hurdle tech

54
TUGAS TERSTRUKTUR MIKROBIOLOGI PANGAN “Hurdle Technology” “ PENGARUH PEMBERIAN ASAP CAIR DAN METODE PEMANASAN TERHADAP KUALITAS DAN TINGKAT KESUKAAN DENDENG SAPI SELAMA PENYIMPANAN” Oleh : Kelompok 10 Syifaul Mubarokah A1M011027 Farha Herzegovina A1M011075 Nadya Wihartati R A1M011083 Nurestu Hidyatiasih A1M011085 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Upload: nurestu

Post on 24-Oct-2015

637 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Ilmu dan Teknologi Pangan

TRANSCRIPT

TUGAS TERSTRUKTUR MIKROBIOLOGI PANGAN

“Hurdle Technology”

“ PENGARUH PEMBERIAN ASAP CAIR DAN METODE PEMANASAN TERHADAP KUALITAS DAN TINGKAT

KESUKAAN DENDENG SAPI SELAMA PENYIMPANAN”

Oleh :

Kelompok 10

Syifaul Mubarokah A1M011027

Farha Herzegovina A1M011075

Nadya Wihartati R A1M011083

Nurestu Hidyatiasih A1M011085

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS PERTANIANILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

PURWOKERTO2013

I. PENDAHULUAN

Saat ini pabrik-pabrik pangan telah menyadari akan berhasilnya aplikasi

teknologi kombinasi dalam hal menghasilkan produk pangan yang stabil selama

penyimpanan dan aman. Pendekatan dalam metode kombinasi umumnya adalah

menemukan interaksi antara penggunaan senyawa pengawet kimiawi dengan

proses fisik yang paling disukai atau diantara beberapa bahan pengawet, yang

dapat dapat mengurangi resiko pada proses tanpa mengorbankan keamanan atau

stabilisasi dari pangan itu sendiri. Berawal dari sinilah istilah hurdle technology

menjadi populer dalam pengolahan pangan. Teknologi kombinasi juga dapat

digunakan untuk meningkatkan kualitas produk pangan dan juga dapat bertujuan

meperoleh teknik pengawetan pangan yang lebih ekonomis.

Hurdle technology berarti menggabungkan berbagai metode pengawetan

untuk menghambat atau membunuh bakteri, sehingga mencapai suatu produk

yang aman untuk dikonsumsi. Beberapa contoh hambatan tersebut termasuk

garam, menurunkan pH, aktivitas air berkurang, perlakuan panas dan kemasan.

Sebuah kombinasi yang efektif dari rintangan yang berbeda dapat bekerja secara

sinergis dan dengan demikian memberikan efek antibakteri yang baik meskipun

"tinggi" (tingkat) setiap rintangan individu mungkin kecil. Kombinasi miskin

rintangan mungkin memiliki efek antagonis, jadi pengaruh dari penggabungan ini

sangat kurang jika salah satu dari rintangan individu telah digunakan sendirian.

Rintangan teknologi yang digunakan dalam cara yang benar merupakan alat yang

baik untuk mencapai produk yang aman dan lezat berkualitas tinggi.

Dendeng adalah produk tradisional dari Indonesia dan dari negara-negara

seluruh Asia Tenggara. Dendeng dapat dibuat dari daging sapi, ayam, babi atau

kambing, tetapi yang paling banyak dijumpai di pasar-pasar di Indonesia adalah

dendeng sapi (Buckle et al., 1985). Definisi dendeng sapi menurut Standar

Nasional Indonesia 01-2908-1992 adalah produk makanan berbentuk lempengan

yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar yang berasal dari sapi

sehat yang telah diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng sapi dapat disajikan

dalam dua bentuk yaitu dendeng sapi irisan dan dendeng sapi giling. Dendeng

merupakan salah satu produk daging kering yang memiliki masa simpan lebih dari

6 bulan dengan kadar air kira- kira 15% sampai 20% dan pH 4,5-5,1. Warna

dendeng yang coklat kehitaman disebabkan oleh reaksi pencoklatan selama proses

pemanasan. Reaksi tersebut dapat menimbulkan rasa atau flavor yang pahit

(Soeparno, 2005).

Penambahan asap cair pada proses pembuatan dendeng sapi dapat

meningkatkan keawetan dendeng sapi. Asap cair dapat digunakan untuk

memberikan karakteristik sensori terhadap produk ikan dan daging dalam bentuk

perubahan warna, bau, dan rasa (Sunen et al. 2003).

Asap cair dilakukan bersamaan dengan proses kyuring. Penggunaan asap

cair lebih luas aplikasinya untuk mengantikan pengasapan secara tradisional.

Perkembangan asap cair semakin pesat dalam pengawetan bahan pangan, karena

biaya yang dibutuhkan untuk kayu dan peralatan pembuatan asap relatif lebih

hemat, komponen yang berbahaya dapat dipisahkan atau direduksisebelum

digunakan pada makanan serta komposisi asap cair lebih konsisten untuk

pemakaian berulang-ulang (Maga, 1987).

Pengemasan vakum merupakan metode pengemasan dengan

mengeluarkan udara dari kemasan dan kemasan ditutup rapat untuk membuat

kondisi vakum terjadi di dalam kemasan. Pengemasan vakum banyak digunakan

di industri-industri makanan karena efektivitasnya dalam menekan reaksi oksidasi

yang terjadi dalam produk dengan biaya yang relative rendah (murah).

Pengemasan vakum biasa digunakan dalam produk beku dan produk dengan

perlakuan panas (heat-treated products). Pengemasan vakum juga efektif dalam

menekan pertumbuhan bakteri pembusuk tertentu, tetapi penggunaannya tidak

direkomendasikan untuk produk ikan dingin (refrigerated fish). Pengemasan

vakum ditujukan untuk menambah daya simpan dendeng.

Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui efektivitas dari beberapa

kombinasi metode pengawetan (Hurdle Technology) pada dendeng sapi,

mengetahui proses pengawetan dan mekanismenya dalam mengurangi mikroba

pada produk. Tujuan penelitian dalam jurnal adalah menghasilkan dendeng sapi

beraroma asap yang tetap berkualitas baik selama penyimpanan dan diterima oleh

konsumen. Penelitian ini belum lengkap, sehingga memerlukan penelitian

pendahuluan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menghambat penelitian

ini, sehingga dapat dilakukan perbaikan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa penyediaan

pengaruh presentase pemberian asap cair dan pengemasan yang tepat pada

pembuatan dendeng sapi, sehingga dapat digunakan sebagai wacana diversifikasi

produk dendeng sapi pada masyarakat pengrajin dendeng yan berkualitas.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. HURDLE TECHNOLOGY

II. A. 1. Definisi Hurdle Technology

Hurdle Technology merupakan konsep mengenai kombinasi berbagai

pengawetan dan landasan ilmiah yang dikembangkan oleh Leistner, seorang

peneliti dari Jerman. Hurdle technology atau dikenal juga dengan teknologi

kombinasi adalah metode yang mengkombinasikan dua atau lebih metode

pengawetan pada level rendah dibandingkan bila pengawetan tersebut

dilakukan dengan metode pengawetan tunggal. Hurdle technology tidak

hanya sekedar mengkombinasikan berbagai metode pengawetan, namun juga

dapat digunakan untuk mengoptimalkan efek pengawetan yang diinginkan

tanpa memberikan perlakuan pengawetan yang berlebihan. Setiap faktor yang

berperan dalam pengawetan atau metode yang digunakan untuk tujuan

pengawetan disebut hurdle. Beberapa contoh hurdle tersebut termasuk garam,

pH berkurang, aktivitas air berkurang, perlakuan panas dan kemasan.

II. A. 2. Prinsip Hurdle Technology pada Pengawetan Makanan

Secara sederhana pertumbuhan mikroorganisme pada pangan yang

diawetkan dengan mengaplikasikan teknologi hurdle dapat diibaratkan

sebagai seorang atlit yang sedang berlari halang rintang. Rintangan-rintangan

tersebut dapat dianalogikan sebagai berbagai macam metode pengawetan

yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Mikroorganisme yang

berada dalam bahan pangan tidak boleh melewati hurdle yang diterapkan.

Jika mikroorganisme dapat melewati hurdle atau tidak terhambat oleh hurdle

maka pangan tersebut akan busuk atau mikroorganisme patogen akan

tumbuh.

Sebagai contoh perhatikan gambar di bawah ini. Pada Gambar 2a,

pangan memiliki 6 hurdle yaitu suhu tinggi selama pengolahan (F), suhu

rendah selama penyimpanan (t), aw yang rendah (aw), keasaman tinggi (pH),

potensi redoks yang rendah (Eh) dan bahan pengawet (pres). Mikroorganisme

yang ada dalam bahan pangan tidak dapat melewati hurdle tersebut pada

bagian bahan pengawet. Gambar 2a tersebut menggambarkan aplikasi hurdle

secara teoritis karena intensitas masing-masing hurdle sama besarnya dan ini

jarang terjadi pada proses pengolahan. Gambar 2b menunjukkan kondisi yang

hampir mendekati keadaan sebenarnya, dimana intensitas masing-masing

hurdle berbeda. Hurdle utama pada Gambar 2b adalah aw dan bahan

pengawet (pres).

Gambar 2. Berbagai hurdle yang diterapkan pada bahan pangan untuk menghambat pertumbuhan

mikroorganisme. (Leistner, 1995)

Gambar 2c menunjukkan kondisi yang hampir mendekati keadaan

sebenarnya, dimana intensitas masing-masing hurdle juga berbeda. Hurdle

utama pada Gambar 2c hanya aw dimana mikroorganisme tidak bisa

melewati hurdle tersebut. Sedangkan pada gambar 2d menunjukkan bahwa

keseluruhan hurdle tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme

yang menyebabkan makanan membusuk.

II. A. 3. Regulasi Homeostatis

Homeostasis adalah pemeliharaan lingkungan internal yang relative

stabil untuk mempertahankan hidup pada setiap sel-sel sistem tubuh. Fungsi-

fungsi yang dilakukan oleh setiap sistem tubuh ikut berperan dalam

mempertahankan homeostasis sehingga lingkungan yang diperlukan untuk

kelangsungan hidup dan fungsi semua sel yang membentuk tubuh dapat

dipertahankan. Konsep dasar homeostasis: “homeostasis penting bagi

kelangsungan hidup sel, sistem tubuh mempertahankan homeostasis dan sel

membentuk sistem tubuh.” Homeostasis beregulasi dengan banyak sistem

tubuh manusia, disini akan dibahas regulasi homeostasis terhadap

keseimbangan cairan, sistem endokrin, dan sistem saraf.

• Homeostasis dan Keseimbangan Cairan

Homeostasis bergantung pada pemeliharaan keseimbangan antara

pemasukan dan pengeluaran semua konstituen yang terdapat di lingkungan

cairan internal. Pengaturan keseimbangan cairan melibatkan dua komponen

terpisah, yaitu kontrol keseimbangan garam dan control keseimbangan H2O.

Kontrol keseimbangan garam penting bagi pengaturan jangka panjang

tekanan darah arteri karena beban garam tubuh mempengaruhi penentuan

osmotik volume CES dengan volume plasma sebagai salah satu bagiannya.

Keseimbangan garam dipertahankan oleh penyesuaian secara konstan

pengeluaran garam di urin untuk mengimbangi asupan garam yang

takterkontrol dan bervariasi. Kontrol keseimbangan H2O penting untuk

mencegah perubahan osmolaritas CES (dapat mengakibatkan

sel membengkak dan menciut). Keseimbangan air terutama dipelihara oleh

pengontrolan H2O yang keluar di urine untuk mengkompensasi pengeluaran

tak terkontrol H2O dalam jumlah bervariasi melalui keringat/diare, dan

pemasukan H2O yang tidak terkontrol baik. (Haussinger, 1988).

B. DENDENG SAPI ASAP

Daging asap adalah irisan daging yang diawetkan. Pengawetan daging

dilakukan dengan cara pengasapan. Asap yang digunakan untuk

mengawetkan berasal dari pembakaran kayu.

Dendeng sapi asap merupakan suatu pangan tradisional yang melalui

proses pengasapan. Proses pengasapan ini dapat mempertahankan kualitas,

memiliki terima pada konsumen serta memiliki masa simpan yang lebih lama.

(S. Rahayu, dkk, )

Asap dari kayu menghasilkan senyawa bernama fenol dan formal

dehida. Kedua senyawa tersebut mengandung zat yang dapat membunuh

bakteri, atau bersifat bakterisida. Jika digabungkan, keduanya akan

mematikan jamur. Warna dendeng asap yang mengkilat juga merupakan

reaksi dari kedua senyawa tersebut.

II. B. 1. Pengawetan pada Dendeng Sapi

Pengawetan produk daging asap, digunakan beberapa faktor

pengawetan yang dikombinasikan untuk memastikan keamanan pangan

tersebut. Kombinasi faktor yang digunakan pembuatan dendeng sapi adalah

kyuring, pengasapan, pengeringan, dan pengemasan yang baik diharapkan

dapat meningkatkan daya simpan atau daya aet dari daging yang memiliki

komposisi gizi yang masih relatif sama dengan daging segar. Faktor-faktor

pengawetan ini juga dapat berpengaruh terhadap karakteristik sensori produk

dan memberikan kontribusi terhadap cita rasa dan warna pada produk.

II. B. 2. Asap Cair

II. B. 2.1. Definisi Asap Cair

Asap cair (bahasa Inggris: wood vinegar, liquid smoke) merupakan

suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara

langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak

mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya.

Bahan baku yang banyak digunakan antara lain berbagai macam jenis kayu,

bongkol kelapa sawit, tempurung kelapa, sekam, ampas atau serbuk gergaji

kayu dan lain sebagainya. 

II. B. 2.2 Proses Pembentukkan Asap Cair

Asap merupakan sistem komplek yang terdiri dari fase cairan

terdispersi dan medium gas sebagai pendispersi. Asap diproduksi dengan cara

pembakaran tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen

polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena

pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi dan

kondensasi. Jumlah partikel padatan dan cairan dalam medium gas

menentukan kepadatan asap. Selain itu asap juga memberikan pengaruh

warna rasa dan aroma pada medium pendispersi gas.

Sifat dari asap cair dipengaruhi oleh komponen utama yaitu selulosa,

hemiselulosa dan lignin yang proporsinya bervariasi tergantung pada jenis

bahan yang akan di pirolisis. Proses pirolisis sendiri melibatkan berbagai

proses reaksi diantaranya dekomposisi, oksidasi, polimerisasi dan kondensasi.

Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling

awal menghasilkan fural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa

tersusun dari pentosan dan heksosan dan rata-rata proporsi ini tergantung

pada jenis kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural, fural dan

turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat. Bersama-

sama dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan

homolognya. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 oC. Fenol

dihasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 oC dan

berakhir pada suhu 400 oC. Proses selanjutnya yaitu pirolisa selulosa

menghasilkan senyawa asam asetat dan senyawa karbonil seperti asetaldehid,

glikosal dan akreolin. Pirolisa lignin akan menghasilkan senyawa fenol,

guaikol, siringol bersama dengan homolog dan derivatnya.

II. B. 2.3 Komposisi Kimia Asap Cair

Analisis kimia yang dilakukan terhadap asap cair meliputi penentuan

fenol, karbonil, keasaman dan indeks pencoklatan.

Asap cair juga mengandung senyawa yang merugikan yaitu tar dan

senyawa benzopiren yangbersifat toksik dan karsinogenik serta menyebabkan

kerusakan asam amino esensial dari protein dan vitamin. Pengaruh ini

disebabkan adanya sejumlah senyawa kimia di dalam asap cair yang dapat

bereaksi dengan komponen bahan makanan. Upaya untuk memisahkan

komponen berbahaya di dalam asap cair dapat dilakukan dengan cara

redistilasi, yaitu proses pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan titik

didihnya. Redistilasi dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang

tidak diinginkan dan berbahaya sehingga diperoleh asap cair yang jernih,

bebas tar, poliaromatik hidrokarbon (PAH) dan benzopiren pendispersi.

II. B. 3. Penggunaan Asap Cair pada Pembuatan Dendeng Sapi.

Penggunaan asap cair sangat berperan penting bagi pembuatan

dendeng sapi. Karena pada umumnya daging banyak mengandung nilai gizi

dan air yang akan menjadi tempat mikroorganisme tumbuh sedangkan banyak

jenis pengawetan makanan yang membahayakan tubuh konsumen. Sehingga

pengasapan dengan asap cair diperlukan sebagai media pengawetan alternatif

yang bertindak sebagai antibakteri dan antioksidan.

Daging yang sudah diasapkan memiliki kadar air yang sangat rendah.

Makanan yang memiliki kadar air rendah akan lebih tahan terhadap mikroba.

Mikroba adalah semacam bakteri yang dapat menyebabkan makanan busuk

dalam waktu cepat. Dendeng sapi asap yang rendah air membuat salah satu

olahan daging ini menjadi tidak cepat busuk.

Penggunaan asap cair sering dikombinasikan dengan berbagai

perlakuan seperti penggaraman, teknik pengemasan dan suhu penyimpanan,

sebagai upaya untuk menghasilkan efek sinergis terhadap mikroorganisme

perusak dan meningkatkan umur simpan (Muratore et al. 2005).

Potensi asap dapat memperpanjang masa simpan produk dengan

mencegah kerusakan akibat aktivitas bakteri pembusuk dan patogen. Senyawa

yang mendukung sifat antibakteri dalam destilat asap cair adalah senyawa

fenol dan asam. Senyawa fenol dapat menghambat pertumbuhan populasi

bakteri dengan memperpanjang 6 fase lag secara proporsional di dalam

produk, sedangkan kecepatan pertumbuhan dalam fase eksponensial tetap

tidak berubah kecuali konsentrasi fenol yang tinggi. Fraksi fenol yang mampu

menghambat pertumbuhan bakteri adalah fenol dengan titik didih rendah.

Asam lebih kuat menghambat pertumbuhan bakteri dari pada senyawa fenol,

namun apabila keduanya digabungkan akan menghasilkan kemampuan

penghambatan yang lebih besar daripada masing-masing senyawa. Selain

senyawa fenol masih ada senyawa lain yang berperanan menghambat

pertumbuhan bakteri yaitu urotropin sebagai derivat dari piridin dan senyawa

pirolignin. Komponen antioksidatif asap adalah senyawa fenol yang bertindak

sebagai donor hidrogen dan biasanya efektif dalam jumlah sangat kecil untuk

menghambat reaksi oksidasi. Sifat antioksidatif asap disebabkan oleh fenol

titik didih tinggi terutama 2,6 dimetoksifenol, 2-6 dimetoksi-4-metilfenol dan

2-6-dimetoksi-4-etilfenol. Fenol bertitik didih rendah menunjukkan sifat

antioksidatif yang lemah. Derivat senyawa fenol dalam asap cair yang juga

bersifat antioksidatif adalah pirokatekol, hidroquinon, guaikol, eugenol,

isoeugenol, vanilin, salisildehid, asam 2-hidroksibenzoat dan asam 4-

hidroksibenzoat.

II. B. 4. Penggunaan Kemasan pada Pembuatan Dendeng Sapi.

II. B. 4.1 Kemasan Vakum

Pengemasan vakum merupakan metode pengemasan dengan

mengeluarkan udara dari kemasan dan kemasan ditutup rapat untuk membuat

kondisi vakum terjadi di dalam kemasan. Pengemasan vakum banyak

digunakan di industri-industri makanan karena efektivitasnya dalam menekan

reaksi oksidasi yang terjadi dalam produk dengan biaya yang relative rendah

(murah). Pengemasan vakum biasa digunakan dalam produk beku dan produk

dengan perlakuan panas (heat-treated products). Pengemasan vakum juga

efektif dalam menekan pertumbuhan bakteri pembusuk tertentu, tetapi

penggunaannya tidak direkomendasikan untuk produk ikan dingin

(refrigerated fish) dan produk hewani.

Pada pengemasan vakum pertumbuhan bakteri pembusuk aerob yang

ada akan dihambat oleh kondisi lingkungan anaerob pengemasan vakum.

Pada produk yang dikemas vakum, oksigen yang tersisa digunakan oleh

bakteri aerob yang ada untuk menghasilkan karbondioksida. Kondisi ini

cenderung menyebabkan potensial oksidasi-reduksi permukaan (Eh) menjadi

negatif. Perubahan atmosfir dan perubahan Eh permukaan menekan

pertumbuhan bakteri pembusuk psikotropik aerob. Kondisi tersebut

mendukung pertumbuhan organisme anaerob fakultatif seperti bakteri asam

laktat yang memperlambat proses pembusukan.

Pada banyak penelitian diketahui bahwa kondisi pada pengemasan

vakum menyebabkan tumbuhnya beberapa organisme penghasil toksin

seperti Clostridium botulinum. Tapi pada faktanya Botulism dapat timbul

kebanyakan pada produk yang tidak melewati tahap sterilisasi dan produk

yang tidak asam (nonacid products) yang berada pada kondisi anaerob pada

temperatur diatas 3°C.

II. B. 4.2 Kemasan Non Vakum dengan PE (Polyethilen)

Plastik ini yang paling banyak digunakan karena mudah dibentuk,

cukup tahan terhadap beberapa bahan kimia, dapat digunakan pada suhu

beku, halus, fleksibel, impact resisten baik, mudah dikelim dengan panas,

elongation cukup tinggi, dapat melalukan uap air, tidak mudah sobek, tidak

berbau, tahan terhadap pelarut alkali, dan transmisi gas cukup tinggi sehingga

tidak digunakan untuk mengemas bahan yang beraroma.

Plastik jenis PE ini sering digunakan sebagai pengemas aneka produk olahan,

sayuran, buah-buahan, mentega dan margarin. Berdasarkan sifat

permeabilitasnya yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik,

polietilen mempunyai ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak

digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya yang thermoplastik,

polietilen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik.

Konversi etilen menjadi polietilen (PE) secara komersial semula dilakukan

dengan tekanan tinggi, namun ditemukan cara tanpa tekanan tinggi.

Selain itu, terdapat keburukan dari jenis plastik ini, diantaranya adalah

jika digunakan produk-produk berminyak, minyak akan merembes ke luar

dan dalam jangka waktu yang lama akan melekat dengan produk. Perlakuan

khusus yang dapat diberikan yaitu dengan perbedaan suhu yang besar, dengan

pemberian aliran listrik tegangan tinggi dan dengan kloronasi. (Anonim,

2011)

III. METODOLOGI

Materi

Bahan yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan dendeng sapi

yaitu daging sapi bagian paha pada otot Biceps femoris sebanyak 33,6 kg

yang didapat dari tempat penyembelihan sapi di Kecamatan Tulung, Kabupaten

Klaten. Bahan-‐bahan yang digunakan untuk proses kyuring meliputi garam

dapur (NaCl), gula kelapa, bawang putih, bawang merah, ketumbar, lengkuas

dan aquades. Asap cair yang digunakan adalah asap cair dari tempurung

kelapa Produksi CV. Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu Jogjakarta dan bahan

pengemas plastik polietilen (PE) dan nylon. Komposisi bahan kyuring yang

digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel. 1.

Metode

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap pola faktorial dengan 2 faktor (2 x 4 perlakuan) dan 4 ulangan

dengan penyimpanan selama 4 bulan pada inkubator climacell (metode

ASLT). Faktor A adalah pemberian asap cair (tanpa asap cair, asap cair 2%,

3% dan 5%) dan faktor B adalah metode pengemasan (pengemasan vakum

dengan plastik nylon dan dan non vakum menggunakan plastik PE). Analisis

data menggunakan sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh

perlakuandilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan dengan taraf

signifikan 5%.

Prosedur pembuatan dendeng berdasarkan petunjuk Hadiwiyoto (1983)

meliputi 3 proses yaitu proses pengirisan daging, proses kyuring dan proses

pengeringan. Pengirisan daging dilakukan sejajar serat daging dengan

ketebalan ± 3 mm. Irisan daging tersebut dibagi menjadi 32 bagian (pola

faktorial dengan 2 faktor, 4 x 2 perlakuan, 4 ulangan) dengan masing-‐masing bagian sebanyak 200g. kemudian dilakukan proses kyuring dengan

metode kering selama 20 jam. Asap cair diberikan bersamaan dengan bahan

kyuring. Pengeringan dilakukan selama kurang lebih 3 hari di bawah sinar

matahari dengan menggunakan rigen beralaskan plastik (pada 2 jam pertama)

dan setiap 3 jam sekali dendeng harus dibalik. Setelah dendeng kering (tidak

lengket bila disentuh dan permukaan mengkilat), kemudian dikemas sesuai

dengan perlakuan. Pengukuran variabel dilakukan 5 kali yaitu pada dendeng

yang baru jadi dan pada setiap bulan pada dendeng yang disimpan dalam

inkubator climacell dengan temperatur 40°C dan kelembaban 90% selama 4

bulan.

Diagram alir Pembuatan Dendeng

Asap cair diberikan bersamaan dengan bahan kyuring

Dendeng yang telah kering dengan permukaan mengkilat dikemas dengan pengemasan vakum sesuai perlakuan.

Dikeringkan dengan sun drying selama ± 3 hari, dendeng harus dibalik selama 3 jam sekali

Dilakukan proses kyuring dengan metode kering selama 20 jam

Daging diiris menjadi 32 bagian, masing-masing mempunyai berat 200 gram

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas  air

Perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan persentase

penambahan asap cair tidak berpengaruh nyata (P≥0,05) sedang faktor

pengemasan yang berbeda memiliki pengaruh nyata pada penyimpanan selama

1, 2, 3, dan ke 4 bulan terhadap aktivitas air dendeng sapi. Hasil sidik

ragam menunjukkan, bahwa tidak ada interaksi pengaruh antara perlakuan

pemberian asap cair dan pengemasan yang berbeda terhadap aktivitas air

dendeng sapi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian

asap cair yang berbeda pada awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan

menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata (P≥0,05) terhadap aktivitas

air dendeng sapi. Rerata aktivitas air (aw) dendeng sapi dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata aktivitas air dendeng sapi pada perlakuan persentase

penambahan asap cair dan pengemasan yang berbeda

Lama penyimpana

n (bulan)

Kombinasi Perlakuan

Rata-rataPengemasan

Penambahan Asap Cair

0% 2% 3% 5%

0

PE 0,595 0,596 0,594 0,586 0,593ns

Vakum 0,598 0, 596 0,590 0,590 0,595ns

Rata-rata 0,596ns 0,596ns 0,592ns 0,588ns

1

PE 0,594 0,596 0,594 0,592 0,594a

Vakum 0,581 0,579 0,581 0,579 0,580b

Rata-rata 0,588ns 0,588ns 0,588ns 0,586ns

2

PE 0,631 0,620 0,616 0,612 0,620a

Vakum 0,596 0,601 0,596 0,601 0,599b

Rata-rata 0,614ns 0,610ns 0,606ns 0,606ns

3

PE 0,639 0,634 0,633 0,636 0,636a

Vakum 0,610 0,616 0,617 0,619 0,616b

Rata-rata 0,625ns 0,625ns 0,625ns 0,627ns

4

PE 0,649 0,651 0,650 0,643 0,648a

Vakum 0,633 0,641 0,634 0,633 0,635b

Rata-rata 0,641ns 0,646ns 0,642ns 0,638ns

Rerata aktivitas air dari perlakuan A1 (asap cair 0%) sampai A4

(5%) tidak berbeda secara signifikan sampai bulan terakhir penyimpanan. Hal

tersebut terjadi, karena asap cair tidak memiliki kontribusi besar dalam

pergantian air daging secara osmosis dan proses pengasapan, karena dalam

penelitian ini tidak menggunakan temperatur yang tinggi sehingga tidak

terjadi perubahan aktivitas air yang signifikan. Cara pembuatan asap cair telah

diketahui yaitu dari bahan kayu maupun serbuk kayu yang dipirolisis dengan suhu

200-500 celcius hingga membentuk asap lalu dikondensasikan hingga berbentuk

cair. (Maga,1987 ; Burt,1988). Cara penggunaan asap cair ini adalah dengan

merendam dendeng sapi yang akan diawetkan ke dalam cairan asap cair secara

pyrolisa dengan konsentrasi dan spesifikasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

tidak adanya suhu tinggi menyebabkan aktivitas air yang tidak berkurang

sehingga penggunaan asap cair ini tidak berpengaruh dalam mengurangi aktivitas

air. Asap cair bersifat antioksidan dan antimikroba, tetapi tidak bersifat

humektan, hal ini seperti yang dikemukakan Wibowo (2002) yang

menyatakan, bahwa asap cair memiliki kandungan formaldehid sebagai anti

mikroba dan fenol sebagai antioksidan. Berbeda pada pengasapan secara

panas, pada saat pengasapan berlangsung kadar air bahan menjadi berkurang,

karena temperatur udara sekitar bahan meningkat sehingga terjadi proses

pengeringan. Pemberian asap cair 3% dan 5% memiliki kemampuan yang

lebih baik dalam mempertahankan kualitas dendeng sapi daripada 0% dan

2%, dengan rerata terendah pada awal bulan penyimpanan yaitu pada asap

cair 5% dengan nilai aw 0,588 dan pada akhir penyimpanan adalah 0,633.

Walaupun diketahui bahwa aktivitas air tidak menurun dengan metode

pengawetan asap cair, maka pengawetan dengan metode ini menghambat laju

pertumbuhan mikroba dengan sifat sebagai antimikrobanya yaitu memiliki

senyawa bioaktif fenol yang dapat membunuh mikroba yang ada pada dendeng

sapi sehingga dendeng sapi memiliki kualitas yang baik dan daya simpan yang

awet.

Metode pengemasan dendeng sapi dengan menggunakan plastik PE

(non vakum) dan pengemasan dengan plastik nylon (vakum) memiliki

pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap aktivitas air pada penyimpanan dalam

inkubator climacell selama 1, 2, 3, 4 bulan yang setara dengan 3, 6, 9 dan

12 bulan penyimpanan pada temperatur ruang. Aktivitas air dendeng sapi dari

penyimpanan selama 0 bulan sampai 2 bulan cenderung menurun, karena

bahan-bahan kyuring seperti garam dan gula mampu mempertahankan air

terikat dalam dendeng terutama gula yang bersifat humektan (menyerap air),

dan adanya proses pengeringan pada dendeng yang secara langsung menurunkan

aktivitas air pada bahan. Dengan turunnya Aw pada dendeng sapi, mikroba akan

terhambat pertumbuhannya karena kekurangan air untuk aktivitasnya, dan adanya

bahan-bahan kyuring yang memiliki senyawa bioaktif sebagai antimikroba, akan

menghambat laju pertumbuhan bakteri, kapang, dan yeast yang akan merusak

dendeng sapi tersebut. Selain itu, kemasan mampu menghambat masuknya uap

air ke dalam bahan dalam waktu yang relatif lama. Tetapi, aktivitas air

cenderung meningkat dari penyimpanan selama 3 sampai 4 bulan.

Peningkatan aktivitas air ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu suhu

penyimpanan, bahan kemasan dan kelembaban tempat penyimpanan

(Purnomo, 1995).

Mikroba

Berdasarkan sidik ragam, menunjukkan bahwa tidak ada interaksi

antara kedua faktor perlakuan pada awal bulan penyimpanan. Interaksi

perlakuan terhadap total mikroba terjadi pada penyimpanan selama 1 sampai

4 bulan. Hal tersebut dikarenakan perlakuan A yaitu persentase asap cair dan

perlakuan B yaitu pengemasan yang berbeda memiliki peran penting dalam

menghambat mikroba, semakin tinggi persentase asap cair, mikroba semakin

menurun dan penggunaan metode pengemasan yang baik (pengemasan

vakum) akan menghasilkan total mikroba yang semakin kecil. Rerata mikroba

secara keseluruhan diperoleh hasil terkecil pada pengemasan vakum (B2) dan

konsentrasi asap cair 5% (A4).

Rerata kandungan mikroba tertinggi pada awal penyimpanan adalah

pada perlakuan A1 (0%) yang berbeda signifikan dengan A2 (2%) dan

perlakuan A3 (3%), kemudian yang terendah pada perlakuan A4 (5%).

Secara keseluruhan selama penyimpanan terdapat penurunan rerata kandungan

mikroba pada masing-masing perlakuan yang berlangsung selama 3 bulan

yaitu pada penyimpanan selama 1, 2 dan 3 bulan), kemudian terjadi

peningkatan pada akhir penyimpanan, karena penyimpanan yang terlalu lama

menyebabkan pengawetan metode asap cair tidak tahan untuk mengawetkan

produk dalam jangka terlalu panjang sehingga terjadi peningkatan mikroba (data

pada Tabel. 2). Pengawetan dengan metode asap cair dapat mengawetkan produk

dendeng sapi selama 1 – 2 bulan dari kerusakan mikroba. Hal tersebut

dikarenakan kemampuan asap cair sebagai antimikroba dengan pH rendah,

asap cair memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan pangan dari mikroba

karena terdapat senyawa asam, fenolat dan karbonil. Asap kayu mengandung

lebih dari 200 senyawa. Senyawa kimia utama yang terdapat di dalam asap, antara

lain asam formiat, asetat, butirat, kaprilat, vanilat, asam siringat, dimetoksifenol,

metil glikosal, furfural, metanol, etanol, oktanal, asetaldehid, diasetil, aseton dan

3,4- benzipiren (Lawrie, 2003). Semua asam-asam diatas berfungsi untuk

menurunkan pH dari dendeng sapi sehingga terhambat dari pertumbuhan mikroba.

Fungsi pengemasan yang mampu melindungi dari uap air dan kontaminasi

dari luar sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan membunuh mikroba

yang ada.

Selain itu, juga disebabkan adanya peran dari modifikasi pengawetan

yang lain seperti zat kyuring dan pengeringan. Komponen–komponen yang

bersifat sebagai anti mikroba dari asap cair tempurung kelapa adalah fenol

dan turunannya serta senyawa asam (Munoz et al., 1998; Sunen et al., 2001;

Sunen et al., 2003; Muratore & Licciardello, 2005; Milly et al., 2005;

Gomez‐Estaca et al., 2007; Kristinsson et al., 2007; Soldera et al., 2008).

Fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal karena

mampu menginaktifkan enzim-enzim esensial, mengkoagulasi SH group dan

NH group protein (Karseno et al., 2002). Davidson et al. (2005),

menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antimikroba fenol dan turunannya

meliputi reaksi dengan membran sel yang menyebabkan meningkatnya

permeabilitas membran sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraseluler

sel, inaktivasi enzim‐enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi fungsional

materi genetic dari sel-sel mikroba. Pemberian asap cair 2% sudah memiliki

kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba pada dendeng sapi,

dibandingkan dendeng yang tidak diberi asap cair. Perlakuan pengemasan

secara vakum tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap total mikroba

dendeng sapi pada awal penyimpanan namun berpengaruh nyata (P≥0,05)

pada bulan berikutnya. Pengemasan biasa (PE) memiliki kandungan mikroba

cenderung menurun sampai 2 bulan penyimpanan dan meningkat pada bulan‐bulan berikutnya, sedangkan total mikroba pada dendeng dengan kemasan

vakum cenderung menurun sampai penyimpanan pada 3 bulan penyimpanan

dan meningkat pada bulan terakhir penyimpanan.

Tabel 3. Rerata total Mikroba Dendeng Sapi pada Perlakuan Persentase

Penambahan Asap Cair

Lama penyimpanan

(bulan)

Kombinasi Perlakuan

Rata-rataPengemasan

Penambahan Asap Cair

0% 2% 3% 5%

0

PE 3,9 x 104 2,4 x 104 1,8 x 104 1,5 x 104 2,4 x 104 ns

Vakum 4,8 x 104 2,3 x 104 1,5 x 104 1,4 x 104 2,5 x 104 ns

Rata-rata 4,3 x 104 a 2,9 x 104 b 1,6 x 104 c 1,4 x 10 4 c

1

PE 6,7 x 103 4,7 x 103 2,4 x 103 1,8 x 103 3,9 x 103 ns

Vakum 6,8 x 103 3,7 x 103 1,9 x 103 1,5 x 103 3,5 x 103 ns

Rata-rata 6,7 x 103 a 4,2 x 103 b 2,1 x 103 b 1,6 x 103 c

2

PE 6,2 x 103 2,8 x 103 1,7 x 103 1,8 x 103 3,1 x 103 a

Vakum 4,4 x 103 2,1 x 103 1,3 x 103 1,1 x 103 2,2 x 103 b

Rata-rata 5,3 x 103 a 2,4 x 103 b 1,8 x 103 c 1,4 x 103 c

3

PE 3,5 x 104 2,1 x 104 9,3 x 103 8,5 x 103 5,8 x 103 a

Vakum 1,9 x 104 1,2 x 104 7,4 x 103 8,7 x 103 1,8 x 103 b

Rata-rata 2,7 x 104 a 1,6 x 104 b 8,3 x 103 c 8,6 x 103 c

4

PE 3,2 x 106 2,1 x 106 4,7 x 105 9,7 x 104 1,4 x 106 a

Vakum 1,6 x 106 5,9 x 105 2,2 x 105 5,6 x 104 1,2 x 105 b

Rata-rata 2,4 x 106 a 1,2 x 106 b 3,2 x 105 c 7,6 x 104 c

Mekanisme pembunuhan mikroba dengan kombinasi beberapa pengawetan

(Hurdle Technology) pada dendeng sapi.

Kombinasi metode pengawetan yang dilakukan untuk meningkatkan daya simpan

dendeng sapi yaitu :

1. Penggunaan asap cair.

Seperti yang telah diketahui, bahwa asap memiliki kemampuan untuk

mengawetkan bahan pangan karena terdapat senyawa asam, fenolat dan karbonil.

Senyawa kimia utama yang terdapat di dalam asap, antara lain asam formiat,

asetat, butirat, kaprilat, vanilat, asam siringat, dimetoksifenol, metil glikosal,

furfural, metanol, etanol, oktanal, asetaldehid, diasetil, aseton dan 3,4- benzipiren

(Lawrie, 2003). Semua asam yang dihasilkan tersebut tentu saja akan menurunkan

pH pada dendeng sapi. Dengan turunnya pH, tingkat keasaman menjadi tinggi

sehingga mikroba tidak mampu beradaptasi dan kecepatan pertumbuhannya pun

menurun. Ion H+ akan masuk kedalam sitoplasma dari sel mikroba yang

menyebabkan racun jika tidak dikeluarkan. Oleh karena itu, energy yang dipakai

untuk merusak dendeng sapi akhirnya habis digunakan oleh mikroba untuk

mengeluarkan proton atau ion H+ tersebut dan semakin lama energy habis dan

mikroba mengalami kematian.

2. Metode pengemasan

Pengemasan vakum dapat menghambat bakteri psikotropik seperti

Pseudomonas, Flavobacterium, Micrococcus, dan Moraxella yang menghasilkan

trimethylamine, total volatile bases nitrogen (TVB-N), hypoxanthine, dan

ammonia yang sering juga digunakan sebagai indikator kebusukan secara kimia

yang paling umum. Menurut Reddy & Armstrong (1992) pada pengemasan

vakum pertumbuhan bakteri pembusuk aerob yang ada akan dihambat oleh

kondisi lingkungan anaerob pengemasan vakum. Pada produk yang dikemas

vakum, oksigen yang tersisa digunakan oleh bakteri aerob yang ada untuk

menghasilkan karbondioksida. Kondisi ini cenderung menyebabkan potensial

oksidasi-reduksi permukaan (Eh) menjadi negatif. Genigeorgis (1985)

berpendapat bahwa perubahan atmosfir dan perubahan Eh permukaan menekan

pertumbuhan bakteri pembusuk psikotropik aerob. Kondisi tersebut mendukung

pertumbuhan organisme anaerob fakultatif seperti bakteri asam laktat yang

memperlambat proses pembusukan. Pengemasan dengan metode PE atau dengan

melapisi polyethylene tidak berpengaruh nyata dalam mengurangi pertumbuhan

mikroba.

3. Kyuring

Metode kyuring atau curing adalah proses pendahuluan yang dilakukan

pada daging yang berfungsi untuk mengawetkan sekaligus member citarasa. Pada

proses curing, digunakan bahan-bahan seperti NaCl, garam, gula dan rempah-

rempah lainnya yang berfungsi sebagai pengawet alami untuk membunuh

mikroba. Garam (NaCl) merupakan ingridien utama dalam curing. Fungsinya

adalah untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara dehidrasi dan

memberikan tekanan osmotik yang tinggi yang menyebabkan pengkerutan pada

sel mikroba akibat keluarnya air dan padatan lain dari dalam sel mikroba. Selain

itu, garam juga dapat berperan dalam memodifikasi flavor. Nitrit dan nitrat juga

sering digunakan sebagai bahan curing yang dapat menekan laju pertumbuhan

mikroba karena mengandung senyawa bioaktif fenolik serta memberikan warna

merah segar pada daging sehingga daging tidak pucat. Gula juga sering

ditambahkan dalam proses curing. Fungsinya adalah untuk mengimbangi rasa

asin yang ditimbulkan oleh garam, berperan dalam pembentukan flavor. Gula

dapat menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara menyerap air pada bahan

sehingga Aw turun dan meningkatkan tekanan osmosis yang menyebabkan sel

mikroba mengalami plasmolisis.

Tabel 1. Komposisi bahan-bahan Kyuring pada 200 gram Daging sapi

Nama bahan Jumlah (g)Persentasi berdasarkan berat

daging (%)

Gula 80 40

Garam dapur 10 5

Bawang putih 3 1,5

Bawang merah 5 2,5

Ketumbar 4 2

Natrium nitrat 0,0004 0,0002

Lengkuas 4 2

4. Pengeringan

Mikroorganisme menyukai tempat yang lembab atau basah mengandung

air. Jadi teknik pengeringan membuat makanan menjadi kering dengan kadar air

serendah mungkin dengan cara dijemur, dioven, dipanaskan, dan sebagainya.

Semakin banyak kadar air pada makanan, maka akan menjadi mudah proses

pembusukan makanan. Proses pengeringan akan mengeluarkan air dan

menyebabkan peningkatan konsentrasi padatan terlarut didalam bahan makanan.

Kondisi ini akan meningkatkan tekanan osmotik di dalam bahan, sehingga

menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat laju reaksi kimia

maupun enzimatis. Pengeringan adalah suatu proses pengolahan yang dilakukan

dengan cara dijemur atau dioven dengan tujuan untuk mengawetkan makanan

dengan jalan menurunkan kadar air/aktivitas air (aw) sampai kadar 15% – 20%

karena bakteri tidak dapat tumbuh pada nilai aw dibawah 0,91 dan jamur tidak

dapat tumbuh pada aw dibawah 0,70 – 0,75. Oleh karena itu pertumbuhan

mikroba dapat dihambat dengan metode pengeringan.

Angka TBA

Tidak ada pengaruh interaksi antar perlakuan terhadap angka TBA

dendeng sapi dalam penelitian ini pada awal sampai akhir penyimpanan,

sehingga masing‐masing perlakuan tidak saling tergantung satu sama lain.

Angka TBA merupakan indeks kualitas yang digunakan untuk mengetahui

tingkat ketengikan dalam daging (Green and Cumeze, 1982). Angka TBA

yang diterima pada makanan adalah tidak lebih dari 2,0 mg

malonaldehiyde/Kg sampel (Shamberger et al., 1977). Tipe makanan yang

berbeda memiliki angka TBA yang berbeda pula untuk ambang batas tingkat

ketengikan sebagai contoh produk olahan daging sapi dan babi adalah 0,5–1,0

dan 0,6–2,0 mg malonaldehyde/Kg (Tarladgis et al., 1960).

Tabel 4. Rerata angka TBA Dendeng Sapi pada Perlakuan Presentase

Penambahan Asap Cair

Lama penyimpanan

(bulan)

Kombinasi Perlakuan

Rata-rataPengemasan

Penambahan Asap Cair

0% 2% 3% 5%

0

PE 0,010 0,004 0,004 0,002 0,005ns

Vakum 0,016 0,004 0,004 0,004 0,006ns

Rata-rata 0,011a 0,004b 0,004b 0,003b

1

PE 0,019 0,012 0,010 0,012 0,013ns

Vakum 0,017 0,010 0,010 0,010 0,012ns

Rata-rata 0,018a 0,011b 0,010b 0,011b

2

PE 0,033 0,019 0,017 0,019 0,022a

Vakum 0,025 0,017 0,013 0,013 0,017b

Rata-rata 0,029a 0,018b 0,015b 0,016b

3 PE 0,033 0,033 0,025 0,023 0,028a

Vakum 0,027 0,025 0,021 0,021 0,024b

Rata-rata 0,030a 0,029ab 0,023bc 0,022c

4

PE 0,035 0,033 0,025 0,025 0,030a

Vakum 0,029 0,025 0,023 0,021 0,024b

Rata-rata 0,032a 0,029ab 0,024b 0,023b

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan persentase

penambahan asap cair dan pengemasan yang berbeda memberi pengaruh yang

tidak nyata (P≥0,05) terhadap angka TBA dendeng sapi pada awal

penyimanan sampai 2 bulan penyimpanan dan memiliki pengaruh yang nyata

pada penyimpanan selama 3 dan 4 bulan. Angka TBA dalam dendeng relatif

kecil karena kadar lemak pada dendeng sapi relatif rendah serta adanya zat

kyuring termasuk asap cair bersifat antioksidan, sehingga dapat menghambat

laju oksidasi lemak (rerata angka TBA pada perlakuan penambahan asap cair

dapat dilihat pada Tabel 4). Pemberian asap cair 2% mampu menghambat

laju oksidasi dari awal sampai akhir penyimpanan berbeda nyata dengan

dendeng tanpa pemberian asap cair, namun tidak berbeda nyata dengan

perlakuan pemberian asap cair 3% dan 5%.

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan, bahwa pengaruh pengemasan

yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P≥0,05) pada awal dan penyimpanan

selama 2 bulan, namun berpengaruh nyata pada penyimpanan selama 3 dan 4

bulan. Daging yang digunakan dalam pembuatan dendeng, dipilih daging

yang bersih dari lemak dan urat daging, bahkan daging yang memiliki

marbling sempurna justru dihindari. Hal tersebut mengakibatkan kadar lemak

dendeng menjadi rendah dan kerusakan akibat oksidasi lemak menjadi rendah

sehingga pada awal sampai 2 bulan penyimpanan pada masing‐masing

perlakuan pengemasan tidak memiliki pengaruh yang nyata (P>0,05). Selain

itu masing‐masing perlakuan pengemasan memiliki kemampuan yang sama

dalam menghambat udara masuk ke dalam kemasan pada awal penyimpanan.

Nilai pH

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada interaksi

antara perlakuan penambahan asap cair dan pengemasan terhadap nilai pH

dendeng sapi, sehingga pengaruh masing‐masing perlakuan tidak saling

tergantung satu sama lain. Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa

penambahan asap cair yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) pada awal

bulan sampai akhir bulan penyimpanan (rerata nilai pH dapat dilihat pada

Tabel. 5). Nilai pH dendeng sapi makin rendah seiring persentase asap cair

yang ditambahkan, hal tersebut disebabkan oleh tingkat keasaman dari asap

cair tempurung kelapa dan adanya senyawa‐senyawa asam seperti 2,3-‐dihydroxy‐benzoic acid, 3‐methoxybenzoic acid methyl ester dan 4‐Hydroxy‐benzoic acid methyl ester). Sehinga dapat disimpulkan bahwa penggunaan

metode asap cair yang menurunkan pH dendeng sapi dapat menurunkan laju

pertumbuhan mikroba bersama pengeringan dan curing yang dilakukan pada

dendeng sapi.

Nilai pH dendeng pada penelitian ini memiliki rerata 5,39 pada awal

bulan penyimpanan dan 5,32 pada akhir penyimpanan. Nilai pH pada kisaran

tersebut masih mampu untuk menghambat mikroba. Menurut Buckle et al.

(1985), nilai pH rendah antara 5,1 sampai 6,1 menyebabkan daging

mempunyai struktur terbuka sehingga sangat baik untuk pengasinan, berwarna

merah muda cerah dan mempunyai flavor yang disukai oleh konsumen, serta

mempunyai stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan oleh

mikroorganisme. Nilai pH dendeng sapi pada masing‐masing persentase

perlakuan pemberian asap cair cenderung mengalami kenaikan selama

penyimpanan. Kenaikan pH disebabkan karena selama penyimpanan

komponen asap yaitu phenol dan asam‐asam lemak yang ada di dalam

produk menguap sehingga jumlahnya makin berkurang.

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengemasan

yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P≥0,05) pada awal dan pada

penyimpanan selama 2 bulan tetapi berbeda nyata pada penyimpanan selama

3 dan 4 bulan. Selama penyimpanan dendeng dapat mengalami fermentasi

karena kandungan gulanya cukup tinggi dan bahan dasar lainnya cukup

tersedia sebagai komponen substrat untuk fermentasi, hal tersebut

mengakibatkan nilai pH dendeng pada penyimpanan selama 3 – 5 bulan

pada temperatur ruang cenderung menurun.

Tabel 5. Rata-rata pH dendeng sapi pada perlakuan persentase penambahan asap

cair dan pengemasan yang berbeda

Lama penyimpanan

(bulan)

Kombinasi Perlakuan

Rata-rataPengemasa

n

Penambahan Asap Cair

0% 2% 3% 5%

0

PE 5,86 5,40 5,30 5,08 5,41ns

Vakum 5,84 5,32 5,26 5,09 5,38ns

Rata-rata 5,73a 5,40b 5,36b 5,08c

1

PE 5,29 5,33 5,34 5,04 5,25ns

Vakum 5,24 5,29 5,19 5,04 5,19ns

Rata-rata 5,31a 5,26a 5,26a 5,04b

2

PE 5,29 5,27 5,28 5,21 5,26a

Vakum 5,17 5,18 5,16 5,16 5,16b

Rata-rata 5,27a 5,24a 5,15b 5,13b

3 PE 5,37 5,30 5,26 5,24 5,30a

Vakum 5,29 5,26 5,16 5,16 5,21b

Rata-rata 5,33a 5,28ab 5,21bc 5,20c

4

PE 5,44 5,36 5,31 5,29 5,37a

Vakum 5,40 5,28 5,21 5,19 5,26b

Rata-rata 5,42a 5,32b 5,26bc 5,24c

Warna

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada interaksi

pengaruh antara perlakuan penambahan asap cair dan pengemasan yang

berbeda terhadap warna sehingga masing‐masing faktor tidak saling

tergantung satu sama lain. Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa

penambahan asap cair yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap

warna dendeng pada awal bulan dan pada penyimpanan selama 1 bulan

tetapi tidak berpengaruh nyata (P≥0,05) pada penyimpanan selama 2 sampai 4

bulan. Hal tersebut terjadi, karena reaksi maillard yang terlalu cepat sehingga

pada dendeng yang telah disimpan selama 2 bulan telah mengalami

perubahan warna yang cepat yaitu menjadi coklat kehitaman. Perubahan

warna yang cepat terjadi karena temperatur yang ekstrim pada saat

penyimpanan dalam inkubator climacell yang disetting untuk mengetahui

percepatan kerusakan produk, sehingga reaksi maillard berlangsung cepat.

Warna coklat terjadi karena hasil dari reaksi maillard yang dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti kandungan gula reduksi, waktu dan temperatur

pemanasan (Krokida et al., 2001). Warna produk pengasapan terbentuk

karena ada interaksi antara senyawa karbonil dan gugus amino dalam daging

(Darmadji, 2006).

Skor warna yang diperoleh dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa

di awal penyimpanan, dendeng dengan perlakuan 0% dan 2 % cenderung

lebih terang dan berwarna merah, namun diakhir penyimpanan dendeng pada

semua perlakuan memiliki warna yang relatif sama yaitu cenderung coklat

kehitaman. Wibowo (2002) menyatakan, bahwa pengaruh pengasapan terhadap

sifat organoleptik adalah senyawa organik dari asap yang memberikan warna

pada makanan yang diasap. Warna pada makanan yang diasap terbentuk oleh

interaksi antara senyawa karbonil dan grup amino pada permukaan bahan.

Selain itu senyawa fenol dan alkohol juga berpengaruh terhadap warna

(Pearson dan Tauber, 1984).

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa pengemasan yang

berbeda tidak berpengaruh nyata (P≥0,05) terhadap warna pada awal

penyimpanan dan berbeda nyata pada bulan berikutnya. Hal tersebut terjadi

karena pada awal bulan dan pada penyimpanan selama 1 bulan, karena

kemasan masih mampu mempertahankan kualitas dendeng, kemudian pada

dendeng yang telah disimpan selama 2 bulan tampak perbedaan antara warna

pada dendeng yang dikemas dengan Polietilen (PE) dan dikemas secara

vakum menggunakan plastik nylon. Dendeng yang dikemas dengan polietilen

cenderung memiliki kenampakan berwarna lebih gelap, sedangkan dendeng

yang dikemas secara vakum cenderung lebih lembab (karena uap air yang

keluar dari dalam dendeng terakumulasi di dalam kemasan yang keluar dari

dalam dendeng tersebut). Dendeng sapi mengalami proses penguapan pada

saat penyimpanan yaitu pelepasan air terikat pada sel daging, sehingga pada

penyimpanan secara vakum, air yang keluar dari dendeng tidak bisa keluar

dari kemasan secara bebas karena pori-‐pori plastik nylon yang digunakan

relatif kecil sekali. Reaksi maillard akan terus berlangsung selama

penyimpanan (Abubakar, 1992). Reaksi pencoklatan nonenzimatis di dalam

bahan pangan akan meningkat, bila nilai aw meningkat dan mencapai

maksimum pada batas aw bahan pangan semi kering (Purnomo, 1995).

Pengemasan vakum dapat menekan peningkatan nilai aw sehingga dapat

mempertahankan warna dendeng.

Menurut Legowo et al. (2002) uji organoleptik dendeng sapi meliputi

uji mutu hedonik (warna, rasa, dan bau) dan kesukaan. Skor warna dendeng

sapi sampai dengan penyimpanan 2 bulan hampir tidak ada perubahan,

kemudian setelah penyimpanan 3 bulan skor warnanya relatif rendah.

Penurunan skor warna ini diduga sebagai akibat dari reaksi maillard yang

terus berlangsung selama penyimpanan. Abubakar (1992) reaksi browning

masih berlangsung pada dehydrated meat selama penyimpanan.

Tingkat kesukaan

Pengujian tingkat kesukaan dilakukan dengan menggunakan 7 panelis

terlatih. Kriteria yang diamati antara lain penampilan kemasan, warna dendeng

mentah, aroma dan rasa pada dendeng yang telah digoreng). Berdasarkan

sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang berbeda berpengaruh nyata

(P<0,05) terhadap kesukaan dendeng sapi pada awal sampai akhir

penyimpanan (data rerata tingkat kesukaan dendeng sapi dapat dilihat pada

Tabel 6.

Panelis cenderung lebih menyukai dendeng sapi dengan penambahan

asap cair 3% dan dikemas secara vakum. Asap cair memberikan sensasi baru

dalam dendeng sapi, karena kandungan senyawa aromatik yang terkandung di

dalamnya. Pemberian asap cair sampai taraf 5 %, masih diterima oleh

panelis, namun perlakuan 3% cenderung lebih disukai. Dendeng umumnya

mempunyai rasa enak, karena ditambahkan bumbu‐bumbu berupa garam, gula,

ketumbar, asam dan bawang putih, serta mempunyai warna coklat kehitaman

yang disebabkan oleh pigmen melanoidin yang dihasilkan oleh reaksi

pencoklatan non enzimatis, kemungkinan warna dapat pula disebabkan oleh

adanya proses karamelisasi selama proses pembuatan dendeng tersebut.

Tabel 6. Rerata Tingkat Kesukaan Dendeng Sapi pada Perlakuan Presentasi

Penambahan Asap Cair

Perlakuan Tingkat kesukaan pada lama Peyimpanan (Bulan)

0 1 2 3 4

A1B1 2,07bc 2,33c 2,87ab 3,73ab 3,87ns

A2B1 2,40b 2,53bc 3,13ab 3,80ab 4,00ns

A3B1 2,13bc 2,27c 3,07ab 3,87ab 3,93ns

A4B1 3,13a 3,07a 3,47a 3,87ab 3,93ns

A1B2 1,80c 2,07c 2,67b 3,47b 3,53ns

A2B2 2,33b 2,47c 2,87ab 3,40b 3,53ns

A3B2 1,67c 1,73d 2,87ab 3,67ab 3,73ns

A4B2 2,93a 3,00ab 3,40a 4,00a 4,00ns

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kombinasi dengan beberapa metode pengawetan secara langsung

memberikan efektivitas lebih baik dalam hal membunuh mikroba, maka penelitian

dengan menggabungkan metode pengawetan dapat dikatakan sebagai teknologi

rintangan (Hurdle Technology) yang akan dihadapi oleh mikroba sehingga

mikroba tersebut kehilangan titik aman (homeostatis) untuk tumbuh. Berdasarkan

hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian asap cair dalam

pembuatan dendeng sapi memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas

air, mikroba, TBA, warna dan kesukaan. Tidak terdapat interaksi pengaruh

antar perlakuan terhadap dendeng sapi kecuali pada kandungan total mikroba

dendeng sapi yang disimpan selama 1 sampai 4 bulan di dalam incubator

climacell. Pemberian asap cair pada dendeng sapi sampai taraf 5% masih

diterima oleh panelis. Pengemasan secara vakum dengan plastik nylon

memiliki kemampuan mempertahankan kualitas dendeng sapi lebih baik

dibandingkan dengan pengemasan menggunakan plastik PE selama

penyimpanan. Dendeng sapi yang memiliki kualitas terbaik dari semua

kriteria yang diukur adalah dendeng sapi dengan pemberian asap cair 3%

dan pengemasan vakum. Dalam membunuh mikroba, penggunaan metode

pengawetan asap cair, pengeringan, kyuring, dan pengemasan vakum pada

dendeng sapi dapat secara efektif untuk menghambat laju pertumbuhan mikroba

sehingga mikroba tersebut mengalami kematian.

B. Saran

Untuk memperpanjang umur simpan dendeng sapi dapat digunakan

kombinasi metode pengawetan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui aplikasi metode pengawetan lain yang dpat digunakan untuk

meningkatkan umur simpan dendeng sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Asap Cair. http://id.wikipedia.org/wiki/Asap_cair. [Diakses tanggal 13

Juni 2013].

Anonim. 2011. Kemasan Plastik.

http://ceritadise.wordpress.com/2011/03/09/kemasan-plastik/. [Diakses

tanggal 13 Juni 2013].

Arga Arya Achmadi Awal. 2012. Penggunaan Asap Cair pada Daging dan

Pengaruhnya Terhadap Kualitas Daging. Universitas Hassanudin.

Makassar.

Berita Cyber.com. Pengawet Makanan dengan Asap Cair.

http://beritacyber.com/wp-content/uploads/2012/10/pengawet-

makanan.com/ Diakses pada tanggal 13 Juni 2013.

Buckle et al., 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta.

Burt, J.R. 1988. Fish Smohng and Drying. The Effect of Smolring and Dwng

onThe Nutritional Properties of Fish. Elsevier Applied Science.

Haussinger, D. (Ed.), 1988. pH Homeostasis: Mechanisms and Promising

Approach in Food Microbiology. Academic Press. London. Hal 479.

Hendri Noer, F. 2011. Food Review Indonesia.

http://www.foodreview.Teknologi / Diakses pada tanggal 13 Juni 2013.

Iwan Setiawan, dkk. 1997. Pengawetan Ikan dengan Pencelupan Asap Cair.

Prosiding Seminar Tek.Pangan 1997. UGM. Yogyakarta.

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah: Aminuddin Parakkasi. UI-

Press. Jakarta. 143-152, 225-226.

Leistner, L. 2000. “Basic aspects of Food Preservation by Hurdle Technology”.

International Journal of Food Microbiology 55. Hal : 181-186.

Leistner, L. 1995. “Food Preservation by Hurdle Technology”. Trend in Food

Scienc & Technology Vol 6. Hal : 41-45.

Maga, J.A. 1987. Smoke in Food Processing. CRC Press Inc. Boca Raton. Florida.

Muhammad, Dedi. 2013. Hurdle Technology (Metode Pengawetan Pangan).

http://blog.ub.ac.id/awalan/2013/02/13/hurdle-technology-metode-

pengawetan-pangan/. [Diakses tanggal 13 Juni 2013].

Muratore G and F. Licciardello. 2005. “Effect of vacuum and modified

atmosphere packaging on the shelf--‐life of liquid--‐smoked swordfish

(Xiphias gladius) slices”. J Food Sci. Vol 70: 359‐363.

Nuraida, Lilis. 2011. Penerapan Teknologi Hurdle dalam Pengawetan Pangan.

http://www.foodreview.biz/preview.php?view2&id=56211. [Diakses

tanggal 13 Juni 2013].

Rudi Riyanto. 2012. Pengemasan Vakum Produk Perikanan Segar.

http://www.rudiriyantoblog.sarana/untuk/berbagi.com / Diakses pada

tanggal 13 Juni 2013.

S. Rahayu, V.P. Bintoro, Kusrahayu. 2012. “Pengaruh Pemberian Asap Cair dan

Metode Pengemasan Terhadap Kualitas dan Tingkat Kesukaan Dendeng

Sapi Selama Penyimpanan”. Jurnal Aplikasi Pangan Vol.1: 108-114.

Sunen E, Aristimuno C, and B. Fernandez-‐Galian. 2003. “Activity of smoke

wood condestates against Aeromonas hydrophila and Listeria

monocytogens in vacum-packed cold-smoked rainbow trout stored at

400C”. Food Res Int . Volume 36:111-116.