incomplete moulting larva kepiting bakau

20
PENANGGULANGAN PENYAKIT GAGAL MOLTING (INCOMPLETE MOULTING) PADA PRODUKSI BENIH KEPITING BAKAU Scylla olivacea Herbst Saldyansah Effendy*, Samsul Bahri, Sudirman, Eddy Nurcahyono Balai Budidaya Air Payau Takalar Ds. Bontoloe Kec. Galesong Selatan Kab. Takalar – 92254, Sulawesi Selatan E-mail : [email protected] Gagal molting (incomplete moulting) saat perpindahan stadia zoea ke megalopa merupakan kendala umum pada usaha perbenihan kepiting bakau Scylla olivacea Herbst. Belum diketahui secara pasti penyebab penyakit tersebut, namun diduga akibat kurangnya asupan nutrisi larva. Gagal molting dapat menyebabkan kematian masal pada pemeliharaan larva terutama pada saat masuk stadia megalopa. Pada pemeliharaan larva di hatchery kepiting BBAP Takalar, zoea dipelihara dalam 12 wadah konikal silindris warna gelap kapasitas 250 L. Padat tebar masing-masing wadah pemeliharaan adalah wadah 50 individu/L. Rotifer diberikan pada masing-masing wadah pemeliharaan dengan kepadatan 10–15 individu/mL mulai Zoea-1, sedangkan artemia yang juga telah diperkaya oleh suplemen diberikan pada Zoea-3 dengan kepadatan 0,5–3 individu/mL. Suplemen tambahan terdiri dari kombinasi vitamin A, D, E, K, dan B kompleks, asam amino konsentrasi tinggi (methionine, 16.000 mg/kg suplemen) serta elektrolit (Co, Mn, Fe, K, Na dan Zn). Suplemen tersebut diberikan melalui bioenkapsulasi pada rotifer Brachionus sp melalui perendaman selama 6 jam. Salinitas pemeliharaan berkisar 30 - 31 ppt. Pergantian air mulai hari ke-5 sebanyak 15% dan mencapai 80% saat pergantian stadia menjadi megalopa. Setelah berganti stadia, megalopa dipelihara dengan kepadatan 5 individu/L dengan pemberian artemia yang telah diperkaya meningkat menjadi 3 - 5 individu/L. Hasil pemeliharaan menunjukkan bahwa pada semua parameter pengamatan berbeda signifikan antara pemeliharaan menggunakan suplemen dan tanpa suplemen (P<0.05). Menggunakan suplemen, larva berpindah stadia ke megalopa pada hari ke-15 (30%), ke-16 (>60%) dan ke-17 (100%), sedangkan pemeliharaan tanpa suplemen mulai hari ke-17(30%), ke-18 (60%) dan ke-19 (100%). Sintasan hingga

Upload: crabers

Post on 15-Jun-2015

477 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Incomplete moulting larva kepiting bakau

PENANGGULANGAN PENYAKIT GAGAL MOLTING (INCOMPLETE MOULTING) PADA PRODUKSI BENIH KEPITING BAKAU Scylla olivacea Herbst

Saldyansah Effendy*, Samsul Bahri, Sudirman, Eddy Nurcahyono

Balai Budidaya Air Payau TakalarDs. Bontoloe Kec. Galesong Selatan Kab. Takalar – 92254, Sulawesi SelatanE-mail : [email protected]

Gagal molting (incomplete moulting) saat perpindahan stadia zoea ke megalopa merupakan kendala umum pada usaha perbenihan kepiting bakau Scylla olivacea Herbst. Belum diketahui secara pasti penyebab penyakit tersebut, namun diduga akibat kurangnya asupan nutrisi larva. Gagal molting dapat menyebabkan kematian masal pada pemeliharaan larva terutama pada saat masuk stadia megalopa.

Pada pemeliharaan larva di hatchery kepiting BBAP Takalar, zoea dipelihara dalam 12 wadah konikal silindris warna gelap kapasitas 250 L. Padat tebar masing-masing wadah pemeliharaan adalah wadah 50 individu/L. Rotifer diberikan pada masing-masing wadah pemeliharaan dengan kepadatan 10–15 individu/mL mulai Zoea-1, sedangkan artemia yang juga telah diperkaya oleh suplemen diberikan pada Zoea-3 dengan kepadatan 0,5–3 individu/mL. Suplemen tambahan terdiri dari kombinasi vitamin A, D, E, K, dan B kompleks, asam amino konsentrasi tinggi (methionine, 16.000 mg/kg suplemen) serta elektrolit (Co, Mn, Fe, K, Na dan Zn). Suplemen tersebut diberikan melalui bioenkapsulasi pada rotifer Brachionus sp melalui perendaman selama 6 jam. Salinitas pemeliharaan berkisar 30 - 31 ppt. Pergantian air mulai hari ke-5 sebanyak 15% dan mencapai 80% saat pergantian stadia menjadi megalopa. Setelah berganti stadia, megalopa dipelihara dengan kepadatan 5 individu/L dengan pemberian artemia yang telah diperkaya meningkat menjadi 3 - 5 individu/L.

Hasil pemeliharaan menunjukkan bahwa pada semua parameter pengamatan berbeda signifikan antara pemeliharaan menggunakan suplemen dan tanpa suplemen (P<0.05). Menggunakan suplemen, larva berpindah stadia ke megalopa pada hari ke-15 (30%), ke-16 (>60%) dan ke-17 (100%), sedangkan pemeliharaan tanpa suplemen mulai hari ke-17(30%), ke-18 (60%) dan ke-19 (100%). Sintasan hingga megalopa pada pemeliharaan dengan dan tanpa suplemen berturut-turut 20,57% dan 10,29%, sedangkan sintasan megalopa hingga crab-10 berturut-turut 59,80% dan 26,20%. Laju pertumbuhan mutlak pada pemeliharaan menggunakan suplemen = 0,286 mg/hari (Z-M) dan 1,569 mg/hari (M-C10), sedangkan tanpa suplemen 0,266 mg/hari (Z-M) dan 1,554 mg/hari (M-C10). Sampling terhadap prosentase gagal molting tidak terdeteksi pada pemeliharaan dengan suplemen, sedangkan tanpa suplemen dapat mencapai 15,00%. Pemberian suplemen tambahan pada larva dan pengelolaan kualitas air dapat dijadikan upaya untuk penanggulangan penyakit gagal molting, meningkatkan sintasan serta mendapatkan laju pertumbuhan yang lebih baik.

Kata kunci : gagal molting, suplemen, larva, kepiting bakau Sylla olivacea Herbst

Page 2: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Pendahuluan

Kematian larva kepiting bakau Scylla olivacea, terutama fase perpindahan stadia

dari zoea ke megalopa masih merupakan kendala bagi usaha perbenihan. Tingkat

mortalitas tersebut dapat mencapai kisaran 80 – 100% dari populasi yang dipelihara. Ciri

khas dari kematian tersebut ditandai oleh terjadinya nekrosis pada sebagian atau

keseluruhan spina dorsalis zoea serta organ tubuh lain seperti ekor dan pangkal ekor.

Selain itu, terdapat indikasi gagal melakukan ganti kulit (incomplete moulting) yang

ditandai adanya bekas karapas yang masih menempel pada tubuh larva (Hamasaki et

al., 2002; Fielder, 2003; Effendy dkk., 2005b)

Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa kematian tersebut dapat

disebabkan lingkungan yang tidak optimal serta nutrisi yang tidak tercukupi pada fase

pemeliharaan. Media pemeliharaan yang buruk dapat memicu pertumbuhan bakteri

oportunis seperti Vibrio sp dan bakteri filamen yang dapat menyebabkan terjadinya

nekrosis pada larva. Selain itu, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi memicu terjadinya

defisiensi pada larva yang dapat menyebabkan gagal berganti kulit (Effendy dkk,.

2005a, 2005b).

Nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan larva krustase adalah asam

amino dan asam lemak kelompok HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) dan PUFA

(Polyunsaturated Fatty Acid). Asam amino esensial bagi krustase adalah Arginine,

Methionine, Valin, Threonine, Isoleucine, Leucine, Lysine, Histidine, Phenylalanine dan

Tyrosine, sedangkan asam lemak esensial adalah linoleat, linolenat, eikosapentaenoat -

EPA dan docosahexaenoat - DHA (Shiau, 1989). Asam amino merupakan bahan

essensial untuk kebutuhan penyusunan struktur tubuh, pembentukan nucleic acid,

enzim, hormon, sintesa vitamin serta diperlukan bagi pertumbuhan dan perbaikan

jaringan. Asam lemak diperlukan sebagai salah satu sumber energi, pembentuk struktur

sel dan memelihara integritas biomembran. Material ini bersifat esensial dan tidak dapat

disintesa oleh tubuh larva sehingga harus diperoleh dari pakan eksogeneous (Furuichi,

1988, Shiau, 1998, Li et al., 1999).

Pakan alami yang banyak digunakan pada usaha perbenihan kepiting bakau

adalah rotifer dan artemia. Pakan alami tersebut mempunyai enzim proteolitik yang

sangat membantu proses pencernaan larva yang hanya berbentuk bakal saluran

pencernaan (digestive tube). Selain itu, rotifer dan artemia mempunyai lapisan

eksoskleton yang tipis sehingga mudah dicerna oleh larva (Walford dan Lam, 1993).

1

Page 3: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Akan tetapi, rotifer dan nauplii artemia tidak mempunyai kandungan asam amino dan

asam lemak yang dapat mencukupi kebutuhan larva rajungan (Sorgeloos et al., 1991

dalam Williams et al., 1999).

Bioenkapsulasi pakan alami merupakan alternatif peningkatan kandungan nutrisi

pakan alami. Proses tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pakan alami jenis

phytoplankton seperti Chlorella sp atau menggunakan produk komersial yang banyak

beredar di pasaran. Umumnya, bioenkapsulasi menggunakan produk komersial yang

bertujuan meningkatkan kandungan asam lemak pada larva (Karim, 1998). Berdasarkan

hasil kajian, bioenkapsulasi menggunakan asam lemak memberi kontribusi pada

peningkatan laju pertumbuhan dan sintasan zoea. Akan tetapi, harga yang relatif mahal

dan efektifitas terhadap keberhasilan menekan penyakit gagal molting merupakan

pertimbangan terhadap biaya produksi. Dengan demikian, perlu upaya untuk mengatasi

permasalahan tersebut melalui pengelolaan lingkungan dan peningkatan nutrisi larva

kepiting bakau Scylla olivacea Herbst menggunakan bahan alternatif lain.

Materi dan Metode

Zoea kepiting bakau Scylla olivacea yang digunakan diperoleh dari induk yang

sehat, organ tubuh lengkap, warna cerah dan aktif bergerak. Bobot induk yang

digunakan adalah berkisar 200 – 250 g/individu. Zoea yang dihasilkan akan dipelihara

dalam 12 buah wadah fiber warna gelap berbentuk silindris-konikal kapasitas 250 L.

Padat penebaran larva yang digunakan pada kegiatan ini adalah 50 individu/Liter.

Salinitas yang digunakan dalam pemeliharaan larva adalah 30 - 31 ppt.

Rotifer dan artemia yang digunakan pada pemeliharaan zoea diperkaya dengan

merendam dalam larutan suplemen (Permasol 500 TM - Choong and Biotech Co., LTD -

Korea) sebanyak 200 ppm. Perendaman rotifer dan artemia dalam suplemen dilakukan

selama 6 jam. Suplemen tersebut merupakan kombinasi antara multivitamin (Vitamin A,

D3, E, K3, B1, B2, B6, B12, Niacin dan Folic acid) asam amino (methionine = 16.000

g/kg) dan elektrolit dengan stabilitas tinggi (Co, Mn, Fe, K, Na, Zn dan Cal-

panthothenate).

Megalopa ditebar pada 12 wadah fiber warna gelap berbentuk silindris-konikal

(kerucut). Wadah yang digunakan kapasitas 250 L dengan kepadatan 5 ekor/L.

Substrat yang digunakan adalah waring hitam yang diletakkan pada dasar bak serta

2

Page 4: Incomplete moulting larva kepiting bakau

digantung pada kolom air untuk menghindari kanibalisme. Megalopa dipelihara hingga

berubah bentuk menjadi crablet dalam jangka waktu 8 – 10 hari. Pemeliharaan

dilakukan stadia crablet dilakukan hingga Crab -10. kemudian crablet dipindahkan pada

bak pendederan

Pergantian air dan pemberian pakan mulai stadia zoea hingga crablet dilakukan

dengan jadual sebagai berikut :

Tabel 1. Jadual pergantian air dan pemberian pakan selama pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst

Hari

Pemeliharaan

Larva

Pergantian Air Pakan

Alami

Larva

Rotifer (ind./mL)

Artemia (ind./mL)

Pakan Buatan (ppm/

hari)

Volume

(%)

Stadia

Larva

1 0 Z1 Rotifer 10-15 - -

5 15 Z2 Rotifer 10-15 - -

8 20 Z3 Rotifer & Artemia 10-15 0.5-3 -

11 30 Z4 Artemia - 1-3 -

14 50 Z5 Artemia - 3-5 5

17 100 Z-M Artemia - 3-5 5-10

19 80-100 M Artemia - 3-5 10

21 80-100 M - - 3-5 10

23 80-100 M - - 3-5 10

25 100 C - - - 20-25

Keterangan : Z1 = zoea 1, Z2 = zoea 2, Z3 = zoea 3, Z4, zoea 4, Z5 = zoea 5, M = megalopa, C = crablet

Probiotik digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri patogen yang dapat

menyebabkan kematian larva. Probiotik mulai diberikan saat stadia Z2 menggunakan

jenis Develop TM dengan dosis 3-5 ppm. Parameter yang diamati pada pemeliharaan

larva adalah panjang dan lebar karapas serta bobot larva, laju pertumbuhan mutlak,

kecepatan pergantian stadia serta sintasan. Parameter kualitas air harian yang diamati

adalah oksigen terlarut (Dissolved Oksigen – DO), ammonia, bahan organik total (BOT),

pH, suhu serta salinitas.

3

Page 5: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Hasil dan Pembahasan

Hasil yang diperoleh pada kegiatan perekayasaan ini adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Panjang dan lebar karapas serta bobot larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada pemeliharaan menggunakan dan tanpa suplemen

Hari Pemeliharaan

Larva

Teknik Pemeliharaan LarvaSuplemen Non Suplemen

Panjang (mm)

Lebar (mm)

Bobot(mg)

Stadia Larva

Panjang (mm)

Lebar (mm)

Bobot(mg)

Stadia Larva

1 0.52 0.47 0.040 Z1 0.52 0.47 0.040 Z1

2 0.52 0.47 0.040 Z1 0.52 0.47 0.040 Z1

3 0.65 0.57 0.057 Z1 0.65 0.55 0.049 Z1

4 0.75 0.61 0.073 Z2 0.70 0.57 0.055 Z1

5 0.89 0.75 0.090 Z2 0.82 0.66 0.070 Z2

6 0.96 0.75 0.155 Z2 0.85 0.70 0.150 Z2

7 0.96 0.77 0.220 Z3 0.90 0.73 0.156 Z2

8 1.01 0.87 0.250 Z3 0.96 0.77 0.215 Z3

9 1.01 0.90 0.346 Z3 0.99 0.80 0.298 Z3

10 1.02 0.98 0.403 Z4 1.00 0.90 0.321 Z3

11 1.29 1.04 0.570 Z4 1.01 0.98 0.415 Z4

12 1.31 1.10 0.760 Z4 1.21 0.99 0.500 Z4

13 1.37 1.15 1.250 Z5 1.27 1.00 0.750 Z4

14 1.76 1.40 1.830 Z5 1.39 1.13 1.100 Z5

15 1.80 1.40 2.420 30% M 1.69 1.14 2.400 Z5

16 2.59 1.90 4.620 60% M 1.75 1.38 3.860 Z5

17 2.62 1.94 5.360 100% M 2.53 1.80 4.620 30% M

18 2.66 1.95 5.360 M 2.58 1.83 4.820 60% M

19 2.80 2.44 5.380 M 2.61 2.26 4.940 100% M

20 2.83 2.78 5.400 M 2.65 2.68 5.020 M

21 2.94 3.31 5.860 M 2.69 2.95 5.080 M

22 3.00 3.53 9.933 20% C 2.75 3.25 7.980 M

23 3.13 4.12 15.600 50% C 2.81 3.73 10.860 M

24 3.20 4.41 19.700 100% C 2.89 3.93 13.890 20% C

25 3.26 4.63 23.800 C 2.97 4.26 15.700 50% C

26 3.35 5.05 27.900 C 3.15 4.47 22.710 100% C

Keterangan : Z1 = zoea 1, Z2 = zoea 2, Z3 = zoea 3, Z4, zoea 4, Z5 = zoea 5, M = megalopa, C = crablet

Gambaran tentang panjang dan lebar karapas larva serta pertambahan bobot

tubuh harian pada masing-masing teknik pemeliharaan dapat dilihat pada gambar

dibawah ini :

4

Page 6: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Gambar 1. Panjang dan lebar karapas larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada pemeliharaan dengan menggunakan suplemen

Gambar 2. Panjang dan lebar karapas larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada pemeliharaan tanpa menggunakan suplemen

5

Panjang Lebar Karapas Pada Pemeliharaan dengan Suplemen

-

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

0 5 10 15 20 25 30

Hari Pemeliharaan

Ukuran(mm)

Panjang Karapas Lebar Karapas

Panjang Lebar Karapas Pada Pemeliharaan Tanpa Suplemen

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

4.50

5.00

0 5 10 15 20 25 30

Hari Pemeliharaan

Ukuran(mm)

Panjang Karapas Lebar Karapas

Page 7: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Gambar 3. Perbandingan panjang karapas larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada masing-masing teknik pemeliharaan

Gambar 4. Perbandingan lebar karapas larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada masing-masing teknik pemeliharaan

Hasil uji-t yang dilakukan terhadap perbandingan antara panjang dan lebar

karapas pada masing-masing teknik pemeliharaan menunjukan perbedaan signifikan

(P<0,05).

6

Perbandingan Lebar Karapas Pada Pemeliharaan Masal Larva

-

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

0 5 10 15 20 25 30

Hari Pemeliharaan

Panjang(mm)

Suplemen Tanpa Suplemen

Perbandingan Panjang Karapas Pada Pemeliharaan Masal Larva

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

0 5 10 15 20 25 30

Hari Pemeliharaan

Panjang (mm)

Suplemen Tanpa Suplemen

Page 8: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Gambar 5. Perbandingan bobot larva kepiting bakau Scylla olivacea Herbst pada masing-masing teknik pemeliharaan

Hasil uji-t yang dilakukan terhadap perbandingan bobot larva pada masing-

masing teknik pemeliharaan menunjukan perbedaan signifikan (P<0,05).

Parameter yang menunjukkan tentang laju pertumbuhan larva, sintasan dan

frekuensi gagal molting dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 3. Laju pertumbuhan mutlak dan sintasan pada masing-masing teknik pemeliharaan

Parameter Teknik Pemeliharaan Keterangan

Suplemen Nonsuplemen

1. Laju Pertumbuhan Mutlak

a. Zoea - Megalopa 0.286 0.266 mg/hari

b. Megalopa - Crablet 1.569 1.554 mg/hari

2. Sintasan

a. Zoea - Megalopa 20.57 10.29 (%)

b. Megalopa - Crablet 10 59.80 26.20 (%)

3. Frekuensi Gagal Molting td 10-15 (%)

Keterangan : td = tidak terdeteksi, n = 30 individu larva

7

Bobot Larva Selama Pemeliharaan

-

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

0 5 10 15 20 25

Hari Pemeliharaan

Bobot(mg)

Suplemen Nonsuplemen

Page 9: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Hasil yang diperoleh pada kegiatan perekayasaan ini menunjukkan bahwa

pemberian suplemen pada larva menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding dengan

tanpa menggunakan suplemen. Hal ini terlihat dari parameter panjang dan lebar karapas

dan bobot larva yang menunjukkan hasil berbeda pada masing-masing teknik

pemeliharaan (P<0,005). Selain itu, laju pertumbuhan mutlak larva dan kecepatan

perpindahan stadia juga menunjukkan perbedaan yang signifikan, terutama saat

berpindah stadia menjadi megalopa.

Saat larva telah mulai bermetamorfosis menjadi megalopa, rataan panjang dan

lebar pada pemeliharaan menggunakan suplemen masing-masing adalah 1,80 dan 1,40

mm, sedangkan bobot mencapai 2,420 mg. Perpindahan ke stadia megalopa pada

teknik pemeliharaan ini mulai dicapai pada hari ke-15. Pada hari ke-16, prosentase

perpindahan menjadi megalopa mencapai kisaran 60%, sedangkan hari ke-17 semua

zoea telah berubah menjadi megalopa. Laju pertumbuhan absolut pada teknik

pemeliharaan ini mencapai 0.286 mg/hari pada stadia zoea-megalopa, sedangkan pada

megalopa-crablet berkisar 1,569 mg/hari.

Pada pemeliharaan larva tanpa suplemen, rataan panjang dan lebar larva pada

hari ke-15 masing-masing adalah 1,69 dan 1,14 mm, sedangkan bobot mencapai 2,400

mg. Perpindahan stadia ke megalopa mulai dicapai pada hari ke-17 dengan kisaran

30%. Pada hari ke-18, prosentase metamorfosis menjadi megalopa mencapai kisaran

60%, sedangkan pada hari ke-19 telah mencapai 100% megalopa. Laju pertumbuhan

absolut pada pemeliharaan tanpa suplemen mencapai 0.266 mg/hari pada stadia zoea-

megalopa, sedangkan pada megalopa-crablet berkisar 1,554 mg/hari.

Perbedaan pada parameter pertumbuhan tersebut diduga diakibat kurangnya

kualitas nutrisi larva pada pemeliharaan tanpa suplemen. Hal ini diakibatkan karena

larva hanya mendapatkan pakan alami yang hanya diperkaya dengan nutrisi Chlorella

sp. Anderson et al. (2003) menyatakan bahwa larva kepiting akan tumbuh dengan baik

jika kandungan protein pada pakan berkisar 32 - 40% dan lemak berkisar 6 - 12%.

Sintasan pada pemeliharaan tanpa suplemen berkisar 10.29% pada stadia zoea

– megalopa, sedangkan megalopa hingga Crablet-10 berkisar 26,20%. Rendahnya

sintasan diduga merupakan akibat masih terjadinya gagal molting yang berkisar 10-

15%. Nilai tersebut sangat berbeda jika dibanding dengan pemeliharaan menggunakan

suplemen dengan sintasan 20,57% (Z-M) dan 59,80 (M-C10). Prosentase dari frekuensi

gagal molting juga tidak terdeteksi pada perpindahan stadia zoea - megalopa.

8

Page 10: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Namun bila dibandingkan dengan pemeliharaan larva pada siklus sebelumnya,

maka kegiatan pemeliharaan dengan teknik yang dilakukan sekarang cenderung

memberikan hasil yang lebih baik. Pada siklus sebelumnya, panjang, lebar dan bobot

zoea masing-masing adalah 0,46 mg pada pada hari ke-15. Pada hari ke-20 baru mulai

mencapai stadia megalopa dengan kisaran 20%.

Gagal moulting pada siklus sebelumnya mulai terjadi pada hari ke-21 dengan

frekuensi mencapai 80%. Kematian masal terjadi pada hari ke-22 hingga ke-23 yang

ditandai mengendapnya bakal megalopa di dasar wadah pemeliharaan. Kematian masal

tersebut juga berasosiasi dengan tingginya kepadatan Vibrio sp yang mencapai kisaran

kepadatan 2,0 x 104 CFU/mL. Infeksi Vibrio sp juga terlihat pada nekrosis di daerah

spina dorsalis dan sebagian abdomen larva. Atmomarsono dkk (2001) menyatakan

bahwa kepadatan Vibrio sp yang mencapai 103 CFU/mL dapat menyebabkan kematian

pada larva udang windu Penaeus monodon. Dengan demikian, tingginya kepadatan

Vibrio sp diduga juga memberikan kontribusi terhadap rendahnya sintasan pada

pemeliharaan larva tersebut (Fielder, 2003; Mann dan Paterson, 2003; Effendy dkk.,

2005b).

Pemeriksaan terhadap larva yang gagal molting tersebut dilakukan di bawah

mikroskop dengan mengacu pada hasil penelitian Hamasaki et al. (2002). Hasil

pemeriksaan menunjukkan terdapat tiga tipe gagal molting, yaitu tipe A, tipe B dan tipe

C. Tipe A merupakan tipe gagal molting berat (serious abnormality) yang ditunjukkan

dengan gagalnya zoea melakukan pergantian kulit dan akan mengalami kematian

selama melakukan proses tersebut. Tipe B merupakan tipe gagal molting sedang

(partial abnormality), ditunjukkan dengan telah terlepasnya lapisan kulit terluar dari

cephalothorax, namun masih belum dapat melepaskan kulit yang berada pada bagian

cheliped, kaki jalan atau di antara keduanya. Tipe C merupakan tipe gagal molting

ringan (slightly abnormality) yang ditunjukkan dengan telah terlepasnya semua lapisan

kulit lama, namun masih belum dapat melepaskan kulit pada satu integumen atau di

cheliped. Prosentase gagal molting tipe A, B dan C pada siklus sebelumnya masing-

masing dapat mencapai kisaran 60%, 30% dan 10%.

Secara umum, keberhasilan pemeliharaan larva kepiting bakau sangat

tergantung kualitas nutrisi pada pakan larva serta pengelolaan kualitas air. Hasil kajian

Hamasaki et al. (2003) menunjukkan bahwa walaupun larva telah diberi pakan alami

yang diperkaya oleh Nannochloropsis sp dan asam lemak, namun frekuensi gagal

9

Page 11: Incomplete moulting larva kepiting bakau

molting masih mencapai 12,1 – 92,6%. Hal ini berarti bahwa nutrisi larva perlu

ditingkatkan melalui sumber-sumber lain serta pengelolaan kualitas air.

Gambar 6. Perbandingan antara larva yang molting sempurna (A) dan yang tidak molting sempurna (B). Tanda panah merupakan lapisan exuvial yang akan terlepas dari cephalothorax (pembesaran 40x).

Gambar 7. (A) Larva yang terserang nekrosis pada spina dorsalis (tanda panah) dan jamur (tanda panah putus-putus) pada pembesaran 40 x. (B) Larva yang mati pasca molting tidak sempurna. Tanda panah merupakan lapisan exuvial yang tidak terlepas dari cephalothorax (pembesaran 100x).

Selama ini, pemberian nutrisi tambahan atau bioenkpasulasi umumnya terpaku

pada penambahan asam lemak. Sementara itu, kebutuhan akan vitamin dan asam

amino pada larva juga merupakan hal mutlak yang diperlukan bagi proses ontogeni atau

perkembangan larva. Penambahan suplemen yang terdiri dari vitamin, asam amino

konsentrasi tinggi dan elektrolit merupakan salah satu alternatif bahan pengkaya pakan

alami.

Pergantian air secara rutin diduga memberikan kontribusi terhadap keberhasilan

pemeliharaan. Hasil yang serupa juga diperoleh Shelley (2003) yang menggunakan

sistem pergantian air flow through pada pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla sp.

10

A B

A B

Page 12: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Sintasan yang diperoleh dengan menggunakan sistem tersebut berkisar 40% pada

stadia zoea-megalopa. Pada kegiatan ini, pergantian air dilakukan dengan cara parsial,

yaitu melakukan siphon dan mengganti air sesuai jumlah air yang terbuang. Besaran

volume air yang terbuang disesuaikan dengan perkembangan larva. Parameter kualitas

air selama pemeliharaan adalah: suhu 28 – 31 ºC, salinitas 30 – 31 ppt, oksigen terlarut

5,2 – 5,7; ammonia 0,038 – 0,064 ppm dan BOT 30,31 – 61,70 ppm. Parameter kualitas

air tersebut masih berada dalam kisaran toleransi untuk pemeliharaan larva kepiting

bakau. Sistem pergantian air yang teratur serta penggunaan probiotik mampu menekan

laju pertumbuhan Vibrio sp hingga kisaran < 102 (Effendy dkk., 2005a).

Kesimpulan

Frekuensi gagal molting dapat ditekan melalui peningkatan nutrisi pada larva dan

pengelolaan kualitas air. Peningkatan kualitas nutrisi dapat dilakukan melalui

pengkayaan dengan asam lemak dan suplemen lain yang mengandung vitamin, asam

amino konsentrasi tinggi dan elektrolit. Pengelolaan kualitas dapat dilakukan dengan

pergantian air secara rutin menggunakan air yang steril serta penggunaan probiotik.

Persantunan

Penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuan selama kegiatan kepada

Ir. Haruna Hamal selaku Kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar, Drs. Habson

Batubara, Drh. Joko Suwiryono, Harun Al-Rasyid, Srinawati dan Hamzah di

Laboratorium Kesehatan Ikan BBAP Takalar, Syaichudin S.Ik, Hasmawati, Suarni, dan

Maqbul di Laboratorium Lingkungan Budidaya BBAP Takalar, Suriana, Abd. Kadir

Yunus dan Junaid di Laboratorium Pakan Alami BBAP Takalar, serta Jumriadi dan

Nursalam di Hatchery Kepiting BBAP Takalar.

Daftar Pustaka

Anderson, A., Peter Mather and Neil Richardson, 2003. Nutrition of the Mud Crab, Scylla serrata (Forskal) in Allan, G. and Fielder, D. 2003 (eds). Mud crab aquaculture in Australia and Southeast Asia. Proceedings of a Scoping Study and Workshop. ACIAR Working Paper No. 54.

11

Page 13: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Atmomarsono, M., Madeali, M.I., Tompo, A., Nurhidayah, Muliani. 2001. Pencegahan Penyakit Udang Windu. Diseminasi Hasil Penelitian dan Temu Konsultasi Teknologi Perikanan Pantai 29 – 31 Agustus 2001. Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros.

Effendy, S., Sudirman, Faidar, Eddy Nurcahyono., 2005a. Penggunaan Probiotik Pada Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau Scylla olivacea Herbst. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Laporan Hasil Perekayasaan.

________________________________________., 2005b. Penggunaan Rotifer dan Artemia yang Diperkaya Pada Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau Scylla olivacea Herbst. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Laporan Hasil Perekayasaan.

Fielder, D., 2003. Crab Aquaculture Scoping Study and Workshop in Allan, G. and Fielder, D. 2003 (eds). Mud crab aquaculture in Australia and Southeast Asia. Proceedings of a Scoping Study and Workshop. ACIAR Working Paper No. 54.

Furuichi, M., 1988. Dietary Requirements in Fish Nutrition And Mariculture. Jica

Textbook, The General Aquaculture Course.

Hamasaki, K., M. Agus Suprayudi, Toshio Takeuchi, 2002. Mass Mortality During Metamorphosis in the Seed Production of Mud Crab Scylla serrata (Crustacea, Decapoda, Portunidae). Fisheries Science 2002; 68: 1226-1232

Karim, M.Y., 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplius Artemia) Yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 Dalam Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata, Forskal). Program Pascasarjana IPB Bogor. Thesis.

Li, Shaojing., Zeng, C., Tang, H., Wang, G., Lin, Q., 1999. Investigations into the Reproductive and Larval Culture Biology of the Mud Crab Scylla paramamosain: A Research Review In C.P. Keenan and A. Blackshaw (eds). Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin Australia 21-24 April 1997. ACIAR – Canberra.

Mann, D., Brian Paterson, 2003. Status of Crab Seed Production and Grow-out in Queensland in Allan, G. and Fielder, D. 2003 (eds). Mud crab aquaculture in Australia and Southeast Asia. Proceedings of a Scoping Study and Workshop. ACIAR Working Paper No. 54.

Shelley, C., 2003. Development of Commercial Production Systems for Mud Crab Aquaculture in Australia: Part 1 Hatchery and Nursery in Allan, G. and Fielder, D. 2003 (eds). Mud crab aquaculture in Australia and Southeast Asia. Proceedings of a Scoping Study and Workshop. ACIAR Working Paper No. 54.

12

Page 14: Incomplete moulting larva kepiting bakau

Shiau, Shi-Yen., 1998. Nutrien Requirements of Penaeid Shrimp. Aquaculture vol. 164 p.77-94. Elsivier Science B.V., Netherland.

Walford, J., and Lam, T.J., 1993. Development of Digestive Tracts and Proteolytic Enzyme Activity in Seabass (Lates calcarifer) Larvae and Juveniles. Aquaculture, 109:187-205

Williams, G.R., Wood, J., Dalliston, B., Shelley, C.C., Kuo, C.M., 1999. Mud Crab (Scylla serrata) Megalopa larvae Exhibits High Survival Rates on Artemia-based Diets In C.P. Keenan and A. Blackshaw (eds). Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin Australia 21-24 April 1997. ACIAR – Canberra.

13