ii. tinjauan pustaka 2.1 keju -...
TRANSCRIPT
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keju
The Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan keju
sebagai produk segar atau hasil pemeraman yang didapatkan dengan penirisan
sesudah terjadinya koagulasi susu segar, krim dan skim atau campurannya. Keju
adalah salah satu bahan pangan yang mempunyai daya simpan yang baik dan kaya
akan protein, lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan vitamin-vitamin lain dalam
bentuk pekat, dibandingkan dengan susu yang memiliki kandungan air yang
sangat tinggi (Daulay 1991).
Semakin berkembangnya jaman membuat permintaan konsumen terhadap
keju semakin tinggi sehingga muncul jenis-jenis keju baru dan semakin sulit
membuat definisi sederhana dari keju, sehingga Daulay (1991) menyatakan bahwa
definisi keju adalah dadih susu yang digumpalkan dengan menggunakan enzim
yang diikuti dengan pemisahan whey dari koagulan yang terbentuk untuk
menghasilkan dadih yang lebih padat dan kompak, tidak mencakup keju whey,
keju laktat, keju krim dan beberapa keju yang dibuat dengan proses-proses yang
lebih baru (Daulay,1991). Definisi tersebut tidak mencakup semua jenis keju,
sehingga Organisasi Pertanian dan Pangan (Food and Agriculture Organization /
FAO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyusun suatu pedoman umum yang
memberikan definisi keju adalah produk segar atau peram yang dihasilkan dengan
pemisahan cairan (whey) dari koagulan setelah penggumpalan susu, krim, skim,
susu mentega atau kombinasi- kombinasi diantaranya.
6
Definisi diatas tidak mencakup keju yang terbuat dari whey, oleh karena
itu definisi untuk keju whey adalah produk yang dihasilkan dengan pemekatan
atau penggumpalan whey dengan atau tanpa penambahan susu atau lemak susu.
2.1.1 Klasifikasi Keju
Semakin tingginya permintaan masyarakat akan keju maka akan
berbanding lurus dengan banyaknya keju yang dijual dipasaran dengan proses
pengolahan dan karakteristik yang berbeda-beda. Menurut Nelson dan Trout
(1951), keragaman jenis keju tergantung pada (a) bahan dasar yang digunakan, (b)
metoda koagulasi susu, (c) kadar whey dalam dadih, (d) dilakukannya pemeraman
atau tidak, dan (e) metoda pemeraman yang digunakan.
Daulay (1991) menyatakan bahwa perbedaan jenis bahan baku keju,
metoda pengolahan, dan lama pemeraman akan menghasilkan penampakan
produk akhir yang berbeda. Daulay (1991), mengklasifikasi jenis keju
berdasarkan klasifikasi keju berdasarkan kandungan lemaknya yang dapat dilihat
pada Tabel 1, dan berdasarkan kadar air dan jenis mikroba yang berperan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Klasifikasi Keju Berdasarkan Kandungan Lemaknya
Tipe Keju % Lemak (b.k) Deskripsi Kelas
Sangat Keras 60 Keju berlemak tinggi
Keras 45 – 60 Keju susu berlemak
Berlemak Sedang 25 – 45 Keju berlemak sedang
Semi-lemak 10 – 25 Keju berlemak rendah
Soft 10 Keju susu skim
Sumber : Daulay (1991)
7
Tabel 2. Klasifikasi Keju Berdasarkan Kadar Air dan Jenis Mikroba yang
Berperan
Tipe Keju Kadar
air (%)
Karakteristik
Pemeraman
Contoh Keju
Sangat keras 26 – 35 Dengan bakteri Keju permesan
Keras 35 – 45 Dengan bakteri tekstur
tertutup
Dengan bakteri tekstur
terbuka
Keju Cheddar dan
Cheshire
Keju Swiss dan
Emmentaler
Semi keras 41 – 52 Dengan bakteri
Dengan kapang
Keju Edam, Brick
Keju Roquefort
Semi lunak 45 – 55 Dengan bakteri Keju Limburger
Lunak 55 – 80 Dengan kapang
Tanpa pemeraman
Keju Camembert
Keju Cottage
Sumber : Daulay (1991)
Pengelompokan keju berdasarkan kadar air dapat menentukan konsistensi
dan kekompakan keju, sehingga memudahkan dalam mengelompokan keju yang
memiliki karakteristik serupa. Perbedaaan keju keras dan keju lunak terletak pada
persentase kadar air. Istilah keju lunak digunakan untuk mendeskripsikan keju
yang terasa lunak ketika disentuh dan dapat dengan mudah ditekan oleh jari,
sedangkan istilah keju keras digunakan untuk mendeskripsikan keju yang kaku
dan membutuhkan tekanan tertentu untuk dapat membaginya menjadi beberapa
bagian (Farkye 2004).
Secara sederhana, Winarno (1993) mengelompokkan beberapa jenis keju
sebagai berikut:
a). Keju yang tidak mengalami pemeraman (unripened cheese), yaitu keju yang
langsung dapat dimakan segera setelah selesai dibuat. Contohnya cottage
cheese (80% kadar air), cream cheese (65% kadar air).
b). Keju lunak yang diperam (soft ripened cheese). Contohnya yang terkenal
adalah Limberger yang baunya menusuk hidung, Cambert, dan Brie. Semuanya
8
mempunyai kadar air sekitar 50%. Ketiganya diperam dengan penambahan
mikroba pada bagian permukaan. Limberger dengan menggunakan ragi dan
bakteri, sedangkan dua lainnya dengan kapang putih hijau dan jenis bakteri
tertentu.
c). Keju semi lunak dan terperam (semi soft ripened cheese). Jenis keju ini
mempunyai kadar air 35-45%. Jenis keju ini antara lain adalah Bel Paese,
Brick, dan Muenster yang diperam dengan pertolongan bakteri. Roquefort,
Giogonzola, dan Tilton adalah jenis keju yang diperam dengan pertolongan
kapang biru dan bakteri. Rasanya yang unik diakibatkan oleh pemecahan asam
lemak (kaproat, kaprilat, dan kaprat).
d). Keju keras dan terperam (hard ripened cheese). Biasanya diperam dengan
pertolongan bakteri, misalnya Cheddar, Edam, Gouda, Gruyere, dan Swiss.
Adanya lubang- lubang pada keju Swiss disebabkan karena terbentuknya gas
oleh bakteri selama proses pemeraman. Keju-keju yang sangat keras, seperti
Sop Sogo dan Romano, memiliki kadar air yang sangat rendah.
2.2 Jenis – Jenis Keju
2.2.1 Keju Cheddar
Keju Cheddar adalah keju yang berasal dari sebuah desa bernama Cheddar
di Inggris. Keju ini termasuk keju keras dengan kadar air 35-45% dan
karakteristik pemeramannya yaitu dengan bakteri dan tekstur tertutup (tanpa
lubang) (Galloway & Grawford,1986). Menurut Nelson dan Trout (1951), keju
Cheddar dibuat dari susu segar atau susu pasteurisasi dengan penambahan
9
sejumlah kecil kultur bakteri asam laktat. Pembentukan dadih umumnya
dilakukan dengan menggunakan koagulan rennet yang diikuti dengan pemanasan
dadih. Keju Cheddar memiliki karakteristik khas yang disebabkan oleh adanya
proses “cheddaring” dalam pembuatannya (Kosikowski,1982). Menurut National
Dairy Council (1967), proses “cheddaring” adalah proses dimana dadih yang
telah masak dan dibuang sebagian airnya, dipotong-potong, ditimbun dan dibalik-
balik berulang-ulang hingga terbentuk suatu ‘anyaman’ dari dadih dan hampir
seluruh whey yang tersisa terkuras dari dadih.
Keju Cheddar merupakan jenis dari keju keras yang sangat populer dan
banyak diproduksi. Proses pembuatannya mirip dengan keju keras lainnya, hanya
hal yang perlu diperhatikan adalah perbandingan lemak dan kasein harus berkisar
antara 1:0.68 - 1:0.72, sedangkan jenis kultur yang sering digunakan, yaitu
Streptococcus lactis, Streptococcus cremoris, Lactobacillus casei, dan beberapa
kultur lainnnya (Sa’id,1987).
Keju Cheddar merupakan sumber vitamin B12. Satu potong keju Cheddar
(40g) mengandung 0.5 µg vitamin B12 (kebutuhan vitamin B12 orang dewasa per
hari adalah 2.4 µg). Keju Cheddar olahan menurut SNI 01-2980-1992 adalah
produk berupa padatan plastis yang diperoleh melalui pengolahan keju Cheddar
dengan penambahan pengemulsi dan pemanasan dengan atau penambahan bahan
tambahan makanan lain yang diizinkan. Berikut komposisi gizi keju Cheddar
dapat dilihat pada Tabel 3.
10
Tabel 3. Komposisi Keju Cheddar dalam 100 Gram Bahan
Kadar Air (%) 37,5
Lemak (%) 32,8
Protein (%) 24,2
Abu (%) 1,9
Garam (%) 1,5
Sumber : Buckle et al. (1987)
2.2.2 Keju Mozarella
Keju Mozarella merupakan salah satu jenis keju pasta filata dan
merupakan keju asli Italia. Cara pembuatannya dengan pemasakan dan pemuluran
curd dalam bak air panas, sehingga mempunyai karakteristik struktur berserabut,
dengan daya leleh dan kemuluran yang tinggi.
Walstra et al. (1999) menyatakan bahwa keju Mozzarella mempunyai
kadar lemak dalam bahan kering 35 - 45 %, air 52 - 56 % dan garam sekitar 1 %.
Menurut Fox et al. (2000) keju Mozzarella memiliki komposisi yang terdiri atas
bahan kering 46 %, lemak 18,0 %, protein 22,1 %, garam 0,7 %, dan abu 2,3 % ,
serta pH 5,2.
Stefanini (1991) juga menyatakan bahwa US Federal Standards of Identity
telah menetapkan batas maksimum kadar air keju Mozzarella yang diperbolehkan
sebesar 52%. Hal ini berarti terdapat harmonisasi penetapan standar kualitas keju
Mozzarella secara internasional. Standar keju Mozzarella menurut USDA (2005)
adalah sebagai berikut: memiliki kandungan air 52,0-60,0%; lemak 10,8 %; garam
1,2%; pH 5,3; citarasa: A mild pleasing flavor; bodi dan teksturnya smooth,
pliable, dan tanpa lubang; pada kenampakan tidak ada tandatanda dicetak; warna
putih alami hingga krem muda; pengujian pada suhu 232 oC keju dapat meleleh
11
dengan sempurna; dan memiliki karakteristik kemuluran 3 inci. Menurut
McMahon (2007) keju Mozzarella memiliki kandungan air 46,0%; lemak 23,0%,
lemak dalam bahan kering 43,0%; kadar garam 1,2%; dan pH berkisar 5,1-5,4.
2.2.3 Cream Cheese
Cream cheese atau yang biasa disebut krim keju adalah keju yang tidak
mengalami pemeraman yang memiliki tekstur yang lembut, ringan, bewarna
putih, sedikit asam dengan rasa diacetyl. Biasanya dibuat dengan proses
pembekuan krim atau pencampuran susu dan krim dengan proses pengasaman
dengan kultur starter dan bisa dikonsumsi setelah proses pembuatan tersebut
selesai (Guinee et al., 1993). Cream cheese adalah produk keju lembut terpopuler
di Amerika Utara. Cream cheese biasanya digunakan untuk olesan donat,
tambahan untuk salad, dan sebagai bahan untuk berbagai jenis dessert seperti
cheesecake. Meski sudah banyak dilakukan penelitian khusus tentang cream
Cheese, hanya sedikit hasil penelitian yang dipublikasikan, kebanyakan
informasinya disimpan khusus oleh para perusahaan makanan.
Sama dengan keju lainnya, kandungan gizi pada cream cheese sangat
banyak. Dalam 100 gram cream cheese mengandung kalori sebesar 195 kkal,
lema sebesar 28,6 gram yang terdiri dari lemak jenuh, lemak tak jenuh ganda,
lemak tak jenuh tunggal, dan kolesterol. Total protein dan karbohidrat yang
terkandung dalam 100 gram cream cheese sebanyak 7,1 gram dan 3,5 gram.
Selain kandungan gizi diatas, kandungan gizi lainnya yang terdapat pada cream
cheese adalah vitamin A, vitamin B, vitamin D, kalsium fosfor, protein,
12
lemak,dan riboflavin (Anonimb,2016). Untuk lebih lengkapnya, kandungan gizi
pada cream cheese dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Gizi Cream Cheese per 100 Gram
Per porsi
Kilojoule 1234 kj
Kalori 295 kkal
Lemak 28,6 g
Lemak Jenuh 18,02 g
Lemak tak Jenuh Ganda 1,033 g
Lemak tak Jenuh Tunggal 1,033 g
Kolesterol 90 mg
Protein 7,1 g
Karbohidrat 3,5 g
Serat 0 g
Gula 3,5 g
Sodium 673 mg
Kalium 112 mg
(Sumber:Anonimb, 2016)
2.3 Standar Mutu Keju
Selain harus bergizi dan menarik, pangan juga harus bebas dari bahan-
bahan berbahaya berupa cemaran kimia, mikroba dan bahan lainnya. Mikroba
dapat mencemari pangan melalui air, debu, udara, tanah, alat-alat pengolah
(selama proses produksi atau penyiapan) juga sekresi dari usus manusia atau
hewan. Penyakit akibat pangan (food borne diseases) yang terjadi segera setelah
mengkonsumsi pangan, umumnya disebut dengan keracunan. Pangan dapat
menjadi beracun karena telah terkontaminasi oleh bakteri patogen yang kemudian
dapat tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan, sehingga mampu
memproduksi toksin yang dapat membahayakan manusia.
Nilai batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan terdapat dalam
Standar Nasional Indonesia SNI 7388:2009. Batas cemaran mikroorganisme yang
13
tercantum dalam standar mutu mikrobiologi pada keju yang terdapat dalam
Standar Nasional Indonesia SNI 7388:2009 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan
No.Kategori
Pangan
Kategori Pangan Jenis Cemaran
Mikroba
Batas Maksimum
01.6 Keju dan keju
analog
Keju (semua jenis) E. coli
Salmonella sp.
Staphylococcus aureus
L. monocytogenes
10/g
Negatif / 25 g
1 x 102 koloni/g
negatif /25 g
(Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2009)
Mikroorganisme yang menjadi parameter dalam Standar Nasional
Indonesia 7388:2009 adalah L. monocytogenes, S. aureus, Salmonella sp., dan
E. coli. Penetapan mikroorganisme - mikroorganisme tersebut sebagai indikator
keamanan produk keju karena mikroorganisme tersebut termasuk mikroorganisme
patogen. Bakteri patogen mempunyai patogenitas, yaitu kemampuan organisme
untuk menimbulkan penyakit tertentu (Pelczar dan Chan, 2007). Mikroorganisme-
mikroorganisme tersebut menjadi indikator keamanan pangan karena dapat
menyebabkan keracunan makanan melalui intoksikasi, serta dapat menyebabkan
infeksi pada manusia. Bakteri paling umum yang menyebabkan infeksi melalui
makanan adalah Salmonella dan E. coli.
E. coli digunakan sebagai indikator yang dapat dipercaya terhadap
kontaminasi feses dan kemungkinan adanya mikroorganisme enteropatogenik dan
toksigenik sehingga E. coli dikenal sebagai agen penyebab diare dan penyakit-
penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne illness) (Altalhi dan
Hassan 2009). Salmonella merupakan bakteri berbentuk batang yang dapat
14
menyebabkan tifus. Salmonella tumbuh baik pada pangan berasam rendah
(Nurwantoro dan Djarijah, 1997). Bakteri ini bukan indikator sanitasi, melainkan
sebagai indikator keamanan pangan, karena Salmonella bersifat patogen maka
dengan keberadaan bakteri ini dalam makanan dapat dianggap membahayakan
kesehatan. Oleh karena itu, SNI makanan siap santap mensyaratkan tidak ada
Salmonella dalam 25 gram sampel makanan.
Menurut Ueda et al (2006) sebagian besar infeksi L. monocytogenes
bersumber dari makanan yang terkontaminasi. Bakteri ini tersebar luas di alam
dan berhubungan dengan tanah, tanaman atau feses hewan dan selalu ada dalam
lingkungan processing makanan terutama pada berbagai jenis susu dan produk
susu yang sering dihubungkan dengan lingkungan peternakan sapi perah. Bakteri
ini dijadikan indikator keamanan pangan karena L. monocytogenes merupakan
spesies yang paling banyak menyebabkan listeriosis pada manusia. Listeriosis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh mengonsumsi makanan yang tercemar
bakteri L. monocytogenes.
a. Escherichia coli
Sebagai mikroorganisme patogen, E. coli sangat terkenal karena dapat
menyebabkan penyakit saluran cerna manusia. Menurut WHO (2005), bakteri
E.coli adalah salah satu bakteri indikator untuk menilai pelaksanaan sanitasi
makanan. E. coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, dan tidak
membentuk spora (Fardiaz, 1992). Ukuran sel dari bakteri E. coli biasanya
berukuran panjang 2,0 – 6,0 μm dan lebar 1,1 – 1,5 μm dengan bentuk sel bulat
dan cenderung ke batang panjang (Melliawati, 2009)
15
E. coli memiliki kondisi optimum untuk pertumbuhannya yaitu dapat
tumbuh pada suhu antara 10ºC - 40ºC dengan suhu optimum pertumbuhannya
pada 37ºC dan mati pada suhu 60ºC selama 30 menit. Bakteri ini sangat sensitif
terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi. pH untuk
pertumbuhan E. coli adalah 4,0 – 9,0 dan pH optimum untuk pertumbuhannya
berkisar 7,0 – 7,5. Aw minimum untuk pertumbuhan bakteri ini adalah 0,96
(Supardi dan Sukamto,1999). E. coli dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. E. coli
(Sumber : http://tgp.com.ph/, 2015)
E. coli diklasifikasikan berdasarkan ciri khas dari sifat-sifat virulensinya
dan seberapa besar setiap grup dapat menimbulkan penyakit melalui mekanisme
yang berbeda. Salah satunya Enterohemoragik E. coli (EHEC) atau yang dikenal
juga sebagai Verocytotoxigenic E. coli (VTEC) merupakan salah satu bakteri usus
bersifat patogen yang dapat menyebabkan diare hemolitic uremic syndrome
(HUS). E. coli ini berbahaya karena dapat menghasilkan dua toksin shiga like
toxin (SLT) sekaligus. Toksin pertama disebut SLT-I (VT-1) dan yang kedua
SLT-II (VT-2). Toksin ini membunuh sel dengan memecah adenine dari RNA
ribosom pada tempat dimana terjadi pemanjangan perlekatan aminoasil t-RNA
dan akhirnya terjadi hambatan sintesis protein dan kematian sel. EHEC melekat
16
pada sel usus dan menghasilkan lesi yang menyerupai lesi yang terlihat pada
EPEC. Serotype yang paling sering menyebabkan hemolitic uremic syndrome
(HUS) adalah E. coli 0157 : H7.
Sumber utama infeksi bakteri ini adalah makanan mentah, makanan yang
kurang matang dan kontaminasi silang, yaitu apabila makanan yang sudah
dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan yang terkontaminasi
(misalnya alas pemotong). Karena itu, pemasakan dengan benar dan penanganan
makanan secara higienis dapat mencegah meluasnya infeksi enterobacteria.
b. Listeria monocytogenes
L. monocytogenes merupakan bakteri berbentuk batang rantai pendek,
kadang ditemukan dalam bentuk tidak beraturan, bentuk Y ataupun kokus
(Allerberger 2002). Menurut Anonimc (2005), bentuk L. monocytogenes yang
kadang ditemukan seperti bentuk kokus tersebut dapat menyerupai Streptococcus
spp, dan bentuk sel yang kadang tampak memanjang dapat dikelirukan dengan
Corynebacterium spp.
Bakteri ini berukuran kecil (1,0-2,0 µm x 0,5 µm), Gram-positif, tidak
berspora dan merupakan bakteri patogen intraseluler yang dapat ditemukan dalam
monosit dan netrofil (Donnelly 2001) serta dalam lekosit susu tercemar (Doyle et
al., 1987). Flagela peritrikus merupakan alat gerak L. monocytogenes yang
dihasilkan pada suhu 20 – 25 oC. Bakteri tersebut tidak menghasilkan flagela pada
suhu 37 oC. Filamen-aktin (F-aktin), yang merupakan alat gerak yang tumbuh
pada salah satu ujung bakteri, berpengaruh terhadap keganasan bakteri ini ketika
17
menyerang sel induk semang (Anonimc, 2005). L. monocytogenes tumbuh pada
Aw berkisar antara 0,90–0,93. L. monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. L. monocytogenes (Sumber: Todar, 2005)
Pada suhu 4oC dengan kandungan zat besi, L. monocytogenes masih dapat
tumbuh (Fraizer and Westhoof,1988). Pada suhu tersebut menurut Moltz dan
Martin (2005) bakteri tersebut mampu membentuk biofilm yang membuat bakteri
didalamnya menjadi lebih resisten terhadap sanitizer. Bakteri ini mati pada suhu
pasteurisasi, sehingga jika masih bisa didapatkan pada susu yang telah
dipasteurisasi menandakan adanya kesalahan penanganan saat ataupun pasca
pasteurisasi (Fraizer dan Westhoof, 1988).
Bakteri ini disebut bakteri psikrofilik yaitu bakteri yang menyukai suhu
dingin untuk pertumbuhannya, karena memiliki membran sel yang mempunyai
kondisi yang baik pada suhu dingin. Menurut Ray (2001), sifat patogen
L. monocytogenes disebabkan karena kemampuan bakteri ini untuk tumbuh pada
berbagai jenis makanan dan mampu bertahan hidup pada suhu dingin dengan
kisaran suhu antara 1-44oC. Selain itu juga kemampuan hidup secara intraseluler,
sehingga menyulitkan dalam pengobatan atau saat pasteurisasi produk susu.
Sehingga akan membutuhkan suhu yang lebih tinggi atau waktu yang lebih lama.
18
Faktor virulensi bakteri ini adalah adanya hemolisin yang spesifik yaitu
Listeriosin O. Toksin ini diproduksi saat mikroba ini tumbuh secara eksponensial.
Toksin dapat juga diproduksi saat pertumbuhan mikroba secara intraseluler. Dosis
infektif bakteri ini sejumlah 100- 1000 sel, terutama terhadap individu yang
sangat rentan. Menurut Doyle et al. (1987), dengan kemampuan hidup di dalam
sel leukosit itulah yang menyebabkan L. monocytogenes menjadi lebih resisten
terhadap suhu pasteurisasi (High Temperature Short Time) seperti yang
dipersyaratkan oleh United States Food and Drug Administration (USFDA), yaitu
71.5oC selama 15 detik. Menurut Bonnet dan Montville (2005) bakteri ini dapat
terinduksi menjadi bakteri yang resisten terhadap nisin jika dibiakkan bersama
dengan bakteri yang memproduksi nisin dalam satu sistem fermentasi yang sama.
Sehingga harus diperhatikan keamanan pangan pada bahan makanan yang
difermentasi dengan kultur yang memproduksi bakteriosin.
Selain itu, beberapa sifat dari L. monocytogenes seperti tahan terhadap pH
rendah (sampai pH 4,4), tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi, dan
kemampuan untuk tumbuh pada suhu dingin memungkinkan bakteri ini dapat
bertahan hidup selama proses pembuatan keju dan pada proses pemeraman keju
(Lomonaco et al., 2009).
Penyakit yang diakibatkan oleh L. monocytogenes disebut listeriosis.
L. monocytogenes merupakan spesies yang paling banyak menyebabkan listeriosis
pada manusia. Listeriosis pada manusia tidak ditandai dengan serangkaian gejala
yang unik karena penyakit yang timbul tergantung status dan kondisi pertahanan
tubuh inangnya. Wanita hamil yang terkena penyakit listeriosis tidak
19
memperlihatkan gejala serius, jika ada hanya gejala influenza. Akibat yang timbul
apabila wanita hamil mengalami listeriosis adalah keguguran, lahir premature
atau lahir mati (still birth). Jika bayi yang baru lahir terinfeksi saat persalinan,
gejala listeriosis pada umumnya adalah meningitis yang dimulai saat bayi berusia
1 – 4 minggu (Fadhilah dkk., 2014).
Pada anak-anak, orang tua dan orang dewasa dengan sistem kekebalan
yang lemah, bakteri dapat menyerang sistem syaraf pusat dan masuk dalam
sirkulasi darah, menyebabkan pneumonia. Abses atau lesi pada kulit juga dapat
terlihat. Gejala klinis tersebut tergantung pada umur manusia, kondisi kesehatan
dan strain bakteri yang menginfeksi (CDC, 2010).
c. Salmonella sp.
Salmonella (Enterobacteriaceae) merupakan bakteri gram negatif
berbentuk batang langsing (0.7- 1.5 x 2-5 µm), fakultatif anaerobik, uji oksidase
negatif, dan uji katalase positif. Sebagian besar strain Salmonella bersifat motil
dan memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam (Cox, 2000).
Salmonella merupakan bakteri mesofilik, dengan suhu pertumbuhan optimum
antara 35 - 37°C, tetap dapat tumbuh pada range 5 - 46°C, Salmonella sensitif
pada pH rendah (lebih kecil atau sama dengan 4,5) dan tidak berbiak pada Aw
0,94 khususnya jika dikombinasikan dengan pH 5,5 atau kurang. Salmonella
dapat bertahan pada pembekuan dan bentuk kering dalam waktu yang lama.
Salmonella mampu berbiak pada berbagai makanan tanpa mempengaruhi
tampilan kualitasnya (Ray,2001). Salmonella secara alami hidup di saluran
20
gastrointestinal hewan baik yang terdomestikasi maupun liar. Bentuk dari
Salmonella dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Salmonella
(Sumber : Wales, 2012)
Dosis infektif Salmonella bila terdapat lebih dari 100 sel bakteri. Apabila
kurang dari itu, bakteri akan mati oleh asam lambung dan tidak akan
menimbulkan penyakit (Arifah, 2010). Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella
adalah Salmonellosis. Salmonella sp. menyebabkan jutaan kasus penyakit
salmonellosis pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi
yang signifikan di seluruh dunia (Nogrady et al., 2008). Salmonellosis adalah
penyakit menular yang dapat menyerang hewan ataupun manusia. Salmonellosis
pada kasus hewan bertindak sebagai pembawa penyakit. Manusia dapat bertindak
sebagai pembawa penyakit setelah terinfeksi dan menyebarkannya melalui feces
untuk waktu yang cukup lama. Selain itu Salmonella dapat juga diisolasi dari
tanah, air, dan sampah yang terkontaminasi feces (Ray,2001).
2.4 Kerusakan Yang Terdapat Pada Keju dan Cara Pencegahanya
Susu dan produk turunanya merupakan bahan pangan yang kaya akan
nutrisi, oleh karena itu bahan pangan tersebut juga mempunyai sifat mudah rusak
terutama akibat mikroorganisme patogen. Kerusakan pangan atau kemunduran
21
mutu pangan dapat didefinisikan sebagai pangan yang telah rusak sehingga
pangan tersebut menjadi tidak diinginkan oleh manusia (konsumen).
Keju merupakan salah satu produk turunan susu yang memiliki kadar air
yang relative tinggi, oleh karena itu keju rawan terkontaminasi oleh
mikroorganisme patogen. Selain mengalami kerusakan akibat mikroorganisme
patogen, kerusakan pangan tersebut dapat disebabkan oleh kerusakan insekta, luka
atau memar secara fisik, aktivitas enzim, dan mikroorganisme (Rahmawati, 2010).
Kontaminasi pada produk susu dapat terjadi baik selama penyimpanan
ataupun selama proses pembuatan. Selama penyimpanan parameter-parameter
mutu (kandungan kimia, mikrobiologis dan organoleptik) akan berubah oleh
adanya pengaruh lingkungan misalnya suhu, kelembaban dan tekanan udara atau
komposisi bahan makanan itu sendiri. Suhu penyimpanan produk bahan pangan
akan mempengaruhi jenis bakteri yang mungkin berkembang dan menyebabkan
kerusakan. Suhu rendah sering digunakan untuk memperlambat kecepatan
perkembangbiakan bakteri (Buckle et al., 1987).
Penyimpanan suatu bahan merupakan salah satu upaya agar produk dapat
dinikmati oleh konsumen sebelum terjadi kerusakan, sehingga selama
penyimpanan harus selalu diusahakan agar produk tidak mengalami penurunan
mutu yang besar. Kelembaban dan suhu ruang merupakan faktor yang sangat
berpengaruh dalam proses penyimpanan. Kelembaban sangat berperan dalam
menentukan mutu bahan dan proses kerusakan selama penyimpanan.
Kadar air suatu bahan akan meningkat jika disimpan dalam ruangan
dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan membantu
22
pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan terjadinya penurunan mutu
produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air dari udara atau
melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan tekanan uap air
udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kadar air
tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan tersebut. Kelembaban
udara ruang peyimpanan berhubungan dengan aktivitas air suatu bahan yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Pendinginan dapat
memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme, karena itu penyimpanan
bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup dari jaringan-
jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini disebabkan bukan hanya karena keaktifan
resporasi menurun, tetapi juga karena pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan
dan kerusakan dapat dihambat (Winarno et al., 1980).
Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau
mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis atau pertumbuhan mikroba.
Semakin rendah suhu semakin lambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah
dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) penyimpanan sejuk (cellar storage); (2)
pendinginan dan (3) penyimpanan beku (Winarno dan Jenie,1983). Penyimpanan
sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah suhu kamar dan tidak lebih
rendah dari 15 oC (Winarno dan Jenie, 1983).
Kerusakan lainnya yang sering terdapat pada keju yaitu adanya perubahan
rasa menjadi asam, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembentuk asam,
terutama bakteri asam laktat dan bakteri E. coli. Pertumbuhan mikroba
dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan diantaranya adalah suhu, pH,
23
aktivitas air, adanya oksigen dan tersedianya zat makanan. Oleh karena itu,
kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan mengubah faktor
lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan
maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan
mikroba (Frazier dan Westhoff, 1979). Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat
menghambat : (a) respirasi dan kegiatan-kegiatan metabolik lainnya; (b) penuaan
karena pematangan, pelunakan, perubahan-perubahan tekstur dan warna; (c)
kehilangan air; (d) kerusakan yang disebabkan oleh serbuan bakteri, jamur dan
khamir; (e) pertumbuhan yang tidak diinginkan dan (f) perubahan-perubahan rasa
dan bau (Pantastico, 1986).
Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan bahan adalah suhu,
kecepatan udara dalam ruang pendinginan, komposisi atmosfer serta ada tidaknya
sinar ultra violet. Dianjurkan untuk mempertahankan suhu pendingin di bawah
5.6oC (42
oF) agar dapat mengganggu pertumbuhan mikroba psikrofilik dan
mencegah pertumbuhan mikroba patogen. Ruang pendinginan memerlukan
kondisi kelembaban yang sesuai karena perubahan kelembaban yang besar dapat
menyebabkan bahan berkeringat dan terjadinya pertumbuhan jamur (Winarno dan
Jenie, 1983).
Selain proses pendinginan, dapat dilakukan juga proses pengemasan untuk
mencegah kerusakan pada produk keju. Pengemasan memiliki peranan penting
dalam mempertahankan mutu suatu bahan dan proses pengemasan telah dianggap
sebagai bagian integral dari proses produksi. Fungsi kemasan antara lain sebagai
24
wadah untuk menempatkan produk, memberi perlindungan terhadap produk, dan
menambah daya tarik produk (Syarief dan Irawati, 1988).
Kemasan yang digunakan untuk melindungi produk keju Cheddar yaitu
kemasan primer berupa alumunium foil dan kemasan sekunder berupa karton
tipis. Alumunium foil adalah bahan kemasan berupa lembaran logam aluminum
yang padat dan tipis dengan ketebalan <0,15 mm. Ketebalan aluminium foil
menentukan sifat protektifnya. Jika kurang tebal, maka foil tersebut dapat dilalui
oleh gas dan uap. Foil dengan ukuran 0,009 mm biasanya digunakan untuk
permen dan susu, sedangkan foil dengan ukuran 0.05 mm digunakan sebagai tutup
botol multitrip (Dwiari, 2008). Hasil pengamatan Michael dalam Chuansin et al.
(2006), bahwa alumunium foil memiliki sifat perlindungan terhadap air (0.0914
cc/m2 /jam) lebih baik dibanding polyetilen (0.2472 cc/m
2 /jam). Sifat-sifat dari
aluminium foil adalah hermetis (tahan uap dan gas), fleksibel, tidak tembus
cahaya sehingga dapat digunakan untuk mengemas bahan-bahan yang berlemak
dan bahan-bahan yang peka terhadap cahaya seperti margarin dan yoghurt
(Syarief, 1989).
Menurut Syarief (1989), berbagai makanan yang dibungkus dengan
alumunium foil menunjukkan bahwa produk-produk makanan tersebut cukup baik
dan tahan terhadap alumunium dengan resiko pengkaratan yang kecil. Kemasan
alumunium untuk produk susu biasanya memerlukan lapisan pelindung. Laminasi
alumunium pada pengemasan keju terutama untuk mencegah pengurangan air,
menjaga penampakan, pelindung dari jasad renik dan juga mencegah masuknya
oksigen. Hal ini diduga dikarenakan kandungan Al sebagai lapisan dalam
25
alumunium foil merupakan penghambat laju masuknya air dan udara yang cukup
efektif.
Keju Mozarella dikemas menggunakan kemasan plastik polyetilen (PE).
PE merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan
benturan serta kekuatan sobek yang baik. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang
rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, polyetilen mempunyai ketebalan
0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan,
karena sifatnya yang thermoplastik, polyetilen mudah dibuat kantung dengan
derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin, 1980). Polyetilen memiliki
sifat perlindungan terhadap air 0.2472 cc/m2 /jam ( Michael dalam Chuansin et al,
2006).
Untuk produk cream cheese, kemasan yang digunakan adalah Polystyrene
(PS). Kemasan PS bersifat sangat amorphous dan tembus cahaya, mempunyai
indeks refraksi tinggi, sukar ditembus oleh gas kecuali uap air (Sulchan dan
Endang, 2007).
Walaupun produk sudah dikemas dengan baik menggunakan kemasan
yang sesuai namun faktor lingkungan dan faktor pengolahan produk itu sendiri
juga dapat berpengaruh pada kontaminasi yang mungkin terdapat pada produk.
Selain itu, kemungkinan kemasan rusak saat berada di display tempat penjualan
dapat menjadi faktor penting terkontaminasi suatu produk. Selain dengan
penggunaan kemasan yang baik, faktor pengolahan dan sanitasi juga perlu
diperhatikan.
26
2.5 Deteksi Bakteri Patogen
2.5.1 Salmonella sp.
Untuk pengujian Salmonella dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap-tahap
tersebut terdiri dari tahap pra-pengayaan, tahap pengayaan, tahap isolasi, dan
identifikasi (Badan Standarisasi Nasional, 2008). Tahap pertama yaitu pra
pengayaan, yaitu tahapan yang dilakukan untuk mempermudah pengayaan
jumlah bakteri yang akan diuji dengan menggunakan media Lactose Broth (LB)
dan diinkubasikan pada temperatur 35 °C selama 24 jam ± 2 jam.
Tahap selanjutnya yaitu tahap pengayaan, yaitu tahapan untuk
memperbanyak jumlah bakteri yang akan diuji dengan menggunakan media
Tetrathionate Broth (TTB). Bila sampel diduga mengandung cemaran Salmonella
tinggi, media TTB diinkubasi pada temperatur 43 °C ± 0,2 °C selama 24 jam ± 2
jam. Bila sampel diduga mengandung cemaran Salmonella rendah, media TTB
diinkubasi pada temperatur 35 °C ± 0,2 °C selama 24 jam ± 2 jam.
Berikutnya adalah tahapan isolasi, yaitu untuk memisahkan bakteri yang
akan diuji dari mikroba lainnya menggunakan media Salmonella Shigella (SS)
Agar. Lalu diinkubasikan pada temperatur 35 °C selama 24 jam ± 2 jam apabila
belum jelas dapat dinkubasikan lagi selama 24 jam ± 2 jam. Koloni Salmonella
pada media SSA terlihat keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di
sekitar koloni berwarna coklat dan semakin lama waktu inkubasi akan berubah
menjadi hitam.
27
2.5.2 Listeria monocytogenes
Menurut Badan Standarisasi Nasional (2008), tahapan untuk menguji
keberadaan L. monocytogenes terdiri dari tahap pengayaan, tahap isolasi, dan
identifikasi. Tahapan pertama yaitu pengayaan, tahapan ini dilakukan untuk
memperbanyak jumlah bakteri yang akan diuji. Tahapan pengayaan ini
menggunakan media Buffered Listeria Enrichment Broth yang mengandung
Amonium iron (III), Nalidixic acid dan Acriflavin hydrochloride) yang diinkubasi
selama 48 jam pada suhu 35°C.
Apabila sampel positif terdapat L. monocytogenes yang ditandai dengan
media berwarna hitam, maka perlu dilakukan tahapan isolasi yang berfungsi untuk
memisahkan bakteri yang akan diuji dari mikroba lainnya pada media OXA
(mengandung selektif suplemen: Polymixin B, Acriflavin hydrochloride dan
Ceftazidime) yang dinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 35°C. Koloni Listeria
yang terdapat pada OXA berdiameter 1.5- 2 mm, berwarna hitam dikelilingi zona
jernih.
Identifikasi L. monocytogenes menggunakan API Test Kit Listeria
(BioMerieux, La Balme-les-Grottes, France). Strip plastik steril API Test
dimasukan medium API yang sudah tersuspensi dengan kultur murni yang ada
pada media OXA. Hasilnya dapat diketahui setelah inkubasi pada suhu 37°C
selama 18-24 jam. Reaksi warna dapat dibaca dengan perubahan warna yang
terjadi pada strip karena perbedaan pH dan beberapa dengan bantuan reagen yang
ditambahakan untuk mendeteksi produk metabolik dan reaksi katalase yang
dilakukan secara terpisah, kemudian diubah menjadi kode 5 digit. Kode ini
28
dimasukkan ke dalam database produsen (codebook) yang memberikan hasil
identifikasi berupa genus dan spesies mikroorganisme (Hawadish, 2013).
Uji biokimia dengan API Test Kit Listeria digunakan untuk mengetahui
karakter biokimia dari isolat yang diuji sehingga dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi. Uji fermentasi gula-gula merupakan salah satu proses
karakterisasi yang sangat penting pada suatu genus untuk mengetahui
keanekagaman karakternya menuju identifikasi spesies. Hasil uji gula-gula
dengan API Test Kit Listeria terhadap isolat hasil isolasi berupa karakter positif
(+) dan negatif (-) kemudian dianalisis dengan website apiweb.biomerieux.com
untuk mengidentifikasi nama spesies.
2.5.3 Escherichia coli
Selain menggunakan metode Most Probable Number (MPN), metode lain
yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan E. coli adalah dengan
menggunakan metode TPC (Total Plate Count). TPC (Total Plate Count) adalah
salah satu cara pengujian untuk mendeteksi atau menganalisis jumlah mikroba
yang terdapat dalam makanan. Pengujian Total Plate Count (TPC) dimaksudkan
untuk menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan
cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar.
Menurut (Fardiaz, 2004), analisis kuantitatif mikrobiologi pada bahan
pangan penting dilakukan untuk mengetahui mutu bahan pangan tersebut.
Beberapa cara dapat digunakan untuk menghitung atau mengukur jumlah jasad
renik didalam suatu suspensi atau bahan, salah satunya yaitu perhitungan jumlah
29
sel dengan metode hitung cawan. Prinsip dari metode ini adalah jika sel mikroba
masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel tersebut akan berkembang
biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung tanpa menggunakan
mikroskop (Yunita dkk., 2015). Cara pemupukan kultur dalam hitungan cawan
yaitu dengan metode tuang (pour plate) Jika sudah didapatkan hasil jumlah
koloninya, kemudian disesuaikan berdasarkan SPC (Standard Plate Count).