gotong royong edisi ii

8
3 » ARAH Politik Harga Pangan Yang Merugikan Rakyat 6 » INSPIRASI Reformasi Agraria Di Era Bung Karno 8 » KABAR RAKYAT 1 » POSISI Tidak Ada Kedaulatan Pangan Tanpa Pelaksanaan Pasal 33 Uud 1945 Masyarakat Brang Ene Menolak Kehadiran Perusahaan Tambang Dianggap Ingkar Janji, Kapolres Didemo Petani Suku Anak Dalam TIDAK ADA KEDAULATAN PANGAN TANPA PELAKSANAAN PASAL 33 UUD 1945! ETAPA tidak berdaulatnya bangsa kita di bidang pangan. Hampir semua kebutuhan pangan kita diimpor dari luar negeri: beras, kedelai, kentang, singkong, biji gandum, tepung terigu, jagung, dan lain-lain. B Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia menyebutkan, 65% kebutuhan pangan di dalam negeri didapatkan melalui impor. Sedangkan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memperkirakan 80% kebutuhan bahan pangan Indonesia diperoleh melalui impor. Kenyataan itu menunjukkan, Indonesia tak lagi berdaulat di bidang pangan. Kebutuhan pangan rakyatnya saja sebagian besar impor. Padahal, seperti sering didengun-dengunkan, Negara kita adalah Negara Agraris. Ya, benar-benar ironis: Negara Agraris menjadi Pengimpor Pangan. GOTONG ROYONG Menemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita SEPTEMBER MINGGU 1-2 TAHUN 2012 P R D www.prd.or.id

Upload: partai-rakyat-demokratik

Post on 23-Mar-2016

313 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Buletin Dwi Mingguan Partai Rakyat Demokratik

TRANSCRIPT

Page 1: Gotong Royong Edisi II

3 » ARAH

Politik Harga Pangan Yang Merugikan Rakyat

6 » INSPIRASI

Reformasi Agraria Di Era Bung Karno

8 » KABAR RAKYAT1 » POSISI

Tidak Ada Kedaulatan Pangan TanpaPelaksanaan Pasal 33 Uud 1945

Masyarakat Brang Ene Menolak Kehadiran Perusahaan Tambang

Dianggap Ingkar Janji, Kapolres Didemo Petani Suku Anak Dalam

TIDAK ADA KEDAULATAN PANGAN TANPA PELAKSANAAN PASAL 33 UUD 1945!

ETAPA tidak berdaulatnya bangsa kita di bidang pangan. Hampir semua kebutuhan pangan kita diimpor dari luar negeri: beras, kedelai, kentang, singkong, biji gandum, tepung terigu, jagung, dan lain-lain. BData dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia

menyebutkan, 65% kebutuhan pangan di dalam negeri didapatkan melalui impor. Sedangkan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memperkirakan 80% kebutuhan bahan pangan Indonesia diperoleh melalui impor.

Kenyataan itu menunjukkan, Indonesia tak lagi berdaulat di bidang pangan. Kebutuhan pangan rakyatnya saja sebagian besar impor. Padahal, seperti sering didengun-dengunkan, Negara kita adalah Negara Agraris. Ya, benar-benar ironis: Negara Agraris menjadi Pengimpor Pangan.

GOTONG ROYONGMenemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita

SEPTEMBER MINGGU 1-2 TAHUN 2012P R D

www.prd.or.id

Page 2: Gotong Royong Edisi II

Diterbitkan OlehKomite Pimpinan Pusat

Partai Rakyat Demokratik(KPP PRD)

Jalan Tebet Dalam IIG No. 1Jakarta Selatan

Indonesia 12810

Telp/Fax: +62.21.8354513

Website: www.prd.or.id

Dewan Redaksi:Agus Jabo Priyono,

Dominggus Oktavianus,Rudi Hartono,Agus Pranata,AJ Susmana,

Yudi Budi Wibowo,Binbin Firman Tresnadi.

Desain dan Tata Letak:Irwan Zakaria,Agus Casyono

POSISIAda beberapa faktor penyebab kita

tak berdaulat di bidang pangan: Pertama, kaum tani Indonesia, sebagai tenaga pokok dalam produksi pangan, s e m a k i n d i p i s a h k a n d a r i a l a t produksinya, yakni tanah. Sebagian besar tanah-tanah produktif sekarang ini dikuasai oleh korporasi besar (perkebunan, pertambangan, dan lain-lain). Akibatnya, 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani tak bertanah dan petani gurem.

Kedua, kebijakan agrarian kita saat ini sangat liberal dan mirip dengan sistim agraria di jaman kolonial. Di sini, peruntukan tanah bukanlah untuk petani penggarap atau untuk menopang produksi pangan nasional, melainkan untuk melayani kebutuhan tanah bagi pemilik modal di bidang perkebunan, pertambangan, pertanian, dan lain-lain.

Untuk diketahui, saat ini ada 72 juta petani dengan lahan di bawah 0,3 hektar. Di sisi lain, lahan seluas 9 juta hektar dikuasai 20 perusahaan besar. Data Institut For Global Justice (IGJ) mengungkapkan, sebanyak 175 juta hektar tanah di Indonesia dikuasai oleh asing. Perkebunan sawit terhitung menguasai tanah cukup banyak. Hingga tahun 2011, perkebunan sawit sudah menguasai 8 juta hektar tanah. Sekitar 50% perkebunan sawit itu dikuasai asing dan 2 juta hektar diantaranya adalah pengusaha Malaysia.

Ketiga, hilangnya peran Negara dalam melindungi sektor pertanian. Kita bisa melihat, Negara justru mensponsori kebijakan impor pangan. Sebetulnya, kebijakan impor pangan ini bukan semata karena kurangnya stok pangan di dalam negeri, melainkan karena pemerintah Indonesia tunduk pada ketentuan WTO terkait liberalisasi pertanian melalui skema “Agreement on Agriculture (AoA). Impor pangan ini memukul produksi petani. Banyak petani menganggap kegiatan bertani tak lagi ekonomis.

Sudah begitu, proses distribusi pangan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing: Syngenta, Monsanto, Dupont , dan Bayer menguasai pengadaan bibit dan agrokimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM menguasai sektor pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Sedangkan Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co menguasai

bidang pengolahan pangan dan minuman. Ini juga termasuk dalam impor pangan. Impor kedelai, misalnya, dikuasai oleh PT Cargill Indonesia dan PT Gerbang Cahaya Utama (GCU). Sedangkan Sedangkan Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco menjadi penguasa pasar ritel pangan.

Sudah jelas, kaum tani Indonesia belum berdaulat. Ini diperparah oleh hilangnya keberpihakan Negara terhadap kaum tani. Akibatnya, kekuatan produktif di dalam negeri t idak bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan “kedaulatan pangan”. Padahal, kekuatan pokok untuk mewujudkan kedaulatan pangan adalah massa-rakyat yang produktif.

Oleh karena itu, bagi Partai Rakyat Demokratik, kedaulatan atas pangan hanya mungkin terjadi jikalau Pasal 33 UUD 1945 ditegakkan. Salah satu turunan dari pasal 33 UUD 1945 itu adalah UU Pokok Agraria (UUPA) 1960. Dan salah satu titik tolak dari penegakan UUPA 1960 adalah land-reform atau reforma agraria. Di sini, reforma agraria berarti penghapusan kepemilikan tanah yang tidak adil di tangan korporasi besar dan pengembalian lahan-lahan milik petani yang dirampas korporasi.

Berikut beberapa seruan politik kami:1. Laksanakan pasal 33 UUD 1945 dan

UUPA 1960 secara murni dan konsekuen;

2. Hentikan kebijakan liberalisasi i m p o r p a n g a n ; m e n u n t u t pemerintah untuk memberikan jaminan pasar bagi produksi petani.

3. D u k u n g a n a n g g a r a n u n t u k perbaikan infrastruktur pertanian (waduk, irigasi, dll), dukungan modal/kredit bagi petani, dan modernisasi teknologi pertanian.

4. Pe n g h e n t i a n s e g a l a b e n t u k kekerasan dalam penyelesaian konf lik agraria; Dan, sebagai solusinya, PRD mengusulkan pembentukan Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agraria.

Jakarta, 24 September 2012

Komite Pimpinan PusatPartai Rakyat Demokratik

KPP-PRD

GOTONG ROYONGMenemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita

GOTONG ROYONG 2

P R D

Page 3: Gotong Royong Edisi II

ERSOALAN kedaulatan pangan merupakan kebutuhan yang cukup penting untuk dikupas, sebab isu Ppangan berdampingan dengan

kedaulatan nasional. Organisasi tani internasional La Via Campesina, menentang adanya campur-tangan asing, yakni setiap rakyat dan masing-masing negara, mesti dengan merdeka menentukan kebijakan pangannya sendiri.

Keinginan untuk menetukan nasib sendiri berkaitan dengan usaha memakmurkan rakyat. Merumuskan jalan kemakmuran yang sesuai dengan harapan rakyat hanya mungkin jika tidak ada embel-embel asing yang me-ngejar untung dibelakangnya. Pembicaraan ini bisa sia-sia kalau tak ditinjau dari tiga pokok persoalan: Pertama, tentang monopoli produksi dan distribusi pangan. Kedua, tujuan dari pasar hasil produksi pertanian. Dan ketiga, tentang organisasi distribusi.

Monopoli Perusahaan AsingSelama kegiatan produksi dan distribusi

atas pangan dibawah monopoli perusahaan asing, maka untuk mengadakan politik harga pangan yang memakmurkan rakyat tinggal didalam mimpi. Memangkas campur-tangan negara asing, khususnya perusahaan asing, dalam menentukan kebijakan harga pangan menjadi persoalan pertama yang harus diselesaikan.

Dalam surat kabar, Surabayapost, tanggal 25-5-2011, terungkap pernyataan dari Menteri Pertanian Suswono, kalau kebijakan agroindustri di Indonesia dikendalikan oleh “kelompok tertentu”. Hal sama juga disampai-kan oleh bekas Menteri Kelautan dan Peri-

kanan Fadel Muhammad, bahwa kartel pangan yang didominasi perusahaan asing mempermainkan harga pangan. Mereka menimbunan hasil produksi pertanian atau juga menggoreng (stock cornering) harga pangan dipasar saham. Ditangan pemodal, harga pangan dijadikan “gambling kasino” yang mempermainkan nasib rakyat, akibat-nya banyak petani gurem di desa di dunia menderita kelaparan, diantaranya menurut laporan Foresight Project, 2011, ada 578 juta rakyat di kawasan Asia menderita kelaparan.

Pemerintah seakan pura-pura tidak tahu kalau keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang diizinkan untuk menguasai dari hulu pertanian sampai hilir pasar pangan sudah seperti kangker ganas yang merusak keadaan ekonomi rakyat. Akibat liberalisasi pangan, petani-petani gurem di Indonesia me-nanggung biaya produksi yang tinggi, bertarung dengan pasar bebas dan perampasan tanah. Tanpa kebijakan harga yang terlindungi sejak tahun 1990-an, sebanyak 39 juta kepala keluarga petani terpaksa memikul beban hidupnya sendiri, dan kini ada 2 juta lebih petani beralih jadi tukang ojek.

Ketika petani terbebani biaya produksi, perusahaan benih asing seperti Monsanto (AS), East West (Belanda), Bayer Corp ( Jerman), Syngenta (Jepang), Pioneer Dupont (AS), dll, mendulang untung US$ 40 miliar per tahun. Ketergantungan bibit dan teknologi pertanian dari negara tersebut mempengaruhi produksi dan harga pangan di dalam negeri menjadi lebih mahal.

Keuntungan dari pasar-pasar perta-

nian senilai 409 miliar dollar AS per tahun mengalir ke perusahaan trans-nasional (TNC) seperti Nestle (Swiss), Cargill (AS), Archer Daniels Midland, Unilever (Inggris-Belanda), dan Kraft Foods (AS). Selain itu, perusahaan Danone (Perancis), Numico (Belanda), Hj Heinz (AS), dan sebagainya, mengua-sai dan menggunakan bahan bakunya dari produk pangan lokal.

Disamping itu, kasus perampasan tanah untuk kepentingan investasi semakin luas, setidaknya 50% sektor perkebunan sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, lahan-lahan pertanian tersebut banyak dialih-kan (konfersi) untuk lahan perkebunan sawit dan pertambangan. Ditambah lagi pencurian varietas (benih unggul) per-tanian kita untuk dipatenkan mereka dan dijual lagi kepada petani.

Dan belum lama ini pemerintah membuat kebijakan yang memperluas akses pasar perusahaan asing melalui Private Public Partnership (PPP) dengan menggandeng 14 perusahaan trans-nasional: Nestle, Sinarmas, Unilever, Cargill, Dupont, Monsanto, Metro, Mckenzie, ADM, Indofood, Swiss RE, Bungee, dan Sygenta. Sejatinya, kebija-kan ini hanya memperluas akses pasar dan rantai perdagangan negara imperialis.

Celakanya lagi, keberadaan perusa-haan asing yang begitu banyak sekarang ini masih dirasa kurang cukup?. Di f o r u m A s i a P a c i f i c E co n o m i c Cooperation (APEC) pada awal Septem-ber 2012, di Vladivostok, Rusia, peme-rintah kembali mengemis-ngemis pada investor pangan untuk datang ber-duyun-duyun membuka kebun modal

“Makanan adalah sumber kekuasaan.” --Susan George--

Agus Pranata,Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)

ARAH

Politik Harga Pangan Yang Merugikan Rakyat

GOTONG ROYONG 3

Page 4: Gotong Royong Edisi II

di Indonesia.Kebijakan liberalisasi modal asing

yang umumnya disebut dengan pen-jajahan baru (neoliberalisme) ini mem-buka akses kepada perusahaan asing melalui paket undang-undang, misalnya UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 18/2004 tentang Perkebunan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No 29/2000 tentang Varietas Tanaman, dan sebagai-nya yang memberikan hak monopoli kepada perusahaan asing.

Nampaknya pemerintah lebih senang menafkahi perusahaan dan negara-negara maju (imperialis), ketimbang memenuhi hak konstitusio-nal rakyat. Hak rakyat untuk meman-faatkan sumberdaya dan menikmati sebesar-besarnya kemakmuran dari situ seperti yang diinginkan Pasal 33 UUD 1945, tak pernah jatuh ditangan rakyat. Antara 80-90% keuntungan produksi pangan dan distribusi pasar pangan kita mengalir kepada saudagar partikelir/ asing.

Karena ketergantungan atas pangan atau juga karena mental presidennya yang minderwijh (rendah) dihadapan perusahaan-perusahaan imperialis, maka ketika harga pangan naik seperti kenaikan harga kedelai kemarin, presiden hanya bisa memelas-melas dengan himbauan agar para kong-lomerat dan perusahaan pangan mau menurunkan harga?.

Membangun Pasar SendiriRakyat Indonesia banyak yang

dibikin pusing oleh kebijakan harga pangan ala pemerintah, ketika harga-harga pangan naik di dalam negeri, maka keran impor dibuka selebar-lebar-nya untuk menekan harga pasar. Ini sudah menjadi rutinitas Pemerintah SBY

sejak tahun 2004. Kekurangan bahan pangan selalu dijawab dengan impor, sekalipun kebijakan impor itu menendang produksi petani.

Kurangnya produksi per-tanian selalu dipersalahkan atas kenaikan harga pangan di dalam negeri. Menteri Pertanian Siswono mengatakan untuk mengendalikan harga pangan adalah dengan memperbesar produksi. Solusi ini seakan-akan benar menurut hukum ekonomi: permintaan dan penawaran. Tetapi, solusi semacam itu hanyalah pain-killer atau obat penghilang rasa sakit, yang tidak mengobati penyakit kapitalisme yang sesungguhnya tentang akumu-lasi (penimbunan) pangan oleh negara-negara imperialis. Bukan saja mengontrol harga pangan dunia dan membagi pasarnya diantara mereka, te-tapi juga menjadikan negara ag-raris seperti Indonesia sebagai tempat penghasil bahan baku

GOTONG ROYONG 4

murah.Pasar pertanian kita yang

berada dinegara lain, melemah-kan petani. Saat produksi per-tanian meningkat dan ekspor meningkat, harga-harga komo-diti pertanian pun berjatuhan. Misalnya ekspor hasil laut ke Prancis, seringkali dihabat dengan alasan higenis, standar ekspor, dll, sampai harganya jatuh. Padahal, disaat yang sama, Prancis justru meng-impor sampahnya ke negara kita.

Kita pemerintah bergan-tung pada impor untuk mene-kan harga, pertanian kita kehi-langan pasar di dalam negeri. Terlebih kebijakan impor bukan lagi sekedar menutupi cada-ngan pangan nasional, tetapi sudah jadi ATM konglomerat dan pemerintah untuk men-dapat untung dari transaksi per-dagangan jangka pendek. Sebab keran impor dibuka oleh Men-teri ketika panen petani baru selesai dilakukan, seperti kasus impor beras, kedelai, jagung, gula dan garam. Umumnya, ke-bijakan impor dicabut ketika para petani melakukan aksi menolak impor, dan begitu seterusnya, kekuasaan diman-faatkan untuk berdagang.

Banyaknya pangan impor sudah pasti mematikan pro-duksi lokal. 80% petani-petani di desa tidak memiliki daya beli yang tinggi, sehingga barang-barang yang diproduksi di kota tertinggal digudang saja atau memilih di lempar keluar negeri. Rakyat di desa tidak menikmati hasil produksi sen-diri , sebaliknya membeli barang-barang merek luaran. Sedangkan rakyat di kota meng-

Aksi Gerakan Nasional Pasal 33

UUD 1945Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Page 5: Gotong Royong Edisi II

... politik harga pangan akan menuju kemakmuran bila harga pertanian di desa diistimewakan lebih

tinggi, agar dapat mengangkat taraf hidup rakyat desa. Sedangkan rakyat di kota, mendapat subsidi pangan murah dari pemerintah. Membeli barang

pertanian dengan biaya sedikit tinggi, dan menjualnya dengan murah hanya mungkin jika

devisa pertanian berputar di dalam pasar sendiri, sebab keuntungan yang jatuh ditangan petani dan

rakyat, tetap tertanam di dalam negeri sendiri.

GOTONG ROYONG 5

konsumsi makanan-makanan impor.Bila mematok perdagangan dari ekspor-impor,

itu sama saja menjebak Indonesia kedalam pasar bebas yang menguntungkan negara imperialis. Kebijakan inilah yang dikehendaki oleh World Trade Organisation (WTO), agar Indonesia membuka pintu perdagangan selebar-lebarnya buat barang-barang impor. Meskipun akibatnya membuat industri pertanian kita akan “hancur-lebur” karena dijerat oleh berbagai perjanjian Free Trade Agreement (FTA) antar negara (bilateral), seperti Asean-China FTA, Asean-Korea FTA, Indonesia Jepang (EPA), Asean-Australia/New Zeland FTA, dll, pemerintah tetap memperluas kerjasama bilateral ini ke Uni Eropa dan AS.

Krisis ekonomi yang terjadi di AS dan Eropa, ternyata tidak membuat Pemerintah Indonesia belajar. Krisis yang menjalar dari satu negara ke negara lain di Eropa menggambarkan rapuhnya pasar mereka, dengan ekonomi yang sudah saling terhu-bung, membuat guncangan krisis di Yunani langsung terasa negara Eropa sekitarnya. Bahkan ekonomi China yang bergantung pada ekspor ke pasar Eropa, mengalami guncangan.

Karena itu, politik harga pangan harus diarahkan pada pembangunan pasar sendiri (pasar internal), keuntungan (devisa) pangan tidak akan lagi menguap keluar, melainkan berputar di dalam negeri. Keuntungan tersebut oleh negara digunakan sebesar-besarnya untuk menjamin pangan murah.

Membangun Organisasi-DistribusiHatta dalam tulisan “Politik Harga Beras Bagi

Kemakmuran Rakyat” menjawab, bahwa untuk menyokong politik kemakmuran rakyat--di desa dan di kota--perlu mengadakan “Organisasi-distribusi” sebagai kewajiban penting.

Harga pangan akan selalu dipermain-kan oleh kartel selama “Organisasi-distribusi” yang mengatur kebutuhan makanan dari dari daerah produsen di desa ke kota tidak dipegang oleh tampuk ekonomi rakyat semisal koperasi. Karena kalau dilihat dari keadaan sekarang, maka distribusi hasil produksi pertanian 70% sudah dipegang oleh konglomerat dan perusahaan ritel asing, yakni Carrefour, dll.

Organisasi-distribusi bukan saja akan memotong rantai perdagangan para pemodal, tetapi juga memenuhi kebutuhan barang-barang keperluan masyarakat di desa dan kota. Organisasi-distribusi

berperan untuk mengendalikan spekulasi pasar, dan mencegah adanya penimbunan pangan.

Disamping itu, dengan adanya jaminan produksi dan distribusi, maka tingkat penghidupan rakyat di desa dapat diangkat ketaraf yang lebih tinggi, sedangkan rakyat di kota mendapat pasokan bahan-bahan pertanian dari desa. Pengaturan semacam ini akan menjamin terbangunnya pasar sendiri/internal.

Organisasi-distribusi perlu berada da-lam satu payung dengan Bulog. Ini penting untuk mencegah pihak Bulog melakukan spekulasi harga seperti yang terjadi pada kasus impor beras. Dalam Organisasi-distribusi maka rakyat memainkan peran penting, tujuannya bukan mencari keuntungan, melainkan seperti yang dikatakan oleh Hatta, karena Allah untuk keperluan rakyat banyak.

Suatu politik harga pangan akan menuju kemakmuran bila harga pertanian di desa diistimewakan lebih tinggi, agar dapat mengangkat taraf hidup rakyat desa. Sedangkan rakyat di kota, mendapat subsidi pangan murah dari pemerintah. Membeli barang pertanian dengan biaya sedikit tinggi, dan menjualnya dengan murah hanya mungkin jika devisa pertanian berputar di dalam pasar sendiri, sebab keuntungan yang jatuh ditangan petani dan rakyat, tetap tertanam di dalam negeri sendiri.

Dengan begitu, kita dapat menjawab kelemahan swasembada pertanian di tahun 1980an yang tidak mendatangkan kemakmuran rakyat. Untuk itu, Organisasi-distribusi ini harus segera dibangun oleh pemerintah, karena Ia merupakan jalan keluar melawan kartel pangan dan terlebih lagi Ia merupakan mandat konstitusi agar pemerintah membangun ekonomi dengan prinsip kekeluargaan, sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Jika tidak, maka pertanian/pangan kita lebih banyak digarap menurut keperluan perusahaan asing, yaitu menjadikan petani sebagai produsen penampung bibit mereka dan penyedia bahan baku industrinya. Kaum tani jadi konsumen teknologi-teknologi dan produk industri perusahaan raksasa itu, dan rakyat banyak dijadikan pangsa pasar yang membeli kebutuhan pangannya dengan harga tinggi.

Seberapa besarpun kerja kerjas petani dan rakyat, atau seberapa giatpun pemerintah mengadakan perbaikan, Indonesia akan tetap tenggelam selama perusahaan asing diberi hak hidup lebih baik dari pada rakyat Indonesia. •••

Page 6: Gotong Royong Edisi II

MEROMBAK SISTEM AGRARIA WARISAN KOLONIAL SUDAH DIMULAI SEJAK AWAL MASA KEMERDEKAAN. Tekad kuat untuk melikuidasi tatanan agraria yang timpang, dengan meredistribusi tanah bagi buruh tani serta petani miskin, sudah muncul di kalangan pemerintahan, partai politik dan organisasi rakyat. Umumnya, tuntutan refomasi agraria pasca proklamasi kemerdekaan (1945-1950) muncul dari para petani penggarap tanah-tanah partikelir. Model partikelir ini sudah bermunculan sejak berlakunya Undang-undang Agraria produk kolonial Belanda tahun 1870 (Agrarische Wet 1870).

Reformasi Agraria di Awal KemerdekaanTuntutan para petani penggarap itu termanifestasi dalam rupa-

rupa bentuk perlawanan. Ada yang berupa protes sosial, pendudukan lahan, maupun perampasan. Perlawanan ini sudah bergelora jauh sebelum Indonesia merdeka.

Perlawanan rakyat juga mengarah pada tata kelola agraria yang berbasiskan sistem feodal. Salah satu contohnya adalah perjuangan berbagai organisasi rakyat yang terhimpun dalam gerakan anti swapraja pada tahun 1946 di daerah Surakarta. Gerakan ini bertujuan menghapus status Daerah Istimewa bagi Surakarta. Pasalnya, status daerah istimewa juga berdampak pada sistem kepemilikan tanah yang masih kental bercorak feodal. Gerakan sosial tersebut berhasil mendorong pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk menjalankan reforma agraria dengan menghapuskan hak istimewa beberapa desa perdikan milik Mangkunegaran di daerah Banyumas, Jawa Tengah.

Selanjutnya, pemerintah pusat mengeluarkan Undang-undang No. 13 tahun 1946, yang menegaskan: hak istimewa (atas tanah) tidak sesuai dengan cita-cita revolusi Indonesia. Dengan dinegasikannya hak istimewa tersebut, pemerintah punya wewenang mengambil sebagian tanah milik aparatur desa era Mangkunegaran dan kemudian membagikannya kepada para petani penggarap.

Namun, pemerintah tetap dikenai kewajian untuk memberi ganti-rugi kepada pemilik tanah dengan harga yang disepakati kedua pihak. Dari peristiwa sejarah ini terbukti bahwa reformasi agraria telah dilaksanakan pemerintahan Soekarno sejak awal kemerdekaan.

Gerakan anti swapraja pun tidak hanya menjadikan tanah-tanah perdikan milik aparat Mangkunegaran untuk ‘dibidik’, tetapi juga menuntut penyerahan pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan milik dari Kasunanan dan Mangkunegaran kepada masyarakat dan kaum buruh. Pergerakan rakyat Surakarta tersebut berbarengan dengan gerakan-gerakan serupa di seantero nusantara, yang bertujuan mengakhiri sistem agraria peninggalan feodal dan kolonial.

Contoh lain reformasi agraria yang dilakukan pemerintah Soekarno pada masa revolusi kemerdekaan adalah dikeluarkannya UU nomor 13 tahun 1948 yang membenahi peraturan sewa tanah konversi milik bangsawan keraton Yogyakarta. UU ini sendiri diajukan oleh suatu panitia yang terdiri dari wakil-wakil pemerintah dan organisasi tani—diantaranya: Barisan Tani Indonesia (BTI), yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Aturan perundang-undangan ini bertujuan mengatur ulang sistem upeti berupa uang kasepan dan uang dongklakan yang biasa dibayar rakyat penggarap kepada pihak keraton.

UPAYA

oleh HISKI DARMAYANAKader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

(GMNI) Cabang Sumedang dan Alumnus Antropologi Universitas Padjajaran

(UNPAD) Bandung

INSP

IRA

SI

GOTONG ROYONG 6

DI ERA BUNG KARNOREFORMASI AGRARIA

Page 7: Gotong Royong Edisi II

melakukan sabotase-sabotase terhadap pelaksanaan land reform.

Disisi lain, Presiden Soekarno mendukung penuh pelaksanaan land reform yang sempat tersendat itu. Dalam pidato perayaan HUT RI tahun 1963 yang berjudul ‘Jalannya Revolusi Kita’ (Jarek), Soekarno menegaskan pentingnya pelaksanaan reformasi agraria atau land reform demi tercapainya cita-cita revolusi nasional.

“Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi,” kata Bung Karno dalam pidatonya tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Bung Karno juga berkata: “Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!”

Buah dari usainya tahapan pertama reformasi agraria yang dimulai tahun 1963 ialah tersusunnya daftar tanah yang bisa diredistribusikan seluas 337.000 hektar di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Kemudian pada bulan Desember 1964 dan Januari 1965, pemerintah melalui Menteri Agraria melaporkan keber-hasilan proses “redistribusi tanah-tanah lebih” di Jawa, Madura, Lombok, Bali dan Sumbawa. Tanah yang sudah dire-distribusi adalah tanah negara dengan luas 454.966 hektar dan dibagikan kepada 568.862 orang petani penggarap.

Pemerintah Soekarno sebenarnya berencana melanjutkan program reformasi agraria hingga tuntasnya redistribusi tanah bagi seluruh petani miskin dan penggarap di negeri ini. Namun, kekuatan kontra revolusi yang dipelopori militer-AD dan disokong penuh kaum imperialis Barat telah menghancurkan seluruh proses ini pada tahun 1965-1966.

Soekarno pun jatuh. Seluruh proyek land reform yang dirancang sebagai bagian dari upaya mewujudkan masya-rakat sosialis Indonesia sudah hancur total. Indonesia kembali memasuki proyek rekolonialisme. Apa yang ditentang keras oleh Soekarno, yakni tanah menjadi alat penghisapan, terus terjadi hingga sekarang. •••

5/1960 memprioritaskan redistribusi tanah bagi petani miskin, menegaskan fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam sektor agraria. Ini merupakan kemenangan kecil bagi kaum tani miskin.

Redistribusi tanah yang diamanatkan UUPA No.5/1960 dilaksanakan melalui tiga tahap:1) Berdasarkan Peraturan Pemerintah

(PP) No. 10 tahun 1961, yang merupakan aturan turunan UU No.5/1960, dilakukanlah pendaftaran tanah di seluruh teritori RI;

2) Setelah dilakukan pendaftaran tanah, t a h a p a n s e l a n j u t ny a a d a l a h penentuan tanah yang dikategorikan “tanah lebih” serta pembagiannya kepada petani tak ber tanah berdasarkan PP No 224 tahun 1961;

3) Di tahap ketiga sampai pada pelaksanaan bagi hasil produksi pertanian yang berdasarkan UU No.2/1960 tentang perjanjian bagi hasil (PBH).Sebagian besar tahapan-tahapan

reformasi agraria itu baru dimulai pada tahun 1963. “Molornya” waktu pelaksa-naan reformasi agraria itu, antara lain, karena perjuangan merebut kembali Irian Barat dari tangan kolonialis Belanda pada kurun waktu 1961-1963. Selain itu, ketidak siapan birokrasi dan belum dicabutnya status negara dalam keadaan darurat perang (SOB) oleh militer turut memper-lambat jalannya land reform.

Kelambanan dalam penerapan UU PA No.5/1960 memicu ketidaksabaran massa rakyat tani. Dengan diorganisir BTI dan PKI, kaum tani penggarap bertindak langsung dengan menduduki lahan-lahan milik perkebunan swasta dan negara serta ‘tuan tanah’ yang masih tersisa di pedesaan Jawa. Para tuan tanah itu merupakan sisa-sisa kelas feodal yang sebagian bertransformasi menjadi ulama dan berafiliasi pada Nahdlatul Ulama (NU). Adapula kalangan priyayi yang masih menjadi ‘penguasa’ tanah sekaligus pegawai birokrasi dan umumnya berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia (PNI). Polarisasi politik ini yang menyebabkan kekuatan Islam (NU) dan PNI konservatif, dengan dukungan militer-Angkatan Darat (AD), sering

Reformasi Agraria pasca Revolusi Kemerdekaan

Pasca revolusi kemerdekaan, pergolakan rakyat menuntut reformasi agraria secara konsisten dan menyeluruh pun tiada berhenti. Pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959), terjadi pendudukan lahan-lahan perkebunan eks-kolonial Eropa, khususnya di daerah Sumatera, yang dilakukan oleh kaum tani dan buruh perkebunan yang diorganisir oleh BTI dan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Se-Indonesia). Seringkali upaya-upaya ini terbentur oleh represi pihak militer yang disokong elit politik, khususnya Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Dua kelompok ini pula yang mempelopori pemberontakan PRRI/Permesta yang didukung sepenuhnya oleh imperialis Amerika.

Situasi ini memicu pemerintahan Soekarno untuk kembali mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang pendudukan dan penggarapan lahan-lahan eks-kolonial. Regulasi itu adalah UU Darurat No. 8 tahun 1954. Aturan perundang-undangan ini menegaskan bahwa tindakan pendudukan dan penggarapan lahan eks-perusahaan perkebunan dan tanah partikelir Eropa oleh rakyat bukanlah perbuatan melanggar hukum.

Sejatinya, UU Darurat No. 8 tahun 1954 merupakan legalisasi secara tak langsung bagi aksi-aksi massa rakyat yang menduduki dan menggarap lahan bekas kolonial. Keluarnya UU ini tidak hanya memperhebat pendudukan lahan perkebunan eks-kolonial, tapi juga aksi-aksi pengambil alihan pabrik/perusahaan milik Belanda dan modal asing lainnya oleh kaum buruh.

Dihentikannya sistem demokrasi liberal melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 m e m b e r i k a n n u a n s a b a r u b a g i perjuangan reformasi agraria di masa pemerintahan Soekarno. Pada era yang lebih dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin inilah lahir momen yang sangat bersejarah, yakni diundangkannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).

UUPA No. 5/1960 merupakan produk hukum yang mengakhiri hukum agrarian kolonial: UU Agraria 1870. UUPA No.

Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas,

sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.

>> BUNG KARNOINSPIRASI

GOTONG ROYONG 7

Page 8: Gotong Royong Edisi II

GOTONG ROYONG 8KABAR RAKYAT

Masyarakat Brang Ene Menolak Kehadiran Perusahaan Tambang

SUMBAWA BARAT | desa Mura, kecamatan Brang Ene, Sumbawa Barat, sudah mem-bulatkan tekad untuk menolak kehadiran perusahaan tambang. Keputusan ini diambil melalui rapat akbar yang digelar di Aula Desa, Kamis (13/9/2012).

Kepala desa Mura, Irha-muddin, yang langsung me-mimpin rapat akbar ini. Satu persatu warga diberi kesempatan menyampaikan pendapat. Alhasil, setelah melalui proses musya-warah, seluruh warga bermufakat

Masyarakat

untuk menolak kehadiran perusa-haan tambang.

Mayoritas warga ber-pendapat, kehadiran perusa-haan tambang PT. Anugera Karya Agera Sentosa (AKAS) dapat mengganggu ekologi dan merusak pertanian masyarakat sekitar.

Maklum, sebelum keha-diran PT. AKAS ini, warga sudah pernah merasakan dampak akibat kehadiran perusahaan tambang. Saat itu, yang beroperasi adalah Primkopad. Akibatnya, dua kali warga mengalami gagal panen.

Selain itu, rencana akti-vitas tambang PT. AKAS ini tidak pernah mendapat per-setujuan rakyat setempat. Padahal, salah satu syarat keluarnya surat ijin pertam-bangan adalah tidak adanya penolakan warga masyarakat.

Usia penyampaian pen-dapat, warga ramai-ramai membubuhkan tanda-tangan pada berita acara yang diedar-kan. Katanya, tanda-tangan ini akan menjadi bukti sikap warga menolak kehadiran PT. AKAS.

Disamping itu, warga sendiri sudah pernah meng-gelar aksi ke kantor Bupati Sumbawa Barat. Hasilnya, Bupati meminta warga meng-gelar referendum. Bentuk legal formal referendum itu adalah tanda-tangan. Untuk diketahui, area lokasi pertam-bangan PT. AKAS direncana-kan mengcakup 5 desa di kecamatan Brang Ene, yakni Mura, Manemeng, Kaliman-tong, Mujahidin, dan Lampok. Sebagian besar warga desa menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. (Ulfa Ilyas)

Dianggap Ingkar Janji, Kapolres Didemo Petani Suku Anak Dalam

JAMBI | Ratusan petani Suku Anak Dalam (SAD) menggelar aksi massa di depan Markas Polres Batanghari, Jumat (4/9/2012). Petani Suku Anak Dalam menganggap Kapolres Batanghar i mengingkar i janjinya perihal pembebasan tiga warga SAD 113.

Sebelumnya, pada 30 Agustus 2012 lalu, saat petani SAD 113 menggelar aksi massa di Mapolres, Kapolres Batang-hari berjanji akan segera mem-bebaskan tiga orang petani SAD tersebut.

Aksi massa ini mendapat penghadangan oleh aparat ke-polisian. Meski begitu, petani yang menumpangi puluhan kendaraan ini tak merasa gentar. Mereka terus mene-robos dan bergerak menuju Mapolres.

Ketegangan kembali ber-lanjut di depan Mapolres. Belum sempat menggelar orasi-orasi, massa aksi sudah dibubarkan oleh polisi. Petani SAD pun berusaha memberikan perlawanan seadanya.

“kami tidak akan pulang sebelum teman kami yang ditahan dibebaskan, karena penangkapan warga SAD 113 tidak beralasan,” kata salah seorang warga.

Bagi petani SAD, penang-kapan ketiga tersebut tidak beralasan. Serikat Tani Nasional (STN), organisasi tempat bernaungnya para petani SAD, menuding polisi sengaja mengkriminalisasi petani SAD.

Petani baru merasa te-nang setelah ada janji

Kapolres mengenai pem-bebasan ketiga petani. Massa aksi pun bergeser ke tempat l a i n , s a m b i l m e n u n g g u pembebasan rekan-rekannya.

Sekitar pukul 16.00 WIB, k e t i g a p e t a n i t e r s e b u t dibebaskan. Massa aksi pun menyambut rekannya dengan suka-cita. (Joko Supriyadi Nata)