ii. tinjauan pustaka a. tongkol jagung · degradasi yang paling efisien harus dapat membebaskan ......
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TONGKOL JAGUNG
Menurut Koswara (1992), tongkol jagung merupakan tempat pembentukan
lembaga dan gudang penyimpanan makanan untuk pertumbuhan biji serta
merupakan modifikasi dari cabang yang mulai berkembang pada ruas-ruas batang.
Tongkol utama umumnya terdapat pada ruas batang keenam sampai kedelapan dari
atas dan pada ruas-ruas di bawah biasanya terdapat lima sampai tujuh tongkol yang
tidak berkembang secara sempurna. Jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol
jagung dan sisanya adalah biji dan kulit. Gambar dan proporsi jagung manis utuh
dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1.
Gambar 1. Jagung manis utuh (Sharma, 2010)
Tabel 1. Proporsi jagung manis utuh
Jagung manis Parameter Bobot (gram) Persentase (%)
Jagung utuh Tongkol Biji (kernel) Kelobot Tangkai Rambut
229 85 72 59 8 6
100 37,12 31,44 25,76 3,49 2,62
Sumber : Dalem (1990)
Menurut Maynard dan Loosli (1993), tongkol jagung terdiri dari serat kasar
sebesar 35,5%, protein 2,5%, kalsium 0,12%, fosfor 0,04% dan zat-zat lain sisanya
Rambut
Kelobot Tongkol
Biji
Tangkai
5
38,16%. Menurut Iswanto (2009), serat kasar tongkol jagung mempunyai kandungan
lignin sebesar 15%, kadar selulosa 45% dan kadar hemiselulosa 35%. Komposisi
kimia tersebut membuat tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi,
bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroba.
B. LIGNOSELULOSA
1. Selulosa
Menurut Sjostrom (1995), selulosa hampir tidak pernah ditemui dalam
keadaan murni di alam, melainkan selalu berikatan dengan bahan lain yaitu lignin
dan hemiselulosa. Serat selulosa alami terdapat di dalam dinding sel tanaman dan
material vegetatif lainnya. Selulosa mengandung komponen C sebesar 44.4%,
komponen H sebesar 6.2%, dan komponen O sebesar 49.3%. Rumus empiris
selulosa adalah (C6H10O5)n, dengan banyaknya satuan glukosa yang disebut
dengan derajat polimerisasi (DP), yang jumlahnya mencapai 1.200-10.000 dan
panjang molekul sekurang-sekurangnya 5.000 nm. Struktur molekul selulosa
dapat dilihat pada Gambar 2. Bobot molekul selulosa rata-rata sekitar 400.000.
Mikrofibril selulosa terdiri atas bagian amorf (15%) dan bagian berkristal (85%).
Struktur berkristal dan adanya lignin serta hemiselulosa di sekeliling selulosa
merupakan hambatan utama untuk menghidrolisis selulosa.
Gambar 2. Struktur molekul selulosa (Cole dan Fort, 2007)
Berdasarkan pemisahan menggunakan alkali (NaOH), selulosa dibagi
menjadi tiga jenis yaitu α-selulosa, β-selulosa dan γ-selulosa. α- selulosa dalam
keadaan basa ada dalam keadaan tidak larut, β-selulosa ada dalam bagian terlarut
melalui katalis oleh asam, dan γ-selulosa adalah bagian yang dapat larut tanpa
perlu katalis (Fengel dan Wegener, 1995).
6
Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidroglukosa
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Proses tersebut akan
menghasilkan oligosakarida, disakarida atau trisakarida seperti selobiosa, glukosa
monomer atau produk degradasinya. Produk utama degradasi selulosa adalah
glukosa dan selobiosa (Judoamidjojo et al., 1989). Hasil degradasi tersebut
selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan pembuat produk yang lebih bernilai
ekonomis seperti asam amino dan asam karboksilat.
2. Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah jenis polisakarida selulosik yang berfungsi sebagai
bahan/matrik dalam serat kayu, memiliki bobot molekul lebih kecil daripada
selulosa, molekulnya lebih mudah menyerap air, bersifat plastis dan mempunyai
permukaan kontrol antar molekul yang lebih luas dibandingkan selulosa sehingga
dapat memperbaiki ikatan antar serat pada pembuatan kertas. Unit gula (gula
anhidro) yang membentuk hemiselulosa dapat dibagi menjadi kelompok seperti
pentosa, heksosa, asam heksuronat dan deoksi-heksosa. Rantai utama
hemiselulosa dapat terdiri atas satu unit (homopolimer), misalnya xilan atau
terdiri atas dua unit atau lebih (heteropolimer), misalnya glukomanan (Fengel
dan Wegener, 1995).
Sjostrom (1995) menyatakan bahwa hemiselulosa relatif lebih mudah
dihidrolisis oleh asam menjadi komponen monomernya yang terdiri dari D-
glukosa, D-manosa, D-galaktosa, D-xilosa dan L-arabinosa dan sejumlah kecil L-
ramnosa disamping asam D-glukoronat, asam 4-O-metil-glukoronat dan asam D-
galakturonat. Menurut Fengel dan Wegener (1995) monomer-monomer tersebut,
misalnya xilosa dan manosa selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan xilitol dan manitol melalui hidrogenasi secara katalitik. Xilosa dengan
perlakuan asam dapat menghasilkan furfural yang selanjutnya dapat
dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan furfuril alkohol. Struktur
hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 3.
7
Gambar 3. Struktur hemiselulosa (Cole dan Fort, 2007)
3. Lignin
Secara morfologi lignin merupakan senyawa amorf yang terdapat dalam
lamela tengah majemuk maupun dalam dinding sekunder. Selama perkembangan
sel, lignin dimasukkan sebagai komponen terakhir di dalam dinding sel,
menembus di antara fibril-fibril sehingga memperkuat dinding sel (Fengel dan
Wegener, 1995). Lignin terbentuk melalui polimerasi tiga dimensi turunan dari
sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, koniferil dan sinapil alkohol dengan bobot
molekul mencapai 11.000. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan
terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter (Perez et al.,
2002).
Lignin dapat dibagi menjadi beberapa kelas menurut unsur-unsur
strukturnya. Lignin yang terdapat di hampir semua kayu lunak disebut dengan
lignin guaiasil di mana sebagian besar merupakan produk polimerisasi dari
koniferil alkohol. Adapun lignin khas kayu keras adalah lignin guaiasil-siringil
yang merupakan kopolimer dari koniferil dan sinapil alkohol, dengan nisbah
bervariasi dari 4:1 hingga 1:2 untuk kedua unit monomer (Sjostrom, 1995).
Satuan penyusun lignin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Satuan penyusun lignin (Eaton dan Hale, 1993)
8
Lignin bersifat tahan terhadap degradasi oleh sebagian besar mikroba.
Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang
berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari
30 persen tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan
memberikan proteksi terhadap serangga dan patogen (Orth et al., 1993). Meski
demikian, fungi tertentu mampu menguraikan lignin secara selektif.
4. Zat Ekstraktif
Beraneka ragam komponen bahan berlignoselulosa, ada beberapa
komponen yang biasanya merupakan bagian kecil, larut dalam pelarut organik
netral atau air, komponen tersebut disebut sebagai zat ekstraktif. Menurut
Sjostrom (1995), zat ekstraktif sebagian terdiri atas senyawa-senyawa tunggal
tipe lipofil maupun hidrofil. Biasanya, bagian-bagian yang berbeda dari pohon,
yaitu batang, cabang, akar, kulit kayu, dan tugi, berbeda dalam jumlah maupun
komposisi ekstraktifnya. Tipe-tipe ekstraktif yang berbeda adalah perlu untuk
mempertahankan fungsi biologis pohon yang bermacam-macam. Sebagai contoh,
lemak merupakan sumber energi sel kayu, sedangkan terpenoid-terpenoid rendah,
asam-asam resin dan senyawa-senyawa fenol melindungi kayu terhadap
kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga.
Isolasi ekstraktif dapat dilakukan dengan cara ekstraksi dengan
menggunakan campuran pelarut netral dan/atau dengan pelarut tunggal secara
berurutan. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan pelarut seperti eter,
aseton, benzena, etanol, diklorometana atau campuran dari pelarut-pelarut
tersebut (Fengel dan Wegener, 1995).
C. BIODELIGNIFIKASI
Menurut Singh dan Roymoulik (1993), biodelignifikasi merupakan bagian
dari biopulping, yaitu perombakan lignin atau senyawa-senyawa sejenisnya untuk
membebaskan serat-serat dari ikatannya dengan menggunakan mikroba seperti fungi,
bakteri atau enzim. Biodelignifikasi terjadi karena enzim-enzim ekstraseluler yang
diproduksi oleh mikroba perombak lignin pada kayu.
9
Degradasi yang paling efisien harus dapat membebaskan struktur kristal
selulosa dengan memperluas daerah amorf serta membebaskan dari lapisan lignin.
Ilustrasi degradasi komponen lignin dari bahan berlignoselulosa dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Ilustrasi degradasi komponen lignin (Mosier et al., 2005)
Secara biokimiawi, proses perombakan lignin diawali dengan pertumbuhan
fungi yang kemudian memasuki fase stasioner. Fungi secara aktif mengambil dan
memanfaatkan karbohidrat selama masa pertumbuhannya untuk mempertahankan
metabolisme primernya (fase logaritmik). Metabolisme fungi akan mengalami
penurunan jika ketersediaan nitrogen dalam substrat menjadi terbatas, miselia
memasuki fase metabolisme sekunder (fase stasioner) dan sistem degradasi lignin
dimulai (Eaton dan Hale, 1993). Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur
mempunyai kurva pertumbuhan seperti terlihat pada Gambar 6.
Fase Fase Fase Fase
Adaptasi Logaritmik Stasioner Kematian
Waktu
Gambar 6. Kurva pertumbuhan kultur mikroba (Fardiaz, 1992)
Log 1
0 dar
i Jum
lah
Sel h
idup
10
Menurut Subhash dan Gopichand (1990), proses pelapukan kayu oleh fungi
terjadi karena hifa melakukan penetrasi ke dalam jaringan kayu, kemudian enzim
yang dihasilkan bereaksi secara kimiawi dalam penyusutan kayu. Penetrasi ini terjadi
melalui dua cara, yaitu fungi tumbuh dan menyebar di dinding sel dengan cara
memanfaatkan pori-pori pada dinding sel kayu, selanjutnya enzim yang dikeluarkan
oleh fungi tersebut membantu reaksi kimia di dinding sel.
Enzim pendegradasi lignin ini secara umum terdiri dari dua kelompok utama
yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin peroksidase (LiP) dan
manganese peroksidase (MnP). Ketiga enzim ini bertanggung jawab terhadap
pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan bobot molekul
rendah pada fungi pelapuk putih. Tidak semua fungi pelapuk putih menghasilkan
ketiga jenis enzim sekaligus (Perez et al., 2002).
D. FUNGI PELAPUK PUTIH
Fungi yang menyebabkan kerusakan atau pelapukan kayu terdiri dari tiga
macam yaitu: soft rot fungi, brown rot fungi dan white rot fungi. Soft rot fungi
termasuk golongan Ascomyycetes atau fungi-imperfecti, yang memiliki kemampuan
enzimatik pelapukan kayu hanya terbatas pada selulosa dan pentosan. Soft rot fungi
terutama hanya terdapat pada daerah dengan lingkungan yang ekstrim seperti
lingkungan yang terlalu basah atau terlalu kering (Blanchette et al., 1991).
Sedangkan brown root fungi dari golongan Basidiomycetes yang memiliki
kemampuan enzimatis melapukkan kayu dengan cara menyerang holoselulosa (Eaton
dan Hale, 1993).
White rot fungi atau fungi pelapuk putih (FPP) juga termasuk golongan
Basidiomycetes tetapi berkemampuan mendegradasi lignin dan polisakarida (selulosa
dan hemiselulosa) (Eaton dan Hale, 1993). Menurut Gandjar et al. (2006),
karakteristik golongan Basidiomycetes adalah balistokonidia, hifa dikariotik, adanya
clamp conections, teliospora, dan basidium (holobasidium atau phragmobasidium).
Basidium merupakan karpus seksual pada Basidiomycetes. Tipe karpus seksual pada
Basidiomycetes dapat dilihat pada Gambar 7.
11
Gambar 7. Tipe karpus seksual pada Basidiomycetes (Gandjar et al., 2006)
Beberapa fungi pelapuk putih memiliki kemampuan mengurai lignin secara
selektif dan hanya mengurai selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah yang sedikit.
Fungi ini dapat mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibanding
mikroba lain. Substrat bagi pertumbuhan mikroba ini adalah selulosa dan
hemiselulosa. Degradasi lignin terjadi pada akhir pertumbuhan primer melalui
metabolisme sekunder dalam kondisi defisiensi nutrien seperti nitrogen, karbon atau
sulfur (Hatakka, 2001). Enzim ligninolitik yang dihasilkan oleh white rot fungi dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Enzim ligninolitik yang dihasilkan white rot fungi
Enzim Tipe Enzim Peran dalam Degradasi Bekerja sama dengan
LiP Peroksidase Degradasi unit non-fenolik
H2O2
MnP Peroksidase Degradasi unit fenolik dan nonfenolik dengan lipid
H2O2 dan Lipid
Laccase Lignin Oksidase
Oksidasi unit fenolik dan unit nonfenolik dengan mediator
O2 dan mediator : 3- Hidroksibenzotriazol
Lain-lain Oksidase Penghasil H2O2
Produksi H2O2 Peroksidase
Sumber: Hatakka (2001)
Menurut Hatakka (2001), LiP mengoksidasi unit non fenolik lignin melalui
pelepasan satu elektron dan membentuk radikal kation yang kemudian terurai secara
kimiawi. LiP dapat memutus ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan mampu membuka
cincin lignin dan reaksi lain (Gambar 8). Dalam melakukan fungsinya, baik enzim
LiP maupun MnP diaktivasi oleh H2O2.
Holobasidium (tidak berseptum)
Phragmobasidium (berseptum lebih dari satu)
12
Gambar 8. Pemotongan ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan pembentukan senyawa antara (Srebotnik et al., 1994)
MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+. Sifat reaktif Mn3+ yang tinggi
selanjutnya mengoksidasi cincin fenolik lignin menjadi radikal bebas tak stabil dan
diikuti dengan dekomposisi lignin secara spontan (Hatakka, 2001). Skema
pembentukan CO2 dari struktur aromatik lignin oleh MnP dapat dilihat pada Gambar
9.
Gambar 9. Skema pembentukan karbondioksida dari struktur aromatik lignin oleh
MnP (Hofrichter, 2002)
Laccase merupakan fenol oksidase yang mengandung tembaga yang tidak
membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Enzim ini juga ditemukan
pada fungi, khamir dan bakteri (Thurston, 1994). Laccase mereduksi O2 menjadi
: Pemutusan ikatan Cα-Cβ molekul lignin
Pembentukan veratil dehid Pembentukan veratil alkohol
13
H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal bebas
yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP.
White rot fungi menghasilkan berbagai jenis enzim yang terlibat dalam proses
degradasi lignin (Tabel 2), juga menghasilkan selulase, xilanase dan hemiselulase
(Hatakka, 2001). Berikut ini merupakan ketiga jenis fungi yang termasuk dalam
golongan white rot fungi:
1. Phanerochaete chrysosporium
Beberapa fungi, diantaranya P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin
dan berbagai polutan aromatik selama fase pertumbuhan stasioner yang dipicu
oleh kekeurangan nutrisi dalam substrat. Fungi ini menghasilkan dua
peroksidase, yaitu Lignin Peroksidase (LiP) dan Manganesse Peroksidase (MnP)
yang mempunyai peranan penting dalam proses perombakan lignin (Srebotnik et
al., 1994). Skema sistem degradasi lignin oleh P. chrysosporium dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Skema sistem degradasi lignin oleh Phanerochaete chrysosporium
(Akhtar et al., 1997)
LiP merupakan katalis utama dalam proses ligninolisis oleh fungi karena
mampu memecah unit non fenolik yang menyusun sekitar 90 persen struktur
lignin (Srebotnik et al., 1994). LiP dan MnP mempunyai mekanisme yang
14
berbeda dalam proses ligninolisis (Gambar 10). MnP mengoksidasi Mn2+
menjadi Mn3+ yang berperan dalam pemutusan unit fenolik lignin. LiP
mengkatalis oksidasi senyawa aromatik non fenolik (Broda et al., 1996).
Selain mendegradasi komponen lignin, fungi P. chrysosporium juga
menyebabkan terjadinya degradasi selulosa. Skema hidrolisis selulosa menjadi
glukosa oleh P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa oleh P. chrysosporium (Lynd et al., 2002)
Menurut Lynd et al. (2002) degradasi selulosa oleh fungi merupakan hasil
kerja sekelompok enzim selulolitik yang bekerja secara sinergis. Sistem enzim
selulolitik terdiri dari tiga kelompok utama yaitu endoglucanases, exoglucanases
dan β-glucosidases. Endoglucanases menghidrolisis secara acak bagian amorf
selulosa menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan
terbentuknya ujung rantai baru. Exoglucanases bekerja terhadap ujung pereduksi
(CHBI) dan non-pereduksi (CHBII) rantai polisakarida selulosa dan
membebaskan glukosa. Hidrolisis bagian berkristal selulosa hanya dilakukan
secara efisien oleh enzim exoglucanases. Hasil kerja sinergis endoglucanases dan
15
exoglucanases menghasilkan selobiosa. β-glucosidases memecah selobiosa
menjadi 2 molekul glukosa.
Menurut Howard et al. (2003), P. chrysosporium mempunyai suhu
pertumbuhan optimum 40 oC, pH 4-7, dan bersifat aerob. Dibandingkan dengan
lainnya, fungi pelapuk putih merupakan jenis yang paling aktif mendegradasi
lignin dan menyebabkan warna kayu lebih muda. Fungi pelapuk putih
memerlukan sumber karbon sebagai energi tambahan atau nutrisinya agar
kandungan polisakarida dalam kayu tidak didegradasi. Struktur mikroskopis
miselia P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Struktur mikroskopis miselia P. chrysosporium (Michel, 1999)
Klasifikasi fungi P. chrysosporium menurut Howard et al. (2003) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisi : Eumycota
SubDivisi : Basidiomycotania
Class : Hymonomycetes
Sub Class : Holobasidiomycetidae
Genus : Sporotrichum (Phanerochaete)
Spesies : chrysosporium
2. Pleurotus spp.
Hutan tropis Indonesia kaya akan jenis fungi (Mushroom). Keragaman
ini merupakan faktor pendorong perlunya dilakukan usaha pengidentifikasian
dari fungi-fungi yang ada, salah satunya Pleurotus spp.. Pleurotus spp.
berpotensi sebagai bahan makanan dan bahan obat. Pleurotus spp. merupakan
16
dekomposer bahan organik utama dan diketahui mempunyai daya delignifikasi
yang selektif dibanding Pleurotus chrysosporium (Kerem et al., 1992).
Terdapat lebih kurang 67 spesies kelompok Pleurotus yang berhasil
dikumpulkan dan dilaporkan oleh para peneliti seluruh dunia, sejak Roussel pada
tahun 1805 pertama kali memberi nama Pleurotus. Sampai saat ini penelitian
mengenai fungi pleurotoid kelompok Pleurotus asal Indonesia masih sangat
terbatas meskipun fungi ini sudah dikenal dan dikumpulkan serta dimanfaatkan
masyarakat untuk berbagai keperluan (Herliyana, 2008). Struktur mikroskopis
miselia Pleurotus spp. dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Struktur mikroskopis Pleurotus spp. (Michel, 1999)
Klasifikasi dari Pleurotus spp. menurut Alexopoulos et al. (1996) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisi : Eumycota
Subdivisi : Basidiomycotina
Class : Hymenomycetes
Subclass : Holobasidiomycetidae
Genus : Pleurotus
Spesies : Pleurotus spp.
Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa suhu optimum untuk
pertumbuhan Pleurotus spp. yaitu 27oC. Sedangkan Chang dan Miles (1989)
menyatakan bahwa kisaran pH optimal untuk pertumbuhan miselia Pleurotus
spp. adalah 5.5 – 6.5.
17
Sannia et al. (1991) menemukan bahwa pada fungi pelapuk putih
Pleurotus terdapat aktivitas enzim laccase. Chang dan Quimio (1982)
menyatakan bahwa selain menghasilkan enzim pendegradasi lignin, fungi
kelompok Pleurotus juga menghasilkan enzim lain, diantaranya selulase,
protease, hemiselulase, dan aminopeptidase.
3. Schizophyllum commune
S. commune merupakan jenis fungi yang keberadaannya tersebar luas di
seluruh benua (kecuali antartika) dan menggunakan kayu sebagai substrat untuk
pertumbuhannya. Jenis fungi ini merupakan jenis yang dapat dimakan dan
tergolong ke dalam keluarga Schizophyllaceae.
S. commune tumbuh pada media PDA yang telah ditambah 50 g/L NaCl
pada suhu optimumnya yaitu 30-35oC, tetapi miselia akan dorman pada suhu
45oC. Fungi dapat tumbuh baik dalam media PDA pada kisaran pH 5 – 6 (Dikin,
2004). Struktur mikroskopis miselia S. commune dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Struktur mikroskopis S. commune (Buzina et al., 2001)
Klasifikasi dari S. commune menurut Alexopoulos et al. (1996) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Division : Eumycota
Subdivision : Basidiomycotina
Class : Hymenomycetes
Subclass : Holobasidiomycetidae
Genus : Schizophyllum
Spesies : commune
18
Martawijaya (1989), mengungkapkan salah satu fungi yang dapat
merombak struktur lignoselulosa adalah fungi S. commune. Di daerah tropis, S.
commune merupakan fungi perusak kayu. Menurut Ohm et al. (2010) pada
S. commune terdapat aktivitas beberapa enzim perusak kayu antara lain lacasse
yang berperan dalam degradasi komponen lignin, akan tetapi aktivitas enzim
peroksidase tidak ditemukan. Selain itu juga ditemukan aktivitas enzim
cellobiose dehydrogenases.