara ekstrim (biasanya lebih dari 120oF atau 39oC). (Sylvia A. Price, 1995).

1. Anatomi dan Fisiologi Sistem saraf manusia adalah sistem saraf yang kompleks sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Sistem saraf berkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya, serta aktivitas sistemsistem tubuh lainnya. Sistem saraf terbagi menjadi : a. Sistem saraf pusat (SSP) Dilindungi oleh tengkorak dan sumsum tulang belakang juga oleh suspensi dalam ventrikel otak. Susunan saraf pusat ini diliputi oleh 3 lapisan jaringan yang bersama-sama disebut meningen. OTAK Otak dibagi menjadi 3 bagian besar : serebrum, batang otak dan cerebellum. Semua berada dalam satu bagian struktur tubuh yang disebut tengkorak, yang melindungi otak dan cedera. MENINGEN Meningen terdiri dari durameter, arachnoid, piameter.

CEREBRUM

Cerebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Pada cerebrum terletak pusat 2 saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik juga mengatur proses penalaran intelegensia dan ingatan. EMPAT LOBUS 1. Frontal (lobus terbesar), terletak pada fossa anterior. Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri. 2. Parietal (lobus sensorik). Area ini menginterpretasikan sensasi kecuali sensasi baru. Lobus parietal mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya. 3. Temporal, mengintegrasikan sensasi, kecap, bau dan pendengaran, ingatan jangka pendek sangat berhubungan dengan daerah ini. 4. Occipital, terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian ini bertanggung jawab untuk menginterpretasikan penglihatan. BATANG OTAK Batang otak terletak antara fossa anterior, terdiri atas : Otak tengah menghubungkan pons dan cerebellum dengan hemisfer cerebrum (berisi jalur sensorik dan motorik sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan). Pons terletak di depan cerebellum antara otak tengah, medulla dan cerebrum. Pons berisi jaras sensorik dan motorik. Medulla oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke medula spinalis dan serabut-serabut sensorik dari medula spinalis ke otak. CEREBELLUM Terletak pada fosa posterior dan terpisah dari hemisfer cerebral, lipatan duramater, centorium cerebellum. Fungsi cerebellum yaitu merangsang dan menghambat serta bertanggung jawab yang luas terhadap koordinasi, gerakan halus, mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan, posisi dan mengintegrasikan input sensorik. DIENCEPHALON Berisi thalamus, hipotalamus dan kelenjar hipofisis. Diencephalon sebagai pusat penyambung sensasi bau yang diterima. Semua impuls memori sensasi dan nyeri melalui bagian ini. Hipotalamus berfungsi mengontrol dan mengatur sistem saraf otonom, bekerja sama dengan hipofisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan, mempertahankan pengaturan suhu tubuh. Mempengaruhi sekresi hormonal dengan kelenjar hipofisis.

Hipotalamus juga sebagai pusat lapar dan mengontrol berat badan (tertera pada gambar 1). a. Sistem saraf tepi (Perifer) Dibagi atas 3 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Susunan saraf perifer terdiri atas : Neuron afferent berfungsi untuk menerima pesan-pesan neural, sensorik menuju SSP. Neuron eferen berfungsi menerima pesan-pesan neural motorik. Dimana aferen maupun eferen dihantar baik oleh saraf spinal atau juga disebut saraf campuran. Secara fungsional system saraf tepi dibagi menjadi : System saraf somatik, yang terdiri dari saraf campuran : Bagian aferen : membawa baik informasi sensori yang disadari maupun yang tidak disadari. Misalnya : nyeri, suhu, raba, penglihatan, pengecapan, pendengaran, penerimaan. Bagian eferen : berhubungan dengan otot rangka tubuh. Secara keseluruhan system saraf somatik ini menangani interaksi dan respon terhadap lingkungan luar. System saraf otonom yang merupakan sistem saraf campuran : Bagian aferen : membawa masukan dari organ viseral seperti pengaturan denyut jantung, pernapasan, pencernaan makanan, rasa lapar, mual serta pembuangan. Bagian eferen : sebagai motorik system otonom yang mempersarafi otot polos, jantung dan kelenjar-kelenjar viseral. JARINGAN SARAF terdiri dari : Sel syaraf (neuron) Merupakan unit fungsional dari sistem syaraf. Setiap neuron mempunyai badan sel yang mempunyai satu tonjolan. Dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju badan sel. Dan tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel yang disebut akson untuk mengirim impuls atau rangsang. Sel Schwan Sel khusus pada tepi saraf sistem yang terbentuk dari lapisan myelin yang mengelilingi akson. Neucoglia Penyokong, pelindung neuron-neuron SSP dan sebagai sumber nutrisi bagi neuron-neuron otak dan medula spinalis. Myelin

Menghalangi aliran ion natrium dan kalium melintasi membran neural. (tertera pada gambar 2). 1. Etiologi Peningkatan suhu tubuh > 38oC, akibat proses infeksi ekstrakranium: tonsilitis, otitis media akut, bronkitis. Faktor hereditas (lennox-buchthal); kejang demam dapat diturunkan genominunan. Anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang.

4. Klasifikasi Kejang Demam Menurut J. Gordon Millichap dan Jerry A. Collifer, ada 2 bentuk kejang demam yaitu: 1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut: Kejang berlangsung singkat < 15 menit Kejang umum tonik dan atau klonik Umumnya berhenti sendiri Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam Umur penderita 6 bulan- 5 tahun

2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut: Kejang lama >15 menit Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial Berulang atau lebih dari 1kali dalam 24 jam Kejang pertama kali pada umur < 6 bulan atau > 5 tahun Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak diperlukan energi dari metabolisme, yang terpenting glukosa melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi membran dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Pada keadaan normal dapat dengan mudah dilalui ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion khlorida (Cl). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena terdapat perbedaan jenis konsentrasi maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran sel neuron. Untuk menjaga

5. Patofisiologi

keseimbangan ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-A T Pase yang terdapat pada permukaan sel. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan O2 akan meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Sedemikian besarnya meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel melalui neurotransmiter dan terjadilah kejang. 6.PathwayPeningkatan Suhu Tubuh Metabolisme basal meningkat tinggi gangguan kebutuhan nutrisi O2 ke otak menurun Resiko

Kejang demam

TIK Meningkat

Kejang demam sederhana Perkusi Jaringan

kejang demam kompleks

Gangguan

Resiko Injury

Defisit Volume Cairan

Resiko Tinggi Gangguan Tumbuh Kembang

7. Tanda dan Gejala Gejala berupa : 1) Suhu anak tinggi. 2) Anak pucat / diam saja 3) Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan. 4) Umumnya kejang demam berlangsung singkat.

5) Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. 6) Serangan tonik klonik ( dapat berhenti sendiri ) 7) Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit 8) Seringkali kejang berhenti sendiri. (Arif Mansjoer. 2000) 8. Test Diagnostik 1. Pemeriksaan darah rutin : Hb, Leukosit, Diff Count 2. Pemeriksaan kadar gula darah, kalsium, phospor 3. Pemeriksaan urine rutin 4. Pemeriksaan Liquor cerebrospinalis (bila perlu) 5. EEG (Electro Ensefalografi). 9. Komplikasi 1. Komplikasi saat terjadi serangan : Apneu Trauma Hipoksia Asidosis metabolik.

1. Komplikasi setelah serangan Epilepsi Retardasi mental Kelemahan.

10. Penatalaksanaan Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan pencegahan kejang. 1. Penanganan pada saat kejang Menghentikan kejang, Diazepam dosis awal 0,3-0,5/kgBB/dosis IV (perlahanlahan) atau 0,4-0,6mg/kgBB/dosis REKTAL. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit kemudian. a) Penanganan suportif lainnya meliputi : Bebaskan jalan nafas

b) c) d)

Pemberian oksigen Menjaga keseimbangan air dan elektrolit Pertahankan keseimbangan tekanan darah Turunkan demam : Paracetamol 10mg/kgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-

a) Antipiretika

10mg/kgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3-4 kali per hari. b) Kompres : dengan air hangat 2. Pengobatan penyebab dasarnya. Pencegahan kejang Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3mg/kgBB/dosis PO dan antipiretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 1540mg/kgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis. Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu : 1. Memberantas kejang secepat mungkin. 2. Pengobatan penunjang. 3. Memberikan pengobatan rumat, dan 4. Mencari dan mengobati penyebab. Memberantas kejang secepat mungkin Obat pilihan pertama untuk menanggulangi kejang status konvulsivus yang dipilih para ahli adalah difenilhidantoin karena tidak mengganggu kesadaran dan tidak menekan pusat pernapasan, tetapi mengganggu frekuensi dan irama jantung. Pengobatan penunjang Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya pengobatan penunjang, yaitu : a. Semua pakaian ketat dibuka. b. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung. c. Usahakan agar jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen, bila perlu dilakukan intubasi/trakeostomi. d. Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan monitoring untuk : antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit

kelainan metabolik dan elektrolit. Bila terdapat tekanan intrakranial yang meninggi jangan diberikan cairan dengan kadar natrium yang terlalu tinggi. Pengobatan rumah Lanjutan pengobatan rumat tergantung daripada pasien. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu : a. Pengobatan profilaksis intermitten. b. Pengobatan profilaksis jangka panjang. Profilaksis intermitten Untuk mencegah terulangnya kejang kembali di kemudian hari, pasien yang menderita kejang demam sederhana diberikan obat. Campuran anti konvulsan dan antipiretik, yang harus diberikan kepada anak bila menderita demam lagi. Anti konvulsan yang diberikan ialah fenobarbital. Obat antipiretik yang dipakai misalnya aspirin. Profilaksis jangka panjang Profilaksis jangka panjang untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan cukup di dalam pasien untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari. Obat yang dipergunakan untuk profilaksis jangka panjang ialah : Fenobarbital Sodium valproat/asam valproat (epilin, depakene) Fenitoin (dilantin).

A. Konsep Dasar Keperawatan 1. Pengkajian Primer a. Airway kaji adanya sumbatan jalan napas dari mulut dan hidung, ke faring lalu larinks (tempat pita suara) dan trakea. Pada orang dewasa akan bernapas terutama melalui hidung, tetapi tanpa kesulitan akan bernapas melalui demam. Pada kasus kejang demam waspadai terjadinya aspirasi yang dapat menjadi sumbatan jalan napas. Kaji adanya gigi yang mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, dan peningkatan sekresi mukus. b. Breathing Bila airways sudah membaik, belum tentu pernafasan akan membaik juga sehingga perlu dilakukan pemeriksaan. Kaji frekuensi pernapasan klien, irama jantung, adanya penggunaan otot bantu napas, suara napas tambahan, pergerakan dada simetris atau tidak, adanya penggunaan cuping hidung, pernapasan pendek dan cepat. c. Circulation

Kaji tekanan darah klien, frekuensi denyut jantung, suhu atau temperatur tubuh, Kaji adanya tanda-tanda syok seperti kulit pucat dan akral dingin, produksi urine berkurang, nadi cepat tetapi lemah, gangguan kesadaran, dan penurunan tekanan darah. Waspadai adanya perdarahan yang disebabkan cedera karena kejang seperti tergigit. 2. Pengkajian Sekunder a) Aktifitas / Istirahat Gejala : Keletihan, kelemahan umum, Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot, Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot. b) Sirkulasi Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan. c.) Eliminasi Gejala : Inkontinensia episodik. Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ). d.) Makanan dan cairan Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan aktifitas kejang. e) Neurosensori Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral. f) Nyeri / kenyaman Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal. Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati-hati. Perubahan pada tonus otot. Tingkah laku distraksi / gelisah. 2. Diagnosa Keperawatan a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah b. Bersihan Jalan Nafas Tidak efektif b.d Peningkatan Sekresi Mukus c. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu tubuh

d. Resiko tinggi kejang berulang b.d riwayat kejang e. Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.

3. Rencana Keperawatan Rencana Keperawatan No Dx Keperawatan 1. Kekurangan volume berhubungan muntah Tujuan/Kriteria Intervensi Ukur jumlah dan muntah Rasional catat menentukan kehilangan dan kebutuhan cairan tubuh

Tujuan : setelah cairan dilakukan tindakan

yang dikleuarkan, warna, konsistensi.

dengan mual dan keperawatan

memnuhi kebutuhan cairan Berikan makanan dan cairan kebutuhan klien terpenuhi. Kriteria hasil : - TTV stabil Berikan verbal support dalam makan minum meningkatkan konsumsi cairan klien menurunkan dan menghentikan muntah klien status klien. Untuk mengetahui cairan dan

pemberian cairan pengobatan seperti obat antimual. Pantau Pemeriksaan Laboratorium Hasil urin

Menunjukkan Kolaborasi berikan

adanya keseimbangan cairan output dekuat. -Turgor kulit baik mukosa lembab 2. Bersihan membrane mulut seperti

untuk Jalan Tujuan : setelah Ukur Tanda-tanda vital klien. mengetahui Nafas Tidak efektif dilakukan Lakukan status keadaan b.d Peningkatan tindakan penghisapan lendir klien secara Sekresi Mukus keperawatan diharapkan bersihan nafas efektif jalan Letakan klien pada posisi miring dan permukaan datar umum. menurunkan resiko aspirasi

Kriteria hasil : -sekresi berkurang - tak kejang gigi tak mukus

Tanggalkan pakaian mencegah lidah pada daerah leher atau dada dan abdomen jatuh kebelakang dan menyumbat jalan nafas usaha bernafas untuk memfasilitasi

menggigit

3.

Gangguan volume Tujuan cairan kurang dari Keseimbangan kebutuhann b.d suhu tubuh tubuh cairan terpenuhi peningkatan

:

Observasi jam

TTV

peningkatan suhu dari normal membutuhkan penambahan cairan. Untuk mengetahui keseimbangan cairan klien. tubuh yang

(suhu tubuh) tiap 4 Hitung Intak & Output pergantian Observasi jam Anjurkan pemasukan/minum sesuai program. Kolaborasi pemeriksaan lab : Ht, Na, K. setiap shift TTV

(suhu tubuh) tiap 4

membantu mencagah kekurangan cairan.

mencerminkan tingkat derajat dehidrasi. 4. Resiko tinggi Tujuan : Agar terjadi Observasi 4 jam Observasi tandatanda kejang. TTV peningkatan suhu dapat mengakibatka n kejang tubuh /

kejang berulang b.d tidak riwayat kejang

(suhu tubuh) tiap

kejang berulang

anti

Kolaborasi pemberian /konvulsi. obat kejang

berulang. untuk dapat menentukan intervensi dengan segera. menanggulangi kejang berulang.

5.

Ketidakseimbangan Tujuan Nutrisi kurang dari Peningkatan kebutuhan b.d intake tidak adekuat. tubuh status nutrisi yang

: Tingkatkan intake makanan dengan menjaga gangguan menjaga kebersihan ruangan. Bantu klien makan selingi privasi klien, mengurangi seperti bising/berisik,

cara

khusus

meningkatkan napsu makan. membantu klien makan. memudahkan makanan untuk masuk. Monitor status nutrisi klien Mengurangi regurtasi.

makan

dengan minum Monitor hasil lab seperti HB, Ht Atur semifowler memberikan makanan. Sumber : Doenges, Marilynn E, (1999), posisi saat

DAFTAR PUSTAKA Brunner, Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 3. Jakarta : EGC.

Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.

Mansjoer, arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III vol. 1. Jakarta : Media Aesculapius.

LEMBAR PENGESAHAN

Pembimbing Akademik

Pembimbing Klinik

Mahasiswa

()

()

()

Klasifikasi fraktur klavikula 1. Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3 tengah klavikula) paling banyak ditemui terjadi medial ligament korako-klavikula (antara medial dan 1/3 lateral) mekanisme trauma berupa trauma langsung atau tak langsung (dari lateral bahu) fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, yang dapat dibagi: type 1: undisplaced jika ligament intak type 2: displaced jika ligamen korako-kiavikula ruptur. type 3: fraktur yang mengenai sendi akromioklavikularis. mekanisme trauma pada type 3 biasanya karena kompresi dari bahu. Insiden jarang, hanya 5% dan seluruh fraktur klavikula. Mekanisme trauma dapat berupa trauma langsung dan trauma tak langsung pada bagian lateral bahu yang dapat menekan klavikula ke sternum. Jatuh dengan tangan terkadang dalam posisi abduksi. 3. Fraktur 1/3 medial klavikula

2. Fraktur 1/3 lateral klavikula

b. Pemeriksaan Klinis Fraktur klavikula sering terjadi pada anak-anak. Biasanya penderita datang dengan keluhan jatuh dan tempat tidur atau trauma lain dan menangis saat menggerakkan lengan. Kadangkala penderita datang dengan pembengkakan pada daerah klavikula yang terjadi beberapa hari setelah trauma dan kadang-kadang fragmen yang tajam mengancam kulit. Ditemukan adanya nyeri tekan pada daerah klavikula. c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan rontgen anteroposterior dan klavikula biasanya dapat membantu menegakkan diagnosis dan fraktur. Fraktur biasanya terjadi pada 1/3 tengah dan fragmen luar terletak dibawah fragmen dalam. Fraktur pada 1/3 lateral klavikula dapat terlewat atau tingkat pergeseran salah dikira kecil, kecuali kalau diperoleh foto tambahan pada bahu. d. Indikasi Operasi

Fraktur terbuka. Fraktur dengan gangguan vaskularisasi Fraktur dengan scapulothorcic dissociation (floating shoulder) Fraktur dengan displaced glenoid neck fracture.

Teknik penanganan terapi konservatif dan operasi Penatalaksanaan Fraktur Klavikula 1. Fraktur 1/3 tengah

Undisplaced fraktur dan minimal displaced fraktur diterapi dengan menggunakan sling, yang dapat mengurangi nyeri. Displaced fraktur dengan gangguan kosmetik diterapi dengan menggunakan commersial strap yang berbentuk angka 8, untuk menarik bahu sehingga dapat

mempertahankan alignment dan fraktur. Strap harus dijaga supaya tidak terlalu ketat karena dapat mengganggu sirkulasi dan persyarafan. Suatu bantal dapat diletakkan di antara scapula untuk menjaga tarikan dan kenyamanan. Jika commersial strap tidak dapat digunakan balutan dapat dibuat dari tubular stockinet, ini biasanya digunakan untuk anak yang berusia setengah diameter klavikula harus direduksi dan internal fiksasi. Bila dibiarkan tanpa terapi akan terjadi deformitas dan dalam beberapa kasus rasa tidak enak dan kelemahan pada bahu karena itu terapi diindikasikan melalui insisi supraklavikular, fragmen fraktur diaposisi dan dipertahankan dengan pen yang halus, yang menembus kearah lateral melalui fragmen sebelah luar dan akromion dan kemudian kembali ke batang klavikula. Lengan ditahan dengan kain gendongan selama 6 minggu dan sesudah itu dianjurkan melakukan pergerakan penuh.

e. Komplikasi operasi Komplikasi dini: kerusakan pada pembuluh darah atau saraf (jarang terjadi) Komplikasi lanjut non-union jarang terjadi dapat diterapi dengan fiksasi interna dan pencangkokan tulang yang aman. mal-union meninggalkan suatu benjolan, yang biasanya hilang pada waktunya.

- untuk memperoleh hasil kosmetik yang baik dan cepat dapat menjalani terapi yang lebih drastis yaitu fraktur direduksi dibawah anastesi dan dipertahankan reduksinya dengan menggunakan gips yang mengelilingi dada (wirass) kekakuan bahu - sering ditemukan, hanya sementara, akibat rasa takut untuk menggerakkan fraktur. Jari juga akan kaku dan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk memperoleh kembali gerakan, kecuali kalau dilatih. f. Mortalitas Pada umumnya kecil g. Perawatan Pascabedah Rehabilitasi

Commersial strap yang berbentuk angka 8, harus di follow up apakah sudah cukup kencang. Strap ini harus dikencangkan secara teratur. Anak anak ( diakses tanggal 14 Januari 2011 pukul 15.30 wib ). -----. 2010. Agroforestry Systems. .

Pengertian nyeri Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan Fisiologi nyeri Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu : a. Reseptor A delta Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan b. Serabut C Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory) Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005) Respon Psikologis respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : 1) Bahaya atau merusak 2) Komplikasi seperti infeksi 3) Penyakit yang berulang 4) Penyakit baru 5) Penyakit yang fatal 6) Peningkatan ketidakmampuan 7) Kehilangan mobilitas 8) Menjadi tua 9) Sembuh 10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa 12) Tantangan 13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain 14) Sesuatu yang harus ditoleransi 15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya Respon fisiologis terhadap nyeri 1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial) a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate b) Peningkatan heart rate c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP d) Peningkatan nilai gula darah e) Diaphoresis f) Peningkatan kekuatan otot g) Dilatasi pupil h) Penurunan motilitas GI 2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam) a) Muka pucat b) Otot mengeras c) Penurunan HR dan BP d) Nafas cepat dan irreguler e) Nausea dan vomitus f) Kelelahan dan keletihan Respon tingkah laku terhadap nyeri 1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: 2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur) 3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir) 4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri) Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri. Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri: 1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima) Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien. 2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa) Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif. 3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti) Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon

akibat (aftermath)dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri 1) Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. 2) Jenis kelamin Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). 3) Kultur Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. 4) Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. 5) Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. 6) Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 7) Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. 9) Support keluarga dan sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut : 1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan : 0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

sumber Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87. Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80 Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan. Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136. Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63 Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 15021533.

G. KLASIFIKASI NYERI A. Berdasarkan sumbernya

Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar) ex: terkena ujung pisau atau gunting Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pemb. Darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lbh lama daripada cutaneus ex: sprain sendi Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan B. Berdasarkan penyebab: Fisik Bisa terjadi karena stimulus fisik (Ex: fraktur femur) 2. Psycogenic

Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. (Ex: orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya)Biasanya nyeri terjadi karena perpaduan 2 sebab tersebut

A. C1. Berdasarkan lama/durasinya

Nyeri akut. Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yan cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya Nyeri kronik, Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat).Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yan gtidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari.

Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik

Nyeri akut Lamanya dalam hitungan menit Ditandai peningkatan BP, nadi, dan respirasi Respon pasien:Fokus pada nyeri, menyetakan nyeri menangis dan

Nyeri kronik Lamanyna sampai hitungan bulan, > 6bln Fungsi fisiologi bersifat normal Tidak ada keluhan nyeri

mengerang Tingkah laku menggosok bagian yang nyeri D. Berdasarkan lokasi/letak Radiating pain

Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon terhadap nyeri

Nyeri menyebar dr sumber nyeri ke jaringan di dekatnya (ex: cardiac pain) Referred pain Nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yg diperkirakan berasal dari jaringan penyebabIntractable pain

Nyeri yg sangat susah dihilangkan (ex: nyeri kanker maligna) Phantom pain Sensasi nyeri dirasakan pada bagian.Tubuh yg hilang (ex: bagian tubuh yang diamputasi) atau bagian tubuh yang lumpuh karena injuri medulla spinalisMengobyektifkan Nyeri Nyeri diupayakan menjadi terukur dengan skala. Termasuk disini skala numerik nyeri, visual analog scale yang berupa garis lurus , dan skala wajah. Skala dipergunakan untuk mendeskripsikan intensitas / beratnya rasa nyeri. 1.Skala Numerik Nyeri Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah di validasi . Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik, dari 0 hingga 10. 2.Visual Analog Scale Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus , tanpa angka. Bisa bebas mengekspresikan nyeri , ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang.

3.Skala Wajah Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda , menampilkan wajah bahagis hingga wajah sedih, juga di gunakan untuk "mengekspresikan" rasa nyeri. Skala ini dapat dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun. Bagaimana Menggunakannya?

Deskripsi: Citicoline adalahpsychostimulant. Citicoline ini merupakan zat kimia di otak yang terjadi secara alamiah dalam tubuh. Untuk sebagian orang, suplemen citicoline ini digunakan sebagai obat. Indikasi:

Untuk meningkatkan zat kimia oatak yang disebutphosphatidylcholine. Zat kimia ini penting untuk fungsi otak. Citicoline juga bisa mengurangi kerusakan jaringan otak ketika otak terluka. Dosis: 1. 200-600 mg/hari melalui mulut (per oral), dibagi menjadi 2-3 kali sehari, atau 2. 250-500 mg/hari melalui otot (intra muscular) atau melalui pembuluh darah (intra venous), hingga 1 gr/hari Efek Samping: Stimulasi parasimpatetik, hipotensi Instruksi Khusus: Berkontraindikasi pada pasien dengan parasimpatetik hipertonia (ir/ir)

OBAT PERSYARAFAN Nama Dagang Obat : Nicholin Nama Generik Obat : Sitikolin Kemasan/Bentuk Sediaan : Dos 5 ampul injeksi 100 mg Efek Samping : Efek citicoline terhadap verbal memory pada orang tua diteliti dalam studitersamar ganda meliputi 95 pasien sehat usia 50-85 tahun. Pemberian citicoline 2000 mg/hari setelah 3 bulan menunjukkan perbaikan pada kelompok poor-memory. Perbaikan yang sama juga tampak pada studi lain. Citicoline juga diteliti pada pasien trauma kepala. Hasil penelitian dengan 1000 mg citicoline IV menunjukkan perbaikan fungsi kognitif dan motoris pasien dibandingkan plasebo. Penelitian pada pasien Alzheimer menunjukkan bahwa 1000 mg/hari citicoline selama 1 bulan memperbaiki fungsi kognitif menurut pemeriksaan MMSE. Hasil penelitian lain, pemberian citicoline 12 minggu cenderung memperbaiki fungsi kognitif, namun tidak berbeda bermakna dengan plasebo. Sirkulasi darah otak ditemukan sedikit meningkat akibat citicoline dan efek ini diduga karena mekanisme imunogenik atau neurotropik Mekanisme Kerja Obat :

Siticoline berfungsi dalam metabolisme fosfolipid, sebagai precursor fosfatidilkolin dan asetilkolin. Pada penyakit Alzheimer citicoline memperbaiki fungsi kognitif dengan cara meningkatkan kadar kolin. Bila kebutuhan kolin meningkat, citicoline eksogen dapat mencegah katabolisme membran sel saraf dalam upaya memperoleh kolin untuk transmisi impuls. Indikasi : keadaan akut, kehilangan kesadaran akibat kerusakan otak, kecelakaan lalu lintas atau operasi otak, keadaan kronis, gangguan psikis atau saraf, akibat dari apopleksia, operasi otak. Kontra Indikasi : Dalam keadaan akut atau gawat, diberikan bersama obat yang dapat menurunkan tekanan otak atau antihemoragia dan suhu badan dijaga agar tetap rendah, bila tetap terjadi perdarahan intracranial, hindarkan pemberian dengan dosis tinggi (>500 mg sekaligus), karena dapat mempercepat aliran darah dalam otak. Tanggung Jawab Perawat : Perawat terampil & tepat saat memberikan obat. Tidak sekedar memberikan pil untuk diminum atau injeksi obat melalui pembuluh darah, namun juga mengobservasi respon klien terhadap pemberian obat tersebut. Pengetahuan tentang manfaat dan efek samping obat sangat penting untuk dimiliki perawat. Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan dan mempertahankan dengan mendorong klien untuk proaktif jika membutuhkan pengobatan. Interpretasikan dengan tepat resep obat yang dibutuhkan Hitung dengan tepat dosis obat yang akan diberikan sesuai dengan resep Gunakan prosedur yang sesuai dan aman, ingat prinsip 5 benar dalam pengobatan Setelah memvalidasi dan menghitung dosis obat dengan benar, pemberian obat dengan akurat dapat dilakukan berdasarkan prinsip 5 benar. SUMBER : http://berbagi-sehat.com/article/12254/peran-perawat-dalam-pemberianobat.html

nama dagang- Carpuject Inj - Parenteral - Remopain Inj - Rolac Inj- Rolac Inj - Scelto Inj - Toradol Inj - Torasic Inj - Torpain Inj - Trolac Inj - Toradol

dosis Parenteral : (IV/IM) Dosis tunggal : Dewasa : 30-60mg, Lansia dan dewasa dengan BB 30 menit.

Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kliren creatinin tidak lebih dari 10 ml/menit, dosis tidak lebih dari 2 g sehari. Paket: kotak 2 vial @ 1,0 g No. Registrasi: GKL9520918444B1 Produksi: PT Indofarma TBK

CEFTRIAXONE 1 GR INJEKSI DEXA

INDIKASI : Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap Ceftriaxone, seperti: infeksi saluran nafas, infeksi THT, infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis, infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal, infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperatif, dan infeksi pada pasien dengan gangguan pertahanan tubuh.

KONTRA INDIKASI : Hipersensitif terhadap cephalosporin dan penicillin (sebagai reaksi alergi silang). DOSIS : * Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari. * Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari 50 mg/kg BB, satu kali sehari. * Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali sehari. Dosis intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan melalui infus paling sedikit 30 menit. LAMA PENGOBATAN : Lamanya pengobatan berbeda-beda tergantung dari penyebab penyakit seperti pengobatan dengan antibiotik pada umumnya, pemberian obat harus diteruskan paling sedikit sampai 48 - 72 jam, setelah penderita bebas panas atau pembasmian kuman tercapai dengan nyata. INSTRUKSI DOSIS KHUSUS : Meningitis : Bayi dan anak-anak : pengobatan dimulai dengan dosis 100 mg/kg BB,

(jangan melebihi 4 gram) sekali sehari. Segera setelah organisme penyebab telah diketahui dan sensitivitas ditentukan, dosis dapat diturunkan. Lama pengobatan : * Neisseria meningitidis 4 hari. * Haemophilus influenzae 6 hari * Streptococcus pneumoniae 7 hari * N. gonorrhoeae (strain penghasil penisilinase dan bukan penghasil penisilinase) dosis tunggal 250 mg intramuskular. * Pencegahan perioperatif : Tergantung dari resiko infeksi : 1 - 2 gram dosis tunggal diberikan 30 - 90 menit sebelum operasi. * Gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati : Pada kasus payah ginjal preterminal (bersihan kreatinin < 10 mL/menit), dosis tidak boleh melampaui 2 gram sehari. Tidak perlu pengurangan dosis selama fungsi salah satu ginjal atau hati masih baik. PERINGATAN & PERHATIAN : * Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat, kadar plasma obat perlu dipantau. - Sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil (khususnya trimester I). * Tidak boleh diberikan pada neonatus (terutama prematur) yang mempunyai resiko pembentukan ensephalopati bilirubin. * Pada penggunaan jangka waktu lama, profil darah harus dicek secara teratur. INTERAKSI OBAT : Kombinasi dengan aminoglikosid dapat menghasilkan efek aditif atau sinergis, khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh P.aeruginosa & Streptococcus faecalis.

PENYIMPANAN : Simpan pada suhu < 25oC, lindungi dari cahaya. Obat yang sudah dilarutkan sebaiknya digunakan segera. Larutan ini boleh disimpan maksimum 8 jam pada suhu < 25C atau 7 hari di dalam lemari es. KELEBIHAN CEFTRIAXONE : Spektrum aktivitas anti bakteri nya luas, mencakup bakteri gram negatif dan gram positif dengan masa kerja yang panjang dimana efek bakterisidal (membunuh bakteri) dapat bertahan selama 24 jam. Ceftriaxone cepat berdifusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh. Ceftriaxone dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat dicapai kadar obat yang cukup tinggi dalam cairan serebrospinal. KEMASAN & NOMER REGISTRASI : Ceftriaxone 1 gram injeksi ( 1 box berisi 2 vial serbuk injeksi @ 10 mL) No. Reg. : GKL0208505344A1

FREGO Flunarizin tablet

Tiap tablet mengandung Flunarizine...............................................5 mg atau 10 mg Farmakologi Flunarizine adalah derivat cinnarizine yang mempunyai efek antihistamin dan penghambat ion kalsium yang bekerja secara selektif, Flunarizine diabsorbsi dengan baik pada saluran cerna dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 2 - 4 jam setelah pemberian per oral. Flunarizine berikatan dengan protein plasma 90%. Waktu paruh Flunarizine sekitar 18 hari. Setelah menjalani metabolisme ekstensif di hati, Flunarizine dan metabolitnya diekskresi melalui feces. Indikasi 1. Pencegahan migren; mengurangi frekuensi serangan dan meringankan gejalanya. 2. Terapi pada gangguan vestibular sentral maupun perifer seperti: pusing, tinitus dan vertigo. 3. Pengobatan pada penurunan konsentrasi dan kebingungan: gangguan ingatan, iritabilitas dan gangguan irama tidur. 4. Pengobatan kejang pada saat berjalan maupun saat berbaring, parestesi, ekstremitas dingin dan gangguan tropik.

Dosis dan cara pemberian Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg per hari. Bila terjadi efek samping dosis diturunkan menjadi 5 mg. FREGO sebaiknya diminum secara teratur satu kali sehari pada malam hari untuk menghindari efek sedatif. Pencegahan migren Dosis awal : 10 mg per hari (malam hari) untuk penderita berusia kurang dari 65 tahun dan 5 mg per hari untuk penderita berusia di atas 65 tahun. Bila selama perawatan, terjadi depresi, gejala ekstrapiramidal dan efek lain yang tidak diinginkan, atau jika dalam 2 bulan pertama pengobatan tidak dijumpai perbaikan yang bermakna pengobatan sebaiknya dihentikan. Dosis pemeliharaan : FREGO diberikan hanya 5 hari dalam seminggu, sedangkan 2 hari lagi tanpa FREGOS. Bila hasil terapi pemeliharaan ini baik dan dapat ditoleransi dengan baik, pengobatan harus dihentikan setelah 6 bulan dan hanya diulang bila penderita kambuh kembali. Pengobatan gangguan vestibular sentral dan perifer, pengobatan pada penurunan konsentrasi dan kebingungan, pengobatan kejang pada saat berjalan maupun saat berbaring, parestesi, ekstremitas dingin dan gangguan tropik: Dosis harian sama dengan dosis migren, tetapi terapi awal hanya diberikan sampai gejala hilang, biasanya kurang dari 2 bulan. Walaupun demikian, jika tidak dijumpai perubahan yang bermakna setelah 1 bulan pengobatan pada penderita vertigo kronik dan setelah 2 bulan pengobatan pada vertigo paroksismal, maka pengobatan sebaiknya dihentikan. Peringatan dan perhatian Keletihan dapat mehingkat selama pengobatan tetapi rial ini jarang terjadi. Bila hal ini terjadi, pengobatan tidak perlu dihentikan, dan sebaiknya dosis yang diberikan tidak melebihi dosis yang dianjurkan. Apabila efek terapeutik menurun selama terapi pemeliharaan, pengobatan sebaiknya juga dihentikan. FREGO dapat menimbulkan kantuk, khususnya pada permulaan terapi, maka sebaiknya tidak diberikan selama penderita melakukan aktivitas seperti: mengemudikan kendaraan bermotor atau menjalankan mesin.

Tidak dianjurkan untuk wanita hamil karena keamanannya belum terbukti. Sebaiknya tidak digunakan oleh wanita menyusui karena flunarizine diekskresi dalam air susu. Terapi dengan Flunarizine dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal dan depresi serta terjadinya parkinson, terutama pada penderita dengan faktor predisposisi seperti usia lanjut; karena itu pada penderita tersebut harus digunakan dengan hati-hati. Pemeriksaan secara berkala harus dilakukan, terutama saat terapi pemeliharaan agar gejala ekstrapiramidal dan depresi dapat dideteksi sedini mungkin, dan pengobatan dapat segera dihentikan bila hal tersebut terjadi. Selain itu hati-hati pula jika diberikan pada penderita hipotensi. Hati-hati penggunaan pada penderita usia lanjut dan penderita kelainan fungsi ginjal. Penggunaan dalam jangka panjang harus disertai pemantauan fungsi hati dan ginjal. Efek samping Efek samping yang sering dijumpai adalah mengantuk dan lesu. Sedangkan efek samping yang jarang dilaporkan adalah nyeri ulu hati, mual, muntah, insomnia, ansietas, pusing, mulut kering, nyeri otot dan ruam kulit. Efek samping yang serius selama pengobatan jangka panjang adalah: depresi, gejala-gejala ekstrapiramidal (bradikinesia, rigiditas, akatisia, diskinesia orofasial, tremor). Kontraindikasi Flunarizine dikontraindikasikan terhadap: - Penderita yang alergi terhadap komponen obat ini., - Penderita dengan riwayat depresi. - Penderita dengan riwayat kelainan ekstrapiramidal, termasuk parkinson. - Penderita yang sedang menjalani pengobatan dengan obat beta blocker. Interaksi obat Obat-obatan seperti: alkohol, antiepilepsi, obat tidur, anti depresan dan obat penenang dapat mempengaruhi kerja Flunarizine atau meningkatkan terjadinya efek samping obat ini. Galaktore dapat terjadi jika digunakan bersama-sama dengan kontrasepsi oral. Kelebihan dosis Berdasarkan profil farmakologi FREGO, kelebihan dosis dapat menimbulkan sedasi dan astenia. Beberapa kasus kelebihan dosis akut (sampai 600 mg sekali minum) telah dilaporkan terjadinya sedasi, agitasi dan takikardi. Kelebihan dosis akut dapat diatasi dengan pemberian karbon aktif, kumbah lambung dan pengobatan suportif. Depresi dan gejala ekstrapiramidal telah dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapat Flunarizine 10 - 40 mg per hari selama 3 minggu sampai 15 bulan. Kemasan FREGO5mg : Dos isi 5 strip x 10 tablet FREGO 10 mg : Dos isi 5 strip x 10 tablet Slmpan di bawah suhu 30C. HARUS DENGAN RESEP DOKTER. Reg. No. DKL0211633310A1 Reg. No. DKL0211633310B1

PTKALBEFARMATbk. Bekasi - Indonesia

\

DEMAM tifoid atau yang dikenal oleh masyarakat awam dengan istilah tifus merupakan penyakit infeksi yang masuk melalui saluran cerna kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui darah (infeksi sistemik). Tifus disebabkan oleh bakteri yang disebut Salmonella serovarian typhi dan paratyphi.Terdapat ratusan jenis bakteri Salmonella, tetapi hanya 4 jenis yang dapat menimbulkan tifus yaitu Salmonella serovarian typhi, paratyphi A,paratyphi B, dan paratyphi C. Di Indonesia tifus merupakan penyakit endemis yang berarti kasusnya selalu ada sepanjang tahun. Umumnya penderita tifus meningkat, terutama pada musim kemarau. Saat musim itu terjadi kekurangan sumber air bersih dan sumber air yang ada mudah tercemar. Setiap tahun penderita tifus di daerah perkotaan di Indonesia mencapai angka 700-800 kasus per 100.000 penduduk. Demam tifoid atau tifus terjadi apabila seseorang terinfeksi kuman Salmonella, yang umumnya melalui makanan atau minuman yang tercemar.Apabila jumlah kuman yang masuk ke tubuh cukup untuk menimbulkan infeksi, kuman akan menempel pada saluran cerna kemudian berkembang biak.Kemudian kuman menembus dinding usus dan masuk ke aliran darah sehingga menyebar ke seluruh tubuh; menimbulkan infeksi pada organ tubuh lain di luar saluran cerna. Ada kalanya kuman tidak cukup virulen untuk menyerang dan hanya menimbulkan infeksi lokal di saluran cerna dengan gejala perut kembung,mual atau diare, keadaan ini disebut dengan Salmonelosis. Karena tifus merupakan infeksi yang menyebar melalui darah atau disebut infeksi yang sistemik; gejala yang khas pada tifus adalah demam. Demam pada tifus umumnya memiliki pola khusus, dengan suhu yang meningkat sangat tinggi (mencapai 39oC atau lebih) naik dan turun; dan umumnya meningkat pada sore dan malam hari. Pada beberapa hari pertama demam, sering kali sulit membedakan apakah demam disebabkan oleh tifus atau oleh penyebab demam lain, seperti demam berdarah atau malaria.Pola demam yang disebabkan demam berdarah umumnya meningkat mendadak,dengan suhu sangat tinggi,dan demam akan turun secara cepat di hari ke-5 atau 6.Bilamana demam sudah berlangsung lebih dari 7 hari, sangat mungkin demam disebabkan oleh tifus dan bukan demam berdarah. Gejala lain tifus yang sering kali menyertai adalah gejala pada pencernaan, seperti mual,muntah,sembelit atau diare. Gejala lain seperti gelisah, mengigau, kesadaran menurun, nyeri perut, dan buang air besar berdarah dapat terjadi bila demam berlangsung lebih lama dan menimbulkan komplikasi atau penyulit. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan untuk mendiagnosis penyakit tifus adalah pemeriksaan widal. Uji widal adalah suatu pemeriksaan serologi yang berarti bahwa hasil uji widal positif menunjukkan adanya zat anti (antibodi) terhadap kuman Salmonella. Uji widal positif menunjukkan bahwa seseorang pernah kontak/terinfeksi dengan kuman Salmonella tipe tertentu. Untuk menentukan seseorang menderita demam tifoid, tetap harus didasarkan adanya gejala yang sesuai dengan penyakit tifus; uji widal hanya sebagai pemeriksaan yang menunjang diagnosis. Sebaliknya, seorang tanpa gejala, dengan uji widal positif tidak dapat dikatakan menderita tifus. Beberapa hal yang sering disalahartikan dari pemeriksaan widal adalah: Pemeriksaan widal positif dianggap ada kuman dalam tubuh: Seperti disebutkan di atas bahwa uji widal hanya menunjukkan adanya antibodi terhadap kuman Salmonella. Pemeriksaan widal yang diulang setelah pengobatan dan menunjukkan hasil positif dianggap masih menderita tifus: Setelah seseorang menderita tifus dan mendapat pengobatan, hasil uji widal tetap positif untuk waktu yang lama sehingga uji widal tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menyatakan kesembuhan. Hasil ulang pemeriksaan widal positif setelah mendapat pengobatan tifus, bukan indikasi untuk mengulang pengobatan bilamana tidak lagi didapatkan gejala yang sesuai. Hasil uji negatif dianggap tidak menderita tifus: Uji widal umumnya menunjukkan hasil positif 5 hari atau lebih setelah infeksi. Karena itu bila infeksi baru berlangsung beberapa hari, sering kali hasilnya masih negatif dan baru akan positif bilamana pemeriksaan

diulang. Dengan demikian,hasil uji widal negatif,terutama pada beberapa hari pertama demam belum dapat menyingkirkan kemungkinan tifus. Memang terdapat kesulitan dalam interpretasi hasil uji widal karena kita tinggal di daerah endemik,yang mana sebagian besar populasi sehat juga pernah kontak atau terinfeksi, sehingga menunjukkan hasil uji widal positif. Hasil survei pada orang sehat di Jakarta pada 2006 menunjukkan hasil uji widal positif pada 78% populasi orang dewasa. Untuk itu perlu kecermatan dan kehatihatian dalam interpretasi hasil pemeriksaan widal. Apa yang harus dilakukan kalau mengalami tifus? Hal terpenting dalam pengobatan tifus adalah mendeteksi dan mengobati sedini mungkin sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi tifus umumnya terjadi pada minggu ke-2 dan ke- 3 setelah demam, berupa perdarahan saluran cerna, nyeri perut atau penurunan kesadaran. Bilamana demam tinggi terus berlangsung lebih dari 5-7 hari,atau terdapat gejala yang berhubungan dengan komplikasi tifus, sebaiknya penderita dibawa ke rumah sakit atau sarana kesehatan terdekat untuk mendapatkan pengobatan. Perawatan penderita tifus yang dapat dilakukan di rumah adalah: beristirahat, cukup minum,dan makan makanan dengan protein dan gizi yang cukup. Hindari makanan yang berserat tinggi,berbumbu pedas atau asam karena dapat mengiritasi usus dan berisiko menimbulkan perdarahan.Bentuk makanan padat (seperti nasi lunak) dapat diberikan asal dikunyah secara baik. Pendapat untuk memberikan makanan dalam bentuk saring,umumnya tidak lagi dilakukan dengan pemikiran bahwa makanan padat akan menjadi lumat setelah mencapai usus.Penderita tifus umumnya merasa mual dan tidak nafsu makan sehingga dengan memberikan makanan lumat akan semakin menurunkan keinginan untuk makan. Dengan pengobatan yang tepat,umumnya demam turun 3-7 hari setelah pengobatan dimulai.Penderita dapat kembali beraktivitas dan pola makan kembali seperti sedia kala 57 hari setelah selesai pengobatan. Apakah tifus bisa disembuhkan? Umumnya dengan pengobatan antibiotika yang tersedia saat ini,tifus dapat diobati dengan tuntas.Hanya sebagian kecil penderita setelah sembuh mengalami kekambuhan,dan umumnya kekambuhan ditandai dengan timbulnya kembali gejala demam 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Kesembuhan setelah pengobatan tidak menjamin seseorang menjadi kebal terhadap infeksi berikutnya.Infeksi berulang lebih sering dialami karena kurang menjaga kebersihan, terutama mencuci tangan sebelum makan dan memilih makanan/ minuman yang bersih/higienis. Upaya pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan vaksinasi. Karier atau pembawa kuman dapat dialami pada sebagian kecil penderita yang tidak mendapat pengobatan secara tuntas. Pada karier kuman Salmonella, umumnya tidak bergejala dan hanya dapat diketahui dari pemeriksaan pembiakan kuman dari tinja dan kemih.Seorang karier sebaiknya mendapat pengobatan, dan tidak diperbolehkan menyajikan makanan atau minuman sebelum pengobatannya tuntas. Ini karena berpotensi menyebarkan atau menularkan tifus kepada orang lain.