kejahatan perdagangan narkoba (drugs trafficking) globalstudi kasus di indonesia

30

Upload: ahirul-habib-padilah-pk26

Post on 17-Jan-2017

97 views

Category:

Science


4 download

TRANSCRIPT

PowerPoint Presentation

KEJAHATAN PERDAGANGAN NARKOBA (DRUGS TRAFFICKING) GLOBALSTUDI KASUS DI INDONESIA

AHIRUL HABIB PADILAH170820140512KONSENTRASI HUBUNGAN INTERNASINAL

Perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) merupakan isu global yang belakangan ini menjadi booming dan menjadi perhatian banyak negara serta masyarakat internasional di dunia. Hal ini dikarenakan perdagangan narkoba telah menjadi kejahatan transnasional yang merajalela, sehingga membahayakan kehidupan manusia dan kejahatan ini menyerang usia produktif secara global.

Narkotika dan bahan berbahaya atau biasa dikenal dengan istilah narkoba, secara harfiah berasal dari bahasa Yunani dari kata narke, yang berarti beku, lumpuh, kelenger, dan dungu (Wison Nadack, 1983:122). Narkotika merujuk pada sesuatu yang bisa membuat seseorang tidak sadarkan diri (fly). Dalam bahasa inggris narcotic lebih mengarah kepada konteks yang artinya opium (candu). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1997, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang bisa menyebabkan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika sendiri terbagi ke dalam tigas level, yaitu level I, II dan III di mana letak perbedaannya pada skala potensi yang mengakibatkan ketergantungan dari mulai skala sangat tinggi. Level I berupa opium, koka, Ganja, dan heroin, level II berupa morfina, fetanil, dan petidina, yang terakhir level III berupa kodeina dan etil morfina.

Globalisasi menjadi salah satu pemicu dari peningkatan angka perdagangan narkoba di seluruh dunia. Globalisasi yang menjadikan dunia seolah tanpa batas membuat pergerakan barang dan jasa serta pertukaran informasi semakin mudah dilakukan. Globalisasi juga mendorong sebuah negara untuk membuka pintu perdagangan masuk secara besar-besaran. Akan tetapi, globalisasi yang terjadi secara tidak terkontrol justru menjadi ancaman bagi sebuah negara. sebagai dampak dari globalisasi, perdagangan narkoba telah mencapai level multinational. Beberapa agen narkoba dunia seperti dari Kolombia, Meksiko, China dan negara lainnya menjual narkoba ke negara seperti Amerika Serikat dan Indonesia. Kejahatan yang semakin terorganisir ini membuat upaya pencegahan serta pemberantasan semakin sulit karena perdagangan narkoba telah membentang di seluruh penjuru dunia.

Menurut UNODC, narkoba merupakan perdagangan obat-obatan atau drugs trafficking is a global illicit trade involving the cultivation, manufacture, distribution and sale of substances which are subject to drug prohibition laws. Berdasarkan pengertian ini, bahwa perdagangan narkoba bukan hanya terbatas pada jual beli semata, namun mencakup penanaman, pengolahan, pendistribusian, serta penjualan zat-zat yang dilarang oleh hukum secara global.

Isu drug trafficking sangat membahayakan jutaan jiwa menusia di seluruh dunia mendorong negara-negara dan berbagai komunitas internasional untuk bekerjasama dalam memberantas dan menghadapinya. Traktat-traktat bentuk kerjasama telah dihasilkan oleh negara-negara dunia melalui konvensi Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961 yang kemudian diamandemen pada tahun 1972, Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1971, dan selanjutnya United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic substances yang dilaksanakan pada tahun 1988 (UNODC). Selain itu, negara-negara dunia, termasuk salah satunya Indonesia melalui Interpol juga telah bekerjasama dalam mencegah masuknya narkoba ke dalam wilayah negara masing-masing.

Globalisasi disebut-sebut sebagai faktor pendukung utama yang menyebabkan perdagangan narkoba sehingga sampai pada saat ini semakin marak. Hal ini terjadi karena globalisasi menciptakan ruang di mana negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam dunia internasional. Globalisasi telah membuat kedudukan negara menjadi lemah dan batas antaregara menjadi tidak jelas. Dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi ini adalah sebagai akibat dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang komunikasi dan transfortasi yang menyebabkan negara seolah tanpa batas, dan dunia dengan semua dimensi kehidupannya nampak menjadi satu.

Menurut Zhang Yong-an, Narkoba memiliki banyak jenis, namun secara global hanya ada dua jenis yang diperjualbelikan dalam jaringan perdagangan utama, yaitu heroin dan kokain. Heroin merupakan jenis narkoba yang terbuat dari morfin dan biasanya diperoleh dari getah opium. Opium, banyak ditemui di daerah Golden Crescent (Afganistan, Iran, dan Pakistan) dan Golden Triangle (Myanmar, Laos, dan Vietnam).

Sementara itu, perdagangan kokain lebih mengutamakan jalur laut. Pengedar kokain harus menyeberangi Samudera Atlantik hanya untuk mencapai Afrika. Pengedar kokain biasanya menggunakan kapal-kapal induk yang bermuatan banyak untuk mengangkut barang dagangan dari Amerika Latin menuju ke Afrika Barat. Dari Afrika Barat ini selanjutnya kokain tersebut dialihkan ke kapal-kapal kecil dan nantinya akan disebar ke Eropa.

Bagaimana dengan Indonesia?penyalahgunaan narkoba baru disadari pada tahun 1970-an seiring dengan adanya upaya pemerintah Orde Baru untuk mencegah hal tersebut dnegan mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 1971 tentang permasalahan nasional yang kritikal. Masalah penyalahgunaan narkoba pada era ini masih belum begitu signifikan dan tidak ada kebijakan khusus dari pemerintahan Orde Baru untuk mencegah maraknya penyalahgunaan perdagangan narkoba di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru menganggap bahwa masyarakat Indonesia yang berlandaskan pada pancasila dan agama dapat mengontrol diri, serta menjaga diri dari ancaman penyelahgunaan barang haram tersebut.

Kelengahan pemerintah Indonesia ini dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku kejahatan perdagangan narkoba untuk memasukkan narkoba ke wilayah Indonesia secara ilegal. Pada akhirnya, seiring dengan krisis ekonomi dan keuangan yang melanda Indonesia pada tahun 1997, penyalahgunaan narkoba semakin menjadi-jadi dan tidak dapat dikontrol karena tidak ada badan khusus yang memiliki wewenang untuk mencegah dan menangani masuknya narkoba ke Indonesia. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 hanyaah sebagai pemberitahuan ancaman narkoba di Indonesia tanpa adanya tindakan konkret untuk menangkalnya secara berkelanjutan. Tentu hal ini berdampak pada kewalahannya pemerintah dalam mencegah arus derasnya perdagangan narkoba di Indonesia.

Jumlah Penyalahgunaan Narkoba di IndonesiaWilayahPernahSetahun%PrevalenMinimalMaksimalMinimalMaksimalPernahSetahunSumatera1,810,9112,428,918700,200884,9705.331.99Jawa6,472,6958,741,9792,482,1873,129,0786.762.49Kalimantan412,361533,463197,420253,8984.342.07Sulawesi525,534655,757222,919272,9114.331.82Bali/NTB/NTT318,127402,424128,620157,1393.521.39Maluku/Papua139,414173,06054,30565,8663.331.28Total9,679,04212,935,6013,784,6524,763,8625.902.23

Bila kita lihat dari jumlah data tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah Jawa terjadi penyalahgunaan narkoba terbesar di Indonesia jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di seluruh Indonesia. Hal ini terjadi dikarenakan mudahnya akses masuk narkoba ke Jawa, dibandingkan ke wilayah-wilayah lainnya. Selain mudah secara akses, tingkat perekonomian di Jawa lebih maju ketimbang wilayah lainnya di luar pulau Jawa. Oleh karena itu, persebaran penyelahgunaan narkoba di Indonesia lebih terpusat di Jawa.

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia bisa dikatakan sudah memasuki level darurat. Hal ini dikarenakan banyak anak muda yang berusia rata-rata 16 tahun sudah mencoba barang haram yang sangat berbahaya ini. Narkoba jenis ganja adalah yang paling sering dikonsumsi oleh para perempuan, yaitu sebanyak 87 persen, kemudian diikuti shabu sebanyak 57 persen, dan ekstasi sebanyak 42 persen. Maraknya anak-anak muda yang menkonsumsi narkoba disebabkan oleh berbagai faktor, lemahnya kontrol dari keluarga maupun lemahnya upaya yang dilakukan oleh aparat untuk menekn angka perdagangan narkoba di Indonesia.

Apa yang dilakukan Indonesia?Pemerintah Orde baru mengeluarkan sebuah Instruksi Presiden Nomor 6. Dalam Inpres tersebut berisi mengenai penanggulangan 6 masalah nasional, salah satunya adalah masalah penyalahgunaan narkoba. Sebagai sebuah kelanjutan dari Inpres ini, Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) membentuk Badan Koordinasi Pelaksana (Bakolak). Inpres tahun 1971 yang memiliki fungsi menjalankan Inpres tersebut, termasuk penanggulangan penyalahgunaan narkoba di Indonesia, namun Bakolak sendiri tidak efisien karena tidak memiliki wewenang operasional dan tidak memiliki alokasi dana dari APBN

Kelengahan pemerintah dalam menghadapi, menangani serta mengantisipasi narkoba di Indonesia baru terasa pasca munculnya krisis ekonomi dan keuangan yang mengguncang Indonesia pada tahun 1997. Pemakaian narkoba terus meningkat hingga pada akhirnya pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang isinya adalah mengenai pembentukan Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN). Selain UU Nomor 22 Tahun 1997, dibentuk juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang berisi mengenai psikotropika. Kedua undang-undang di atas merupakan undang-undang pertama yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. BKNN sebagai badan koordinasi negara dipimpin oleh Kapolri dan beranggotakan kepolisian tanpa adanya alokasi dana dari APBN hingga tahun 2002.

Kurangnya personil ditambah lagi tiadanya anggaran yang memadai, BKNN tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membendung peredaran narkoba di Indonesia yang semakin merajalela. Selanjutnya, merasa BKNN kurang optimal kerjanya, Indonesia mengeluarkan Keppres nomor 17 tahun 2002 tentang perubahan BKNN menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN) dan memperoleh alokasi dana dari APBN sebagai biaya operasional dan BNN diperkuat lagi dengan Perpres nomor 83 tahun 2007 yang menginstruksikan pembentukan badan narkotika hingga tingkat daerah agar semakin efisien dalam memberantas dan mencegah peredaran narkoba di Indonesia. BNN baru resmi menjadi salah satu alat dari pemerintah dalam menyelidiki peredaran narkoba selain kepolisian pada tahun 2009. UU Nomor 22 tahun 2007, BNN diberikan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana serta prekursor narkotika di Indonesia. Selanjutnya, secara struktural disusun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 BNN bertanggung jawab langsung kepada presiden sebagai lembaga pemerintah non-kementerian.

Dengan adanya BNN ini, hasil kerjasama BNN dengan Polri membuahkan hasil dengan ditangkapnya para pelaku dan pengguna narkotika di Indonesia. Dari tahun 2007 hingga tahun 2011 sebanyak 138.475 kasus narkoba diungkap oleh Polri, sementara BNN mengungkap sebanyak 152 kasus narkoba sejak tahun 2009 hingga tahun 2011.

Bagaimana Upaya Indonesia di Tingkat Global?Langkah kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain, salah satunya dengan meratifikasi hasil konvensi-konvensi anti narkoba seperti, United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotopic Substances, Singgle Convention on Narcotic Drugs, and convention on Psychotropic Substances, yang menjadi 3 traktat utama dalam memberantas narkoba di Indonesia. Selain itu, Interpol juga merupakan salah satu alat bantu negara-negara yang termasuk di dalamnya Indonesia untuk mendukung upaya penceghan dan pemberantasan narkoba di wilayah negara masing-masing.

Bagaimana Respons Masyarakat Internasional ?Bila bicara dalam level dunia internasional, maka tidak terlepas dari peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB atau United Nations selaku organisasi internasional terbesar saat ini, melalui UNODC memiliki program untuk turut serta membantu usaha-usaha untuk memberantas perdagangan ilegal narkoba. Misalnya saja program-program pemberantasan narkoba di Afganistan dan negara tetangga dalam program kurun waktu tahun 2011 sampai dengan 2014 dengan mengadakan berbagai kerjasama, baik di tingkat regional maupun internasional berdasarkan undang-undang yang berlaku, undang-undang internasional mengenai pemberantasan peredaran gelap narkoba, United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances pada tahun 1988 yang saat ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 dan Nomor 22 Tahun 1997.

Pada dasarnya, apa yang ditawarkan oleh UNODC terkait erat dengan efisiensi pengendalian narkotika. Begitu juga dengan Uni Eropa, yang mendanai Central Drugs Action Programme (CADAP), bertujuan untuk mendorong komitmen pemerintah negara-negara Asia Tengah melahirkan langkah-langkah strategis yang berkelanjutan dalam ranah ketergantungannya terhadap obat-obatan terlarang yang mengimplementasikan sistem terkini mengenai penuntutan pecandu obat sesuai dengan standar dan langkah strategis berskala internasional.

Studi Kasus Diplomasi Indonesia Menangani Kejahatan Perdagangan Narkoba...Masih segar dalam ingatan kita, eksekusi mati terhadap terpidana narkoba. Eksekusi ini berdampak pada hubungan diplomatik antara negara Indonesia dan negara yang warganya akan dihukum mati, yaitu reaksi dari pemerintah Brasil dan Australia yang menimbulkan suasana hubungan diplomatik antara Indonesia dan kedua negara itu memanas dan tidak harmonis. Efeknya, politik luar negeri sangat reaktif terhadap penerapan hukuman mati terpidana narkoba di Indonesia. Penolakan surat kepercayaan penuh Dubes Indonesia untuk Negara Brasil, Toto Riyanto, dinilai telah menyalahi tata krama hubungan diplomatik karena dianggap tidak lazim dalam hubungan diplomatik. Kebijakan politik pemerintah Brasil yang mengaitkan politik luar negeri dengan kebijakan hukum pemerintah Indonesia tidak terlalu signifikan dan relevan. Sebab, eksekusi hukuman mati sudah sesuai dengan penerapan hukum yang berlaku di Indonesia.

Sementara itu, sikap pemerintah Australia terhadap warga negaranya yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati jilid II, kelompok Bali Nine, ditunjukkan dengan pernyataan Perdana Menteri Tony Abbot yang menyindir pemerintah Indonesia untuk bersedia mengurungkan niatnya dengan mengungkit-ungkit kebaikan pemerintah Australia dalam membantu tragedi tsunami Aceh tahun 2004 silam. Pengungkitan kebaikan pemerintah Australia dinilai sangat melukai hati rakyat Indonesia, terutama masyarakat Aceh yang dibantu. Bantuan kemanusiaan untuk musibah tsunami di Aceh bukan hanya berasal dari Australia, melainkan juga berasal dari 55 negara lain. Dengan demikian, pemberian bantuan Australia memiliki motif lain, karena Tony Abbot menganggap Indonesia lupa akan kebaikan Australia.

Selain pernyataan bantuan tsunami Aceh, PM Tony Abbot pun merilis bukti tiga warga negara Indonesia yang menjadi terpidana kasus narkoba di Australia. Pemerintah Australia mengambil tindakan terhadap tiga warga negara Indonesia hanya dengan mengenakan hukuman paling tinggi adalah hukuman seumur hidup. Interpretasi politik dari pernyataan itu adalah seberat apapun kesalahan warga negara lain, termasuk kasus narkoba tidak akan dikenakan eksekusi hukuman mati. Bagi Australia, sistem hukum eksekusi mati yang diterapkan oleh Indonesia, dipandang bertentangan dengan HAM. Penerapan eksekusi hukuman mati tidak dikenal di Australia. PM Tony Abbot hendaknya menghormati sistem hukum di Indonesia. Penolakan grasi dan pemberian hukuman mati tahap II terhadap dua tersangka dari kelompok Bali Nine sudah tepat karena narkoba dinilai sebagai ancaman dan bahaya laten bagi generasi muda. Informasi dari BNN, ada sekira 50 orang kaum muda harus meregang nyawa setiap hari di Indonesia akibat mengonsumsi narkoba. Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa Indonesia darurat narkoba.

Tekanan politik luar negeri yang demikian keras untuk membatalkan rencana pemerintah Indonesia melakukan eksekusi hukuman mati tahap II, menimbulkan persepsi dan interpretasi masyarakat karena penundaan jadwal yang direncanakan seharusnya akhir Februari. Pemberitaan eksekusi hukuman mati pelaku kejahatan narkoba yang dikenal dengan nama Bali Nine sangat menyita perhatian dunia internasional.

Berbagai tekanan politik luar negeri yang disampaikan Sekjen PBB Bang Kin Hoo, Presiden Brasil Dilma Rousseff, dan Perdana Menteri Australia Tony Abbot sebagai bahan ujian bagi ketegasan Presiden Jokowi.Berbagai pendapat dari para pakar hukum dan hubungan internasional yang merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk tegas menegakkan hukum dan menjaga kedaulatan negara. Begitu pula di parlemen, para legislator di Komisi I sudah menegaskan bahwa negara lain tidak boleh mencampuri sistem hukum di Indonesia.

Jika memang pelaksanaan eksekusi hukuman mati tahap II ini gagal dilaksanakan, maka akan menjadi sejarah buruk bagi penegakan hukum di Indonesia dan popularitas Presiden Jokowi akan terpuruk di mata rakyat. Sebab, semua negara yang warga negaranya menanti hukuman eksekusi mati akan menempuh jalur diplomatik atau melakukan segala cara untuk menyelamatkan warganya dari proses hukuman mati. Presiden Jokowi berada di persimpangan jalan yang cukup rumit. Di satu jalan, Presiden Jokowi harus menyelamatkan generasi muda Indonesia dari narkoba yang sangat berbahaya mengancam republik ini. Di jalan lain, Presiden Jokowi harus menjaga hubungan diplomatik dengan negara lain.

SEKIAN DAN HATUR THANKS YOU