jeje refrat

15
BAB II TOKSIK EPIDERMAL NEKROLISIS ( T.E.N) A. DEFINISI Toksis Epidermal Nekrolisis atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan penyakit ini. Toksis Epidermal Nekrolisis (T.E.N) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru. Toksis Epidermal Nekrolisis merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa. Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal detachment meliputi kurang dari 10% luas permukaan kulit tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan epidermal detachment antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih dari 30 %. B. EPIDEMOLOGI Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. TEN dapat mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada orang tua,

Upload: api-rosela-alfi

Post on 09-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

hguy

TRANSCRIPT

BAB II

TOKSIK EPIDERMAL NEKROLISIS ( T.E.N)

A. DEFINISI

Toksis Epidermal Nekrolisis atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan penyakit ini.

Toksis Epidermal Nekrolisis (T.E.N) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru.

Toksis Epidermal Nekrolisis merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa.

Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal detachment meliputi kurang dari 10% luas permukaan kulit tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan epidermal detachment antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih dari 30 %.

B. EPIDEMOLOGI

Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per 1 juta penduduk per tahun.

Berdasarkan jenis kelamin didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. TEN dapat

mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada orang tua, kemungkinan karena

meningkatnya jumlah obat yang dikonsumsi oleh orang tua.

C. ETIOLOGI

Etiologi TEN sama dengan Syndrome Steven Johnson. TEN juga dapat terjadi akibat

reaksi graft versus host, infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), dan sepertiga kasus Toksis

Epidermal Nekrolisis disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat. Hubungan antara

intake obat dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN

umumnya dimulai kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake obat pertama kali.

Obat yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah :

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.

D. PATOFISIOLOGI

Patogenesisnya belum jelas. Ada yang menganggap bahwa T.E.N merupakan bentuk

berat Sindrome Stevens-Johnson karena pada sebagian para penderita SJS penyakitnya

berkembang menjadi T.E.N. Keduanya dapat disebabkan oleh alergi obat dengan spectrum

yang hampir sama. Anggapan lain T.E.N. berbeda dengan SJS karena pada T.E.N tidak

didapati kompleks imun yang beredar seperti pada Sindrome Stevens-Johnson dan eritema

multiformis. Gambaran histologiknya juga berlainan.

TEN dipercaya merupakan immune-related cytotoxic reaction yang menghancurkan

keratinosit yang mengekspresikan sebagai antigen asing. TEN menyerupai reaksi

hipersensitivitas dengan karakteristik reaksi lambat pada pajanan pertama dan reaksinya

meningkat cepat pada pajanan ulang.

Adanya bukti yang mendukung beberapa jalur immunopatologik yang mengacu pada

apoptosis keratinosit, sebagai berikut :

Aktivasi Fas-ligand pada membran keratinosit death receptor–mediated apoptosis

Pelepasan protein dekstruktif (perforin and granzyme B) dari sitotoksik T limfosit

akibat interaksi dengan sel yang mengekspresikan major histocompatability complex

(MHC) class I.

Produksi berlebih dari T cell dan/atau macrophage-derived cytokines (interferon-γ,

tumor necrosis factor-α [TNF-α], and various interleukins).

Drug-induced secretion of granulysin dari CTLs, natural killer cells, dan natural killer

T cells.

E. MANIFESTASI KLINIS

T.E.N umumnya terdapat pada orang dewasa. Pada umumnya T.E.N merupakan

penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan

cairan/elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip Sindrome Steven Johnson.

Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Penderita tampak sakit berat

dengan demam tinggi, mialgia, cephalgia, dan kesadaran menurun. Kelainan kulit mulai

dengan eritema generalisata kemudian banyak timbul vesikel dan bula, dapat pula disertai

purpura. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut

berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam.

Kelainan semacam itu dapat pula terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai

kelainan pada mata seperti pada syndrome Steven Johnson.

Pada T.E.N yang terpenting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas

dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio.

Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolski positif pada kulit yang eritematosa, yaitu

jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada

tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya

penderita berbaring. Pada sebagian para penderita kelaina kulit hanya berupa epidermolisis

dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis).

Pada organ tubuh dapat terjadi perdarahan traktus gastrointestinal, trakeitis,

bronkopneumonia, udem paru, emboli paru, gangguan keseimbangan cairan & elektrolit,

syok hemodinamik & kegagalan ginjal.

Pada penyakit ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula

kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.

2. Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital,

sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula

yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat

terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang

tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan

esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya

pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.

3. Kelainan mata Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop,

ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Lebih dari 80% pasien memperlihatkan adanya kelainan

yang melibatkan konjungtiva, ulserasi kornea, uveitis anterior dan synechiae.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Hal yang

terpenting yaitu adanya riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Semua kasus yang

dicurigai T.E.N harus dilakukan biopsi kulit dan hapusan immunofluoresensi harus

dipertimbangkan jika diduga pemphigus / pemphigoid. Laboratorium didapatkan adanya

leukositosis, peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal,

dan ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan infeksi TBC dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal

menunjukkan apoptosis keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya

nekrosis di seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan

epidermis dan dermis.

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.

G. DIAGNOSIS BANDING

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.

Sumber : Hongkong medical diary, 2008.

H. PENATALAKSANAAN

Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak

perlu penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau burn

centers. Supportive cares terdiri dari : mempertahankan kestabilan hemodinamik dan

mencegah komplikasi yang mengancam nyawa.

Sumber : Hongkong medical diary, 2008.

Pengobatan Simptomatik :

- Fluid replacement secepatnya : Tujuan Mengatur + mempertahankan

keseimbangan cairan & elektrolit.

- Suhu ruangan dipertahankan 28 – 30 oC cegah hipotermi.

- Early nutritional support pasang nasogastric tube (NGT), diet tinggi protein &

rendah garam

- Debridement ekstensif dan agresif tidak dianjurkan.

- Konsultasi disiplin ilmu lain : THT, mata, penyakit dlm, gigi dan mulut, dll. Mata

diperiksa oleh ophthalmologist setiap hari, beri artificial tears, tetes mata antibiotik,

dan vitamin A setiap 2 jam sekali selama fase akut dan cegah synechiae. Mulut

berkumur dengan larutan antiseptik atau antifungal beberapa kali sehari.

Pengobatan Spesifik :

- Kortikosteroid masih kontroversial, beberapa penelitian menyatakan penggunaan

pada fase akut dapat mencegah perluasan penyakit, dan penelitian lain menyatakan

steroid tidak menghentikan progresivitas penyakit dan bahkan berhubungan dengan

peningkatan mortalitas dan efek samping, terutama sepsis.

- Intravenous Immunoglobulin gunakan high-dose dikarenakan adanya fas-mediated

cells death.

- Cyclosporin A agent immunosupresif kuat; mekanismenya dengan mengaktivasi

Th2 sitokine, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L,

nuclear factor dan TNF-α.

- Plasmapheresis/Hemodialysis tujuannya untuk mengeluarkan medikasi penyebab,

metabolitnya, atau mediator inflamasi (sitokin), tapi tidak direkomendasikan karena

kurangnya bukti dan risiko yang berhubungan dengan kateter intravaskular.

- Anti-TNF agents anti-TNF monoclonal antibodi telah berhasil dipakai untuk

mengobati beberapa pasien, tapi pada penggunaan thalidomide dihentikan karena

dilaporkan banyaknya kematian.

I. KOMPLIKASI

Infeksi sistemik dan septisemia

Syok dan gagal multi-organ (MODs)

Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya

ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerolunefritis.

Pengelupasan membran mukus dalam mulut, tenggorokan, dan saluran pencernaan;

ini menimbulkan kesulitan dalam makan dan minum sehingga mengarah pada

dehidrasi dan kekurangan gizi.

Pengelupasan konjungtiva dan gangguan-gangguan mata lainnya bisa menyebabkan

kebutaan.

Infeksi kulit oleh bakteri, scars and nail dystrophy, hiperpigmentasi atau

hipopigmentasi

Adhesi genital dyspareunia, nyeri dan perdarahan

Pneumonia atau respiratory failure

J. PROGNOSIS

Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan

alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit,

prognosisnya buruk. Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat

purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian NET 30-35% , jadi lebih tinggi daripada

Sindrome Steven Johnson yang hanya 5 % atau 10-15% pada bentuk transisional, karena

N.E.T. lebih berat. SCORTEN merupakan sistem skoring prognostik yang dikembangkan

untuk menghubungkan mortalitas dengan parameter yang terpilih.

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2008.

KESIMPULAN

Toksis Epidermal Nekrolisis atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang

memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Etiologi

TEN sama dengan Syndrome Steven Johnson. TEN juga dapat terjadi akibat reaksi graft

versus host, infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), dan sepertiga kasus Toksis Epidermal

Nekrolisis disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat. Hubungan antara intake obat dan

onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya dimulai

kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake obat pertama kali.

Manifestasi klinis yang ditimbulkan pada penyakit ini terlihat adanya trias kelainan

berupa, kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula.

Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital,

sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula

yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat

terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang

tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan

esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya

pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas. Kelainan mata

kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop, ulkus kornea, iritis

dan iridosiklitis. Lebih dari 80% pasien memperlihatkan adanya kelainan yang melibatkan

konjungtiva, ulserasi kornea, uveitis anterior dan synechiae.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada Toksik Epidermal Nekrolisis

harus dilakukan biopsi kulit dan hapusan immunofluoresensi harus dipertimbangkan jika

diduga pemphigoid. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan adanya leukositosis, peningkatan

enzim transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal, dan ketidakseimbangan

elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi TBC

dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal menunjukkan apoptosis

keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya nekrosis di seluruh

lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan epidermis dan dermis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Valeyrie and Roujeau, 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). “Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine”, USA : 7th edition, chapter 39, page 349-355.

2. Sanchez and Raimer, 2001. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). “Vademecum

Dermatopathology”. Georgetown, USA : page 68-69.

3. HHF Ho, 2008. Diagnosis and Management of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic

Epidermal Necrolysis. “Hongkong Medical Diary” : volume 13, number 10. Diunduh

tanggal 6 maret 2012. http://www.fmshk.org/database/articles/03mb3_4.pdf.

4. Ghislain and Roujeau, 2002. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson

Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. “Dermatology

Online Journal” : volume 8, number 1. Diunduh tanggal 6 maret 2012.

http://dermatology-s10.cdlib.org /DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.html.

5. Cohen, 2011. Toxic Epidermal Necrolysis. “Medscape reference” : america. Diunduh

tanggal 7 maret 2012. http://emedicine.medscape.com/article/229698-overview

#showall.