kasus hpp otty

51
BAB I PENDAHULUAN Jika kita berbicara tentang persalinan sudah pasti berhubungan dengan perdarahan, karena semua persalinan baik pervaginam ataupun perabdominal (sectio cesarea) selalu disertai perdarahan. Pada persalinan pervaginam perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun sesudah persalinan. Perdarahan bersama- sama infeksi dan gestosis merupakan tiga besar penyebab utama langsung dari kematian maternal. 1,2 Kematian maternal adalah kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Sebab-sebab kematian ini dapat dibagi dalam 2 golongan, yakni yang langsung disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, dan sebab-sebab lain seperti penyakit jantung, kanker, dan lain sebagainya. 1 Suatu perdarahan dikatakan fisiologis apabila hilangnya darah tidak melebihi 500 cc pada persalinan pervaginam dan tidak lebih dari 1000 cc pada sectio cesarea. Perlu diingat bahwa perdarahan yang terlihat pada waktu persalinan sebenarnya hanyalah setengah dari perdarahan yang sebenarnya. Seringkali sectio cesarean menyebabkan perdarahan yang lebih banyak, harus diingat kalau narkotik akan mengurangi efek vasokonstriksi dari pembuluh darah. 2,3 1

Upload: otty-mitha-octriza

Post on 15-Dec-2015

39 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Jika kita berbicara tentang persalinan sudah pasti berhubungan dengan perdarahan,

karena semua persalinan baik pervaginam ataupun perabdominal (sectio cesarea) selalu disertai

perdarahan. Pada persalinan pervaginam perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun

sesudah persalinan. Perdarahan bersama-sama infeksi dan gestosis merupakan tiga besar

penyebab utama langsung dari kematian maternal.1,2

Kematian maternal adalah kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari

sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan

yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Sebab-sebab kematian ini dapat dibagi dalam 2

golongan, yakni yang langsung disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan, persalinan

dan nifas, dan sebab-sebab lain seperti penyakit jantung, kanker, dan lain sebagainya.1

Suatu perdarahan dikatakan fisiologis apabila hilangnya darah tidak melebihi 500 cc pada

persalinan pervaginam dan tidak lebih dari 1000 cc pada sectio cesarea. Perlu diingat bahwa

perdarahan yang terlihat pada waktu persalinan sebenarnya hanyalah setengah dari perdarahan

yang sebenarnya. Seringkali sectio cesarean menyebabkan perdarahan yang lebih banyak, harus

diingat kalau narkotik akan mengurangi efek vasokonstriksi dari pembuluh darah.2,3

1

 BAB II

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny.R Nama Suami : Tn.MN

Umur : 29 Th Umur :32 Th

Pendidikan : SLTA

Pendidikan: SLTA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan : Pegawai Swasta

Agama : Islam Agama: Islam

Suku Bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa

Status : Menikah Status : Menikah

Alamat : Jl.Duri Raya no 69 RT 05/RW01 Duri kepa Kebun Jeruk Jakarta Barat

Masuk RS : 20-5-2015

No. RM : 13.32.15

2.2 Anamnesis

Dilakukan autoanamnesis kepada Ny. R, umur 29 tahun, bertempat di bangsal Pulau

Bunyu RSAL dr. Mintohardjo Pada hari Rabu, tanggal 27 Mei 2015 pukul 15.00 WIB.

A. Keluhan Utama :

Keluar perdarahan dari vagina sejak 7 hari SMRS

B. Keluhan Tambahan :

Nyeri perut bagian bawah

Demam

Kembung

Diare

Kaki bengkak

Tangan dan kaki kesemutan

Pusing

2

C. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien wanita 29 tahun P2A0 datang ke VK RSAL dr.Mintohardjo tanggal 20 Mei 2015

pukul 21.00 dengan keluhan keluar darah dari vagina sejak pagi hari (11 jam SMRS).

Darah berwarna merah segar , bergumpal gumpal dan berbau. Pasien sudah menganti

pembalut sebanyak 3 kali penuh. Pasien juga mengeluh nyeri di bagian bawah perut. Nyeri

dirasakan seperti disayat benda tajam. Nyeri dirasakan terus-menerus hingga mengganggu

istirahat pasien. Selain nyeri pasien juga mengeluhkan demam hingga 380C sejak sore

hari . Pasien juga mengeluhkan lemas dan pusing sepanjang hari. Serta terdapat diare dan

kembung , dikarenakan kondisi pasien yang terus menurun dilakukan operasi

pengangkatan rahim guna mengurangi perdarahan yang dialami pasien pada tanggal 21

Mei 2015 . Pasien sempat dirawat di ICU selama 1 hari . Hingga saat anamesa dilakukan

(27 Mei 2015) keluhan yang dirasakan pasien adalah kembung , kesemutan pada kedua

tangan dan kaki dan diare sejak tanggal 25 Mei 2015 sebanyak 6 kali konsistensi cair

terdapat ampas , perdarahan dari vagina sudah berhenti , luka bekas operasi tidak

merembes.

D. Riwayat Menstruasi

Usia Menarche : 13 Tahun

Siklus haid : 28 hari, teratur

Lama haid : 5 - 7 hari

Nyeri haid : Tidak ada

E. Riwayat Obstetri

Kehamilan I :

18-7-2013, Usia kehamilan 39 minggu , Spontan , RSIA , Bidan , Tidak ada penyulit ,

Perempuan, 2700 gram, 46 cm , Sehat

Kehamilan II :

5-5-2015 , Usia kehamilan 39 minggu, SC , RSIA , Dokter , Letak sungsang , Laki-laki ,

3500 gram, 47cm , Sehat

F. Riwayat Pernikahan

Pasien menikah satu kali , lama pernikahan 3 tahun

G. Riwayat Kontrasepsi

3

Pasien menggunakan kontrasepsi kondom tidak secara rutin sejak menikah 3 tahun yang lalu

untuk mengatur jarak anak.

H. Riwayat penyakit yang pernah diderita dahulu (RPD) :

Pasien mengaku baru saja pulang dari perawatan di RSAL sejak tanggal 14 – 18 Mei 2015

dengan gejala yang sama dan di lakukan tranfusi darah dan dilakukan kuretase untuk mengambil

bekuan darah di dalam rahim, pasien merupakan pasien rujukan dari RSIA Bina sehat mandiri .

Gejala-gejala tersebut dirasakan pasien timbul 9 hari setelah menjalani operasi SC anak kedua

(tanggal 5 Mei 2015).

Riwayat penyakit Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), Jantung (-) , Alergi Obat (-).

I. Riwayat penyakit keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat Hipertensi , DM dan Jantung

J. Riwayat kebiasaan :

Pasien menyangkal merokok , minum alcohol dan konsumsi narkoba.

2.3 Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum :

Kesan sakit : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Antropometri BB : 65 kg

TB : 155 cm

BMI : BB/ TB(m)2 = 27,0 (Berat badan berlebih)

2. Tanda vital:

Tekanan darah :100/70 mmHg Suhu : 38oC

HR: 96x/menit RR: 22x/menit

3. Status Generalis

A.

Kepala : Normocephali , CA +/+ , SI -/- , Edema palpebral -/-

Leher : Tiroid dan KGB tidak teraba membesar

Dada :

Jantung : BJ I II regular , Murmur - , Gallop –

Paru : Suara nafas vesikuler +/+ , Ronkhi -/- , Wheezing -/-

Abdomen : Lihat status ginekologi

4

Genitalia : Perdarahan aktif - , Peradangan - , Fluor albus –

Ekstrimitas : Akral hangat berkeringat , Edema +/+ pada tungkai , kaku pada kedua tangan

B. Status Ginekologi

1. Pemeriksaan luar :

Leher : Cloasma gravidarum –

Mammae : Areola hiperpigmentasi +/+ , Putting susu menonjol +

Abdomen :

Inspeksi : Striae gravidarum + ,Linea nigra + , Terlihat luka bekas operasi

rembesan - ,

Palpasi : Nyeri luka post op , teraba kencang

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus + lemah

2. Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan penunjang

Laboratorium tanggal 20/Mei/2015

Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 22.300 /uL* 5000-10.000 /uL

Eritrosit 2,79 juta/uL* 4,6- 6,2 juta/uL

Hemoglobin 7,8 g/dL* 14-16 g/dL

Hematokrit 29 %* 42- 48 %

Trombosit 728.000 /uL* 150.000-450.000/uL

Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 22.300 /uL* 5000-10.000 /uL

Eritrosit 2,79 juta/uL* 4,6- 6,2 juta/uL

Hemoglobin 7,8 g/dL* 14-16 g/dL

Hematokrit 29 %* 42- 48 %

Trombosit 728.000 /uL* 150.000-450.000/uL

5

Hasil Nilai Rujukan

SGOT 22 < 31 U/l

SGPT 11 < 34 U/l

Protein total 4,6* 6,4 – 8,3 g/dl

Albumin 2,4* 3,5 – 5,2 g/dl

Globulin 2,2* 2,6 – 3,4 g/dl

Ureum 16 17 – 43 mg/dl

Creatinin 1,0 0,6 – 1,1 mg/dl

Laboratorium post tranfusi 4 pack 21/5/2015 jam 19.04

Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 37.000 /uL* 5000-10.000 /uL

Eritrosit 3,78 juta/uL* 4,6- 6,2 juta/uL

Hemoglobin 10,9 g/dL* 14-16 g/dL

Hematokrit 33 %* 42- 48 %

Trombosit 617.000 /uL* 150.000-450.000/uL

Laboratorium 21/5 21.36

Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 35.300 /uL* 5000-10.000 /uL

Eritrosit 3,24 juta/uL* 4,6- 6,2 juta/uL

Hemoglobin 9,5 g/dL* 14-16 g/dL

Hematokrit 28 %* 42- 48 %

Trombosit 615.000 /uL* 150.000-450.000/uL

Laboratorium post op 22/5

Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 42.500 /uL* 5000-10.000 /uL

Eritrosit 3,41 juta/uL* 4,6- 6,2 juta/uL

Hemoglobin 9,8 g/dL* 14-16 g/dL

6

Hematokrit 30 %* 42- 48 %

Trombosit 478.000/uL* 150.000-450.000/uL

Protein total 4,4* 6,4 – 8,3 g/dl

Albumin 2,0* 3,5 – 5,2 g/dl

Globulin 2,4* 2,6 – 3,4 g/dl

Ureum 32 17 – 43 mg/dl

Creatinin 1,2 0,6 – 1,1 mg/dl

Natrium 131* 134 – 146 mmol/L

Kalium 2,0* 3,4 – 4,5 mmol/L

Clorida 102* 96 - 108

Laboratorium 25/5/2015

Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 15.900 /uL* 5000-10.000 /uL

Eritrosit 3,25 juta/uL* 4,6- 6,2 juta/uL

Hemoglobin 9,3 g/dL* 14-16 g/dL

Hematokrit 29 %* 42- 48 %

Trombosit 572.000/uL* 150.000-450.000/uL

Ureum 18 17 – 43 mg/dl

Creatinin 0,8 0,6 – 1,1 mg/dl

Natrium 131* 134 – 146 mmol/L

Kalium 2,06* 3,4 – 4,5 mmol/L

Clorida 84* 96 - 108

2.5 Daftar Masalah

Perdarahan dari vagina

Nyeri perut bagian bawah

Demam

Kembung

Diare

Kaki bengkak

7

Tangan dan kaki kesemutan

Pusing

2.6 Diagnosis Kerja

P2 A0 Post Op SVH – SOD e.c HPP Lambat necrotic endometrium

Anemia

Sepsis

Hipokalemia

Diare

Hipoalbuminemia

2.7 Penatalaksanaan Awal

Rencana diagnosis:

USG

Pemeriksaan mikrobiologi (kultur bakteri) untuk mengetahui jenis kuman apa yang terkandung.

Rencana Terapi:

- RL : D5 = 2 : 3 Tiap RL berisi neurobion , Tiap D5 berisi transamin

- Cefotaxime 3 x 1 gram

- Metronidazole drip 3 x 500 mg

- Transamin 3 x1 amp

- Tranfusi PRC hingga Hb 10

- Anti diare 3 x 1

- Vip albumin 3 x 4 caps

- Histerektomi

Rencana Monitoring

Rawat ruangan

Observasi keadaan umum, tanda vital, fungsi hati , fungsi ginjal , elektrolit, Darah rutin

Rencana Edukasi

Edukasi mengenai obat-obatan yang diberikan

Diet lunak hingga 2 minggu

8

Kontrol ke poli obgyn dan interna

2.9 Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : ad malam

Ad sanationam : ad bonam

BAB III

9

FOLLOW UP

Tanggal 27 – Mei – 2015 Tanggal 28 – Mei -2015

S :

Nyeri luka operasi

Kedua tangan dan kaki kesemutan

Kembung (+)

Demam (-)

Pusing (+)

Perdarahan (-)

Kaki bengkak (+)

O:

KU/KES: TSS/CM

Tanda vital:

TD: 110/80 mmHg

HR: 104x/m

RR: 22x/m

T : 37,2oC

BJ I & II regular, gallop (-), Murmur (-)

SNV, Rh (-), Wh (-)

NT (+), BU (+), Timpani

A:

Post Op SVH – SOD hari ke 6 e.c HPP

Lambat necrotic endometrium

Anemia

Sepsis

S :

Nyeri luka operasi

Kembung (+)

Kesemutan berkurang

Kaki bengkak (+)

O:

KU/KES: TSS/CM

Tanda vital:

TD: 100/70 mmHg

HR: 84x/m

RR: 20x/m

T : 37 oC

BJ I & II regular, gallop (-), Murmur (-)

SNV, Rh (-), Wh (-)

NTE (+), BU (+), Timpani

A:

Post Op SVH – SOD hari ke 7 e.c HPP Lambat

necrotic endometrium

Anemia

Sepsis

10

Hipokalemia

Hipoalbuminemia

P:

IVFD RL +KCL 2 amp 20 tpm

KSR 3x1

Cefixime 2 x 200

Inj.Omeprazole 1 x 40 mg

Vip Albumin 3 x 4 caps

Mobilisasi

Makan lunak 2 minggu

Hipokalemia

Hipoalbuminemia

P:

Mobilisasi + Boleh pulang

Vip Albumin 3 x 4 caps

Cefixime 2 x 200

Hemobion 2 x 1

Diet lunak 2 minggu

BAB IV

11

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 PERDARAHAN POST PARTUM

1. DEFINISI

Perdarahan post partum secara tradisional ialah perdarahan yang melebihi 500 cc pada

kala III.1-3

Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : 4,6-9

a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24

jam setelah anak lahir.

b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi antara 24

jam dan 6 minggu setelah anak lahir.

2. EPIDEMIOLOGI

2.1 Insiden 7,8

Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %.

Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada

kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan

darah yang hilang setelah persalinan.

2.2 Peningkatan angka kematian di Negara berkembang 9

Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini

disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi,

kurangnya layanan operasi.

3. ETIOLOGI

Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan post partum, faktor-faktor

yang menyebabkan perdarahan post partum adalah atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio

plasenta, sisa plasenta, kelainan pembekuan darah.4,5,7

3.1 Tone Dimished : Atonia uteri

Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil

sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh

kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang

mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika

myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus

12

membesar dan lembek pada palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah

penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah

dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia

uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum.

Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi : 7-9

Manipulasi uterus yang berlebihan,

General anestesi (pada persalinan dengan operasi ),

Uterus yang teregang berlebihan :

o Kehamilan ganda

o Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 – 5000 gram )

o polyhydramnion

Kehamilan lewat waktu

Partus lama

Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus )

Anestesi yang dalam

Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia)

Plasenta previa

Solutio plasenta

Gambar 1. Atonia Uteri

13

3.2 Tissue

a. Retensio plasenta

b. Sisa plasenta

c. Plasenta acreta dan variasinya.

Apabila plasenta belum lahir tiga puluh menit setelah janin lahir, hal itu dinamakan

retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta belum lepas dari dinding

uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan.

Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan, tapi apabila terlepas

sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.

Gambar 2. Retensio Plasenta

Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :

- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva )

- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis menembus desidva

sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum ( plasenta akreta – perkreta )

14

Gambar 3. Perlekatan Plasenta

Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan

oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III.

Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi

keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan

penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum.

Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung diagnosa

retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah

persalinan ataupun pada perdarahan post partum sekunder. Apabila didapatkan cavum

uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan curettage.

3.3 Trauma

Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir :

a. Ruptur uterus

Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain

grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan

dengan induksi oxytosin. Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan parut section

secarea sebelumnya.

15

Gambar 4. Ruptur Uteri

b. Inversi uterus

Pada inversi uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri

sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam

kala III atau segera setelah plasenta keluar.

Inversi uterus dapat dibagi :

- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang

tersebut.

- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.

- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar

vagina.

Klasifikasi prolapsus uteri

- Tingkat I : Uterus turun dengan serviks paling rendah dalam introitus vagina

- Tingkat II: uterus sebagian besar keluar dari vagina

16

- Tingkat III : Uterus keluar seluruhnya dari vagina yang disertai dengan inversio

vagina (prosidensia uteri)

Gambar 5. Pembagian Klasifikasi Inversio Uteri

Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada korpus

uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum

lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak

ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai.

Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri atau

dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawat dengan angka

kematian tinggi ( 15 – 70 % ). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik

untuk keselamatan penderita.

17

Gambar 6. Reposisi uteri pervaginam

Gambar 7. Reposisi uteri dengan laparotomi

c. Perlukaan jalan lahir

Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi

karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar,

terminasi kehamilan dengan vacum atau forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi

pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan

vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi

berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan

terjadinya syok.

18

Gambar 8. Derajat Laserasi

d. Vaginal hematoma

Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai arteri

atau vena yang besar jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan

persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episiotomi.

Perdarahan yang terus terjadi dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada

perdarahan dari laserasi ataupun episiotomy.

19

Gambar 9. Episiotomi

3.4 Thrombin : Kelainan pembekuan darah

Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat,

kelainan pembekuan darah bisa berupa :

- Hipofibrinogenemia

- Trombocitopeni

- Idiopathic thrombocytopenic purpura

- HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count )

- Disseminated Intravaskuler Coagulation

- Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit

4. FAKTOR RESIKO

Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor resiko

paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga segala upaya harus dilakukan

untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui

karena dapat menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum : 8,9

a. Grande multipara

b. Perpanjangan persalinan

c. Chorioamnionitis

d. Kehamilan multiple

e. Injeksi Magnesium sulfat

f. Perpanjangan pemberian oxytocin

5. DIAGNOSIS

Dapat disebut perdarahan post partum bila perdarahan terjadi sebelum, selama, setelah

plasenta lahir. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan perdarahan postpartum :

a. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol

b. Penurunan tekanan darah

c. Peningkatan detak jantung

20

d. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)

e. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum

Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan ditatalaksana sesuai

penyebabnya.6 Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan menakutkan

sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa

perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya

menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.4

Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah,

nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok. Pada perdarahan sebelum

plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena

retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang

terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau

trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan membesar

jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui

adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir.

Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum: 4

1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri

2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak

3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :

a. Sisa plasenta dan ketuban

b. Robekan rahim

c. Plasenta succenturiata

4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang pecah.

5. Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test dan lain-lain.

6. PENCEGAHAN DAN MANAJEMEN

6.1 Pencegahan Perdarahan Postpartum

a. Perawatan masa kehamilan4

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang

disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja

21

dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan

antenatal care yang baik.

Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang mempunyai

predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di

rumah sakit.

b. Persiapan persalinan 7

Sebelum dilakukan persalinan dilakukan pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan

umu serta tanda vital, juga pemeriksaan laboratorium untuk menilai kadar Hb,

golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan darah untuk persiapan transfuse.

Pemasangan cateter intravena dengan ukuran yang besar untuk persiapan apabila

diperlukan transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung

dilakukan transfusi.

c. Persalinan 7

Setelah bayi lahir, lakukan massase uterus dengan arah gerakan circular atau maju

mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik. Massase yang

berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah

lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan

mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan

memicu terjadinya perdarahan postpartum.

d. Penanganan Aktif Kala Tiga

o Pemberian suntikan oksitosin

o Melakukan penegangan tali pusat terkendali

o Melakukan masase fundus uteri

6.2 Manajemen Perdarahan Postpartum

Tujuan utama pertolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah

menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat mungkin.8,9

Terapi pada pasien dengan perdarahan postpartum mempunyai 2 bagian pokok : 9

1) Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan

Pasien dengan perdarahan postpartum memerlukan penggantian cairan dan

pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau terus perdarahan,

kesadaran dan tanda-tanda vital pasien.

22

Pastikan dua kateter intravena ukuran besar untuk memudahkan pemberian cairan dan

darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat.

- Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer laktat

- Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell

- Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine (dikatakan perfusi

cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih)

2) Manajemen penyebab perdarahan postpartum

Tentukan penyebab perdarahan postpartum :

a. Atonia uteri

Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri

dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina.

Apabila terus teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan

massase yang lebih keras dan pemberian oksitocin. Pengosongan kandung kemih

bisa mempermudah kontraksi uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya.

Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih berlanjut, letakkan satu

tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan

lahir dan ditekankan pada fornix anterior.

Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah pemberian oxytocin

dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya

adalah ergotamine.

23

Gambar 11. Kompresi Bimanual Interna

Gambar 12. Kompresi Bimanual Eksterna

b. Retensio plasenta

Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut

sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan penanganan

aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.

Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan

menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat

menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala tiga) dan harus

diantisipasi dengan melakukan plasenta manual, meskipun kala plasenta belum

lewat setengah jam.

Gambar 13. Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut

24

Gambar 14. Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundus

Gambar 15. Mengeluarkan plasenta

c. Sisa plasenta

Sebagian kecil dari plasenta yang tertinggal dalam uterus disebut sisa plasenta.

Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual

ataupun massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi ke

dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret. Beberapa ahli menganjurkan

eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi

kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama

25

dilakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual

ulang tanpa menghentikan pemberian uterotonica.

Pemberian antibiotik spectrum luas setelah tindakan eksplorasi dan manual

removal. Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa

dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterovaginal

juga cukup berguna untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operasi .

Gambar 16. eksplorasi ke dalam rahim

d. Trauma jalan lahir

Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah

berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan

lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan

reparasi penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai

26

diatas puncak luka dan berakhir dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan

setelah penjahitan selesai.

Hematoma jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi

pembuluh darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa dilakukan insisi dan

drainase. Apabila hematom sangat besar curiga sumber hematoma karena pecahnya

arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan perdarahan.

e. Gangguan pembekuan darah

Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya ruptur uteri, sisa plasenta dan

perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan penyebab

perdarahan adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian product

darah pengganti (trombosit,fibrinogen).

Terapi pembedahan

o Laparatomi

Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah tergantung

operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk memudahkan mengeksplorasi

uterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat ruptur uteri ataupun hematoma.

Reparasi tergantung tebal tipisnya ruptur. Pastikan reparasi benar-benar

menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena hanya akan

menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina. Pemasangan drainase apabila perlu.

Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intak dan tidak ada perlukaan ataupun

rupture lakukan kompresi bimanual disertai pemberian uterotonica.

o Ligasi arteri

Ligasi uteri uterine

Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang berasal dari uterus

karena uteri ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus. Tidak ada

gangguan aliran menstruasi dan kesuburan.

Ligasi arteri ovarii

Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang diberikan

Ligasi arteri iliaca interna

27

Efektif mengurangi perdarahan yany bersumber dari semua traktus genetalia

dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis. Apabila

tidak berhasil menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah histerektomi.

o Histerektomi

Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang berasal dari

uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal

histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi tidak

begitu efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim,

servix,fornix vagina.

Rekomendasi pencegahan dan manajemen perdarahan post partum menurut FIGO:

Pencegahan :

1. Oksitosin

Merupakan profilaksis pertama, pemberian pada menit pertama setelah persalinan 10

IU/mL atau 5 IU bolus perlahan.

2. Ergometrin / Metilergometrin

0,2 mg IM pada menit pertama setelah persalinan.

3. Misoprostol

600 mirkrogram oral pada menit pertama setelah persalinan, bila oksitosin tidak

tersedia.

Manajemen :

1. Oksitosin

10 IU IM atau 5 IU bolus perlahan atau 20-40 IU/L drip

2. Misoprostol

800 mikrogram sublingual

3. Ergometrin / Metilergometrin

0,2 mg IM dapat diulang 2-4 jam dengan dosis maksimum 1 mg/hari

4. Syntometrin

Kombinasi dari oksitosin 5IU dan ergometrin 0,5 mg. pemberian IM

5. Carbetocin

28

100 mikrogram IM atau IV

6. Carboprost

0,25 mg IM setiap 15 menit (maksimum 2 mg per hari)

4.2 INFEKSI NIFAS (INFEKSI PUERPURALIS)

I. Pengertian

Infeksi alat genital dalam masa nifas yang ditandai dengan meningkatnya suhu 38oC

yang terjadi selama 2 hari berturut-turut dalam 10 hari pertama pasca salin, kecuali 24 jam

pertama pascasalin.10

II. Etiologi

Mikroorganisme penyebab infeksi puerperalis dapat berasal dari luar (eksogen) atau dari

jalan lahir penderita sendiri (endogen). Mikroorganisme endogen lebih sering menyebabkan

infeksi. Mikroorganisme yang tersering menjadi penyebab ialah golongan streptokokus, basal

koli, dan stafilokokus. Akan tetapi, kadang-kadang mikroorganisme lain memegang peranan,

seperti Clostridium Welchii, Gonococcus, Salmonella typhii atau Clostridium tetani.10

III. Cara infeksi

Kemungkinan besar penolong persalinan membawa kuman ke dalam rahim penderita,

yakni dengan membawa mikroorganism yang telah ada dalam vagina ke atas, misalnya dengan

pemerikasaan dalam. Mungkin juga tangan penolong atau alat-alatnya masuk membawa kuman-

kuman dari luar dan dengan infeksi tetes.

Oleh karena itu, sebaliknya penolong persalinan memakai masker dalam kamar bersalin

dan pegawai dengan infeksi jalan napas bagian atas hendaknya ditolak bekerja di kamar bersalin.

Kadang-kadang sumber infeksi berasal penolong sendiri misalnya, jika ada luka pada

tanganya yang kotor atau dari pasien lain seperti pasien dengan infeksi puerperalis, luka operasi

yang meradang, carcinoma uteri, atau dari bayi dengan infeksi tali pusat disebabkan koitus pada

bulan terakhir.

IV. Faktor Predisposisi

1. Partus lama

29

2. Ketuban pecah dini

3. Persalinan traumatis

4. Pelepasan plasenta secara manual

5. Infeksi intra uterin

6. Infeksi kandung kemih

7. Anemi

8. Pertolongan persalinan yang tidak bersih

9. Perdarahan

V. Diagnosis

Klinis :

Febris

Nadi cepat

Nyeri peut bagian bawah

Sub involusi rahim

Inspekulo : lokia berbau

PD : uterus dan parametrium nyeri pada perabaan

VI. Pemeriksaan Penunjang

Kultur bakteri aerob dan anaerob dari bahan yang bersal dari cervix, uterus dan darah.

Faktor-faktor pembekuan darah

USG jika dicurigai adanya abses

VII. Pengelolaan

Antibiotik spektrum luas

Selanjutnya pemberian tergantung hasil kultur dan resistensi

Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 72 jam pikirkan kemungkinan trombophlebitis

pelvic, abses dan septik emboli

30

Septik emboli walaupun jarang terjadi tapi merupakan komplikasi yang paling berbahaya.

Hal ini perlu dipertimbangkan supaya tidak ada respon terhadap pemberian antibiotik dan

adanya nyeri dada akut atau manifestasi paru lain nya

Bila ada abses harus dilakukan insisi drainase. Jika abses Douglas lakukan kolpotemi

posterior disertai pemasangan drain. Jika abses terdapat intra abdomen lakukan

laparatomi. Jika uterus merupakan fokus infeksi terutama pada kasus persalinan dengan

seksio sesarea dan terdapat dehisensi luka lakukan histerektomi.

Syok septik ditandai leh suhu tinggi, status kardiovaskular tidak stabil, penurunan lekosit.

Pengobatan : rawat di ICU, O2, terapi cairan, transfusi darah, antibiotik, kortokostreiod,

vasopresor/digitalis serta anti koagulan jika diperlukan.

VIII. Prognosis

Terutama bergantung pada virulensi kuman dan daya tahan tubuh penderita.

4.3 SEPSIS

Defi nisi

Sepsis didefinisikan sebagai respon tubuh terhadap infeksi. Istilah lainnya, sepsis adalah sindrom

klinis yang berasal dari respon inflamasi terhadap infeksi. Dalam klinis, sepsis didiagnosis bila

adanya infeksi nyata atau curiga infeksi dengan respon sistemik yang disebut Systemic Infl

ammatory Response Syndrome (SIRS). Sesuai dengan North American Consensus Conference

tahun 1991, SIRS didefi nisikan dengan adanya paling sedikit 2 dari gejala dibawah ini.12

1. Suhu >38OC atau < 36OC

2. HR > 90x/m

3. RR > 20x/m (PaCO2 < 30 torr)

4. Lekosit >12.000 atau < 3000/mm3

Severe sepsis berhubungan dengan adanya sepsis dan satu atau lebih gangguan organ. Syok

septik didiagnosis dengan adanya Severe sepsis dan adanya gagal sirkulasi akut walaupun telah

dilakukan resusitasi cairan.12

Tabel 1. Kriteria Sepsis

31

Diagnosis dan Penilaian klinis

Pengenalan dini dan teliti dari tanda dan gejala sepsis diharuskan dalam penerimaan pasien.

Faktor risiko seperti umur, jenis kelamin, ras, status imunocompromised dan pemakaian alat-alat

invasive atau kondisi lain yang dapat menyebabkan kolonisasi bakteri. Temuan klinis dan

laboratorium sangat penting.

Demam adalah salah satu tanda infeksi walaupun hipotermia dapat terjadi pada pasien-pasien

tertentu.

Tanda-tanda nonspesifik lainnya seperti takipneu dan hipotensi sebaiknya juga diperiksa.

Penyebab infeksi juga dicari dengan pemeriksaan klinis yang cermat dan dapat dilengkapi

dengan pemeriksaan x-ray, CT scan, USG atau yang lainnya. Adanya gangguan organ dan

beratnya gangguan juga harus diperiksa.

Acute Lung Injury atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ALI/ARDS)

Gangguan sistem saraf pusat, ensefalopati septik

Gangguan Hati

Gangguan hati ditandai dengan adanya hepatomegali dan total bilirubin > 2mg/dl.

Adanya peningkatan bilirubin tergonjugasi dan peningkatan GGT sering terjadi.

Gangguan hematologi dan koagulasi

Penurunan sel darah merah tanpa adanya perdarahan dan penurunan trombosit <

100.000/mm3 sering ditemukan. Sepsis menambah koagulasi dan menurunkan fibrinolisis.

Endogenous- activated Protein C yang mencegah trombosis mikrovaskular juga turun selama

32

sepsis. Ketika terjadi penyumbatan pembuluh darah kecil dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi

yang akan menyebabkan dysoxia jaringan. Dalam sepsis berat, pemberian rhAPC dapat

membantu memperbaiki gangguan koagulasi.

Gangguan ginjal

Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang normal maupun

berkurang. Peningkatan kreatinin > 0,3mg/dl dari nilai sebelumnya atau peningkatan > 50% atau

oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan gangguan ginjal akut dan dapat

mempengaruhi keluaran yang buruk.

Traktus gastrointestinal

Iskemia splanchnic dan asidosis intramukosa terjadi selama sepsis. Tanda klinis

mencakup perubahan fungsi otot halus usus dan terjadi diare. Perdarahan GIT disebabkan stress

ulcer gastritis akut yang juga manifestasi sepsis. Monitoring pH intramukosa lambung digunakan

untuk mengenali dan petunjuk terapi resusitasi. Peningkatan pCO2 intraluminal dikaitkan dengan

adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa.

Gangguan neuromuskular

Otot skeletal juga dipengaruhi oleh mediator inflamasi dan oksigen reaktif yang secara

simultan menurunkan sintesa protein dan proteolisis. Faktor- faktor ini dapat menurunkan

kekuatan otot termasuk otot pernapasan yang dapat mempengaruhi atau menyebabkan gagal

napas akut.

Identifikasi sumber infeksi dan agen microbial penting selama sepsis. Pemeriksaan mikrobiologi

sangat diperlukan dan pemberian terapi antibiotik yang adekuat harus dimulai sesegera mungkin.

Kecurigaan sepsis harus diikuti dengan pemeriksaan kultur yang diambil dari darah dan fokus

lain yang dicurigai. Pemeriksaan lainnya tidak boleh tertunda dan dapat melengkapi informasi.

Kultur darah yang positif hanya didapat pada 50% penderita. 20-30% penderita sepsis tidak

ditemukan penyebab bakterial. Infeksi secara umum dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan

jamur.

Penatalaksanaan klinis Severe sepsis berdasarkan evidence-based

Penanganan Severe sepsis dan syok septik saat ini bertujuan untuk mangatasi infeksi, mencapai

hemodinamik yang stabil, meningkatkan respon imunitas, dan memberikan support untuk organ

dan metabolisme.

33

Surviving Sepsis Campaign (SSC) adalah prakarsa global yang terdiri dari organisasi

internasional dengan tujuan membuat pedoman yang terperinci berdasarkan evidence-based dan

rekomendasi untuk penanganan Severe sepsis dan syok septik. Penanganan berdasarkan SSC:

1. Sepsis Resuscitation Bundle (intial 6 h)

Resusitasi awal pasien sepsis harus dikerjakan dalam waktu 6 jam setelah pasien didiagnosis

sepsis.

Hal ini dapat dilakukan di ruang emergensi sebelum pasien masuk di ICU. Identifikasi awal dan

resusitasi yang menyeluruh sangat mempengaruhi outcome. Dalam 6 jam pertama “Golden

hours” merupakan kesempatan yang kritis pada pasien. Resusitasi segera diberikan bila terjadi

hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/l. Resusitasi awal tidak hanya stabilisasi

hemodinamik tetapi juga mencakup pemberian antibiotik empirik dan mengendalikan penyebab

infeksi.

Resusitasi Hemodinamik

Resusitasi awal dengan pemberian cairan yang agresif. Bila terapi cairan tidak dapat

memperbaiki tekanan darah atau laktat tetap meningkat maka dapat diberikan vasopressor.

Target terapi CVP 8-12mmHg, MAP ≥ 65mmHg, produksi urin ≥ 0,5 cc/kg/jam, oksigen saturasi

vena kava superior ≥ 70% atau saturasi mixed vein ≥ 65%

Terapi inotropik dan Pemberian PRC

Jika saturasi vena sentral <70% pemberian infus cairan dan/atau pemberian PRC dapat

dipertimbangkan.

Hematokrit ≥ 30% diinginkan untuk menjamin oxygen delivery. Meningkatkan cardiac index

dengan pemberian dobutamin sampai maksimum 20ug/kg/m dapat dipertimbangkan.

Terapi Antibiotik

Antibiotik segera diberikan dalam jam pertama resusitasi awal. Pemberian antibiotik sebaiknya

mencakup patogen yang cukup luas. Terdapat bukti Bahwa pemberian antibiotik yang adekuat

dalam jam pertama resusitasi mempunyai korelasi dengan mortalitas.

Identifikasi dan kontrol penyebab infeksi

Diagnosis tempat penyebab infeksi yang tepat dan mengatasi penyebab infeksi dalam 6 jam

pertama.

Prosedur bedah dimaksudkan untuk drainase abses, debridemen jaringan nekrotik atau melepas

alat yang potensial terjadi infeksi.

34

BAB V

ANALISIS KASUS

Seorang wanita usia 29 tahun dengan diagnosa P2 A0 Post Op SVH – SOD e.c HPP

Lambat necrotic endometrium. HPP lambat atau Perdarahan post partum sekunder adalah

perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir. Pada

kasus didapatkan keluhan perdarahan dari vagina 9 hari setelah pasien menjalani operasi SC

anak kedua . Perdarahan banyak pasca melahirkan dalam kasus ini ± 500 cc disebabkan karena

adanya Subinvolusi uteri yang definisinya adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal

involusi yang merupakan penyebab umum perdarahan pasca partum sekunder. Subinvolusi uteri

pada kasus ini terjadi karena berawal adanya infeksi pada endometrium.

Pada kasus darah berwarna merah segar , bergumpal gumpal dan berbau. Pasien juga mengeluh

nyeri di bagian bawah perut. Pasien juga mengeluhkan demam hingga 380C sejak sore hari. Hal

ini mengindikasikan adanya infeksi nifas yaitu Infeksi alat genital dalam masa nifas yang

ditandai dengan meningkatnya suhu 38oC yang terjadi selama 2 hari berturut-turut dalam 10

hari pertama pasca salin. Endometritis adalah suatu peradangan endometrium yang biasanya

disebabkan oleh infeksi bakteri pada jaringan, yang merupakan komplikasi pasca partum,

biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan. Bertambahnya jumlah tindakan seksio

sesaria tanpa didasari standar operasional prosedur memadai akan meningkatkan kejadian infeksi

dan sepsis.3 Pada beberapa penelitian didapatkan kejadian endometritis sebanyak 15%-20%

dihubungkan dengan tindakan seksio sesaria emergensi dan 5%-10% tindakan seksio yang

terjadwal (elektif). Infeksi bakteri berasal dari beberapa kuman aerob dan anaerob. Kuman aerob

positif merupakan kuman patogen utama seperti grup B streptococci dan enterococci. Kuman

lain sebagai penyebab E.coli, Klebsiella pneumonia.4 . Namun pada kasus ini tidak dilakukan

pemeriksaan mikrobiologi (kultur bakteri) untuk mengetahui jenis kuman apa yang terkandung.

Berkaitan dengan kasus ini, metritis pada persalinan SC awalnya berasal dari kontaminasi

Bakteri (berasal dari flora normal vagina) Inokulasi dan kolonisasi bakteri pada segmen

bawah rahim, insisi dan laserasi (pemeriksaan dalam, pemakaian alat monitoring janin internal,

partus lama, insisi uterus) Kondisi optimal untuk pertumbuhan bakteri anaerob (trauma

operasi, benda asing, kerusakan jaringan, penumpukan darah dan serum) Proliferasi

polimikroba disertai invasi ke jaringan.5

35

Pasien juga mengeluhkan lemas dan pusing sepanjang hari. Pasien terlihat pucat dan pada

pemeriksaan laboratorium juga didapatkan Hb dibawah 10 . Hal ini disebabkan oleh Anemia

Dikarenakan kondisi pasien yang terus menurun dilakukan operasi pengangkatan rahim

guna mengurangi perdarahan yang dialami pasien pada tanggal 21 Mei 2015 . Pada riwayat

penyakit dahulu pasien sudah pernah dilakukan tindakan kuretase namun perdarahan masih terus

berlangsung sehingga diperlukan operasi laparotomi histerektomi subtotal, yaitu pengangkatan

sebagian uterus dengan meninggalkan segmen bawah rahim. Tindakan ini umumnya dilakukan

pada kasus emergency obstetri seperti yang terjadi pada kasus ini yaitu perdarahan post partum

untuk memberikan prognosis yang lebih baik. Keputusan histerektomi ini dilakukan adalah tepat

untuk live-saving dari pasien yang bersangkutan. Meskipun di kemudian hari pasien menjadi

infertil, namun hal ini sudah dipikirkan sebelumnya karena pasien sudah memiliki 2 anak dan

pasien setuju untuk dilakukan histerektomi.

Setelah dilakukan operasi timbul keluhan keluhan baru yaitu perut kembung , diare , kaki

bengkak dan tangan yang kaku disebabkan oleh sepsis yang diderita pasien serta adanya

hipoalbuminemia dan hipokalemia . Sepsis adalah sindrom klinis yang berasal dari respon

inflamasi terhadap infeksi yang dalam kasus ini disebabkan oleh endometritis . Pada pasien

didapatkan suhu yang tinggi , HR yang tinggi dan leukositosis serta didapatkan focus infeksi

yaitu dari jaringan endometrium yang nekrosis.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H.Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat cetakan Kedua. Jakarta :Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008

2. Cunningham F G, Gant NF. Williams Obstetri. Edisi ke-21. Volume 2. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 2011

3. Gabbe. Obstretics – Normal and Problem Pregnancies. 4th ed. London: Churchil

Livingstone, Inc. 2002

4. Mochtar, R. Sinopsis Obstetris. Edisi Kedua Jilid Satu. Jakarta: EGC. 1998

5. Mansjoer, A, et all. Perdarahan Pasca Persalinan. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke tiga

Jilid Pertama. Jakarta, Media Aesculapius FKUI. 2002.

6. DeCherney, A H. Nathan, L. Curren Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Treatment.

Ninth edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2003

7. The International Federation of Gynecology and Obstetrics. Prevention and Treatment of

Postpartum Hemorrhage in Low Resourse Settings. FIGO Guidelines. International Journal

Gynecology and Obstetrics 2012; 117: 108-118

8. World Health Organization. WHO recommendations for the preventiom and treatment of

postpartum haemorrhage. WHO Guidelines 2012.

9. United Stated Agency International Development. Fact Sheets: Uterotonic Drugs for the

Prevention and Treatment of PostpartumHemorhage. Prevention od Postpartum Hemorrhage

Initiative 2008: 1-10

10. FK UNPAD, 2005. Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Jakarta : EGC.

11. Hurtado FJ, Buroni M, Tenzi J. Sepsis: Clinical approach, evidence-based at the bedside. In:

Gallo A, et al, editors. Intensive and Cri! cal Care Medicine. Springer-Verlag Italia, 2009; p.

299-309.

37