itb nyastra

67

Upload: aditya-finiarel-phoenix

Post on 23-Jul-2016

318 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: ITB Nyastra
Page 2: ITB Nyastra

1

Ini hanyalah kata-kata terserak yang butuh dipelihara

Agar tak sekedar larut dalam sungai maya

Dalam sebangun rumah bernama “ITB Nyastra”

Page 3: ITB Nyastra

2

Para Pencipta

Riyani Jana Yanti David Satya Hartato

Ozi Fahmi P Fardian Thofani

Angga Adytia Sutarwan Erwin Meilaska Dinata

Angga Adytia Sutarwan Naufal Darari

Rilis Eka Perkasa Atollah Renanda Yafi

Meiya Narulita Suyasman Aditya Firman Ihsan

Rony Del Bachty Fauzan Anwar

Kurnia Sandi Girsang Allissa Rivanni Richky

Asra Wijaya Lubis Rama Firdaus Ikhsan S. Hadi

Muhammad Irfan Ilmy Wahyu Ok

Aurora Rahmani Senartogok

Hamdi Alfansuri Rifadina Kamila Yasmin

Choirul Muttaqien Kartini F. Astuti

Page 4: ITB Nyastra

3

Page 5: ITB Nyastra

4

Daftar Konten

Daftar Konten ...................................................... 4

Si Asep ................................................................. 5

Kata Hati di Ujung Senja ...................................... 8

Aku Iri .................................................................. 9

Yang tak hingga untuk D ................................... 10

Impression de la vie .......................................... 11

Jalan Taubat ...................................................... 12

Abdi ................................................................... 14

Seperti Bumi ...................................................... 15

Mengejar Kenikmatan ....................................... 16

Subuh ................................................................ 20

Angin Yang Memburai ....................................... 22

Doa Lindu Tembeliung ...................................... 25

Gurauan'saat tidur ............................................ 26

Syukur ............................................................... 27

Selangkah .......................................................... 28

Merak Jingga Padang Bulan .............................. 29

Selamat Tidur .................................................... 32

Goresan Pena Asyila .......................................... 34

bertanya aku ..................................................... 38

Kembang Kaktus ................................................ 39

Tuhan ................................................................ 41

Kwek Bebek ...................................................... 42

Tentang Mengenang : Tingkah Manusia .......... 44

Tuhan ................................................................ 46

Salam Tahunan ................................................. 47

Antara ............................................................... 48

Sejak 17 ............................................................. 49

Terakhir ............................................................. 50

Tanpa Huruf P ................................................... 51

Tergesa ............................................................. 53

Benarkah? ......................................................... 54

Sederhana ......................................................... 55

Diam .................................................................. 56

Ketika malaikat berbicara... .............................. 57

Hikayat Purnama .............................................. 58

Sudah ................................................................ 59

Senandung Ketiadaan ....................................... 60

Tentang tertawan: perasaan. ........................... 63

Gurun ................................................................ 64

Soneta Android dan Pengantinnya ................... 65

Rumah Senja ..................................................... 66

Page 6: ITB Nyastra

5

Si Asep

Fauzan Anwar

Asep Sodikin seorang pemuda usia belasan asal Wanaraja kab Garut

kini mengadu nasib ke kota Bandung. Bukan tanpa alasan ia pergi meningalkan desanya.

Seperti lelaki proletar pedesaan pada umumnya Asep ingin membantu meringankan

beban ekonomi keluarga yang hanya bisa mengandalkan dari upah buruh hasil mengarap

sawah para juragan di desanya. Sebelum hijrah ke Bandung, Asep pernah

bekerja serabutan di Garut sebagai kuli bangunan.

.

Di kota Bandung, Asep bekerja sebagai Tukang baso cuanki tangul yang menjajakan

daganganya dari satu tempat ke tempat lainya. Pekerjaan ini sudah ia lakukan

selama satu tahun. Dimalam hari terkadang ia menyendiri ia berusaha

mencoba meraih makna tentang nasib hidupnya.

.

Setelah ia berada jauh dari kampung halamanya, ia baru menyadari bahwa

realitas dunia itu amatlah luas. Ia merasakan keterasingan yang amat liar

saat ia menjajakan daganganya ke perumahan-perumaha elit.

Bagaimana sibuk dan anehnya mereka sampai-sampai

mereka tidak akrab bahkan tidak kenal dengan tetangga disampingnya.

Sudah tentu hal yang seperti itu tidak pernah terjadi dikampung halamanya.

Pernah juga suatu hari ia merasakan bahwa ia bukanlah manusia.

Hal itu ia rasakan saat ia menjajakan daganganya di sebuah perumahan.

Page 7: ITB Nyastra

6

Seorang ibu-ibu paruh baya memandangnya sinis dengan tatapan

yang terasa begitu menghinakan. Si Asep pun hanya bisa menundukan kepalanya.

Beberapa hari Setelah kejadian itu,di gerbang masuk perumahan tersebut kini terdapat

tulisan yang mengatakan “Pedagang dilarang masuk!”

kasihan. Si Asep kini tidak bisa memasuki perumahan itu lagi.

Sebenarnya tidak pernah ada pelanggan ataupun

pembeli di perumahan elit yang dipenuhi pepohonan besar itu. Namun entah

kenapa Si Asep selalu ingin memasuki kompleks perumahan yang penuh dengan

pepohonan itu. Ahhh Mungkin saja Si Asep bermimpi suatu saat ia ingin tinggal

dan memiliki rumah di perumahan elit seperti itu. Entahlah

Hari sudah malam namun dagangan si Asep masih tersisa amat banyak. Tapi apa daya

namanya juga manusia. Si Asep sudah lelah dan malam semakin larut.

Semua malam memang sama. Malam diciptakan oleh Tuhan untuk istirahat.

Namun bedanya malam yang dirasakan orang-orang diperumahan elit tersebut

tentunya berbeda dengan malam yang dirasakan oleh Si Asep.

Keesokan harinya seperti biasa si Asep kembali berkeliling menjajakan daganganya hingga

suatu ketika si Asep berhenti didepan sebuah Sekolah menengah atas (SMA) yang belum

pernah ia lihat sebelumnya. Ia menyaksikan kumpulan siswa siswi yang sedang bercanda

tawa dan semacamnya. Ia berfikir di usianya yang masih belasan, sebenarnya ia berhak

Page 8: ITB Nyastra

7

mengalami pengalaman dan kesan yang seperti itu. Tapi ya mau gimana lagi?

toh nasibnya sudah termaktub dalam lembaran kehidupan.

.

Kini si Asep merenung. Ia diam melihat suasana yang begitu

indahnya yaitu membayangkan dirinya menjadi seorang siswa.

“Duh gusti iraha teuing abdi mah tiasa kitu” (YaTuhan entah kapan aku bisa seperti itu)[i]

Bisik Si Asep didalam hati.

Tak terasa air matanya berlinang. Ia menyeka air matanya dengan tangan dan handuk kecil

yang ia gantungkan dilehernya. Saat Asep hendak memangul kembali barang daganganya,

terdengar suara seorang siswi dari kejauhan “Mang beli !!!”

Si Asep terkejut. Entah kenapa Ia merasa amat bahagia

dengan spontan ia mengatakan “ Muhun Mangga neng” (Oh silahkan neng) sambil

menyeka kembali air matanya yang masih tersisa.

[i] Stylistik Kalimat dalam Bahasa Sunda yang sejatinya sering bermakna ketidakmungkinan

Page 9: ITB Nyastra

8

Kata Hati di Ujung Senja

Allissa Rivanni Richky

Saat kebohongan mengambil alih kisah kita apakah itu cinta?

Ajar aku mengerti bagaimana cinta bersandiwara Karena setahuku di dalam cinta tak ada kepura-puraan

Page 10: ITB Nyastra

9

Aku Iri

Fardian Thofani

Aku iri, terhadap mereka yang diam Mereka yang berjalan tak memperhatikan

Mereka yang berlari tak bertujuan Mereka yang hidup tak mempertanyakan

Page 11: ITB Nyastra

10

Yang tak hingga untuk D

Kurnia Sandi Girsang

Tahukah kenapa manusia degil berpuisi cinta?

Padahal (si)apapun tahu

Di luar sana ada jutaan bait cinta yang berserakan

Yang terengkuh dan yang terhempas

Karenanya dunia hampir muak menemui batas

Sederhana, D..

Sebab semesta selalu melahirkan kamu

Page 12: ITB Nyastra

11

Impression de la vie

Fauzan Anwar

Kini aku merasa asing terhadap hembusan udara namun aku semakin akrab dengan dedaunan jatuh

yang melayang digiring angin

Aku semakin tidak mengerti dengan keramaian hingar bingar namun ternyata senyap sepi

kutelusuri setiap pelosok jalan ternyata semuanya sama

Seperti waktu yang membedakan hanyalah sebuah kesan

kesan-kesan kehidupan dengan berbagai penafsiran

Page 13: ITB Nyastra

12

Jalan Taubat

Rony Del Bachty

Baru setengah perjalanan dimulai Ada rasa

Antara dua langkah dunia Satu menuju tempat terindah

Dua menuju kematian Dan, diriku terperangkap diantaranya.

Page 14: ITB Nyastra

13

Page 15: ITB Nyastra

14

Abdi

Aditya Firman Ihsan

Ke masjid bersama Buddha Ke wihara bersama Yesus

Ke gereja bersama Muhammad Apalah artinya

Kita tetap manusia Mungkin Zeus hanya tertawa

Page 16: ITB Nyastra

15

Seperti Bumi

Meiya Narulita Suyasman

seperti bumi yang perlahan mundur menjauhi matahari perlahan; tak terlihat secara kasat mata

matahari terang matahari bersinar

matahari memiliki energi sendiri matahari sempurna

tak ada gunanya melengkapi matahari—untuk apa?

Sebelum tugasnya usai tawa berderai, air mata berurai

seperti bumi yang perlahan mundur menjauhi matahari ia dekap beku angkasa yang sebentar lagi menjadi sahabatnya

Page 17: ITB Nyastra

16

Mengejar Kenikmatan

Atollah Renanda Yafi

Selalu dalam hidupku aku merasa bahwa apa yang aku jalani sebenarnya adalah memakan sebuah adonan dengan berbagai macam rasa. Selalu saja hatiku terpaksa merasakan berbagai macam warna-warni kehidupan hanya karena otakku yang tidak bisa untuk selalu berada pada frekuensi yang sama dengannya. Nikmat, sakit, getir, legit, atau apapun nama perasaan itu telah dirasakan oleh hatiku dalam berbagai fasa di kehidupan ini, tanpa ada protes untuk mengakhirinya sama sekali. Betapa hebatnya ia, tak seperti lidahku yang terkadang masih saja ingin menolak panganan walaupun perutku terus-terusan meronta untuk diisi. Andai saja hatiku tiba-tiba meronta untuk menolak rasa-rasa dalam kehidupan, tak ayal juga bahwa nantinya aku hanya menjalani tanpa rasa sama sekali. Hampa, tak sakit dan juga tak nikmat tapi sangat perih bagi sukmaku yang masih harus bergelut dengan dunia. Mungkin rasa sakit hati lebih nikmat daripada tidak merasakan dalam kehampaan, gelap, entahlah.

Sempat diriku berpikir dan bercengkerama dengan otakku, sebenarnya rasa apakah yang aku inginkan selama ini ? Sudah terlalu banyak rasa yang aku konsumsi selama dua dekade aku menikmati hayatku ini. Tapi rasanya masih belum sampai saja hatiku pada sebuah rasa yang ia inginkan. Terkadang hal ini malah terasa sangat aneh ketika semua realita direfleksikan oleh hatiku secara non-linear. Semua bayang-bayang kebahagiaan yang aku raih malah menjadi rasa perih dan penyesaan mendalam dengan jangka waktu yang lama, sedangkan saat aku terjatuh pada sebuah kegagalan duniawi, hatiku tiba-tiba saja mengeluarkan semburat warna-warna cerah layaknya kelir makanan anak-anak yang penuh pewarna buatan. Sepertinya dunia hanya bisa geleng-geleng saja melihat semua refleksi kehidupan yang ditunjukkan oleh hatiku. Tunggu dulu, apakah hati-hati yang lain juga melakukan hal yang sama ?

Aku rasa bukan sebuah kemunafikan lagi jika orang-orang di dunia ini menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Toh jika memang mereka memperoleh sebuah kebahagiaan, hati maupun otak mereka seharusnya berada pada frekuensi yang sama sehingga sukma mereka bisa berleha-leha di atas ranjang kehidupan. Aku rasa apa yang dicapai otakku untuk mendapat suatu kebahagiaan bukanlah suatu kebahagiaan yang dituju oleh hatiku.

Pernah sekali waktu aku dapati mereka berdua sedang mencari sintesis mengenai kebahagiaan sejati. Terkejut sekali diriku ketika mendapati otakku mengaku bahwa apa yang ia pikirkan sekarang seringkali melenceng dari pemikiran

Page 18: ITB Nyastra

17

naif tentang kebahagiaan. Ia mengaku bahwa dirinya terlalu sering mendapat pengaruh dari dunia luar yang membuatnya lupa dengan tujuannya sendiri untuk berpikir. Ia berpendapat bahwa kemerdekaannya dalam berpikir telah dijajah oleh berbagai hal yang ada di dunia. Ilmu yang seharusnya merupakan makanan dalam perkembangannya sebagai sebuah alat pemikir yang merdeka telah diperkosa oleh berbagai korporasi. Semua hal yang saat ini menamakan dirinya sebagai ilmu ternyata hanyalah alat-alat pemanja otak, semakin sering mereka dikonsumsi semakin lumpuhlah otak dalam berpikir secara merdeka, bahkan secara tak sadar otak telah berpikir pada sebuah alur yang sudah disiapkan ilmu-ilmu palsu ini. Layak saja aku sering menyaksikan orang-orang yang sedang berperan di dunia sebagai pencari ilmu malah berakhir sebagai insan yang tidak merdeka, mereka yang seharusnya bisa mengendalikan ilmu malah berakhir sebagai budak-budak dari ilmu tersebut, untung saja citra mereka tidak memalukan karena otak-otak yang lain juga telah dijajah untuk mengapresiasi atau bahkan mengikuti jejak orang-orang seperti ini.

Setelah berpikir sedemikian rupa, otakku meminta maaf kepada hati atas kenaifannya selama ini yang malah tidak secara merdeka mengendalikan ilmu untuk mencapai rasa yang diinginkan hati. Otakku terus-terusan melakukan penyesalan atas apa yang telah ia lakukan selama ini, terlalu terbuai dengan kesombongan memperoleh ilmu sampai-sampai ia tak sadar bahwa dirinya telah terkubur dalam keadaan hina oleh ilmu-ilmu yang ia kumpulkan. Bukannya memerdekakan dirinya sembari mengumpulkan ilmu, yang ada malah otakku terus-terusan mengonsumsi ilmu sampai-sampai ia sendiri yang yang terkonsumsi oleh ilmu-ilmu itu. Dalam tangisnya yang sangat logis otakku terus-terusan meminta maaf kepada hatiku karena ia tak pernah bisa memuaskan hati pada rasa yang sebenarnya ingin mereka capai bersama-sama.

Dalam ibanya hati mengusapkan sebuah senyum pada otak. Ia memancarkan emosi senang atas tersadarnya otak dalam lingkaran ilmu-ilmu semu yang membawanya pada ruang kebodohan. Tetapi aku masih merasa ganjal saja dengan semua ini, sukmaku berkata bahwa masih ada yang salah dengan keadaan ini. Apakah diriku masih tersesat saja jika otakku sudah merdeka ? bukankah dengan merdekanya pikiranku berarti aku bisa melihat dunia ini dengan lebih jernih ? bukankah dengan begini aku bisa mengejar rasa yang sebenarnya diinginkan oleh hatiku ? Apakah kemerdekaan pikiran masih kurang ? Terus-terusan aku paksa otak untuk berpikir tentang hal ini, melihat hati yang masih saja kurang puas atas segala maaf yang telah disampaikan oleh otak. Hanya rasa iba saja yang ia berikan pada otak, senyumpun hanya digunakannya agar otak segera lepas dari penyesalannya. Makin pusing saja aku memikirkan hal ini, tiba-tiba aku berpikir dan mencoba tuk membayangkan orang-orang yang sepertinya telah mendapat

Page 19: ITB Nyastra

18

kebahagiaan. Akankah aku mendapat rasa seperti mereka ? Kucoba hatiku untuk merasakan fantasiku atas kehidupan orang-orang yang terlihat bahagia itu. Mungkin saja nikmat-nikmat itu perlahan bisa kurasakan, tapi toh hatiku malah menunjukkan kekosongan saja dengan semua bayangan ini. Aku hanya bisa muak dengan semuanya ketika kulihat otakku malah merasa semakin bodoh karena ia tidak tahu ilmu mana yang bisa membuatnya merdeka layaknya orang-orang cerdas, sedangkan hatiku yang masih saja tak menunjukkan padaku rasa puas atau bahagia.

Diriku merasa muak dengan semua ini. Mana mungkin kita terus-terusan mengejar kenikmatan jika harus meniru orang-orang. Terus-terusan menuruti apa yang disajikan oleh papan-papan iklan pada semua panca indra kita. Mau semerdeka apapun otak kita, kebahagiaan pastinya tidak bisa tercapai jika hati kita masih terus-terusan menginginkan refleks-refleksi seperti ini. Toh membayangkannya saja hanya akan membawa kita pada sebuah kehampaan yang memuakkan. Sampai saat inipun kita juga tidak tahu apakah aktor-aktor yang memerankan konsepsi kebahagiaan itu benar-benar berada pada sebuah kebahagiaan atau hanya memakai topeng agar kita punya niatan untuk meniru mereka. Aku takut nantinya hatiku malah tersiksa ketika ia melihat begitu banyak kenikmatan. Nikmat yang terlalu berlebih pasti secara perlahan akan menyakiti hatiku. Jangan-jangan nantinya aku malah kehilangan rasa-rasa yang lain jika aku terjerumus pada nikmat duniawi, atau aku akan menjadi orang tidak bisa merasakan apa yang sedang terjadi pada orang lain.

Masih dalam sadarku aku menanyakan rasa pa yang sebenarnya aku inginkan, dan seperti apa sebenarnya aku harus memikirkan semua ini. Jangan-jangan aku terlalu sibuk untuk merasakan maupun memikirkan semua refleksi yang ditawarkan oleh dunia. Apalah artinya kebebasan dan kemerdekaan jika aku malah mencari-cari segala persepsi tidak pasti ini. Kapan hati dan otakku akan merdeka jika aku terlalu menuntut mereka untuk menuruti apa kata dunia ? Bukankah bersyukur sudah bisa membuat diriku terus-terusan hidup ? jangan-jangan bahagia yang selama ini kuinginkan adalah perpaduan dari semua rasa senang maupun sedih yang aku konsumsi secara berkala ? bukan senang melulu maupun sedih tak berhingga. Hatiku sudah terlalu buta oleh semua ini, terlalu banyak impian-impian kebahagiaan semua yang meracuninya. Aku hanya bisa berharap, semoga jiwaku bisa merdeka tanpa harus melalui dialektika hati dan otak yang tak berujung, apalagi jika yang dipakai sebagai bahan perdebatan mereka hanyalah refleksi dari kehidupan semu orang-orang di luar sana. Aku hanya bisa berharap mendapati diriku ini seorang yang bodoh dan belum merdeka, agar otakku terus mencari ilmu dan berusaha memerdekakan dirinya, dan memperoleh rasio cukup atas semua

Page 20: ITB Nyastra

19

yang aku miliki, agar hatiku tahu bahwa semua rasa bisa menjadi sebuah kebahagiaan jika ia mau mengonsumsinya dengan bumbu syukur.

Page 21: ITB Nyastra

20

Subuh

Rilis Eka Perkasa

Kalau subuh kedengaran tabuh semua sepi sunyi sekali

bulan seorang tertawa terang bintang mutiara bermain cahaya

Terjaga aku tersentak duduk terdengar irama panggilan jaya naik gembira meremang roma terlihat panji terkibar di muka

Seketika teralpa; masuk bisik hembusan setan

meredakan darah debur gemuruh menjatuhkan kelopak mata terbuka

Terbaring badanku tiada berkuasa tertutup mataku berat semata

terbuka layar gelanggang angan terulik hatiku di dalam kelam

Tetapi hatiku, hatiku kecil tiada terlayang di awang dendang

menanggis ia bersuara seni ibakan panji tiada terdiri

Page 22: ITB Nyastra

21

Page 23: ITB Nyastra

22

Angin Yang Memburai

Naufal Darari

Sejak dulu Agni memegang prinsip kebebasan, Sehingga Agni menjadi satu-satunya wanita di keluarganya yang belum menikah, padahal dia anak yang paling cantik diantaranya. Hasrat kebebasan itu secara alami tumbuh dalam dirinya merasuk ke jiwa. Ada juga seorang lelaki bernama Kelana, yang hidupnya pelan, dia sabar dalam segala hal termasuk terhadap Agni. Agni memberitahu Kelana bahwa dia tidak ingin memiliki ataupun menjadi milik siapapun. Apabila kita saling mencintai cukup saja begini tidak perlu lagi apa-apa. Dan jangan pula kamu melarangku mencintai atau dicintai orang lain maka akupun takan melarangmu, biar begitu perasaanku padamu takan berubah. Pada awalnya sulit bagi Kelana menahan rasa cemburu ketika Agni tak bersamanya, namun pelan-pelan Kelana terbiasa dan mulai mengerti. Bahkan lama kelamaan mulai menggumi kebebasan Agni. Kemudian hadirlah Kinanti, seorang gadis manis polos dan terlalu baik yang pakaiannya serba kuning, kulitnya juga kuning langsat, yang hidupnya selalu suka sedia menanti. Gadis ini telah memikat hati Agni, tapi seperti biasa Agni tidak mau terikat, namun Kinanti tetap setiap sedia menanti. Mereka bertiga Agni, Kelana, Kinanti, menjalani hidup bagai.. hmm.. tidak bisa di bilang sepasang, mungkin trio atau grup kekasih, namun dari luar mereka terlihat sebagai 3 sahabat saja. Hubungan Kelana dengan Kinanti memang agak canggung, mereka mencintai satu orang yang sama yang juga mencintai mereka berdua. Sehingga demi orang yang mereka cintai bersama mereka rela berbagi cinta. Terlebih sifat Kinanti yang polos dan terlalu baik, memberikan rasa aman pada Kelana yang pelan-pelan bisa menerimanya. Agni juga bilang "Apakah kekasih harus selalu sepasang?". Sekarang sudah tahun 2015, inovasi dibutuhkan pula dalam hal cinta agar kita tidak bosan dan agar hidup tidak hanya sekedar mengulang tingkah laku nenek moyang, dari dulu nenek moyang kita cerita kekasih itu selalu sepasang, ceritanya terus begitu, hingga kita mengira kekasih itu memang harus sepasang, padahal nenek moyang juga tidak pernah bilang harus sepasang juga kan. Terlebih selama ini kita bahagia-bahagia saja tuh dan diluar sana kami bukanlah satu-satunya. Itu yang Kelana coba pikirkan sebagai alasan, sebenarnya lebih terpengaruh perasaanya terhadap Agni. Namun suatu saat Agni menyadari bahwa dia belumlah sepenuhnya bebas, dia masih terikat dengan uang atau harta materil. Untuk hidup ia perlu uang. Dia masih harus terus menghabiskan waktunya bekerja untuk orang lain untuk mendapatkan uang. Agni benci harus mengumpulkan uang, nurut pada bosnya, untuk bisa hidup, menurutnya itu dia masih tidak bebas. Jadi Agni menjual semua miliknya dan mulai berfokus membuat narkoba. Setelah melalui proses yang panjang dan tidak wajar Agni berhasil menciptakan semacam candu, yang dibuat tidak hanya dengan proses

Page 24: ITB Nyastra

23

kimiawi dan proses saintifik lainya tapi juga melibatkan proses spritual dan bahan dasarnya hanya air. Candu itu memiliki rasa tiada tara sehingga siapapun atau apapun akan tenggelam dalam buaian rasanya, tapi tidak membuat ketergantungan. Candu yang memiliki aroma penggoda yang sangat luarbiasa sehingga tak satupun dapat menolaknya, bentuk, warna, visual candu itu juga sangat menawan membawa kenikmatan hanya dengan memandangnya sehingga tak ada satupun yang tak menginnginkannya. Tekstur candu itu ketika bersentuhan dengan diri mengadirkan sensasi yang menenangkan seperti memeluk belahan jiwa yang selama hidup ini anda cari dan nantikan, atau seperti memeluk seorang anak yang sudah terpisahkan selama bertahun-tahun. Setiap orang rela menukarkan apapun miliknya dengan candu itu, sehingga Agni menggunakannya sebagai alat tukar pengganti uang. Keberadaan candu itu diketahui oleh mafia yang bisnis narkobanya tidak tergangu cuman berniat untuk membisniskan candu Agni tapi tidak mampu karena candu itu tidak tertahankan sehingga malah langsung dikonsumsi sendiri. Sehingga hanya Agni yang dapat menjual atau menberikan candu itu karena satu-satunya orang yang tidak kecanduan. Para ilmuawan berusaha mempelajari komposisi dan metode pembuatannya candu itu namun sia-sia karena mereka taunya cuma sains, sementara tidak semua hal bisa di jelaskan dengan sains. Mereka belum terbuka pikirannya, masih terjebak logika ilmiah dan sains, kalo gak bisa di jelaskan dengan sains di anggep enggak ada goblook, mereka seolah tidak rela segala sesuatu kalau tidak ada penjelasan ilmiahnya. Orang zaman dahulu untuk menjelaskan sesuatu fenomena dengan ilmu teologi, contoh petir terjadi karena tuhan/dewa thor sedang marah memukul-mukul awan dengan palunya sehingga terjadi petir. Kalo zaman sekarang orang menjelaskan sesuatu fenomena dengan ilmu sains/ilmiah, petir terjadi karena tubrukan antara awan minus dan positif. Kalo zaman nanti kan belum tentu sama, bisa aja ada ilmu baru lagi, jadi para saintis itu seperti orang zaman dahulu yang taunya petir itu tuhan marah, terus di kasih tahu petir itu karena tubrukan awan minus dan positif, ya gaakan bisa paham sebelum bisa lepas dari cara pikirnya yang lama. Jadi percuma saja Agni menjelaskannya pada mereka. Sementara itu pemerintah menganggap candu Agni itu ancaman juga tidak bisa berbuat apa-apa karena bahan dasarnya cuma air. Kalau bom kan bisa di batasin dan di jagain uraniumnya, jadi pembuatan bom bisa di kontrol, sedangkan candu Agni cukup butuh air yang ada di mana-mana, bahkan agni bisa ambil dari air mata, air keringet, air kencing, atau dari darahnya sendiri. Menculik atau menguasai Agni, juga susah soalnya setiap orang ditawarin Agni candunya langsung hilang akal dan berpindah ke sisi Agni. Namun pada akhirnya Agni menyadari bahwa dia belum juga sepenuhnya bebas, karena masih dipengaruhi keinginan untuk bebas itu sendiri. Agni masih merasa belum bebas dari dirinya sendiri, dia kesal ternyata hanyalah budak dirinya sendiri, apanya yang bebas!? Lalu Agni menghilankan diri,

Page 25: ITB Nyastra

24

meninggalkan Kelana dan Kinanti. Kelana yang terwarisi kebebasan Agni, pergi bekelana mencari Agni sangat pelan sekali. Sementara Kinanti hanya bisa menanti.

Page 26: ITB Nyastra

25

Doa Lindu Tembeliung

Angga Adytia Sutarwan

Lihatlah andang-andang lancang membentang seolah bintang gemintang, kembang jelatang berpesta dengan kumbang jalang nyesap hingga kenyang darah yang

terhidang di jalanan lengang.

Di padang gersang kerontang dentang-dentang lonceng leher sapi berlalu-lalang menggoncang gagang ilalang yang menegang kejang sedang di medan laga

genderang berdendang melihat hulubalang saling mencabik dan orang-orang mengacungkan kelewang.

Petani malang yang girang nembang nyambut hujan datang di lubang pematang sedang di hilir bandang berang menerjang siung-siung brambang di ladang .

Tikus-tikus riang memandang kucing belang yang mengerang menjadi belulang sementara anjing-anjing sibuk berbincang siapa yang hendak mengetam tulang-

tulang dan elang mengintai mereka yang riang dan mereka yang berbincang dalam bayang-bayang.

Di ngarai di jurang-jurang berkumandang lantang tangis kunang-kunang kepayang dalam kandang mengenang arwah leluhur luhur yang lalim sewenang-wenang

mengokang ke arah kijang-kijang terkekang yang tengah sembahyang.

Ooo.... Tuhan geram mengatupkan rahang geraham menyalangkan matanya yang Maha tajam menghujam tanpa bimbang tak terintang mengabulkan doa lindu tembeliung , mengutus malaikat dengan pedang terhunus perlambang bahwa

Tuhan ikut berperang

Page 27: ITB Nyastra

26

Gurauan'saat tidur

Erwin Meilaska Dinata

Lancip mata tombak Haus darah perompak laut Mengasah nyali dipusaran

Segitiga bermuda lingkar saksi

Tuang lagi araknya bung Jangan ragu tentang petuah lama

Ini hanya cerita Rekayasa untuk anak anaknya

Jemari tangan berpindah halaman

Mari tidur hari sudah malam Perjalanan masih panjang Esok pagi kan menjelang

Tentang masa depan jauh terbentang

Page 28: ITB Nyastra

27

Syukur

Angga Adytia Sutarwan

Dengarlah kesedihan perupa yang membangun istana pasir di tepi pantai laut yang bergejolak. Karena semegah apapun istana yang dibangun, ia kan luluh lantak

dalam satu sapuan ombak.

Dan dengarlah kesedihan pelukis yang melukis debu di atas gurun yang berkecamuk. Karena seindah apapun lukisan yang dibuat, ia kan lenyap dalam satu

hembusan angin

Page 29: ITB Nyastra

28

Selangkah

Fardian Thofani

Sakit di telapak kakinya tak ia hiraukan. Entah kemana sebenarnya dia bertuju, dirinya pun bertanya-tanya. Dia sedang berbahagia, tapi juga kebingungan. Kadang

tersenyum kecil, tp kemudian termenung, sambil tetap pasrah atas kakinya yang saling salip.

Dulu dia hidup di negeri yang menawan hati. Dipimpin oleh raja yang adil dan dikelilingi orang-orang yang baik hati. Semua orang hidup sejahtera. Semua orang disini adalah saudara, begitu kata raja. Maka saling bantulah orang-orang di negeri

tersebut. Tidak ada yang boleh merasakan kesusahan saat yang lainya senang. Hidup sepenanggungan sudah mendarah daging bagi mereka.

Dan kau jangan menggoyah ketentraman itu, karena sekalinya kau mencoba, maka akan terpisah roh dari raga.

Tapi dia pergi, entah mengapa. Keluarganya yakin dia akan kembali, tp dia meyakinkan diri untuk tidak pulang lagi.

Page 30: ITB Nyastra

29

Merak Jingga Padang Bulan

Ozi Fahmi P

Merak Jingga dan Padang Bulan Merak jingga selalu bersedih. Ia selalu mengurung diri di sangkarnya yang berada di balik perdu ilalang. Tak pernah ia menampakkan diri di senja ataupun malam hari untuk berbaur dengan merak merak lainnya. Ia malu untuk menampakkan diri. Bulu bulunya yang berwarna jingga pucat membuat ia malu untuk menampakkan diri kepada merak merak lain yang memiliki bulu hijau zamrud dengan corak warna warni yang indah.

Sudah sejak lama merak jingga berpikir mengenai apa yang harus ia lakukan untuk berbaur dngan merak lainnya dan mendapatkan teman. Selama ini, bulunya yang berwarna jingga pucat itu hanya membuat sang merak jingga merasa sedihdan rendah diri.

“Aku berbeda dengan merak merak lain. Aku punya banyak kekurangan dan kecacatan. Siapa coba yang mau berteman dengan merak yang tidak memiliki bulu yang indah?” piker sang merak jingga terus menerus setiap hari.

Senja telah tiba. Matahari pelan pelan meredupkan sinarnya, tenggelam di balik rimbunnya hutan kayu cendana, tak jauh dari perdu ilalang di mana sang merak jingga tinggal. Burung merak jingga merasa lelah dengan kehidupan sehari harinya. Ia selalu masuk ke sangkarnya dan merebahkan tubuhnya di tanah gambut yang lembut dan sejuk setiap matahari mulai terbenam. Tak lamakemudian, ia tertidur meskipun hari belum mulai malam.

“Kenapa harus terus bersedih?”

Suara itu tiba tiba muncul di dalam kepala sang merak jingga. Burung merak jingga tersentak dari tidurnya. Ia mencari sumber suara itu dan tidak menemukan apapun. Hari belum begitu malam. Namun, karena burung merak jingga sudah merasa sangat lelah, ia melanjutkan tidurnya.

“Untuk apa kamu bersedih? Untuk apa terus mengurung diri? Untuk apa takut menunjukkan dirimu kepada dunia? Semua orang pasti akan menyambutmu jika kamu lebih percaya diri menunjukkan dirimu dan tidak lagi merasa rendah diri.”

Page 31: ITB Nyastra

30

Suara ajaib itu muncul lagi di kepala sang merak jingga. Kali ini ia benar benar terbangun dari tidurnya. Burung merak jingga berusaha melanjutkan tidurnya namun ia tak dapat tidur karena masih memikirkan suara ajaibtadi.

“Ayolah! Mainlah ke luar dan cari teman yang banyak!”

Suara ajaib itu muncul lagi mengisi kepala sang burung merak jingga. Kali ini suaranya tidak muncul di dalam tidur sang merak jingga melainkan, menyambar begitu saja di telinga sang merak jingga.

Merak jingga semakin bingung dengan apa yang sedang terjadi. Ia terus memikirkan apakahia harus mengikuti suara yang tergaung di dalam kepalanya itu atau tetap mengurung diri di balik perdu ilalang.

“Jangan takut, jangan khawatir. Percayalah kepada dirimu sendiri. Tunjukkan kepada dunia kalau kamu juga mampu bersinar seperti merak merak lain. Pergilah ke padangbulan dan carilah teman! Percayalah kalau semua orang akan menyayangimu!”

Sekali lagi suara ajaib tersebut melintas di kepala sang merak jingga. Namun kali ini ia mencoba untukberani untuk mengikuti suara yang ada di kepalanya itu, meskipun sebenarnya ia masih tidak tahu siapa yang selama ini berbicara. Ia bangun dari tidurnya, merapikan sedikit jambulnya, kemudian keluar dari balik perdu ilalang dan berjalan menuju padang bulan.

Padang bulan adalah tempat yang sangat indah. Padang tersebut diselimuti oleh rumput hijau yang terpangkas rapi membentang dari perdu ilalang sampai ke anak sungai. Tempat yang sangat tepat untuk menikmati indahnya pemandangan alam.

Saat itu langit sangat indah. Bulan purnama memancarkan sinarnya menerangi padang bulan yang damai. Angin bertiup sepoi sepoi membawa suasanya segar dan damaidi malam itu.

Katak-katak di anak sungai bernyanyi menyambut sinar bulan purnama. Jangkrik jangkrik mengalunkan suara yang indah dan berirama di balik rerumputan. Sekelompok kunang-kunang keluar dari persembunyiannya, berkerumun di padang bulan dan menari dengan bebasnya mengikuti hembusan angin. Suasana seperti ini membuat sang merak jingga ingin menari bersama para kunang kunang dengan alunan musik merdu dari para jangkrik dan katak.

Sang merak jingga menari dengan riangnya, seolah ia telah melupakan segala kesedihannya. Ia menari dengan sangat gembira di bawah sinar bulan.

Page 32: ITB Nyastra

31

Suatu keajaiban tiba. Di bawah sinar bulan purnama, bulu merak jingga yang berwarna jingga pucat terlihat sangat bersinar seperti emas. Sang merak jingga terkejut. Baru kali ini ia melihat bulunya yang pucat menjadi terlihat sangat indah. Ia terus menari di bawah sinar bulan sambil sesekali mengibaskan ekor emasnya.

“Lihat! Siapa merak yang indah itu? Bulunya berwarna emas dan menari nari di bawah sinar bulan. Alangkah anggunnya ia dan tariannya”

Merak-merak lain datang mendekat. Mereka melihat sesosok merak emas menari-nari di padang bulan. Semua terkejut karena tidak ada yang menyangka bahwa merak emas yang anggun itu ternyata adalah merak jingga yang sebelumnya selalu merasa malu akibat bulunya yang sangat jelek.

“Kau sangat pandai menari merak jingga. Warna bulumu juga terlihat sangat bagus di bawah sinar bulan purnama ini. Kami semua menyukaimu”, ucap para merak kepada merak jingga.

“Terima kasih”, jawab sang merak jingga dengan malu malu.

Keadaan mendadak hening meskipun alunan music dari para katak dan jangkrik masih terus mengalun.

Di tengah keheningan itu, sang merak jingga tiba tiba berkata kepada merak merak lainnya, “Apakah kalian mau menjadi temanku? Apakah kalian mau ikut menari bersamaku?”

Merak jingga merasa salah tingkah. Ia takut apa yang diucapkannya salah dan tidak ada yang mau berteman dengan sang merak jingga. Ia menjadi semakin malu.

Salah seekor merak menjawab dengan lantang, “Tentu saja kami mau menjadi temanmu! Tidak ada yang tidak ingin menjadi temanmu!” Merak jingga perlahan mulai tersenyum. Ia terharu mendengar ucapan merak tadi.

“Kamu saja yang selama ini tidak pernah mau ikut berbaur dengan yang lain. Jangan takut dengan kekuranganmu karena kamu pasti memiliki kelebihan lain di balik itu semua. Jangan takut untuk mencari teman yang banyak. Ayo menaribersama!”, ajak merak lainnya.

Katak dan jangkrik terus bernyanyi, begitu pula dengan kunang kunang yang terus menari. Alunan musik yang sangat merdu dan suasana padang bulan di bawah sinar purnama yang damai membuat semua merak ingin menari.

Kini sang merak jingga tak perlu takut lagi untuk berbaur dengan merak yang lain karena sekarang ia telah memiliki banyak teman. Ia melanjutkan tariannya bersama teman teman barunya hingga pagi menjelang.

Page 33: ITB Nyastra

32

Selamat Tidur

David Satya Hartato

Selamat tidur kawan Mimpi indahlah kawan Rembulan sudah datang Lekas baring ke ranjang

Selamat tidur kawan Tidurlah dengan nyaman Hingga mentari datang Tidurlah dengan tenang

Selamat tidur kawan Mimpikanlah seorang Hingga mata terbuka

Kutunggu kamu di sana

Selamat tinggal kawan Istirahatlah tenang

Hingga rembulan datang Tunggulah aku kawan

Page 34: ITB Nyastra

33

Page 35: ITB Nyastra

34

Goresan Pena Asyila

Riyani Jana Yanti

Halilintar menggelegar di langit muram. Berkilauan menembus gelap. Membelah siluet mendung yang belum tumpah. Sulur ganasnya menembus kaca-kaca, tirai, ventilasi hingga selekeh bilik. Menemani cahaya lilin yang berpendar lirih dalam sepetak kamar .

Disibakkannya tirai hitam―yang beberapa pengaitnya telah hilang― itu dengan perlahan. Semakin jelaslah kilat itu berpendar, gerakannya melesat cepat. Titik-titik air mulai nampak membasahi kaca jendela. Meluruhkan debu-debu yang telah lama bersemayam.

“Arrrggggg… Hen, please! Dua puluh tahun sudah kita hidup bersama. Seharusnya kau sudah hapal semua hal tentangku. Tentang apa yang aku sukai dan juga aku benci.”

“Kamu ini ngomong apa? Tentu saja aku hapal setiap detail hidupmu, bahkan lebih dari yang kau tahu.”

Merry memutar kursinya, menatap wajah Henry seraya mengacungkan jari telunjuk kearahnya.

“Aku ini paling takut petir, lantas kenapa kau buka tirainya? Kau tahu kan, aku ini phobia petir semenjak ayahku mati tersambar keganasannya.”

“Ya tentu, tapi kehilanganmu jauh lebih menakutkan daripada sambaran kilat sekalipun. Aku terpaksa, maafkan aku. Tak ada cara lain untuk merebut perhatianmu, Mer. Daritadi aku berkoar-koar tapi kau tetap saja tak mengindahkannya. Dengarkan aku, Mer! Kankermu bisa semakin parah kalau kau terus-terusan begadang begini. Apalagi terus-terusan di depan laptop seperti itu. Ditambah sekarang ini lagi mati lampu, tak baik bagi kesehatan matamu. Istirahatlah, aku mohon. Sudah cukup aku kehilangan Syila.”

Merry kembali memutar posisi duduk, kembali berkutat dengan layar 12 inchinya. Dengan bibir bersungut ia berkata, “ Justru itu, aku sedang membuat resep seperti yang anak kita lakukan dulu. Dia yang terus bertahan hidup ditengah-tenagh kita meski kanker otak stadium empat telah menggerogoti tubuhnya.”

“Tapi Asyila sudah mati,” lanjut Henry lagi.

Page 36: ITB Nyastra

35

“Tidak, dia masih hidup! Bahkan puluhan, ratusan dan ribuan tahun lagi.” Merry berseru dengan mata melotot sembari menutup tirai jendelanya dengan kencang,

Henry hanya menggeleng-geleng kepala. Dengan senyuman palsu ia pertahankan bulir-bulir air dari kelopaknya. Jangan sampai jatuh dan terdengar isakan itu oleh istrinya. Meski dengan suara parau ia terus membujuk istrinya untuk tidur. Nihil, seruannya ibarat angin yang hanya berlalu melewati dedaunan, tanpa mampu menggugurkan.

“Tidurlah Hen. Aku nggak apa-apa. Biarkan aku berjuang, hingga perjuangan itu menemui dua pilihan. Menyerah pada takdir ataukah takdir itu yang menyerah pada perjuangan. “

*****

Malam berlalu teramat gesit. Sisa hujan telah menyamarkan embun yang mulai meluruh. Kicauan burung seakan menina bobokan Merry yang lelah berjuang sepanjang malam. Ia yang semalaman duduk tegap, berkutat dengan laptopnya. Ia nampak tertidur pulas dengan kursi sebagai kasur, laptop sebagai bantal dan buku-buku sebagai gulingnya. Hingga ia pun tak sadar jika beberapa buku telah meluncur dari atas meja. Berserakan di lantai dengan beberapa lembarannya terlipat tumpang-tindih.

Henry terbangun, berjalan terhuyung dengan mata berkunang-kunang. Tanpa sadar, air liur masih menyeruak di sekitar bibir serta ampas mata masih menancap di tepinya. Ia hampir jatuh tersandung buku-buku yang berserakan itu. Dengan setengah sadar, iapun memungut buku itu satu-persatu.

Seketika ia terbelalak saat nama Shy terpantul jelas di sudut matanya. Ya, nama Shy yang tercantum di depan cover novel itu adalah nama pena dari Asyila, anaknya yang meninggal enam bulan lalu. Tidak hanya itu, beberapa lembar kertas yang terselip dari buku-buku itupun jatuh menyeruak. Tentu, ia tidak asing lagi dengan tulisan-tulisan itu. Itulah goresan-goresan pena Asyila saat dulu berjuang melawan kanker otak.

Belek dari matanya satu-persatu jatuh, terhanyut air mata yang mengalir deras. Ia memalingkan muka, hingga tanpa sengaja matanya terhujam pada layar monitor di depan istrinya. Ms word dengan kursor berkedip-kedip itu membuatnya dihujani rasa penasaran. Ditopang kepala istrinya itu dengan tangannya, lalu ia geser laptop itu ke tepi meja. Di-scrollnya dokumen itu ke atas, hingga judul itu terlihat jelas, “ Aku Masih Hidup”. Henry pun penasaran. Mulailah ia membaca dari halaman pertama.

Page 37: ITB Nyastra

36

Hai, apa kabar kau? Aku mohon, jawablah, “Aku baik-baik saja”. Walaupun sebenarnya aku tahu, hati kecilmu berkata “tidak”. Aku tahu, kanker mungkin telah menjahit bibirmu, hingga kau kehilangan senyum manis itu. Aku tahu, suara “kematianmu sebentar lagi…kematianmu sebentar lagi” telah merobek gendang telingamu, hingga kau tak dapat lagi mendengar kicauan indah burung-burung di pagi hari. Aku juga tahu, bayang-bayang malaikat maut telah mengaburkan pandanganmu, hingga kerlingan mata orang yang kau cintai tak terlihat indah lagi. Ya aku tahu semua tentangmu, tentang penyakitmu, karena aku pernah merasakannya.

Tapi maaf, jika kau mau bertemu langsung, minta tanda tangan atau berfoto bersama, aku tidak bisa. Karena mungkin sekarang ragaku tiada lagi di dunia. Tenanglah, itu hanya raga. Jiwaku, pikiranku, dan hatiku masih terus bersemayam abadi di dunia. Bersama Asyila, putri kesayanganku yang juga telah tiada. Hmmm, maksudku raganya, bukan jiwanya. Jiwanya masih tetap hidup bersama nama dan pemikarannya yang terus berjalan di dunia. Abadi.

Aku sangat kagum dan terinspirasi olehnya. Aku tak ingin ia berjalan sendirian dimuka bumi ini. Aku ingin menemaninya. Maksudku, bukan hanya aku, tapi juga kalian. Untuk itu, aku dedikasikan buku ini untuk kalian, seluruh penderita kanker di dunia. Melalui buku ini, aku ingin meyakinkan kalian bahwa kanker bukan penyakit mematikan. Karena kematian sesungguhnya bukan saat kalian terbunuh oleh suatu penyakit, tapi….

Belum usai Henry membacanya, Merry terbangun dan menangkap punggung tangannya yang bertengger di atas keyboard. Ia pun bergegas menutup laptop dan merapikan rambutnya yang rontok berserakan di atas meja.

“Mer, kenapa kau terus-terusan berkutat dengan laptop itu? Kau tahukan, radiasinya sangat berbahaya. Kemoterapi yang kau lakukan selama ini akan sia-sia.”

“Tidak Hen, terpapar radiasi ataupun tidak, kanker ini tetap akan membunuhku. Sebelum ia benar-benar malakukannya, aku ingin melakukan sesuatu yang bisa membuatku tetap hidup, seperti anak kita.”

“Sudahlah Mer, kamu terima saja kenyataan ini. Asyila sudah lama mati. Biarkan dia tenang di sana. Sampai kapan kamu terus-terusan menganggapnya hidup seperti ini?”

“ Dia masih hidup!”

“ Tidak Mer, dia sudah mati.”

“Raganya sudah mati, tapi jiwanya tidak. Tulisan-tulisan itu telah membuatnya terus hidup hingga kini. Namanya tidak hanya terukir di batu nisan

Page 38: ITB Nyastra

37

lalu tenggelam. Namanya tetap ada, bersama sejarah pemikirannya yang tetap hidup. Dia masih hidup. Karena menurutku, hidup atau mati bukan soal tegapnya raga.”

Merry merapikan buku-bukunya dan kertas-kertas tulisan Asyila itu. Ia beranjak dari tempat duduk seraya berkata , “ Aku mau ke penerbit. Aku harus menerbitkan tulisan ini sebelum ragaku tak dapat lagi menggapainya. Hmmm, beberapa tulisan di bukuku ini, diambil dari curhatan-curhatan Asyila di kertas-kertas itu. Kamu setuju kan, Hen?”

Henry hanya mengangguk pelan sembari menahan kepalan di tangannya. Lagi-lagi ia harus berjuang seorang diri, menahan hujan di bola mata cokelatnya. Bertahan beberapa menit sampai Merry membuka kepalan dan menyelipkan jemari di antara selanya. Sambil memeluk Henry, Merry berbisik, “ Jangan takut Hen, aku baik-baik saja.”

Page 39: ITB Nyastra

38

bertanya aku

Asra Wijaya Lubis

malam mana lagi mesti kelam

sampai hilang segala kesam

atas Tuhan kirim penderitaan

pada kaum penghayat kalam

?

Page 40: ITB Nyastra

39

Kembang Kaktus

Rama Firdaus

Sejak malam ini Aku putuskan untuk berhenti Menjadi seorang jago tembak.

Bulan sungguh putih Seputih tudung karavan

Milik tukang obat keliling.

Aku melangkah lambat Menyusur gurun

Misalkan gerobak sirkus keliling Merasa lelah dan kesepian.

O Colorado! Colorado! Aku ingat sebuah bar di jantungmu Dengan pajangan kepala menjangan

Di dinding kayunya yang kokoh.

Sejak malam ini Aku putuskan bahwa hati

Harus lapang dan sepi.

Bulan sungguh putih Lengannya terulur menyentuh Kembang kaktus yang mekar.

Angin menghimpun bisikan Rumputan dan semak liar

Dari sebuah ranch yang ditinggalkan Dengan pagar kayu yang lapuk.

O Colorado! Colorado! Aku ingat sebuah bar di jantungmu

Tempat seorang gadis penari Dengan sepucuk senapan berburu Mengintip dari rimbun matanya.

Sejak malam ini Aku putuskan untuk menjadi

Page 41: ITB Nyastra

40

Penulis roman picisan Seharga beberapa keping sen

Tentang koboi penyendiri Yang berkuda menyongsong matahari

Terbenam.

Page 42: ITB Nyastra

41

Tuhan

Asra Wijaya Lubis

Aku Dengan tanpa untuk, demi hanya

Kau

Page 43: ITB Nyastra

42

Kwek Bebek

Ikhsan S. Hadi

Bersyukurlah atas berkah bawel dari tuhan. Sebab tanpa itu kau akan mati kesepian

lalu hatimu akan keras dan kaku sayang. nyanyikan kwek, lantunkan kwek-kwek.

muntahkan kwek kwek kwek bebek bebek karet menjinakan hatimu.

Page 44: ITB Nyastra

43

Page 45: ITB Nyastra

44

Tentang Mengenang : Tingkah Manusia

Muhammad Irfan Ilmy

Ada rupa-rupa manusia yang dikenang dengan apa yang dia lakukan, dengan apa yang dia berikan dari dirinya untuk kemaslahatan. Namanya tidak lantas terlupa meskipun yang bersangkutan telah berpindah ke alam berikutnya. Hukum alam berlaku adil di sini. Bahwa yang berbuat baik akan diperlakukan baik lagi. Begitupun kebalikannya. Yang senang menebar benih benci, menyemai luka pada manusia, harus siap-siap atas balasan kelakuannya. Pedih? Menyeramkan? Itu menjadi sebuah konsekuensi.

Mau seperti apa kita dikenang?

Ada yang dikenang sebagai penulis karena kemahirannya menyampaikan kebaikan melalui kata yang dirangkai. Ada yang diingat sebagai pelukis karena kesukaannya memainkan warna di atas kanvas-kanvas. Ada yang lihai meracik komposisi nada dan suara sehingga layak diabadikan dengan sebutan musisi top dunia. Terlepas dari apa yang ditulis, apa yang dilukis, apa yang hasilkan dari bermain nada dan suara, pelakunya telah mengerahkan apa yang tersimpan dalam dirinya berupa energi dan potensi. Karya yang dihasilkan tidak ujug-ujug ada dan dapat dinikmati. Semuanya melalui tahap-tahap mencoba. Bahkan tidak mungkin dalam prosesnya beberapa kali terjadi perang antara dirinya dengan sisi lemah dalam dirinya sendiri. Seperti potensi berputus asa, peluang marah karena berhasil tak kunjung diraih, dan hal-hal yang tidak menguntungkan lain. Namun, karena tekad yang kuat, karena mimpi yang tinggi, akhirnya tujuannya berbuat, dapat didapat. Sekali lagi, semuanya tidak mudah (tapi masih mungkin).

Di lain sisi, ada pula yang dikenang untuk selanjutnya hanya dijadikan sebuah pelajaran. Fir’aun misalnya. Sosok yang angkuh, berperangai tak patut dicontoh, dan durhaka pada Tuhannya. Lantas banyak juga manusia-manusia lain yang dituliskan dalam kitab suci (Alquran) sebagai manusia yang dihindari perilakunya untuk ditiru, semisal Qarun dan manusia-manusia durhaka lainnya.

Penentuan mau dikenang seperti apa menjadi pilihan sendiri. Mau dikenang karena kebaikan, tentu harus rajin dan tulus berbuat baik—tanpa embel-embel lain selain ikhlas. Atau sebaliknya, ketika kita memilih tak segan menyakiti hati orang, membuat orang merasa risih dengan kehadiran kita (karena merasa terancam), maka bersiaplah untuk dikenang juga, tapi sebagai sosok yang dibenci, dihindari kehadiranya.

Page 46: ITB Nyastra

45

Pada akhirnya, mari kita lebih dewasa dalam berpikir dan bijak dalam bertindak! Karena dengan sendirinya pikiran kita melahirkan tindak yang nantinya menentukan kualitas kesan orang lain terhadap kita. Jangan sampai kesan yang tercipta pada benak orang tentang diri kita adalah sosok yang berbahaya.

Page 47: ITB Nyastra

46

Tuhan

Aditya Firman Ihsan

Kepada Thetis ku bertatap Kepada Uranus ku berlutut

Kepada Hypnos ku bermimpi Kepada Atena ku belajar Kepada Nyx ku berserah

Seakan semua hanya satu Dengan beragam nama

Page 48: ITB Nyastra

47

Salam Tahunan

David Satya Hartanto

Anjing Kau! Babi Kau! Jangkrik Kau! Bangsat Kau! Bajingan Kau! Brengsek Kau!

Salam damai bagimu semua. Bodat Kau! Lasu Kau! Bujang Inam Kau!

Kafir Kau! Laknat Kau!

Page 49: ITB Nyastra

48

Antara

Erwin Meilaska Dinata

Jelajah busana jodha Hanya trend saja

Besok juga sudah lupa Untuk si kaya

Produksi lembur ditempatnya

Bangker - Bangker penuh Tukang sampah kebingungan menadah

Terjajah Silam lupa ramah

Masa depan tak cerah

Berhenti Celoteh tuan bertopi Ditengah jalan sepi

Bercengkrama dengan hati mengorek wadah berharap rezeki

Page 50: ITB Nyastra

49

Sejak 17

Wahyu Ok

Sejak 17 itu Pemuda jadilah pemimpin

Pertempuran jadilah hening Ibukota yang dulu bukan

memasang matanya di keramaian telinganya mendengar pekik

tujuh huruf tiga vokal hatinya bergetar

merambah hingga dunia mengerti bahwa kulit ari tanah ini,

dibalik ledaknya nadi pribumi yang tersembunyi dalam gerilya tulus lahirkan kepanikan sejarah

yang sejak 17 itu tidak ada yang tahu

roh bambu runcing tegap berdiri membawa air mata

mengheningkan cipta..

Page 51: ITB Nyastra

50

Terakhir

Aurora Rahmani

Nafas, udara, api panas perlahan lalu membakar

berkobar dan habis seketika juga akal serta rasa yang tak berbahasa yang tersisa adalah bayang senyum itu

serta bau keringat dan warna bias makna Dan lingkaran itu berulang

sampai mata terpejam di pelukan malam Bila larik-larik cahaya menyeruak

lalu langkah kaki dan detakan jarum jam memisahkan Maka ia berkelindan mengisi udara:

Rindu

Page 52: ITB Nyastra

51

Tanpa Huruf P

Senartogok

andai saja anda sajak saya jadi sayap

bila saya bilang sayang anda jadi panda

kita setara tanpa huruf p:

pandang paku

pindah pangan

Page 53: ITB Nyastra

52

Page 54: ITB Nyastra

53

Tergesa

Rilis Eka Perkasa

Sebelum cinta kita kehabisan nafas dan lari kita terengah-engah

izinkanku dengan tergesa merangkum wajahmu sebelum ingatan mengambilnya kembali dariku dengan paksa.

Page 55: ITB Nyastra

54

Benarkah?

Rony Del Bachty

Selama ~ masa abadi pengetahuan. .

Beberapa hari ke depan. Tepat tujuhpuluh tahun,

Negeri ini merayakan kemerdekaan. .

Benarkah sudah merdeka? Siapa yang mengatakan!

Dan coba jelaskan, arti kemerdekaan.

. Selama(-lama)nya

Tanyakan pada hatimu Coba lihat sekelilingmu.

Apa benar sudah merdeka .

Selama(-lama)nya Tanyakan pada hatimu lagi

Apa yang kau rasakan saat ini. Benarkah sudah merdeka?

. Aku ragukan.

Page 56: ITB Nyastra

55

Sederhana

Kurnia Sandi Girsang

Hidup ini sederhana

Miskin tinggal kerja Bodoh tinggal belajar Lapar tinggal makan Malas tinggal gegas

Cuma setan tak sesederhana itu

Page 57: ITB Nyastra

56

Diam

Allissa Rivanni Richky

Sepi merindu dalam kalbu Suara bising bergema ria dalam benakku

Ingin kuteriakkan kata keegoisan Tapi ini mungkin proses bertumbuhnya sabar

Aku lapar akan keheningan Gairahku besar akan puasa kata dan irama

Lempar aku segera dalam sunyi Aku ingin berpeluk dengan diri

Page 58: ITB Nyastra

57

Ketika malaikat berbicara...

Riyani Jaya Yanti

Aku bisu Menghapus lebam tanpa tisu

Menuangkan bandrek tanpa susu Dalam jam-jam yang telah lesu

Malaikat Roqib terperanjak Tanpa karya dan jejak

Dalam sebelas bulan yang beranjak Menatapi buku kecil tanpa bercak

Sedang malaikat Atid meronta Memikul buku tebal penuh cerita

Dan pena kehabisan tinta Saat dosa masih bertahta Sedang aku masih buta

Aku alpa Nasehat papa kian terlupa

Malaikat Malik dekat menyapa Hingga tersudut di puncak hampa

Tapi Dia Maha Cinta Datang menghalau nestapa

Dengan lirih Malaikat Ridwan pun berkata, " Ssssst, La Tahzan ! Besok Ramadhan. "

Page 59: ITB Nyastra

58

Hikayat Purnama

Hamdi Alfansuri

Ketika purnama menjadi ibumu terpecahlah rahim pada ombak

dan tumbuhlah bakau sepanjang tepian menjerat hasrat ayahmu saat itu

Lahirlah embriomu yang berenang-renang bersama ikan pada celah-celah bakau

terperangkap, tubuhmu tumbuh dalam akar-akar dan

kakimu tertahan pada dasar

seperti batu seperti karang

Setelah sekian lama pada purnama yang sama

bulan telah melahirkan sorot-sorot lampu yang tajam kepadamu untuk menebas akar-akar yang mencengkram

bergeraklah, lepaskan kakimu peliharalah ombak

seperti datu seperti ibumu

Page 60: ITB Nyastra

59

Sudah

Rifadina Kamila Yasmin

Aku sudah lupa caranya hidup tanpa sandiwara Menjalani semua dengan lurus dan sederhana

Polos, tanpa bumbu beraneka rasa

Aku sudah lelah hidup berpura-pura Berdiri tegar layak karang, namun hampa

Tawa canda di muka, tapi luka

Namun aku tak ingin lagi lahir baru Hanya untuk dengan cerita itu lagi bertemu

Melukis kembali resah yang tiada jemu mengganggu

Aku hanya ingin berjalan terus Bertumbuh, bukan hanya menjadi baru

Sebab yang lalu terlalu berharga untuk dibiarkan berlalu

Harapan hanyalah tinggal harapan Nyatanya memang aku hanya serupa boneka

Bahkan untukmu yang katanya menjunjung kebebasan

Sudahlah Bila dengannya bisa memberi pelajaran

Aku akan hidupkan saja panggung sandiwara

Page 61: ITB Nyastra

60

Senandung Ketiadaan

Choirul Muttaqien

Untuk RS yang berkelindan tiada, Kabar senandung nenek, angin berhembus menari

Bandung-cianjur dekat menanti Mengulur sang waktu berpacu melambat Dua insan riang merajuk penuh hikmat

Entah dua entah satu Tatkala malam rembulan berdandan

Menyambut senyum manis putri priangan Jemari mengadu denting letik keindahan

Tatkala hati tertambat, bisa apa gerangan?

Es krim stawberry satu bersuap Dua insan tenang tertawa malam senyap

Page 62: ITB Nyastra

61

3 jam kebijakan sang waktu melahap kalap Pucuk jemari harus tersikap

Bergeming dag-dig-dug hujatan hati Kabut mesra sederhana menggeluti Terlalu kejam sang waktu memberi 3 jam cukup keindahan menikmati

Inikah hakikat keindahan Wahai gusti? Tak sanggup memiliki, hanya mampu menikmati

Berkelok bukit citatah muncul berujar Anggun sunyi malam bersandiwara Keturunan adam lelah bermain cinta

Jangan bermain cinta jika takut akan siksa Begitulah adam memberi contoh cinta

Memetik apel demi cinta ibu hawa “A’ ambilkan buah itu” rayu hawa Seraya adam mengambil buah cinta

Seketika turunlah ke bumi dengan berkasih mesra

“Apakah kau mau turun ke bumi?” ujar adam Hawa tersenyum pelan disertai mengunyah apel

“Kau melawan Tuhanmu demi aku, apalagi yang bisa kulakukan untukmu? Nada cinta bersemi di bumi

Bayangan hewan sendu bernyanyi Begitulah adam mengajari dua insan ini

Page 63: ITB Nyastra

62

Page 64: ITB Nyastra

63

Tentang tertawan: perasaan.

Muhammad Irfan Ilmy

Ada yang pernah (masih) kita kagumi. Siang malam mengisi mayoritas ronggarongga pikiran kita. Menyesaki ruangruang waktu kita yang senggang. Dan bahkan tak jarang dijadikan referensi atas setiap tulisan yang dihasilkan. Wajar saja. Tidak perlu terlalu terburuburu membunuh itu semua. Manusiawi. Toh itu adalah fase dalam hidup yang harus dilalui. Nanti juga ketika kita menua, pikiran mendewasa, kelakuan kita yang terkadang sering tidak masuk di akal itu hanya akan menjadi sebatas bahan tertawaan. Ternyata kita pernah selemah itu dalam menghadapi deraan perasaan yang datang dari pesona seorang lakilaki atau perempuan.

Atas itu semua, bisakah kita memaksa diri untuk lebih bijak menghadapinya? Menyalurkan energinya yang demikian luar biasa untuk sesuatu yang mendatangkan manfaat misalnya. Kagum yang hadir kita jadikan semacam motivasi untuk bisa berlaku sama sepertinya—bahkan lebih. Nah, namun hal yang disayangkan adalah terkadang kita ‘terlalu’ membuka lebarlebar keran rasa kagum kita terhadap seseorang. Padahal kan, tak pernah ada jaminan seseorang tersebut akan balik mengagumi kita. Lalu, setelah itu apa yang kita rasakan? Galau. Sakit hati. Merasa diri benarbenar tidak beruntung. Dia (yang kita kagumi) kejam karena tegateganya tidak mengagumi kita. Memang kita siapa? Di titik ini, logika kita seolaholah terkebiri oleh perasaan yang membabibuta. Namun, tentu kita sering dibius sendiri oleh kondisi demikian, sehingga kita tidak menyadarinya. Duh, manusia oh manusia. Sepertinya untuk kasus seperti ini tak pernah memandang jenjang usia.

Untuk yang sedang mengagumi, bagi yang telah mengagumi namun tidak dikagumi balik, teruntuk yang mengagumi dan disambut dengan balasan kagum saya ucapkan selamat atas itu semua. Barangkali ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil darinya. Sebuah pelajaran yang mungkin tidak tertemukan dalam lembaranlembaran buku yang kita baca, tidak terpahami hanya dari mendengarkan berbaitbait puisi. Namun, untuk sesuatu yang—di masa depan—akan mengubah pola pikir kita ini, kita harus mengalaminya, harus menjalaninya sendiri.

Page 65: ITB Nyastra

64

Gurun

Rama Firdaus

Ikutlah bersamaku, Katharina Tiada hal perlu kau takutkan

Dari gurun lapang, sepi, dan berangin

Masukilah kehidupanku Sebagai seorang penambang emas

Ledakan tubuh gurunku yang berbatu Hunjamkan sekopmu, gali aku.

Besok saat langit batuk darah Mestilah aku minggat dari sini

Tinggalkan kau, tinggalkan Kilang minyak ayahmu yang menyilaukan.

Misalkan kau tidak ikut Mengalir kau nanti sebagai San Juan

Membelah tubuh Utahku Dengan kejernihan yang teratur.

Ikutlah bersamaku, Katharina Tiada hal perlu kau takutkan

Dari gurun lapang, sepi, dan berangin: Sebab aku dan gurun satu adanya.

Page 66: ITB Nyastra

65

Soneta Android dan Pengantinnya

Kartini F. Astuti

Kita sepasang pengantin yang sibuk Bertatapan di setiap jeda hening

Bayangan dalam bola mata masing-masing Tampaknya membuat kita selalu mabuk

Kemesraan kita sampai di meja makan Tapi tidak ada ikan asin serta petai

Sebab kau lebih suka menghisap baterai Sedangkan aku terus mengunduh iklan-iklan

Kita hafal begitu banyak wajah tamu Tanpa pernah memusingkan ketukan pintu

Dan bahasa tubuh yang itu-itu melulu

Kita bangun karena notifikasi Tidur saat notifikasi telah mati

Kita mati dan tidak ada alarm bunyi

Page 67: ITB Nyastra

66

Rumah Senja

Meiya Narulita Suyasman

tok tok kuketuk pintu rumah senja kubayangkan seperti apa

isi rumah itu

kata orang rumah itu banyak anggur bergelas-gelas dan tak pernah habis

kebahagiaan mengkristal abadi

tapi ada pula yang berkata rumah tersebut dapat menjadi bara

untuk yang bernasib sial karena tersesat selama perjalanan

tok tok kuketuk lagi pintu rumah senja hingga derak pintu terdengar

daun pintu terbuka dan kulihat Kau tersenyum di baliknya