jumat, 26 november 2010 | media indonesia koruptor ... filedi indonesia. semakin terkuak bongkahan...

1
H IDUP mewah para koruptor yang su- dah terjerat proses hukum menjadi bukti bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordi- nary crime ) belum menjadi bagian dari kesatuan gerak pemberantasan dan pencegah- an penyakit bangsa nomor satu di Indonesia. Semakin terkuak bongkahan puncak gunung es ketika Gayus melenggang ke Bali dengan mudah walau sudah menjadi pesakitan di Mako Brimob Ke- lapa Dua. Sesuatu yang tidak mungkin untuk kejahatan lain- nya walaupun tidak disebutkan dalam UU sebagai kejahatan luar biasa. Kesimpulannya, belum cu- kupkah energi untuk meng- gerakkan proses penyembuhan penyakit kronis tersebut dari bumi Indonesia? Peyorasi kejadian luar biasa Riggs (1960) menyimpulkan adanya budaya formalisme yang kuat tumbuh dalam tu- buh bangsa negara berkem- bang termasuk Indonesia. Dalam konsep agama, formal- isme itu biasa disebut dengan istilah munak, yakni adanya beda antara yang tertulis dan kenyataannya dan beda antara yang terucap dan apa yang dilakukan. Ciri-ciri penyakit itu yang mengkhawatirkan adalah me- makan potensi positif dari pihak lain yang belum terpe- ngaruh atau masih lemah de- rajat formalismenya. Pelaku- nya, orang munak, ditandai keinginannya diterima semua kalangan dan akhirnya mem- inta orang lain berperilaku sama. Dengan demikian, kemu- nakan akan selalu meminta korban. Oleh karena itu, justru orang yang baik akan tertelan. Akhirnya, ketika semua orang menjadi munak, orang yang tidak munak atau tidak ber- paham formalisme malah di- anggap aneh. Hingga saat ini, budaya for- malisme menjadi perilaku bersama bangsa Indonesia. Dengan demikian, di Indone- sia, orang yang tidak formalis- tis malah dianggap aneh. Oleh karena itu, jika menganggap bahwa korupsi itu kejadian luar biasa betul-betul dijalan- kan dan diberantas, orang itu akan dianggap aneh orang tersebut. Dalam hal ini, tengah terjadi penyusutan makna (peyorasi) mengenai korupsi sebagai kejahatan luar biasa sejak UU yang mengatur KPK diberlakukan. Struktur nilai dan struktur sosial-politik juga dipahami bangsa Indonesia tidak me- ngarah pada kesatuan pemak- naan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Namun, dalam re- torika, diskusi, dalam peman- dangan politik semua nampak sepakat menuliskan dan me- ngatakan sebagai kejahatan luar biasa. Namun, pada saat perwujudan menghilang dan lenyap sebagai penyakit, ter- jadi penyusutan yang luar bi- asa. Itu adalah sebuah kemunakan yang nyata dalam praktik negara Indonesia. Ada hubung- an yang kuat antara pemberantasan dan pencegahan perilaku korupsi bangsa Indone- sia dengan kemunakan ini. Suntikan energi Formalisme di Eropa ditepis dengan gerakan struktur yang sangat kuat dengan memberi- kan power dan energi kepada negara untuk otonom dan menjadi gerakan kultural yang masif merasuki rasion- alitas masyarakat Eropa. Telah ratusan tahun ini menjadi sebuah gerakan nilai yang terintegrasi dalam masyarakatnya, menjadi etika moral yang berpengaruh. Kini masyarakat Eropa menghadapi musuh yang tidak ringan, yaitu serangan terhadap ce- lah-celah ketidaklengka- pan struktur formal tersebut. Namun, kema- juan ilmu dan teknologi mereka manfaatkan untuk menjadi garda penepis rapuh- nya struktur tersebut. Kultur formalisme sudah lama di- kubur di sana. Jangan main- main dengan orang Barat kalau sudah berjanji. Buat mereka janji adalah harga mati dan merupakan ukuran kredibilitas seseorang. Eropa dan negara maju menghadapi penyakit lain yang berupa serangan pem- bangkangan, baik terlihat mau- pun tidak. Dalam ekonomi politik di- sebutkan dengan jelas sebagai sikap ‘oportunis’. Yang terlihat tentu mudah ditumpas, yang sulit adalah pembangkangan tidak terlihat. Sebetulnya ka- rena rasionalitas masyarakat Eropa kini terbangun sede- mikian rupa, wajar jika salah satu rujukan, misalnya North (1993) mengatakan bahwa pe- nyakit-penyakit kekinian di- atasi dengan amandemen te- rus-menerus peraturan yang ada. Pembangkangan masyarakat Eropa hanya soal sikap opor- tunis yang dapat dicegah jika seperangkat aturannya diperbaiki karena akan dipatuhi, kemudian di- respons kembali untuk mencari kelemahannya begitu berulang sampai akhir zaman. Di negara berkem- bang bukan saja sikap oportunis, melainkan juga menghadapi kemu- nakan dalam praktek negara (baca: formal- isme) yang menjadi musuh terlihat, tetapi tidak mudah ditumpas karena menyangkut ke- biasaan dan perilaku bersama. Formalisme itu harus ditantang dengan gera- kan ideologis yang sarat nilai dan berefek pada perubahan kultur. Gerakan itu bisa didor- ong dengan mengemba- likan proses penyusu- tan. Terobosannya ada- lah menempatkan posisi korupsi pada peng- khianatan bangsa. Pengkhianatan dan pelakunya (pengkhi- anat) dalam tradisi Ero- pa yang didahului kem- ajuan peradaban Islam disematkan yang utama adalah pada orang munak. Dengan kata lain, orang yang komitmennya rendah bahkan yang bertentangan dengan komitmennya ditem- patkan sebagai pengkhianat. Oleh karenanya dalam manaje- men negara bangsa-bangsa tersebut selalu ditumpas. Mereka keras memerangi kaum munak. Mereka keras menga- tasi orang yang komitmennya rendah bahkan tidak memiliki komitmen. Koruptor amatlah tinggi kadarnya sebagai orang munak. Untuk menjadi koruptor kelas teri harus melewati dulu atau berlatih dahulu menjadi orang munak, apalagi korup- tor kelas kakap. Mereka terla- tih dan terdidik oleh lingkung- an maupun oleh struktur- struktur nilai, sosial-politik yang ada. Dengan demikian, pengkhianatan itu terlatih. Jika kita tempatkan koruptor itu pengkhianat, besar sekali energi untuk menumpasnya. Efeknya juga adalah adanya gerakan kultural yang bisa berimbas pada rasionalitas bangsa. Gerakan itu menjadi- kan kita menyisakan persoalan manajemen organisasi negara hanya pada soal oportunis manusia. Soal ini sampai kapan pun akan hidup hingga akhir za- man sehingga justru dituntut sistem organisasi negara harus semakin lengkap. Bahkan sikap itu juga hidup dalam struktur organisasi informal. Dengan begitu, sikap-sikap tersebut dapat diminimalisasi sedemikian rupa melalui per- baikan sistem (peraturan per- undangan) agar tidak meng- ganggu efektivitas manajemen organisasi negara. B EBERAPA hari sebe- lum Metro TV meng- udara satu dasawarsa yang lalu, seorang to- koh pertelevisian Indonesia bertanya, “Apakah televisi berita memiliki daya tarik? Sulit untuk membayangkan.” Untuk menghindari perdeba- tan berlarut, pertanyaan itu dibiarkan mengambang, ber- lalu tanpa jawaban. Sepuluh tahun kemudian terbukti, tele- visi berita adalah anak zaman. Dia berfungsi mencerdaskan. Pesan-pesan yang disampaikan Metro TV memenuhi kebutuh- an penonton sasarannya. Yakni mereka yang menghendaki si- aran padat berita dan infor- masi, sesuai dengan dinamika kehidupan modern. Tidak ada masyarakat yang homogen. Semakin tinggi he- terogenitas, semakin banyak memerlukan pilihan dan peng- khususan pelayanan jasa, ter- masuk jasa penyebaran infor- masi. Ini yang terbaca oleh to- koh pers Surya Paloh, yang idealisme, nyali, dan visinya mencetuskan gagasan melahir- kan TV berita pertama di Indo- nesia. Menanggapi banjir informasi Dalam era informasi, yang mencemplungkan masyarakat dalam banjir informasi, para pengamat sosial mendapati ada dua hal yang meminta perhatian: 1) jenis informasi yang datang dan 2) jenis masyarakat penerima infor- masi. Penerima informasi memiliki konsep yang berbe- da-beda mengenai informasi yang diserap, sesuai dengan pendidikan dan pengalaman masing-masing. Dr Philip Kot- ler (1931-...), ahli pemasaran, dalam Social Marketing menya- takan bahwa masyarakat me- nafsirkan informasi sesuai dengan keyakinan dan nilai- nilai yang dianutnya. Selain itu, ada saja kelompok yang secara kronis tidak reseptif terhadap informasi karena pengetahuan mereka demikian minim. Akibatnya, informasi tidak gampang menyentuh perhati- annya. Respons terhadap in- formasi meningkat kala dia merasa pesan yang disampai- kan melibatkan kepentingan- nya, atau sesuai dengan sikap- nya. Masyarakat, kata Kotler, cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan pendapat atau seleranya. Se- baliknya, dia cenderung me- nyambut gembira informasi yang mengenakkan atau se- suai dengan kebutuhan pikiran dan perasaannya. Tidak mus- tahil yang diserap hanya yang bersifat hiburan, ringan, atau bahkan yang merangsang naluri rendah. Kenyataan tersebut mendorong media elektronik TV umumnya me- nyuguhkan berbagai jenis program dalam satu paket si- aran, demi menarik sebanyak- banyaknya penonton. Ini pun suatu pilihan. Dalam kaitan efek siaran- siaran televisi terhadap penon- ton, Dr Juwono Sudarsono, yang juga pakar pendidikan dan komunikasi, pernah me- ngatakan dalam suatu seminar bahwa masyarakat yang mendapat berbagai macam informasi belum tentu masya- rakat yang produktif. Meng- utip salah satu edisi majalah bulanan World Monitor, terbi- tan Christian Science Publish- ing Society, Juwono kemudian memaparkan tentang sebuah organisasi yang pernah ada di Amerika, Action for Children Television (ACT; 1968-1992). Organisasi tersebut mem- perjuangkan agar Kongres Amerika mengupayakan pem- baharuan dalam rancangan program-program televisi Amerika. Desakan itu diaju- kan bukan hanya dalam rang- ka memperbaiki dan member- sihkan siaran-siaran untuk orang-orang dewasa yang sempat ditonton anak-anak, melainkan juga dalam usaha meningkatkan daya saing Amerika menghadapi pereko- nomian negara-negara lain. Karena televisi salah satu media pendidikan yang paling esien dan cost effective, ACT, sebelum dibubarkan pada 1992, pernah menuntut agar anak-anak Amerika pun dididik dan didayagunakan dalam arti luas supaya mema- hami tempat dan kedudukan Amerika sebagai kekuatan perekonomian dunia. Dengan kata lain, orientasi siaran tele- visi hendaknya diarahkan bukan terutama pada hiburan, melainkan pada fungsinya yang utama, yakni ‘mencer- daskan’ masyarakat. Bahwa media diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat, agaknya umum disepakati. Betapa besar peran pengelola yang ada di belakang media, umum dimengerti. Se- perti kata almarhum Dr Soe- djatmoko, yang prihatin meng- hadapi masa depan, dan kami kutip, “Terkembangnya masyarakat informasi di selu- ruh dunia, termasuk Indonesia, telah mengakibatkan perubah- an sosial yang demikian pesat dan mendalam sehingga melampaui kemampuan pe- nyesuaian kebanyakan lemba- ga, termasuk berbagai sistem politik di dunia. Juga suatu negara pejabat menjadi keting- galan karena peningkatan ke- cerdasan dan kompleksitas masyarakatnya sendiri.” Retrospeksi wartawan “The press thinks he is Jesus Christ, but he is not.” Ucapan yang pernah dilontarkan Jen- deral Benny Moerdani (alm) dalam suatu kelompok diskusi itu tidak gampang dilupakan. Bagi wartawan, ucapan itu me- nyengat, tetapi membuat orang mawas diri. Apakah wartawan bersikap gagah-gagahan? Media massa adalah cermin zaman. Wartawan mengung- kap situasi zaman. Bukan hanya hasil pembangunan yang diungkap. Struktur hubungan sosial pada umum- nya, jenis-jenis kekuatan/ kekuasaan yang ada, maupun pengaruh tekanan-tekanan institusional dan industri (me- dia) juga diungkap. Media massa jelas tidak mungkin berdiri sendiri. Untuk menge- nalnya, perlu dikenali proses operasionalnya, identitas/ peran wartawan-wartawannya dalam bidang-bidang politik/ ekonomi/budaya dan sosial, apa sumber-sumber kekuatan dan bagaimana aturan main yang dibuatnya maupun yang dibuat orang lain untuknya. Di masa-masa sebelum 1966, idealisme wartawan dianggap menonjol karena pikiran war- tawan belum terpengaruh pertimbangan bisnis. Generasi- generasi lama sering berbangga Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group Televisi Cermin Zaman DOK-PRIBADI Koruptor, Pengkhianat Bangsa 14 | Opini JUMAT, 26 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Wartawan-wartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya, bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang mengawal mereka.” Oleh Irfan Ridwan Maksum Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP-UI PARTISIPASI OPINI Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP). PATA AREADI diri bahwa merekalah anak revolusi yang punya nyali. Namun, rasanya jauh lebih gampang terjun di media tanpa mempertimbangkan sisi bisnis- nya. Orang-orang pers atau media massa adalah anak za- man. Namun, sejauh apa war- tawan larut menjadi anak za- man? Sejauh apa pertimbang- an bisnis membuatnya lupa diri? Perhatikan apa yang per- nah dikatakan Goenawan Mohamad: “Maklum, di mana- mana kita melihat mentalitas bayaran--orang-orang politik, birokrat dan pejabat, ahli ilmu, dan wartawan. Apakah itu memang sifat bangsa kita? Saya kira tidak. Saya kira itu sifat setiap bangsa pada saat mereka baru saja menyaksikan hasil-hasil sebuah perekono- mian yang bergerak, tapi tak punya kesempatan untuk mempersoalkan benar atau tidaknya mentalitas bayaran itu.” Walaupun Goenawan mengatakannya hampir se- perempat abad yang lalu, konsep tersebut terbukti masih berlaku sampai sekarang. Singkat kata, wartawan- wartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya, bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang mengawal mereka; selain kelincahan berpikir sesuai de- ngan perkembangan situasi. Selamat ulang tahun ke-10 Metro TV. Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra- djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo- pratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu- tabarat Kepala Divisi Pemberitaan: Usman Kansong Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Artistik, Foto & Produksi: Syahmedi Dean Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahyudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar, Ade Alawi, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kustedja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Fitriana Siregar, Hapsoro Poet- ro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelistijono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunar- wati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugerah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prihmantoro, Heryadi, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Jajang Sumantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wis- nubroto, Kennorton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pramono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskan- dar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zubaedah Hanum Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (De- pok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso Staf Redaksi: Heni Rahayu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Wisnu Arto Subari Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gustiawan, Widjokongko DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING) Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica Huwae Redaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia Novelia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mah- mudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dhar- ma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston King Manajer Produksi: Bambang Sumarsono Deputi Manajer Produksi: Asnan PENGEMBANGAN BISNIS Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Sujiyono Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto Perwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: M. Isroy (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yo- gyakarta: Andi Yudhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hen- driansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Makassar: Bambang Irianto 081351738384. Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Perce- takan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudir- man: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirku- lasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan: Media In- donesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindo- nesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DE- NGAN ALASAN APA PUN

Upload: vominh

Post on 01-Apr-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HIDUP mewah para koruptor yang su-dah terjerat proses hukum menjadi

bukti bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordi-nary crime) belum menjadi bagian dari kesatuan gerak pemberantasan dan pencegah-an penyakit bangsa nomor satu di Indonesia.

Semakin terkuak bongkahan puncak gunung es ketika Gayus melenggang ke Bali dengan mudah walau sudah menjadi pesakitan di Mako Brimob Ke-lapa Dua. Sesuatu yang tidak mungkin untuk kejahatan lain-nya walaupun tidak disebutkan dalam UU sebagai kejahatan luar biasa.

Kesimpulannya, belum cu-kupkah energi untuk meng-gerakkan proses penyembuhan penyakit kronis tersebut dari bumi Indonesia?

Peyorasi kejadian luar biasa

Riggs (1960) menyimpulkan adanya budaya formalisme yang kuat tumbuh dalam tu-buh bangsa negara berkem-bang termasuk Indonesia. Dalam konsep agama, formal-isme itu biasa disebut dengan istilah munafi k, yakni adanya beda antara yang tertulis dan kenyataannya dan beda antara yang terucap dan apa yang dilakukan.

Ciri-ciri penyakit itu yang mengkhawatirkan adalah me-

makan potensi positif dari pihak lain yang belum terpe-ngaruh atau masih lemah de-rajat formalismenya. Pelaku-nya, orang munafi k, ditandai keinginannya diterima semua kalangan dan akhirnya mem-inta orang lain berperilaku sama.

Dengan demikian, kemu-nafi kan akan selalu meminta korban. Oleh karena itu, justru orang yang baik akan tertelan. Akhirnya, ketika semua orang menjadi munafi k, orang yang tidak munafi k atau tidak ber-paham formalisme malah di-anggap aneh.

Hingga saat ini, budaya for-malisme menjadi perilaku bersama bangsa Indonesia. Dengan demikian, di Indone-sia, orang yang tidak formalis-tis malah dianggap aneh. Oleh karena itu, jika menganggap bahwa korupsi itu kejadian luar biasa betul-betul dijalan-kan dan diberantas, orang itu akan dianggap aneh orang tersebut. Dalam hal ini, tengah terjadi penyusutan makna (peyorasi) mengenai korupsi sebagai kejahatan luar biasa sejak UU yang mengatur KPK diberlakukan.

Struktur nilai dan struktur sosial-politik juga dipahami bangsa Indonesia tidak me-ngarah pada kesatuan pemak-naan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Namun, dalam re-torika, diskusi, dalam peman-dangan politik semua nampak

sepakat menuliskan dan me-ngatakan sebagai kejahatan luar biasa. Namun, pada saat perwujudan menghilang dan lenyap sebagai penyakit, ter-jadi penyusutan yang luar bi-asa. Itu adalah sebuah kemunafi kan yang nyata dalam praktik negara Indonesia. Ada hubung-an yang kuat antara pemberantasan dan pencegah an perilaku korupsi bangsa Indone-sia dengan kemunafi kan ini.

Suntikan energiFormalisme di Eropa

ditepis dengan gerakan struktur yang sangat kuat dengan memberi-kan power dan energi kepada negara untuk otonom dan menjadi gerakan kultural yang masif merasuki rasion-alitas masyarakat Eropa. Telah ratus an tahun ini menjadi sebuah gerakan nilai yang terintegrasi dalam masyarakatnya, menjadi etika moral yang berpe ngaruh.

Kini masyarakat Eropa menghadapi musuh yang tidak ringan, yaitu serangan ter hadap ce-lah-celah ketidaklengka-pan struktur formal tersebut. Namun, kema-juan ilmu dan teknologi mereka manfaatkan untuk menjadi garda penepis rapuh-nya struktur tersebut. Kultur formalisme sudah lama di-kubur di sana. Jangan main-

main dengan orang Barat kalau sudah berjanji. Buat mereka janji adalah harga mati dan merupakan ukuran kredibilitas seseorang.

Eropa dan negara maju

menghadapi penyakit lain yang berupa serangan pem-bangkangan, baik terlihat mau-pun tidak.

Dalam ekonomi politik di-

sebutkan dengan jelas sebagai sikap ‘oportunis’. Yang terlihat tentu mudah ditumpas, yang sulit adalah pembangkangan tidak terlihat. Sebetulnya ka-rena rasionalitas masyarakat

Eropa kini terbangun sede-mikian rupa, wajar jika salah satu rujukan, misalnya North (1993) mengatakan bahwa pe-nyakit-penyakit kekinian di-

atasi dengan amandemen te-rus-menerus peraturan yang ada.

Pembangkangan masyarakat Eropa hanya soal sikap opor-tunis yang dapat dicegah jika

seperangkat aturannya diperbaiki karena akan dipatuhi, kemudian di-respons kembali untuk mencari kelemahannya begitu ber ulang sampai akhir zaman.

Di negara berkem-bang bukan saja sikap oportunis, melainkan juga menghadapi kemu-nafi kan dalam praktek negara (baca: formal-isme) yang menjadi musuh terlihat, tetapi tidak mudah ditumpas karena menyangkut ke-biasaan dan perilaku bersama.

Formalisme itu harus ditantang de ngan gera-kan ideologis yang sarat nilai dan berefek pada p e r u b a h a n k u l t u r. Gerak an itu bisa didor-ong dengan mengemba-likan proses penyusu-tan. Terobosannya ada-lah me nempatkan posisi ko rup si pada peng-khianat an bangsa.

Pengkhianatan dan pelakunya (pengkhi-anat) dalam tradisi Ero-pa yang didahului kem-ajuan peradaban Islam

disematkan yang utama adalah pada orang munafi k.

Dengan kata lain, orang yang komitmennya rendah bahkan yang bertentangan

dengan komitmennya ditem-patkan sebagai pengkhianat. Oleh karenanya dalam manaje-men negara bangsa-bangsa tersebut selalu ditumpas. Mere ka keras memerangi kaum munafi k. Mereka keras menga-tasi orang yang komitmennya rendah bahkan tidak memiliki komitmen. Koruptor amatlah tinggi kadarnya sebagai orang munafi k.

Untuk menjadi koruptor kelas teri harus melewati dulu atau berlatih dahulu menjadi orang munafi k, apalagi korup-tor kelas kakap. Mereka terla-tih dan terdidik oleh lingkung-an maupun oleh struktur-struktur nilai, sosial-politik yang ada. Dengan demikian, pengkhianatan itu terlatih.

Jika kita tempatkan koruptor itu pengkhianat, besar sekali energi untuk menumpasnya. Efeknya juga adalah adanya gerakan kultural yang bisa berimbas pada rasionalitas bangsa. Gerakan itu menjadi-kan kita menyisakan persoalan manajemen organisasi negara hanya pada soal oportunis manusia.

Soal ini sampai kapan pun akan hidup hingga akhir za-man sehingga justru dituntut sistem organisasi negara harus semakin lengkap. Bahkan sikap itu juga hidup dalam struktur organisasi informal.

Dengan begitu, sikap-sikap tersebut dapat diminimalisasi sedemikian rupa melalui per-baikan sistem (peraturan per-undang an) agar tidak meng-ganggu efektivitas manajemen organisasi negara.

BEBERAPA hari sebe-lum Metro TV meng-udara satu dasawarsa yang lalu, seorang to-

koh pertelevisian Indonesia bertanya, “Apakah televisi berita memiliki daya tarik? Sulit untuk membayangkan.”

Untuk menghindari perdeba-tan berlarut, pertanyaan itu dibiarkan mengambang, ber-lalu tanpa jawaban. Sepuluh tahun kemudian terbukti, tele-visi berita adalah anak zaman. Dia berfungsi mencerdaskan. Pesan-pesan yang disampaikan Metro TV memenuhi kebutuh-an penonton sasarannya. Yakni mereka yang meng hendaki si-aran padat berita dan infor-masi, sesuai dengan dinamika kehidupan modern.

Tidak ada masyarakat yang homogen. Semakin tinggi he-terogenitas, semakin banyak memerlukan pilihan dan peng-khususan pelayanan jasa, ter-masuk jasa penyebaran infor-masi. Ini yang terbaca oleh to-koh pers Surya Paloh, yang idealisme, nyali, dan visinya mencetuskan gagasan melahir-kan TV berita pertama di Indo-nesia.

Menanggapi banjir informasi

Dalam era informasi, yang mencemplungkan masyarakat dalam banjir informasi, para pengamat sosial mendapati ada dua hal yang meminta perhatian: 1) jenis informasi yang datang dan 2) jenis masyarakat penerima infor-masi. Penerima informasi

memiliki konsep yang berbe-da-beda mengenai informasi yang diserap, sesuai dengan pendidikan dan pengalaman masing-masing. Dr Philip Kot-ler (1931-...), ahli pemasaran, dalam Social Marketing menya-takan bahwa masyarakat me-nafsirkan informasi sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya. Selain itu, ada saja kelompok yang secara kronis tidak reseptif terhadap informasi karena pengetahuan mereka demikian minim.

Akibatnya, informasi tidak gampang menyentuh perhati-annya. Respons terhadap in-formasi meningkat kala dia merasa pesan yang disampai-kan melibatkan kepentingan-nya, atau sesuai dengan sikap-nya. Masyarakat, kata Kotler, cenderung menolak informasi yang bertentangan dengan pendapat atau seleranya. Se-baliknya, dia cenderung me-nyambut gembira informasi yang mengenakkan atau se-suai dengan kebutuhan pikiran dan perasaannya. Tidak mus-tahil yang diserap hanya yang bersifat hiburan, ringan, atau bahkan yang merangsang naluri rendah. Kenyataan tersebut mendorong media elektronik TV umumnya me-nyuguhkan berbagai jenis program dalam satu paket si-aran, demi menarik sebanyak-banyaknya penonton. Ini pun suatu pilihan.

Dalam kaitan efek siaran-siaran televisi terhadap penon-ton, Dr Juwono Sudarsono,

yang juga pakar pendidikan dan komunikasi, pernah me-ngatakan dalam suatu seminar bahwa masyarakat yang mendapat berbagai macam informasi belum tentu masya-rakat yang produktif. Meng-utip salah satu edisi majalah bulanan World Monitor, terbi-tan Christian Science Publish-ing Society, Juwono kemudian memaparkan tentang sebuah organisasi yang pernah ada di Amerika, Action for Children Television (ACT; 1968-1992).

Organisasi tersebut mem-perjuangkan agar Kongres Amerika mengupayakan pem-baharuan dalam rancangan program-program televisi Amerika. Desakan itu diaju-kan bukan hanya dalam rang-ka memperbaiki dan member-sihkan siaran-siaran untuk orang-orang dewasa yang sempat ditonton anak-anak, melainkan juga dalam usaha meningkatkan daya saing Amerika menghadapi pereko-nomian negara-negara lain.

Karena televisi salah satu media pendidikan yang paling

efi sien dan cost effective, ACT, sebelum dibubarkan pada 1992, pernah menuntut agar anak-anak Amerika pun dididik dan didayagunakan dalam arti luas supaya mema-hami tempat dan kedudukan Amerika sebagai kekuatan perekonomian dunia. Dengan kata lain, orientasi siaran tele-visi hendaknya diarahkan bukan terutama pada hiburan, melainkan pada fungsinya yang utama, yakni ‘mencer-daskan’ masyarakat.

Bahwa media diharapkan m a m p u m e n c e r d a s k a n masyarakat, agaknya umum disepakati. Betapa besar peran pengelola yang ada di belakang media, umum dimengerti. Se-perti kata almarhum Dr Soe-djatmoko, yang prihatin meng-hadapi masa depan, dan kami k u t i p , “ Te r k e m b a n g n y a masyarakat informasi di selu-ruh dunia, termasuk Indonesia, telah mengakibatkan perubah-an sosial yang demikian pesat dan mendalam sehingga melampaui kemampuan pe-nyesuaian kebanyakan lemba-

ga, termasuk berbagai sistem politik di dunia. Juga suatu negara pejabat menjadi keting-galan karena peningkatan ke-cerdasan dan kompleksitas masyarakatnya sendiri.”

Retrospeksi wartawan“The press thinks he is Jesus

Christ, but he is not.” Ucapan yang pernah dilontarkan Jen-deral Benny Moerdani (alm) dalam suatu kelompok diskusi itu tidak gampang dilupakan. Bagi wartawan, ucapan itu me-nyengat, tetapi membuat orang mawas diri. Apa kah wartawan bersikap gagah-gagahan?

Media massa adalah cermin zaman. Wartawan mengung-kap situasi zaman. Bukan hanya hasil pembangunan yang diungkap. Struktur hubungan sosial pada umum-nya, jenis-jenis kekuatan/kekuasaan yang ada, maupun pengaruh tekanan-tekanan institusional dan industri (me-dia) juga diungkap. Media massa jelas tidak mungkin berdiri sendiri. Untuk menge-nalnya, perlu dikenali proses operasionalnya, identitas/peran wartawan-wartawannya dalam bidang-bidang politik/ekonomi/budaya dan sosial, apa sumber-sumber kekuatan dan bagaimana aturan main yang dibuatnya maupun yang dibuat orang lain untuknya.

Di masa-masa sebelum 1966, idealisme wartawan dianggap menonjol karena pikiran war-tawan belum terpengaruh pertimbangan bisnis. Generasi-generasi lama sering berbangga

Oleh Toeti AdhitamaAnggota Dewan Redaksi Media Group

Televisi Cermin Zaman

DOK-PRIBADI

Koruptor, Pengkhianat Bangsa

14 | Opini JUMAT, 26 NOVEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Wartawan-wartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya, bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang mengawal mereka.”

Oleh Irfan Ridwan Maksum Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP-UI

PARTISIPASI OPINIKirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 7.100 karakter tanpa spasi. Sertakan nama. alamat lengkap, nomor telepon dan foto kopi KTP).

PATA AREADI

diri bahwa merekalah anak revolusi yang punya nyali. Namun, rasanya jauh lebih gampang terjun di media tanpa mempertimbangkan sisi bisnis-nya. Orang-orang pers atau media massa adalah anak za-man.

Namun, sejauh apa war-tawan larut menjadi anak za-man? Sejauh apa pertimbang-an bisnis membuatnya lupa diri? Perhatikan apa yang per-nah dikatakan Goenawan Mohamad: “Maklum, di mana-mana kita melihat mentalitas bayaran--orang-orang politik, birokrat dan pejabat, ahli ilmu, dan wartawan. Apakah itu memang sifat bangsa kita? Saya kira tidak. Saya kira itu sifat setiap bangsa pada saat mereka baru saja menyaksikan hasil-hasil sebuah perekono-mian yang bergerak, tapi tak punya kesempatan untuk mempersoalkan benar atau tidaknya mentalitas bayaran itu.” Walaupun Goenawan mengatakannya hampir se-perempat abad yang lalu, konsep tersebut terbukti masih berlaku sampai sekarang.

Singkat kata, wartawan-wartawan umumnya, yang mengelola TV khususnya, bisa dipuja atau sebaliknya dicela habis-habisan karena kinerja mereka dan tergantung pada kepekaan nurani, nilai-nilai moral dan kesopanan yang mengawal mereka; selain kelincahan berpikir sesuai de-ngan perkembangan situasi.

Selamat ulang tahun ke-10 Metro TV.

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)Direktur Utama: Rahni Lowhur-SchadDirektur Pemberitaan: Saur M. HutabaratDirektur Pengembangan Bisnis: Alexander StefanusDewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra-djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo-pratomo, Toeti AdhitamaRedaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu-tabaratKepala Divisi Pemberitaan: Usman KansongDeputi Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden SubanKepala Divisi Artistik, Foto & Produksi: Syahmedi DeanKepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius SuhardiSekretaris Redaksi: Teguh NirwahyudiAsisten Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar, Ade Alawi, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.SihombingAsisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

Redaktur: Agus Mulyawan, Anton Kuste dja, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Fitriana Siregar, Hapsoro Poet-ro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surahman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, SoelistijonoStaf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Akhmad Mustain, Amalia Susanti, Andreas Timothy, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, Da vid Tobing, Denny Parsaulian Sinaga, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mu tiah, Dwi Tu pa ni Gunar-wati, Edwin Tirani, Edy Asrina Putra, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anuge rah, Fardi an sah Noor, Gino F. Hadi, Heru Prih mantoro, Heryadi, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Jajang Su mantri, Jerome Eugene W, Jonggi Pangihutan M., K. Wis-nubroto, Ken norton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mo hamad Irfan, Muhamad Fauzi, Nurulia Juwita, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pra mo no, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumar yanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalatie Yani, Tutus Subronto, Usman Iskan-dar, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zu baedah Hanum

Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (De-pok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman

(Palembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)

MICOMAsisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. NababanRedaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, WidhorosoStaf Redaksi: Heni Raha yu, Hillarius U. Gani, Nurtjahyadi, Prita Daneswari, Retno Hemawati, Rina Garmina, Wisnu Arto SubariStaf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Silaban, M. Syaifullah, Panji Arimurti, Rani Nuraini, Ricky Julian, Vicky Gustiawan, Widjokongko

DIVISI TABLOID, MAJALAH, DAN BUKU (PUBLISHING)Asisten Kepala Divisi: Gantyo Koespradono, Jessica HuwaeRedaktur: Agus Wahyu Kristianto, Lintang Rowe Staf Redaksi: Adeste Adipriyanti, Arya Wardhana, Handi Andrian, Nia No velia, Rahma Wulandari, Regina Panontongan

CONTENT ENRICHMENTAsisten Kepala Divisi: Yohanes S. WidadaPeriset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mah-mudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto

ARTISTIKRedaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata AreadiStaf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dhar-ma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston KingManajer Produksi: Bambang Sumarsono Deputi Manajer Produksi: Asnan

PENGEMBANGAN BISNISKepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful BachriAsisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas SujiyonoAsisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki TriardiantoPerwakilan Bandung: Arief Ibnu (022) 4210500; Medan: M. Isroy (061) 4514945; Surabaya: Tri Febrianto (031) 5667359; Bogor: Sohirin (0251) 8349985, Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yo-gyakarta: Andi Yu dhanto (0274) 523167; Palembang: Andi Hen-driansyah, Ferry Mussanto (0711) 317526, Makassar: Bambang Irianto 081351738384.

Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Perce-takan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Rekening Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Su dir-man: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Pur nama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirku-lasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Se latan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan: Media In-do nesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindo-nesia.com,DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DI PERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DE-NGAN ALASAN APA PUN