himar hakim

Upload: dean-veria-nurmala

Post on 11-Jul-2015

461 views

Category:

Documents


26 download

TRANSCRIPT

KELEDAI YANG BIJAK

PENGARANG TAUFIK AL-HAKIM

PENERJEMAH H. HARITS FADLLY, LC.

EDITOR Maya Hayati

PENERBIT AL-HAIAH AL-MASHRIYAH AL-AMMAH LIL KITAB

Distributor WWW.LENTERA-RAKYAT.SOS4UM.COM

Berkata Keledai yang bijak (Toma): Jika hari telah siang, aku akan berjalan karena aku si bodoh yang sederhana, sedangkan sahabatku adalah si bodoh yang berpangkat! Dikatakan padanya: Apakah perbedaan antara bodoh sederhana dan berpangkat? Dia menjawab: Si bodoh yang sederhana adalah yang tahu bahwa dirinya bodoh, adapun si bodoh yang berpangkat adalah yang tidak tahu bahwa dirinya bodoh. (Legenda Lama)

untuk sahabatku yang lahir dan mati tanpa berbicara denganku tetapi ia telah mengajariku!

=1=

Aku mengenalnya pada hari- hari musim panas tahun lalu, di jantung kota Kairo, di salah satu jalan rayanya. Pada pagi itu aku berjalan menuju salon cukur, ditemani udara panas yang disertai hembusan angin sepoi-sepoi. Hatiku gembira ketika aku berjumpa dengan wajah ceria berambut pirang dengan anjingnya, yang turun dari lift bersamaku di hotel tempat aku tinggal, sehingga hampir saja aku bersiul dan bersenandung. Lalu aku bergerak menuju salon cukur itu ketika tiba-tiba aku melihatnya, makhluk yang telah ditakdirkan untuk menjadi sahabatku. Aku melihatnya menanduk tembok bagaikan kijang. Di lehernya yang indah terikat simpul merah, dan di sampingnya kulihat pemiliknya, petani desa paling kumuh yang pernah kulihat. Orang-orang yang lewat berdiri memperhatikannya dengan takjub karena keindahan bentuknya, serta gemulai langkahnya. Badannya kecil bagaikan boneka, putih bagaikan kepingan keramik, bagus bentuknya bagaikan buatan seorang seniman. Dia berjalan dengan santai seolah-olah ia berkata pada tuannya: Bawalah aku ke manapun kau mau, karena semua yang ada di bumi takkan aku perhatikan. Itulah seekor anak keledai kecil yang mendapat perhatian orang banyak, di jalan yang besar. Pemandangan seperti itu di desa ini, sudah cukup menarik hati. Mata orang memancarkan cahaya takjub, dan wanita-wanita Inggris yang memasuki toko Jurubi tak dapat menahan kecintaan mereka padanya. Kalaulah ia merupakan sesuatu yang

dapat dibawa, maka mereka pasti takkan ragu-ragu untuk membelinya seperti halnya sebuah souvenir. Menurutku pemilik keledai itu akan menjualnya, karena aku telah mendengar pemiliknya berkata kepada orang-orang yang berlalu, para penjual koran, dan anakanak: Lima puluh Piester! Tiba-tiba tanpa sadar kakiku melangkah menuju kerumunan orang yang mengerubungi anak keledai itu - mataku selalu memperhatikan makhluk kecil itu- dan mulutku mengucapkan: Tiga puluh Piester! Maka kerumunan itu berpaling kepadaku dan hiruk-pikuk pun terdengar. Tibatiba aku melihat seorang lelaki muncul dari balik kerumunan. Dia adalah penjual koran yang mengenalku dan menjual korannya kepadaku. Dia menarik anak keledai itu dari tangan pemiliknya dan berteriak di mukanya: Tuan kita Beik telah meminta, dan permintaannya harus kita patuhi! Petani itu menepukkan tangannya di punggung anak keledainya seraya berteriak: Tiga puluh Piester itu seekor ayam kalkun! Beraninya kau menentang ucapan Beik! Demi Allah aku takkan menjualnya kurang dari empat puluh Piester! Kedua lelaki itu saling membentak dan tarik- menarik hingga hampir saja leher anak keledai yang miskin itu terputus di tangan keduanya. Berakhirlah pertentangan itu dengan kemenangan sang calo sukarela itu. Dengan paksa ia mengambil keledai itu dengan tangannya, lalu menoleh kepadaku seraya berkata: Beik, berikan tiga puluh Piester itu. Sang penjual itu ragu-ragu dan ingin menolaknya, tapi lelaki itu menutup mulutnya dengan tangannya seraya berteriak: Diam kamu! Tuanku Beik, berikan uangnya dan terimalah anak keledai itu. Selamat ya! Jual beli yang halal! Dia maju ke arahku sambil menarik keledai itu untuk menyerahkan kepadaku ikatan merah yang menggantung di lehernya. Di sinilah kesadaranku kembali. Perjanjian itu telah dilaksanakan meskipun sesungguhnya aku tidak menginginkannya. Segala sesuatu telah berlalu dariku seolah-olah aku tak sadarkan diri karena harga yang aku putuskan, yaitu tiga puluh Piester, tidak lain keluar dari mulutku tanpa pikir panjang. Sebuah angka yang terucap dengan main- main, tapi hal itu menjadi sungguhan dan anak keledai itu akhirnya menjadi milikku. Lalu apa yang akan aku lakukan sekarang ketika aku masuk salon cukur ini, di manakah aku harus meletakkannya, sedangkan aku tak punya rumah kecuali sebuah kamar dengan sebuah kamar mandi di sebuah hotel yang terkenal?

Apalagi pada saat itu, di kantungku tak terdapat uang sejumlah tiga puluh Piester. Pada pagi itu aku tidak membawa uang, kecuali surat berharga yang ingin aku tukarkan dengan uang kecil. Semula aku berniat ingin menarik kembali perjanjian jual beli itu, tapi niat tersebut tertahan, karena kedua penjual dan calo telah menyerahkan keledai itu padaku. Maka dengan kikuk aku berkata sambil menunjuk ke salon cukur: Tapi aku ingin bercukur. Penjual koran itu segera menjawab: Silakan Tuan bercukur, dan aku akan menunggu Tuan bersama anak keledai ini di depan pintu! Lalu aku berkata: Tapi uang itu... Lelaki itu segera memotongku: Aku akan menuka rkannya segera di kedai-kedaiku. Akhirnya kedua lelaki itu menutup jalanku, sehingga tak ada satu perkataan atau alasan pun yang dapat menolongku. Aku berisyarat kepada keduanya, dan mereka pun mengikutiku pergi ke salon cukur. Kemudian aku masuk dan berkata pada tukang cukur untuk meminjamkan aku uang dari kotak uangnya. Dia pun meminjamkannya, dan petani itu pun pergi. Penjual koran itu berdiri bersama anak keledai itu di depan pintu salon cukur. Orang-orang yang lewat bergantian berkumpul untuk memperhatikannya. Sedangkan aku sendiri, duduk sambil tercenung, bingung memikirkan apa yang akan aku lakukan dengan bawaan ini. Tukang cukur mulai menyabuni janggutku seraya memuji keindahan anak keledai itu, dan berbicara tentang makanan atau perlakuan yang layak baginya. Kemudian ia mulai membayangkan jikalau nanti anak keledai itu tumbuh besar, dan dapat berlari bagaikan seekor kuda. Pelanggan salon lainnya menungguku dan menyimpan segala tawa serta prasangka, yang terlintas di benak mereka. Sampai akhirnya aku selesai bercukur, aku bangkit dan membayarkan surat berharga itu kepada pemilik salon, dan dia pun mengambil haknya dariku. Di luar, si penjual koran segera menemuiku seraya menyerahkan tali kekang anak keledai itu kepadaku dan berkata: Lepaskan dia berlarian di padang rumput! Aku berkata seolah ditujukan kepada diriku sendiri: Andai saja padang rumput itu ada, pasti mudahlah permasalahan itu. Lelaki itu berkata: Lepaskan ia di atas loteng atau di kandang bersama kambing. Aku berkata seolah aku tidak tinggal di hotel: Bagaimana kalau kita melepaskannya di kamar mandi? Lelaki itu terbelalak: Kamar mandi?! Tanpa komentar aku memerintahkan: Bawa dia ke penginapan." Ya! Aku telah memikirkannya! Aku rasa anak keledai yang cantik itu tidaklah lebih hina atau lebih aneh daripada seekor anjing yang kulihat dibawa oleh seorang wanita berambut pirang tadi pagi. Jadi apa salahnya kalau dia pada hari ini menemaniku, kujadikan tamuku, dan kubagi kamar dengannya hingga waktu Ashar.

Aku memang berniat untuk pergi hari ini -tepatnya pada waktu Ashar- ke sebuah desa terdekat demi keperluan aneh yang akan kuceritakan kisahnya sebentar lagi. Jadi, dia bisa tinggal bersamaku sampai nanti aku membawanya pergi ke ladang dan melepasnya bermain, karena yang aku pikirkan hanyalah keperluan makanannya pada hari ini. Tukang cukur tadi berbicara tentang makanannya, ia takkan makan kecuali susu karena tukang cukur itu melihatnya seakan-akan baru lahir sehari atau dua hari lalu, dan ia diharamkan dari tetek ibunya untuk dijual d i jalanan kota Kairo. Mungkin saja karena kesusahan yang menimpa pemiliknya, karena seorang petani jika merasa lapar, ia akan menjual segala sesuatu yang bisa dijual. Siapa yang tahu kalau anak keledai ini merupakan akhir jalan cerita kesusahannya yang berkepanjangan? Belum selesai aku melamun, lagi- lagi orang-orang mengerumuni kami. Aku mengisyaratkan kepada penjual koran untuk segera membawa anak keledai itu dan aku akan membuntutinya dari jauh. Lalu ia menarik tali kekang merah itu, dan anak keledai tersebut hanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa mengetahui pergantian pemilik. Aku hanya memperhatikannya dari jauh. Terkadang aku berfikir bahwa caranya berjalan mirip denganku. Karena terbayang olehku, seolah-olah kepalaku terangkat dari permukaan menuju angkasa luar yang tak terlihat, dan aku mengendalikan kehidupan tanpa berkumpul dengan orang yang bersamaku atau mengetahui tujuanku. Ya, cara jalanku terkadang sepertinya, pandanganku juga terkadang seperti pandangannya yang kering terhadap dunia tenang yang aneh, dan pandangan itu telah menghalangi manusia dari ketujuh pintu yang dicap itu. Ya Allah, ampunilah kelalaian ini, karena aku telah menempatkan diriku untuk menyerupai makhluk aneh ini!

=2=

Kami pun tiba di hotel. Aku melirik seorang pelayan yang berdiri di depan pintu, dan dia datang kepadaku. Dia adalah orang Noubi terpercaya yang biasa membantuku, dan aku pun tak segan-segan untuk memberinya tips. Ketika ia sudah dekat, aku menunjuk ke arah anak keledai yang dipegang oleh calo itu, dan membisikkan padanya untuk membawanya melalui tangga pelayan serta

meletakkannya di kamar mandi dalam kamarku. Lelaki itu terbelalak. Lalu kukeluarkan kepingan perak dan meletakkannya di telapak tangannya. Maka dia pun segera tersadar dari keheranannya dan bergegas untuk melaksanakan permintaanku yang hampir tak masuk di akal. Dia menutupi anak keledai itu dan menggendongnya, lalu sambil

menoleh kiri dan kanan karena takut kalau ada orang yang melaporkannya kepada Direktur hotel, ia seegra membawanya. Lalu aku beralih ke si penjual koran. Ia sudah menungguku sambil menepuknepukkan tangannya untuk menagih upah. Aku pun memberinya kepingan perak sehingga ia gembira dan berlalu seraya mengangkat tangannya ke langit, dan berdoa: Semoga dengannya Tuhan membahagiakanmu, mengekalkannya untukmu, dan tak menjadikan sakit hatimu! Dia menghilang di persimpangan jalan, sedangkan aku hanya menatapnya tanpa mengetahui apakah ia mengejekku ataukah ia berkata dengan sungguh-sungguh. Aku memasuki hotel dari pintu utama dan berhenti sejenak di lobi, memandangi para turis yang berlalu- lalang. Kemudian dengan lift aku naik ke kamarku di lantai lima. Ketika memasukinya, aku menemukan segala sesuatu masih sama seperti saat aku tinggalkan. Segalanya teratur di tempatnya. Buku-buku dan berkas-berkas di atas meja, pakaian tergantung di dalam lemari, gramofon dan semua koleksi compact disc-ku, serta vas-vas bunga di atas bufet, dan tanaman mawar anggun di beranda. Tak ada satu pun yang menandai bahwa di tempat ini ada binatang tunggangan, sampai saat aku menuju pintu kecil kamar mandi yang ada di kamarku, dan membuka pintunya. Saat itulah aku melihat anak keledai itu berdiri dengan tenang di hadapanku! Sejenak aku memperhatikannya dengan penuh ketakjuban, kemudian aku meninggalkannya dengan tenang dan kembali ke kamar. Aku menekan tombol bel dan melepaskan lelah di kursi besar yang terletak di samping pintu beranda. Tak lama terdengar ketukan pintu dan muncullah pelayan. Aku berkata padanya: Satu cangkir kopi untukku dan susu untuk... Tanpa sadar mataku mengarah ke kamar mandi. Tapi aku tak bisa melanjutkan perkataanku karena pelayan ini belum tahu persoalan yang terjadi. Dengan penuh hormat ia berkata: Untuk siapa? Nanti kau juga akan tahu. Aku mengatakannya dengan terburu-buru dan mengisyaratkan padanya agar segera melaksanakan permintaanku. Pelayan itu pergi dan tak lama kemudian ia kembali dengan membawa nampan indah dari Kristopher, yang di atasnya terdapat dua buah cangkir bersih dan dua teko. Dia meletakkan salah satu cangkir dengan satu teko kopi di hadapanku, dan meletakkan cangkir yang satu lagi beserta teko susu di sisi lain dari mejaku, kemudian ia menarik sebuah kursi untuk diletakkan di dekat teko kedua itu. Aku tak dapat menahan senyuman. Keluarlah lelaki itu dan menutup pintu dengan penuh kearifan, yang segalanya menandakan bahwa ia telah paham, bahwa pelayan hotel itu telah terbiasa menghidangkan permintaan pada waktu-waktu tertentu dalam keheningan yang aneh.

Tak ku biarkan diriku menyendiri. Dengan segera aku menuju kama r mandi dengan membawa secangkir susu dan meletakkannya di atas karpet, tepat di bawah mulut anak keledai itu. Aku menunggu kalau-kalau saja sahabatku ini menghirup satu atau dua sedotan dari susu itu. Namun ternyata ia diam tak bergerak. Kedua matanya memandangi cangkir itu tanpa peduli, sebagaimana mata seorang zuhud memandang kehidupan dunia. Aku terkejut dan berkata sendiri: Ini mustahil. Walau bagaimanapun tingkat kezuhudan filsuf ini, sesungguhnya secangkir susu tidak termasuk kemegahan dan aku tak mengira bahwa makhluk kecil ini mampu menahan puasa dalam waktu lama. Pasti ada suatu sebab. Aku tak dapat menemukan sebabnya karena aku baru saja mengetahui watak aneh dari binatang ini. Karena segala pengetahuanku berkisar antara sesuatu yang mereka sebut sebagai kemanusiaan. Yang mana menurutku hal itu tidak akan peduli untuk menelan segala sesuatu yang disuguhkan kepadanya, baik itu yang dapat dimakan ataupun tidak, bahkan daging saudaranya sendiri (ia makan_red), dia selalu saja lapar dan haus pada sesuatu, dan dia tidak berbuat sesuatu kecuali untuk satu tujuan tertentu, sampai-sampai shalat serta puasanya. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk meminta petunjuk dari tukang cukur, karena sepengetahuanku dia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui dari permasalahan ini. Dengan segera aku meninggalkan kamarku untuk turun ke jalan menuju salon cukur. Tiba-tiba aku bertemu lagi dengan calo itu. Ketika ia melihatku, ia langsung berteriak sambil tersenyum, dan berkata: Apa kabarnya? Aku tertawa dan berkata padanya: Dengarlah hai..., siapa namamu? Temanmu Dasuki. Dengarkanlah hai Dasuki! Bukannya kamu bilang ia minum susu? Benar, ia minum susu. Apa pendapatmu kalau dia tidak mau minum, bahkan tak sedikitpun menoleh ke cangkir?! Lelaki itu terbelalak dan berkata: Cangkir?! Aku menjawab: Iya, aku memesan untuknya secangkir susu... Lelaki itu memotongku seraya berteriak: Kau memesan untuknya secangkir susu!! Maaf ya, apa dia itu seorang turis?! Dia itu, tuanku Beik, seekor anak keledai yang baru lahir dua hari... Dia menyusu langsung dari tetek ibunya... Maaf saja, seharusnya ia itu harus memakai dot dari apotek! Sekarang aku pun sadar akan kebodohanku seraya berkata: Iya benar, kamu benar!

Aku tinggalkan dia dengan segera menuju apotek terdekat untuk membeli dot. Apoteker itu bertanya padaku: Anak laki- lakinya berapa tahun umurnya? Aku menjadi gugup dan berkata: Demi Allah, bukan anak laki- laki. Apoteker itu berkata: Jadi anak perempuan? Juga bukan anak perempuan. Lelaki itu terbelalak, lalu bergumam: Bukan anak laki- laki juga bukan anak perempuan, jadi apa. Apa ada jenis baru ketiga yang aku tidak tahu?! Aku ingin meringankan keheranan orang itu, segera saja aku berkata: Sebenarnya ia itu... Iya saya paham, dia itu bukan anak bapak bukan?! Anakku?! Tentu bukan, dia itu anak keledai kecil! Anak keledai?? Oh, saya minta maaf! Nampaklah penyesalan di wajah apoteker itu, dan dia pun segera mengambil apa yang aku minta. Dia memberikan padaku sebuah botol besar yang di ujungnya terdapat puting dari karet, dan berkata: Maaf, ini botol yang besar, cocok untuk anak keledai yang sudah besar. Aku pun tersenyum dan berkata kepadanya: Tidak perlu minta maaf. Setelah membayarnya, aku segera membawa dot itu kembali ke hotel. Ketika sampai di kamar, aku melihat pintu kamarku sudah terbuka. Aku teringat kalau aku meninggalkannya sedemikian karena lupa. Dengan segera aku bergegas menuju kamar mandi dan aku teringat juga kalau lupa menutup pintu kamar mandi sebelum kepergianku. Aku melemparkan pandangan ke seluruh tempat, dan tak menemukan satu tanda pun tentang keberadaan sahabatku. Aku pun terduduk heran. Ke mana dan bagaimana ia bersembunyi? Mungkinkah ia diculik atau tersesat? Aku pergi ke lobi di lantai itu, dan tiba-tiba aku mendengar tawa kecil keluar dari salah satu kamar. Aku bergerak menuju suara itu hingga aku tiba di hadapan sebuah kamar yang pintunya terbuka. Saat itulah aku melihat anak keledai tersebut sedang berada di hadapan cermin tinggi di sebuah lemari pakaian sambil memperhatikan dirinya, sedangkan di sampingnya ada seorang wanita berambut pirang tertawa terbahak-bahak. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa berdiri mematung, tanpa satu kata pun dapat terucap, hingga wanita itu berpaling ke arah pintu dan melihatku dengan dot di tangan. Ia segera menghampiriku dan berkata: Maaf tuanku, apa dia... Iya Nyonya, dia... Aku menggerakkan kepalaku mengisyaratkan akan adanya hubungan antara aku dan anak keledai itu. Dia pun tertawa dan berkata padaku: Tadi hampir saja terjadi guncangan di lantai ini. Tapi itu guncangan yang lembut. Dia

berjalan di lobi dengan tenang, dan memasuki tiap kamar yang didapatinya terbuka. Lalu ia segera menuju cermin yang didapatinya, dan lama sekali berkaca di hadapannya. Aku mendengar penghuni kamar sebelah menjerit kaget, karena ketika ia sedang mengikatkan dasi di hadapan cermin, tiba-tiba ia melihat di antara kakinya ada seekor anak keledai. Wanita itu menceritakannya sambil tertawa sehingga aku pun ikut tertawa. Lalu aku bertanya padanya: Lalu bagaimana ia bisa tetap tinggal di kamarmu? Dia menjawab: Jadi, menurutku dia lari dari selangkangan kaki tetangga itu karena takut akan jeritannya... Karena itu ia berlari menuju pintuku dan masuk tanpa izin. Ketika ia melihat cermin, mulailah ia berkaca tanpa memberiku kesempatan. Aku pun berkata: Alangkah bodohnya dia! Begitulah keadaan kebanyakan para filsuf! Mereka mencari diri mereka dalam setiap cermin, dan tidak memberikan kesempatan yang indah untuk berpaling! Wanita itu tersenyum simpul sebagai tanda persetujuannya atas perkataanku. Namun tiba-tiba parasnya berubah serius dan berkata: Benar, aku tak tahu mengapa ia begitu memperhatikan persoalan ini. Aku pun berkata: Menurutku, ia lupa akan dirinya dan mengingkari persoalan benda, karena sampai jam ini, ia belum diberi makan apa pun. Wanita itu menunjuk pada dot di tanganku. Kamu belum menyuguhinya susu sedikit pun? Aku sudah menyuguhinya, tapi dia tidak mau. Lalu aku menceritakan apa yang aku lakukan, dan dia pun menertawai diriku sebagaimana tertawanya sang calo, dan berkata: Tuanku, sepertinya kau belum pernah menjadi seorang bapak. Aku berkata: Anda benar Nyonya, inilah awal kehidupanku menjadi seorang bapak. Ia menjulurkan tangannya dan meminta dot itu dariku seraya berkata: Jika kau mengizinkan, bolehkah saya menggantikanmu untuk melakukan pekerjaan ini? Karena sesungguhnya wanita itu lebih berhak untuk melakukannya. Itu adalah pertolongan besar dan kebaikanmu Nyonya, takkan aku lupakan. Aku mengucapkannya sambil meninggalkan anak keledai itu bersama alat makannya dan sedikit susu yang kubawakan untuknya, kemudian aku pergi untuk mengurus kembali pekerjaanku seraya bersyukur.

=3=

Urusan yang mengharuskan aku pergi ke desa pada hari itu sangatlah berat karena keanehannya. Mungkin kau bertanya-tanya tentang keanehan tersebut. Karenanya, akan aku ceritakan kisah tersebut di sini. Sejak seminggu yang lalu, tepatnya pada waktu Ashar, bersama udara yang sangat panas aku duduk menghadap beranda untuk menghirup udara segar yang bertiup. Tiba-tiba terdengar deringan telepon di sampingku. Aku mengangkatnya dengan tangan yang lemas tanpa bergerak dari tempatku. Aku mendengar operator hotel itu menyambungkan aku dengan suara lain di luar, suara seorang lelaki yang berbicara dengan bahasa Perancis, dan meminta waktu padaku untuk bertemu dengannya. Aku bertanya padanya tentang maksudnya bertemu denganku. Dia berkata bahwa dia adalah wakil dari perusahaan film yang ingin berbicara denganku perihal pekerjaan ini. Lalu aku membuat janji untuk bertemu dengannya sore hari itu di lobi hotel. Pada saat yang dijanjikan, aku bertemu dengannya. Ternyata ia adalah seorang pemuda berambut pirang tanpa kumis, dan berpenampilan rapi. Dia menyapaku dengan hormat. Kami lalu duduk bersama, dan ia mulai berbicara dengan lancarnya tentang kaset film yang kebanyakan proses syutingnya diambil di pedesaan Mesir. Dia langsung memilih para aktor dan aktrisnya dari para petani yang tinggal di pedesaan itu tanpa mengambil para aktor profesional Mesir, agar ia mampu meyakinkan kejujuran dalam pengambilan gambar. Kesemua itu telah dibungkus dalam satu bingkai sinema yang telah selesai dibuat. Dan yang bertanggung jawab atas pendanaan produksi ini semua adalah perusahaan perfilman Perancis. Aku memotong pembicaraannya dengan lembut. Lalu apa yang kalian inginkan dariku setelah semua penjelasan ini? Dia berkata: Dialog. Kemudian ia mengeluarkan dari tas kecil, sebuah skenario cerita yang ditulis dengan mesin ketik, satu rangkap dengan menggunakan bahasa Inggris dan satu lagi dengan bahasa Perancis yang keduanya diberikan padaku, lalu dia berkata: Demi memudahkanmu, berikanlah padaku kesempatan untuk menyederhanakan kisah itu dalam dua kata. Dia pun memaparkan cerita panjang lebar yang tak dapat aku bedakan mana awal dan akhirnya. Tabiatku adalah tidak dapat tahan mendengarkan orang berbicara lebih dari lima menit. Setelah itu aku melanglang buana di lembah, melayang di angkasa, kemudian lupa akan keberadaanku dan orang di sekelilingku. Aku berada dalam keadaan linglung. Dan, hal itulah yang menghalangiku untuk mendengarkan

orasi penting. Hal itu kerap kali mengagetkanku, karena ia bisa hadir, bahkan pada saat aku berada di arena perfilman dan pencarian buku. Aku membayangkan bahwa asal pikiranku adalah bagai gas yang banyak, yang mana aku harus berusaha untuk mengumpulkannya. Jika aku lengah sedikit saja, maka ia akan lepas dariku dan kembali seperti semula. Oleh karena itu, aku tak dapat berkonsentrasi pada lelaki di hadapanku, kecuali setelah ia mengisyaratkan bahwa kisahnya telah selesai. Permasalahan yang aneh bukan? Iya, aneh sekali. Aku mengatakannya seolah-olah aku memperhatikan, karena suaraku terdengar begitu bersemangat. Namun sesungguhnya saat itu aku sangat jauh dari semangat untuk segala sesuatu. Kemarau bulan Juni, pekerjaanku sepanjang tahun, dan segala kejadian yang menjumpaiku selama itu, telah menghancurkan perasaanku. Telah menjadikanku seseorang yang tak berguna kecuali duduk di atas kursi sambil berpikir tentang kapal-kapal laut, menyiapkan acara-acara musim panas di Eropa, serta mencari peninggalan sejarah Tuskanini dan Bruno Voltaire. Tak pelak lagi, permintaan produksi film ini akan membuatku sangat gembira jika diajukan dua bulan sebelumnya. Jadi, kalaulah sinema itu adalah buatan ujung jemariku sendiri, maka jumlah halaman perbincangan skenario dapat dipastikan tak akan melebihi sepersepuluhnya, seperti halnya jumlah halaman yang sekarang ia letakkan di hadapanku. Tetapi, karena kurang beruntung, pada hari itu aku berada dalam keadaan terkejut, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kalaupun seseorang memintaku untuk menghembuskan nafas, aku akan merasa terkekang karenanya. Pada waktu itu segala kebencianku telah terkumpul pada sesuatu yang bernama: penulisan dan segala sesuatu yang butuh penulisan. Maka penulisan surat adalah bencana besar, penulisan kartu adalah musibah, dan penulisan makalah bisa menyebabkan aku melakukan kejahatan. Ketika lelaki lain meminta pendapat padaku tentang pekerjaan itu, dengan terus terang aku meminta maaf karena tak dapat melakukannya. Musim pekerjaan telah usai, aku telah menetapkan waktu bepergian, dan segalanya telah selesai. Lelaki itu bertanya padaku: Kapan kau pergi? Pada permulaan Juni. Baik sekali, di depan kita masih ada satu bulan dan ini suda h cukup bagi kita. Selesailah pertemuan kami dan lelaki itu pun pergi dengan meninggalkan kedua berkas itu untuk aku pelajari lebih lanjut. Dia optimis kalau hanya dengan membaca kisah itu akan timbul dalam diriku keinginan untuk membuat dialog. Dia pergi untuk kembali lagi padaku pada waktu yang telah ditentukan. Aku membawa berkas riwayatnya dan

meletakkannya tertutup sebagaimana mestinya dengan segala isinya; pahlawan kebaikan dan kejahatan yang tidak kuketahui, tertidur tanpa kubangunkan. Sampai kemudian ia datang padaku pada hari berikutnya, dan berbicara perihal pekerjaan mereka serta bertanya tentang keadaan desa. Aku hanya menjawab dengan jawaban seadanya sambil berusaha menutupi kebosananku demi menghormatinya. Lelaki itu aneh! Dia masih saja terus berusaha untuk meyakinkan diriku meskipun aku telah menolak. Aku telah mengatakan padanya bahwa aku siap untuk memberitahukan segala kabar tentang pedesaan, asalkan hal itu dilakukan pada waktu yang memungkinkan kami untuk bertemu. Tapi dengan cara mengik at kontrak kerja yang ditanyai pada waktu tertentu, itulah perlakuan yang aku tidak suka. Kemudian aku merekomendasikan seorang penulis yang aku ketahui salah seorang yang

berpengalaman dalam pekerjaan ini. Wajah lelaki itu memerah seraya berkata: Perusahaan ini hanya menyebutkan namamu. Aneh! Aku katakan itu dengan wajah heran. Lelaki itu berkata: Sungguh perusahaan inilah yang telah memegang banyak produk riwayat-riwayat Imil Zola dan menyebarkan produk Zola -yaitu gedung Syarbantih milik Faskil dan perusahaannya. Dari gedung inilah salah satu kisahmu telah tersebar, sehingga mengantarkan kami padamu ketika kami membutuhkan seorang penulis Mesir yang menuliskan dialog pedesaan. Di sinilah hilang ketakjuban itu. Memang aku ingat bahwa di permulaan ta hun itu datang padaku dengan cara yang sama, dua permohonan dari dua perusahaan perfilman Perancis. Keduanya meminta padaku agar mereka dibolehkan untuk menyadur kisah ini. Ketakjubanku pada waktu itu adalah terhadap cara mereka mengetahui alamatku. Semua ini bagus. Tetapi maaf, semua itu tidak menggoyahkan sikapku. kataku pada lelaki itu. Lalu ia pun memandang lama wajahku, seolah-olah mengalir di pikirannya bahwa aku menyimpan sesuatu. Kemudian ia bangkit sambil mengharap padaku untuk memikirkannya sekali lagi, lalu ia pergi setelah mengatakan akan kembali lagi. Ia benar-benar kembali pada hari berikutnya. Kali ini ia tidak sendiri. Seorang lelaki lain menemaninya. Ia mengenalkan aku padanya seraya mengatakan bahwa ia adalah penanggung jawab keuangan dan kepegawaian, khusus untuk film ini. Kemudian mereka berdua mengeluarkan dari tas, beberapa permohonan dan berkas. Berkata padaku lelaki aneh itu: Aku lupa mengatakan padamu bahwa perusahaan di Perancis benar-benar telah mengikat perjanjian dengan penulis Perancis ......... untuk

menuliskan istilah Perancis untuk dialogmu. Karena dialog itu tentunya akan tetap dalam aslinya, yaitu berbahasa Arab jika dibuat dalam kaset Arab, tapi kaset Perancis tentunya ......... akan menentukan istilahnya secara menyeluruh setelah kami mengirimkan padanya terjemahan utama. Dan inilah contoh perjanjian yang telah ia tanda tangani! Dia menyerahkan perjanjian itu padaku. Pandanganku jatuh pada jumlah uang yang didapatkan penulis untuk melaksanakan pekerjaan ini: tiga puluh ribu Frank. Kemudian kulihat pula persyaratannya, yang di antaranya adalah: mengumumkan namanya di atas papan perak dengan huruf yang besarnya sama dengan besar huruf nama sutradaranya. Aku tersenyum melihat dunia yang baru bagiku ini, yang aneh pemikirannya, gejolaknya, dan keinginannya! Lelaki itu tidak berlama- lama denganku. Segera ia mengambil berkas dari temannya, dan menyerahkannya padaku seraya berkata: Dan ini adalah perjanjian yang kami mohon Anda bisa membubuhi tanda tangan di atasnya. Aku melihat berkas itu. Ternyata tertera berbagai macam pasal yang diketik dengan menggunakan bahasa Perancis. Di atasnya tercetak kop nama perusahaan, dan di bawahnya tanda tangan perwakilan perjanjian. Dan aku melihat pada jumlah uang, ternyata jumlahnya hanya lebih sedikit dari yang diberikan kepada penulis Perancis yang tidak banyak berbuat itu. Telah diperhatikan besarnya huruf nama antara aku dan dia -perihal yang membuatku tersenyum sekali lagi- senyuman yang bercampur dengan perasaan takjub dan rela. Suatu hal yang membuatku untuk berpikir sedikit adalah pasal terakhir. Di sana disebutkan bahwa perusahaan akan segera membayar uang muka yang jumlahnya agak banyak pada saat penandatanganan kontrak. Di sini aku mulai memperhatikan permasalahan secara keseluruhan dengan sungguh-sungguh, seraya berkata dalam hati: Hanya satu cara untuk mendapatkan dua ratus Pound, yaitu dengan membubuhkan tanda tanganku di sini. Pada saat itulah aku mulai merasakan kekuatan harta, dan aku mengetahui bahwa harta itu terkadang mampu menentukan pengambilan suatu keputusan, bahkan dalam permasalahan sastra, pemikiran, ataupun kesenian. Ya, mengapa tidak?! Kalaulah orkestra Bethoven di London tidak di dasari oleh uang lima puluh Pound, tentu takkan dibuat Symphoni kesembilan! Kalaulah seorang seniman itu tidak memerlukan harta untuk hidup, terkadang ia memerlukannya untuk menghasilkan karya. Jadi, seniman itu terkadang bagaikan seorang wanita cantik yang harus mengambil cara-cara yang menghanyutkan! Sesungguhnya wanita jika tidak dic intai dari lubuk hatinya, maka ia harus menggoda dengan gemerlap emas, dan seniman jika

belum terpancar dari jiwanya sesuatu, maka ia harus membuka jalan dengan kapak emas. Itu adalah perilaku aneh yang tak ada hubungannya dengan kepribadian, kekerasan, ataupun tamak akan kemegahan. Hal itu terkadang adalah sesuatu yang masuk dalam rahasia jiwa manusia. Sesungguhnya hati seniman dan hati wanita, keduanya terdapat peti sihir yang tak dapat terbuka sendiri dengan sekali lewat, melainkan harus dengan membakar banyak dupa di hadapannya. Satu hal ini sajalah yang membuatku menyimpan perjanjian itu dalam waktu lama, dan aku merasa kalau aku takkan melepaskannya kecuali setelah aku tanda tangani, tanpa terbayang olehku pekerjaan apa yang akan aku lakukan pada waktu itu, juga tanpa memikirkan apakah aku mampu menuntaskannya dalam jangka waktu yang terbatas itu. Meskipun demikian, aku sebenarnya tidak begitu memerlukan uang tersebut. Karena, tak kurang dari sepuluh hari lalu aku telah menerima sejumlah uang karena persoalan yang persis seperti persoalaan ini; yaitu ketika seorang pedagang buku terkenal bernama Haji ......... ingin membelikan buku-buku untukku, dan perdagangan ini telah berlangsung antaranya dan penanggung jawab buku-buku tersebut. Ya, hal itu merupakan tabiat malasku, hingga aku tidak menghiraukan permasalahan sepele seperti ini. Akhirnya, aku dinobatkan sebagai seorang wakil yang menangani permasalahan percetakan, pendistribusian, penghasilan, jual beli, dan segala rincian yang aku usahakan untuk mengumpulkannya. Wakilku itu telah tahu bahwa aku tak peduli dengan persoalan seperti ini, jadi ia tak pernah meminta perhitungan sedikitpun, dan aku sendiri tak pernah memperhitungkannya. Yang penting ia memberikan jumlah uang yang aku inginkan sewaktu aku perlukan. Adapun sisanya, aku tak menghiraukannya karena dia tahu bagaimana cara mengatur segala sesuatu bersama para pedagang buku. Hingga sampai pada hari itu, seorang Haji melangkahinya dan mendatangiku secara langsung. Tanpa aku lihat wajahnya, aku langsung membentak: Penawaran dan perhitungan dengan Muhammad Afandi...! Maka berdirilah dia dengan tubuhnya yang besar, mengenakan pakaian tradisional sambil menyelempangkan jubah beratnya di pundaknya, dan kedua matanya -yang tak pernah kulihat dalam keadaan sehat- memerah. Dia berkata padaku dengan logat tradisionalnya yang aneh: Subhanallah? Memangnya ada orang yang bicara tentang penawaran atau perhitungan? Hai Ustad z, bershalawatlah untuk Nabi dan mintalah untuk kita secangkir kopi tawar! Aku pun meminta kopi dan Haji itu duduk berbicara tentang beberapa cerita lembut menggelitik, yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan yang dibawanya. Haji itu seorang pembicara yang aneh lagi hebat. Pendengar takkan bosan dengannya.

Ia juga terkenal sangat pandai dan cerdik. Sekali waktu ia berbangga diri bahwa dia itu adalah seorang lelaki yang tekun. Dia mampu dengan sendirinya mengumpulkan kekayaan tak kurang dari lima ribu Pound, dan dengan kecakapannya ia mampu menguasai perdagangan buku di seantero dunia Arab. Dia berbicara tentang perwakilannya di Sanad, India, Srilanka, Pesisir emas, Barat jauh, dan Timur bawah, bagaikan seseorang yang penuh pengalaman. Dia tidak melupakan andilnya dalam penyebaran buah pemikiran kita kepada akal manusia di seluruh tempat tersebut, dan menyebarkan sastrawan Mesir serta karangan-karangannya ke negara- negara yang sebelumnya tak terpikir dapat dimasuki. Dialah Napoleon buku. Dia membuka tanah yang jauh dan mengutus bala tentara kotak-kotak besar, yang di dalamnya terdapat hasil dari para sastrawan serta ulama pembawa pemikiran penting yang berlimpah. Kemudian ia bercerita perihal keberangkatan ibadah hajinya yang terakhir, dan apa yang ia lihat di negeri Hijaz. Haji itu menunaikan ibadah haji tiap tahun, agar dapat memohon berkah kepada Allah untuk dirinya dan seluruh perwakilannya. Jadi dia bekerja untuk akhiratnya seolah-olah ia akan mati besok, dan bekerja untuk dunianya seolah-olah ia akan hidup selama- lamanya. Dia masih saja terus bercerita hingga aku merasa telah hanyut di dalamnya. Yang dapat kulakukan hanyalah tersenyum, dan aku merasa telah melupakan segalanya kecuali cerita indah tersebut. Pada saat itu, ia merogoh dadanya dan mengeluarkan kantung plastik besar. Dikeluarkannya lembaran uang sepuluhan Pound seraya menghitungnya dengan suara tinggi, Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh. Aku akhirnya mengetahui maksudnya. Segera saja kubentak ia, Apa yang kamu lakukan Haji! Aku bilang penawaran itu dengan Muhammad Afandi... Dia tidak menoleh padaku dan berlalu begitu saja. Sambil terus menghitung uang ia berkata, Hai Ustadz, sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar! Enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh, seratus... Aku takut hal itu berakhir buruk, maka aku kembali membentak, Pak Haji, kumohon! Bapak tahu kalau aku membenci perhitungan. Dia membiarkan aku berteriak semauku dan terus mengeluarkan uang serta menghitung. Seratus dua puluh, seratus tiga puluh, seratus empat puluh, ... lima puluh, enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh, sembilan puluh, dua ratus... Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku hanya tak menghiraukan kelakuannya. Tetapi lama-kelamaan, aku tak bias menahan diri untuk tidak melirik, dan tanpa sengaja aku melihat lembaran uang yang sedang dihitungnya. Begitu pula

telingaku tak pernah lepas dari kencangnya suara hitungannya. Ia terus menghitung. Dan, ketika hitungan itu lewat dari dua ratus, perlawananku mulai menurun, gejolakku menenang, dan saraf-sarafku mulai melemah. Akhirnya kudengar ia berkata, Dua ratus tujuh puluh Pound. Ambil dan hitung kembali. Aku melirik ke kantung plastik di tangannya yang hampir kosong, dan hanya tertinggal beberapa lembar pound untuk keperluannya. Aku tak mampu menahan diriku. Dengan segala kekuatan kurampas kantung plastik itu dan berteriak. Demi Allah, kau takkan keluar dari sini dengan sepeser pun! Aku pun mengosongkan segala yang ada di kantung plastik itu, dan aku dapatkan di dalamnya tiga lembaran lagi dan beberapa uang koin. Dia berteriak padaku, Baiklah Ustadz, sisakan untukku ongkos delman. Ongkos delman cuma tiga Piester! Aku berikan padanya yang ia minta, dan dia berkata, Tiada daya upaya kecuali hanya kepada Allah. Kemudian ia mengambil surat untuk Muhammad Afandi agar ia dapat mengambil buku-buku yang ia butuhkan, lalu ia pun pergi. Selang dua hari kemudian, datanglah Muhammad Afandi berteriak padaku, Haji itu melakukannya? Melakukan apa? Buku-buku yang harganya lebih dari lima ratus Pound dia beli hanya sekitar setengah harga! Kemudian ia menceritakan perihal perundingan mereka berdua pada hari yang lalu, dan mengatakan bahwa ia menolak membayar apa yang telah diambilnya dengan harga empat ratus Pound. Dia terus mengambil harga itu dengan harapan, andai saja aku tidak mendengarkan Haji itu atau menanyakan kembali pendapatnya sebelum memutuskan kesepakatan seperti ini. Aku menghilangkan kepercayaannya, sedangkan ia adalah orang yang dipercaya. Rasa iba menimpanya ketika ia tahu bahwa aku melakukan pekerjaanku dengan menggunakan perasaan, Mustahil! Setengah harga itu hal yang mustahil! Aku memandanginya dan tersenyum. Aku ingin menenangkan keadaan dengan berkata: Benar mustahil! Agar kau tahu bahwa aku terkadang melakukan sesuatu yang mustahil! Muhammad berkata, Maaf, bukankah Tuan hanya bisa menulis buku saja. Saya mohon Ustadz, sebaiknya kamu mengarang saja dan jangan melakukan yang lainnya. Aku pun tertawa dan meredakan kegelisahannya. Aku me ngakui kesalahanku dan menceritakan alasanku padanya, serta mengatakan kelemahanku di hadapan kecerdikan Haji itu. Dia telah membius sarafku dengan lembaran-lembaran itu, yaitu yang mana hal itu

bertentangan dengan kepentingan. Bagai orang gila dia terus mengulang-ulang,

ketika ia mengeluarkannya dari dalam kantung plastik di hadapanku, bagaikan seo rang pawang yang mengeluarkan mantra-mantra dari kantung plastiknya untuk membius saraf-saraf ular.

=4=

Aku telah menandatangani kesepakatan, dan lelaki berambut pirang yang rapi itu banyak berselisih denganku karenanya. Aku tak tahu apa kedudukan sebenarnya dalam pekerjaan itu. Sebagaimana yang aku tahu, lelaki itu adalah sutradara film tersebut, atau mungkin juga perwakilan dari manajer kantornya. Dengan perkiraan ini dia ingin aku mengkhususkan waktu untuk bertemu. Lalu aku menetapkan waktu antara jam empat sampai jam enam sore setiap harinya -yaitu waktu yang biasa dihabiskannya berbaring di atas sofa besar. Ketika ia datang kami saling bertukar pikiran tentang keadaan pedesaan Mesir. Aku menyumbangkan beberapa gagasan, sementara aku dalam keadaan a ntara sadar dan mengantuk. Aku mengundangnya untuk berkumpul di beranda kamar sambil menghirup udara segar, daripada di dalam lobi atau ruang konferensi yang penuh dengan kepengapan. Dengan demikian, aku tetap duduk di sofaku tanpa berpindah tempat, sebagaimana biasanya. Hanya saja ada yang tidak berubah setiap kali kami mulai membicarakan persoalan, yaitu perasaan lemas, kebodohanku akan rincian alur kisah yang ia utarakan padaku berkali-kali, dan kemalasanku untuk menelaah kembali skenario hingga akhir. Semua itu tak bisa kudapatkan obatnya. Kunjungan dan perbincangan kami telah berlalu satu pekan dan kami belum berbuat apa-apa. Akhirnya aku merasa malu dengan keadaanku dan dengan kesabaran sutradara itu. Hingga pada suatu hari yang panas ketika ia sedang menjelaskan tentang kepribadian seorang pelaku utama dalam kisahnya, aku berkata padanya, Maaf, pasti engkau telah putus asa denganku sebagaimana aku telah putus asa dengan diriku sendiri! Dia menjawab dengan tersenyum, Aku? Putus asa?! Seorang sutradara yang putus asa tak berhak mendapat gelar sutradara. Pembuatan film itu memerlukan kesabaran yang tiada habisnya. Tidak! Jangan takut! Aku takkan putus asa darimu. Yang terpenting adalah bahwa aku hanya memerlukan sedikit waktu. Sesungguhnya seorang sutradara harus selalu memulai menyulam cuaca yang menyelubungi para aktor dan pembantunya. Dia harus menggiring mereka langkah demi langkah menuju dunia kisah, zamannya, dan tempatnya. Kemudian setelah itu ia harus menundukkan mereka

secara tersembunyi ke bawah kendalinya, sebagaimana halnya sedang menhpnotis orang." Tanpa sadar aku menguap sambil berkata padanya, Benar, buktinya kamu datang padaku setiap Ashar sejak seminggu lalu untuk menidurkanku! Langsung saja ia menoleh padaku sambil tersenyum, Yang kau maksud dengan tidur itu apa?! Maaf, sesungguhnya maksudku... Tidak apa-apa, tidak apa-apa. dia mengatakannya sambil tertawa. Kita mungkin bisa lebih bersemangat kalau meninggalkan kamar ini dan meletakkan diri kita di tempat berlangsungnya kisah itu. Kemudian aku diberitahu bahwa mereka sesungguhnya telah menemukan desa kecil di jalan al-Badrasyin, setengah jam berkendaraan dari kota Kairo. Mereka menyewa sebuah rumah bagus yang telah dikosongkan pemiliknya, yang terdiri dari dua tingkat. Mereka telah mengirim orang yang bertugas untuk membenahi tempat itu hingga layak untuk melakukan syuting film. Dia mengatakan bahwa dia harus tinggal di tempat itu sebanyak mungkin untuk dapat merasakan suasana pedesaan sesungguhnya, serta mampu memilah- milah alur kisah itu atau para lakon yang diambil dari para petani itu. Dia memulai pembahasannya dengan sudut pandang pengambilan gambar, lalu menutup perkataannya seraya berkata, Andai saja kau ikut serta dan tinggal bersama kami di desa itu. Aku tak dapat menahan diriku dan segera berkata, Itu mustahil. Aku punya pekerjaan di Kairo yang tak mungkin aku tinggalkan. Lelaki itu meminta maaf, lalu mencoba untuk memberikan jalan keluar, yaitu dengan menawarkan sebuah kendaraan yang akan membawaku pulang-pergi Kairo setiap harinya, asalkan aku bersedia meluangkan sebagian besar waktuku bersama mereka di desa itu. Dia juga meyakinkan padaku bahwa kenyamananku di rumah desa itu akan terpenuhi, dan mereka akan menyediakan untukku sebuah kamar yang paling bagus. Dia juga menyebutkan bahwa kamerawan bersama istrinya telah tinggal di rumah itu sejak awal penyewaan, dan mereka sangat bahagia tinggal di sana. Ucapan itu berlalu begitu saja dan aku tidak mau lagi mendengarkan apa yang dia ucapkan. Karena sebutan desa dan hidup di sana membuatku risih semenjak aku tinggal di sana beberapa tahun lalu, yang tak pernah akan terlupakan dalam sejarah hidupku. Sesungguhnya bayangan pedesaan yang aku bawa sangatlah menyakitkan, meskipun dulu aku menyukai kejiwaan pedesaan yang tulus dan ruh petani yang mulia. Tapi aku membenci pemandangan pedesaan yang buruk dan kehidupan petani yang

jorok. Maka aku berkata pada lelaki itu, Aku tidak harus ikut bersama kalian, cukup bagiku naskah kisah di hadapanku ini sambil menuliskan dialognya di dalam kantorku ini." Tetapi lelaki itu terus saja mendesakku, hingga aku merasakan kalau ada sesuatu yang lain selain perbincangan yang ia maksudkan dariku dan dari keberadaanku di dekatnya, yaitu pengetahuan dan penjelasan tanah, manusia, dan tukar pengalama n yang dia kira bias kuberikan di setiap episode pekerjaan ini. Segalanya berakhir dengan isyarat jelas untukku, bahwa ia sedih dengan sikapku. Dia memohon padaku agar aku dapat membantunya dalam pekerjaan sekuat mungkin. Bukan karena perjanjian yang telah mengikatku dengan mereka, tapi demi kesenian dan persahabatan yang mulai terjalin antara kami. Ucapannya mulai menyentuhku. Aku memikirkan apa yang mungkin dilakukan. Maka aku menawarkan untuk bersama mereka di desa itu pada malam Jum'at hingga paginya setiap pekan, dan agar ia selalu mengontakku dengan surat atau telepon sepanjang pekan, untuk menanyakan segala sesuatu yang ia butuhkan. Dia pun menerimanya. Lalu aku menanyakan kapan perjalanan itu akan di mulai. Dia berkata, Jika kau bisa, mulai hari Kamis depan. Yakni pada hari aku menemukan anak keledai itu. Demikianlah terbersit di benakku untuk membawanya bersamaku ke desa pada hari itu.

=5=

Kutinggalkan anak keledai itu bersama wanita berambut pirang dengan penuh ketenangan. Aku percaya bahwa ia telah berada di tangan lembut yang menyayanginya, dan aku berharap kalau saja aku yang berada di posisinya. Terkadang aku berlebihan terhadap beberapa hal, dan kebencianku mendorongku untuk tidak dapat menahan akibatnya. Maka aku kuatkan keinginan untuk lari dari muka wanita itu sampai tiba waktu bepergian di sore hari ini, karena aku takut titipanku akan dikembalikan sebelum waktunya kubawa keledai itu pergi ke desa, sehingga aku harus menahan bebannya sedangkan aku sendiri tak mampu memikul beban diriku sendiri. Aku tinggalkan hotel untuk pergi makan siang di salah satu kedai di kota, dan takkan kembali kecuali pada waktu yang tepat. Tepat pada jam tiga aku kembali ke kamarku. Belum sempat aku duduk di kursi, tiba-tiba telepon berdering sebagai tanda kedatangan sutradara itu. Aku memanggilnya untuk naik, dan ternyata dia datang dengan pakaian perjalanan; yaitu celana berkantung selutut, baju lengan pendek, dan topi besar yang terbuat dari dedaunan.

Segala sesuatu telah siap berangkat, dan kendaraan di pintu hotel sedang menunggu. katanya. Aku bangkit dan melihat tampangku di cermin seraya berkata, Penampilanku akan tampak berbeda sendiri di antara kalian. Berpakaianlah sepertiku! Dari mana aku mendapatkan pakaian seperti ini sekarang? Ya... kau dapat membelinya di jalan nanti katanya. "Ayolah!" Segera kubawa tas kecil yang telah kupersiapkan sejak pagi hari tadi. Di dalamnya terdapat berbagai kebutuhanku yang cukup untuk satu malam di luar. Aku membunyikan bel dan meminta tolong pelayan untuk menurunkannya ke bawah. Sebelum pelayan itu datang, aku ingat bahwa Nona berambut pirang itu telah berputarputar mencariku setiap waktu dan aku pun tahu sebabnya. Aku menoleh kepada sutradara itu seraya berkata, Apa mungkin aku membawa seorang teman dekat? Karena sutradara itu telah mendengar pelayan tadi mengatakan kalimat Madmozel (Nona_pen.), langsung saja ia menjawab, Tentu saja, kamarku di rumah desa itu cukup untuk dua ranjang! Ia melontarkan senyuman penuh makna, sehingga aku paham akan maksudnya. Sejenak aku terdiam, lalu berkata, Lebih baik bagiku untuk segera memperkenalkan sahabatku itu. Kemudian aku meminta izin untuk pergi ke kamar sebelah. Dia duduk di kursi besar menunggu kedatanganku. Aku pergi bersama pelayan ke tempat wanita itu, dan mengetuk pintunya dengan lembut. Ia membukanya. Ketika ia melihatku, langsung saja ia berteriak sambil tersenyum, Nah! Akhirnya kau muncul juga! Hampir saja aku putus asa dengan lelaki aneh yang meninggalkan anak keledainya kemudian menghilang! Maaf Nyonya, sesungguhnya aku ingin membiarkan anak keledaiku itu senantiasa dalam kelembutanmu selama mungkin! Ia tersenyum dan berkata dengan gugup, Maaf saja, aku tak mampu berbuat apa-apa untuknya. Aku telah menanyakanmu untuk memberitahukan bahwa dia menolak minum susu itu dengan cara tersebut juga. Jadi menurutku, dia harus menyusu dari induk keledai yang baru saja melahirkan. Aku sedih dengan binatang miskin ini! Dia pasti akan mati kelaparan jika tidak segera mendapatkannya. Segera aku berkata, Aku akan mencarinya di pedesaan, dan untung saja aku sekarang akan berangkat. Aku mengatakannya sambil mataku mencari keberadaan

anak keledai itu. Aku menemukannya sebagaimana saat kutinggalkan, yaitu di depan cermin besarnya sambil berkaca memperhatikan dirinya dengan seksama. Aku berkata padanya, Apakah kau memperkenankan aku untuk membawa Filsuf ini? Sambil tersenyum ia menjawab, Tentu saja, duh Filsuf! Aku mewakili dirinya mengucapkan terima kasih pada Nyonya, dan aku sendiri juga berterima kasih karena kebaikanmu. Aku takut kalau saja hal ini membebanimu sebagaimana kebanyakan para filsuf itu membebani si cantik yang lembut. Sambil memberikan tali kekangnya ia berkata, Sebaliknya, aku senang ketika bersamanya. Good bye! Ia mengisyaratkan dengan tangannya isyarat perpisahan yang aneh kepada seekor binatang kecil, lalu meninggalkannya. Aku segera menggiring keledai itu masuk ke kamarku untuk menemui sang sutradara. Kenalkan, sahabatku... Lelaki itu segera berdiri dan berbalik. Ketika tiba-tiba ia menemukan seekor anak keledai, ia terkejut dan tersenyum. Kemudian ia tertawa senang lagi takjub. Ia menerimanya sambil mengusap- usap kepala kecilnya dengan telapak tangannya. Selamat datang sahabat! Pasti saja dia itu asal wahyumu. Saya harap begitu... Kelakuanmu menakjubkan, siapakah namanya? Aku belum memutuskan nama untuknya, tetapi aku suka memanggilnya dengan Filsuf. Lelaki itu berteriak, Kau benar, tak ada nama lain yang cocok untuknya selain nama ini. Ayolah Filsuf! Pelayan itu ingin menurunkannya dari tangga pelayan, tapi sutradara itu ingin ia turun bersama kami dan ia sendiri yang menuntunnya turun. Kami bergerak menuju lift dan turun ke lobi hotel di hadapan semua orang. Kami menembus tempat itu menuju pintu utama, sementara mata orang mengikuti kami dengan penuh ketakjuban. Kami memperhatikan Tuan ......., manajer ....... dan kedua matanya tak percaya kalau ada anak keledai yang berjalan di atas porselin lobi hotel... Ini mustahil... Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan. Segera kulemparkan senyuman dan penghormatan. Para hadirin, tuan dan nyonya, melirik padanya dengan senyuman, tawa, serta kegembiraan. Manajer itu tak dapat menahan dirinya dan akhirnya ia pun tersenyum seperti yang lainnya. Kami segera keluar dan menemukan kendaraa n besar yang di dalamnya ada seorang wanita muda yang manis. Ia memakai kaca mata yang menunjukkan gairah

semangat untuk bekerja, dengan mengenakan pakaian bepergian. Di depan kemudi, seorang pemuda kekar juga mengenakan pakaian bepergian. Sutradara itu

memperkenalkan mereka padaku, bahwa mereka berdua adalah para pembantunya. Mereka berdua telah menerima kami dengan senang hati, khususnya Filsuf, sampaisampai kami melalaikannya. Pembantu wanita itu bergeser memberi tempat di depannya untuk sahabat kecil itu. Ia lalu berdiri di tempat itu sambil menjulurkan kepalanya ke luar mobil. Setelah semua mendapatkan tempat duduk, kami melaju hingga tiba di jalan Fouad. Kami berhenti di depan sebuah toko pedagang besar untuk membeli pakaian seperti yang mereka pakai. Aku turun dari mobil dan membeli apa yang aku perlukan. Ketika aku kembali, tiba-tiba aku menemukan banyak orang berkerumun di sekitar mobil. Orang yang berlalu berkerumun dalam lingkaran besar. Mereka memperhatikan anak keledai itu menjulurkan kepalanya. Datanglah polisi lalu lintas untuk membubarkan kerumunan itu, dan menolong kami agar dapat terbebas dari mereka. Ayo bubar semua! Ada apa ini! Seumur-umur kalian tidak pernah ya melihat keledai naik kendaraan?! teriak mereka. Kami menoleh kepadanya dari dalam mobil sambil berkata, Terima kasih banyak! Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Giza, lalu melalui bypass menuju al- Badrasyin.

=6=

Perjalanan kami tidak begitu mulus. Setiap kali sutradara itu menemukan pemandangan aneh, kami berhenti sejenak. Dia sangat menyukai pemandangan pohon al-Jummaiz (yaitu pohon yang buahnya menyerupai buah Tin_pen.) yang mengalir air di bawahnya, dengan bebek-bebek berenang. Segera ia mengeluarkan kamera foto untuk mengabadikan pemandangan ini, seraya berkata bahwa tempat ini sangat cocok sebagai salah satu tempat syuting, dimana si petani Aminah dan Mahdi (kedua aktor dalam film itu) saling bertemu. Aku berkata, Jadi tempat ini jauh dari desa yang seharusnya pengambilan kisah itu dilakukan? Dia berkata, Apa bedanya, kita mencari pemandangan yang kita inginkan lalu kita tempelkan pada kaset yang kita inginkan. Tetapi ini berbeda dari yang sesungguhnya.

Tentu saja ini berbeda dari tempat sesungguhnya secara geografis jika kau mau, dan aku rasa kita adalah para seniman, bukan para insinyur bangunan. Yang kita inginkan adalah hakikat seni itu. Lelaki ini benar. Sungguh hakikat seni itulah yang seharusnya diperhatikan oleh seorang seniman. Hakikat ini segala bentuknya adalah memilih pemandangan dan mengaturnya hingga menciptakan suatu makhluk seni yang sempurna, memiliki karakteristik tersendiri dan kejiwaan yang baru. Dia tidak memikirkan bagaimana caranya mengumpulkan unsur-unsur itu. Pada saat itu terlintas di benakku kata Muller ketika ia dituduh telah mengumpulkan beberapa kisah atau dua kisah pendahulunya, dan telah mengeditnya. Tetapi ia berkata, Aku mengambil segala sesuatu yang bermanfaat untukku dari mana saja. Aku mengatakannya kepada sahabatku dan ia berkata, Sungguh tak diragukan lagi bahwa perkataan ini adalah syiar setiap sutradara dan seluruh seniman, baik itu riwayat, musik, lukisan, sinema, dan lain- lain. Karena di dalamnya terdapat makna hakikat seni. Kami terus berbincang-bincang seperti ini hingga tiba di desa tujuan semula. Desa itu terletak di sebelah kiri jalan bypass yang kami lalui. Kami telah melihatnya dari kejauhan. Desa itu tampak telah tertutupi oleh pohon kurma. Kendaraan kami berbelok memasuki jalan sempit dari tanah yang menghubungkan kami ke desa tersebut. Mobil itu jalan perlahan di antara gundukan kompos dan kotoran. Kemudian berhamburan keluarlah menyambut kami, gonggongan anjing dan anak-anak kecil petani dengan lalat-lalat yang mengerubungi bulu mata mereka. Mobil kami lalu berhenti di tempat yang tak mungkin lagi untuk maju, karena jalannya terlalu sempit dan hanya cukup dilewati pejalan kaki. Daerah itu bagai gang kecil, atau bahkan lorong di antara tempat tinggal yang mirip seperti sangkar-sangkar binatang liar. Semua keluar menyambut kami, karena kamerawan dan istrinya bersama beberapa pesuruh perusahaan yang ditugaskan menjaga rumah itu, telah menyambut kami. Mereka membawa barang-barang ringan yang kami bawa, dan menurunkan anak keledai dengan bantuan seorang nona pembantu. Langsung saja aku bertanya kalau-kalau ada induk keledai yang baru saja melahirkan anak di desa itu. Salah seorang anak kecil yang berkumpul mengatakan padaku, kalau di rumah seorang yang bernama Sa'dawi, ada induk keledai yang baru melahirkan. Di manakah Sadawi itu? Dia adalah tetangga kami.

Sejenak aku memandangi anak kecil yang lemah ini sambil mengingat perkataan salah seorang dokter kami, bahwa tak ada satu pun anak kecil di desa Mesir yang tak pernah dimasuki Anklastoma dan Balharsia. Penyakit-penyakit ini khususnya yang juga mempengaruhi kerja aktif otak, sehingga menurunkan daya tangkap dan mematikan sumbu kecerdasan. Pelayan kami tidak menghiraukan perkataan anak kecil itu. Mereka berpendapat agar anak keledai itu dibawa ke rumah kepala desa agar ia menyelesaikan permasalahannya. Bagian administrasi telah memberitahukan tentang kebaikan para tamu asing kepada kepala desa, dan aku sudah tahu bahwa kepala dusun serta pembantunya telah mengetahui kedatangan kami pada hari ini, maka mereka berdua membujuk kepala desa untuk datang menyambut kami. Tetapi sutradara cerdik itu mengetahui maksud mereka berdua. Sambil tersenyum ia berkata padaku, Sesungguhnya mereka berdua mengira bahwa kita akan melakukan pengambilan gambar dengan memerlukan para aktor, dan mereka tak ingin ketinggalan untuk menyaksikannya! Kami meninggalkan mobil yang dijaga oleh warga. Kami berjalan di gang dan lorong, di antara tingkatan-tingkatan rumah. Anak-anak kecil berpenyakit dan anjing kurapan itu mengikuti kami. Para lelaki yang duduk sambil menghirup teh hitam di atas meja berdiri karena kami lewat. Dari belakang pintu nampak kepala perempuan berselubung asap panggangan, dan mereka menyembunyikan wajah di balik cadar hitamnya. Para pemuda pemudi bermunculan menengok kami dari atas loteng dengan tangan berlumuran kotoran binatang. Mereka sedikit mengalihkan perhatian kepada kami daripada menyusun kotoran-kotoran itu! Itulah pedesaan kumuh yang selalu aku ketahui. Tak ada faedah yang dapat diharapkan darinya, tak ada apa-apa hari ini kecuali permohonan maaf dan penyesalan. Aku menyesali kedatanganku. Keputus-asaan melandaku. Lalu aku menoleh kepada teman-temanku, dan kulihat di wajah mereka keceriaan serta kegembiraan terpancar. Sutradara itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata kepada pembantunya, Lihatlah! Segala sesuatu nampak indah! Aku membuka lebar- lebar mataku di hadapan mereka, memandangi apa yang mereka sebut keindahan. Sutradara itu melihat seorang anak perempuan kecil yang kumuh keluar dari antara tanah dan kayu bakar di atas loteng sebuah rumah. Di tangan anak itu tampak seekor kucing kusam. Baik anak maupun kucing itu, keduanya berlumuran tanah serta kotoran. Lelaki itu membidikkan kameranya kepada mereka dengan gembira. Aku berteriak padanya, Apakah ini sesuatu yang indah?!

Oh, tentu. Jawabnya antusias. Semua makhluk miskin yang kumuh ini?! Itu lebih indah menurut seni daripada makhluk yang memakai pakaian kebesaran pada pesta dansa di istana Imperatur Butrasberg! Keindahan seni! Iya, betul. Hakikat seni itu juga tak ada hubungannya dengan kebersihan dan kekumuhan, keutamaan dan kehinaan, atau kemunduran dan kemajuan! Iya, benar. Aku tak ingin melanjutkan perbincangan dengannya mengenai hal ini, sebaiknya aku diam saja. Aku cukup memperhatikan bagaimana caranya memandang segala sesuatu. Pada mulanya aku memang takjub dengan cara berpikirnya. Dia tidak menggambarkan sesuatu dengan akalnya, melainkan menggambarkan dan

memikirkannya dengan matanya. Indra penglihatan pada sutradara ini aku kira adalah segala sesuatu baginya. Kami melewati dua orang petani yang sedang menggiling gandum untuk memisahkan antara biji gandum dengan jerami. Jerami- jerami itu beterbangan dari dalam alat penggiling. Pemandangan tersebut tak lepas dari mata seniman sinema itu, lalu ia berteriak takjub, Hujan emas! Aku melihat sepertinya- memang benar kalau jerami- jerami yang keluar dari alat penggiling itu berhamburan di udara bagaikan uang Dinar yang berjatuhan. Sahabatku itu mengabadikannya dengan kameranya, dan sambil tersenyum dia berkata kepadaku, Jika kau ingin mengungkapkan pemandangan ini dengan penamu, maka kau cukup mengolah kata-kata. Tapi aku membutuhkan ungkapan secara visual! Nah, inilah perbedaan antara aku dan kau! Ucapannya membuatku takjub. Aku terdiam dan berpikir sendiri. Kalau saja kami para penulis menggunakan penglihatan kami atau bahkan seluruh indera yang kami miliki seperti ini, maka pemandangan apa atau kebenaran apa yang mungkin dapat kami angkat untuk manusia? Tetapi penulisan menurut kebanyakan penulis hanyalah ungkapan bahasa yang terkumpul di gudang ingatan, dan kemudian dikeluarkan pada waktu tertentu. Sesuatu hal yang menyebabkannya hanya mewakilkan maksud tujuan belaka. Sebaiknya seorang penulis itu benar-benar ahli, agar menghasilkan tulisan yang lebih dari itu. Dari sisi ini persahabatanku bersama sutradara itu bermanfaat, dan untuk pertama kalinya aku menyukai persahabatan ini.

Akhirnya sampailah kami di rumah yang disiapkan untuk kami. Rumah itu berdiri di tengah-tengah rumah penduduk bagaikan seorang kepala desa yang sedang memberikan pengarahan kepada para bawahannya, tanpa mengenal perbedaan karakteristik di antara mereka satu per satu. Rumah ini rumah yang besar, terdiri dari dua lantai, terbuat dari batu bata merah, dan bercat kehijau-hijauan. Jendelanya besar tertutupi teralis, temboknya kasar, plafonnya tinggi, dinding ruangannya diukir dengan cat yang menggambarkan kebesaran dan keluasan. Tetapi meskipun demikian, tetap saja sangat jauh dari sentuhan seni. Tak ada taman kecil di sekelilingnya, tak ada gerbang yang menerima para tamu di depan pintu besarnya, tak ada kamar mandi yang tersedia peralatan penting, melainkan orang yang masuk seolah-olah hanya melalui sebuah lorong gelap lagi sempit, yang mana di sebelah kanan dan kirinya adalah kamarkamar besar yang tinggi plafonnya, yang mengeluarkan uang banyak demi segala ukirannya. Rumah itu menggambarkan bahwa pemiliknya kaya kantong, tapi miskin ruhani. Hatiku menjadi terenyuh karenanya. Mereka lalu mengajakku ke kamar yang disediakan untukku. Kamar itu adalah kamar yang terindah dari yang lainnya. Mereka meletakkan di dalamnya perabotanperabotan ringan yang dipergunakan dalam perjalanan. Tetapi aku melihat jendelanya sama seperti yang lainnya, menjorok ke arah gundukan-gundukan kompos yang menghantarkan hawa busuk ke hidungku. Aku menyendiri di dalam kamarku sambil mengeluarkan beberapa keperluan dari dalam tas kecilku. Saat itu matahari mulai tenggelam dan kegelapan mulai menyelimuti rumah itu dengan suasana baru. Para pelayan menyalakan lampu dan menyiapkan meja untuk makan malam. Tetapi sutradara itu masih saja bekerja, karena sayup-sayup aku mendengar suara mesin ketik datang dari salah satu kamar yang jauh. Mereka tidak mau menggangguku, hingga tiba waktu makan malam mereka memanggilku untuk datang ke meja yang terdapa t di loteng rumah. Udara di dalam rumah sangat panas dan nyamuk-nyamuk semakin banyak berdatangan. Kami duduk di depan meja yang di atasnya diletakkan bunga yang tumbuh di kebun yang dikumpulkan oleh istri kamerawan, dengan bantuan perempuanperempuan desa. Mata kami menerawang ke angkasa yang bersih dan bulan purnama, sambil menikmati udara sejuk yang mengalir lembut. Duduk di kursi terdepan, istri kamerawan yang telah merawat rumah itu, dan duduk di sampingnya nona pembantu yang telah menanggalkan kaca matanya, hingga tampak gemerlap warna hijau bola matanya yang indah, bagaikan mata seekor kucing. Ia juga telah menanggalkan pakaian perjalanan dan menggantinya dengan pakaian wanita yang anggun. Kami memakan makanan ringan yang sangat lezat. Kami menikmati waktu yang indah itu dalam

perbincangan tentang Filsuf. Berkata istri kamerawan itu, Saya harap ia juga telah menyantap makan malamnya! Aku berkata, Oh, tentu saja. Kepala desa itu pasti bisa mendapatkan induk keledai yang dapat memberinya hidangan lahir dan batin, yaitu sedikit susu dan kasih sayang! Sutradara itu berkata, Aku ingat sesuatu! Kita bisa memanfaatkan Filsuf itu untuk iklan. Seraya tersenyum aku berkata, Ya benar, inilah yang kurang dari Filsuf, yaitu orang dapat memanfaatkannya sebagaimana yang dilakukan kebanyakan filsuf! Tetapi aku tak tahu dari segi mana kita dapat memanfaatkannya. Yang aku ketahui dia itu 'Filsuf' yang diam dan terkekang selamanya oleh semua perkataan di dalam dadanya. Nona pembantu itu berkata sambil tertawa, Kita cukup gambarnya! Sutradara itu berkata, Iya, gambarnya yang anggun dan berwibawa. Aku lupa mengatakan padamu bahwa Nona ....... spesialisasinya di bidang ini. Dialah yang menyiapkan media massa dengan berbagai bahasa, dan bertanggung jawab menyebarkannya ke seluruh majalah sinema di dunia. Memang benar, dahulu ketika seorang teman berselisih denganku di sebuah hotel tentang beberapa majalah bergambar yang khusus mengenai perfilman yang dikeluarkan di Eropa dan Amerika, di dalamnya disebutkan kabar proyek-proyek perusahaan, dan di antaranya kabar tentang film yang dia siapkan bersama nama-nama penanggung-jawabnya. Lalu ia melanjutkan perkataannya: Iya, saya mohon Nona menyetujui perjanjian saham tersebut. Sekarang marilah kita bersama-sama membantunya dan berpikir bersamanya: apa yang akan kita katakan? Ya, mungkin kita bisa mengatakan bahwa anak keledai ini adalah pencetus ilham seorang penulis dialog, dan mereka berdua tak mungkin dapat dipisahkan. Lalu kami akan mengambil gambar kalian berdua. Aku berkata, Benar, iklan untuk seorang penulis dialog yang sangat bagus! Yaitu dikabarkan bahwa ilhamnya takkan turun kecuali dari seekor keledai! Lalu mereka tertawa semua. Istri kamerawan itu menoleh padaku seraya berkata, Bukan begitu tuanku, tapi akan tersirat dari sana bahwa kau adalah salah seorang yang menyayangi binatang. Kalau demikian maksudnya, itu benar. Ya, aku memang sangat menyukainya, dan saya mohon maaf kalau karena kehidupanku yang sering pindah ini membuatku mengambil

tidak dapat memperhatikannya. Hari ini saja aku ingin ada seseorang yang bisa memperhatikanku. Oleh karena itu, cukuplah aku menyaksikannya saja. Aku akan selalu senang ketika berlalu di jalan dan melihat seekor monyet kecil di antara sekelompok monyet. Aku takkan lupa kalau suatu pagi aku pernah melihat seekor monyet duduk bersama pemiliknya di depan sebuah restoran, dan telah diletakkan di antara mereka semangkuk kacang dengan minyak. Lelaki itu makan sesuap, lalu ia menyuapi monyet itu bagaikan seorang ayah dengan a naknya. Kedua wanita itu berkata bersamaan, Ini baru aneh. Lalu aku melanjutkan, Benar. Mulailah aku memperhatikan monyet- monyet di jalanan kota Kairo hingga para pemiliknya mengenalku. Salah seorang dari mereka ketika melihatku berlalu, langsung saja datang sambil berteriak kepada monyetnya: Beri salam kepada tuan Beik! Monyet itu lalu berdiri di antara kakinya bagaikan manusia, dan mengangkat tangannya ke atas kepalanya mengisyaratkan salam. Lalu aku memberinya uang dan mengatakan pada pemiliknya untuk membelikannya kacang. Salah satu pemandangan terindah di mataku adalah ketika seekor monyet kecil menunggangi seekor kambing berpakaian merah dan anjing berantai, sambil berlompatan dari satu pundak ke pundak lainnya bagaikan seorang tuan besar yang tak mungkin berjalan di atas rintangan. Kamerawan itu tertawa dan berkata, Pemandangan yang pantas untuk diambil! Aku berkata padanya, Yang lebih penting lagi adalah pemandangan sebuah keluarga aneh yang pernah aku lihat di sebuah jalan. Mereka menanggalkan perlengkapannya di dekat sebuah tong sampah, dan nampak sekali kalau mereka menahan lapar, letih, serta kesusahan. Orang-orang telah mengasingkan mereka, masyarakat membicarakan mereka, dan tak seorang pun yang mengenal hak kehidupan bagi mereka. Aku bergerak ke tengah-tengah jalan, dan tak tersisa di sana seorang pun yang peduli. Setiap orang sibuk dengan dirinya sendiri. Seseorang dari keluarga yang duduk meringkuk itu mencari kulit-kulit semangka, potongan-potongan roti, dan sisa-sisa makanan di tong sampah. Berpencaranlah anggota keluarga itu. Setiap anggota di sudut mengeluarkan tangannya, mulutnya, atau taringnya, sesuai dengan bentuk binatang, agar menutupi perutnya yang kosong. Berebutan bersama mereka kucing dan anjing tersesat, yang meminta hak mereka dari hidangan itu. Kemudian dia memberi makan semuanya, dan nampak di wajah mereka tanda keridhaan. Hal itu membuatku iba, lalu aku mendekatinya dan melemparkan sebuah koin perak kecil. Mata si miskin itu tak

menyangkanya. Maka segera ia melompat dan berteriak pada keluarganya dengan sebuah teriakan kegembiraan yang teramat besar, bahwa telah datang jalan keluar yang dapat mendorong mereka pada harapan serta pekerjaan. Bermainlah anak-anak! Malam, malam, takkan kuhiraukan! Hai si kecil Maimun, berjogetlah untuk tuan kita Beik. Semoga Allah takkan menimpakan padanya keburukan sehari pun! Kumpulan itu bergerak riang, kambing mengembek, anjing menggonggong, dan monyet berlompatan. Aku melihat kegembiraan, dengan sinar kehidupan yang terpancar dari mata mereka semua, seolah-olah dengan atraksi itu mereka ingin menyuguhkan segala keindahan yang ada dalam lubuk hati mereka. Namun pekerjaan pada pagi itu menungguku, dan waktu itu bukanlah waktu untuk menyaksikan atraksi monyet dan kambing. Maka aku membiarkan keluarga itu untuk tidak melakukan akrobat, tapi mereka menolak. Lelaki itu tidak membiarkan aku berlalu sebelum temantemannya melakukan kewajibannya. Aku melihat kesungguhan dalam diri mereka, dan aku memahami bahwa mereka tidak sudi menerima sedekah. Mereka itu bukanlah tukang minta- minta, tapi mereka mengambil upah dari pekerjaan yang mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Aku tak ingin melukai perasaan lelaki itu, maka aku berkata padanya: Baiklah, cepat mainkan! Sutradara dan kamerawan itu tersenyum. Lalu Nona pembantu berkata, Benar, sungguh di diri beberapa binatang terdapat kecerdasan yang menakjubkan! Dan kepatuhan. tambah sang istri kamerawan. Segera aku berkata, Adapun tentang kepatuhan, aku takkan sekali-kali lupa dengan kepatuhan anjing Fox. Semuanya dengan heran bertanya, Fox?! Iya, anjing betina yang ada di tanah kami. Semua orang tak menghiraukannya, mereka meninggalkannya tidur dimana ia mau dan makan kotoran apa saja yang dijumpainya. Para petani takkan memikirkan persoalan b inatang yang tak berharga di pasar ternak itu. Dan puncak kelalaian mereka terhadap anjing itu adalah dengan menamainya dengan nama apa saja. Semua anjing menurut mereka bernama Fox, jadi dinamailah anjing ini dengan nama Fox. Namun Fox tetap saja seperti biasanya, dalam keadaan terhina. Meskipun demikian dia itu seekor penjaga tanah yang tak pernah tidur. Sampai akhirnya datanglah seorang lelaki dari desa sebelah hendak mengambilnya, agar dapat melahirkan anak dari anjing jantannya. Pemilik tanah itu mengatakan bahwa dia boleh mengambilnya karena mereka tidak membutuhkannya. Lelaki itu datang dengan membawa tali dan beberapa kerat roti. Yang satu adalah alat untuk membujuk jika ia menurut, dan yang satu lagi adalah alat untuk memaksa jika ia membangkang.

Tetapi Fox hanya menurut dan patuh kepada lelaki itu. Mulanya para petani heran melihatnya, tetapi siang harinya anjing itu telah kembali lagi ke tempat semula. Lelaki itu kembali dengan geram. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa lalai hingga anjing itu bisa kembali. Dia lalu mengambilnya, dan anjing itu tetap saja patuh kepadanya. Mata penduduk memperhatikan anjing itu. Dan ia berbalik memandang wajah orang-orang dengan tenang, seakan-akan dengan sombongnya ia berkata: 'Kalian jangan takut, sebentar lagi aku akan kembali!' Dan memang benar! Tak lebih dari satu jam kemudian anjing itu telah kembali ke tempatnya semula. Akhirnya lelaki itu putus asa akan rencananya mengawinkan anjing tersebut, dan semua orang yakin kalau kepatuhan anjing itu kepada pemiliknya adalah lebih baik baginya daripada perkawinan. Istri kamerawan itu menoleh padaku dan berkata, Tidakkah kau sependapat denganku kalau dalam diri binatang ini terdapat sesuatu?! Yaitu kemanusiaan dengan makna tinggi yang sebenarnya? Aku sangat setuju dengannya. Ini benar, bahkan dalam diri mereka terkadang ada sifat kemanusiaan yang melebihi manusia sendiri! Sungguh pikiran kejahatan itu tak ada dalam diri binatang. Sebagian besar binantang mencintai kedamaian, kekeluargaan, dan kenyamanan. Sebagian kecilnya yang disebut dengan binatang buas, tidak tahu apa itu makna permusuhan. Manusia sajalah di antara makhluk bumi yang memandang bahwa penindasan terhadap sesama manusia adalah kejayaan dan kebanggaan! Berkata istri sang kamerawan, Aku sependapat denganmu. Sungguh keganasan manusia telah mencapai batasan yang harus kita kembalikan perumpamaannya kepada binatang, agar kita dapat meluruskan pandangan kita padanya, dan mengambil teladan mulia yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia jika ia memang benar-benar menginginkan kedamaian di muka bumi. Kami terus berbincang-bincang hingga jam sembilan malam. Istri kamerawan itu bangkit dan memohon pamit untuk turun, karena para perempuan desa sedang menunggunya. Semenjak ia ada di desa itu, ia selalu meneteskan obat pada mata mereka serta memperhatikan keadaan mereka. Kami rasa sebaiknya kami juga turun ke kamar masing- masing agar bisa bangun pagi dan melihat matahari terbit esok hari. Sutradara itu mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan gambar yang indah saat matahari itu terbit di antara pepohonan kurma.

=7=

Aku masuk ke kamarku yang menyerupai neraka Jahannam. Hawa panas mencekat nafasku dan memenuhi ruangan. Suara nyamuk terdengar berdesing di telinga. Datang padaku salah seorang pelayan dari petani desa yang bergabung membantu para seniman itu. Dia meletakkan obat di dalam belanga, yang kemudian mengepul asap darinya sepanjang malam, menghalau nyamuk dan serangga lainnya. Dia mengatakan bahwa istri kamerawanlah yang memesan itu untukku. Tak luput darinya segala cara untuk menciptakan kenyamanan di desa ini, maka aku patut berterima kasih untuknya. Aku memperhatikan kebersihan petani yang satu ini, lalu aku pun menanyakan tentang dirinya. Dia berkata bahwa nyonya asing itulah yang mengajarkannya untuk selalu menjaga kebersihan, dan ia setiap hari mengawasi sendiri cucian bajunya setiap hari. Dia berjanji untuk membantu mengobati kesehatannya selagi ia mampu, dan mengawasi makanannya, tidurnya, pekerjaannya, serta menepatkan segala sesuatu dengan jam. Jadi wanita itulah yang melaksanakan pekerjaan ini untuk dirinya dan seluruh orang yang di sekelilingnya, atau yang datang ke rumah tersebut untuk bertanya darinya. Sesungguhnya seluruh hari yang telah ia lewatkan semenjak ia mempersiapkan rumah ini, sudahlah cukup untuk menciptakan suasana kekeluargaan. Apalagi ditambah dengan kepribadiannya yang mulia dan hatinya yang penyayang. Seluruh orang menyukainya dan patuh terhadap perintah serta nasehatnya. Kemudian lelaki itu bercerita kepadaku betapa banyak kotoran, hewan melata, dan debu yang memenuhi rumah ini sebelum ditempati. Jadi rumah ini sejak lama memang tidak ditempati. Petani itu memandangi sekeliling kamarku dan berkata dengan logat pedesaan, Nyonya asing itu dengan sendirinya berdiri setelah kami keluar dari ruangan ini. Segala sesuatu ditutupi tanah! Karena ruangan ini, maaf saja, sudah lama tertutup semenjak hari terbunuhnya lelaki itu di dalamnya. Aku berkata dengan gemetar, Terbunuh di dalamnya? Ia melanjutkan perkataannya, Ya, mereka menghajarnya dengan kapak. Dia siapa?! Laki- laki itu. Laki- laki siapa? Tuan Malthi, pemilik rumah ini. Kemudian ia menceritakan kisah itu padaku seraya berkata bahwa pemilik rumah ini dahulu adalah seorang rentenir yang datang ke desa ini selama bertahuntahun, dan meminjamkan uang kepada para keluarga demi perhiasan perempuan

mereka, sampai-sampai tak ada di desa itu yang dapat digadaikan kecuali alat pembuat keramik. Maka ia tak segan-segan mengambil segala milik orang lain dan menggabungkan dengan miliknya, sehingga ia menjadi kaya raya. Tetapi orang-orang membencinya hingga ingin membunuhnya. Ketika ia sedang duduk di kamarnya itu sambil memilah- milah segala perhiasan yang ia simpan sebagaimana yang ia lakukan setiap malam sebelum tidur, datanglah beberapa orang jahat memotong- motong tubuhnya. Sejak malam itulah tak ada satu orang pun yang tidur di ruangan ini. Orang bilang kalau ruangan ini ada penghuninya, dan kalau tiba tengah malam akan terdengar suara gemericik perhiasan sebagaimana yang terdengar ketika sang rentenir itu masih hidup. Setelah aku mendengar perkataan petani itu, aku berkata dengan suara yang masih bergetar, Jadi aku adalah orang pertama yang tidur di dalamnya setelah kejadian itu?! Iya, benar. Ketakutan segera saja merayap dalam diriku. Dan maaf saja, kalau sebenarnya aku ini takut sekali dengan yang namanya hantu. Langsung saja aku menjerit, Cepat panggil sutradara itu, semoga Allah mencongkel matanya! Petani itu pergi untuk memanggilnya. Tinggallah aku sendiri di ruangan itu sambil memandangi sudut-sudut yang tak tampak jelas oleh sinar lampu. Ketika terbayang olehku perhiasan-perhiasan itu, aku pun merinding. Aku tahu bahwa aku takkan dapat memejamkan mataku sepanjang malam di ruangan ini. Ya, aku takut dengan hantu dan aku malu untuk mengakui hal ini. Lelaki sepertiku yang banyak memperhatikan dasar-dasar sesuatu dan inti- inti benda, makanannya adalah filsafat pragmatis (al-wadhiyyah) yang kenyang dengan hasil- hasil ilmiah. Ya, oleh sebab itulah mengapa mataku takut dengan hantu. Jadi, ketakutan itu datang dari terjadinya benturan mendadak pada Mantek hasil- hasil penerapan di kehidupan kita, khususnya kehidupan akal kita. Petani ini - yang telah membayangkan wujud secara khurafattakkan begitu kaget dengan munculnya hantu. Adapun saya, seorang cendekiawan yang memahami wujud itu atas dasar Mantek akal, tak dapat membayangkan dengan akal bagaimana wujudnya hantu itu. Sebelum ia muncul, akalku akan membayangkannya bagai wujud suatu makhluk yang akan menyambar atau menghilangkan akalk u dengan cepat. Aku selalu merasa heran dengan kisah Fost, bahwa seorang ilmuwan filsuf itu tak mendapatkan hasil dengan kehadiran Mafisto, kecuali jika ilmuwan ini mampu mencapai derajat keilmuan yang membuatnya hanya diam menunggu keajaiban yang

datang kepada ilmu -semoga saja itu adalah maksud daripada Joteh. Iya, menurutku tak ragu lagi kalau seorang lelaki seperti Kant atau Auguste Comte, jika melihat hantu pasti akan lebih takut seribu kali lipat daripada lelaki seperti pendeta Salt Antoan atau pendeta San Toma, karena ketakutanku pada malam itu akan suara perhiasan tuan Malthi, belum sampai pada keyakinanku akan kemungkinan munculnya suara itu. Jadi, yakin atau tidak yakin takkan memajukanku atau pun memundurkanku, tapi sebenarnya aku takut pada diriku. Aku lebih takut pada khayalanku yang dipenuhi dengan berbagai macam gambaran, daripada terhadap hantu yang sebenarnya. Sesungguhnya

menurutku, orang yang paling takut adalah orang yang lebih deras khayalannya. Aku tak takut pada kenyataan, aku tak takut pada kematian, tak takut marabahaya, tak takut kekerasan, dan tak takut untuk mengucapkan kata berani dengan sungguh-sungguh. Aku kira itulah kebenaran, meskipun di belakangnya ada tiang gantung. Tetapi aku takut tinggal di tempat yang dikatakan padaku tempat itu berpenghuni. Ya, kata inilah yang satu-satunya tinggal di benakku sebagai hantu, hingga terbitnya matahari. Tak lama kemudian aku mendengar ketukan halus di pintuku, dan hampir tak terlihat muncullah sutradara itu. Aku malu menceritakan padanya segala sesuatu yang tadi terlintas di benakku, karena ia mungkin akan salah memahami sikapku, lalu ia akan mengejekku atau berfikiran macam- macam padaku. Aku mencoba mencari sebab lain agar aku dapat pindah dari kamar ini mulai malam ini. Maka dengan suara parau sambil meletakkan tangan di leher, aku berkata, Ukh, panas. Dia tidak membiarkanku terus berbicara, dan langsung setuju sambil mengipasngipaskan sapu tangan di wajahnya, Iya benar, sekarang panas sekali. Bagaimana kalau kita naik ke atas loteng untuk menghirup sedikit udara segar dan membicarakan pekerjaan besok hingga malam melarut serta udara menyejuk di dalam kamar? Langsung saja aku mengambil kesempatan itu. Demi Allah, tak ada yang lebih baik dari itu! Kami pun keluar dari kamar itu. Aku mengharap agar hal itu berlangsung lama hingga aku takkan kembali lagi ke dalam kamarku itu selamanya. Kami naik ke atas loteng dan tak menemukan seorang pun. Seluruh teman kami telah terlelap di kamarnya masing- masing, kecuali sutradara itu. Untungnya pelayan itu mendapatkannya belum tertidur dan masih berjalan-jalan di atas loteng sejak teman-temannya meninggalkannya sehabis makan malam tadi. Keindahan malam dan kebersihan udara telah menyegarkan otaknya untuk berpikir tentang seninya. Meja makan itu masih saja ada setelah segala piring dibereskan. Tak tersisa satu pun di atasnya selain botol Alborto, beberapa cangkir, dan termos yang di dalamnya ada kopi hangat. Lalu kami pun duduk.

Sutradara itu berkata padaku: Satu gelas Alborto, atau satu cangkir kopi? Karena aku sudah berniat untuk begadang, maka aku segera berkata, Kopi yang banyak!

=8=

Sahabatku meneguk dua gelas Alborto yang menghilangkan semangat otaknya, dan aku meneguk dua cangkir kopi yang membuka kedua mataku hingga mempersiapkan diriku untuk melalui malam yang aku tak ingin terulang lagi. Datanglah keheningan di antara kami. Lalu lelaki itu memotongnya dengan berkata, Sekarang waktunya untuk pekerjaan. Kita gunakan kesempatan ini untuk membahas masalah skenario. Aku merasa kalau rasa lemas itu mulai menggerogoti sarafku dan hampir membuatku mengantuk. Aku yakin bahwa tidur itu akan menyerangku jika lelaki ini mulai bercerita tentang kisahnya. Maka langsung aku bangkit melompat, Bagaimana kalau kita jalan-jalan di jembatan desa ini? Dia langsung berkata, Ide yang cemerlang. Kemudian dia bangkit dan turun bersamaku ke jalan. Kami menemui di depan gerbang, dua orang yang sedang meronda, yang ditugaskan oleh kepala desa untuk menjaga rumah kami. Mereka berdua tak membiarkan kami berjala n sendirian di malam hari tanpa penunjuk jalan. Maka salah seorang dari mereka tetap tinggal menjaga di pintu, dan yang lainnya mengikuti kami dengan senapan laras panjang dari pemerintah, yang digunakannya untuk menakut-nakuti. Kami berjalan menuju jembatan dan menjumpai rombongan petani yang pulang dari kampung sebelah ke rumah mereka. Mereka memulai menyapa kami, dan kami pun membalas sapaan mereka. Hampir saja tak nampak di belakang kami ada seorang penjaga, sehingga mereka tahu bahwa kami ini orang penting dan segera menghormati. Berkata sahabatku padaku, Bagaimana kalau kita meminjam dari mereka dua ekor keledai yang dapat kita tunggangi dalam perjalanan ini? Kaum itu akhirnya tahu maksud kami, dan mereka berseru dari hati mereka, Oh tentu, silakan, silakan! Mereka mengangkatnya ke atas keledai itu. Aku melihat salah seorang dari mereka ada yang terus menerus menggaruk. Aku memperingati sahabatku seraya berkata, Jangan lupa kalau kutu busuk telah hinggap di tubuh orang-orang miskin itu!

sahabatku berkata ketika ia memperbaiki posisinya di atas keledai, Tak apaapa, nanti aku akan mengganti pakaianku sebelum tidur. Aku pun ikut naik ke atas keledai. Kami menjanjikan para petani itu untuk mengembalikan keledai itu kepada mereka bersama penjaga kami, dan mereka merelakannya. Kami lalu mulai berjalan, dan sutradara itu gembira dengan tunggangan itu. Ia menoleh kepadaku, dan sambil tersenyum ia berkata, Betapa mulianya mereka! Mungkin saja kutu busuk itu tinggal di tubuh mereka karena kemuliaan mereka kepada tamu! Walau bagaimanapun, aku tetap menghormati jiwa yang baik seperti ini dengan penuh penghormatan. Kau pasti akan mendapatkan perbedaan cara bermuamalah (berinteraksi_pen.) mereka jika kau datang ke desa Eropa lalu kau bertanya kepada penduduknya suatu hal yang remeh. Mereka akan mengatakan: Tidak, sungguh bangsamu tak ragu lagi sangat mulia. Adapun kekotoran tampang adalah suatu hal yang mengherankan, dan aku tak tahu apa penyebabnya? Apakah itu disebabkan karena sedikitnya air, tapi kalian memiliki dua laut besar dan satu sungai panjang, serta udara panas yang menggoda badan untuk mandi! Tiba-tiba dia terdiam, dan tiba-tiba keluarlah teriakan yang meninggi dari mulutnya, Keledai ini akan membawa kita masuk ke dalam air! Dia benar, keledai itu berjalan tak seperti biasanya. Dia tidak bisa diam ketika kami tunggangi. Dia meninggalkan jalan luas dan memilih untuk berjalan di pinggir jembatan parit itu. Tak tersisa antaranya dan jurang kecuali beberapa jengkal saja, sedangkan ia terkadang mempercepat langkahnya atau menabrakkan kakinya. Seolaholah ia tidak merasa aman atau nyaman. Ia berjalan menuju bahaya sambil bermainmain dengannya menggunakan ujung-ujung kakinya. Sebagaimana yang dilakukan para sufi yang meninggalkan jalan-jalan pemikiran ibadah, dan bermain dengan pemikiran mereka sendiri di pinggiran tanpa batas. Sejenak kami berjalan dengan keheningan sambil memperhatikan kebun, tumbuhan, dan air yang mengalir di parit. Cahaya bulan purnama itu telah memberikannya warna dan bentuk baru. Segala sesuatu di sekeliling kami terdiam. Udara itu seharusnya berhembus lebih lembut. Kami juga melihat semua makhluk di sekeliling kami seolah-olah terdiam dan tidak terdiam. Seolah-olah di sana ada nafas yang tersembunyi dan mengilhami segala sesuatu untuk menari- nari, yang tak mampu dirasakan dengan indera lahir kita. Terbayang oleh kita seakan telinga mendengar tawa bagai bisikan, dan gerakan bagai gerak tubuh yang mabuk, seakan-akan semua makhluk sedang bermandikan cahaya bulan.

Sutradara itu bergumam, Sekarang aku melihat segala sesuatu sebagaimana orang memandang dari balik tirai yang dibuat para sutradara opera ketika mereka mewujudkan mimpi. Aku tak mendapatkan jawaban. Suasana kami kembali hening. Segala keindahan di sekeliling kami telah membuat lidah kami kelu untuk berbicara. Sahabatku berbisik, Alangkah indahnya desa ini! Dia memperbaiki duduknya dan kembali bercerita tentang istri kamerawan yang telah tinggal di desa ini selama seminggu. Dia telah menuai kegembiraan dan ketakjuban terhadap desa ini. Dia berharap kalau kehidupannya berlangsung di tempat itu. Berharap seluruh kehidupannya disumbangkan untuk para petani itu memperhatikan perbaikan kehidupan dan memperluas pengetahuan mereka, agar mereka merasakan keindahan dari apa yang telah diberikan oleh alam. Dia berkata bahwa matahari dan bulan di negara ini selalu bekerja seperti seorang penjahit ulung. Mereka berdua bagai memakaikan pakaian indah kepada seluruh makhluk! Kecuali petani, ia telah keluar dengan perhitungan. Karena kebutuha n pakaiannya bukanlah merupakan spesialisasi matahari dan bulan. Ya, segala sesuatunya bersih dan indah di desa ini, kecuali manusia! Nah, inilah keanehan yang selalu menyelubunginya! Sambil menghela nafas aku berkata kepada sahabatku, Aku juga merasakan keanehan selama bertahun-tahun! Dia berkata, Apa sebabnya? Aku pun berpikir dan seolah-olah hanya berbicara kepada diri sendiri, Sebab? Sebabnya jelas! Baru saja kau sendiri yang mengatakannya tanpa kau sadari. Sebabnya adalah tak ada di Mesir, seorang perempuan pun yang seperti istri kamerawan itu. Sebabnya dapat kita simpulkan dengan jelas ketika kita kembali pada sejarah pedesaan Eropa. Ambillah contoh desa kalian di Perancis. Apa yang terjadi di dalamnya? Pada saat zaman Sistem Swastanisasi berada di tangan orang-orang ternama, merekalah yang memperbaiki pedesaan. Dimulai dengan pemimpin kawasan yang membangun istananya yang indah lagi bersih, dan dia tinggal di dalamnya bersama istri serta anakanaknya. Dia menjadikan para penduduk kawasan itu sebagai pembantunya yang bekerja untuk kepentingannya, dan sebaliknya ia bekerja demi pelindungan mereka. Sedangkan istrinya, ia melakukan pembinaan terhadap penduduk, agar ia dapat mengangkat derajat para penduduk desa itu. Karena dia yang selalu berdiam di de sa, maka ia mengadakan hubungan dengan istri para pembesar desa dan memasukkan pengetahuan tentang kebersihan serta kebaikan ke seluruh rumah. Dia telah menjadi satu-satunya konsultan kesehatan dan rumah di desa itu. Jika para perempuan ditimpa

penyakit, maka mereka menanyakan obat kepadanya. Dan jika terjadi sesuatu, maka mereka meminta nasihat darinya. Dia adalah pengatur keperluan rumah, kesehatan, kebersihan, dan budi pekerti bagi desa serta kawasan itu. Sebagaimana suaminya adalah sebagai pengatur masalah keamanan dan hukum. Istri itulah yang menjadi hakim penentu terhadap segala sesuatu yang bergulir dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana suaminya adalah hakim mutlak bagi permasalahan perang atau perdagangan. Perempuan itulah yang mengatur pesta-pesta, mempersiapkan

masyarakat, menyebarkan contoh-contoh kebaikan seperti pakaian, akhlak, dan festival. Para istri orang kaya di desa atau keluarganya selalu mengikuti gaya hidupnya, sampai akhirnya datanglah zaman Demokrasi. Keadaan itu tak berbeda juga. Di pedesaan, kedudukan istri yang mulia itu digantikan oleh istri raja besar atau istri orang desa yang kaya. Telah terwariskan segala sifat seorang nyonya yang mulia, dan orang-orang di bawahnya -yaitu para petani wanita- memperoleh kedudukan sebagai penyuluh. Adapun di daerah perkotaan, istri para pedagang dan saudagar telah mendapat tempat sebagai istri yang mulia dan mewariskan kewajiban yang sama terhadap masyarakat. Dialah yang mengunjungi desa-desa miskin, mengayomi orang sakit serta memberi mereka oba t-obatan dan uang, membawakan untuk anak-anak manisan dan mainan. Tak pernah ada zaman di Eropa, yang mana wanitanya kosong dari kewajiban sebagaimana seorang pemimpin. Karena ia tahu, bahwa kata pemimpin bukanlah sebutan asal, melainkan menandakan pekerjaan dalam masyarakat yang membutuhkan waktu dan tenaga. Kata itu memiliki makna kekuasaan bagi siapa saja yang membutuhkan pertolongannya, baik itu di desa maupun di kota. Penamaan politik sosial masyarakat di Eropa telah berganti, tetapi kewajibannya belum berubah. Warna tangga sosial itu telah berwarna lain, tetapi tangga ini tetap berdiri karena ia termasuk rahasia kehidupan yang kekal. Memang seharusnya ada salah satu tingkatan yang lebih maju kekayaannya atau keilmuannya dari tingkatan yang lain, hanya saja yang terlihat di Eropa adalah bahwa setiap tingkatan yang berada di atas selalu menjulurkan tangannya kepada tingkatan di bawahnya. Ada ikatan erat antara tingkatan-tingkatan itu. Ada contoh dan teladan, yang diberikan oleh tingkatan atas kepada tingkatan bawah. Inilah yang terjadi di Eropa. Adapun di Mesir, tak terjadi seperti demikian. Sistem Swastanisasi di Mesir, berada di tangan Aristokrat asing seperti Mongol atau Turki Utsmani. Mereka tidak menganggap petani itu adalah pembantu mereka seperti halnya di Eropa, tetapi mereka menganggapnya sebagai seorang hamba sahaya sebagaimana anggapan orang Timur, bahkan lebih rendah daripada hamba mereka.

Menurut mereka, anjing dan kuda lebih mempunyai kemuliaan di mata mereka daripada para petani itu, yaitu petani yang berbicara bukan dengan bahasa mereka dan lahir di negeri yang bukan negeri mereka. Orang desa Perancis menganggap yang mulia itu adalah tuan, tetapi tuan itu menganggap orang desa sepertinya adalah orang Perancis, dia berperang bersamanya. Adapun Tuan Turki Utsmani menganggap petani Mesir dari tanah kotor. Mereka takkan pernah memberikannya peluang untuk masuk tentara atau mengikuti pesta dan pertemuan. Demikianlah pekerjaan laki- laki. Adapun pekerjaan wanita -istri para lelaki itu, yang kebanyakannya adalah dari selir-selir berkulit putih- tak ada pekerjaan lain kecuali memuaskan nafsu tuannya. Dengan kata lain, ia telah ditempatkan dalam posisi haram, tanpa kepribadian, tanpa kepentingan, dan tanpa pekerjaan kecuali segala sesuatu yang biasanya dilakukan oleh wanita yang dimiliki. Ditambah lagi, perasaannya akan pengucapan kata petani yang merendahkan kedudukannya. Dialah orang yang diperintahkan, hina, tak bisa diharapkan, dan tak dapat mengangkat kedudukan dirinya atau orang lain. Oleh karena itu, kehidupan sosial masyarakat di Mesir terbelah menjadi dua kubu, yang mana satu sama lainnya tak saling menolong, sehingga tangga sosial masyarakat itu tampak berbentuk aneh: satu golongan di atas dan satu golongan di bawah, dan tak ada di antara keduanya kecuali kekosongan. Tingkatan-tingkatan di antara keduanya telah hancur tergusur. Berakhirlah Sistem Swastanisasi di Mesir, kemudian datanglah zaman modern. Dan tentu saja keadaan ini belum juga bisa berubah. Jadi, seorang raja kaya atau petani kaya yang telah menduduki tempat Tuan Utsmani telah diwarisi tabiat dan wataknya. Raja petani ini menikahi selir-selir putih dan menjadikan mereka dalam keharaman. Terkadang ia juga mengambil anak-anak keturunan petani sepertinya. Kemudian bidah taklid Turki, yaitu menikahi selir putih itu, mulai sirna. Muncullah kebangsaan Mesir, yang bersamaan dengannya bermunculan juga dasardasar dan aliran-aliran baru, yaitu seorang wanita Mesir dapa