hermeneutika humanistik (studi pemikiran hermeneutik m

15
HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M. Amien Abdullah dan Khaled Abou el Fadl)* Mahatsi,**dkk. This article is trying to elaborate Amin Abdullah's and Khaled Abou el Fadl's thoughts on applied Islamology. Base on hermeneutic point of view, they argue that Islam could not be separated from the humanistic problems of time and space. Therefore, Islam should be reinterpreted along with social changes. In their opinions.the hermeneutic approach should be able to demon- strate Islam in its pure spirits: liberal, humanistic, and progressive which fi- nally could support the growth and the development of the welfare ofmandkind in the word. Keywords: hermeneutika- Amin Abdullah-Khaled Abou Fadl I. Pendahuluan Pada masa awal Islam, Nabi Muhammad saw tnerupakan suara otoritatif mewakilikeheiidakTuhan.Tidakadayangberanimeragukanapayangdisampaikan Nabi. Bahkan klaim "keagamaan" melabelinya dengan al-Amienbesertaempat sifel kerasulannya (Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah). Betbekal dari itu, maka pesan Tuhan, kepada mahkluq-Nya dipercaya begitu saja tanpa harus melakukan perdebalan kritis. Punbisa dimaklumi, karena konteks turunnya wahyu (pesan) saat itu dapat diketahui dan dirasakan oleh penerima pesan (sahabat), sehingga tanpa sulit, "makna" dan "tujuan" teks bisa dipahami. Sementara saat mi pergulatan manusia untuk memahami makna universalitas sebuah teks terkungkung pada ruang dan waktu. Bahkan tidak jarang, penerima pesan (manusiapadaumumnya),teipenjaraolehtradisi,budaya,sosial, danbetbagai macam kepentingan subyektif lainnya. Dengan demikian guna mendapati substansi 556 JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Upload: hoangdieu

Post on 12-Jan-2017

250 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

HERMENEUTIKA HUMANISTIK(Studi Pemikiran Hermeneutik M. Amien Abdullah dan

Khaled Abou el Fadl)*

Mahatsi,**dkk.

This article is trying to elaborate Amin Abdullah's and Khaled Abou elFadl's thoughts on applied Islamology. Base on hermeneutic point of view,they argue that Islam could not be separated from the humanistic problems oftime and space. Therefore, Islam should be reinterpreted along with socialchanges. In their opinions.the hermeneutic approach should be able to demon-strate Islam in its pure spirits: liberal, humanistic, and progressive which fi-nally could support the growth and the development of the welfare ofmandkindin the word.

Keywords: hermeneutika- Amin Abdullah-Khaled Abou Fadl

I. Pendahuluan

Pada masa awal Islam, Nabi Muhammad saw tnerupakan suara otoritatifmewakilikeheiidakTuhan.TidakadayangberanimeragukanapayangdisampaikanNabi. Bahkan klaim "keagamaan" melabelinya dengan al-Amienbesertaempat sifelkerasulannya (Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah). Betbekal dari itu, makapesan Tuhan, kepada mahkluq-Nya dipercay a begitu saja tanpa harus melakukanperdebalan kritis. Pun bisa dimaklumi, karena konteks turunnya wahyu (pesan) saatitu dapat diketahui dan dirasakan oleh penerima pesan (sahabat), sehingga tanpasulit, "makna" dan "tujuan" teks bisa dipahami.

Sementara saat mi pergulatan manusia untuk memahami makna universalitassebuah teks terkungkung pada ruang dan waktu. Bahkan tidak j arang, penerimapesan (manusiapadaumumnya),teipenjaraolehtradisi,budaya,sosial, danbetbagaimacam kepentingan subyektif lainnya. Dengan demikian guna mendapati substansi

556 JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 2: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Ma/rare;, dkk.. Hermeneutifej Humanistik

makna universal dari teks melalui interpretasi sangat nunit menuju standar obyektif

dari Sang Pemberi pesan (Tuhan).Pada gilirannya muncullah getakan fundamentalisme Islam di berbagai belahan

dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pola pemahaman agama yangmasih bersifat eksklusif. Tidak jarang kita menjumpai pemikiran-pemikiran Islamyang memvonis pemikiran "yang lain" adalah salah dan sesat, serta menganggappemikirannya paling benar.

Wahyu agama, baik berupa kitab suci maupun perkataan Nabi (hadis), yangturun telah sekian lamanya dalam proses sejarah yang sangat panjang, tidak mungkinbisa dipahami sesederhana itu. Dengan rentang proses historis yang panjang, apakahkehendak "pengarah" (author) bisa ditangkap oleh intervensi pemikiran rnanusiasebagai pembaca (reader) terhadap objek teks tersebut?. Inilah pertanyaan yangsering mengusik kita dalam memahami hukum dan ajaran Islam.

Terdapat banyak metode pembacaan terhadap teks yang dilakukan oleh parapemikir muslim. Mereka tidak hanya memfokuskan pada hasil dan metodepengambi Ian keputusan hukum Islam. Sebaliknya kebanyakan para pemikir Islammelakukan proses pengkajian berangkat dari teks keagamaan, yang merupakansumber primer dalam pengambilan keputusan hukum Islam. Lebih jauh mereka jugamengelaborasikannya dengan konteks persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini.Salah satiinya adalah M .Amin Abdullah dan KhaledAbouel-Fadl, yang mengajukanmodel pembacaan dengan "pisau analisis" hermeneutika,

Kedua pemikir Islam kontemporer ini, memiliki cara pandang yang unik dankhas dalam mengkritisi ajaran agamanya. Pemahaman atas ajaran Islam yangdilakukan sebagian kelompok tertentu telah rr.engebiri semangat pembelaankemanusiaan. Agama oleh kalangan tertentu dijadikan legitimasi untuk melakukankekerasan. Atas dasar itulah, M. Amin Abdullah dan Khaled Abou el-Fadl menguraibenangmerahnalarkekerasan dalam Islam melalui karya-karyanya. Dihampirsemuakarya kedua tokoh tersebut, hermeneutik rnenjadi cara baca yang diajukan gunamenjawab nalar kekerasan dalam Islam.

Penelitian ini merupakan library research, yang berbasiskan pada studi pustaka,Dengan mengkaj i pustaka-pustaka yang relevan dalam penelitian ini diharapkanmampu merumuskan konsep mengenai model pemikiran hermeneutik yang digagasM. Amien Abdullah dan Khaled Abou el-Fadl. Pemilihan pustaka itu tidak hanyadidasarkan pada tema-tema serupa, akan tetapi juga melacak kajian lain yang memiliki

JUKNAL PENEUTIAN AGAMA. VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBEK-DESEMBER 2008 557

Page 3: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Mohorsi, dkk., Hermeneutiko Humonistik

variable baik langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini. Dengan demikiansemakin memperkaya, baik cara baca maupun hasil substansi dari persoalan yangdikaji.

Gunamembantudalammensistematisasikan penelitian ini makapustakateisebutdibedakan dalam dua arus penting, yaitu sebagai sumber primer dan sekunder. Apayang tidak di dapat dalam sumber-sumber pokok akaii digali dalam pustaka sekunder.Untuk membedakan dua sumber tersebut berdasarkan pokok-pokok bahasanmasing-masing sumber danrelevansinya dengan penelitian ini.

Kompleksitas persoalan yang menjadi variable dalam penelitian ini memangsangat beragam, sehingga diperlukan pula pendekatan dari berbagai disiplin ilmu.Akan tetapi pendekatan filosofis dan historis diharapkan mampu menjawab strukturfundamental dari persoalan yang dikaji dalam penelitian ini. Hal ini, sekali lagidimaksudkan sebagai upaya untuk mencari pemahaman nalar keislaman yangmenyeleruh sampai pada tahap kerangka epistemologinya, dengan demikian mampumelahirkan pemahaman atas ajaran Islam yang mampu berperan sebagai shalihfial-makan wa al-zaman.

Guna menjelaskan penelitian ini, maka perlu diajukan kerangka teoritik yangdapat membantu mengungkapkannya dan diharapkan lebih aplikatif untuk menjawabpersoalan. Disiplin keilmuan Islam ternyatamemilikikompetensi untuk mensejajarkandirinya dengan berabagai macam keilmuan yang saat ini merajalela pada wacanaglobal. Akan tetapi proses kesejajaran ini tidak harus diletakkan pada posisi yangIsolated knowledge, akan tetapi diperlukan media dialogis antar beberapa keilmuantersebut Maka disini perlu kiranyadibangunparadigma keilmuan Islam yang mampumelakukan kolaborasi dengan berbagai macam keilmuan yang berasal dari Barat(umum) untuk menj awab persoalan zaman yang terus bertambah. Upaya perumusanparadigmakeilrnuanyatigsalingberintegrasi inibisadilakukanmenggunakanmetodeHermeneutik,

Dalam tradisi Hermeneutik dikenal dengan apa yang namanya lingkarHermeneutik, pada konteks ini kerangka lingkar Hermeneutik yang digagas olehHans George Gadamer patut diajukan (Richard, F. Palmer: 1969: 194-217).Gadamer mengusahakan sebuah teori filosofi mengenai pemahaman. Setelahmelontarkankritiknya atas pemahaman hermeneutikaSchleimacher dan Dillhey (JosefBleicher: 2003: 12-24) yang bersifat romantis akan kesenjangan waktu antarapenafsir dan pengarang sebagai sesuatu yang negative. Akan tetapi menurut Gadamer

55g JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 4: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Mahorsi, dkk . Hcrmeneutika Humanislik

justm yang hams dipikirkan adalah bahwa kesenjangan waktu tersebut sebagai sebuahperjumpaan cakrawala-cakrawala pemahaman. Kita memperkaya cakrawalapemabaman kita dengan meraperbandingkannyadengan cakrawala-cakrawalapengarang. Oleh karena itu, suatu penafciran tidak saja bersifat reproduktif belakamelainkan juga produktif. Maksudnya teks bukanlah mencntukaii makna bagipengarangnya saja, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini, makamenafsirkan adalah proses kreatif (Hardiman: 2003:44).

Dengan memperhatikan historisitas sebuah keilmuan dan juga semangatzamannya (zeitgeist) maka produk keilmuan yang akan muncul dari peleburancakrawala tersebut bukan hanya sekedar mengawinkan beberapa model keilmuan,jugabukanlah menjadi korban mode keilmuan yang dipolcs agar dikatakan integral.Akan tetapi, produk keilmuan tersebut hams benar-benar mampu menyentuh ranah-ranah yang selama ini tidak terjamah antar disiplin keilmuan tersebut. Disamping ituproyek peleburan cakrawala keilmuan ini juga hams mampu mengatasi dikotomikeilmuan yang selama ini selalu menimbulkan sekat antara keilmuan Islam yangbercorak normative (ukhrowian) dengan berbagai macam keilmuan umum yangbercorak histories (duniawian).

Disiplin keilmuan Islam hanLsmulaimenibukadirisecarainklusifdcngaii beberapadisiplin keilmuan umum, sebab proses rcinlegrasi ini juga hams menyentuh pada tigawilayah yang sudah tersebut di atas. Sebab hal itu merupakan prasyarat mutlakuntuk membentuk paradigma keilmuan yang integral. Pei xlekatan interdisciplinarydikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perludibangundandikembangkanterusmcnenistanpahenli (AminAbdulliili: 2003:261).

II. HasildanAnalisis

Kekosongan yang ditinggalkan oleh ideologi-ideologi besar menempatkan Is-lam beserta segenap variannya di pusat tanggung jawab. Islam dan Agama yang lainbertanggungjawab untuk menyediakan makna kepada manusia. Ideologi-ideologikeselamatan sekularistik tidak lebih dari substitusi dan sekarang mulai memudar.Mau tak mau, agama-agama -yang sering belum siap- berhadapan dengan situasiyang ditandai pembahan sosial dan kultural yang cepat, disertai pembahan paradigmatentang manusia Dapat dikatakan bahwa situasi ini menempatkan Islam di hadapansebuah tantangan yang historis.

JURNALPENEUTIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 559

Page 5: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Maharsi. dkk., Hermeneutiko Humanistik

Dengan larinya ideologi-ideologi keselamalan sekularistik besar abad yang lalu,Islam ditempatkan ke dalam tantangan yang dapat disebuthistoris: Apakah merekasiap dan bersedia untuk menjadi pendukung utama etika kemanusiaan universal,warisan ideologi-ideologi besar yang sebenamya warisan Islam sendiri? Ataukahmereka menjadi egosentrik dan sempit dan gagal menyambut panggilan historis itu?Dapat juga dirumuskan begini: Apakah Islam berani merealisasikan universalismepositif yang dititipkan Sang Pencipta ke dalam mereka

Peran Islam di masa mendatang, dalam dunia global modem, akan ditentukandari sikap yang diambilnya dalam situasi historis ini. Kalau agama-agama bereaksitertutup, jadi kalau terjadi sebuah reprimordialisasi, Islam dapat menjadi ancamanbagi kesatuan dan persatuan serta bagi masa depan bangsa. Sebaliknya, apabilaIslam berani memperjuangkan manusia, dan masyarakat manusiawi, sesuai denganbagaimana Sang Pencipta menghendaki hubungan antarmanusia, iajustru menjadipembela manusia-manusia, berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik danekonomis yang mendehumanisasikan masyarakat.

Kiranya, medan konflik ideologis dalam dasawarsa-dasawarsamendalang ticlaklagi akan ditentukan oleh pertentangan antara ideologi-ideologi besar (karena sudahman'), tidak juga antara agama dengan ideologi-ideologi itu (karena alasan sama),tetapi juga tidak oleh pertentangan antara Islam sendiri (sekarang saja di mana masihbanyak terdapat gesekan, salah paham, saling curiga antara kelompok, kitamenyaksikan suatu tekad yang membesarkan hati: sebenamya kelompok-kelornpokIslam bersedia untuk saling menerima - tanpa menjadi relativistik). Saya melihatpertentangan ideologis dalam sebuah garis yang tidak mengikuti batas agama-agama,melainkan ditemukan di dalam masing-masing agama dan kelompok kepercayaansendiri. Yaitu di antara mereka yang meyakini martabat segenap orang sebagai manusiadan oleh karena itu bertekad berpegang pada etika demokrasi, hak-hak asasi manusiadan keadilan sosial, dan mereka yang mencari keamanan dalam kelompok hangatkecil dengan mencurigai atau bahkan memusuhi semua yang di luar. Sikap yangterakhir itulah yang disebut primordialisme, lebih tepat reprimordialisasi. Garispertentangan di dasawarsa mendatang antara sikap yang menghormati martabatdan hak asasi manusia sebagai manusia dan primordialisme baru, antara penghayatankeagamaan yang positif dan terbuka dengan yang fundamentalistik, negatif dantertutup, dan garis konflik itu akan ditemukan dalam masing-masing agama sendiri.

560 JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 6: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Maharsi, dick., Hermeneutika Human/stile

M. Amin Abdullah menekankan adanya dialog antar epistemologi Islam dalammemajukan bangsa akan tergantung bagaimana mereka bersikap terhadap taritanganitu. Maukah mereka mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ideologi-ideologilama dan menjadi pendukung paling utama cita-cita kemanusiaan universal, ataukah

mereka maumenjadi primordialistik? Memilih jalurprimordialisme berard berorientasike belakang, hanya mampu bersikap negatif terhadap keseluruhan budaya globalsekarang, berarti memilih menutup diri. Atau dapatkah mereka menjadi pendukungbudaya politik yang demokratis, benteng toleransi dan pergaulan yang beradab,pejuang keadilan, pelindung pihak-pihak minoritas dan lemah, pembela hak-hakmereka yang tertindas, tanpa membedakan menurut golongan? Dapatkah merekamembuat kepentingan seluruh bangsa, bahkan seluruh umat manusia, dan jugakepentingan segenap orang, termasuk yang lain keyakinannya atau kepercayaannya,menjadi keprihatinan mereka, tanpa parnrih? Apakah komunitas-komunitas Islamdalam hal ini betul-betul dapat bekerj a sama? Dan itu bukan karena pertimbanganhumanistik belaka, melainkan berdasarkan keyakinan alas keragaman nalar mereka?

Sekali lagi, bahwa hanya dengan melak ukan proses komunikasi secara dewasadiantara epistemologi Islam, maka fungsi agama sebagai rakmah HI 'alamin akanmenjadi nyala. Di sinilah, pasar bebas pengetahuan yang hendak diwujudkan melaluidialog memungkinkan untuk berimplikasi pada terciptanya cakrawala baru (fusionhorizon) bagi kesejahteraan umat manusia.

Sementara itu Khaled Abou el Fadl memfokuskan pandangannya pada problemaHukum Islam. Muhammed Arkoun mengemukakan bahwa kebudayaan Islamsenantiasa dijera oleh problem yang berkaitan dengan yang "tak dipikirkan" danyang "tak dapat dipikirkan"(Arkoun: 1994:13). Pemyataan ini mengindikasikanadanya sikap mental tertentu yang mencegah umat Islam menggunakan pemikiranatau menggali ide-ide baru. Abou el Fadl tidak menggunakan kategorisasi Arkoun,dan mengomentari bahwa permasalahan tersebut sebenarnya telah seringdiperdebatkan dalam sejarah Islam, terutama yang berkaitan dengan otoritas,kompetensi dan penetapan sumber-sumber keislaman. Dalam hal ini, Abou el Fadllebih memilih kategorisasi "yang terlupakan" untuk menegaskan bahwa dalamdiskursus hukum Islam kontemporer, persoalan seperti otoritas mujtahid,keberwenangan sumber dan wakil-wakilnya, dan resiko despotosme intelektual (al-istibdadal-ra 'y) telah terlupakan, sementara wacana di seputar masalah tersebut

tetappentingdantakpemahkehilangansignifikansinya(AbouFadl: 2004:142).

JUKNAL PENELIT/AN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 55 ]

Page 7: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Moharsi, dkk., Hermeneutika Humanistik

Hukum Islam merupakan salah satu prestasi luar biasaperadaban Islam raasalalu dan tetap eksis hingga sekarang, kendati diragukan perannya dalani menghadapiproblem perkembangan zaman, Keraguan ini muncul lantaran premis-premis yangmendasari kemunculan hukum Islam tersebut menurut Abou el Fadl telah hilang

entific Research and Legal Opinions) di Arab Saudi yang mengansumsikan dirinyasebagai wakil Tuhan. Mereka kemudian merasa berhak menyingkirkan danmenyeleksi berbagaiproduk hukum yang lahirdari luarmereka. Sebaliknya, produkhukum dari mereka hams dijalankan sebagaimana Tuhan "menghendaki" dernikian.

Penentuan hukum Islam oleh komunitas pemberi fatwa guna member ikanjawaban solutif terhadap problem yang terus mengalami perkembangan dengan fatwahukum yang mengikat, k iranya tidak menimbulkan kegel isahan jika saja komunitastersebut tidak menafikan eksistensi komunitas lain, mengebiri otoritas Tuhan, danmenguncirapat-rapatteks. Justrusebaiiknya,penggiinaanhenneneutikasecarabeniirmembuat hukum Islam acapkali memberikan respons dialektis terhadap perubahandan perkembangan zaman, dan i t u berarti memperkaya khazanah hukum Islamsehingga Islam mengulang apa yang pernah diraihnya di masa-masa silam.Hermeneutika sebagai salah satu melode penafsiran hukum Islam dianggap dapatmenampung perbedaan dan keragaman penafsiran teks. Hermeneutika adalahlapangan yang memberikan pemahaman bahwa bahasa bersifat dinamis dan berfungsisebagai instrumen untuk memahami teks dan integritas teks, khususnya relasi antarateks dan pengarang, antara teks dengan pembaca.

Dalam henneneutika, hakikat feLsmenjadi konsepkunci. Hakikat teks ini pulayang menjadi salah satu problem penting dalamhermeneutikaotoritatif Abou el Fadl.Namun, Abou el Fadl tidak memberikan definisi terperinci dan sistematis mengenaihakikat teks seperti halnya teori-teori tekstualitas yang berkembang di Barat.Pemahamannya mengenai hakikat teks bertolak dari definisi Joerge Gratia, bahwa

dan dimaksudkan oleh pengarang dalam konteks tertentu untuk menyampaikan maknaatau pesan tertentu kepada pembaca.

Ketika sebuah teks lahir, maka sebenarnya ia telah memiliki eksistensi danintegritasnya sendiri. Teks dalam hal ini bersifat otonom. Otonom teks ini memberikankemungkinanpembacaan yang hidup dan memberikan peluangbagiberbagai modelpernbacaan. Namun banyak teks yang mati di tangan pengarang maupun di tangan

562 JUKNAL PENEUT1ANAGAMA. VOL. XVII. NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBEK 2008

Page 8: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Maharsi. dkk., Hermeneut/to Humonistik

pembaca. Karena itulah, hubungan antara pengaranag, teks dan pembaca harusberimbang dan proporsional dalam proses penentuan makna. Dominasi salah satuunsur akan menyebabkan kebuntulan intelektual.

Inti analisis hermeneutika terletak pada peran pengarang, teks dan pembacadalam menentukan makna. Hermeneutika hendak menjembatani jarak antarapengarang dan pembaca, yang antara keduanya dimediasi oleh teks. Dari sinilahpersonal intepretasi terkait dengan diskursus hiikum islam, pertanyaan yang munculkemudian adalah abagaimana hubungan di antara ketiga dalam proses pembentukaiiotoritas dalam Islam. Dalam sebuah pertanyaan yang sederhana: siapakah yangmenentukan makna dalam suatu penafsiran? Ada tiga kemungkinan jawaban.kemungkinan /wrtflma adalah makna ditentukan oleh pengarang, atu setidaknyaoleh upaya pemahaman terhadap maksud pengarang. Pengarang dalam hal ini dianggap telah memformulasikan maksudnya ketika ia membentuk sebuah teks, danpembaca harus memahami maksud pengarang atau harus beusaha mamahaminya.

Narnun,benarkah pengarang yang menentukan makna teks?Tuhan, atausiapapun yang menjadi pengarang, sebenarnya hanya mengawali proses pemaknaan denganmenempatkan teks ke dalam alur interpretasi. Pengarang sendiri berdiri di luar teksdan tidak menentukan makna tersebut. Jika pengarang menjadi satu-satunya sumberrujukan eksklusif sebuah teks, maka integritas teks akan berkurang dan tak bernilai.Pengakuan akan otonomi teks ini bukan berarti mereduksi peran penting pengarangdalam proses pemahaman atau interpretasi.

Kemungkinan kedua adalah peran teks dalam menentukan makna danpengakuan atas tingkat otonomi teks. Teks, yang memiliki sistem makna bahasayang rumit, dipandang sebagai satu-satunya sarana yang mampu mengklaimkewenangan menentukan makna. Subjektifitas dan maksud pengarang sertapemahaman pembaca tidak akan menghasilkankepastian makna. Namun,rjembacaanyang cermat dan ketat terhadap teks dapat menjadi basis kesamaan tujuan dankepastian. Ini menunjukkan bahwa teks memiliki realitas dan integritasnya sendiri(Bowling: 1999:79-112). Dengan kata lain, teks memiliki integritas mendasar yangharus dihormat i dan bahwa pembaca tidak bisa menafsirkan teks secara bebas tanpabatas.

Kemungkinan ketiga adalah memberikan penetapan makna kepada pembaca.Pembaca dalam hal ini memproyeksikansubjektifitasnyakepadakehendak pengarangdan teks. Konteks dan realitas historis adalah segalanya dalam menyusun makna.

JUKNAL PENEUTIAN AGAMA, VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 553

Page 9: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Atoharsi. dkk., HermeneutikoHumonistik

semua penafsi ran tertanam secara historis, sosial dan politik dalam subjektifitas yangbersifat kontekstual. Secara normatif pembaca harus mengakui sujektifitas sebuahpemahamn dan secara kritis menguji dan menilai dinamika kekuasaan yangmengontruksikan pemahaman pembaca (Stanley: 1980: 70-99). Teks tidakmeberikan kekuatan yang dapat mengokohkan argumentasi apapun tentangobjektifilasJx>kuspadarespoiisr»3mbacaterdrtimengabaikaiiperanpentingbahasadan teks dalam menjembatani berbagai subjektifitas. Kenyataan bahwa teksdipandang sebagai entitas kompleks yang mengandung kesamaran dan ketidakpastianbukan berarti bahwa maknanya selamanya akan bersifat subjektif.

Tiga kemungkinan penentuan makna di atas adalah simplifikasi alas diskursustentang penetapan makna. Namun hams diakui bahwa ketiganya berperan petit ingsebagai kerangka dasar dalam diskursus penafsiran. Abou el Fadl menemukan faktabahwa sedikhsekati yang menganggap bahwa makna ditentukanatau hams ditentukanhanya oleh pengarang, teks atau pembaca saja. Apa yang terjadi sebcnamya adalahsuatu proses yang kompleks, interaktif, dinamis dan dialeklis di antara ketiga unsurtersebut. Tidak ada kesepakatan mengenai unsur mana yang paling inenentukandalam penetapan makna teks. Makna terlahir dari hasil interaksi yang kompleksantara pengarang, teks dan pembaca%melalui mereka makna diperdebatkan,dinegoisasikan dan terus mengalami perubahan.

Masalah penetapan makna muncul ketika pengarang (Tuhan) tidak dapatdiakses secara langsung oleh pembaca. Oleh karena itu, pembaca harusmenegoisasikan makna secara langsungdengan teks. Pembaca mendekali teks yangotoritatif dan memutuskanbagaimana iaharus membacanya. Otoritas teks itu sendiridiperoleh dengan menggunakan asumsi berbasisis iman dari sumbenrya (Tuhan).Untuk memperoleh makna yang "tepat" dari teks, pembaca harus menunjukkansusunan teks dan bukti-bukti yang ditemukannya secara utuh, termasuk teks-teksyang bertentangan. Setelah menganalisis teks atau bukti-bukti yang ditemukannya,tahap selanjutnya adalah memisahkan penafsirannya dari teks tersebut. Dengandemikian, teks akan tetap otoritatif.

Abou el Fadl menganggap Al-Qur'an dan Sunnah, selain otoritatif, jugamerupakan teks otonom dan terbuka. Keduany a membuka diri bagi segala jenisinterpretasi dan mampu menampung gerak interpretasi yang bersifat dinamis.Keterbukaan kedua teks tersebut tidak hanya memungkinkan bagi munculnyapluralitas pemaknaan, tapi juga mendorong sebuah proses penelitian yang

564 JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 10: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Mahorsi, dkk., Hermeneutika Humanist*

menempatkan teks dalam posisi sentral. Teks berbicara dengan suara yangdiperbaharui kepada masing-masing generasi pembaca karena maknanya tidakpermanen dan berkembang secara aktif. Teks tetap relevan dan menduduki posisisentral karena sifat keterbukaannya memungkinkannya untuk terus menggemakansuaranya. Selama teks bersifat terbuka, dan selama berbicara, ia akan tetap relevandan bermakna. para pembaca akan senantiasa merujuk pada teks, sebab teks dapatmelahirkan pemahaman dan interpretasi baru.

Berbeda dengan kritikus barat yang melakukan kesalahan fetal akibat dorainasibahasa ilmu dan budaya tulis-baca dalam kultur mereka yang sekuler sehingga tekskitab suci diposisikan sebagai teks bisu (Graham 1985: 27). Abou el Fadlmenempatkan teks-teks suci sebagai sesuatu yang hidup yang selalu memberikaninspirasi dan spirit keagamaan pembacanya. Teks-teks suci keagamaan akan menj adibermakna hanya ketika diposisikan secara rasional dengan masyarakat pembacayang mengimaninya sebagai sumber otoritatif daam Islam. Namun, keduanya tidakberdiri sendiri. Keduanya mempunyai keterkaitan dengan tradisi dan komunitasinterpretasi. Sistem tanda bahasa dalam teks-teks suci agama dan pesan Tuhanyang hendak disampaikan tidak akan muncul kecuali digali oleh pembacanya(penafsir). oleh karenanya, setiap teks dan sistem tanda sesungguhnya harus terus-menerus dibaca dan ditafsirkan untuk digali maknanya, karena j ika tidak, teks akanmenemui titik nadimya.

Dalam hal ini Abou el Fadl menegaskan bahwa makna yang dibentuk dalamkonteks komunitas interpretasi yang memiliki asumsi epistemologis, persoalan dannilai-nilai dasar yang sama. Komunitas interpretasi ini membentuk satu tingkat keadaanrelatif yang memungkinkan para angotanya saling berbagi dan mengobj ektifikasikanberbagai pengalaman subjektif mereka. Komunitas interpretasi tidak mesti sepakatmengenai semua bentuk penetapan makna. Namun mereka saling berbagi asumsiepistemologi tertentu, memiliki kaedah bahasa yang sama atau metode yang salingmelengkapi dalam membicarakan makna. Komunitas interpretasi terbentuk disekeliling teks dan membentuk metode dikursus yang seragan dakan prosespembentukan makna. Komunitas interpretasi dan teks saling melakukan negosiasi.Teks, dengan demikian, tidak bersifat pasif. Sebaliknya, ia secara aktif terlibat dalammembentuk dan mengubah komunitas interpretasinya. Proses negoisasi ini terj adidalam sebuah konteks historis tertentu. Dengan cara demikian, teks dan komunitasinterpretasi membentuk sebuah tradisi interpretasi dan makna yang menj adi wahana

JUKNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBEK 2008 555

Page 11: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Maharsi, dkk., Hermeneutika Humanistik

bagi konstruksi otoritas dalam komunitas semacam itu.Komunitasinteipretasidominandantradisiyangterbentuk darinyabisa terdiri

dari berbagai sub komunitas interpretasi. Perbedaan yang muncul diantara sub-subkomuitas interpretasi ini di integrasikan olehkesamaanyang membentuksebuahkomunitas dominan yang lebih luas. Komunitas interpretasi akan membentuk tradisi-tradisi interpretasi, dan tradisi interpretasi semacam itu akan menghasilkan tekanantertentu terhadap penetapan makna. Tradisi-tradisi tersebut bukan semata-mata hasildari bahasa atau interpretasi, tapi juga dari normatifitas, komitmen dan asumsi yangdifasilitasi oleh teks. Para pembaca mendekati teks dengan asumsi-sumsi dannormatifitas-normatifitas yang mereka bawa untuk diterapkan dalam prosesinterpretasi. Dalam hal ini Abou ei Fadl menggaris bawahi empat asumsi dasar yangperludiperhatikan: asumsi berbasisnilai, asumsi berbasismetodologj, asumsi berbasisrasio dan asumsi berbasis iman.

Asumsi berbasis nilai dikonstruksi diatas nilai-nilai normatif yang dipandangpenting atau mendasar oleh suatu komunitas inpterpretasi. Asumsi, dalam kontekshukum, mengenai hal-hal seperti kelestarian kehidupan, perlindungan terhadap haknrilik,moralitas,kebebasanmengeluarkanperKlar)al,atauaktualisasidiri,bisamenjadinilai normatif yang mendasar. Namun demikian, jika kita akan menganalisis danmengidentifikasi nilai dasar yang sebenamy a dan asumsi dari komunitas interpretasitentang nilai tersebut, maka akan didapatkanbahwa nilai-nilai semacam itu merupakanhasil dari dinamika sosiologis dan tekstual.

Asumsi-asumsi metodologis terkait dengan sarana atau langkah-langkah yangdiperlukan untuk mencapaitujuan normatif hukum. Asumsi-asumsi itu diakui sebagaialat bantu untuk mempermudah pencapaian tujuan hukum. Asumsi-asumsimetodologis mungkin muncul dari pendekatanteoritis yang sistematistehadap hukum,tapi asumsi-asumsi tersebut cenderung bertahan dan berkembang melalui kebiasaaaPada gilirannya, asumsi-asumsi tersebut menjadi kerangka yang selalu digunakanoleh budaya hukum dalam menghasilkan hukum. Perlu dicatat bahwa perbedaandiantara aliran-aliranhukum lebih merupakan perbedaan yang bersifat metodologisketimbang normatif.

Asuasi berbasis rasio memperoleh eksistensinya dari logika atau bukkti dalamsuatu penetapan hukum yang bersifat substantif. Asumsi ini bersandar pada bukti-bukti yang bersifat kumulatif . la merupakan hasil dari sebuah proses objektif dalammempertimbangkanberbagai bukti secara rasional, dan bukan hasil dari nengalaman

566 JUKNAL PENBJTIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 12: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Maharsi, dkk., Hermeneut/ko Humanistik

etis, eksistensial, atau metafisik yang lebih bersifat subjektif. la tidak menghindardari pengaruh nilai normatif, dan menegaskan sifat yang moderat, objektif danbebas-nilai.

Terakhir adalah asumsi berbasis iman. Asumsi ini lahir dari suatu hubungantambahan antara pembaca dan pengarang. la dibangun diatas pemahaman mendasarmengenai karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya. Dengan demikian, asumsi initerbentuk suatu kesadaran atau keyakinan mendasar dan tidak bisa dilimpahkankepada orang lain. Karena itulah, asumsi ini sering kali bercampur dengan asumsi-asumsi teologis. Dengan kata lain, asumsi berbasis iman ini sebenamya tak lebih darikeyakinan-keyakinan teologis yang memiliki efek langsung dalam penetapan hukum.

Suatu komuitas interpretasi harus mampu mengetahui karakteristik dari masing-masing asumsi dasar diatas, apakah penetapan maknabersifat normatif, metologis,rasional, ataukah semata-mata berdasarkan keimanan dan keyakinan? Suatuargumentasiseringkalimenyembunyikanberbagaijenis asumsi yang harus dibongkardan dianalisis. Analisis kritis terhadap karakteristik dari masing-masing asumsi dasardalam suatu komunitas interpretasi akan menciptakan dikursus penetapan maknayang bersifat komprehensif.

Sebagai Catalan penutup, perlu dikemukakan disini bahwa asumsi-asumsi yangdigunakan oleh suatu komunitas interpretasi mungkin berbeda dengan asumsi-asumsikomunitas interpretasi lainnya. Penetapan asumsi tertentu oleh komunitas interpretasibukan berarti bahwa asumsi tersebut tertuitup untuk didiskusikan dan dianalisis.Penetapan itu lebih merupakan upaya untuk menberikan garis batas yang efektifdiantara masing-masing komunitas interpretasi. Penutupan suatu asumsi untukdidiskusikan dan dianalisis merupakan sikap otoritarianisme.

III. Simpulan

Keragaman nalar yang terdapat dalam arus pemikiran Islam memiliki basictheory yang heterogen. Keragaman itu pada gilirannya melahirkan wujud Islam yangmajemuk pula. Islam menjadi banyak rupa. Perbedaan itu muncul baik dalampemahaman teologis, fiqh (muamalat), keyakinan politik, dan penampakankebudayaan. Islam tidak lebih sebagaimana hutan, yang rimbun dan manunggal,akan tetapi banyak jenis pohon yang berbeda. Demikianlah, Islam juga mewujuddalam banyak hal dari ruang bathin manusia (baca: pemeluknya).

1UKNAL PCNELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 567

Page 13: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Maharsi. dkk., Hermeneutika Humanistik

Sementara itu dalam corak pemikirannya, Islam di Indonesia memiliki "Brand-ing" yang bermacam-macara. Misalnya, Islam Aktual, Islam Autentik, Islam Lib-eral, Islam Pribumi, Islam Konserfatif, Islam Radikal, dan masih banyak label yangpatut disandangkan kepada Islam. Sebagai bangsa yang berpenduduk muslimterbesar di dunia, maka benar saja jika meniscayakan adanyakeragaman corakdan pemahaman dalam Islam sendiri.

Penelitian ini membatasi padapandangan M. Amien Abdullah dan Khaled Abouel Fadl dalam membaca kenyataan umat Islam saat ini. Islam sebagai bagian daribentukan sej arah memiliki problem yang kompleks dan rumit Melalui pemikiriannyayang aktual dan brilian, kedua tokoh pemikir Islam kontemporer tersebut menggalij awaban problematika Keislaman dwigan caranya masing-masing.

M. Amien Abdullah menitik beratkan pada persoalan epistemologi keislamansebagai sumber persoalan yang dihadapi umat saat ini. Adanya perbedaan nalarIslam melahirkan pula perbedaan tindakan yang dilakukan oleh umatnya. Meminjamkonsep umum yang dij elaskan olehAbidAl Jabiri dalam membaca formasi nalarArab. Yaitu; Irfani, Bayani, danBurhani. Ketiganalartersebut memiliki implikasiakademik dan politik yang beragam, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka.Termasuk implikasinyaterhadap pemahaman ajaran dan tindakan pengikut Islam.Nalar Irfani bergantung pada ilham yang sulit pembuktian empirisnya. Nalar Bayaniberbasiskan pada teks, sehingga merasa perlu untuk percaya dan "ta'dzim" terhadapteks kitab suci, yang sesungguhnya tercipta dalam semangat zaman tertentu.Sedangkan Burhani berdasarkan atas rasionalitas akal. Amin Abdullah menawarkanketiga epistemologi Islam tersebut untuk berdialog dan terbuka satu sama lain,sehingga memungkinkan tersaj inya wacana dan pemahaman bam terhadap persoalanumat Islam.

Sementara itu Khlaed Abou el Fadl memfokuskan kajiannya pada persoalanhukum Islam. Hal ini berangkat dari kegelisahannya yang mendalam tentangmunculny a sikiap otoritarianisme dalam dunia Islam modern. la menghendakikembalinya ilmu yurispodensi Islam (fiqih) sebagai sebuah epistemologi dan sekaligussebagai metode penelitian, tidak semata hanya diskursus keilmuan Islam yangberaroma politis dan otoriter. Kedua tokoh tersebut meletakkan hermeneutika sebagaipijakan untuk membedah problematika keislaman dan kemanusiaan. Inilah yangoleh peneliti sebut sebagai hermeneutika humanistik.

JURNAL PENELITIAN AGAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008

Page 14: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Maharsi, dkk., Hermeneutika Humanist*

Dengan melakukan library research yang gigih, akhirnya penelitian ini dapatmemformulakan tiga nalar tersebut dalam pola hubungan sirkular. Pola inimengandaikan terjadinya perpaduan nalar yang tanpa harus menghilangkaneksistensinya yang telah ada dengan berbekal pada sikap yang saling terbuka (openmended), saling dialog dan mengkritisi. Perpaduan nalar (baca: sirkularitas) tersebutberupaya menggali tradisi keberagamaan masing-masing entitas, sehingga dapatberperan sebagai jalan tengah guna menyiapkan masa depan peradaban Islam In-donesia yang lebih baik. Inilah yang disebut Gadamer sebagai the fusion of hori-zon, sehingga mencipta cakrawala baru yang akomodatif, toleran, dan inklusif.

DaftarPustaka

Abdullah M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2006.

—. Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafal Etika Islam, Bandung: Mizan,2002.

—. Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana KeislamanKontemporer, Bandung: Mizan, 2000.

. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: PustakaPelajar, 1996.

—. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995.

Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektifisme Pengetahuan, Bandung: Teraju,2002.

. Percik Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2006.Bleicher, Josef. Hermeuneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode,

Filsafat dan Kritik terj. Ahmad Norman Permata. Yogyakarta: FajarPustaka, 2003.

El-Fadl, Khaled Abou. Musyawarah Baku: Menyusuri Keindahan Islam dariKitab ke Kitab, Jakarta: Seambi, 2002.

—.AtasNama Tuhan, Jakarta: Serambi, 2004.

—. Melawan Tentara Tuhan, Jakarta: Serambi, 2003.

. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2006.

JURNAL PENELITIAN AGAMA. VOL XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008 559

Page 15: HERMENEUTIKA HUMANISTIK (Studi Pemikiran Hermeneutik M

Maharsi. dkk., Hermeneutifco Humanistik

. Toleransi dalam Islam, Bandung: Mizan, 2003.

Hardiman, Fransisco Budi. Melampui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:Kanisius,2003.

. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta:Gramedia, 2004.

. Kritikldeologi, Yogyakarta: BukuBaik, 2004.

Muchsin, Misri A., Filsafat Sejarah Dalam Islam, Yogyakarta: Arus Press, 2002.

Plamer, Richard, F. Hermeuneutics: Interpretation Theory in Scheirmacher,Dilihey, Heidegger and Cadamer, Evanston: Northwestern universityPress, 1969.

* Tulisan ini diangkat dari hasil penelitian kelompok bersama Moh. Fahsin danMiftahFarid

**Penulis adalah Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

570 JURNAL PENELITIAN ACAMA, VOL. XVII, NO. 3 SEPTEMBER-DESEMBER 2008