identifikasi cagar budaya untuk pengembangan kawasan pariwisata

57
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cagar Budaya mempunyai pengertian yang serupa seperti cagar alam yang sudah sering didengar dalam masyarakat. Cagar alam adalah sebidang lahan yang dijaga untuk melindungi flora dan fauna yang ada didalamnya, sedangkan cagar budaya yang dilindungi bukan suatu daerah yang bersifat alamiah melainkan hasil kebuadayaan manusia yang berupa peninggalan masa lalu.(Fransisca dan Sunarya, 2012) Cagar budaya tidak saja menjadi saksi sejarah pada masa silam. Cagar budaya dapatdikatakan artefak yang memiliki nilai sebagau wujud infomasi bagi perkembangan sebuah kota atau lingkungan terdekatnya cagar budaya dapat dianggap juga memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan . (M.Ridah, 2012) Dalam upaya pembangunan perkotaan yang mempunyai identitas, salah satu aspek yang terlupakan adalah pelestarian objek/bangunan maupun kawasan bersejarah, dewasa ini perhatian terlalu banyak dicurahkan untuk bangunan baru yang moderen, akibatnya pada beberapa tahun terakhir ini banyak bangunan dan kawasan bersejarah yang mengalami penurunan kualitas seperti terdegradasi secara alami atau maupun oleh masyarakat setampat yang belum mengenal nilai historis dari objek atau bangunan sebagai 1

Upload: mario-maahury

Post on 26-Dec-2015

231 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

cagar budaya

TRANSCRIPT

Page 1: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cagar Budaya mempunyai pengertian yang serupa seperti cagar alam yang

sudah sering didengar dalam masyarakat. Cagar alam adalah sebidang lahan yang dijaga

untuk melindungi flora dan fauna yang ada didalamnya, sedangkan cagar budaya yang

dilindungi bukan suatu daerah yang bersifat alamiah melainkan hasil kebuadayaan

manusia yang berupa peninggalan masa lalu.(Fransisca dan Sunarya, 2012)

Cagar budaya tidak saja menjadi saksi sejarah pada masa silam. Cagar budaya

dapatdikatakan artefak yang memiliki nilai sebagau wujud infomasi bagi perkembangan

sebuah kota atau lingkungan terdekatnya cagar budaya dapat dianggap juga memiliki

nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan . (M.Ridah, 2012)

Dalam upaya pembangunan perkotaan yang mempunyai identitas, salah satu

aspek yang terlupakan adalah pelestarian objek/bangunan maupun kawasan bersejarah,

dewasa ini perhatian terlalu banyak dicurahkan untuk bangunan baru yang moderen,

akibatnya pada beberapa tahun terakhir ini banyak bangunan dan kawasan bersejarah

yang mengalami penurunan kualitas seperti terdegradasi secara alami atau maupun oleh

masyarakat setampat yang belum mengenal nilai historis dari objek atau bangunan

sebagai cagar budaya yang ada di lingkungannya. Ini tampak dari terjadinya banyak

penyalahgunaan, menutupi objek atau bangunan sejarah, dan pengerusakan yang terjadi

pada objek atau bangunan sejarah.

. Kota Manado yang sedang dalam perkembangannya memiliki berbagai

peninggalan-peninggalan sejarah pada kawasan kota lama yang seharusnya dapat

menjadi daya tarik dan dinikmati oleh masyarakat lokal dan mancanegara. Secara visual

keberadaan kota lama ini merupakan peninggalan masa prakolonial dan kolonial yaitu

kawasan dengan berbagai fungsi kegiatan sebagai pelabuhan, tempat transit, dan

perdagangan. Sedangkan pada masa kolonial dengan hadirnya bangsa belanda dan

1

Page 2: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

kebijakannya dalam membangun kota yang bertumpu untuk menciptakan kekuasaan

dalam kegiatan ekonomi, politik dan administrasi.

Dengan melihat Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Manado 2010-

2030, kawasan kota lama manado merupakan lokasi terdapat beberapa peninggalan

Cagar budaya yang seharusnya menjadi lokasi yang mempunyai nilai historis sebagai

tempat informasi pengetahuan sejarah kota manado pada masa lalu serta areal yang

berpotensi untuk dijadikan Objek Wisata Budaya yang memadukan kepentingan

pelestarian dan pariwisata.

Pada umumnya objek-objek cagar budaya pada kawasan kota lama manado saat

ini menjadi aset di sektor Pariwisata. Namun demikian, demi peningkatan daya tarik dan

pelestariannya, sudah saatnya, masing-masing lokasi dibenahi; terutama dalam hal

peruntukan, harus segera direnovasi, rekonstruksi dan direvitalisasi. Bahkan, perlu

dipertimbangkan untuk dialih kelola langsung oleh pemerintah (RTRW Kota Manado

2010-2030).

Baik karena kurangnya perhatian pemerintah yang dihinggapi obsesi

membangun dan upaya yang dilakukan sebagian besar hanya ke kawasan dan

objek/bangunan yang baru sehingga kesan objek dan bangunan bersejarah pada kawasan

kota lama manado tidak mempunyai identitas dan sebagian besar objek menjadi

terdegradasi selain itu kurangnya kesadaran dan rasa memiliki masyarakat tentang

kawasan yang memiliki nilai sejarah,

Sehingga, diperlukan adanya sosialisasi pengenalan dan pemahaman tentang

cagar budaya, dan manfaat dari adanya cagar budaya di kota manado yang potensial

bagi pariwisata dan memberikan manfaat dan memberikan pengaruh positif terhadap

pemerintah, lingkungan, masyarakat sekitar dan para wisatawan yang datang

berkunjung di kawasan Kota lama Manado.

2

Page 3: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

1.2. Masalah

Masalah yang ada yaitu :

1. Ketidakjelasan Cagar budaya akibat pertumbuhan dan perkembangan kota

dengan wajah bangunan-bangunan baru.

2. Cagar budaya beralih fungsi menjadi tanpa bentuk arsitektur dan tidak

mempunyai nilai sejarah bangunan.

1.3. Tujuan

Tujuan dari pembahasan ini yaitu

1. Mengidentifikasi cagar budaya yang berada pada kawasan kota lama

2. Mengenal Cagar budaya yang memiliki kriteria-kriteria pelestarian pada

kawasan Kota lama manado.

1.4. Manfaat

Manfaat dari pembahasan ini yaitu mengenal cagar budaya yang ada di kawasan

kota lama Manado dan pertimbangan dalam mengembangkan kawasan kota lama

sehingga dalam proses pengembangannya tidak menghilangkan nilai histori yang ada,

dan mempertahankanya sebagai daerah kota bersejarah yang dapat menawarkan

kawasan pariwisata di kota manado.

3

Page 4: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cagar Budaya

2.1.1. Pengertian Cagar Budaya

Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Cagar

Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan

Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan

keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

1. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan

manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau

kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki

hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

2. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari

benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan

ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

3. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda

alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang

kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk

menampung kebutuhan manusia.

4. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air

yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau

bukti kejadian pada masa lalu.

4

Page 5: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

5. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki

dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau

memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

2.1.2. Pelestarian Cagar Budaya

Pelestarian kawasan cagar budaya adalah segenap proses konservasi,

interpretasi, dan manajemen terhadap suatu kawasan agar makna kultural yang

terkandung dapat terpelihara dengan baik. Dalam sebuah pelestarian kawasan

cagar budaya perlu disediakan kesempatan kepada masyarakat yang bertanggung

jawab kultural terhadap kawasan tersebut untuk ikut berpartisipasi dalam proses

pelestarian. Kriteria pelestarian dapat diukur dari kekhasan kawasan,

kesejarahan kawasan, keistimewaan kawasan, dan partisipasi masyarakat.

Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk

melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti

penting bagi generasi selanjutnya. Namun demikian tindakan pelestarian makin

menjadi kompleks jika dihadapkan pada kenyataan sebenarnya. Tindakan

pelestarian yang dimaksudkan guna menjaga karya seni sebagai kesaksian

sejarah, kerap kali berbenturan dengan kepentingan lain, khususnya dalam

kegiatan pembangunan. James Mastron (1982) mengungkapkan bahwa hal ini

menggambarkan begitu kompleksnya masalah yang ada dalam aktivitas

pelestarian.

Pelestarian secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu usaha atau

kegiatan untuk merawat, melindungi dan mengembangkan objek pelestarian

yang memiliki nilai guna untuk dilestarikan. Namun sejauh ini belum terdapat

pengertian yang baku yang disepakati bersama. Berbagai pengertian dan istilah

pelestarian coba diungkapkan oleh para ahli perkotaan dalam melihat

permasalahan yang timbul berdasarkan konsep dan persepsi tersendiri. Berikut

pernyataan para ahli :

5

Page 6: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

1. Nia Kurmasih Pontoh (1992:36), mengemukakan bahwa konsep awal

pelestarian adalah konservasi, yaitu upaya melestarikan dan melindungi

sekaligus memanfaatkan sumber daya suatu tempat dengan adaptasi

terhadap fungsi baru, tanpa menghilangkan makna kehidupan budaya.

2. Eko budihardjo (1994:22), upaya preservasi mengandung arti

mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno

persis seperti keadaan asli semula. Karena sifat prservasi yang stastis,

upaya pelestarian memerlukan pula pendekatan konservasi yang dinamis,

tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungannya

(conservation areas) dan bahkan kota bersejarah (histories towns).

Dengan pendekatan konservasi, berbagai kegiatan dapat dilakukan,

menilai dari inventarisasi bangunan bersejarah kolonial maupun

tradisional, upaya pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai

dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas kehidupan baru.

3. Dalam Piagam Burra Tahun 1981 (Sumargo, 1990), disepakati istilah

konservasi sebagai istilah bagi semua kegiatan pelestarian, yaitu segenap

proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultral yang dikandungnya

terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi segala kegiatan

pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dapat pula

mencakup preservasi, restorasi, rekontruksi, adaptasi dan revitalisasi.

4. Mundardjito (2002) : Terbentuknya suatu kota dalam banyak sisi dapat

dilihat sebagai suatu produk dari perkembangan kebudayaan di dalamnya

terdapat perwujudan ideologi sosial serta perkembangan teknologi yang

membantu mengkonstruksikan suatu daerah menjadi kota yang kita kenal

kini. Artinya, terbentuknya kota sedikit banyak berdasarkan atas

pengetahuan, norma, kepercayaan dan nilai-nilai budaya dari

masyarakatnya di masa lalu.

2.1.3. Kriteria Pelestarian

6

Page 7: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

Dalam menentukan apakah suatu bangunan, artefak, situs, kawasan, dan

benda bersejarah lainnya termasuk dalam obyek yang perlu dilestarikan,

digunakan kriteria-kriteria pelestarian. Berikut terdapat kriteria-kriteria

pelestarian diantaranya :

1. Estetika Bangunan

Istilah estetika dapat digunakan untuk mengganti pengertian indah, bagus

, menarik atau mempesona (Lubis, 1990 : 96). Penilaian estetika suatu

bangunan sangat tergantung dari perasaan, pikiran, pengaruh lingkugan dan

norma yang bekerja pada diri pengamat. Estetika suatu bangunan sangat

terkait erat dengan penampilan bangunan, wajah bangunan dan tampak

bangunan yang kita lihat dengan mata sebelum dirasakan kesan estetisnya

dalam perasaan. Dalam menilai estetika suatu bangunan.

2. Contoh dari gaya/langgam arsitekutur tertentu (kejamakan)

Kejamakan suatu bangunan dinilai dari seberapa jauh karya arsitetur

tersebut mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik, mewakili

kurun waktu sekurang-kurangnya 50 tahun. Dalam hal ini ragam/lagam yang

spesifik yang pada arsitektur bangunan-bangunan bersejarah (Ellisa, 1996) :

Langgam arsitektur Klasik/Kolonial (Neoklasik/ Art Deco/ Gothic/

Renaisans/ Romanik.

Langgam arsitektur Kolonial tropis (langgam arsitektur Klasik yang

telah diadaptasi dengan iklim tropis di Indonesia).

Langgam arsitektur Eklektik/Indisch Style (langgam arsitektur

Klasik/Kolonial tropis yang mengandung unsur tradisional Melayu

atau daerah lainnya di Indonesia).

Langgam arsitektur campuran (Klasik/Kolonial dengan Cina, Islam,

atau India, atau campuran diantaranya)

7

Page 8: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

3. Kelangkaan

Kriteria kelangkaan menyangkut jumlah dari jenis bangunan peninggalan

sejarah dari langgam tertentu. Tolak ukur kelangkaan yang digunakan adalah

bangunan dengan langgam arsitektur yang masih asli sesuai dengan asalnya.

Yang termasuk kategori langgam arsitektur yang masih asli (Ellisa, 1996) :

1. Langgam arsitektur Klasik/Kolonial (Neoklasik/ Art Deco/ Gothic/

Renaisans/Romanik.

2. Langgam arsitektur Cina

3. Langgam arsitektur melayu

4. Langgam arsitektur India

5. Langgam arsitektur Malaka (Melayu-Cina)

6. Langgam arsitektur Islam

4. Keistimewaan/Keluarbiasaan

Tolak ukur yang digunakan untuk menilai keitimewaan/keluarbiasaan

suatu bangunan adalah bangunan yang memiliki sifat keistimewaan tertentu

sehingga memberikan kesan monumental, atau merupakan bangunan yang

pertama didirikan untuk fungsi tertentu (misalnya Mesjid pertama, Gereja

pertama, Sekolah pertama, dll).

Kesan monumental suatu bangunan dinilai dari skala monumental yang

dimiliki bangunan tersebut. Pengertian skala dalam arsitektur adalah suatu

kualitas yang menghubungkan banguna atau ruang dengan kemampuan

manusia dalam memahami bangunan atau ruang tersebut. Sedangkan yang

dimaksud dengan skala menumental adalah suatu skala ruang yang besar

dengan suatu obyeknya yang mempunyai nilai tertentu, sehingga manusia

akan merasakan keagungan dalam ruangan. Dengan melihat bangunan yang

memiliki skala menumental diharapkan pengamat akan merasa terkesan

(impressed) dan kagum, tetapi bukannya merasa takut karena merasa kecil

dan rapuh.

8

Page 9: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

5. Peranan sejarah

Tolak ukur yang digunakan untuk menilai bangunan yang memilki

peranan sejarah adalah :

Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan masa lalu kota dan

bangsa, merupakan suatu peristiwa sejarah, baik sejarah Kota

Bandung, sejarah Nasional, maupun sejarah perkembangan kota .

Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan orang terkenal atau

tokoh penting.

Bangunan hasil pekerjaan seorang arsitek tertentu, dalam hal ini

arsitek yang berperan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia

pada masa Kolonial.

6. Penguat kawasan disekitarnya

Tolak ukur yang digunakan adalah bangunan yang menjadi landmark bagi

lingkungannya, dimana kehadiran bangunan tersebut dapat meningkatkan

mutu/kualitas dan citra lingkungan sekitarnya. Beberapa keadaan yang dapat

memudahkan pengenalan terhadap suatu bangunan sehingga dapat menjadi

ciri dari suatu landmark antara lain adalah (lynch, 1992 : 79-83) :

Bangunan yang terletak disuatu tempat yang strategis dari segi visual,

yaitu di persimpangan jalan utama atau pada posisi “tusuk sate” dari

suatu pertigaan jalan.

Bentuknya istimewa karena besarnya, panjangnya, keindahannya,

ketinggiannya, atau karena keunikan bentuk.

Jenis penggunaannya, semakin banyak orang yang menggunakannya

maka akan semakin mudah pula pengenalan terhadapnya.

9

Page 10: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

Sejarah perkembangannya yaitu semakin besar peristiwa sejarah

yang terkait terhadapnya maka semakin mudah pula pengenalan

terhadapnya.

Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999 Bab IV,

dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah :

1. Tolok ukur nilai sejarah, dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan,

ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai kesejarahan

pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

2. Tolok ukur umur, dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.

3. Tolok ukur keaslian, dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana

lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di

dalamnya.

4. Tolok ukur tengeran atau landmark, dikaitkan dengan keberadaaan sebuah

bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan

wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran

lingkungan tersebut.

5. Tolok ukur arsitektur, dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang

menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.

Sedangkan kriteria kawasan dan Bangunan Cagar Budaya menurut

Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2009 Kota Bandung adalah :

1. Nilai Sejarah

Hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa atau sejarah politik

(perjuangan), sejarah ilmu pengetahuan, sejarah budaya termasuk di

dalamnya sejarah kawasan maupun bangunan (yang lekat dengan hati

masyarakatnya), tokoh penting baik pada tingkat lokal (Bandung atau Jawa

barat), nasional (Indonesia) maupun internasional

2. Nilai Arsitektur

Berkaitan dengan wajah bangunan (komposisi elemen-elemen dalam

tatanan lingkungan) dan gaya tertentu (wakil dari periode gaya tertentu) serta

10

Page 11: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

keteknikan. Termasuk di dalam nilai arsitektur adalah fasad, layout dan

bentuk bangunan, warna serta ornamen yang dimiliki oleh bangunan. Juga

berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau menunjang ilmu

pengetahuan, misalnya, bangunan yang dibangun dengan teknologi tertentu

atau teknologi baru (termasuk di dalamnya penggunaan konstruksi dan

material khusus). Bangunan yang merupakan perkembangan tipologi

tertentu.

3. Nilai Ilmu Pengetahuan

Mencakup bangunan-bangunan yang memiliki peran dalam

pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya ITB, UPI, Museum Geologi.

4. Nilai Sosial Budaya (collective memory)

Berkaitan dengan hubungan antara masyarakat dengan locusnya.

5. Umur

Berkaitan dengan umur kawasan atau bangunan cagar budaya. Umur

yang ditetapkan adalah sekurang-kurangnya 50 tahun. Semakin tua

bangunan, semakin tinggi nilai ke-‘tuaannya’.

Sedangkan Menurut Undang – undang No 11 Tahun 2010, Benda,

bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi

kriteria:

1) berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

2) mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

3) memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

agama, dan/atau kebudayaan; dan

4) memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

11

Page 12: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

2.2. Pariwisata

2.2.1. Pengertian Pariwisata

Pariwisata sudah diakui sebagai industri terbesar abad ini, dilihat dari

berbagai indikator, seperti sumbangan terhadap pendapatan dunia dan penyerapan

tenaga kerja (Pitana dan Gayatri, 2005: 54). Pariwisata sangat dinamis dan sangat

dipengaruhi oleh factor eko omi, politik, sosial, lingkungan dan perkembangan

teknologi (Hall dan Page, 1999).

Menurut beberapa sumber mengenai pengertian pariwisata, yaitu sebagai

berikut :

1. Pariwisata adalah keseluruhan rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan

kegiatan manusia yang melakukan perjalanan atau persinggahan sementara

dan tempat tinggal, ke sesuatu atau beberapa tujuan di luar lingkungan tempat

tinggal yang didorong beberapa keperluan tanpa bermaksud untuk mencari

nafkah tetap (BPS 1981, 1984, 1991).

2. Pariwisata adalah E. Guyer-Freuler, yaitu pariwisata dalam artian modern

merupakan fenomena dari jaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan

akan kesehatan dan pergantian hawa yang menimbulkan rasa keindahan alam

atau mendapat kesenangan.

3. Pariwisata menurut Anomius (1992)

Wisata adalah kegiatan untuk menciptakan kembali baik fisik maupun

psikis agar dapat berprestasi lagi.

Taman rekreasi adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan berbagai

jenis fasilitas untuk memberikan kesegaran jasmani dan rohani yang

mengandung unsure hiburan, pendidikan, kebudayaan sebagai usaha pokok

di suatu kawasan tertentu dan dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan

makanan dan minuman serta akomodasi.

Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun

atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.

12

Page 13: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

usaha pariwisata adalah suatu kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan

jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan obyek dan daya tarik

wisata, usaha barang pariwisata dan atau usaha lain yang terkait di bidang

tersebut.

2.2.2. Jenis-Jenis Pariwisata

Pariwisata dapat dibedakan jenisnya berdasarkan berbagai hal misalnya

berdasarka motif tujuan perjalanan dan jenis pariwisata berdasarkan obyek yang

ditawarkan. Menurut Dalen, (1989) jika dilihat dari motif dan tujuan

perjalanannya pariwisata dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai

berikut:

1. Pariwisata untuk menikmati perjalanan (pleasure tourism)

Jenis ini dilakukan oleh mereka yang meninggalkan tempat tinggalnya

untuk berlibur, mencari udara segar yang baru, memenuhi kehendak ingin

tahunya, mengendorkan ketegangan sarafnya, melihat sesuatu yang baru,

menikmati keindahan alam, mengetahui hikayat rakyat setempat, mendapatkan

ketenangan dan kedamaian di daerah luar kota, atau bahkan untuk menikmati

hiburan di kota-kota besar dan ikut serta dalam keramaian pusat-pusat

wisatawan. Jenis wisata ini menyangkut banyak unsur yang sifatnya berbeda,

karena pengertian pleasure berbeda kadar pemuasnya sesuai dengan karakter,

cita rasa, latar belakang kehidupan dan temperamen masing-masing individu

2. Pariwisata untuk rekreasi (recreation tourism)

Jenis ini dilakukan oleh mereka yang menghendaki pemanfaatan hari

liburnya untuk beristirahat, memulihkan kembali kesegaran jasmani dan

rohaninya, menyegarkan kelelahannya. Biasanya mereka tinggal selama

mungkin di tempat-tempat yang dianggap benar-benar menjamin tujuan

rekreasi tersebut. Dengan kata lain mereka lebih menyukai health resort.

Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang karena alasan kesehatan dan

kesembuhan harus tinggal di tempat-tempat khusus untuk memulihkan

kesehatannya (seperti daerah sumber air panas, dan lain sebagainya).

13

Page 14: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

3. Pariwisata untuk kebudayaan (cultural tourism)

Jenis ini ditandai oleh adanya rangkaian motivasi seperti keinginan untuk

belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset, untuk mempelajari adat istiadat,

kelembagaan dan cara hidup rakyat di negara lain, untuk mengunjungi

monument bersejarah, peninggalan peradaban masa lalu atau sebaliknya untuk

mengunjungi penemuan-penemuan besar masa kini, pusat-pusat kesenian,

pusat-pusat keagamaan, atau juga untuk ikut serta dalam festival-festival seni

musik, teater, tarian rakyat dan sebagainya.

4. Pariwisata untuk olah raga (sports tourism)

Jenis ini dapat dibagi ke dalam dua kategori:

a. Big Sports Events

Yaitu peristiwa-peristiwa olah raga besar (misalnya, Olipiade) yang

menarik perhatian tidak hanya olahragawan sendiri, tetapi juga ribuan

penonton atau penggemarnya.

b. Sporting Tourism of The Practicioners

Yaitu peristiwa olahraga bagi mereka yang ingin berlatih dan

mempraktekkan sendiri, seperti pendaki gunung, naik kuda, berburu, dan

sebagainya.

5. Pariwisata untuk usaha dagang (business tourism)

Yaitu perjalanan usaha dalam bentuk professional travel atau perjalanan

karena ada kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan yang tidak memberikan

kepada pelakunya baik pilihan daerah maupun pilihan waktu perjalanan.

Tersirat tidak hanya professional trip yang dilakukan kaum pengusaha atau

industrialis, tetapi juga mencakup semua kunjungan ke pameran, ke instalasi

teknis yang bahkan menarik orang-orang di luar profesi ini. Juga harus

diperhatikan bahwa kaum pengusaha tidak hanya bersikap dan berbuat sebagai

konsumen, tetapi dalam waktu sebebas-bebasnya, sering berbuat sebagai

wisatawan biasa dalam pengertian sosiologis karena mengambil dan

memanfaatkan keuntungan dari atraksi yang terdapat di negara tersebut.

14

Page 15: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

6. Pariwisata untuk berkonvensi (convention tourism)

Sekarang berbagai tourist resort atau daerah-daerah wisata banyak yang

menawarkan diri untuk dijadikan tempat konferensi. Bahkan untuk tujuan

tersebut sudah banyak negaranegara yang membentuk asosiasi-asosiasi sebagai

sarana yang dianggap penting untuk mencapai tingkat pengisian kamar yang

layak pada hotel-hotel mereka, terutama pada musim-musim menurunnya

jumlah wisatawan yang masuk ke dalam negara tersebut. Banyak negara yang

menyadari besarnya potensi ekonomi dari jenis pariwisata konferensi ini,

sehingga mereka saling berusaha untuk menyiapkan dan mendirikan

bangunan-bangunan yang khusus diperlengkapi untuk tujuan ini atau

membangun “pusatpusat konferensi” lengkap dengan fasilitas mutakhir yang

diperlukan untuk menjamin efisiensi operasi konferensi.

2.2.3. Komponen Pariwisata

Kegiatan pariwisata mencakup dua komponen utama yaitu penawaran

(supply) dan permintaan (demand). Komponen penawaran merupakan produk

wisata yang dapat ditawarkan, yang meliputi obyek wisata, sarana pariwisata,

jasa pariwisata, serta sarana dan prasarana lingkungan. Komponen permintaan

mencakup kegiatan serta aspirasi wisatawan dan masyarakat di sekitar kawasan

pariwisata.

Segala sesuatu yang disajikan bagi kepentingan wisatawan, baik berupa

benda-benda obyek, alat (sarana prasarana), tenaga (manusia, teknologi),

kegiatan (events), maupun pelayanan (service), yang sudah dirangkum

dipaketkan menjadi penawaran (supply) dan permintaan (demand) sang

wisatawan, dapat dikatakan sebagai produk wisata (Marpaung, 2002 : 78). Salah

satu studi kritis dalam rencana pengembangan sektor pariwisata adalah analisis

supply dan demand.

15

Page 16: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

1. Komponen Penawaran (suplly)

Supply kepariwisataan dapat diartikan sebagai unsur-unsur daya tarik

wisata alam atau wisata buatan manusia, barang-barang dan jasa-jasa (goods

and services) (Yoeti, 1996: 80). Definisi lain dari supply, yaitu apa-apa yang

dapat disuguhkan oleh industry pariwisata (Pendit, 1994: 130-131), sedangkan

menurut Troisi (1942) dalam (Pendit, 1994: 130-131) mengatakan bahwa

supply industri pariwisata (selanjutnya disebut “benda-benda pariwisata”) baik

yang bersifat material maupun bukan material adalah sebagai berikut :

a. Benda-benda yang dapat diperoleh dengan jalan bebas, seperti udara cuaca,

iklim, panorama, keindahan alam sekitar,

b. Benda-benda pariwisata yang diciptakan, seperti misalnya monumen,

tempat-tempat bersejarah, benda-benda arkeologi, koleksi budaya, tempat

pemandian, gedung atau bangunan penting dan spesifik, candi, masjid,

gereja,

c. Benda-benda dan pelayanan (service) kepariwisataan yang harus

ditambahkan pada benda-benda dalam kategori (a) dan (b)

Komponen dalam supply menurut (Intosh et al., 1995: 269), terdiri dari :

1. Sumber daya alam (natural resources), kategori ini merupakan dasar dari

sediaan atau penawaran yang dapat digunakan dan dinikmati wisatawan

(obyek dan daya tarik wisata);

2. Infrastruktur, seperti sistem penyediaan air bersih, sistem pengolahan

limbah, system drainase, jalan, pusat perbelanjaan/pertokoan;

3. Transportasi (transportation), termasuk didalamnya jaringan transportasi

serta fasilitas pendukungnya; dan

4. Keramahtamahan dan sumber daya kebudayaan (hospitality and cultural

resources), ditinjau dari masyarakat setempat dan termasuk seni murni,

kesusastraan, sejarah, permainan dan pertunjukan sejarah.

16

Page 17: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

2. Komponen Permintaan (demand)

Demand wisata merupakan banyaknya kesempatan wisata yang

diinginkan masyarakat atau gambaran total partisipasi masyarakat dalam

kegiatan pariwisata secara umum yang dapat diharapkan bila tersedia

fasilitas-fasilitas memadai (Douglas,1982).

Permintaan kepariwisataan melihat dari jenisnya (Yoeti, 1996: 28)

dibagi dua, yaitu :

1. Potensial demand, yaitu sejumlah orang yang memenuhi syarat minimal

untuk melakukan perjalanan pariwisata karena mempunyai banyak uang,

keadaan fisik masih kuat, hanya belum mempunyai senggang waktu

bepergian sebagai wisatawan

2. Actual demand, yaitu sejumlah orang yang sedang melakukan perjalanan

pariwisata ke suatu daerah tertentu. Analisis demand menurut

pengertiannya adalah analisis yang melihat secara tradisional, mengenai

karakteristik sosial yang telah digunakan sebagai variabel untuk

menjelaskan segmentasi pasar. Secara konvensional, perbedaan usia,

berpengaruh terhadap harapan dan perilaku wisatawan pada segmen

pasar usia muda, wisatawan dari luar negeri dan seterusnya. Dengan

pendekatan ini pangsa pasar pariwisata dibagi dalam empat segmen

utama yaitu :

a. Segmen Modern Materialsitis, perilaku pilihannya cenderung pada

sun, sea, sex (beach attraction), night club dan lain-lain.

b. Segmen Modern Idealist, perilaku pilihannya cenderung kepada

kemegahan dan hiburan yang lebih bersifat intelektual, akademik,

seni dan budaya serta atraksi-atraksi yang bertemakan pelestarian

lingkungan.

c. Segmen Tradisional Idealist, perilaku pilihannya lebih pada tempat-

tempat atraksi yang terkenal dan monumental serta glority pada

keagungan masa lalu dan juga lingkungan yang masih alami.

17

Page 18: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

d. Segmen Tradisional Materialistist, perilakunya pada tawaran karya

murah seperti belanja elektronik, pakaian, makanan dan sebagainya

yang terbentuk dalam bentuk paket wisata.

2.2.4. Unsur-unsur Pokok Pariwisata

Mengembangkan kepariwisataan disuatu obyek wisata berarti

mengembangkan potensi fisik pada obyek tersebut, sehingga fungsinya makin

meningkat sebagai obyek pariwisata yang dapat dipasarkan. Di setiap obyek atau

lokasi pariwisata sebetulnya ada berbagai unsur yang saling tergantung, yang

diperlukan agar para wisatawan dapat menikmati suatu pengalaman yang

memuaskan.

Pariwisata adalah wahana utama pelestarian kebudayaan. Pariwisata

tidak menghancurkan kebudayaan melainkan justru memberikan inspirasi untuk

terjadinya proses pengayaan, konservasi, adaptasi, rekonstruksi dan

reinterpretasi (Pitana dan Gayatri, 2005).

2.2.5. Konteks Kebudayaan Pada KawasanWisata Budaya

Konteks kebudayaan dalam kawasan wisata budaya diuraikan

berdasarkan pentingnya pelestarian budaya. Uraian di bawah ini akan

menjelaskan karakteristik atau bentuk kebudayaan dan usaha pelestarian

kebudayaan. Karakteristik atau bentuk kebudayaan merupakan suatu unsur-

unsur yang universal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut sebagai berikut

(Koentjaraningrat, 1987:12):

a. Sistem religi dan upacara keagamaan, yaitu sistem kepercayaan dengan

segala bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.

b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan, yaitu adanya tatanan masyarakat

yang mempunyai pola hubungan tertentu.

c. Sistem pengetahuan, yaitu hasil daya cipta, karya dan karsa manusia.

d. Bahasa, yaitu alat komunikasi yang digunakan golongan masyarakat.

e. Kesenian, yaitu berbagai bentuk produk seni.

18

Page 19: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

f. Sistem mata pencaharian hidup, yaitu sistem pemenuhan kebutuhan hidup

masyarakat.

g. Sistem teknologi dan peralatan, yaitu produk ciptaan manusia berdasarkan

ilmu. Unsur-unsur kebudayaan tersebut di atas, dalam kehidupan

masyarakat selanjutnya akan terwujud menjadi tiga macam, yaitu sebagai

berikut (Koentjaraningrat, 1987:11):

1. Kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, gagasan, norma-norma dan

peraturan yang bersifat abstrak, disebut culture system.

2. Kebudayaan sebagai kompleks aktifitas kelakuan yang berpola dari

manusia dalam masyarakat, bersifat lebih konkrit dan disebut sebagai

social system.

3. Kebudayaan benda-benda hasil karya manusia (artefak), mempunyai

sifat paling konkrit, dapat diraba, diobservasi dan didokumentasi,

disebut sebagai kebudayaan fisik atau physical culture.

Jadi dapat dikatakan bahwa kebudayaan semakin terwujud pada bentuk

yang konkrit dan teraga, yaitu dari sistem budaya ke sistem sosial dan akhirnya

kebudayaan fisik. Senada dengan pendapat Koentjaraningrat (1987:11),

Rapoport (1990) menyatakan bahwa budaya sebagai suatu kompleks gagasan

dan pikiran manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan ini akan terwujud melalui

pandangan hidup (world view), tata nilai (values), gaya hidup (life style) dan

akhirnya aktifitas (activities) yang bersifat konkrit.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, untuk mengkaji aspek budaya

atau kebudayaan dapat menggunakan beberapa komponen kunci (Altman &

Chemers, 1980):

1. Budaya mengacu pada kepercayaan dan persepsi, nilai dan norma,

kebiasaan dan perilaku suatu kelompok masyarakat,

2. Budaya digunakan untuk menunjukkan bahwa secara konsensus kognisi,

perasaan, dan perilaku dimiliki secara bersama oleh anggota kelompok,

19

Page 20: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

3. Budaya menunjukkan bahwa nilai, kepercayaan dan gaya perilaku yang

dimiliki olehsuatu kelompok diwariskan atau disebarluaskan pada pihak

lain, terutama anak-anak dan bahwa sosialisasi dan pendidikan anggota baru

pada kelompok tersebut dapat ikut serta memelihara kelangsungan

konsensus tersebut pada generasi berikutnya,

4. Nilai, kepercayaan dan penerapannya dalam suatu kelompok masyarakat

meliputi proses-proses yang tidak hanya berupa mental maupun behavioral,

namun budaya juga dapat dikenali pada obyek dan lingkungan fisik.

Pada suatu kawasan wisata budaya, pembentukan kebudayaan juga dapat

dilakukan dengan mengidentifikasi hal-hal sebagai berikut (Rapoport dalam

Irawati, 1996:26):

a. Lokasi, yaitu keberdaan fisik diwujudkan dalam suatu lokasi,

b. Berhubungan dengan bentang alam, yaitu adanya unsur landscape dengan

fungsi tertentu,

c. Memiliki elemen yang khusus, yaitu terdapat unsur fisik khusus yang

menjadi ciri,

d. Memiliki letak yang khusus, yaitu penempatan ruang dengan maksud

tertentu,

e. Memiliki ruang dari tipe yang khusus, yaitu jenis ruang sesuai dengan

kegunaannya,

f. Pemberian nama dalam cara yang khusus, yaitu berlandaskan unsur fisik

kawasan,

g. Menggunakan sistem orientasi yang khusus, yaitu sebagai landasan

pembangunan fisik,

h. Memiliki warna, tekstur dan sebagainya yang khusus, yaitu penggunaan

warna, tekstur khas sebagai bagian karakter fisiknya,

i. Memiliki suara, bau, temperatur, gerakan udara, dan segala hal yang berupa

karakteristik fisik yang tidak terlihat,

20

Page 21: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

j. Mempunyai orang yang pasti menarik dalam aktivitas yang khusus, yaitu

pelaksanaan aktivitas masyarakat yang menarik perhatian karena kegiatan

yang dilakukannya.

2.3. Kota Manado

2.3.1. Perkembangan Kota Manado

Nama “Manado” mulai digunakan pada tahun 1623 menggantikan nama

“Pogidon” atau “Wenang”. Kata Manado sendiri berasal dari bahasa daerah

Minahasa yaitu Mana rou atau Mana dou yang dalam bahasa Indonesia berarti

“di jauh”. Pada tahun itu juga, tanah Minahasa-Manado mulai dikenal dan

populer di antara orang-orang Eropadengan hasil buminya. Hal tersebut tercatat

dalam dokumen-dokumen sejarah.

Tahun 1658, VOC membuat sebuah benteng di Manado. Sejarah juga

mencatat bahwa salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, Pangeran Diponegoro

pernah diasingkan ke Manado oleh pemerintah Belanda pada tahun 1830.

Biologiwan Inggris Alfred Wallace juga pernah berkunjung ke Manado pada

1859 dan memuji keindahan kota ini.

Keberadaan kota Manado dimulai dari adanya besluit Gubernur Jenderal

Hindia Belanda tanggal 1 Juli 1919. Denganbeslu it itu, Gewest Manado

ditetapkan sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-

alatnya antara lain Dewan gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai oleh

seorang Walikota (Burgemeester). Pada tahun 1951,Gemeente Manado menjadi

Daerah Bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur

Sulawesitanggal 3 Mei 1951 Nomor 223. Tanggal 17 April 1951, terbentuklah

Dewan Perwakilan Periode 1951-1953 berdasarkan Keputusan Gubernur

Sulawesi Nomor 14. Pada 1953 Daerah Bagian Kota Manado berubah statusnya

menjadi Daerah Kota Manado sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 42/1953

juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1957, Manado menjadi

21

Page 22: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959, Kotapraja

Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang Nomor 29

Tahun 1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi Kotamadya

Manado, yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II Manado

sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang disempurnakan dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.

Kota ini juga pernah mengalami kerusakan berat karena peperangan

yaitu ketika pada masa Perang Dunia II, dan ketika dibom kembali oleh TNI

Angkatan Udara pada 1958 dalam upaya mengalahkan Permesta, sebuah

gerakan pemberontakan yang menghendaki pemisahan dari Republik Indonesia.

22

Page 23: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

3.1. Lokasi Studi

Lokasi Studi Pembahasan berada di Kecamatan Wenang dengan lima kelurahan

yang terdapat cagar budaya dan merupakan kawasan kota lama manado yaitu kelurahan

wenang utara, kelurahan calaca, kelurahan lawangirung, kelurahan pinaesaan dan

kelurahan istiqlal . lokasi studi ini juga berbatasan dengan :

Utara : Sungai Tondano

Selatan : Kecamatan sario

Barat : Kawasan Mega mas dan Marina Plaza

Timur : Kecamatan Istiqlal

23

Gambar 3.1Foto udara eksisting kawasan Kota Lama Manado

Peta 3.1 Peta Wilayah Administrasi Kota Manado

Page 24: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

Lokasi studi ini berdasarkan dokumen RTRW kota manado 2010 – 2030 pada Bab

5 yaitu tentang Rencana Pola Ruang Kota Manado yang menjelaskan lokasi studi ini

merupakan lokasi cagar budaya dan terdapat beberapa peninggalan – peninggalan yang

secara visual fisik memiliki nilai sejarah pada cagar budaya seharusnya dilindungi

karena merupakan rencana kawasan lindung di kota Manado.

3.2. Identifikasi Cagar Budaya

Kriteria cagar budaya pada pembahasan ini yaitu memakai pendekatan menurut

Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2009 kota bandung yang mengacu pada UU No 5

Tahun 1992 yang telah di revisi menjadi UU No 11 Tahun 2010 Tentang cagar budaya.

Undang – undang No 11 Tahun 2010, Benda, bangunan, atau struktur dapat

diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar

Budaya apabila memenuhi kriteria:

1. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

3. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

dan/atau kebudayaan; dan

4. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Sedangkan kategori Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2009 Kota Bandung

yaitu :

1. Nilai Sejarah

Hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa atau sejarah politik

(perjuangan), sejarah ilmu pengetahuan, sejarah budaya termasuk di

dalamnya sejarah kawasan maupun bangunan (yang lekat dengan hati

masyarakatnya), tokoh penting baik pada tingkat lokal (Bandung atau Jawa

barat), nasional (Indonesia) maupun internasional

24

Page 25: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

2. Nilai Arsitektur

Berkaitan dengan wajah bangunan (komposisi elemen-elemen dalam

tatanan lingkungan) dan gaya tertentu (wakil dari periode gaya tertentu) serta

keteknikan. Termasuk di dalam nilai arsitektur adalah fasad, layout dan

bentuk bangunan, warna serta ornamen yang dimiliki oleh bangunan. Juga

berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau menunjang ilmu

pengetahuan, misalnya, bangunan yang dibangun dengan teknologi tertentu

atau teknologi baru (termasuk di dalamnya penggunaan konstruksi dan

material khusus). Bangunan yang merupakan perkembangan tipologi

tertentu.

3. Nilai Ilmu Pengetahuan

Mencakup bangunan-bangunan yang memiliki peran dalam

pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya ITB, UPI, Museum Geologi.

4. Nilai Sosial Budaya (collective memory)

Berkaitan dengan hubungan antara masyarakat dengan locusnya.

5. Umur

Berkaitan dengan umur kawasan atau bangunan cagar budaya. Umur

yang ditetapkan adalah sekurang-kurangnya 50 tahun. Semakin tua

bangunan, semakin tinggi nilai ke-‘tuaannya’.

Pengkategorian dari Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2009 kota bandung ini

digunakan Karena belum ada peraturan daerah kota Manado yang mengenai kriteria dan

perlindungan tentang Cagar Budaya sehingga dari pembahasan ini sesuai UU No 11

Tahun 2010 Tentang cagar budaya salah satu kota di Indonesia yang terpilih karena

masih menjaga dan melestarikan cagar budaya yaitu kota bandung dengan Peraturan

Daerah Nomor 19 Tahun 2009 kota bandung.

25

Page 26: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

Berdasarkan penentuan kriteria cagar budaya menurut Peraturan Daerah Nomor

19 Tahun 2009 kota bandung sehingga dapat diidentifikasi kawasan kota lama Manado

memiliki beberapa Cagar Budaya yaitu :

1. Taman Kesatuan Bangsa

Kawasan Taman Kesatuan Bangsa Telah ada sejak tahun 1970an yang

kemudian diresmikan pada tahun 1987 oleh Pemerintah Sulawesi Utara. Kawasan

TKB sangat erat kaitan dengan sejarah perkembangan Kota Manado. Selain itu

Patung Dotu Lolong Lasut yang terletak tepat ditengah-tengah taman ini memiliki

nilai sejarah sebagai pejuang dan salah cikal bakal berdirinya Kota Manado dan

disini juga pernah menjadi salah satu tempat menyampaikan aspirasi Pemberontak

Rakyat Semesta (Permesta).

26

Gambar 3.2 Foto udara dan foto Taman Kesatuan Bangsa

Page 27: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

Kawasan TKB Termasuk ke dalam Struktur Cagar Budaya karena telah ada

lebih dari 50 tahun, mempunyai nilai historis, sosial budaya dan memberikan nilai

ilmu pengetahuan serta memenuhi dan menampung kebutuhan manusia karena

Taman Kesatuan Bangsa ini merupakan ruang publik dan telah menjadi landmark

kota manado sampai sekarang ini.

2. Oude Kerk (Gereja Sentrum),

Sebelum nama Gereja Sentrum Manado dikenal dengan nama Gereja Besar

Manado. Pada masa penjajahan Jepang Gereja Besar Manado pernah menjadi

Markas/Pusat MSKK (Manado Syuu Kiri Sutoktop Kyookai) yang dipimpin oleh

pendeta Jepang Hamasaki. Namun, Gedung Gereja Besar Manado yang begitu sarat

akan nilai historis religius ini hancur di bom pada perang dunia II atau agresi militer.

Sebagai tanda atau prasasti maka didirikan monumen yang berada disebelah

kiri gereja yang sudah hancur tersebut. Monumen perang dunia II ini sampai

sekarang masih kokoh berdiri. Pada tahun 1952, didirikan sebuah gedung gereja

permanent di lokasi yang hancur.

27

Gambar 3.3 Foto udara dan foto Oude Kerk (Gereja Sentrum),

Page 28: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

Gereja Sentrum merupakan Bangunan Cagar Budaya karena telah berumur

lebih dari 50 tahun dan masih memiiki nilai arsitektur, mempunyai nilai historis, dan

menunjang nilai pengetahuan dalam perkembangan kawasan disekitarnya.

3. Tugu Perang Dunia Ke – 2

Tugu Perang Dunia ke 2 ini dibangun pada tahun 1940 untuk memperingati

dan sebagai tanda bahwa sekutu pernah melakukan pengeboman pada kawasan

Indonesia Bagian Timur pada waktu Perang Dunia II. Target dari pengeboman ini

adalah Gereja Sentrum, dimana pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, gedung

tersebut pernah menjadi markas / pusat ‘Manado Syuu Kiri Sutokyop Kyookai’

yang dipimpin Pendeta Jepang, Hamasaki. Letak tugu peringatan ini berada di

sebelah kiri dari bangunan Gereja Sentrum.

Tugu perang dunia ke II merupakan Benda cagar budaya karena telah

berumur lebih dari 50 tahun, mempunyai nilai historis, dan mempunyai hubungan

erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan kawasan disekitarnya.

28

Gambar 3.4Foto udara dan foto Tugu Perang Dunia ke 2

Page 29: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

4. Klenteng Ban Hin Kiong

Kelenteng Ban Hing Kiong didirikan sekitar 300 tahun yang lampau dengan

mengikuti pola yang diawali dari niat dan hakekat para pendirinya, dimana hal

tersebut tertampil secara fisik pada papan nama yang mencerminkan fungsi dan

peran serta sifatnya yang umum dan luas (universal).

Klenteng Ban Hin Kiong merupakan bangunan Cagar Budaya karena telah

berumur lebih dari 50 tahun dan masih memiliki nilai arsitektur, mempunyai sejarah

ilmu pengetahuan, sejarah budaya dan berpengaruh bagi perkembangan kawasan

disekitarnya.

29

Gambar 3.5 Foto udara dan foto Kelenteng Ban Hing Kiong

Page 30: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

5. Monumen Pendaratan Batalyon Worang

Monumen tujuh tentara ini diresmikan pada 10 Mei 1954 dan berlokasi di dekat

Pasar 45, di mana patung Dotu Lolong Lasut berdiri (lihat di atas). Nama dari

batalyon ini diambil dari salah satu perwira tinggi Minahasa (H.V. Worang) pada

awal kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Batalyon Worang mendarat di Sulawesi

Utara dengan perintah untuk melawan pemberontakan penduduk lokal yang

mendukung Belanda.

Monumen Pendaratan Batalyon Worang merupakan Benda Cagar Budaya

karena telah berumur lebih dari 50 tahun, mempunyai nilai sejarah, dan mempunyai

hubungan erat dengan kebudayaan dan perkembangan kawasan kota lama di

Manado

30

Gambar 3.6 Foto udara dan foto Monumen Pendaratan Batalyon Worang

Page 31: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

6. Minahasa Raad (Gedung Dewan Minahasa)

Sejarah Minahasa Raad yang adalah gedung parlemen pertama di Indonesia

dibangun tahun 1925 dan selesai pada tahun 1930. DR Sam Ratulangi adalah

penduduk pribumi pertama yang menjadi anggota dewan merangkap sekretaris

dewan.

Bangunan lama milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang terletak di

Jalan Sam Ratulangi depan Gedung Bank Sulut, dahulunya adalah Gedung Dewan

Minahasa (Minahasa Raad) pada jaman pendudukan Belanda di Manado

Minahasa Raad merupakan Bangunan Cagar Budaya karena telah berumur

lebih dari 50 tahun dan masih memiiki nilai arsitektur, mempunyai sejarah ilmu

pengetahuan, sejarah budaya dan berpengaruh bagi perkembangan kawasan

disekitarnya.

31

Gambar 3.7 Foto udara dan foto Minahasa Raad (Gedung Dewan Minahasa)

Page 32: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

7. Benteng atau Bioskop Benteng

Bangunan bioskop Benteng dibangun pada tahun 1930, memiliki peranan

sejarah, karena sudah ada sejak lama. Bangunan ini juga menjadi salah satu

bangunan yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dan juga sebagai tempat

hiburan pada masa sejarah.

Benteng Atau Bioskop Benteng merupakan Bangunan Cagar Budaya

karena telah berumur lebih dari 50 tahun dan masih memiiki nilai arsitektur,

mempunyai sejarah ilmu pengetahuan, dan berpengaruh bagi perkembangan

kawasan di kota lama Manado.

32

Gambar 3.8 Foto udara dan foto Benteng Atau Bioskop Benteng

Page 33: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

8. Kapel Biara St. Joseph

Didirikan pada abad 19, Berusia ±150 Tahun. Sturuktur dan bentuk

bangunan masih asli. Masih berfungsi sebagai kapel sampai sekarang dan dapat di

kunjungi oleh siapa saja yang ingin berkunjung

Kapel Biara St. Joseph merupakan bangunan Cagar Budaya karena telah

berumur lebih dari 50 tahun dan masih memiiki nilai arsitektur, mempunyai nilai

historis, kebudayaan dan berpengaruh dalam perkembangan kawasannya.

33

Gambar 3.9 Foto udara dan foto Kapel Biara St. Joseph

Page 34: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

9. Gereja St. Ignatius

Gereja ST. Ignatius memiliki nilai sejarah tiggi dimana gereja ini ialah salah

satu gereja katholik mula-mula di kota Manado. Di bangun pada tahun 1957, gereja

ini merupakan hasil pemekaran dari gereja Katedral Hati Tersuci Maria dan

menjadi gereja Katholik yang berpengaruh di Manado Utara.

Gereja St. Ignatius merupakan Bangunan Cagar Budaya karena telah

berumur lebih dari 50 tahun dan masih memiiki nilai historis, kebudayaan

mempunyai nilai arsitektur, dan berpengaruh dalam perkembangan kawasan kota

lama manado.

34

Gambar 3.10 Foto udara dan foto Gereja St. Ignatius

Page 35: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

3.3. Pengembangan Kawasan Wisata Budaya

1. Aksesibiltas

Aksesibilitas merupakan salah satu elemen penting dalam menunjang sektor

pariwisata di Kota Manado. Kota manado sendiri menyediakan sumber transportasi baik

darat, laut dan udara. Transportasi darat dengan adanya terminal malalayang yang

terdapat pada selatan kota manado dan terminal karombasan terdapat di kecamatan

Wanea serta terminal Paal 2 terdapat di kecamatan Tikala. Transportasi laut yang ada

didukung dengan adanya pelabuhan diteluk manado berada di pusat kota lama itu

sendiri serta pelabuhan yang berada di kota Bitung dengan transportasi darat yang

memerlukan durasi waktu sekitar 1 jam lebih untuk sampai di pusat kota lama manado,

dan untuk transportasi udara didukung dengan adanya bandara Internasional Sam

Ratulangi, Akses menuju kawasan kota lama manado dari bandara memerlukan waktu

sekitar 30 menit jika tidak ada hambatan seperti macet.

35

Gambar 3.11 Foto udara akses dari bandara sam ratulangi ke kawasan kota lama Manado

Page 36: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

2. Fasiltas dan Infrastruktur

Kota Manado memiliki 14 hotel berbintang yang terdiri dari 3 Hotel Bintang

Lima, 5 Hotel Bintang Empat, 4 Hotel Bintang Tiga, 3 Hotel Bintang Dua, dan 2

Hotel Bintang Satu. Sedangkan Hotel Non Bintang yang ada di kota Manado

sebanyak 92 Hotel. Sehingga dapat mendukung keberadaan lokasi cagar budaya di

pusat kota lama manado

Di lokasi cagar budaya ini juga terdapat pasar tradisional yaitu pasar

bersehati dan beberapa pasar swalayan seperti jumbo, multimart, dan golden serta

juga terdapat area wisata kuliner wakeke rumah makan di dalamnya.

Pada dasarnya fasilitas umum seperti, lahan parkir, WC umum,

pertokoan/warung telah tersedia dan cukup memadai dan dapat memenuhi

kebutuhan orang yang datang atau singgah ke lokasi wisata budaya kota cagar

36

Tabel 3.1 Banyaknya Hotel Berbintang Tahun 2011

Page 37: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

budaya manado, namun pengelolaan dan pengawasan terhadap tingkat kesadaran

dan kedisiplinan masyarakat, dalam menjaga dan memelihara kebersihan dan

keindahan harus tetap diperhatikan.

37

Gambar 3.12 Fasilitas Parkir di Taman Kesatuan Bangsa

Gambar 3.13 PasarBersehati dan WC Umum di Pasar Bersehati

Gambar 3.14 Pasar Swalayan (Jumbo dan Golden)

Page 38: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

Penambahan tanda – tanda masuk kawasan perlu ditambahkan sebagai

penanda lokasi wisata cagar budaya sehingga lokasi ini dapat berpotensi menjadi

kawasan yang dapat memberikan ciri khas terhadap kota manado, dapat menjadi

kawasan yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan untuk

peningkatan pariwisata di kota manado

3.4. KESIMPULAN

Pada Kawasan Kota Lama Masih terdapat 2 Benda Cagar Budaya, 6 Bangunan

Cagar Budaya, dan 1 Struktur Cagar Budaya sehingga lokasi ini sesuai Undang Undang

no 11 tahun 2010 tentang cagar budaya lokasi ini merupakan Situs Cagar Budaya yang

berpotensi menjadi aset kota manado yang perlu dijaga dan di lestarikan keberadaannya

Selain itu juga potensi yang terdapat dalam Situs Cagar Budaya ini akan

memberikan pelajaran yang berarti bagi pengembangan wawasan pengunjung dan

memberikan informasi yang baru.dan juga berguna untuk lingkungan setempat berupa,

peningkatan ekonomi, pendidikan, dan pengetahuan dalam menunjang kawasan kota

lama Manado sebagai kawasan wisata yang berpotensi untuk di tingkatkan .

Dalam pengembangan wisata budaya akses untuk masuk ke lokasi kota lama ini

dapat di dilalui oleh tranportasi darat yang sudah disediakasn di kota manado dari

terminal malalayang bagian selatan kota manado, terminal karombasan terdapat di

kecamatan Wanea serta terminal Paal 2 terdapat di kecamatan Tikala. Pada lokasi ini

juga ditunjang beberapa fasilitas pendukung seperti Hotel dan Tempat makan sehingga

memberikan kenyamanan dan keamanan bagi para wisatawan yang datang dan

berkunjung.

Pada lokasi situs cagar budaya ini perhatian pemerintah sangat diperlukan dalam

melindungi dan melestarikan lokasi ini, bentuk sosialisasi, memberikan pemahaman

tentang cagar budaya kepada masyarakat agar dalam pelestariannya masyarakat turut

andil dalam setiap peluang untuk meningkatkan ekonomi, sosial, kebudayaan, dan

pariwisata di kota manado terutama kawasan Kota Lama Manado

38

Page 39: Identifikasi Cagar Budaya Untuk Pengembangan Kawasan Pariwisata

DAFTAR PUSTAKA

Almadani, M. R. dan Gundawan. Ivan. 2013. “Identifikasi Bangunan Cagar Budaya Bangunan Kuning Agung, Senghie, Pontianak.” Journal Of Architecture, Vol 2, Februari, Hal. 17-28.

Harjiyatni, F. R. dan Raharja, Sunarya. 2012.” Perlindungan Hukun Benda Cagar Budaya Terhadap Ancaman Kerusakan Di Yogyakarta.” Mimbar Hukum, Vol 24, Juni, Hal. 187-375

Karongkong, H. H. 2011.” Pembongkaran Kompleks Persekolahan ‘Don Bosco’ Manado (Pengrusakan nilai bangunan ‘Cagar Budaya’).” Jurnal Sabua, Vol 3, Mei, Hal. 49-52.

Paramata, Indriani. et al. 2013. “ Perencanaan Paket Wisata Kota Manado.” Planning for Urban Regional and Environment,Vol 2, April, Hal. 33-42.

Siswanto. 2007.”Pariwisata dan Pelestarian Warisan Budaya.” Berkala Arkeologi Tahun XXVII, Edisi 1, Mei, Hal. 155-173.

Susiana. 2013.”Identifikasi Bangunan-Bangunan Bersejarah Di Kabupaten Serdang Berdagai.” Jurnal, Juni, Hal.1-14.

Sidabutar, F. D. Yuanita. 2007.”Pemanfaatan Keberadaan Bangunan Bersejarah Dalam Mendukung Aktivitas Pengembangan Wilayah di Kota Medan (Studi Kasus : Kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka.” Jurnal Wahana Hijau, Vol 3, Agustus, Hal. 9-16.

S, Titik.Yulita et al. 2011.” Model Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya Pelestarian Warisan Budaya.” Seri Kajian Ilmiah, Vol 14, Januari, Hal. 52-72.

Widyastuty, A.G.S.A. 2011. “Identifikaksi Kawasan Kota Lama Gresik.” Jurnal Teknik Waktu, Vol 09, Juli, Hal. 6-17.

Widyawati, N. L. dan Syahbana, J. A. 2013.”keseriusan Dan Konsekuensi Sikap Pemerintah Daerah Terhadap Pelestarian Di Kawasan Kota Lama Semarang.” Jurnal Teknik Pwk, Vol 2, Hal. 303-313.

39