ii. tinjauan pustaka 2.1 keju -...

25
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keju The Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan keju sebagai produk segar atau hasil pemeraman yang didapatkan dengan penirisan sesudah terjadinya koagulasi susu segar, krim dan skim atau campurannya. Keju adalah salah satu bahan pangan yang mempunyai daya simpan yang baik dan kaya akan protein, lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan vitamin-vitamin lain dalam bentuk pekat, dibandingkan dengan susu yang memiliki kandungan air yang sangat tinggi (Daulay 1991). Semakin berkembangnya jaman membuat permintaan konsumen terhadap keju semakin tinggi sehingga muncul jenis-jenis keju baru dan semakin sulit membuat definisi sederhana dari keju, sehingga Daulay (1991) menyatakan bahwa definisi keju adalah dadih susu yang digumpalkan dengan menggunakan enzim yang diikuti dengan pemisahan whey dari koagulan yang terbentuk untuk menghasilkan dadih yang lebih padat dan kompak, tidak mencakup keju whey, keju laktat, keju krim dan beberapa keju yang dibuat dengan proses-proses yang lebih baru (Daulay,1991). Definisi tersebut tidak mencakup semua jenis keju, sehingga Organisasi Pertanian dan Pangan (Food and Agriculture Organization / FAO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyusun suatu pedoman umum yang memberikan definisi keju adalah produk segar atau peram yang dihasilkan dengan pemisahan cairan (whey) dari koagulan setelah penggumpalan susu, krim, skim, susu mentega atau kombinasi- kombinasi diantaranya.

Upload: lethien

Post on 02-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keju

The Food and Agricultural Organization (FAO) mendefinisikan keju

sebagai produk segar atau hasil pemeraman yang didapatkan dengan penirisan

sesudah terjadinya koagulasi susu segar, krim dan skim atau campurannya. Keju

adalah salah satu bahan pangan yang mempunyai daya simpan yang baik dan kaya

akan protein, lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan vitamin-vitamin lain dalam

bentuk pekat, dibandingkan dengan susu yang memiliki kandungan air yang

sangat tinggi (Daulay 1991).

Semakin berkembangnya jaman membuat permintaan konsumen terhadap

keju semakin tinggi sehingga muncul jenis-jenis keju baru dan semakin sulit

membuat definisi sederhana dari keju, sehingga Daulay (1991) menyatakan bahwa

definisi keju adalah dadih susu yang digumpalkan dengan menggunakan enzim

yang diikuti dengan pemisahan whey dari koagulan yang terbentuk untuk

menghasilkan dadih yang lebih padat dan kompak, tidak mencakup keju whey,

keju laktat, keju krim dan beberapa keju yang dibuat dengan proses-proses yang

lebih baru (Daulay,1991). Definisi tersebut tidak mencakup semua jenis keju,

sehingga Organisasi Pertanian dan Pangan (Food and Agriculture Organization /

FAO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyusun suatu pedoman umum yang

memberikan definisi keju adalah produk segar atau peram yang dihasilkan dengan

pemisahan cairan (whey) dari koagulan setelah penggumpalan susu, krim, skim,

susu mentega atau kombinasi- kombinasi diantaranya.

6

Definisi diatas tidak mencakup keju yang terbuat dari whey, oleh karena

itu definisi untuk keju whey adalah produk yang dihasilkan dengan pemekatan

atau penggumpalan whey dengan atau tanpa penambahan susu atau lemak susu.

2.1.1 Klasifikasi Keju

Semakin tingginya permintaan masyarakat akan keju maka akan

berbanding lurus dengan banyaknya keju yang dijual dipasaran dengan proses

pengolahan dan karakteristik yang berbeda-beda. Menurut Nelson dan Trout

(1951), keragaman jenis keju tergantung pada (a) bahan dasar yang digunakan, (b)

metoda koagulasi susu, (c) kadar whey dalam dadih, (d) dilakukannya pemeraman

atau tidak, dan (e) metoda pemeraman yang digunakan.

Daulay (1991) menyatakan bahwa perbedaan jenis bahan baku keju,

metoda pengolahan, dan lama pemeraman akan menghasilkan penampakan

produk akhir yang berbeda. Daulay (1991), mengklasifikasi jenis keju

berdasarkan klasifikasi keju berdasarkan kandungan lemaknya yang dapat dilihat

pada Tabel 1, dan berdasarkan kadar air dan jenis mikroba yang berperan dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Klasifikasi Keju Berdasarkan Kandungan Lemaknya

Tipe Keju % Lemak (b.k) Deskripsi Kelas

Sangat Keras 60 Keju berlemak tinggi

Keras 45 – 60 Keju susu berlemak

Berlemak Sedang 25 – 45 Keju berlemak sedang

Semi-lemak 10 – 25 Keju berlemak rendah

Soft 10 Keju susu skim

Sumber : Daulay (1991)

7

Tabel 2. Klasifikasi Keju Berdasarkan Kadar Air dan Jenis Mikroba yang

Berperan

Tipe Keju Kadar

air (%)

Karakteristik

Pemeraman

Contoh Keju

Sangat keras 26 – 35 Dengan bakteri Keju permesan

Keras 35 – 45 Dengan bakteri tekstur

tertutup

Dengan bakteri tekstur

terbuka

Keju Cheddar dan

Cheshire

Keju Swiss dan

Emmentaler

Semi keras 41 – 52 Dengan bakteri

Dengan kapang

Keju Edam, Brick

Keju Roquefort

Semi lunak 45 – 55 Dengan bakteri Keju Limburger

Lunak 55 – 80 Dengan kapang

Tanpa pemeraman

Keju Camembert

Keju Cottage

Sumber : Daulay (1991)

Pengelompokan keju berdasarkan kadar air dapat menentukan konsistensi

dan kekompakan keju, sehingga memudahkan dalam mengelompokan keju yang

memiliki karakteristik serupa. Perbedaaan keju keras dan keju lunak terletak pada

persentase kadar air. Istilah keju lunak digunakan untuk mendeskripsikan keju

yang terasa lunak ketika disentuh dan dapat dengan mudah ditekan oleh jari,

sedangkan istilah keju keras digunakan untuk mendeskripsikan keju yang kaku

dan membutuhkan tekanan tertentu untuk dapat membaginya menjadi beberapa

bagian (Farkye 2004).

Secara sederhana, Winarno (1993) mengelompokkan beberapa jenis keju

sebagai berikut:

a). Keju yang tidak mengalami pemeraman (unripened cheese), yaitu keju yang

langsung dapat dimakan segera setelah selesai dibuat. Contohnya cottage

cheese (80% kadar air), cream cheese (65% kadar air).

b). Keju lunak yang diperam (soft ripened cheese). Contohnya yang terkenal

adalah Limberger yang baunya menusuk hidung, Cambert, dan Brie. Semuanya

8

mempunyai kadar air sekitar 50%. Ketiganya diperam dengan penambahan

mikroba pada bagian permukaan. Limberger dengan menggunakan ragi dan

bakteri, sedangkan dua lainnya dengan kapang putih hijau dan jenis bakteri

tertentu.

c). Keju semi lunak dan terperam (semi soft ripened cheese). Jenis keju ini

mempunyai kadar air 35-45%. Jenis keju ini antara lain adalah Bel Paese,

Brick, dan Muenster yang diperam dengan pertolongan bakteri. Roquefort,

Giogonzola, dan Tilton adalah jenis keju yang diperam dengan pertolongan

kapang biru dan bakteri. Rasanya yang unik diakibatkan oleh pemecahan asam

lemak (kaproat, kaprilat, dan kaprat).

d). Keju keras dan terperam (hard ripened cheese). Biasanya diperam dengan

pertolongan bakteri, misalnya Cheddar, Edam, Gouda, Gruyere, dan Swiss.

Adanya lubang- lubang pada keju Swiss disebabkan karena terbentuknya gas

oleh bakteri selama proses pemeraman. Keju-keju yang sangat keras, seperti

Sop Sogo dan Romano, memiliki kadar air yang sangat rendah.

2.2 Jenis – Jenis Keju

2.2.1 Keju Cheddar

Keju Cheddar adalah keju yang berasal dari sebuah desa bernama Cheddar

di Inggris. Keju ini termasuk keju keras dengan kadar air 35-45% dan

karakteristik pemeramannya yaitu dengan bakteri dan tekstur tertutup (tanpa

lubang) (Galloway & Grawford,1986). Menurut Nelson dan Trout (1951), keju

Cheddar dibuat dari susu segar atau susu pasteurisasi dengan penambahan

9

sejumlah kecil kultur bakteri asam laktat. Pembentukan dadih umumnya

dilakukan dengan menggunakan koagulan rennet yang diikuti dengan pemanasan

dadih. Keju Cheddar memiliki karakteristik khas yang disebabkan oleh adanya

proses “cheddaring” dalam pembuatannya (Kosikowski,1982). Menurut National

Dairy Council (1967), proses “cheddaring” adalah proses dimana dadih yang

telah masak dan dibuang sebagian airnya, dipotong-potong, ditimbun dan dibalik-

balik berulang-ulang hingga terbentuk suatu ‘anyaman’ dari dadih dan hampir

seluruh whey yang tersisa terkuras dari dadih.

Keju Cheddar merupakan jenis dari keju keras yang sangat populer dan

banyak diproduksi. Proses pembuatannya mirip dengan keju keras lainnya, hanya

hal yang perlu diperhatikan adalah perbandingan lemak dan kasein harus berkisar

antara 1:0.68 - 1:0.72, sedangkan jenis kultur yang sering digunakan, yaitu

Streptococcus lactis, Streptococcus cremoris, Lactobacillus casei, dan beberapa

kultur lainnnya (Sa’id,1987).

Keju Cheddar merupakan sumber vitamin B12. Satu potong keju Cheddar

(40g) mengandung 0.5 µg vitamin B12 (kebutuhan vitamin B12 orang dewasa per

hari adalah 2.4 µg). Keju Cheddar olahan menurut SNI 01-2980-1992 adalah

produk berupa padatan plastis yang diperoleh melalui pengolahan keju Cheddar

dengan penambahan pengemulsi dan pemanasan dengan atau penambahan bahan

tambahan makanan lain yang diizinkan. Berikut komposisi gizi keju Cheddar

dapat dilihat pada Tabel 3.

10

Tabel 3. Komposisi Keju Cheddar dalam 100 Gram Bahan

Kadar Air (%) 37,5

Lemak (%) 32,8

Protein (%) 24,2

Abu (%) 1,9

Garam (%) 1,5

Sumber : Buckle et al. (1987)

2.2.2 Keju Mozarella

Keju Mozarella merupakan salah satu jenis keju pasta filata dan

merupakan keju asli Italia. Cara pembuatannya dengan pemasakan dan pemuluran

curd dalam bak air panas, sehingga mempunyai karakteristik struktur berserabut,

dengan daya leleh dan kemuluran yang tinggi.

Walstra et al. (1999) menyatakan bahwa keju Mozzarella mempunyai

kadar lemak dalam bahan kering 35 - 45 %, air 52 - 56 % dan garam sekitar 1 %.

Menurut Fox et al. (2000) keju Mozzarella memiliki komposisi yang terdiri atas

bahan kering 46 %, lemak 18,0 %, protein 22,1 %, garam 0,7 %, dan abu 2,3 % ,

serta pH 5,2.

Stefanini (1991) juga menyatakan bahwa US Federal Standards of Identity

telah menetapkan batas maksimum kadar air keju Mozzarella yang diperbolehkan

sebesar 52%. Hal ini berarti terdapat harmonisasi penetapan standar kualitas keju

Mozzarella secara internasional. Standar keju Mozzarella menurut USDA (2005)

adalah sebagai berikut: memiliki kandungan air 52,0-60,0%; lemak 10,8 %; garam

1,2%; pH 5,3; citarasa: A mild pleasing flavor; bodi dan teksturnya smooth,

pliable, dan tanpa lubang; pada kenampakan tidak ada tandatanda dicetak; warna

putih alami hingga krem muda; pengujian pada suhu 232 oC keju dapat meleleh

11

dengan sempurna; dan memiliki karakteristik kemuluran 3 inci. Menurut

McMahon (2007) keju Mozzarella memiliki kandungan air 46,0%; lemak 23,0%,

lemak dalam bahan kering 43,0%; kadar garam 1,2%; dan pH berkisar 5,1-5,4.

2.2.3 Cream Cheese

Cream cheese atau yang biasa disebut krim keju adalah keju yang tidak

mengalami pemeraman yang memiliki tekstur yang lembut, ringan, bewarna

putih, sedikit asam dengan rasa diacetyl. Biasanya dibuat dengan proses

pembekuan krim atau pencampuran susu dan krim dengan proses pengasaman

dengan kultur starter dan bisa dikonsumsi setelah proses pembuatan tersebut

selesai (Guinee et al., 1993). Cream cheese adalah produk keju lembut terpopuler

di Amerika Utara. Cream cheese biasanya digunakan untuk olesan donat,

tambahan untuk salad, dan sebagai bahan untuk berbagai jenis dessert seperti

cheesecake. Meski sudah banyak dilakukan penelitian khusus tentang cream

Cheese, hanya sedikit hasil penelitian yang dipublikasikan, kebanyakan

informasinya disimpan khusus oleh para perusahaan makanan.

Sama dengan keju lainnya, kandungan gizi pada cream cheese sangat

banyak. Dalam 100 gram cream cheese mengandung kalori sebesar 195 kkal,

lema sebesar 28,6 gram yang terdiri dari lemak jenuh, lemak tak jenuh ganda,

lemak tak jenuh tunggal, dan kolesterol. Total protein dan karbohidrat yang

terkandung dalam 100 gram cream cheese sebanyak 7,1 gram dan 3,5 gram.

Selain kandungan gizi diatas, kandungan gizi lainnya yang terdapat pada cream

cheese adalah vitamin A, vitamin B, vitamin D, kalsium fosfor, protein,

12

lemak,dan riboflavin (Anonimb,2016). Untuk lebih lengkapnya, kandungan gizi

pada cream cheese dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Gizi Cream Cheese per 100 Gram

Per porsi

Kilojoule 1234 kj

Kalori 295 kkal

Lemak 28,6 g

Lemak Jenuh 18,02 g

Lemak tak Jenuh Ganda 1,033 g

Lemak tak Jenuh Tunggal 1,033 g

Kolesterol 90 mg

Protein 7,1 g

Karbohidrat 3,5 g

Serat 0 g

Gula 3,5 g

Sodium 673 mg

Kalium 112 mg

(Sumber:Anonimb, 2016)

2.3 Standar Mutu Keju

Selain harus bergizi dan menarik, pangan juga harus bebas dari bahan-

bahan berbahaya berupa cemaran kimia, mikroba dan bahan lainnya. Mikroba

dapat mencemari pangan melalui air, debu, udara, tanah, alat-alat pengolah

(selama proses produksi atau penyiapan) juga sekresi dari usus manusia atau

hewan. Penyakit akibat pangan (food borne diseases) yang terjadi segera setelah

mengkonsumsi pangan, umumnya disebut dengan keracunan. Pangan dapat

menjadi beracun karena telah terkontaminasi oleh bakteri patogen yang kemudian

dapat tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan, sehingga mampu

memproduksi toksin yang dapat membahayakan manusia.

Nilai batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan terdapat dalam

Standar Nasional Indonesia SNI 7388:2009. Batas cemaran mikroorganisme yang

13

tercantum dalam standar mutu mikrobiologi pada keju yang terdapat dalam

Standar Nasional Indonesia SNI 7388:2009 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan

No.Kategori

Pangan

Kategori Pangan Jenis Cemaran

Mikroba

Batas Maksimum

01.6 Keju dan keju

analog

Keju (semua jenis) E. coli

Salmonella sp.

Staphylococcus aureus

L. monocytogenes

10/g

Negatif / 25 g

1 x 102 koloni/g

negatif /25 g

(Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2009)

Mikroorganisme yang menjadi parameter dalam Standar Nasional

Indonesia 7388:2009 adalah L. monocytogenes, S. aureus, Salmonella sp., dan

E. coli. Penetapan mikroorganisme - mikroorganisme tersebut sebagai indikator

keamanan produk keju karena mikroorganisme tersebut termasuk mikroorganisme

patogen. Bakteri patogen mempunyai patogenitas, yaitu kemampuan organisme

untuk menimbulkan penyakit tertentu (Pelczar dan Chan, 2007). Mikroorganisme-

mikroorganisme tersebut menjadi indikator keamanan pangan karena dapat

menyebabkan keracunan makanan melalui intoksikasi, serta dapat menyebabkan

infeksi pada manusia. Bakteri paling umum yang menyebabkan infeksi melalui

makanan adalah Salmonella dan E. coli.

E. coli digunakan sebagai indikator yang dapat dipercaya terhadap

kontaminasi feses dan kemungkinan adanya mikroorganisme enteropatogenik dan

toksigenik sehingga E. coli dikenal sebagai agen penyebab diare dan penyakit-

penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne illness) (Altalhi dan

Hassan 2009). Salmonella merupakan bakteri berbentuk batang yang dapat

14

menyebabkan tifus. Salmonella tumbuh baik pada pangan berasam rendah

(Nurwantoro dan Djarijah, 1997). Bakteri ini bukan indikator sanitasi, melainkan

sebagai indikator keamanan pangan, karena Salmonella bersifat patogen maka

dengan keberadaan bakteri ini dalam makanan dapat dianggap membahayakan

kesehatan. Oleh karena itu, SNI makanan siap santap mensyaratkan tidak ada

Salmonella dalam 25 gram sampel makanan.

Menurut Ueda et al (2006) sebagian besar infeksi L. monocytogenes

bersumber dari makanan yang terkontaminasi. Bakteri ini tersebar luas di alam

dan berhubungan dengan tanah, tanaman atau feses hewan dan selalu ada dalam

lingkungan processing makanan terutama pada berbagai jenis susu dan produk

susu yang sering dihubungkan dengan lingkungan peternakan sapi perah. Bakteri

ini dijadikan indikator keamanan pangan karena L. monocytogenes merupakan

spesies yang paling banyak menyebabkan listeriosis pada manusia. Listeriosis

merupakan penyakit yang disebabkan oleh mengonsumsi makanan yang tercemar

bakteri L. monocytogenes.

a. Escherichia coli

Sebagai mikroorganisme patogen, E. coli sangat terkenal karena dapat

menyebabkan penyakit saluran cerna manusia. Menurut WHO (2005), bakteri

E.coli adalah salah satu bakteri indikator untuk menilai pelaksanaan sanitasi

makanan. E. coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, dan tidak

membentuk spora (Fardiaz, 1992). Ukuran sel dari bakteri E. coli biasanya

berukuran panjang 2,0 – 6,0 μm dan lebar 1,1 – 1,5 μm dengan bentuk sel bulat

dan cenderung ke batang panjang (Melliawati, 2009)

15

E. coli memiliki kondisi optimum untuk pertumbuhannya yaitu dapat

tumbuh pada suhu antara 10ºC - 40ºC dengan suhu optimum pertumbuhannya

pada 37ºC dan mati pada suhu 60ºC selama 30 menit. Bakteri ini sangat sensitif

terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi. pH untuk

pertumbuhan E. coli adalah 4,0 – 9,0 dan pH optimum untuk pertumbuhannya

berkisar 7,0 – 7,5. Aw minimum untuk pertumbuhan bakteri ini adalah 0,96

(Supardi dan Sukamto,1999). E. coli dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. E. coli

(Sumber : http://tgp.com.ph/, 2015)

E. coli diklasifikasikan berdasarkan ciri khas dari sifat-sifat virulensinya

dan seberapa besar setiap grup dapat menimbulkan penyakit melalui mekanisme

yang berbeda. Salah satunya Enterohemoragik E. coli (EHEC) atau yang dikenal

juga sebagai Verocytotoxigenic E. coli (VTEC) merupakan salah satu bakteri usus

bersifat patogen yang dapat menyebabkan diare hemolitic uremic syndrome

(HUS). E. coli ini berbahaya karena dapat menghasilkan dua toksin shiga like

toxin (SLT) sekaligus. Toksin pertama disebut SLT-I (VT-1) dan yang kedua

SLT-II (VT-2). Toksin ini membunuh sel dengan memecah adenine dari RNA

ribosom pada tempat dimana terjadi pemanjangan perlekatan aminoasil t-RNA

dan akhirnya terjadi hambatan sintesis protein dan kematian sel. EHEC melekat

16

pada sel usus dan menghasilkan lesi yang menyerupai lesi yang terlihat pada

EPEC. Serotype yang paling sering menyebabkan hemolitic uremic syndrome

(HUS) adalah E. coli 0157 : H7.

Sumber utama infeksi bakteri ini adalah makanan mentah, makanan yang

kurang matang dan kontaminasi silang, yaitu apabila makanan yang sudah

dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan yang terkontaminasi

(misalnya alas pemotong). Karena itu, pemasakan dengan benar dan penanganan

makanan secara higienis dapat mencegah meluasnya infeksi enterobacteria.

b. Listeria monocytogenes

L. monocytogenes merupakan bakteri berbentuk batang rantai pendek,

kadang ditemukan dalam bentuk tidak beraturan, bentuk Y ataupun kokus

(Allerberger 2002). Menurut Anonimc (2005), bentuk L. monocytogenes yang

kadang ditemukan seperti bentuk kokus tersebut dapat menyerupai Streptococcus

spp, dan bentuk sel yang kadang tampak memanjang dapat dikelirukan dengan

Corynebacterium spp.

Bakteri ini berukuran kecil (1,0-2,0 µm x 0,5 µm), Gram-positif, tidak

berspora dan merupakan bakteri patogen intraseluler yang dapat ditemukan dalam

monosit dan netrofil (Donnelly 2001) serta dalam lekosit susu tercemar (Doyle et

al., 1987). Flagela peritrikus merupakan alat gerak L. monocytogenes yang

dihasilkan pada suhu 20 – 25 oC. Bakteri tersebut tidak menghasilkan flagela pada

suhu 37 oC. Filamen-aktin (F-aktin), yang merupakan alat gerak yang tumbuh

pada salah satu ujung bakteri, berpengaruh terhadap keganasan bakteri ini ketika

17

menyerang sel induk semang (Anonimc, 2005). L. monocytogenes tumbuh pada

Aw berkisar antara 0,90–0,93. L. monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. L. monocytogenes (Sumber: Todar, 2005)

Pada suhu 4oC dengan kandungan zat besi, L. monocytogenes masih dapat

tumbuh (Fraizer and Westhoof,1988). Pada suhu tersebut menurut Moltz dan

Martin (2005) bakteri tersebut mampu membentuk biofilm yang membuat bakteri

didalamnya menjadi lebih resisten terhadap sanitizer. Bakteri ini mati pada suhu

pasteurisasi, sehingga jika masih bisa didapatkan pada susu yang telah

dipasteurisasi menandakan adanya kesalahan penanganan saat ataupun pasca

pasteurisasi (Fraizer dan Westhoof, 1988).

Bakteri ini disebut bakteri psikrofilik yaitu bakteri yang menyukai suhu

dingin untuk pertumbuhannya, karena memiliki membran sel yang mempunyai

kondisi yang baik pada suhu dingin. Menurut Ray (2001), sifat patogen

L. monocytogenes disebabkan karena kemampuan bakteri ini untuk tumbuh pada

berbagai jenis makanan dan mampu bertahan hidup pada suhu dingin dengan

kisaran suhu antara 1-44oC. Selain itu juga kemampuan hidup secara intraseluler,

sehingga menyulitkan dalam pengobatan atau saat pasteurisasi produk susu.

Sehingga akan membutuhkan suhu yang lebih tinggi atau waktu yang lebih lama.

18

Faktor virulensi bakteri ini adalah adanya hemolisin yang spesifik yaitu

Listeriosin O. Toksin ini diproduksi saat mikroba ini tumbuh secara eksponensial.

Toksin dapat juga diproduksi saat pertumbuhan mikroba secara intraseluler. Dosis

infektif bakteri ini sejumlah 100- 1000 sel, terutama terhadap individu yang

sangat rentan. Menurut Doyle et al. (1987), dengan kemampuan hidup di dalam

sel leukosit itulah yang menyebabkan L. monocytogenes menjadi lebih resisten

terhadap suhu pasteurisasi (High Temperature Short Time) seperti yang

dipersyaratkan oleh United States Food and Drug Administration (USFDA), yaitu

71.5oC selama 15 detik. Menurut Bonnet dan Montville (2005) bakteri ini dapat

terinduksi menjadi bakteri yang resisten terhadap nisin jika dibiakkan bersama

dengan bakteri yang memproduksi nisin dalam satu sistem fermentasi yang sama.

Sehingga harus diperhatikan keamanan pangan pada bahan makanan yang

difermentasi dengan kultur yang memproduksi bakteriosin.

Selain itu, beberapa sifat dari L. monocytogenes seperti tahan terhadap pH

rendah (sampai pH 4,4), tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi, dan

kemampuan untuk tumbuh pada suhu dingin memungkinkan bakteri ini dapat

bertahan hidup selama proses pembuatan keju dan pada proses pemeraman keju

(Lomonaco et al., 2009).

Penyakit yang diakibatkan oleh L. monocytogenes disebut listeriosis.

L. monocytogenes merupakan spesies yang paling banyak menyebabkan listeriosis

pada manusia. Listeriosis pada manusia tidak ditandai dengan serangkaian gejala

yang unik karena penyakit yang timbul tergantung status dan kondisi pertahanan

tubuh inangnya. Wanita hamil yang terkena penyakit listeriosis tidak

19

memperlihatkan gejala serius, jika ada hanya gejala influenza. Akibat yang timbul

apabila wanita hamil mengalami listeriosis adalah keguguran, lahir premature

atau lahir mati (still birth). Jika bayi yang baru lahir terinfeksi saat persalinan,

gejala listeriosis pada umumnya adalah meningitis yang dimulai saat bayi berusia

1 – 4 minggu (Fadhilah dkk., 2014).

Pada anak-anak, orang tua dan orang dewasa dengan sistem kekebalan

yang lemah, bakteri dapat menyerang sistem syaraf pusat dan masuk dalam

sirkulasi darah, menyebabkan pneumonia. Abses atau lesi pada kulit juga dapat

terlihat. Gejala klinis tersebut tergantung pada umur manusia, kondisi kesehatan

dan strain bakteri yang menginfeksi (CDC, 2010).

c. Salmonella sp.

Salmonella (Enterobacteriaceae) merupakan bakteri gram negatif

berbentuk batang langsing (0.7- 1.5 x 2-5 µm), fakultatif anaerobik, uji oksidase

negatif, dan uji katalase positif. Sebagian besar strain Salmonella bersifat motil

dan memfermentasi glukosa dengan membentuk gas dan asam (Cox, 2000).

Salmonella merupakan bakteri mesofilik, dengan suhu pertumbuhan optimum

antara 35 - 37°C, tetap dapat tumbuh pada range 5 - 46°C, Salmonella sensitif

pada pH rendah (lebih kecil atau sama dengan 4,5) dan tidak berbiak pada Aw

0,94 khususnya jika dikombinasikan dengan pH 5,5 atau kurang. Salmonella

dapat bertahan pada pembekuan dan bentuk kering dalam waktu yang lama.

Salmonella mampu berbiak pada berbagai makanan tanpa mempengaruhi

tampilan kualitasnya (Ray,2001). Salmonella secara alami hidup di saluran

20

gastrointestinal hewan baik yang terdomestikasi maupun liar. Bentuk dari

Salmonella dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Salmonella

(Sumber : Wales, 2012)

Dosis infektif Salmonella bila terdapat lebih dari 100 sel bakteri. Apabila

kurang dari itu, bakteri akan mati oleh asam lambung dan tidak akan

menimbulkan penyakit (Arifah, 2010). Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella

adalah Salmonellosis. Salmonella sp. menyebabkan jutaan kasus penyakit

salmonellosis pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi

yang signifikan di seluruh dunia (Nogrady et al., 2008). Salmonellosis adalah

penyakit menular yang dapat menyerang hewan ataupun manusia. Salmonellosis

pada kasus hewan bertindak sebagai pembawa penyakit. Manusia dapat bertindak

sebagai pembawa penyakit setelah terinfeksi dan menyebarkannya melalui feces

untuk waktu yang cukup lama. Selain itu Salmonella dapat juga diisolasi dari

tanah, air, dan sampah yang terkontaminasi feces (Ray,2001).

2.4 Kerusakan Yang Terdapat Pada Keju dan Cara Pencegahanya

Susu dan produk turunanya merupakan bahan pangan yang kaya akan

nutrisi, oleh karena itu bahan pangan tersebut juga mempunyai sifat mudah rusak

terutama akibat mikroorganisme patogen. Kerusakan pangan atau kemunduran

21

mutu pangan dapat didefinisikan sebagai pangan yang telah rusak sehingga

pangan tersebut menjadi tidak diinginkan oleh manusia (konsumen).

Keju merupakan salah satu produk turunan susu yang memiliki kadar air

yang relative tinggi, oleh karena itu keju rawan terkontaminasi oleh

mikroorganisme patogen. Selain mengalami kerusakan akibat mikroorganisme

patogen, kerusakan pangan tersebut dapat disebabkan oleh kerusakan insekta, luka

atau memar secara fisik, aktivitas enzim, dan mikroorganisme (Rahmawati, 2010).

Kontaminasi pada produk susu dapat terjadi baik selama penyimpanan

ataupun selama proses pembuatan. Selama penyimpanan parameter-parameter

mutu (kandungan kimia, mikrobiologis dan organoleptik) akan berubah oleh

adanya pengaruh lingkungan misalnya suhu, kelembaban dan tekanan udara atau

komposisi bahan makanan itu sendiri. Suhu penyimpanan produk bahan pangan

akan mempengaruhi jenis bakteri yang mungkin berkembang dan menyebabkan

kerusakan. Suhu rendah sering digunakan untuk memperlambat kecepatan

perkembangbiakan bakteri (Buckle et al., 1987).

Penyimpanan suatu bahan merupakan salah satu upaya agar produk dapat

dinikmati oleh konsumen sebelum terjadi kerusakan, sehingga selama

penyimpanan harus selalu diusahakan agar produk tidak mengalami penurunan

mutu yang besar. Kelembaban dan suhu ruang merupakan faktor yang sangat

berpengaruh dalam proses penyimpanan. Kelembaban sangat berperan dalam

menentukan mutu bahan dan proses kerusakan selama penyimpanan.

Kadar air suatu bahan akan meningkat jika disimpan dalam ruangan

dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan membantu

22

pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan terjadinya penurunan mutu

produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air dari udara atau

melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan tekanan uap air

udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kadar air

tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan tersebut. Kelembaban

udara ruang peyimpanan berhubungan dengan aktivitas air suatu bahan yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Pendinginan dapat

memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme, karena itu penyimpanan

bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup dari jaringan-

jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini disebabkan bukan hanya karena keaktifan

resporasi menurun, tetapi juga karena pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan

dan kerusakan dapat dihambat (Winarno et al., 1980).

Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau

mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis atau pertumbuhan mikroba.

Semakin rendah suhu semakin lambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah

dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) penyimpanan sejuk (cellar storage); (2)

pendinginan dan (3) penyimpanan beku (Winarno dan Jenie,1983). Penyimpanan

sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah suhu kamar dan tidak lebih

rendah dari 15 oC (Winarno dan Jenie, 1983).

Kerusakan lainnya yang sering terdapat pada keju yaitu adanya perubahan

rasa menjadi asam, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembentuk asam,

terutama bakteri asam laktat dan bakteri E. coli. Pertumbuhan mikroba

dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan diantaranya adalah suhu, pH,

23

aktivitas air, adanya oksigen dan tersedianya zat makanan. Oleh karena itu,

kecepatan pertumbuhan mikroba dapat diubah dengan mengubah faktor

lingkungan tersebut. Semakin rendah suhu yang digunakan dalam penyimpanan

maka semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan

mikroba (Frazier dan Westhoff, 1979). Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat

menghambat : (a) respirasi dan kegiatan-kegiatan metabolik lainnya; (b) penuaan

karena pematangan, pelunakan, perubahan-perubahan tekstur dan warna; (c)

kehilangan air; (d) kerusakan yang disebabkan oleh serbuan bakteri, jamur dan

khamir; (e) pertumbuhan yang tidak diinginkan dan (f) perubahan-perubahan rasa

dan bau (Pantastico, 1986).

Faktor yang mempengaruhi proses pendinginan bahan adalah suhu,

kecepatan udara dalam ruang pendinginan, komposisi atmosfer serta ada tidaknya

sinar ultra violet. Dianjurkan untuk mempertahankan suhu pendingin di bawah

5.6oC (42

oF) agar dapat mengganggu pertumbuhan mikroba psikrofilik dan

mencegah pertumbuhan mikroba patogen. Ruang pendinginan memerlukan

kondisi kelembaban yang sesuai karena perubahan kelembaban yang besar dapat

menyebabkan bahan berkeringat dan terjadinya pertumbuhan jamur (Winarno dan

Jenie, 1983).

Selain proses pendinginan, dapat dilakukan juga proses pengemasan untuk

mencegah kerusakan pada produk keju. Pengemasan memiliki peranan penting

dalam mempertahankan mutu suatu bahan dan proses pengemasan telah dianggap

sebagai bagian integral dari proses produksi. Fungsi kemasan antara lain sebagai

24

wadah untuk menempatkan produk, memberi perlindungan terhadap produk, dan

menambah daya tarik produk (Syarief dan Irawati, 1988).

Kemasan yang digunakan untuk melindungi produk keju Cheddar yaitu

kemasan primer berupa alumunium foil dan kemasan sekunder berupa karton

tipis. Alumunium foil adalah bahan kemasan berupa lembaran logam aluminum

yang padat dan tipis dengan ketebalan <0,15 mm. Ketebalan aluminium foil

menentukan sifat protektifnya. Jika kurang tebal, maka foil tersebut dapat dilalui

oleh gas dan uap. Foil dengan ukuran 0,009 mm biasanya digunakan untuk

permen dan susu, sedangkan foil dengan ukuran 0.05 mm digunakan sebagai tutup

botol multitrip (Dwiari, 2008). Hasil pengamatan Michael dalam Chuansin et al.

(2006), bahwa alumunium foil memiliki sifat perlindungan terhadap air (0.0914

cc/m2 /jam) lebih baik dibanding polyetilen (0.2472 cc/m

2 /jam). Sifat-sifat dari

aluminium foil adalah hermetis (tahan uap dan gas), fleksibel, tidak tembus

cahaya sehingga dapat digunakan untuk mengemas bahan-bahan yang berlemak

dan bahan-bahan yang peka terhadap cahaya seperti margarin dan yoghurt

(Syarief, 1989).

Menurut Syarief (1989), berbagai makanan yang dibungkus dengan

alumunium foil menunjukkan bahwa produk-produk makanan tersebut cukup baik

dan tahan terhadap alumunium dengan resiko pengkaratan yang kecil. Kemasan

alumunium untuk produk susu biasanya memerlukan lapisan pelindung. Laminasi

alumunium pada pengemasan keju terutama untuk mencegah pengurangan air,

menjaga penampakan, pelindung dari jasad renik dan juga mencegah masuknya

oksigen. Hal ini diduga dikarenakan kandungan Al sebagai lapisan dalam

25

alumunium foil merupakan penghambat laju masuknya air dan udara yang cukup

efektif.

Keju Mozarella dikemas menggunakan kemasan plastik polyetilen (PE).

PE merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan

benturan serta kekuatan sobek yang baik. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang

rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, polyetilen mempunyai ketebalan

0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan,

karena sifatnya yang thermoplastik, polyetilen mudah dibuat kantung dengan

derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin, 1980). Polyetilen memiliki

sifat perlindungan terhadap air 0.2472 cc/m2 /jam ( Michael dalam Chuansin et al,

2006).

Untuk produk cream cheese, kemasan yang digunakan adalah Polystyrene

(PS). Kemasan PS bersifat sangat amorphous dan tembus cahaya, mempunyai

indeks refraksi tinggi, sukar ditembus oleh gas kecuali uap air (Sulchan dan

Endang, 2007).

Walaupun produk sudah dikemas dengan baik menggunakan kemasan

yang sesuai namun faktor lingkungan dan faktor pengolahan produk itu sendiri

juga dapat berpengaruh pada kontaminasi yang mungkin terdapat pada produk.

Selain itu, kemungkinan kemasan rusak saat berada di display tempat penjualan

dapat menjadi faktor penting terkontaminasi suatu produk. Selain dengan

penggunaan kemasan yang baik, faktor pengolahan dan sanitasi juga perlu

diperhatikan.

26

2.5 Deteksi Bakteri Patogen

2.5.1 Salmonella sp.

Untuk pengujian Salmonella dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap-tahap

tersebut terdiri dari tahap pra-pengayaan, tahap pengayaan, tahap isolasi, dan

identifikasi (Badan Standarisasi Nasional, 2008). Tahap pertama yaitu pra

pengayaan, yaitu tahapan yang dilakukan untuk mempermudah pengayaan

jumlah bakteri yang akan diuji dengan menggunakan media Lactose Broth (LB)

dan diinkubasikan pada temperatur 35 °C selama 24 jam ± 2 jam.

Tahap selanjutnya yaitu tahap pengayaan, yaitu tahapan untuk

memperbanyak jumlah bakteri yang akan diuji dengan menggunakan media

Tetrathionate Broth (TTB). Bila sampel diduga mengandung cemaran Salmonella

tinggi, media TTB diinkubasi pada temperatur 43 °C ± 0,2 °C selama 24 jam ± 2

jam. Bila sampel diduga mengandung cemaran Salmonella rendah, media TTB

diinkubasi pada temperatur 35 °C ± 0,2 °C selama 24 jam ± 2 jam.

Berikutnya adalah tahapan isolasi, yaitu untuk memisahkan bakteri yang

akan diuji dari mikroba lainnya menggunakan media Salmonella Shigella (SS)

Agar. Lalu diinkubasikan pada temperatur 35 °C selama 24 jam ± 2 jam apabila

belum jelas dapat dinkubasikan lagi selama 24 jam ± 2 jam. Koloni Salmonella

pada media SSA terlihat keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di

sekitar koloni berwarna coklat dan semakin lama waktu inkubasi akan berubah

menjadi hitam.

27

2.5.2 Listeria monocytogenes

Menurut Badan Standarisasi Nasional (2008), tahapan untuk menguji

keberadaan L. monocytogenes terdiri dari tahap pengayaan, tahap isolasi, dan

identifikasi. Tahapan pertama yaitu pengayaan, tahapan ini dilakukan untuk

memperbanyak jumlah bakteri yang akan diuji. Tahapan pengayaan ini

menggunakan media Buffered Listeria Enrichment Broth yang mengandung

Amonium iron (III), Nalidixic acid dan Acriflavin hydrochloride) yang diinkubasi

selama 48 jam pada suhu 35°C.

Apabila sampel positif terdapat L. monocytogenes yang ditandai dengan

media berwarna hitam, maka perlu dilakukan tahapan isolasi yang berfungsi untuk

memisahkan bakteri yang akan diuji dari mikroba lainnya pada media OXA

(mengandung selektif suplemen: Polymixin B, Acriflavin hydrochloride dan

Ceftazidime) yang dinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 35°C. Koloni Listeria

yang terdapat pada OXA berdiameter 1.5- 2 mm, berwarna hitam dikelilingi zona

jernih.

Identifikasi L. monocytogenes menggunakan API Test Kit Listeria

(BioMerieux, La Balme-les-Grottes, France). Strip plastik steril API Test

dimasukan medium API yang sudah tersuspensi dengan kultur murni yang ada

pada media OXA. Hasilnya dapat diketahui setelah inkubasi pada suhu 37°C

selama 18-24 jam. Reaksi warna dapat dibaca dengan perubahan warna yang

terjadi pada strip karena perbedaan pH dan beberapa dengan bantuan reagen yang

ditambahakan untuk mendeteksi produk metabolik dan reaksi katalase yang

dilakukan secara terpisah, kemudian diubah menjadi kode 5 digit. Kode ini

28

dimasukkan ke dalam database produsen (codebook) yang memberikan hasil

identifikasi berupa genus dan spesies mikroorganisme (Hawadish, 2013).

Uji biokimia dengan API Test Kit Listeria digunakan untuk mengetahui

karakter biokimia dari isolat yang diuji sehingga dapat digunakan untuk

kepentingan identifikasi. Uji fermentasi gula-gula merupakan salah satu proses

karakterisasi yang sangat penting pada suatu genus untuk mengetahui

keanekagaman karakternya menuju identifikasi spesies. Hasil uji gula-gula

dengan API Test Kit Listeria terhadap isolat hasil isolasi berupa karakter positif

(+) dan negatif (-) kemudian dianalisis dengan website apiweb.biomerieux.com

untuk mengidentifikasi nama spesies.

2.5.3 Escherichia coli

Selain menggunakan metode Most Probable Number (MPN), metode lain

yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan E. coli adalah dengan

menggunakan metode TPC (Total Plate Count). TPC (Total Plate Count) adalah

salah satu cara pengujian untuk mendeteksi atau menganalisis jumlah mikroba

yang terdapat dalam makanan. Pengujian Total Plate Count (TPC) dimaksudkan

untuk menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan

cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar.

Menurut (Fardiaz, 2004), analisis kuantitatif mikrobiologi pada bahan

pangan penting dilakukan untuk mengetahui mutu bahan pangan tersebut.

Beberapa cara dapat digunakan untuk menghitung atau mengukur jumlah jasad

renik didalam suatu suspensi atau bahan, salah satunya yaitu perhitungan jumlah

29

sel dengan metode hitung cawan. Prinsip dari metode ini adalah jika sel mikroba

masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel tersebut akan berkembang

biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung tanpa menggunakan

mikroskop (Yunita dkk., 2015). Cara pemupukan kultur dalam hitungan cawan

yaitu dengan metode tuang (pour plate) Jika sudah didapatkan hasil jumlah

koloninya, kemudian disesuaikan berdasarkan SPC (Standard Plate Count).