janda pejuang diberi cuma rp50 ribu

6
Janda Pejuang Diberi Cuma Rp50 Ribu ❖❖❖ Di ruang redaksi surat kabar, redaktur atau penyunting berita [mestinya] lazim menyimpan stok berita berbentuk feature , baik tulisan feature pendek maupun feature panjang. Ketika suatu waktu halamannya kekurangan bahan, ia bisa menyisipkan berita feature itu, dan ia pun selamat dari hukuman tenggat yang telah ditetapkan pemimpin redaksi. Redaktur yang baik akan meluangkan waktunya turun ke lapangan untuk meliput berita-berita yang tak mudah basi, feature , atau mengarahkan reporter- reporternya untuk melakukan hal itu. Bagi surat kabar harian, yang mengutamakan berita cepat dan berita paling penting, tulisan feature tidak hanya dapat menyelamatkan tenggat cetak, tapi juga memperindah halaman serta menghibur pembaca yang penat dan jenuh setelah membaca puluhan “berita serius”. Berita feature mujarab mengobati kejemuan pembaca. Selain tidak mudah basi, berita feature memiliki sifat khas yang lain: tidak boleh diubah seenak udel redaktur. Artikel feature ditulis tidak dalam susunan piramida terbalik, seperti yang digunakan pada berita biasa, sehingga berita feature tidak bisa dengan mudah untuk dipenggal. Langgam bahasa feature pun berbeda-beda antara penulis yang satu dan penulis yang lain, sehingga redaktur tidak bisa mengubahnya menurut gaya pribadi atau kebiasaannya menulis. Laporan jurnalisme feature lebih personal ketimbang berita biasa. Tema-tema tulisan feature tidak berat. Bisa saja tentang politik,

Upload: hanifmigas

Post on 21-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Artikel features, cocok untuk pekerjaan perkuliahan tentang artikel

TRANSCRIPT

Page 1: Janda Pejuang Diberi Cuma Rp50 Ribu

“Janda Pejuang Diberi Cuma Rp50 Ribu”

❖❖❖

Di ruang redaksi surat kabar, redaktur atau penyunting berita [mestinya] lazim menyimpan stok berita berbentuk feature, baik tulisan feature pendek maupun feature panjang. Ketika suatu waktu halamannya kekurangan bahan, ia bisa menyisipkan berita feature itu, dan ia pun selamat dari hukuman tenggat yang telah ditetapkan pemimpin redaksi. Redaktur yang baik akan meluangkan waktunya turun ke lapangan untuk meliput berita-berita yang tak mudah basi, feature, atau mengarahkan reporter-reporternya untuk melakukan hal itu.

Bagi surat kabar harian, yang mengutamakan berita cepat dan berita paling penting, tulisan feature tidak hanya dapat menyelamatkan tenggat cetak, tapi juga memperindah halaman serta menghibur pembaca yang penat dan jenuh setelah membaca puluhan “berita serius”.

Berita feature mujarab mengobati kejemuan pembaca.

Selain tidak mudah basi, berita feature memiliki sifat khas yang lain: tidak boleh diubah seenak udel redaktur. Artikel feature ditulis tidak dalam susunan piramida terbalik, seperti yang digunakan pada berita biasa, sehingga berita feature tidak bisa dengan mudah untuk dipenggal. Langgam bahasa feature pun berbeda-beda antara penulis yang satu dan penulis yang lain, sehingga redaktur tidak bisa mengubahnya menurut gaya pribadi atau kebiasaannya menulis. Laporan jurnalisme feature lebih personal ketimbang berita biasa.

Tema-tema tulisan feature tidak berat. Bisa saja tentang politik, profil seorang insinyur, atau terkait dengan berita ekonomi, tapi ia mesti ditulis dari sisi yang elok lagi memikat untuk dibaca oleh semua kalangan pembaca.

Dalam jurnalisme, ada dua jenis karangan feature: berita feature (atau featureberita, atau feature koran) dan human interest feature. Berita yang saya sematkan pada esai ini, perihal janda pejuang dalam upacara peringatan dirgahayu Republik Indonesia, adalah contoh untuk golongan pertama, beritafeature. Kapan-kapan akan saya tulis mengenai macam yang kedua.

❖❖❖

Berita feature janda pejuang ini saya liput di lapangan selama tidak lebih dari delapan menit, mulai mengamati upacara dirgahayu, mencium dan memutuskan sudut pandang berita, memotret, hingga mewawancarai narasumber.

Page 2: Janda Pejuang Diberi Cuma Rp50 Ribu

Berangkat dari Pangururan, kami tiba di Kecamatan Simanindo pada pukul 11.00, dan saya bersama seorang kawan wartawan langsung memasuki lapangan upacara. Sebenarnya kami “sudah terlambat”. Acara utama, pengibaran bendera, telah usai. Tapi, masih ada banyak kegiatan menarik, barisan pelajar, dan kerumunan warga di sana. Saya yakin pasti masih ada yang layak untuk diberitakan dari lapangan upacara, dan saya mesti memilih dan memutuskan dengan cepat yang mana akan saya liput, karena siang itu saya masih harus mencari tiga berita lagi untuk mengisi beberapa halaman liputan khusus Festival Danau Toba.

Saya memutuskan untuk mendekati janda veteran itu begitu nama mereka dipanggil oleh protokol. Dan mulai momen itulah mata dan pikiran saya bekerja untuk menemukan apa yang menarik sembari saya menjepretkan kamera. Menginterviu narasumber agak sulit karena ia duduk di dekat alat pengeras suara, jadi saya mesti setengah berteriak di telinganya dan berkali-kali mengulangi pertanyaan yang sama.

Indra keenam wartawan

Dalam dunia jurnalisme ada istilah indra keenam wartawan. Ia adalah daya endus jurnalis untuk menemukan nilai berita yang menarik dan laik cetak dalam sebuah peristiwa atau wawancara, nilai berita—bukan unsur berita—yang berbeda dari standar berita biasa atau hard news.

Di peliputan feature, kemampuan mengendus itu sangat perlu, bahkan wajib, dimiliki penulis. Artikel feature takkan bisa digarap bila penulisnya tidak punya kecakapan indra keenam. Karangan feature hanya bisa ditulis setelah dari lapangan si wartawan menemukan bahan dengan sudut pandang yang khas—karena itulah feature disebut sebagai karangan khas.

Banyak reporter surat kabar yang salah kaprah mengira angle alias sudut pandang berita diperlukan ketika hendak menulis laporan. Sebenarnya: sudut pandang sudah mesti ditentukan sejak masih dalam proses peliputan dan wawancara di lapangan.

Seorang reporter-koran pemula di Kabupaten Toba Samosir pernah bertanya kepada saya apa teori untuk mencium nilai berita. Walaupun saya tahu ada teori jurnalistik, seperti diktat yang lazim dibaca mahasiswa publisistik (dan saya tak pernah membacanya), saya tidak menyuruhnya untuk meng-google-nya atau membacanya dari buku jurnalisme. Saya hanya berkata kepadanya bahwa “teorinya” ada banyak: praktik dan praktik dan praktik dan banyak meliput dan banyak menyimak ucapan narasumber dan banyak mencermati apa saja.

Dari pengalaman kerja saya, itulah saran terbaik dalam ikhtiar menjadi pencium berita yang

Page 3: Janda Pejuang Diberi Cuma Rp50 Ribu

mumpuni. Barangkali tak jauh berbeda dengan berciuman: tidak perlu teori. Menurut saya,

membaca terlalu banyak teori jurnalisme justru bikin wartawan makin bingung berkimbang-kimbang.

❖❖❖

Berita feature yang pendek ini, “Janda Pejuang Diberi Cuma Rp50 ribu”, saya terbitkan di media lokal Tanah Batak Koran Toba. Ada tiga kutipan kalimat langsung berbahasa Batak Toba dalam feature ini yang sengaja saya alih bahasakan agar bisa dipahami pembaca nonfiksi.com.

Janda Pejuang Diberi Cuma Rp50 ribu

Tiorina Nainggolan (kiri)__________

Ditonton ribuan pasang mata, dua janda veteran perang gerilya dipanggil lewat pelantang agar memasuki lapangan Ambarita. Pukul 11.00 siang itu, 17 Agustus 2013, pengibaran bendera Merah Putih baru saja kelar dalam upacara peringatan dirgahayu Republik Indonesia.

Salah satu janda pejuang sempat terpinga-pinga setelah pejabat Kecamatan Simanindo menyalamkannya sepucuk amplop putih. “Apa ini, Pak?” tanya dia kepada aparat yang menjabat tangannya.

Dijawab bahwa isi amplop adalah sekadar bantuan dana tali asih bagi janda bekas pejuang kemerdekaan.

“Oh, terima kasih untuk kalian.” Si nenek pun semringah, lalu kembali duduk.

Beberapa birokrat, anggota DPRD Samosir, dan tokoh masyarakat yang duduk di podium bertepuk tangan.

Page 4: Janda Pejuang Diberi Cuma Rp50 Ribu

Saya menghampiri kedua istri veteran itu. Terlihat mereka diam-diam membuka amplop. Isinya …, olala! Hanya satu lembar uang pecahan Rp50 ribu.

Ditanya bagaimana perasaannya memperoleh bantuan berupa uang receh, Tiorina Nainggolan (82 tahun), salah satu janda veteran, berkomentar singkat: berapa pun jumlahnya, “Terima kasih kepada pemerintah.”

Suami Tiorina Nainggolan, Martogu Rumahorbo, meninggal pada 1994. Martogu ikut berperang di hutan Harangan Ganjang, Kabupaten Simalungun, sebelum dan sampai tahun 1945. Karena kendala administrasi, Martogu mesti berupaya selama sepuluh tahun sebelum akhirnya mendapat dana tunjangan kehormatan veteran dari negara. Kini istrinyalah, Tiorina, yang mencairkan dana Rp1 juta lebih sedikit itu saban bulan dari kantor pos.

Wartawan mesti dekat dengan subjek berita

Sangat sering saya jumpai reporter surat kabar yang meliput subjek beritanya dari kejauhan. Ketika ketua DPRD berpidato di tanah lapang, misalnya, si wartawan merasa cukup hanya mendengarnya lewat pengeras suara dan duduk di warung kopi di sekitar lapangan.

Kata-kata narasumber memang bisa dicatat si wartawan dengan lengkap. Tapi, saat jengkol jabatan si ketua Dewan terlepas dari bajunya, ia tidak tahu, dan sebuah berita feature yang sangat menarik pun terlewatkan.

Pada contoh berita feature saya di atas, saya takkan mungkin mengetahui bahwa isi amplop yang diterima si janda veteran hanya Rp50 ribu apabila saya tidak mengikutinya, mendekatinya ke tempat duduknya, dan mengamati tangannya yang memegang amplop.

Dalam jurnalisme feature dan narasi panjang, wartawan wajib dekat dengan apa yang sedang diliputnya atau orang yang diwawancarainya. Saya akan memburaskan topik itu pada esai-esai saya berikutnya di blog ini. [Narasi Nonfiksi]