kebenaran sebuah amdal

62
Kebenaran Sebuah AMDAL June 11th, 2009 | Environment | 110 Comments » Pada akhir tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) meluncurkan fase lanjutan dari reformasi atas sistem pemantauan dampak lingkungannya. “AMDAL Revitalisasi” bertujuan berbagai tantangan khusus yang telah timbul sejak diperkenalkan oleh undang-undang Pemerintah Indonesia atas otonomi daerah pada tahun 1999. Secara khusus, pentingnya untuk mengklarifikasi peran dari pusat terhadap berbagai otorita lingkungan di tingkat sub-nasional, mengkaji dan meningkatkan berbagai prosedur yang telah ada untuk partisipasi publik, mengklarifikasi cakupan AMDAL dan untuk memperkenalkan berbagai peralatan lingkungan alternatif, dan untuk memperkuat penegakan. Berbagai diskusi awal dengan Bank juga mencakup potensi untuk memperkenalkan fleksibilitas yang lebih tinggi terhadap sistem sentralisasi yang ada untuk memungkinkan variasi untuk muncul ke permukaan dari suatu daerah ke daerah lainnya sementara tetap mempertahankan konsistensi berkaitan dengan berbagai standar lingkungan. Bank telah menegaskan pentingnya pemberdayaan yang lebih atas sektor swasta sebagai suatu agen yang berpotensi untuk melakukan inovasi dan perubahan dalam rangka mendorong kualitas AMDAL. 1. Latar belakang Tidaklah lazim bagi berbagai diskusi kontemporer mengenai reformasi AMDAL untuk berfokus pada ‘apa yang benar dengan AMDAL’ (dan tetap saja hal inilah yang benar-benar diperlukan). Banyak yang diketahui mengenai berbagai problema dengan implementasi AMDAL namun sangat sedikit pembicaraan mengenai berbagai solusi yang berpotensi. Di waktu yang sama juga penting adanya pemikiran atas kebijakan AMDAL untuk diinformasikan tidak hanya oleh norma-norma dan standar-standar internasional namun secara bersamaan oleh praktek yang baik yang dikembangkan sendiri yang ada di Indonesia. AMDAL telah ada sekitar 20 tahun lamanya. AMDAL didasarkan atas berbagai regulasi nasional yang telah ditetapkan

Upload: q-dhalanknov-mbelinksky

Post on 26-Jun-2015

1.759 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebenaran Sebuah AMDAL

Kebenaran Sebuah AMDAL

June 11th, 2009 | Environment | 110 Comments »

Pada akhir tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) meluncurkan fase lanjutan dari reformasi atas sistem pemantauan dampak lingkungannya. “AMDAL Revitalisasi” bertujuan berbagai tantangan khusus yang telah timbul sejak diperkenalkan oleh undang-undang Pemerintah Indonesia atas otonomi daerah pada tahun 1999. Secara khusus, pentingnya untuk mengklarifikasi peran dari pusat terhadap berbagai otorita lingkungan di tingkat sub-nasional, mengkaji dan meningkatkan berbagai prosedur yang telah ada untuk partisipasi publik, mengklarifikasi cakupan AMDAL dan untuk memperkenalkan berbagai peralatan lingkungan alternatif, dan untuk memperkuat penegakan. Berbagai diskusi awal dengan Bank juga mencakup potensi untuk memperkenalkan fleksibilitas yang lebih tinggi terhadap sistem sentralisasi yang ada untuk memungkinkan variasi untuk muncul ke permukaan dari suatu daerah ke daerah lainnya sementara tetap mempertahankan konsistensi berkaitan dengan berbagai standar lingkungan. Bank telah menegaskan pentingnya pemberdayaan yang lebih atas sektor swasta sebagai suatu agen yang berpotensi untuk melakukan inovasi dan perubahan dalam rangka mendorong kualitas AMDAL.

1. Latar belakang

Tidaklah lazim bagi berbagai diskusi kontemporer mengenai reformasi AMDAL untuk berfokus pada ‘apa yang benar dengan AMDAL’ (dan tetap saja hal inilah yang benar-benar diperlukan). Banyak yang diketahui mengenai berbagai problema dengan implementasi AMDAL namun sangat sedikit pembicaraan mengenai berbagai solusi yang berpotensi. Di waktu yang sama juga penting adanya pemikiran atas kebijakan AMDAL untuk diinformasikan tidak hanya oleh norma-norma dan standar-standar internasional namun secara bersamaan oleh praktek yang baik yang dikembangkan sendiri yang ada di Indonesia.

AMDAL telah ada sekitar 20 tahun lamanya. AMDAL didasarkan atas berbagai regulasi nasional yang telah ditetapkan dengan baik serta berbagai acuan yang dikenal di seluru sektor utama di pemerintahan. Prosedur review dan persetujuan secara relatif telah menjadi kebiasaan yang diterima dengan baik di dalam organisasi dan berlaku secara homogen di tingkat nasional dan propinsi, berdasarkan komite administratif dan teknis lintas-pemerintahan. Sistem tersebut didukung oleh suatu jaringan Pusat Studi Lingkungan yang menyediakan berbagai masukan teknis, pelatihan formal dan kendali mutu, sementara berbagai reformasi penting juga telah dilakukan untuk mencoba menstimulasi keterlibatan publik dalam jumlah yang lebih besar dalam AMDAL.

Terdapat berbagai pertimbangan yang dapat dibenarkan atas pelaksanaan AMDAL di tingkat kabupaten, khususnya sejak undang-undang otonomi daerah diperkenalkan di Indonesia, mengingat kekurangan yang berkelanjutan atas kapasitas teknis dan administratif untuk manajemen lingkungan. Berkaitan dengan ini, berbagai reformasi terdahulu atas AMDAL telah memiliki kecenderungan untuk dilihas secara primer dari perspektif sentralis yang berfokus pada perubahan regulasi dan standar, sementara banyak dari berbagai tantangan yang sifatnya nyata adalah lebih bersifat operasional. Sebagai konsekuensinya terdapat suatu rentang yang sangat nyata di dalam

Page 2: Kebenaran Sebuah AMDAL

‘keterampilan’ ketika berkenaan dengan penerapan kebijakan lingkungan nasional di lapangan.

Akan tetapi di sebuah Negara yang sebesar dan yang se-kompleks Indonesia, Terdapat beberapa kelemahan yang telah diakui dalam AMDAL, tidak bahwa sedemikian berorientasi atas masukan, khawatir akan pemenuhan birokratis dan jarang bersifat efisien dari segi harga. tidak satupun dari kritik ini dapat dianggap sebagai benar secara keseluruhan. Berbagai tingkat variasi dalam pelaksanaan yang mengejutkan dapat ditemukan di antara berbagai propinsi dan kabupaten, sebagaimana ditemukan di dalam suatu penilaian terkini yang dilakukan oleh Bank Dunia2. Beberapa contoh praktek AMDAL yang diidentifikasi baik termasuk berbagai upaya untuk mengadaptasi dan menafsirkan kembali berbagai arahan nasional terhadap kebutuhan dan prioritas setempat yang jelas terlihat. Sebagai contoh, baik Propinsi Jawa Barat dan Metropolitan Jakarta menerapkan Kaji Ulang ANDAL (revisi AMDAL) yang efisien untuk berbagai ekspansi kapasitas atau perubahan besar lainnya atas berbagai fasilitas yang ada, daripada proses AMDAL yang lengkap dan panjang sebagaimana diharuskan oleh berbagai arahan nasional. Di Kota Balikpapan (Kalimantan Timur) pemerintah daerah bekerjasama dengan sektor swasta dan suatu koalisi LSM lingkungan untuk mendapatkan cara untuk meningkatkan AMDAL, sementara di Bali AMDAL telah dipergunakan secara efektif sebagai suatu bentuk perjanjian perantara dalam menempatkan dan mendisain berbagai perkembangan baru yang bersifat kontroversial, seperti halnya penimbunan tanah untuk kepentingan sanitasi komunal dan berbagai fasilitas pengolahan limbah.

Sistem AMDAL Indonesia

Suatu sejarah singkat

Meskipun AMDAL secara resmi diperkenalkan ke Indonesia pada tahun 1982, sebagian besar praktisi mengetahui asal muasal sebenarnya untuk beranjak dari Peraturan No. 29/1986 yang menciptakan berbagai elemen penting dari proses AMDAL. Sepanjang awal era 1990 didirikan suatu badan perlindungan lingkungan pusat (BAPEDAL) terlepas dari Kementerian Negara Lingkungan, dengan mandat meningkatkan pelaksanaan AMDAL dan kendali atas polusi, didukung oleh tiga kantor daerah. Kajian dan persetujuan atas berbagai dokumen AMDAL pada saat ini ditangani oleh Komisi Pusat atau Komisi Daerah, sesuai dengan skala proyek dan sumber pendanaan. Lebih dari 4000 AMDAL dikaji sampai dengan 1992 dimana menjadi lebih jelas bahwa berbagai elemen dari proses tersebut terlalu kompleks dan terlalu banyak didasarkan pada AMDAL ‘gaya barat’. Legislasi AMDAL yang baru yang diberlakukan pada tahun 1993 yang memiliki efek pembenahan atas prosedur penapisan, mempersingkat jangka waktu pengkajian, dan memperkenalkan status format EMP yang distandardisasi (UKL/UPL) untuk proyek dengan dampak yang lebih terbatas. Lebih dari 6000 AMDAL nasional dan propinsi diproses berdasarkan peraturan ini termasuk sejumlah kecil AMDAL daerah di bawah suatu komisi pusat yang didirikan di dalam BAPEDAL.

Undang-undang Pengelolaan Lingkungan yang baru (No. 23/1997) berbagai reformasi lanjutan atas regulasi AMDAL menjadi perlu. Peraturan 27/1999 diperkenalkan dengan simplifikasi lebih lanjut. Komisi sektoral dibubarkan dan dikonsolidasikan ke dalam suatu komisi pusat tunggal, sementara komisi propinsi diperkuat. Ketentuan yang lebih spesifik dan lengkap atas keterlibatan publik juga diperkenalkan, sebagaimana halnya

Page 3: Kebenaran Sebuah AMDAL

juga dengan suatu rangkaian arahan teknis pendukung. Namun demikian PP 27/1999 ternyata tidak tepat waktu, gagal untuk secara memadai merefleksikan berbagai perubahan politis yang pada saat itu lebih luas yang akhirnya mengarah kepada desentralisasi politik dan administratif.

Gerakan sosial di pertengahan hingga akhir 1990, dinamakan ‘reformasi’, mengarah ke reformasi politik yang sangat cepat sebagaimana terlihat dalam legislasi baru yang memberi kewenangan kepada kabupaten dan kecamatan terpencil untuk mengelola sebagian besar jasa-jasa kepemerintahan. Realokasi fungsi ini membuat Indonesiasebagai salah satu dari Negara yang paling ter-desentralisasi di wilayah ini, yang bersamaan dengan ini membawa janji akan pemerintahan yang membaik (namun dengan beberapa jaminan). Kabupaten Indonesia yang mendekati jumlah 400 mendapat otonomi yang lebih besar dengan pemilihan kepala daerah yang tidak lagi tunduk kepada persetujuan yang lebih tinggi, dan tanggung jawab atas ketentuan yang bersifat wajib untuk menyediakan jasa di 11 area, termasuk pengelolaan lingkungan.

2. Tujuan, Audiensi dan Hasil

Studi ini mengidentifikasi berbagai contoh praktek AMDAL yang baik di tingkat subnasional, meneliti berbagai faktor yang memberi kontribusi dan menilai potensi untuk mereplikasi pengalaman ini secara lebih luas di Indonesia. Ia menguji hipotesa yang mengatakan bahwa terdapat banyak hal yang akan dipelajari dari implementasi AMDAL di tingkat sub-nasional dalam masa 5 tahun terakhir ini dalam mengadaptasi kebijakan nasional atas kenyataan dari manajemen lingkungan yang desentralisasi.Studi ini memiliki beberapa target audiensi, di tingkat pertama para staf dari berbagai otorita lingkungan sub-nasional tersebut yang telah terlibat di dalam persiapan dari berbagai studi kasus3. Yang kedua, studi akan menginformasikan disain dari berbagai studi pilot di tingkat propinsi yang saat ini sedang dilakukan oleh Bank di Jawa Barat dan Kalimantan Timur, meskipun identifikasi atas ide-ide yang inovatif yang telah diuji di tempat lain di Indonesia. Yang ketiga, ia akan memberi masukan pada berbagai rekomendasi keseluruhan atas reformasi AMDAL yang akan disediakan oleh Bank Dunia kepada KLH. Diharapkan, juga, bahwa berbagai konklusi utama dari studi akan dibagi secara lebih luas dengan berbagai kabupaten dan propinsi melalui buletin KLH mengenai AMDAL (INFOAMDAL). Hasil-hasil dari studi mencakup (i) laporan ringkasan ini, (ii) sepuluh laporan studi kasus yang berdasarkan lapangan, dan (iii) suatu seminar yang menampilkan hasil-hasil dari studi untuk berbagai otorita setempat yang terpilih.

3. Metodologi dan Sumber InformasiPendekatan Umum

Studi menerapkan suatu pendekatan empiris untuk mengidentifikasi dan menjelaskan praktek AMDAL yang baik, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi berbagai contoh daripada memberikan suatu pandangan secara menyeluruh atas frekuensi dengan mana ia terjadi di dalam sistem. Telah diketahui bahwa praktek yang baik tersebut jarang, mungkin terjadi pada sekitar 10% AMDAL yang dilakukan di tingkat sub-nasional. Studi tidak berupaya untuk memvalidasi asumsi ini, tetapi untuk melihat berbagai studi kasus yang dipilih secara rinci sebagai dasar untuk mulai lebih memahami mengapa AMDAL secara relatif berjalan sangat baik di beberapa tempat namun tidak di tempat lainnya.

Page 4: Kebenaran Sebuah AMDAL

Studi terdiri dari suatu fase awal yang berfokus pada pengumpulan 10 studi kasus yang berdasarkan-lapangan dari AMDAL yang baru saja diselesaikan di lima daerah. Berbagai daerah tersebut dipilih dengan konsultasi dengan KLH atas dasar tingkat perkembangan ekonomi, kapasitas implementasi AMDAL, dan kemauan untuk berpartisipasi. Penelitian di lapangan diikuti dengan verifikasi atas berbagai hasil dan perbandingan terhadap pengalaman yang relevan dari berbagai Negara lainnya, yang tersedia dari staf Bank Dunia dan donor multilateral dan bilateral. Hal ini mengikuti prinsip bahwa, untuk menghindari hasil-hasil yang subyektif, identifikasi atas praktek yang baik di suatu Negara dapat ditentukan dengan cara paling baik melalui pembandingan dengan berbagai standar yang diaplikasikan di berbagai Negara sebanding, sebagaimana halnya juga berbagai stándar internasional yang diterima. Untuk memastikan bahwa hasil dari studi-studi kasus dapat dengan mudah dibandingkan dengan pengalaman internasional, suatu kerangka kerja atas analisa yang baru-baru ini digunakan oleh Bank Dunia dalam menilai berbagai sistem AMDAL nasional di daerah tetap diadaptasi dan diterapkan5. Sesuai dengan hal itu, studi atas sistem AMDALdibagi ke dalam kategori berikut:

1. Legislasi dan Arahan – sampai sejauh mana regulasi dan arahan nasional diadaptasi pada dan merefleksikan, kenyataan setempat;2. Administrasi – tingkatan di mana terdapat koordinasi antara AMDAL dan berbagai prosedur administratif lainnya;3. Penapisan dan Pelingkupan – suatu tingkatan di mana kualitas penapisan dan pelingkupan ditingkatkan melalui konsultasi dan pencakupan informasi setempat;4. Isi Studi AMDAL– sensitifitas dari isi laporan terhadap pelingkupan, kualitas dari analisa dampak, dan sampai sejauh mana berbagai rencana manajemen lingkungan beroperasi;5. Proses kajian dan Partisipasi Publik – kualitas dan konsistensi dari proses kajian dan sampai sejauh mana publik dilibatkan; dan6. Pengawasan & Penegakan–upaya-upaya yang diambil untuk mendorong pemenuhan berbagai persyaratan AMDAL.

Data primer dikumpulkan di setiap area ini dan dikompilasi ke dalam sepuluh laporan studi kasus, menyediakan suatu badan informasi yang signifikan atas berbagai praktek AMDAL yang ada di tingkat sub-nasional. Informasi dikumpulkan melalui suatu kombinasi pengkajian dokumen, wawancara informan utama dan kunjungan lapangan. Biasanya, wawancara dilaksanakan dengan para pejabat di otorita lingkungan tingkat sub-nasional yang relevan, para anggota lainnya dari Komisi kajian AMDAL dan tim teknisi, perwakilan dari penggagas proyek, LSM setempat dan pihak yang terkena dampak, dan para konsultan dan penasehat yang bertanggung jawab untuk menyiapkan berbagai laporan AMDAL. Setiap laporan studi kasus disirkulasikan dalam bentuk rancangan ke KLH dan berbagai otorita setempat yang relevan, sebelum suatu seminar yang diadakan di Jakarta untuk para pejabat pemerintah kunci setempat dari lima propinsi yang terlibat dalam studi. Sebagai contoh, berbagai pengaturan yang baru memungkinkan pendirian Komisi-komisi AMDAL di tingkat kabupaten. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran akan benturan kepentingan di dalam pengkajian dan persetujuan atas dokumen AMDAL yang ‘memanasi’ suatu pandangan di tingkat pusat bahwa otorita setempat seharusnya mengundang ekstraksi sumber-sumber daya yang merusak lingkungan dan lebih intensif untuk mendorong pendapatan. Sebagai konsekuensi tidak langsung dari desentralisasi, berbagai fungsi Bapedal diserahkan

Page 5: Kebenaran Sebuah AMDAL

kembali kepada Kementerian Negara untuk Lingkungan (KLH) pada saat ini, sementara tanggung jawab dari ketiga kantor daerahnya difokuskan kembali dan diperluas untuk juga mencakup berbagai kabupaten.

Sampai saat ini hanya sedikit penelitian mengenai dampak desentralisasi atas pengelolaan lingkungan secara umum dan AMDAL secara khususnya. Suatu kajian awal yang dilakukan oleh Bank pada awal 2004 mengindikasikan berbagai perbedaan yang signifikan dari satu daerah dengan daerah lainnya. Kabupaten-kabupaten dan kecamatan dengan sumber daya yang lebih baik telah dengan cepat memberlakukan regulasi lingkungan mereka sendiri, meskipun sebagian besar sejalan dengan berbagai standar nasional. Berbagai Kabupaten dengan sumber daya yang kurang baik (sebagian besar Jawa) secara umum telah terus menerus bergantung pada berbagai arahan nasional dan juga propinsi untuk membantu mereka dalam menerapkan AMDAL. Kepribadian penting dalam mempengaruhi efektifitas AMDAL, khususnya hubungan antara kepala badan lingkungan daerah (BPLHD) dan gubernur propinsi atau bupati. Tingkat kepentingan publik/protes juga telah sangat berpengaruh dalam memperkuat proses tersebut, demikian juga berbagai standar internasional yang diperkenalkan melalui berbagai proyek donor. Pada saat yang sama, dalam hampir semua kasus, aturan-aturan tetap ‘dibengkokkan’ ketika memang dirasakan perlu untuk melakukan hal tersebut, yang mengakibatkan pusat berpendirian untuk memperkuat penegakan dan mekanisme pertanggung jawaban.

Berbagai revisi yang lebih baru terhadap kerangka kerja hukum untuk desentralisasi tampaknya memperkuat posisi otorita lingkungan local dan meningkatkan demokratisasi (seperti pemilihan langsung atas kepada kabupaten) dapat pada waktunya menyediakan berbagai kondisi untuk aplikasi yang lebih konsisten atas undang-undang lingkungan dan berbagai standar. Namun demikian, meskipun terdapat variasi dalam kapasitas dari daerah ke daerah dan dari kabupaten ke kabupaten, implementasi AMDAL kemungkinan besar akan tidak stabil untuk masa depan yang dapat diperkirakan. Revitalisasi AMDAL dapat mulai menjawab tantangan ini dengan mendefinisikan secara lebih jelas bahwa peran KLH tidak hanya sebagai regulator tetapi juga sebagai fasilitator dari pembelajaran dan inovasi antara berbagai propinsi. Berbagai otorita propinsi dapat melakukan pendekatan yang serupa terhadap berbagai kabupaten, tetapi akan perlu untuk tetap memegang tanggung jawab operasional atas AMDAL.

Tantangan utama

Dari perspektif Kementerian Lingkungan, desentralisasi memiliki efek memperluas fungsi pengawasannya terhadap kabupaten, tetapi tidak menyediakan alat maupun sumber daya untuk melakukan hal ini secara efektif. Tanggung jawab pengawasan diperluas dalam artian bahwa KLH akan tetap bertindak sebagai caretaker dari berbagai regulasi lingkungan nasional namun harus sejak saat ini menangani (paling tidak secara teori) dengan hampir 400 unit independen dari manajemen. Sementara efek bersih dari pergeseran otorita ini mungkin tidak akan terlalu terlihat dalam jangka waktu pendek, ketidak-konsistenan yang semakin meningkat dalam penerapan regulasi dan standar nasional pasti akan terjadi dalam jangka waktu yang lebih panjang. Suatu program atas pembentukan kapasitas ekstensif dan alih keterampilan kepada berbagai kabupaten dapat membantu menangani resiko ini. Re-konsentrasi otorita hukum dan administrasi dan upaya lebih lanjut untuk memperkuat kapasitas teknis di tingkat propinsi dapat memberikan pilihan lain. Kedua pilihan dapat berarti berfokus kepada mempromosikan

Page 6: Kebenaran Sebuah AMDAL

kesadaran serta partisipasi publik dikombinasikan dengan mekanisme pertanggungjawaban yang diperkuat bagi para pejabat setempat. Namun demikian, mempromosikan keterlibatan publik dalam AMDAL adalah tantangan yang berat. Keterlibatan publik (khususnya dari orang-orang yang terkena dampak proyek) merupakan masalah yang kritis yang mana tanpanya sistem AMDAL secara garis besar akan tetap bersifat birokratis, namun tetap merupakan suatu bahaya laten di Indonesia. Madang kala, komunitas setempat memprotes pembangunan baru yang timbul dari perubahan penentuan lokasi dan disain yang signifikan, namun protes sedemikian jarang dibuat sebagai akibat langsung dari AMDAL. Untuk sebagian besar, AMDAL adalah suatu proses yang tidak terlihat atau suatu proses yang ‘dikekang’ oleh birokrasi. Dengan demikian aksi yang langsung umumnya merupakan cara yang lebih disukai untuk mengadakan perubahan.

Salah satu pendorong Revitalisasi AMDAL adalah untuk mereformasi mekanisme yang ada untuk keterlibatan publik dalam rangka mendorong keterlibatan publik yang lebih besar. Satu poin awal yang penting adalah untuk mengkaji struktur dan fungsi dari berbagai komisi kajian AMDAL. Sebagai contoh, BPLHD dari Propinsi Sulawesi Selatan telah berpengalaman dalam mengadakan berbagai rapat Komisi AMDAL di tingkat Kecamatan, sebagai suatu cara untuk meningkatkan transparansi dari proses pengkajian dan untuk memastikan bahwa para anggota Komisi dapat mengeluarkan komentarkomentar yang lebih mengandung informasi. Rekomendasi untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari keterlibatan publik dan pengungkapan informasi disediakan melalui suatu laporan yang terpisah sebagai bagian dari dukungan Bank Dunia atas Revitalisasi AMDAL.

4. Temuan Studi Kasus

Bagian ini merangkum temuan studi kasus di mana terdapat contoh praktek yang baik bagi AMDAL yang diidentifikasi di tingkat propinsi dan daerah baru-baru ini dan faktor mendasar yang dijajaki. Salah satu dari temuan-temuan tersebut secara keseluruhan adalah bahwa tidak satupun dari studi kasus tersebut cukup kuat untuk diklasifikasikan sebagai praktek yang baik secara keseluruhan. secara tidak teratur, dalam semua studi kasus menunjukkan baik kelemahan maupun kekuatan yang signifikan. Faktor kunci yang mempengaruhi timbulnya praktek yang baik termasuk: tekanan dari masyarakat, komitmen dan kepemimpinan staf lingkungan senior, tersedianya professional yang kompeten; serta tingkat partisipasi dan komitmen dari para pengembang. Tekanan politik juga penting akan tetapi merupakan sebuah faktor kontekstual terhadap mana badan lingkungan yang bertanggung jawab dapat melaksanakan pengendalian terbatas.Perundang-undangan dan pedoman.

Fokus dari serangkaian kategori ini adalah untuk menetapkan sampai batas mana pemerintah daerah telah memulai menafsirkan panduan dan standar nasional secara nyata di daerah setempat. Dalam sebuah negara sebesar dan dengan sebanyak variasi seperti Indonesia sudah jelas bahwa standar nasional seakan-akan tampak generik dari perspektif sebagian besar pemerintah daerah. Pemerintah daerah seringkali meminta bimbingan tambahan yang cukup rinci dari pusat untuk mendukung pelaksanaan kebijakan nasional. Namun demikian beberapa pihak yang lebih inovatif telah juga mulai melaksanakan proses penganutan dan pengadaptasian peraturan dan standar nasional.Perundang-undangan dan prosedur.

Page 7: Kebenaran Sebuah AMDAL

Dari semua studi kasus paling tidak satu peraturan AMDAL telah diluluskan oleh pemerintah daerah, secara umum untuk “menganut” peraturan nasional, misalkan dengan menetapkan komisi AMDAL daerah atau prosedur keterlibatan masyarakat. Di daerah yang paling inovatif, termasuk Metropolitan Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya, langkah tambahan yaitu “mengadaptasi” peraturan dan standar nasional sesuai dengan kebutuhan daerah, telah dimulai. Ini terdorong oleh kepedulian masyarakat ditambah dengan perasaan akuntabilitas yang lebih besar antar pejabat pemerintah, terutama di daerahdaerah di Indonesia yang lebih berkembang.

Salah satu contoh yang termasuk baik yang teridentifikasi adalah dari Metropolitan Jakarta yang telah menerbitkan sebuah surat keputusan yang dengan jelas mengintegrasikan AMDAL dengan prosedur perizinan dan perencanaan daerah. Sama pentingnya dengan hasil akhirnya di sini adalah proses pencapaian kesepakatan atas prosedur yang memerlukan “keikutsertaan” dari semua departemen pemerintah pemberi izin. Perjanjian memerlukan sebuah kompromi, yaitu mengizinkan pembebasan tanah bagi pengembangan baru untuk dimulai sebelum persetujuan AMDAL dengan izin mendirikan bangunan (IMB) diterbitkan setelah persetujuan AMDAL. Pendekatan yang dilakukan memperlihatkan adanya kecakapan di pihak badan pemerintah daerah AMDAL untuk menegosiasikan sebuah hasil yang mengakui dengan jelas peran AMDAL antar departemen pemerintah kunci. Koordinasi yang berkesinambungan dengan pihak berwenang pemberi izin telah tercapai melalui sebuah “Forum” yang dikaitkan ke Komisi AMDAL, di mana terjadi pertukaran informasi atas proyek-proyek yang sedang berjalan (project pipeline). Ini didukung oleh sebuah ‘road-show’ yang dilaksanakan oleh instansi lingkungan hidup yang berwenang melalui mana mekanisme AMDAL yang berkaitan dengan perizinan dijelaskan kepada staf teknis dan staf menengah dari semua jajaran pemberi izin.

Propinsi Yogyakarta telah mengambil beberapa langkah untuk menganut/menjelaskan prosedur AMDAL melalui penerbitan sebuah Surat Keputusan Gubernur yang menitikberatkan dan memperkuat persyaratan konsultasi masyarakat. Hal ini terdorong oleh perkembangan yang cepat dalam sektor perumahan dan sektor komersil serta kepedulian masyarakat terhadap biaya lingkungan dan sosial. Tendensi untuk berpihak pada lingkungan hidup dari Gubernur Yogyakarta yang sangat dihormati ini juga member dukungan yang lebih kuat kepada BPHLD daerah dalam urusannya dengan departemen pemerintah lainnya.

5. Kesimpulan

Banyak yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja AMDAL tanpa harus melakukan perubahan secara keseluruhan terhadap sistem. Kekuatan dari studi kasus adalah bahwa mereka menunjukkan bagaimana hal ini dapat tercapai secara praktis, memberikan tantangan secara implisit terhadap pihak lain untuk mencapai standar yang sama. Contoh yang paling baik ditemukan dalam kaitannya dengan: pelingkupan lingkungan.Namun terdapat bebrapa kasus AMDAL yang tidak berjalan sesui yang diharapkan, hal tersebut terjasi karena kurangnya tanggung jawab bagi pengelolah AMDAL itu sendiri dan kurangnya perhatian berbagi pihak yang berada diwilah tersebut, termasuk kepekaan masyrakat.

Page 8: Kebenaran Sebuah AMDAL

ReferensiDKI Jakarta:Drs. Ridwan Panjaitan, MSi., Kepala Divisi Pencegahan Dampak Lingkungan Hidup, BPLHD DKI JakartaSulawesi Selatan:Ir. H. Tan Malaka Guntur, MSi., Kepala BAPEDALDASulawesi Selatan Ir. Burhanuddin S. Laside, MS., Kepala Divisi Dampak Lingkungan Hidup,Sulawesi SelatanIr. H. Mukhtar Patau, Kepala Divisi Lingkungan Hidup, Kabupaten Jeneponto.SulawesiSelatanIr. Gunawan Palaguna, MSi., Kepala BAPEDALDA, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan

Amdal (Tak) Masuk Laci

F. Lingkungan Add comments

HArian Kompas, Rabu, 20 Januari 2010 | 03:15 WIB

Mulai tahun 2010 kita berharap penerapan sanksi lingkungan akan semakin tegas. Hal ini tecermin pada 19 pasal tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009: tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Sebelumnya pada UU No 23/1887, hanya ada 3 pasal soal amdal. HEFNI EFFENDI

Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau environmental impact assessment (EIA) awalnya diintroduksi di Amerika Serikat (1969) melalui National Environmental Policy Act. UNEP (1972) mengadopsi EIA. Lalu, OECD memublikasi Guidelines for EIA (1979), dan Masyarakat Eropa (1985) mengeluarkan Directive on EIA.

Bank Dunia (1989) diikuti Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Afrika pun mengharuskan EIA. Penegasan EIA sebagai instrumen pengelolaan lingkungan dikuatkan pada Principle 17 Rio Declaration pada tahun 1992.

Implementasi terbatas

Amdal di Indonesia diperkenalkan pada UU No 4/1982 tentang Lingkungan Hidup, penjabarannya melalui PP No 29/1986. Pada periode ini, implementasinya masih terbatas, hanya dikenal amdal proyek tunggal. Pendekatannya sektoral dengan 16 komisi amdal pusat.

PP No 51/1993 mengintroduksi amdal terpadu, kawasan, dan regional; serta Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL UPL) untuk kegiatan yang tidak berdampak negatif penting.

Page 9: Kebenaran Sebuah AMDAL

Pengembangan selanjutnya ada pada PP No 27/1999. Redesentralisasi dengan dibentuknya sekitar 119 komisi amdal kabupaten/kota dan sentralisasi dengan hanya ada satu komisi amdal pusat di Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH).

Untuk membuat amdal ditetapkan, harus ada pelibatan masyarakat dan keterbukaan informasi amdal (Keputusan Bapedal No 8/2000).

Kelemahan amdal

Seiring waktu, amdal telah bermetamorfosis 3 kali, tetapi wajahnya masih karut-marut.

Tulisan ”Amdal Masuk Laci” muncul di Kompas (7 Juli 2009). Tak jarang amdal dijadikan instrumen retribusi! Presentasi dokumen amdal di daerah tertentu terkadang dipatok dengan harga fantastis!

Pejabat daerah kalau diundang ke Jakarta untuk menghadiri presentasi terkadang minta hotel dan fasilitas mewah. Walaupun segelintir, hal itu jelas membebani pengusaha yang ingin taat lingkungan.

Amdal belum diapresiasi secara merata oleh kalangan industri. Badan usaha milik negara pun masih ada yang sama sekali tak punya dokumen lingkungan.

Amdal akhirnya jatuh sebagai syarat administrasi belaka, terutama dengan tidak diimplementasikannya Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan.

Kompetensi tak merata

Buruknya kualitas amdal juga terkait dengan tidak meratanya kompetensi penyusun amdal; belum adanya organisasi profesi amdal, yang mewadahi pengembangan profesi; serta tidak adanya sistem registrasi terhadap konsultan penyusun amdal. Tak aneh, konsultan yang kompetensi intinya bukan lingkungan, juga latah menyusun amdal!

Tidak adanya lisensi komisi penilai amdal juga mengakibatkan kapabilitas komisi dalam menilai amdal juga diragukan. Terkadang di kabupaten/kota tertentu, penunjukan otoritas pengelola lingkungan lebih condong ditentukan oleh kedekatan emosional, bukan kompetensinya di bidang lingkungan.

Pihak KLH melansir 70-80 persen amdal yang dinilai komisi di kabupaten/kota berkualitas buruk hingga sangat buruk.

Penguatan amdal

Sejak 2004 KLH mencanangkan program Revitalisasi Amdal, untuk membenahi konsultan lingkungan, tenaga ahli amdal, komisi amdal, dan pemrakarsa amdal.

Komisi amdal kabupaten/kota wajib beranggotakan 3 orang yang bersertifikat amdal penilai, 2 orang bersertifikat amdal penyusun, ada tenaga ahli, ada anggota dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), ada kerja sama dengan laboratorium terakreditasi (Permen LH No 05 dan 06/2008), dan agar komisi diisi orang lingkungan. Diharapkan tak akan ada lagi amdal yang melanggar tata ruang justru disahkan layak lingkungan.

Page 10: Kebenaran Sebuah AMDAL

Setiap personal penyusunan amdal yang telah bersertifikat amdal wajib mengikuti ujian kompetensi (Permen LH No 11/2008) yang dilaksanakan oleh Lembaga sertifikasi kompetensi.

Konsultan penyusun amdal harus mendaftar ke KLH, berbadan hukum, memiliki tenaga ahli tetap yang berkualifikasi ketua tim 2 orang, dan memiliki panduan mutu. Tidak seperti sekarang ini, tenaga ahli konsultan amdal bisa outsourcing sepenuhnya atau malah hanya pinjam nama.

Lembaga pelatihan penyusun amdal harus registrasi ke KLH (Permen LH No 11/2008 dan No 06/2009). Kurikulum pelatihan harus mengacu Kepmen LH No 178/2004 agar multidisiplin amdal terwadahi. Laboratorium lingkungan terakreditasi harus registrasi. Adapun metode pelingkupan dan prakiraan dampak kualitas udara telah dibakukan pula.

Setiap pengusaha tanpa izin lingkungan, penyusun dokumen amdal tidak bersertifikat kompetensi, dan pejabat penerbit izin lingkungan tanpa dokumen amdal, dapat dibui hingga 3 tahun dan denda hingga Rp 3 miliar (Pasal 109, 110, 111; UU No 32/2009).

Kelak, mulai 3 Oktober 2010, kita berharap menyaksikan kinerja amdal yang makin baik dan penerapan sanksi yang tegas sehingga bunyi sanksi itu tak hanya jadi macan kertas!

HEFNI EFFENDI Sekretaris Eksekutif Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-IPB

Tema: AMDAL

Prikaz svih 4 unosa.

Endang

AMDAL(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)Kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yg direncanakan pd LH yg diperlukan bagi proses pengambilan keputusan ttg penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.Kajian terpadu yg mempertimbangkan aspek ekologi, sosek, sosbud sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatanKajian ini dibuat pada tahap perencanaan.MASALAH AMDAL … (1)Ruh AMDAL ketika pertama kali dikeluarkan kebijakan mengenainya, adalah merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah Namun dikarenakan minimnya pengetahuan dari pemerintah dan rakyat dalam memahami AMDAL, menjadikan pemrakarsa dan konsultan menggunakan AMDAL sebagai sebuah dokumen asal jadi, dan kecenderungan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi. Sehingga AMDAL tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah kegiatan berjalan MASALAH AMDAL… (2)

Page 11: Kebenaran Sebuah AMDAL

119 kabupaten/kota yang memiliki komisi penilai AMDAL dari 474 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL, 75% dokumen AMDAL yang dihasilkan berkualitas buruk sampai sangat buruk (Hermien Roosita, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup MASALAH AMDAL… (3)Sering dikeluhkan bahwa selama ini AMDAL memerlukan waktu proses yang lama, Tidak ada penegakan hukum terhadap pelanggar AMDAL,Kontribusi pengelolaan lingkungan yang masih rendah, Menjadi beban biaya, dan dipandang sebagai komodias ekonomi oleh (oknum) aparatur pemerintah, pemrakarsa atau konsultan. Kadang kala AMDAL justru hanya sebagai alat retribusi, bukan sebagai bagian dari sebuah studi kelayakan, sehingga sering kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang. MASALAH AMDAL… (4)sangat sering ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL meninggalkan berbagai prinsip dalam AMDAL berupa keterlibatan rakyat dan posisi dalam penyusuan Amdalpasal 33 PP No. 27/1999 menegaskan kewajiban pemrakarsa untuk mengumunkan kepada publik dan saran, pendapat, masukan publik wajib untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL pasal 34 PP No. 27/1999 menegaskan bagi kelompok rakyat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.DASAR HUKUM AMDAL:UU Nomor 23 tahun 1997 ttg Pengelolaan Lingkungan Hidup.PP nomor 27 tahun 1999 ttg AMDAL.Kepmen LH:Kepmen LH No. 17 thn 2001 ttg Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yg wajib dilengkapi dengan AMDALKepmen LH No. 2 tahun 2000 ttg Panduan Penilaian Dokumen AMDALKepmen LH No. 4 tahun 2000 ttg Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu.Kepmen LH Nomor 5 tahun 2000 ttg Panduan Penyusunan AMDAL kegiatan pembangunan di Daerah Lahan Basah.dasar hukum….Kepmen LH no. 40 tahun 2000 ttg Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai AmdalKepmen LH no. 41 tahun 2000 ttg Pedoman Pembentukan Komisi Penilai Amdal Kab/Kota.Kepmen LH No. 42 tahun 2000 tth Susunan Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim Teknis Amdal Pusat.Kepmen LH No. 57 tahun 1995 ttg Amdal usaha atau kegiatan terpadu/multisektor.Kepmen LH No. 12 tahun 1994 ttg Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungandasar hukum…Kep Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal):Kepka Bapedal No. 08 th 2000 ttg Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL.Kepka Bapedal No. 09 th 2000 ttg Pedoman Penyusunan AMDAL.Kepka Bapedal No. 105 th 1997 ttg Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL.Kepka Bapedal No. 124/12/1997 ttg Panduan Kajian Aspek Kesehatan

Page 12: Kebenaran Sebuah AMDAL

Masyarakat dalam Penyusunan AMDAL.Kepka Bapedal No. 229/Bapedal/11/1996 ttg Pedoman Teknis kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan AMDAL.

Kreteria wajib Amdal …(1)Pasal 15 (1) UU No. 23/1997 menyatakan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Pasal 3 PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kreteria dampak besar dan penting meliputi:

Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.

Eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui.

Kreteria wajib Amdal … (2)Proses dan kajian yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya.

Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sumberdaya.Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.

Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.

Kreteria wajib Amdal … (3)Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati.Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan dapat mempengaruhi pertahanan negara.

Kreteria wajib Amdal … (4)Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut digunakan kriteria mengenai:besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;luas wilayah penyebaran dampak;intensitas dan lamanya dampak berlangsung;d. banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;sifat kumulatif dampak;berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Page 13: Kebenaran Sebuah AMDAL

Apa guna Amdal?: Menjamin rencana usaha layak lingkungan;Memberikan solusi minimalisasi dampak negatif;Mengambil keputusan ttg penyelenggaraan/pemberian izin usaha dan/atau kegiatan;Disusun sebelum rencana kegiatan dibangun/dilaksanakan.

Bagi masyarakat Amdal berguna utk:Memberikan informasi secara jelas mengenai suatu rencana usaha, berikut dampak lingkunan yg ditimbulkannya.Menampung aspirasi, pengetahuan, dan pendapat penduduk, khususnya dalam masalah lingkungan, akan didirikannya rencana usaha tersebut.Menamoung informasi setempat yg berguna bagi pemrakarsa dan masyarakat dalam mengantisipasi dampak dan mengelola lingkungan.Apa saja dokumen AMDAL?Dokumen KA-ANDAL (kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup);Dokumen ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan Hidup);Dokumen RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup)Dokumen RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan)DOKUMEN KA-ANDAL:Disusun terlebih dahulu utk menentukan lingkup studi dan mengidentifikasi isu-isu pokok yg harus diperhatikan dlm penyusunan ANDALDokumen ini dinilai dihadapan Komisi Penilai AMDAL.Jika KA-Andal belum/tidak disetujui maka Penyusunan Dokumen ANDAL, RKL, dan RPL tidak dapat dilaksanakan.

Jadi dukumen KA-ANDAL harus disepakati isinya oleh Komisi Penilai AMDAL dan digunakan sebagai acuan penyusunan Andal, RKL, dan RPL.Dokumen ANDAL, RKL dan RPL:Dokumen Andal: mengkaji seluruh dampak lingkungan hidup yg diperkirakan akan terjadi, sesuai dgn lingkup yg telah ditetapkan dalam KA-ANDAL.Dokumen RKL dan RPL: rekomendasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup utk mengantisipasi dampak-dampak yg telah dievaluasi dalam dokumen ANDAL.Ketiga dokumen ini diajukan secara bersama-sama kepada Komisi Penilai Amdal utk dinilai kelayakannya.Hasil penilaian menentukan apakah rencana usaha dan/atau direkomendasikan utk diberi izin atau tidakSiapa yg harus menyusun AMDAL?Dokumen Amdal disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yg berpotensi menimbulkan dampak penting dan belum memliliki kepastian pengelolaan lingkungannya.Kewajiban menyusun dokumen AMDAL didasarkan atas kreteria-kreteria yg telah ditetapkan, sehingga tdk semua jenis kegiatan yg membutuhkan izin memerlukan penyusunan AMDAL.Kreteria wajib AMDAL mencakup kegiatan:Potensi kegiatan menimbulkan dampak penting.Tdk pastinya ketersediaan pengelolaan lingkungan hidup dalam mengontrol dampak tersebut.

Bagaimana dokumen AMDAL disusun?Pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusun dokumen AMDAL.

Page 14: Kebenaran Sebuah AMDAL

Penyusun dokumen AMDAL memiliki sertifikat penyusun AMDAL (lulus kursus AMDAL B) dan ahli dibidangnya.Format dan materi disusun berdasarkan Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.

SIAPA SAJA PIHAK YG TERLIBAT DALAM AMDAL?Komisi penilai Amdal; komisi yg bertugas menilai dokumen Amdal;Di pusat berkedudukan di Bapedal/Meneg LH,Di propinsi berkedudukan di Bapedalda/Institusi pengelola LH propinsi.Di kab/kota berkedudukan di Bapedalda/Insitusi pengelola LH kab/kota.Pemprakarsa; orang atau badan hukum yg bertanggung jawab atas rencana usaha dan/atau kegiatan yg akan dilaksanakan.Warga masyarakat yg terkena dampak; seorang atau kelompok warga masyarakat yg akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut akan menjadi kelompok yg diuntungkan atau dirugikan.Pemberi izin.Bagaimana proses Amdal?Pelingkupan: proses pemusatan studi pada hal-hal penting yang berkaitan dengan dampak pentingKerangka Acuan (KA): ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupanAndal: telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatanRKL: upaya penangan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatanRPL: upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat rencana usaha dan/atau kegiatanProsedur Amdal?Persetujuan AmdalLama persetujuan dokumen KA-Andal dan Andal oleh instansi yang bertanggung jawab adalah 75 hari kerja sejak diterima dokumen Andal, RKL, dan RPLJika instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan. (ini memberi peluang dan bisa terjadi kolusi disaat tidak adanya keputusan tentang persetujuan AMDAL dalam jangka waktu 75 hari)Apa kaitan AMDAL dgn dokumen/ kajian lingkungan lainnya?Rencana kegiatan yg sudah ditetapkan menyusun UKL-UPL tidak lagi diwajibkan menyusun AMDAL.Kegiatan berjalan yg diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tdk membutuhkan AMDAL baru.Pengubahan kegiatan yg hanya membutuhkan penyesuaikan RKL-RPL tdk perlu menyusun AMDAL lagi.bagaimana prosedur amdal di Indonesia?Proses penapisan (screening) wajib Amdal (seleksi awal mana kegiatan yg wajib menyusun Amdal atau tidak.Proses pengumaman dan konsultasi masyarakat; pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yg ditetentukan, menanggapi masukan yg diberikan dan kemudian melakukan konsultasi kpd masyarakat terlebih dahulu sebelum menyusun KA-ANDAL.Proses penilaian KA-ANDAL; pemrakarsa mengajukan dokumen utk dinilai oleh Komisi Penilai Amdal.Proses menyusunan dan penilaian dokumen Andal, RKL, dan RPL; setelah disususn diajukan secara bersamaan utk dinilai Komisi Penilai Amdal. (lama penilaian maks 75 hari)

Page 15: Kebenaran Sebuah AMDAL

Kelemahan penyusunan AMDAL:Amdal disusun sekedar memenuhi kewajiban.Keterlibatan masyarakat dalam penyusunan sangat kurang/tidak ada.Observasi lapangan oleh konsultan hanya 1 atau 2 kali saja/sekedar pelengkap.Izin perusahaan/usaha sudah keluar sebelum ada dokumen Amdal.Kelemahan Implementasi AMDAL:Dokumen Amdal sering lolos tanpa pertimbangan yg memadai.Pengawasan oleh aparat/instansi terkait tidak berjalan sebagaimana mestinya.Prosedur hukum berbelit-belit akibat kelemahan dari pengawasan.Tidak ada sangsi terhadap pelanggaran RKL dan RPL (jika terjadi komplik atau pencemaran lingkungan akibat tidak dilaksanakan RKL dan RPL harus merujuk perangkat hukum lain (semisal UU No. 23/1997, UU No. 41/1999 jo UU No. 19/2004 ataupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Perdata).

silahkan mengomentari masaalah apa saja yg berkaitan dengan amdal

prije više od godinu dana

Gutus

ikut gabung boleh ia...to the point secara realistisdi indonesia cuma hanya ada dua money n politic..dn smua itu mnutupi smua hal yg sudah anda paparkan diatas [that's it just cover] dibalik itu semua ada beberppa pihak yang mempunya kepentingan lah yang mempunyai wewenang.[exp. pembukaan kebun kelapa sawit di daerah kal-teng] waktu da penelitian ttg penangnan limbahdan pmapaan pertisida paa pkerja] iaa gtu deh...hee..just for share...

prije više od godinu dana

Dadi

tugas kita kenapa hukum yg sudah ada dan jelas tertulis namun tidak teralisasi dengan baik... bentuknya hanya formalitas saja.... namun lama kelamaan hancurlah ekosistem tempat kediaman kita so.... adakah yang mampu berjalan dsni... melindungi.... segala sesuatu tanpa berfikir kesenangan sesaat....

prije više od godinu dana

Kelana

btw UU dah diganti UU NO 32 TAHUN 2009

di negara kita kan peraturan bukan untuk di taati atw ikuti tapi untuk DILANGGAR

Amdal Lemah, Kejahatan Pertambangan Tersu Meningkat

www.republika.co.id, Senin, 12 Nopember 2007, 19:32:00

Jakarta-RoL-- Ahli hukum lingkungan hidup, Indro Sugianto, mengatakan unsur

Page 16: Kebenaran Sebuah AMDAL

lemahnya mekanisme AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) berdampak langsung terhadap peningkatan kejahatan di sektor industri tambang yang berdampak kepada rusaknya lingkungan hidup."Banyak perusahaan tambang yang menyiasati kelemahan mekanisme AMDAL ini, sehingga tak jarang sektor pertambangan mengancam bahkan merusak lingkungan hidup," kata Indro dalam acara peluncuran buku tentang kasus-kasus pertambangan sepanjang tahun 2003-2004, di Jakarta, Senin.

Lebih lanjut Indro menjelaskan bahwa ada beberapa modus yang kerap digunakan oleh para pengusaha tambang, terkait AMDAL.

"Biasanya mereka melakukan usaha yang termasuk dalam kategori usaha 'wajib memiliki AMDAL', tapi ternyata mereka tidak punya AMDAL," katanya.

Trik lain, lanjut Indro, adalah dengan membuat AMDAL setelah operasi tambang sudah berjalan, padahal seharusnya AMDAL disusun sebelum operasi dimulai.

Masih kata Indro, kelemahan yang juga dimanfaatkan oleh para perusahaan tambang adalah ketentuan sektoral lintas-instansi yang berbeda-beda tentang jenis usaha yang wajib memiliki AMDAL.

"Contoh kasus untuk ini adalah PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, yang ternyata AMDAL-nya tidak ada karena mereka beranggap bahwa operasi mereka itu belum sampai pada tahap eksploitasi, sehingga belum wajib menyusun AMDAL," katanya.

Siasat lain, lanjut Indro, adalah dengan membuat izin operasi dengan luas wilayah yang kecil-kecil dan terpencar, sehingga tidak wajib AMDAL dan mereka bisa mengeruk bahan tambang di antara titik-titik usaha yang sudah terhubung jalan itu.

Kelemahan paling utama di mekanisme AMDAL, ujar Indro, terletak pada kewenangan memberi izin di pihak Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan tugas pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

"Pengawas AMDAL adalah KLH, kalau dalam perjalanan operasi tambang ada masalah, maka KLH melaporkan hal itu ke pihak Kepolisian dan Kejaksaan, tapi tetap saja izin ditentukan oleh Departemen ESDM," kata dia, "Jadi tidak ada hubungan antara pengawasan dan penjatuhan sanksi hasil pengawasan."

Hubungan pengawasan dan pemberian sanksi serta perizinan inilah, tegas Indro, yang dimanfaatkan para pengusaha tambang yang bermasalah.

Hal yang juga dirasa Indro sangat melemahkan peran AMDAL dalam upaya mencegah dan meredam kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan pertambangan terletak di metodologi identifikasi, prediksi, dan evaluasi dampak yang kerap tidak valid.

Contoh kasus ini adalah data lapisan termoklin dalam AMDAL PT Newmont Minahasa Raya (NMR), yang kurang tepat. Lapisan termoklin adalah lapisan dalam perairan laut di mana suhu menurun lebih cepat terhadap kedalaman.

Page 17: Kebenaran Sebuah AMDAL

"Metodologinya lemah, sehingga data yang dihasilkan AMDAL juga tidak valid," tegasnya.

Di lapangan, AMDAL pun kerap ditemui berbeda dengan kenyataan, "Informasi pemrakarsa kegiatan usaha tidak sesuai dengan praktik di lapangan."

"Untuk hal akses informasi, partisipasi dan keadilan (termasuk konsultasi publik) tidak dilaksanakan secara hakiki. Bilangnya akan dibangun peternakan ayam, malah dibangun Lapindo," kata Indro.

Di hadapkan dengan persoalan ini, ia menawarkan beberapa solusi, antara lain dengan cara mengharmoniskan peraturan wajib AMDAL, antara Undang-undang dan kebijakan sektoral. "Tegaskan ketentuan AMDAL dengan perijinan, dan fungsi pengawasan dengan fungsi pemberian izin harus 'nyambung'," papar Indro.

Ia pun menambahkan, sudah saatnya pejabat pemberi AMDAl yang terbukti lalai melakukan tugasnya dikenakan sanksi tegas, "Kalau perlu AMDAL dikaitkan dengan pengaturan sanksi berupa sanksi pidana."

Menanggapi usulan Indro, Sony Kerraf, Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI yang juga mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, menegaskan bahwa dalam RUU Minerba (Mineral dan Baru bara) telah dicantumkan ancaman sanksi baik administratif maupun pidana kepada para pejabat dan pengusaha yang lalai dalam AMDAL.

"Ancaman terberat buat pejabat adalah dua tahun penjara, dan buat pengusaha 10 tahun," ujar Sony yang juga hadir dalam acara peluncuran buku terbitan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) tersebut.

RUU Minerba, masih kata Sony, diproyeksikan sudah bisa disahkan menjadi Undang-undang pada awal bulan Desember.

"Kita tinggal rampungkan pasal-pasal peralihan," kata anggota dewan dari Fraksi PDI-Perjuangan tersebut. antara/abi

Posted by : APBI-ICMA

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) “Sebuah Pendekatan untuk Mencapai Pembangunan Berkelanjutan” REP Agung Priyanto | 03 August 2010 | 14:57

166

Page 18: Kebenaran Sebuah AMDAL

2

Nihil.

Sebuah kebijakan baru dari pemerintah pusat telah lahir. Kebijakan ini mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan kajian lingkungan hidup strategis dalam setiap kebijakan, rencana dan program yang dicetuskan. Kebijakan ini menjadi salah satu upaya pemerintah pusat dalam menyikapi kondisi penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan yang semakin memprihatinkan.

Kebijakan ini merupakan sebuah upaya pemerintah pusat untuk mengatasi permasalahan lingkugan mulai dari “hulu”. Kebijakan ini di amanatkan dalam UU no 32 tahun 2009 tentang perlindugan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa KLHS merupakan salah satu instrument untuk pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Dengan adanya KLHS ini permasalahan lingkungan yang akan lahir dari sebuah kebijakan, rencana dan program dapat diprediksi dan dapat diminimalisir dampaknya.

Dalam pelaksanaannya KLHS akan lebih berperan sebagai sebuah pendekatan atau metode daripada sebuah intrumen seperti AMDAL. Selama ini kita mengenal AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai salah satu instrumen dalam pengendalian pencemaran lingkungan. Di dalam penyusunan Amdal lebih mengedepankan pada aspek scientific judgement yang biasa dilakukan oleh para pakar yang bersertifikasi. Sedangkan dalam penyusunan KLHS scientific judgement tidak terlalu dikedepankan akan tetapi diskusi publik dari berbagai stakeholder yang berkepentingan dan terkena dampak dari sebuah kebijakan, rencana dan program. KLHS bermanfaat untuk bisa mengefektifkan instrument pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan yang lain seperti AMDAL.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis wajib dimasukkan ke dalam kebijakan, rencana dan/atau program untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya KLHS akan memasuki Dalam proses integrasi KLHS ke dalam kebijakan, rencana dan/atau program mempunyai beberapa alternatif metode. Ketika KLHS disusun seiring dengan penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program maka KLHS tidak harus menjadi sebuah dokumen tersendiri melainkan menjadi sebuah kesatuan yang terintegrasi dalam kebijakan, rencana dan/atau program tersebut. Lain halnya bila kebijakan, rencana dan program tersebut telah tersusun misalnya RTRW sebuah Propinsi yang sudah menjadi Perda, maka KLHS bisa diintegrasikan ketika adanya evaluasi RTRW berkala atau melalui penjabaran atau kegiatan detil dari rencana tersebut. Dengan begitu KLHS akan tetap bisa fleksibel terintegrasi ke dalam kebijakan walaupun kebijakan tersebut sudah dicetuskan.

Dalam pelaksanaannya perlu dipahami bahwa KLHS bukan bertujuan untuk menghalangi pembangunan namun dengan pertimbangan isu lingkungan maka pembangunan yang dilakukan tersebut tidak akan mengurangi daya dukung dan daya tampung dari lingkungan. KLHS bermanfaat untuk menunjang sebuah kebijakan agar kebijakan tersebut dapat diterapkan dalam jangka panjang serta bukan kebijakan yang hanya bisa diterapkan dalam jangka pendek karena berdampak besar terhadap lingkungan.

Page 19: Kebenaran Sebuah AMDAL

Salah satu konsekuensi dari era otonomi daerah adalah wewenang pengelolaan lingkungan di daerah menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah. Kepala daerah mempunyai peran yang sangat penting untuk menentukan suatu kebijakan apakah dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan atau tidak. Demikian juga dengan tingkat keberhasilan dari kebijakan KLHS ini adalah tingkat kepatuhan dari tiap-tiap kepala daerah untuk melaksanakannya KLHS pada setiap kebijakan, rencana dan/atau program.

Kelahiran KLHS perlu diapresiasi walaupun pastinya masih banyak memiliki kekurangan. Dengan upaya pertimbangan lingkugan mulai dari suatu kebijakan, rencana dan program itu lahir maka diharapkan anak cucu kita akan masih bisa menikmati alam dan lingkungan yang tetap terjaga. Walaupun kebijakan ini memang masih perlu banyak masukan untuk menuju kesempurnaan mengingat Peraturan Pemerintahnya belum ada. Namun semoga KLHS ke depan akan bisa menjadi pendekatan yang efektif untuk menyelamatkan lingkungan kita.

Sebarkan Tulisan: Laporkan Tulisan Beri Tanggapan Beri Nilai

o Aktual o Inspiratif o Bermanfaat o Menarik o Menghibur o Biasa o Basi o Tidak Penting o Asal Tulis o Plagiat o Provokatif

<p>Your browser does not support iframes.</p> Tanggapan Tulisan

Suharsono Suharsono 4 August 2010 06:52:55

1

ini yang saya tunggu mas Agung. Semoga dengan KLHS, suara saya tentang telekomunikasi dikompasiana ini dan dampak lingkungannya dapat didengar dan menghubungi kami.

pemerintah yang sejak zaman orde baru sulit memahami dan mengikuti konsepku yang selama ini saya bisikkan kepada pihak ketiga, kali ini saya memerlukan pihak ketiga

Page 20: Kebenaran Sebuah AMDAL

lagi sebagai mitra bisnis telekomunikasi yang memikirkan dampak lingkungan tentang penggunaan udara dan frekuensi.

untuk mengenal proses masalalu yang telah berhasil saya bisikkan, dapat membaca REVOLUSISPIRITUALBANGSA digoogle dan profilku hanya dikompasiana saja dan telp 02747889345 untuk klarifikasi.

Balas tanggapan | Beri Nilai +1 -1

Agung Priyanto 6 August 2010 08:59:08

0

halo mas suharsono, semoga KLHS bisa memberi harapan untuk lingkungan kita

Masih Perlukah Amdal?

Kasus Amdal Grand City Surabaya (GCS) yang disusun dosen Teknik Lingkungan ITS yang diprotes warga Ketabang, Surabaya, adalah cermin semakin merosotnya wibawa amdal (analissi mengenai dampak lingkungan) sekaligus sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dan pelaku usaha di Surabaya dalam menghayati fungsi penting dokumen amdal. Dalam dokumen amdal banyak ditemukan dugaan rekayasa (Surya, 3/3). 

Karena semakin memburuknya kualitas bumi tempat tinggal manusia, maka pada tahun 1972 di Stockholm, negara-negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi lingkungan hidup, menelorkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).  Melalui implementasi konsep ini pembangunan yang sedang dan akan berjalan di muka bumi diharapkan tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang dapat mengurangi hak generasi selanjutnya akan sumber daya alam dan terpeliharanya proses ekologi.

Di Indonesia untuk meminimalkan dampak pembangunan dibuat instrumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Praktik pelaksanaan amdal saat ini masih jauh menyimpang dari semangat peraturan yang telah ditetapkan, terdapat empat kelemaham penting dalam implementasi amdal di Indonesia:

Pertama, amdal masih bersifat formalitas dan bukan masalah prinsip dan penting, sehingga tanpa amdal sebuah proyek pembangunan tetap berjalan. Pembuatan amdal GCS semata dilakukan lewat pendekatan legalistik dan tidak dipandang sebagai instrumen pengendalian.

Amdal hanya dijadikan persyaratan administratif yang meminggirkan kepentingan publik sehingga menimbulkan berbagai konflik berkepanjangan. Contoh lainnya adalah pembangunan Perumahan Bukit Mas memperoleh amdal dua tahun setelah perumahan ini dibangun (Kompas, 7/12/2005).

Page 21: Kebenaran Sebuah AMDAL

 Padahal dalam dokumen amdal menentukan dampak penting pada lingkungan dan manusia, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Amdal adalah kajian ilmiah dampak besar dan penting pada lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia. dampak besar dan penting dari suatu kegiatan ditentukan oleh enam hal, yaitu (1) jumlah manusia yang akan terkena dampak, (2) luas wilayah penyebaran dampak, (3) intensitas dan lamanya dampak, (4) banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, (5) sifat kumulatif dampak, dan (6) apakah dampak yang ditimbulkan dapat terpulihkan atau tidak terpulihkan.

Kedua, masih diabaikannya partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan persetujuan amdal. Amdal memuat prinsip-prinsip partisipatif dan transparan. Pasal 35 PP 27/1999 telah mengatur bahwa semua dokumen amdal bersifat terbuka untuk umum yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan. Peraturan tersebut memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kepentingan. Masyarakat berperan penting dalam penyusunan dokumen amdal, karena mereka akan selalu terlibat dalam empat tahapan penyusunan amdal.

a. Sebelum memulai penyusunan dokumen amdal, pemrakarsa kegiatan wajib mengumumkan kepada masyarakat tentang rencana kegiatan secara terbuka.

b. Mengundang masyarakat berkepentingan untuk memberikan masukan dan tanggapan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan.

c. Masyarakat terkena dampak wajib dilibatkan dalam proses penyusunan dokumen amdal. d. Penilaian amdal untuk menentukan apakah suatu kegiatan layak lingkungan atau tidak, dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal yang beranggotakan pemerintah berwenang, pusat studi lingkungan hidup, tenaga ahli, dan wakil masyarakat. 

Ketiga, kualitas amdal masih sangat buruk. Penyusunan amdal masih memprioritaskan kepentingan investor daripada dampak pada lingkungan. Data Bidang Tata Lingkungan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup tahun 2006 menyebutkan Lebih dari 75 persen dokumen amdal yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal di kabupaten/kota berkualitas buruk hingga sangat buruk.

Salah satu penyebab buruknya kualitas amdal karena banyak penyusunan studi amdal yang tidak dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli di bidangnya. Amdal akan memberikan informasi yang relevan bagi pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam pemberian izin usaha yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, sehingga dalam izin tersebut perlu diatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemrakarsa usaha untuk mencegah dampak kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan.

Amdal merupakan kajian ilmiah terhadap lingkungan fisik dan sosial yang sangat kompleks, maka dibutuhkan keahlian multidisiplin dalam penyusunan untuk mengidentifikasi berbagai masalah lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan.

Page 22: Kebenaran Sebuah AMDAL

Sungguh menjadi sebuah kejahatan pada lingkungan yang serius bila dalam penyusunan amdal tidak diberikan langkah-langkah antisipasi bila terjadi dampak lingkungan yang mengancam jiwa manusia. Tragedi underground blow out akibat pengeboran gas Lapindo Brantas Inc (LBI) adalah salah satu contohnya. Blow out  pada kedalaman hampir 3.000 meter di bawah permukaan tanah di Sumur Banjar Panji 1 ini menimbulkan semburan lumpur panas yang menenggelamkan ribuan rumah warga desa di Kecamatan Porong dan Tanggulangin.

Terjadinya blow-out adalah hal yang biasa terjadi dalam kegiatan pengeboran migas, sehingga segala dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat blow-out seharusnya telah diprediksi sejak awal dalam dokumen amdal untuk mempersiapkan langkah-langkah antisipasi.

Pemerintah dan LBI seharusnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar proyek tentang adanya kemungkinan blow-out dan dampak yang akan mereka hadapi serta mempersiapkan langkah antisipasi.Keempat, Kelemahan pengawasan implementasi dokumen Amdal.

Pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pantau Lingkungan (RPL) untuk meminimalisasi dampak lingkungan dirasakan masih sangat lemah. Di Surabaya hanya ada empat orang pengawas amdal di tengah banyaknya aktivitas pembangunan. Akibatnya banyak investor yang gemampang pada implementasi amdal.

Dokumen ini akhirnya  dimanfaatkan sebagai ‘tameng’ untuk menunjukkan bahwa proyek kegiatannya telah disetujui pemerintah dan layak lingkungan.

Mereka menafikan segala kerusakan lingkungan dan kesengsaraan bagi masyarakat di sekitar proyek kegiatannya. Pelanggaran terhadap peraturan amdal sudah dianggap wajar dengan dalih untuk kepentingan pembangunan, sehingga tidak ada sanksi tegas dari instansi yang memberi izin kegiatan, bahkan pemerintah cenderung berpihak kepada kepentingan pemrakarsa kegiatan.

Perbaikan implementasi amdal  harus menjadi prioritas pemerintah untuk mencegah dampak negatif pembangunan yang berdampak pada penderitaan masyarakat di masa yang akan datang.

 Pemerintah harus menjadikan pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai arus utama yang diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan, Amdal tetap diperlukan sebagai perangkat peraturan untuk mendukung pembangunan ekonomi sekaligus melindungi kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Manusialah yang harus menyesuaikan kebutuhannya dalam mengeksploitasi alam dan memperlakukan bumi.

Bumi ini cukup memberi makan seluruh penduduk Bumi, tetapi tidak cukup bagi satu orang yang serakah.

Daru Setyo Rini MsiEcoton

Page 23: Kebenaran Sebuah AMDAL

This entry was posted on Monday, March 19th, 2007 at 8:19 pm and is filed under Uncategorized. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

Efektifitas AMDAL dalam Pelestarian Alam IndonesiaNov 25, '08 2:01 AMfor everyone

Efektifitas AMDAL dalam Pelestarian Alam Indonesia

 

Tuhan menganugerahkan kekayaan alam yang melimpah untuk negeri ini. Sayang,

kekayaan ini malah menumbuhkan jiwa-jiwa rakus dan oknum-oknum tak

bertanggungjawab.

Tengoklah warga Sidoarjo, mereka harus terusir dari tanah leluhurnya. Kekayaan

alam yang seharusnya dapat mensejahterakan mereka justeru malah menjadi bencana.

Padahal tidak sampai 10 % dari hasil kekayaan alam yang dieksplorasi dan dieksploitasi

PT Lapindo Brantas itu mereka nikmati. Mereka hanyalah warga biasa yang selalu

nrimo setiap “kebijakan” pemerintah. Namun saat pemerintah harus legawa menyikapi

tuntutan atas musibah yang warga alami, ironisnya dengan pongah pemerintah malah

meminta mereka lebih nrimo lagi keadaan yang seperti itu. Permohonan ganti rugi pun

seolah tidak layak mereka teriakkan.

Kerusakan akibat eksploitasi yang mengesampingkan kelestarian alam ini tidak

hanya terjadi di Sidoarjo. Kerusakan terjadi hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Hal

ini terkait erat dengan konversi penggunaan lahan yang tak terkendali dan pesatnya laju

pertumbuhan unit usaha dan perindustrian. Di jakarta misalnya, akibat reklamasi Pantai

Jakarta menjadi tempat hunian mewah, hutan mangrove di sekitar pantai ikut di babat.

Padahal hutan mangrove berfungsi untuk menyimpan air dan penyangga pasang laut

(ROB). Kasus lain adalah kebakaran hutan secara besar-besaran pada 1997/1998. Api

melalap hampir 11,7 juta hektare lahan hutan dan menghasilkan selimut asap tebal di

Asia Tenggara. Kebakaran ini selain dikarenakan faktor alam juga terjadi karena adanya

usaha mengkonversi lahan hutan menjadi areal industri oleh oknum serakah.

Sejak dimulainya revolusi industri tahun 1760 – 1830 (T.S. Ashton: Wikipedia)

setiap negara di dunia berlomba-lomba mengembangkan perindustrian mereka.

Page 24: Kebenaran Sebuah AMDAL

Celakanya, manusia menjadi cenderung bersifat instan dan tidak bersahabat dengan

alam. Lahan-lahan hutan dibabat untuk dijadikan kawasan industri. Pepohonan

digunduli dan isi bumi berupa barang tambang dieksploitasi besar-besaran. Lautan

tercemari limbah yang mengancam keberlangsungan ekosistemnya begitu halnya

dengan udara dipenuhi dengan karbondioksida, chlorofluorocarbon, asam nitrat dan zat

metan. Kesemuanya itu jika tidak cepat ditanggulangi akan meluas menjadi bencana

global. Apalagi Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu paru-paru dunia.   

Sebagai upaya menekan dampak kerusakan tersebut, pemerintah melalui UU No

23 tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1999 menetapkan bahwa sebelum

suatu unit usaha dijalankan, terlebih dahulu dilakukan Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan (AMDAL). AMDAL diharapkan dapat mengurangi dampak negatif suatu

unit usaha atau industri. Namun faktanya AMDAL tidak cukup efektif dalam mengatasi

kerusakan lingkungan. Lagi-lagi terkesan hanya formalitas semata. AMDAL mungkin

saja diproseduri namun praktek unit usaha dan perindustrian tetap tidak mengindahkan

kelestarian lingkungan. Terbukti pada tahun 2007 dimana AMDAL telah diberlakukan

kerusakan hutan di Indonesia masih terus terjadi bahkan mencapai kisaran 250 ribu

sampai 300 ribu hektare. Sehingga Indonesia pun dinobatkan sebagai negara

penghancur hutan tercepat oleh Guinnes World Record. Dalam catatannya selama kurun

2000 – 2005 tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,871 juta hektare (2%) per

tahun atau 51 kilometer persegi perhari.

Inilah kelemahan akut pembuat legislasi di bumi pertiwi. Produk hukum sudah

terbiasa menjadi onggokan-onggokan kertas tak berguna. Peraturan dan undang-undang

seolah dibuat memang untuk dilanggar. Padahal biasanya produk itu lahir setelah

melalui perjalanan waktu yang alot dan dengan pengeluaran biaya yang lumayan besar.

Semuanya menjadi sia-sia karena tidak ditindak lanjuti secara  sungguh-sungguh.

Seharusnya dapat disadari bahwa setiap padi di tanam rumput liar akan menyertainya.

Setiap produk hukum dibuat, para pelanggar akan selalu ada.

Jika saja pemerintah serius dalam upaya pelestarian alam melalui AMDAL,

niscaya bumi Indonesia ini akan tetap lestari. Selain itu, AMDAL akan lebih efektif jika

pemerintah mulai memberikan dukungan yang cukup terhadap lembaga-lembaga yang

concern dengan pelestarian lingkungan. Setidaknya jika yang mencintai kelestarian

Page 25: Kebenaran Sebuah AMDAL

alam lebih kuat maka para oknum perusak dengan sendirinya akan terlemahkan.

Semoga generasi anak negeri di masa depan tetap dapat menikmati keindahan alam

Indonesia. Bukan hanya sebuah dongeng yang dia dengar dari Ibunya. Dongeng tentang

eloknya alam bumi pertiwi di masa lampau.

Tags: amdalPrev: Tarawih Ramadhan di Masjid SyuhadaNext: “Mengkritisi Ka`idah Pengajaran Mufrodat dari Buku Pengajaran Bahasa Arab: Al-Arabiyah Baina Yadaik Jilid-1”

Gusti Muhammad Hatta

Minggu, 10 Oktober 2010

Konsep Ekonomi Hijau. Itu misi yang diusung Kementerian Lingkungan Hidup di bawah kepemimpinan Gusti Muhammad Hatta. Kata dia, dengan konsep itu, Indonesia kelak bukan hanya memikirkan aspek keuntungan dari pembangunan yang menggeliat. Namun juga tetap menjaga kelestarian alam.

Agar konsep ini dapat diterima pihak swasta sebagai salah satu kunci pelaku pembangunan, sejumlah insentif diusulkan Kementerian Lingkungan Hidup. Termasuk usulan untuk pemberian sanksi bagi pelaku pembangunan yang menyimpang dari aturan main. Namun misi itu tampaknya perlu upaya gigih untuk direalisasikan. Sejumlah kendala dihadapi dalam penerapannya.

“Masyarakat belum banyak yang sadar soal ini. Termasuk penegak hukum yang belum paham aturan lingkungan hidup,” ujar dia. Kepada wartawan Koran Jakarta, Mochamad Ade Maulidin, menteri ini yang ditemui di rumah dinasnya di Komplek Widya Chandra, Senin pekan lalu menuturkan banyak hal terkait kebijakan hingga upaya menjaga Indonesia dari kerusakan lingkungan akut.

Berikut petikannya. Apa target Kementerian hingga 2014? Tujuan dan sasarannya mewujudkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara integrasi guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan dengan menekankan pada ekonomi hijau.

Ekonomi Hijau maksudnya, pembangunan tetap jalan, tapi lingkungan tetap terjaga dengan didukung aksi nyata. Misalnya, industri listrik perlu energi untuk pembangunan. Tapi, kita mencari energi ramah lingkungan. Contohnya, instruksi Presiden kepada Menteri ESDM (Energi Sumber Daya Mineral, red) rencana pembangunan 10 ribu megawatt.

Sebanyak 48 persennya harus panas bumi, 12 persen dari hidrolik elektro air. Sisanya silakan dari batu bara. Kenyataannya ada kendalakendala harga satuan panas bumi.

Page 26: Kebenaran Sebuah AMDAL

Karena, pemerintah mau ke sana, maka perlu menentukan harga jual.

Apakah Kementerian sendiri telah menerapkan konsep Ekonomi Hijau itu? Kami berusaha membangun kantor yang ramah lingkungan, misalnya, membangun eco office berupa gedung di mana cahaya mudah masuk sehingga tidak diperlukan penerangan ketika siang.

Kami juga telah mencoba menggunakan energi matahari untuk energi kantor. Termasuk membuat biopori di halaman kantor. Kami sudah membuat berbagai macam eco office guidance itu dan telah disebarkan ke berbagai instansi. Salah satu yang menerapkan adalah Gubernur Bali yang membuat peraturan daerah tentang kewajiban bagi hotel baru untuk memanfaatkan energi matahari untuk 70 persen sumber listriknya.

Artinya, salah satu misinya menggerakkan pemanfaatan energi alternatif? Ya, benar sekali. Energi nuklir, misalnya? Nuklir itu energi yang cukup bersih, tapi kita trauma tragedi Chernobyl. Bagaimana dengan energi panas bumi? Panas bumi mengganggu hutan, namun tidak terlalu besar. Panas bumi kaya tangki panas, kalau enggak ada air, enggak ada gunanya.

Maka panas bumi ada hutan di atasnya. Karena hutan menghasilkan air. Untuk panas bumi, Kementerian masih mengizinkan orang menggali panas bumi, walaupun merusak hutan, tapi tidak separah batu bara. Bagi yang tetap menggali batu bara, kita akan melakukan pengawasan lebih ketat.

Sudah berapa sanksi yang diberikan Kementerian mengenai pelanggaran kuasa pertambangan batu bara itu? Baru dua kali, di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Habis itu aku kirim surat ke gubernur dan bupati untuk menindaklanjutinya.

Apa yang dilakukan Kementerian kepada perusahaan yang melanggar? Kami beri warna industri-industri. Yang tidak melakukan pelestarian lingkungan sama sekali, kami beri warna hitam. Yang sedikit melakukan pelestarian lingkungan atau ogahogahan merah.

Yang meningkat lebih sedikit dari itu diberi warna biru. Yang telah memenuhi syarat lingkungan hidup diberi warna hijau. Kapan evaluasi ini dilakukan ? Setiap tahun kami umumkan ini. Tahun 2008 yang diumumkan 2009. Merah dikenakan pada 83 perusahaan. Apakah semua perusahaan telah dievaluasi? Terus terang industri di Indonesia itu kan banyak, ada ribuan jumlahnya.

Sedangkan petugas kami terbatas. Sejauh ini, kami baru mampu menilai 690 perusahaan. Maka itu saya juga meminta deputi dan pemerintah daerah untuk memantaunya. Kalau perusahaan itu hitam berturut- turut, apa sanksinya? Kami masih merancangnya. Apa konsekuensinya dan sebagainya, masih banyak perdebatan. Meski pencemaran lingkungan juga bisa membuat orang mati.

Tapi kami sedang melobi bankir-bankir agar perusahaan itu tidak diberikan pinjaman. Kalau warnanya hijau, kami usul agar bunga kreditnya dikecilkan. Termasuk agar pajak mereka dikurangi untuk perusahaan yang peduli lingkungan. Bukannya usulan itu justru bisa mengurangi pemasukan negara? Kalaupun pajak sedikit, tapi kalau pencemaran lingkungan juga kecil, maka biaya penanggulangan masalah lingkungan hidup juga kecil kan? Daripada sebaliknya.

Page 27: Kebenaran Sebuah AMDAL

Ada perlawanan dari perusahaan dalam penerapannya? Aku maunya pembinaan dulu sebetulnya. Jadi tahu permasalahannya di mana? Kendalanya di mana? Baru cari solusi. Kalau menurut UU Lingkungan Hidup, kalau ada kerusakan lingkungan sampai menyebabkan kematian, pelakunya bisa dipidana.

Tapi kami coba perdata, berapa yang rusak dihitung lalu masyarakat dapat ganti rugi. Siapa saja yang pernah kena sanksi? Banyak, misalnya Adaro pernah kami beri sanksi, Pertamina pernah juga. Ada yang masuk penjara karena membakar hutan. Di Pertamina melakukan pencemaran, kemudian warga menggugat 20 miliar rupiah. Itu kami dukung untuk dimenangkan.

Apa kendala menyeret perusahaan pelanggar lingkungan ke pengadilan? Kalau dulu mereka menolak, kami bukan melanggar, karena ini bukan B3. UU-nya kuat, cuma hakimnya kami minta kuatlah. Kadang-kadang yang dipanggil mencari saksi ahli, dia berargumen. Pengacaranya hebat.

Idealnya seperti apa agar areal pertambangan tidak terlalu merusak lingkungan? Idealnya 30 persen bisa untuk penutupan lahan. Karena, banyak manfaat yang diperoleh seperti penyimpanan air, penyerapan pencemaran dan habitat binatang. Apa ada reward bagi daerah yang menyediakan lahan hijau? Kami memotivasi kabupatenkabupaten supaya meningkatkan luasan cakupan.

Jadi, kami hitung pertambahannya. Siapa yang bisa menambah dari yang ikut itu kami beri 500 juta rupiah. Aku harap 2011 akan naik lagi. Ini kan menunjang sektor kehutanan. Kemudian, kami membentuk kebun-kebun genetik. Setiap kabupaten membangun kebun jenis asli. Ada yang mengatakan tahun ini Jakarta bakal dilanda banjir besar.

Apa pendapat Anda? Kami punya Indeks Kualitas Hidup. Di setiap provinsi ada angkanya. Secara nasional nilainya baru 59,79. Maunya 60 ke atas. Kalau dilihat per pulau, yang paling jelek itu Jawa. Lalu ada tiga kriteria yang dijadikan Indeks Kualitas Hidup. Pertama, penutupan lahan. Kalau di hulu-hulu per wilayah minimal 30 persen.

Kalau di perkotaan ruang terbuka hijau, minimal 30 persen. Kedua, kualitas air dan ketiga soal kualitas udara. Berbicara penutupan lahan, 10 persen atau 15 persen yang ada di Jawa. Itu kurang. Jakarta hanya sebesar 9,6 persen. Padahal itu disebut harus 30 persen. Jakarta juga sudah terlalu banyak pembangunan yang menutupi air masuk ke tanah, misalnya karena aspal atau beton ditambah buang sampah sembarangan.

Kalau La Nina masih datang, memang bisa banjir. Jadi benar ada kemungkinan Jakarta akan tenggelam pada 2030? Saya tidak setuju karena itu pengertian permanen. Saya lebih sepakat dengan istilah Jakarta terendam. Dulu kita tidak pernah Amdal (analisis dampak lingkungan, red). Padahal itu untuk memprediksi apa yang akan terjadi secara holistik.

Kelemahan Amdal ini mungkin pertama ada yang kewenangannya diberikan kepada kabupaten. Ada yang diberi wewenang kepada provinsi. Lalu, prediksinya lemah. Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup sertifikat Amdal dapat dievaluasi. Bagaimana perkembangan kerja sama dengan Norwegia dalam pengurangan emisi

Page 28: Kebenaran Sebuah AMDAL

karbon? Kerja sama dengan Norwegia tetap jalan.

Sebelum kerja sama ini Indonesia telah melaksanakan RAN (Rencana Aksi Nasional, red). Norwegia mau memberikan bantuan kenapa enggak diambil sekitar 30 juta dollar AS. Tapi presiden belum mau, nanti dulu kita harus bagus menjaga hutan dulu. Ada penanaman pohon. Norwegia enggak minta macam-macam. Kalau bisa dua tahun dulu dicoba jangan ada izin di hutan gambut.

Jangan lagi ada izin di hutan primer. Orang kadang berpikir membandingkan dengan negara lain. Gara-gara hutannya tidak dimacam-macamin, masyarakat tidak bisa memanfaatkan katanya. Kalau di hutan boleh mengambil non kayunya. Ada juga perusahaan yang bilang tidak ada lahan lagi nih. Padahal lahan banyak, hanya diimbangi.

Mereka mau yang ada hutannya, karena banyak airnya. Apa target jangka panjang Kementerian? Menurunkan emisi karbon 26 persen. Tapi target itu direncanakan baru tercapai pada 2020. Apa yang dilakukan untuk mencapainya? Kami melakukan mitigasi dengan adaptasi karena dampak perubahan iklim sudah terjadi.

Contohnya, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) memberikan informasi sejak awal kepada petani, kapan musim kering atau hujan untuk jadwal penanaman. Yang saya sebutkan tadi telah masuk RAN dan sudah ditandatangani Presiden.

Dalam itu siapa berbuat apa dan di mana. Itu harus terukur, namanya MRP (measurable, reputable, favorable). Tugas Kementerian adalah pembinaan, kalau teknis banyak sektor. Kalau Kementerian mengatakan hutan jangan berkurang harus melakukan penanaman. Kementerian Kehutanan yang mengerjakannya.

info AMDAL

Kliping Internet (0216)

Rabu, 16 Desember 2009

Reformasi AMDAL dan Desentralisasi

Peluang Inovasi di Indonesia

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sedang berupaya agar Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dapat berjalan dengan efektif di daerah-daerah yang baru diberdayakan. Namun, memperbaiki pendekatan pengelolaan lingkungan di Indonesia tidak akan mudah. Ada dua alasan untuk kinerja yang buruk. Pertama, meskipun terdapat investasi yang substansial pada kebijakan lingkungan dan pengembangan kepegawaian, pelaksanaan peraturan dan prosedur di lapangan masih

Page 29: Kebenaran Sebuah AMDAL

buruk. Kedua, banyak provinsi dan kabupaten membuat interpretasi baru mengenai peraturan-peraturan yang ada, atau menciptakan prosedur peraturan yang seluruhnya baru. Meskipun sebagian inovasi ini memperkuat pengendalian lingkungan, namun kebanyakan malah mengendurkan atau bahkan mengabaikan standar-standar nasional sama sekali.

Karena landasan nasional ini sering diabaikan maka KLH meminta Bank Dunia agar bekerja sama dalam merevisi kebijakan yang ada dan kerangka kelembagaan AMDAL. Kajian AMDAL Bank Dunia mengupas masalah inti untuk menyesuaikan sistem peraturan pengelolaan lingkungan dengan perubahan kondisi desentralisasi. Kajian ini memerlukan gabungan Studi Analitis, percontohan daerah, dan dialog kebijakan di tingkat nasional maupun daerah.

Dua percontohan tingkat provinsi (di Jawa Barat dan Kalimantan Timur) meneliti bagaimana sistem AMDAL terpusat saat ini dapat ‘divariasikan’, sehingga prioritas di berbagai daerah dapat ditentukan berdasarkan kapasitas dan kebutuhan yang ada. Empat studi analitis pendukung dirancang untuk memperkuat dan menentukan hasil-hasil percontohan di tingkat provinsi.Output dari Studi akan menentukan pengembangan rancangan dokumen kebijakan yang menjadi dasar untuk revisi Peraturan AMDAL No. 27/1999.

Studi Analitis AMDAL

Laporan Pemeriksaan 2004 membantu menetapkan sejumlah masalah utama untuk diteliti; masalah-masalah ini kemudian disaring lagi melalui konsultasi dengan KLH dan pemegang saham daerah untuk memaksimalkan kesesuaian dengan program Revitalisasi AMDAL.Partisipasi Masyarakat dan Akses ke Informasi AMDAL

Studi ini meninjau tingkat, kualitas dan efektivitas keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL sejak dikeluarkannya Keputusan Kepala BAPEDAL No. 08/2000. Hal ini dimaksudkan sebagai masukan untuk merevisi Keputusan 8/2000 yang dilaksanakan KLH pada tahun 2006.Download (pdf 2.5MB)

Apa yang Dilakukan untuk AMDAL – Studi tentang Praktek Baik yang Baru Diperkenalkan kepada Provinsi-Provinsi Tertentu di Indonesia.Studi ini meninjau dengan cermat serangkaian AMDAL yang baru diselesaikan, mengidentifikasi berbagai contoh praktek yang baik dan mengkaji faktor-faktor kritis yang menyumbang kepada peningkatan kinerja. Sebuah indikasi kesesuaian praktek yang baik dengan pengalaman internasional diberikan melalui perbandingan dengan negara-negara berpenghasilan menengah. 

Instrumen Kebijakan Alternatif untuk Pengelolaan Lingkungan di Indonesia

Studi ini meninjau empat instrumen kebijakan lingkungan prioritas yang dianggap oleh KLH sebagai pelengkap bagi sistem AMDAL, yaitu Pengkajian Lingkungan Strategis, Pengkajian Risiko, Audit Lingkungan dan Pengkajian Lingkungan secara Cepat. Laporan ini juga mengkaji pengalaman Indonesia di masa lalu dalam menerapkan instrumen-instrumen ini, dan mengidentifikasi prasyarat untuk revisi yang akan dibuat

Page 30: Kebenaran Sebuah AMDAL

terhadap Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan tahun 1997 guna memperkuat sistem pengelolaan lingkungan Indonesia secara keseluruhan.

   

Percontohan AMDAL Daerah

Kegiatan Percontohan untuk Mendesentralisasi AMDAL

Proposal Awal. Disusun secara spesifik untuk kegiatan percontohan yang sedang dipertimbangkan, menawarkan rancangan dan pendekatan yang dianggap paling strategis saat ini. Proposal dalam laporan ini mengusulkan bentuk pelaksanaan yang menghasilkan gagasan-gagasan yang lebih konkrit untuk mendesentralisasi AMDAL dengan mengembangkan ‘Model-Model AMDAL Spesifik-Daerah’.

Program Reformasi AMDAL – Menghubungkan Kemiskinan, Lingkungan dan Desentralisasi

Laporan Akhir Proyek Daerah. Untuk mendukung upaya Revitalisasi AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup, sebuah Proyek Percontohan Daerah telah diadakan sebagai bagian dari Program Reformasi AMDAL – Menghubungkan Kemiskinan, Lingkungan dan Desentralisasi” oleh Bank Dunia.  

Konsultasi AMDAL

KLH – Lokakarya AMDAL Daerah

Dari bulan April sampai Oktober 2004, KLH dengan sebagian dukungan dari Bank Dunia menyelenggarakan serangkaian lokakarya tingkat nasional dan daerah untuk mempresentasikan, membahas, dan menjelaskan kepada para pejabat lingkungan hidup dan pejabat pemerintah lain gagasan-gagasan utama dari program Revitalisasi AMDAL yang disponsori oleh KLH yang dilaksanakan dari tahun 2004 sampai 2006.

AMDAL dan Pelaksanaannya

Pelaksanaan AMDAL masih menjadi salah satu tema reformasi AMDAL yang diusulkan oleh KLH. Pada tanggal 9 Juni 2004, KLH mengadakan sebuah lokakarya nasional tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pelaksanaannya, dan mengundang Bank Dunia untuk memberikan ulasan dari perspektif pengalaman internasional.

Apa yang Dilakukan untuk AMDAL?

Pada tanggal 30 Mei 2005, Tim AMDAL Bank Dunia mengadakan lokakarya satu hari di Jakarta untuk membagikan dan membahas temuan-temuan penting dan implikasinya terhadap Program Revitalisasi AMDAL Pemerintah dalam rancangan laporan akhir tentang praktek AMDAL yang baik di Indonesia dan pelajaran yang dipetik dari pengalaman internasional.

Page 31: Kebenaran Sebuah AMDAL

Keterlibatan Masyarakat dalam AMDAL

Pada tanggal 20 Juni 2005, Qipra Galang Kualita memfasilitasi acara konsultasi tingat nasional selama satu hari untuk membagikan dan membahas temuan-temuan penting dari studi tentang partisipasi masyarakat dan akses ke informasi AMDAL sebelum menyelesaikan dan menyampaikan laporan kepada KLH. Para peserta penting yang hadir antara lain meliputi para wakil dari sektor swasta, instansi pemerintah daerah dan pusat, LSM, dan komunitas donor internasional.

Pembahasan mengenai Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi AMDAL

Pada tanggal 14 dan 22 Februari 2006, di Surabaya dan Jakarta, Tim AMDAL KLH mengadakan pertemuan dengan para stakeholder AMDAL dari daerah-daerah lain (yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur) untuk membahas gagasan-gagasan yang timbul dari percontohan daerah mengenai caranya meningkatkan proses AMDAL saat ini. Dalam setiap diskusi, diundang sekitar 25 sampai 30 peserta.

Instrumen Kebijakan Alternatif untuk Pengelolaan Lingkungan di Indonesia

Pada tanggal 16 Februari 2006 di Jakarta, KLH dan Bank Dunia mensponsori lokakarya untuk mempresentasikan dan membahas dengan para wakil akademisi dan praktisi lingkungan hidup temuan-temuan studi yang diadakan oleh Hatfield Indonesia. Tujuan utama studi ini adalah untuk menilai potensi untuk memperkenalkan lebih banyak jenis instrumen kebijakan lingkungan sebagai dasar untuk memperkuat AMDAL. Salah satu kelemahan yang diakui dari AMDAL adalah bahwa AMDAL menjadi satu-satunya alat pengelolaan lingkungan dengan penerapan yang luas sehingga cenderung dipergunakan secara berlebihan.

Sumber :

http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAINBAHASAEXTN/0,,contentMDK:21562642~pagePK:141137~piPK:141127~theSitePK:447244,00.html

Diposkan oleh empat tiga blog di 00.12

Menteri LH: Amdal Terdegradasi Jadi Formalitas PerizinanSelasa, 9 Mei 2006 21:35 WIB | Peristiwa | | Dibaca 98 kaliJakarta (ANTARA News) - Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) kini telah terdegradasi menjadi formalitas perizinan yang memiliki konsekuensi biaya.

Sudah bukan rahasia lagi bila komponen kegiatan atau proyek Amdal telah terdegradasi menjadi formalitas perizinan yang memiliki konsekuensi biaya, katanya di Jakarta, Selasa, ketika memberikan sambutan pada Rapat Kerja Nasional Amdal 2006.

Ia mengatakan bahwa saat ini juga masih ditemukan anggota Komisi Penilai Amdal yang melakukan penyusunan dokumen Amdal.

Page 32: Kebenaran Sebuah AMDAL

"Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi kewenangan menilai dokumen Amdal diperlakukan sebagai kesempatan untuk memeroleh pendapatan tambahan," ujarnya.

Padahal, ia melanjutkan, Amdal menjadi tumpuan masyarakat untuk mengatasi berbagai persoalan termasuk persoalan lingkungan hidup dan isu-isu yang terkait lainnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, Kementerian Lingkungan Hidup akan membenahi kekurangan-kekurangan yang masih dirasakan dalam sistem Amdal yang ada.

Pembenahan itu, kata dia, akan dilakukan dengan melakukan pembahasan, penyusunan, revisi dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan Amdal yang baru.

"Dokumentasi dari praktik-praktik terbaik pelaksanaan Amdal perlu ditekuni dan dijadikan dasar untuk perbaikan Amdal pada masa depan," jelasnya.

Ia menjelaskan pula bahwa konsep Amdal yang dipercepat, yang sedang dilakukan di Aceh dan Nias dalam rangka rekonstruksi pasca-tsunami, akan memberi pengalaman empiris yang bermanfaat bagi kegiatan revitalisasi Amdal.

Sehubungan adanya tuntutan pendelegasian kewenangan penilaian AMDAL kepada masing-masing daerah, ia meminta pemerintah daerah menyikapinya dengan bijaksana.

"Desentralisasi penilaian Amdal tidak seharusnya dilakukan hanya untuk memenuhi kepentingan jangka pendek aparat birokrasi daerah, akan tetapi lebih untuk menjamin pelaksanaan Amdal yang baik," katanya.

Kebijakan Amdal telah dilakukan selama 20 tahun di Indonesia, yakni sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.29 Tahun 1986 tentang Amdal, yang kemudian direvisi dengan PP No.27 Tahun 1999. Namun, kebijakan itu belum dapat memberikan kontribusi nyata dalam pengelolaan lingkungan.

Saat ini hanya 119 kabupaten/kota atau 75 persen dari jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki Komisi Penilai Amdal.

"Dan hanya 50 persen dari 119 Komisi Penilai yang berfungsi menilai Amdal," kata Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita.

Lebih dari 75 persen dokumen Amdal yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal di kabupaten/kota pun, kata dia, berkualitas buruk hingga sangat buruk.(*)

COPYRIGHT © 2006

Ikuti berita terkini di handphone anda http://m.antaranews.com

Page 33: Kebenaran Sebuah AMDAL

KLHS: PENTINGNYA PENERAPAN KLHS DI INDONESIA There are no translations available.

Dalam dua dekade terakhir ini laju kerusakan sumberdaya alam dan

pencemaran lingkungan di Indonesia semakin terns meningkat dan tidak

menunjukkan gejala penurunan. Bila dua dekade lalu laju kerusakan hutan di

Indonesia ditengarai sekitar 1 sampai 1,2 juta per tahun, kini telah mencapai 2

juta hektar per tahun.

Bagai gayung bersambut, rantai kerusakan tersebut kemudian menjalar dan

meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut.

Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga

telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan kesehatan

penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan

pemanfaatan sumberdaya hayati. Banyak faktor yang menjadi penyebab

terjadinya hal tersebut, dari faktor demografis, etika, social, ekonomi, budaya,

hingga faktor institusi dan politik.

Kebijakan, rencana dan program (KRP) pengendalian kerusakan dan

pencemaran lingkungan yang telah diluncurkan pemerintah sejak tiga dekade

lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan kerusakan dan

pencemaran lingkungan. Salah satu faktor strategic yang menyebabkan

terjadinya hal ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan

pencemaran lingkungan yang diluncurkan pemerintah (KLH di Pusat, atau

Bapedalda provinsi/kabupaten/kota) cenderung "terlepas" atau "terpisah" dari

KRP pembangunan wilayah dan sektor, tidak menyatu (embedded) atau tidak

terintegrasi.

Pengalaman implementasi berbagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup,

utamanya AMDAL, menunjukkan bahwa meskipun AMDAL sebagai salah satu

instrumen pengelolaan lingkungan cukup efektif dalam memasukkan

pertimbangan-pertimbangan lingkungan alam rancang-bangun proyek-proyek

individual, tapi secara konsep pembangunan menyeluruh, instrumen AMDAL

belum memadai dalam memberikan jalan keluar terhadap dampak lingkungan

Page 34: Kebenaran Sebuah AMDAL

kumulatif, dampak tidak langsung, dan dampak lingkungan sinergistik.

Saat ini, pergeseran orientasi kebijakan pengelolaan lingkungan telah mengarah

pada intervensi di tingkat makro dan pada tingkat hulu dari proses pengambilan

keputusan pembangunan.

Esensinya adalah bahwa kerjasama antar pelaku pembangunan dalam

mewujudkan pembangunan berkelanjutan akan lebih efektif apabila lebih fokus

pada upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan pada tingkat

makro/nasional daripada terbatas pada pendekatan di tingkat proyek.

Dalam konteks pergeseran strategi mewujudkan pembangunan berkelanjutan

inilah peran KLHS menjadi penting. Implementasi KLHS juga diharapkan dapat

mengantisipasi terjadinya dampak lingkungan yang bersifat lintas batas (cross

boundary environmental effects) dan lintas sektor.

Penanganan dampak lintas wilayah dan lintas sektor ini diharapkan dapat

menjadi jalan keluar atas permasalahan lingkungan hidup yang cenderung

makin kompleks dengan hidup telah dijadikan pertimbangan dalam setiap

tingkatan pengambilan keputusan, dan dengan demikian, keberlanjutan

pembangunan dapat lebih terjamin (Annandale dan Bailey, 1999).

Dengan kata lain, secara substansial, KLHS merupakan suatu upaya sistematis

dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pembangunan

berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan

dilaksanakannya, atau lebih tepatnya, distorsi pelaksanaan Undang-Undang No.

34 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, KLHS seharusnya tidak diartikan sebagai instrumen

pengelolaan lingkungan yang semata-mata ditujukan pada komponen-

komponen KRP, tapi yang lebih penting adalah sebagai suatu cara untuk

meyakinkan bahwa implikasi pelaksanaan KRP terhadap lingkungan

lingkungan.

Seiring dengan semakin berkembangnya KLHS, tujuan KLHS juga mengalami

Page 35: Kebenaran Sebuah AMDAL

perluasan dibanding ketika pertama kali diperkenalkan pada dekade 1970an.

Pada saat ini teridentifikasi tiga pilihan tujuan KLHS yang tersusun secara

berjenjang (hirarkis), yakni: instrumental, transformatif dan subtantif (Sadler

2005:20, dan Partidario 2000).

Untuk menghasilkan KLHS yang bersifat transformatif atau substantif tidak

cukup hanya mengandalkan pada penguasaan prosedur dan metode KLHS,

namun juga diperlukan kehadiran good governance yang diindikasikan oleh

adanya keterbukaan, transparansi, dan tersedianya aneka pilihan kebijakan,

rencana, atau program.

Oleh karena itu, untuk konteks Indonesia, tahun-tahun pertama aplikasi KLHS

agaknya akan banyak didominasi oleh KLHS instrumental, walau tidak tertutup

kemungkinan akan adanya KLHS yang bersifat transformatif atau substantif.

Manfaat KLHS

KLHS diperlukan sebagai sebuah instrument/tools dalam rangka self

assessment untuk melihat sejauh mans KRP yang diusulkan oleh pemerintah

dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan

berkelanjutan dan diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh

pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.

Dalam konteks pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan sebagaimana

diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan

Pembangunan Nasional (UU SPPN), KLHS menjadi kerangka integratif untuk:

Meningkatkan manfaat pembangunan.

Menjamin keberlanjutan rencana dan implementasi pembangunan.

Membantu menangani permasalahan lintas batas dan lintas sektor, baik

di tingkat kabupaten, provinsi maupun antarnegara (jika diperlukan) dan

kemudian menjadi acuan dasar bagi proses penentuan kebijakan,

perumusan strategi, dan rancangan program.

Mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/prediksi

pada awal proses perencanaan kebijakan, rencana, atau program

Page 36: Kebenaran Sebuah AMDAL

pembangunan.

Memungkinkan antisipasi dini secara lebih efektif terhadap dampak

negatif lingkungan di tingkat proyek pembangunan, karena pertimbangan

lingkungan telah dikaji sejak awal tahap formulasi kebijakan, rencana,

atau program pembangunan.

Sedangkan dua faktor utama yang menyebabkan kehadiran KLHS dibutuhkan

saat ini: pertama, KLHS mengatasi kelemahan dan keterbatasan AMDAL, dan

kedua, KLHS merupakan instrumen yang lebih efektif untuk mendorong

pembangunan berkelanjutan (Briffetta et al 2003). Manfaat lebih lanjut yang

dapat dipetik dari KLHS adalah (OECD 2006; Fischer 1999; UNEP 2002):

a. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan

keputusan;

b. Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui

pengkajian secara sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan

yang tersedia;

c. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada

jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi;

d. Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan para pengambil

keputusan akan adanya peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan

sejak tahap awal proses pengambilan keputusan;

e. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya

keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan

keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi;

f. Melindungi aset-aset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guns

menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan;

g. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi

pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif

dampak lingkungan.

KLHS merupakan salah satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang

diterapkan pada tingkat/tataran hulu. Dengan dilakukannya KLHS pada tataran

hulu KRP maka potensi dihasilkannya KRP yang tidak sejalan dengan prinsip-

prinsip pembangunan berkelanjutan yang pada akhirnya berimplikasi pada

Page 37: Kebenaran Sebuah AMDAL

terjadinya kerusakan lingkungan hidup dapat diantisipasi sejak dini. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa manfaat yang diperoleh dengan melakukan

KLHS adalah dihasilkannya KRP yang lebih baik dan sejalan dengan prinsip-

prinsip pembangunan berkelanjutan.

Berbagai Kelemahan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

administrator

1 2 3 4 5

( 4 Votes ) User Rating:  / 4

Poor Best SharePada dasarnya alam mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan seimbang, olehnya itu, perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu. Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam, dan pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.

Bumi (alam) sebenarnya cukup untuk memenuhi hajat hidup seluruh manusia, seperti yang diucapkan oleh Mahatma Gandhi, bahwa “bumi cukup memenuhi kebutuhan umat manusia, tapi ia tidak cukup untuk memenuhi keinginan satu orang manusia yang serakah.” Namun keserakahan manusia terkadang mengabaikan aspek keseimbangan (equalibrium) yang menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan.

“Jika Pohon terakhir telah ditebang, Ikan terakhir telah ditangkap, Sungai terakhir telah mengering, Manusia baru sadar kalau uang tak dapat dimakan,” Untaian bahasa bijak orang Indian yang dipopulerkan oleh Greenpeace itu, sangat cocok mengambarkan kesereakahan dan apatisme manusia terhadap alam dan lingkungannya.Sekarang ini, dengan merosotnya kualitas lingkungan di sertai ancaman global warming, masyarakat dunia mulai sadar bahwa apa yang pernah diungkapkan Mahatmah Gandhi dan pepatah bijak suku Indian tersebut, ditandai dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap lingkungan seperti dengan maraknya gerakan-gerakan dan kegiatan kampanye lingkungan di berbagai belahan bumi, karena timbul kesadaran bahwa pada akhirnya kerusakan lingkungan akan berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.

Page 38: Kebenaran Sebuah AMDAL

Dalam suatu lingkungan hidup yang baik, terjalin suatu interaksi yang harmonis dan seimbang antar komponen-komponen lingkungan hidup. Stabilitas keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen lingkungan hidup tersebut tergantung pada usaha manusia. Karena manusia adalah komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi lingkungan. Sebaliknya lingkungan pun mempengaruhi manusia. Sehingga terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidupnya. Hal demikian, merupakan interaksi antara manusia dan lingkungan.

Emil Salim (dalam Andi Sudirman Hamsah,2007:98) mengemukakan bahwa, jaringan hubungan timbal balik antara manusia dengan segala jenis benda, zat organis dan bukan organis serta kondisi yang ada dalam suatu lingkungan membentuk suatu ekosistem. Jaringan hubungan dalam ekosistem ini bisa tumbuh secara stabil apabila berbagai unsur dan zat dalam lingkungan ini berada dalam keseimbangan.

Hubungan yang sedemikian erat dan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, seyogyanya menimbulkan kesadaran akan pentingngnya keberlanjutan lingkungan hidup yang lestari dan seimbang sehingga hal tersebut perlu di atur dengan jelas, apalagi sebahagian besar negara di dunia ini menganut sistem atau mengklaim negaranya sebagai negara hukum.

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum juga lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagi konsep universal, pada daratan implementasi ternyata memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh-pengaruh kesejarahan tadi, disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara dan lain-lain. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Alquran dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut Eropa Kontinental yang di namakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsepsocialist legality, dan konsep negara hukum pancasila (Ridwan HR,2006:1-2). Sebagai negara hukum, maka usaha penegakan hukum harus berdasar pada prinsip bahwa hukum harus tetap dipegang teguh, karena tegaknya hukum dalam suatu negara hukum merupakan jaminan pengakuan akan hak-hak masyarakat.

Di Indonesia sendiri, dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsepsi negara hukum pada masa sekarang ini adalah sesuatu yang popular, bahwa konsep tersebut selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum (Machfud MD dalam Andi Sudirman Hamsah, 2007:14).

Sejak merdeka para pendiri bangsa ini telah memikirkan pentingnya pemanfaatan lingkungan secara lestari dan berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) telah diatur dalam pasal 33 ayat (3), yaitu :” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kemakmuran berarti harus dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Di dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, juga ditekankan bahwa pembangunan ekonomi nasional harus selaras dengan masalah sosial dan lingkungan. Hal ini tertuang dalam pasal 33 ayat(4) yaitu“ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Namun, hak atas lingkungan yang sehat dan baik baru diatur dalam sebuah UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang diganti dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia . Di salah pasal pada Dekrasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,” setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Dalam perkembanganya dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di Bab HAM dan Kebebasan Dasar Manusia, dibawah bagian Hak untuk Hidup. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD 1945, dengan ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan perlu dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, intragrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global (Siti Khotijah, 2009: http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/lg/analisis-filosofi-uu-nomor-32-tahun-2009/).

Kelemahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Page 39: Kebenaran Sebuah AMDAL

Untuk pelestarian terhadap masalah lingkungan hidup sangat kompleks dan pemecahan masalahnya memerlukan perhatian yang bersifat komperehensif dan menjadi tanggung jawab pemerintah didukung pertisipasi masyarakat. Di Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan pada dasar hukum yang jelas dan menyeluruh sehingga diperoleh suatu kepastian hukum (Siswanto Sunarso, 2005:31).

Keluarnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) No. 32 Tahun 2009 menggantikan Undang Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) tahun 1997 yang dianggap belum bisa menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan banyak mendapat apresiasi dan sebagai upaya yang serius dari pemerintah dalam menangani masalah-masalah pengelolaan lingkungan.

UU No 32 Tahun 2009, juga memasuhkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya (Siti Khotijah, 2009: http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/lg/analisis-filosofi-uu-nomor-32-tahun-2009/).

Tetapi bila dicermati lebih jauh, masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam pasal 26 ayat (2) bahwa” pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”. Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan, begitupula dalam ayat (4) “masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal” juga tidak di ikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut, sehingga justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal pembangunan.

Padahal tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami undang-undang sangat kurang, seperti yang dikatakan Tasdyanto Rohadi (Ketua Umum Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia), survei terhadap tingkat pemahaman UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah berlaku lebih dari 10 tahun menunjukkan 15 % masyarakat sebuah kota memahami UU tersebut dengan baik. Sebagian besar lagi, yaitu 25 % mengetahui judul tanpa mengetahui substansi pengaturan dengan baik. Yang menyedihkan adalah, sisanya, 60 % masyarakat kota tersebut tidak mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan baik, dan hal ini menunjukkan bahwa cara menyelenggarakan kebijakan kepada masing-masing segmen tersebut membutuhkan cara dan strategi yang berbeda. UUPPLH yang sangat bernuansa ilmiah dan akademis hanya akan mampu dipahami oleh komunitas rasional. Hanya sayangnya komunitas rasional di perkotaan tidak lebih dari 30 %, bahkan di desa-desa, komunitas rasional tidak melebihi dari 5 %. (AgusAdianto,2009:http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ac-id=NjkzMw==).

Selain itu, dari ketigabelas instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14 UU no. 32 Tahun 2009 tersebut, diperkenalkan instrumen baru yang tidak terdapat dalam UUPLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program (pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009). Namun demikian, tidak seperti halnya analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang disertai sanksi berat pelanggarannya, UUPPLH ini tidak mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak melakukannya (Anonime,2009:http://www.duniaesai.com/direktori/esai/42-lingkungan/231-waspadai-pelaksanaan-uu-pplh-no-32-tahun-2009.html).

Hal yang perlu di perhatikan bahwa komitmen pemerintah daerah dalam masalah lingkungan hidup masih kurang, seperti dalam hasil survey yang dilakukan oleh Sugeng Suryadi Syndicat tahun 2006 yang mengatakan bahwa kepala daerah kurang peduli terhadap lingkungan hidup. Menurutnya sekitar 47% kepala daerah kurang peduli dengan lingkungan hidup, 9% tidak peduli, cukup peduli 37% dan sangat peduli hanya berkisar 6,4% (Darmansyah, 2008: http://id.shvoong.com/books/1824482-benang-kusut-pengelolaan-lingkungan-hidup/).

Mudah-mudahan ditahun 2010 ini kepedulian pemerintah terhadap masalah lingkungan sudah membaik.

Page 40: Kebenaran Sebuah AMDAL

Dalam pelaksanaannya biokrasi memerlukan komitmen yang tinggi dalam semua tatanan, mulai dari perumusan kebijakan sampai pada pelaksanaan operasional dilapangan. Perlu dikembangkan suatu mekanisme pelaksanaan biokrasi pada semua level. Sehingga apa yang yang sudah dirumuskan pada tingkat kebijakan dapat dilaksanakan ditingkat operasional. Para politisi, aparat birokrat dan masyarakat bersama-sama perlu memahami biokrasi dan tahu bagaimana melaksanakannya.

Dalam pasal 46, berbunyi “Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup”. Ketentuan ini akan sangat merugikan karena pencemarnya tidak diungkit sama sekali, dan anehnya di penjelasannya juga tertulis “cukup jelas”, padahal ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan pencemarnya begitu saja dan pemulihan justru dibebankan kepada pemerintah.

Pasal 66 dari UUPPLH yang perlu untuk dicermati dan kritis adalah pasal 66. Selengkapnya pasal ini berbunyi:”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas linkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang salah dari pasal ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan (Edy Rachmad, 2010: http://waspadamedan.com/index.php?option=com¬_content&view=article&id=hati-hati-dengan-pasal-66-uu-no32-tahun-2008&catid=63:surat-pembaca&Itemd=234).

Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan tersebut “dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan merupakan kalimat kunci yang dimaksudkan untuk mematahkan/mementahkan janji dari pasal 66. Artinya diberlakukannya hak perlindungan sebagaimana yang diatur dalam pasal 66 masih harus ditentukan dan diuji lagi oleh peradilan. Bahwa disidang peradilan segala sesuatu (apapun) masih mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan pasal 66 karena hakim bebas dan memiliki hak mutlak untuk menentukan/menjatuhkan putusannya (Edy Rachmad, 2010: http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=hati-hati-dengan-pasal-66-uu-no32-tahun-2008&catid=63:surat-pembaca&Itemd=234). Padahal berbagai kasus saksi pelapor seringkali menjadi korban dan kurang mendapat perlindungan serta hak-haknya sering terabaikan bahkan justru jadi korban seperti dalam kasus Susno Duadji.

Dalam UU No.32 tahun 2009 yang dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Selanjutnya pada pasal 20 dinyatakan baku mutu lingkungan meliputi, baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat (Anonime, http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/3197-implikasi-uu-no-32-tahun-2009-terhadap-industri-migas-nasional.html).

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana, biasanya di jabarkan secara rinci tetapi dalam pasal 98 dan 99 UUPPLH terdapat kesalahan fatal karena diabaikannya (dihilangkan) unsur perbuatan melawan hukum yg seharusnya ada selain itu, sanksi hukum dalam Pasal 101 UUPPLH berbunyi” setia orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) serta dalam pasal 102 UUPPLH berbunyi” setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Hal ini justru menunjukkan ketidakpedulian Negara terhadap nilai keadilan akibat kejahatan yg berkaitan limbah B3, apalagi jika dibandingkan dengan sanksi hukum dalam Pasal 108 UUPPLH.

Page 41: Kebenaran Sebuah AMDAL

Di Pasal 108 UUPLH sangat penting untuk dilakukan sosialisasi, karena hal ini bisa menimbulkan kesalah pahaman dan kesewenang-wenagan dalam penerapannya. Dalam masyarakat pedesaan, masih banyak lahan milik masyarakat (perorangan) yang luasnya diatas 2 (dua) hektar. Sebagimana bunyi pasal 108 bahwa “ Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Dan dalam penjelasan pasal 69 ayat (1) huruf h sebagaimana yang dimaksud kearifan lokal dalam pasal 69 ayat (2) yaitu, kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Jika hal ini tidak tersosialisasikan ke masyarakat, terutama masyarakat pedesaan bisa saja akan menimbulkan permasalahan dan konflik baru.

Selain beberapa permasalahan dalam UUPPLH diatas, masih banyak hal-hal yang berpengaruh dalam penegakan hukum lingkungan, ketentuan hukum (Undang-Undang) memang sangat penting dan berperang dalam hal ini, tetapi faktor-faktor lain seperti kesadaran masyarakat tidak bisa dinafikan.

Posisi dan peranan aturan tersebut hanyalah sebagai sarana penunjang belaka, sebagai sarana penunjang maka keampuhan dan kedayagunaannya akan selalu tergantung kepada siapa dan dengan cara bagaimana digunakannya. Betapa pun ampuh dan sempurnanya sarana, namun jika yang menggunakannya tidak memiliki keterampilan dan kemahiran sudah pasti keampuhan dan kesempurnaan daripada sarana tersebut tidak akan terwujud.

 

Referensi

HR, Ridwan. 2003. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudirman, Andi Hamsah. 2007. Perlindungan Hukum Terhadap Kars Maros-Pangkep dalam Rangka Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Tesis tidak diterbitkan. Makassar. Program Pascasarjana UNHAS.

Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strateg Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta. Jakarta.

Adianto, Agus. 2009. Online,http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index. php?ac-id=NjkzMw==.

Anonime,2010:http://www.duniaesai.com/direktori/esai/42-lingkungan/231-waspadai-pelaksanaan-uu-pplh-no-32-tahun-2009.html.

Anonime, 2009. Online, http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/3197-implikasi-uu-no-32-tahun-2009-terhadap-industri-migas-nasional.html.

Anonime, 2010. Online (http://id.wikipedia.org/wikihukum-lingkungan2010).

Darmansyah, 2008. Online, http://id.shvoong.com/books/1824482-benang-kusut-pengelolaan-lingkungan-hidup/.