gotong royong edisi 3

8
ORUPSI, dewasa ini, merupakan isu besar yang menjadi keprihatinan K umum. Isu ini kian menguasai topik pembicaraan berkat sorotan media massa dan opini para tokoh nasional. Sampai ada kesimpulan; bahwa korupsi merupakan akar penyebab, atau biang kerok, dari segala kemiskinan yang kita saksikan atau alami sehari-hari. Pertanyaan bagi kami adalah, benarkah kesimpulan tersebut di atas? Apakah benar, dalam logika ini, bila korupsi berhasil diberantas dari bumi Indonesia, maka otomatis rakyat akan menjadi sejahtera? Pertama sekali harus diakui bahwa korupsi memang ada, bahkan semakin banyak terjadi dan makin terang-terangan. Kenyataan ini tidak dapat dibantah, sebagaimana tak seorangpun dapat membantah realitas kemiskinan yang makin akut melanda rakyat. Oleh karena itu, kita mendukung tindakan tegas yang membawa efek jera terhadap koruptor. Tetapi, sebelum berpikir lebih jauh tentang hukuman terhadap koruptor, kami ingin meng- ajak pembaca untuk mendalami pemahaman terhadap korupsi dalam kaitan dengan tatanan sosial yang ada sekarang. Di atas tatanan sosial ini, korupsi yang kita persoalkan tumbuh dan menjadi sistemik. Pemahaman yang mendalam dibutuh- kan, agar perhatian terhadap korupsi tidak terbatas pada kasus demi kasus, melainkan harus mencapai akar permasalahan. Selain itu, pema- haman ini pula yang akan membuka pintu jawaban bagi pertanyaan di atas. Situasi obyektif, tempat kebobrokan bernama korupsi itu tumbuh,sering kami sampaikan dalam berbagai kesempatan. Pun demikian, perkenankan kami kembali mengulasnya sekilas untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang pokok bahasan kali ini. Situasi obyektif yang kami maksud adalah penguasaan sumber daya ekonomi oleh modal asing di berbagai lapangan, mulai dari pertambangan, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, perbankan, asuransi, industri otomotif, industri telekomunikasi, dan lain-lain. Singkatnya kami menyebut penguasaan ini dengan istilah; imperialisme. Korupsi, Kemiskinan dan Masalah Imperialisme @prd_indonesia partairakyatdemokratik www.prd.or.id EDISI#3 OKTOBER 2012 POSISI 1-2 | ARAH 3-4 | INSPIRASI 5-7 | KABAR RAKYAT 8 | Korupsi, Kemiskinan dan Masalah Imperialisme Korupsi, Imperialisme dan Penyelesaiannya Anti-Korupsi dan Anti-Kolonialisme Soekarno PRD LAMPUNG: Stop Kriminalisasi Perjuangan Petani PRD Serukan Reformasi Agraria untuk Petani Kesederhanaan Pemimpin Di Awal Berdirinya Republik

Upload: partai-rakyat-demokratik

Post on 28-Mar-2016

294 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Terbitan Dwi-mingguan Partai Rakyat Demokratik

TRANSCRIPT

Page 1: Gotong Royong Edisi 3

ORUPSI, dewasa ini, merupakan isu besar yang menjadi keprihatinan K umum. Isu ini kian menguasai topik

pembicaraan berkat sorotan media massa dan opini para tokoh nasional. Sampai ada kesimpulan; bahwa korupsi merupakan akar penyebab, atau biang kerok, dari segala kemiskinan yang kita saksikan atau alami sehari-hari.

Pertanyaan bagi kami adalah, benarkah kesimpulan tersebut di atas? Apakah benar, dalam logika ini, bila korupsi berhasil diberantas dari bumi Indonesia, maka otomatis rakyat akan menjadi sejahtera?

Pertama sekali harus diakui bahwa korupsi memang ada, bahkan semakin banyak terjadi dan makin terang-terangan. Kenyataan ini tidak dapat dibantah, sebagaimana tak seorangpun dapat membantah realitas kemiskinan yang makin akut melanda rakyat. Oleh karena itu, kita mendukung tindakan tegas yang membawa efek jera terhadap koruptor.

Tetapi, sebelum berpikir lebih jauh tentang hukuman terhadap koruptor, kami ingin meng-

ajak pembaca untuk mendalami pemahaman terhadap korupsi dalam kaitan dengan tatanan sosial yang ada sekarang. Di atas tatanan sosial ini, korupsi yang kita persoalkan tumbuh dan menjadi sistemik. Pemahaman yang mendalam dibutuh-kan, agar perhatian terhadap korupsi tidak terbatas pada kasus demi kasus, melainkan harus mencapai akar permasalahan. Selain itu, pema-haman ini pula yang akan membuka pintu jawaban bagi pertanyaan di atas.

Situasi obyektif, tempat kebobrokan bernama korupsi itu tumbuh,sering kami sampaikan dalam berbagai kesempatan. Pun demikian, perkenankan kami kembal i mengulasnya sekilas untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang pokok bahasan kali ini.

Situasi obyektif yang kami maksud adalah penguasaan sumber daya ekonomi oleh modal asing di berbagai lapangan, mulai dari pertambangan, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, perbankan, asuransi, industri otomotif, industri telekomunikasi, dan lain-lain. Singkatnya kami menyebut penguasaan ini dengan istilah; imperialisme.

Korupsi, Kemiskinan dan Masalah Imperialisme

@prd_indonesia

partairakyatdemokratik

www.prd.or.id

EDISI#3OKTOBER2012

POSISI 1-2| ARAH 3-4| INSPIRASI 5-7| KABAR RAKYAT 8|

Korupsi, Kemiskinan dan Masalah Imperialisme

Korupsi, Imperialisme dan Penyelesaiannya

Anti-Korupsi dan Anti-Kolonialisme Soekarno

PRD LAMPUNG: StopKriminalisasi Perjuangan Petani

PRD Serukan Reformasi Agraria untuk Petani

Kesederhanaan Pemimpin Di Awal Berdirinya Republik

Page 2: Gotong Royong Edisi 3

Menemukan Kembali Jalannya Revolusi Kita

POSISI

triliun rupiah. Menilik dari banyaknya perusahaan asing yang beroperasi, dan besarnya cakupan kekuasaan mereka, kami menilai angka tersebut cukup masuk akal.

Dari gambaran ini, sedikit banyak pembaca dapat menyimpulkan maksud dari tulisan kami, bahwa terdapat per-soalan imperialisme yang “mengkorup” kekayaan negara dalam jumlah yang sangat besar. Penjarahan ini tidak pernah diperhatikan oleh pemerintahan sekarang, atau, tidak sebesar perhatian terhadap korupsi APBN atau APBD yang nilainya jauh lebih kecil.

Pemberantasan korupsi versi peme-rintah, kalaupun dijalankan dengan sebaik-baiknya, dengan sesempurna-sempurnanya, adalah langkah penegak-kan hukum. Artinya, hanya tindak pen-jarahan kekayaan negara secara ‘melang-gar hukum’ yang akan ‘diberantas’. Sedangkan penjarahan kekayaan negara oleh perusahaan-perusahaan asing, karena telah ‘dibenarkan’ oleh Undang-Undang, akan tetap dibiarkan.

Kita tidak ingin, pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan pemerintah sekedar jadi langkah penga-manan bagi beroperasinya modal agar akumulasinya tidak terganggu oleh tikus-tikus birokrasi sipil maupun militer. Apalagi isu korupsi sekadar dipakai untuk pencitraan politik dan alat pecah-belah di antara kekuatan nasional.

Bila korupsi disebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), maka imperialisme melebihi itu. Imperialisme tidak hanya mencuri kekayaan negara namun juga mematikan potensi pengembangan suatu bangsa untuk dapat hidup berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Dari pembunuhan terhadap potensi pengembangan bangsa ini pula, imperialisme telah mencetak makhluk yang korup di dalam sistem yang juga korup.

Sidang pembaca mungkin pernah mendengar nama sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Ia mengakan bahwa korupsi merajalela akibat “konsumsi yang lebih besar daripada produksi”. Karenanya, kita harus membangun kekuatan politik baru, yang bisa menghentikan penjara-han kekayaan nasional oleh asing, sehingga rakyat punya daya produktif dengan modal yang cukup. Selain itu, organisasi pemerintahan juga harus dibuat terbuka dan sedemokratis mungkin agar kontrol rakyat dapat berjalan. ***

Ketika Jendral Suharto naik ke tampuk kekuasaan dengan menyingkir-kan Bung Karno tahun 1967, PT. Freeport Mc Mo ra n ( Fre e p o r t ) l a n g s u n g menguasai cadangan emas dan tembaga di Papua. Kejadian ini menyusul kesepakatan Konferensi Jenewa yang melibatkan ekonom-ekonom Orde Baru dan para bos perusahaan raksasa asing. Mereka membagi-bagi tanah air Indonesia layaknya potongan roti untuk disantap. Sedangkan pemiliknya, Rakyat Indonesia, hanya disisakan remah-remah penderitaan.

Penguasaan oleh asing kian menjadi-jadi sejak pintu liberalisasi dibuka total akhir tahun 1997. Ketika itu presiden S u h a r to, m e wa k i l i p e m e r i n t a h Indonesia, dengan direktur Lembaga Moneter Internasional (IMF), Michel Camdessus, menandatangani nota kese-pakatan yang berisi kewajiban Indonesia melakukan liberalisasi ekonomi.

Pemerintahan-pemerintahan se-sudah Suharto menjalankan kesepaka-tan tersebut dengan membuat berbagai Undang-Undang yang melegitimasi perampasan kekayaan nasional oleh asing. Bahkan Pasal 33 UUD 1945 diamandemen untuk kepentingan itu. Ada puluhan Undang-Undang berbau liberal yang telah disahkan sejak 1998 hingga sekarang, seperti UU Minerba, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan lain-lain. Penghisapan pun semakin masif, perusahaan-perusahaan asing semakin gencar merebut lahan dan perairan, merebut pasar, dan melakukan investasi untuk mengeruk laba yang sebesar-besarnya.

Pertanyaan kemudian adalah, berapa jumlah kekayaan nasional yang dikeruk oleh perusahaan-perusahaan asing ter-sebut? Berapa kerugian nasional akibat kebijakan perdagangan bebas yang menghancurkan daya produktif rakyat di desa maupun di kota?

Dalam batas pengetahuan kami, tidak pernah ada perhitungan yang pasti tentang jumlah kerugian dimaksud. Sebagai contoh, hanya dikatakan bahwa cadangan emas di gunung Grasberg, Timika, Papua, adalah yang terbesar di dunia.

Sedangkan cadangan tembaganya terbesar ketiga di dunia. Namun sebuah studi memperkirakan nilai kekayaan nasional yang mengalir keluar negeri per tahun tak kurang dari 14.300 triliun rupiah, atau sekitar sepuluh kali lipat dari APBN tahun 2012 yang sebesar 1.400

Page 3: Gotong Royong Edisi 3

ARAH

ORUPSI! Kata inilah yang sekarang sedang naik daun. Banyak yang bilang, korupsi merupakan masalah Kpokok bangsa ini. Yang lainnya lagi

bilang, korupsi telah berubah menjadi masalah sistemik.

Survei Political and Economic Risk Consultancy (PRC) menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik. S e d a n g k a n l e m b a g a Tr a n s p a r a n s i Internasional (TI) menempatkan indeks persepsi korupsi Indonesia di urutan ke-100 dari 180 negara.

Gara-gara itu banyak orang menempatkan Indonesia sebagai “darurat korupsi”. Ini pula yang dijadikan sebagai indikasi Indonesia sebagai “negara gagal (failed state). Karena itu, banyak orang menyerukan “perang melawan korupsi”.

Korupsi dan KemiskinanBanyak yang menempatkan korupsi sebagai

penyebab utama kemiskinan. Salah satunya adalah Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan, HS Dillon.

Menurut HS Dillon, korupsi itu esensinya koruptor mencuri uang rakyat. Akibatnya, rakyat tak bisa beranjak dari kemiskinan. Selain itu, kata dia, meski sudah banyak dana yang digelontorkan untuk penanggulangan kemiskinan, tetapi angka kemiskinan tetap saja terus melonjak. Kenapa? Karena sebagian besar anggaran itu dikorup oleh pejabat.

Korupsi juga mendorong apa yang disebut “ekonomi biaya tinggi”. Katanya, ekonomi biaya tinggi ini memojokkan dunia bisnis. Akibatnya, mereka pun terpaksa menekan upah buruh. Selain itu, ekonomi biaya tinggi juga menghalangi investasi, sehingga penciptaan lapangan kerja menjadi terhambat.

Benarkah Korupsi Penyebab Utama Kemiskinan?Korupsi memang harus dikutuk. Dan pejabat korup memang

harus dihukum sekeras-kerasnya karena melanggar moral publik. Akan tetapi, kalau menyatakan korupsi sebagai penyebab kemiskinan, tunggu dulu.

Ekonom dari Focus on the Global South, Walden Bello, mengingatkan, korupsi tidak pernah menjadi penyebab utama kemiskinan. Baginya, kemiskinan selalu bersumber pada kebijakan ekonomi politik.

Dalam kasus Indonesia, kebijakan pemerintah yang berbau neoliberal, yang mendorong liberalisasi perdagangan, peng-hapusan subsidi, privatisasi, komoditifikasi layanan dasar rakyat, prioritas pada pembayaran utang luar negeri, adalah penyebab utama kemiskinan rakyat Indonesia.

Ini sekedar sebuah ilustrasi sederhana. Petani memang dirugikan oleh korupsi dana bantuan pertanian. Namun, petani jelas akan dimiskinkan oleh kebijakan impor pangan. Sekalipun dana bantuan tidak ada, petani masih bisa berproduksi. Toh, selama ini petani berproduksi tanpa bantuan pemerintah. Namun, kalau pasar dalam negeri dikuasai pangan impor, kemana petani menjual hasil produksinya?

Korupsi anggaran pembangunan memang berpengaruh. Akan tetapi, kita harus menyadari, penguasaan korporasi asing terhadap Sumber Daya Alam (SDA) kita justru menghilangkan ribuan triliun, bahkan mungkin puluhan ribu triliun, potensi pendapatan negara.

Atau, kita pake gambaran angka-angka. Temuan ICW pada tahun 2011 mengenai kebocoran anggaran negara akibat korupsi sebagai berikut: pendidikan sebesar 115,7, miliar rupiah; keuangan daerah 417,4 miliar rupiah; sosial kemasyarakatan 299 miliar rupiah; transportasi 88,7 miliar rupiah; kepemerintahan 26,9 miliar rupiah; kesehatan 26,8 miliar rupiah; pemilu atau pilkada dan politik atau legislasi 47,7 miliar rupiah; pertanian 17,7 miliar rupiah; energi atau listrik 70 miliar rupiah; dan kepemudaan atau organisasi 42,3 miliar rupiah. Kalau ditotalkan, jumlahnya tak lebih 1,2 triliun rupiah.

Nah, bandingkan kebocoran keuangan negara akibat penguasaan asing terhadap kekayaan SDA. Ambil contoh, penguasaan Total E&P Indonesie terhadap blok Mahakam. Catatan IRESS menyebutkan, sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50% (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi. Itu senilai dengan 100 miliar USD atau setara dengan 1000 triliun rupiah. Ini baru satu blok Migas, lalu bagaimana dengan blok Migas lainnya?

Lihat pula kasus Freeport. Laporan tahunan Freeport Indonesia pada tahun 2010 memberi gambaran berikut: cadangan emas sebesar 55 juta ons, tembaga 56,6 juta pounds, dan perak 180,8 juta

Korupsi, Imperialisme dan Penyelesaiannya

oleh Rudi Hartono, kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Page 4: Gotong Royong Edisi 3

Selama masih ada praktek eksploitasi berbentuk imperialisme, persoalan korupsi di Indonesia tidak akan tuntas. Korupsi hanya bisa dikurangi kalau ada kerja berproduksi.“

Imperialisme menghilangkan syarat-syarat kita untuk berproduksi; seluruh kekayaan alam, seperti minyak, gas, batubara, nikel, bauksit, hasil hutan, hasil pertanian, dan lain-lain, yang mestinya menjadi modal membangun industri, justru tercaplok oleh korporasi-korporasi dari negeri-negeri imperialis.

Untuk mencapai tujuannya, tak jarang imperialis itu memanfaatkan elit-elit bangsa kita. Mereka mengiming-iming persenan, kekayaan berlimpah tanpa harus bekerja, asalkan bisa membantu melancarkan kepentingan bisnis mereka. Praktek ini menyuburkan apa yang disebut “kapitalis-birokrat” dan “kapitalis-komprador”. Ini pula yang menyebabkan sistem politik kita kebanyakan dihuni koruptor.

Dengan demikian, selama masih ada p ra k te k e k s p l o i t a s i b e rb e n t u k imperialisme, persoalan korupsi di Indonesia tidak akan tuntas. Bagi kita, korupsi hanya bisa dikurangi kalau ada kerja berproduksi.

Demokrasi Politik, Ekonomi, Sosial-BudayaBagi saya, strategi pemberantasan

korupsi di Indonesia tak bisa menjauh dari perjuangan mengubah relasi ekonomi-politik. Kalau relasi ekonomi-politik tak berubah, praktek korupsi akan jalan terus.

Perubahan ekonomi-politik ini harus dicapai dalam tiga aspek: demokrasi di lapangan ekonomi, demokrasi di lapangan politik, dan demokrasi di lapangan sosial-budaya.

Demokrasi di lapangan ekonomi berarti mendorong massa-rakyat bisa mengakses faktor-faktor produksi. Saya beranggapan, pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 bisa menjadi jembatan menuju demokrasi ekonomi.

Di sini, produksi akan dijalankan sebagai usaha bersama. Tidak ada penguasaan alat produksi di tangan segelintir orang, apalagi kapitalis asing. Dengan demikian, tidak dimungkinkan terjadi penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang.

Demokrasi di lapangan politik bermakna penguatan partisipasi rakyat dalam mengontrol dan menjalankan

ons di tambang Grasberg. Kalkulasi IRESS memperkirakan, total cadangan itu senilai dengan 500 milyar USD atau 4000 trilyun rupiah.

Itu baru dua contoh. Bagaimana dengan batubara, nikel, bauksit, hutan, sawit, pertanian, kelautan, dan lain-lain? Pendek kata, kekayaan alam kita yang sangat besar, yang mestinya bisa memakmurkan rakyat kita, justru dijarah habis-habisan oleh korporasi asing. Itulah yang disebut “neokolonialisme”.

Korupsi dan NeoliberalismeProfessor Koentjaraningrat pernah

membuat penelitian untuk mengetahui keterkaitan mentalitas masyarakat dan praktek korupsi. Alhasil, antropolog besar Indonesia itu menemukan kesimpulan: ada beberapa mentalitas yang mendorong manusia berperilaku koruptif, yakni suka menerabas, cari untung sendiri, jalan pintas, dan sebagainya.

Pramoedya Ananta Toer membuat kesimpulan lebih maju lagi. Menurut dia, korupsi sudah ada sejak jaman feodalisme. Praktek korup jaman Feodal itu berbentuk penyerahan upeti. Begitu kolonialisme masuk, praktek korupsi itu tidak dibabat, melainkan dibiarkan tetap hidup guna mengikat loya l i tas pembesar-pembesar pribumi.

Terkait praktik korupsi sekarang, Pramoedya punya penjelasan sangat gamblang: korupsi terjadi karena konsumsi lebih besar dari produksi. Karena itu, bagi Pram, selama produksi dan konsumsi tidak seimbang, maka selama itu korupsi akan jalan terus. Pendek kata, korupsi hanya bisa ditumpas kalau kita berproduksi.

Nah, saya berusaha meminjam kacamata Pram untuk menjelaskan praktek korupsi di Indonesia hari ini. Di satu sisi, di lapangan ekonomi, semua faktor-faktor produksi dikuasai oleh segelintir kapitalis, terutama kapitalis asing. Akibatnya, mayoritas massa-rakyat dipisahkan dari faktor-faktor produksi. Lebih lanjut lagi, bangsa Indonesia tidak bisa berproduksi.

Di sisi lain, karena kebutuhan pasarnya, negeri-negeri imperialis membombardir kita dengan berbagai propaganda konsumerisme. Bahkan, kalau pun anda tak punya uang, silahkan membuat kartu kredit. Pendek kata, kapitalisme memaksa kita berbelaja di luar kemampuan kita.

kekuasaan politik. Partisipasi rakyat akan memangkas b irokrat isme. Partisipasi rakyat juga akan menghilang-kan praktek penyalahgunaan kekuasaan oleh segelintir elit.

Salah satu bentuk konkretnya: anggaran partisipatoris. Dengan model penganggaran berbentuk “anggaran partisipatoris”, praktek mafia anggaran, korupsi, dan berbagai bentuk manipulasi lainnya bisa diberantas. Rakyat akan mengetahui berapa jumlah anggaran mereka, memutuskan penggunaannya, dan mengontrol langsung pengalokasian anggaran itu.

Demokrasi di lapangan budaya berarti penghancuran budaya feodal, konsumerisme, dan budaya-budaya tak produktif lainnya. Kita tahu, mental feodal sangat berjasa dalam melanggeng-kan praktek korupsi. Begitu pula dengan praktek konsumerisme. Karena itu, kita h a r u s m e m p ro m o s i k a n b u d aya progressif: tolong-menolong, gotong-royong, solidaritas, dan kesederhanaan.

Demokrasi di tiga lapangan di atas bisa disederhanakan atau disesuaikan dengan konsep Trisakti Bung Karno: berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dalam budaya.

Namun, transformasi sosial di tiga lapangan itu (ekonomi, politik, dan sosial-budaya) tidak akan mungkin terjadi kalau kekuasaan tak di tangan kita. Kita dituntut untuk merebut kekuasaan politik lebih dulu. Sebab, dengan kekuasaan politik, kita bisa mendorong serangkaian kebijakan dan regulasi untuk memastikan tiga transformasi sosial itu bisa berjalan. ***

Page 5: Gotong Royong Edisi 3

korup. Karena itu, kaum kabir menjadi musuh dari revolusi nasional. Mereka menjadi batu penghalang cita-cita proklamasi. Sebabnya:

Pertama, korupsi merupakan karak-ter kolonial. Bangsa asing memperkenal-kan birokrasi koruptif. Cara kolonial mengeksploitasi dan menjalankan biro-krasinya yang korup seperti VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) —yang dulu diketahui bangkrut karena korupsi—masih tertanam kuat di dalam sistem birokrasi kita.

Dimasa pra kemerdekaan, pangreh praja, bupati, dan pegawai Hindia-Belanda lainnya, bekerja setali tiga uang dengan kolonial. Upeti dan pungli di-tarik paksa pegawai-pengawai pribumi. Ong Hok Ham menyebutnya “korupsi liar”. Priyayi yang semakin gila harta dan kehormatan Belanda hidup glamor dengan cara korupsi. Gaya hidupnya sama dengan masyarakat borjuis di Eropa.

Sekalipun kolonial Belanda takluk secara fisik, prilaku koruptif berlangsung turun-temurun. Pegawai pribumi (ambtenaar) masih terbiasa bekerja menarik “uang pelicin” dalam setiap pekerjaannya. Sejak dulu, pegawai dimasa kolonial tidak tahu bagaimana melayani rakyat dengan baik, jabatannya hanya prestige ketimbang dilihatnya sebagai tanggung-jawab sosial.

Sistem birokrasi kolonial sangat diskriminatif. Derajat bangsawan begitu tinggi daripada pribumi. Pelayanan sosial dan hukum untuk pribumi tidak sebaik golongan Holland. Semua itu dilakukan untuk tujuan menumpuk keuntungan.

Sekarang pun, diskriminasi sosial sangat mencolok dalam birokrasi peme-rintah. Kedudukan rakyat miskin diping-girkan, sedangkan orang kaya diberi pelayanan istimewa. Birokrasi semacam ini lahan subur tubuhnya praktek korupsi, karena dimana-mana birokrasi dapat berlaku lacung.

Kedua, korupsi bagian dari perju-angan anti-kolonialisme. Dalam Amanat Penderitaan Rakyat (1959), Bung Karno mengatakan bahwa lukidasi masyarakat kolonial adalah syarat-mutlak untuk merintis jalan menuju pembentukan

ERBUATAN korupsi masih selalu disederhanakan sebagai hitam-Pputihnya pri laku manusia .

Semata-mata dipandang sebagai produk moril (mental) manusia yang mem-perkaya diri dengan cara merampok uang negara. Seolah semuanya berpulang pada kejujuran.

Di Indonesia pakar seperti W.J.S. Poerwadarminta, Erry R. Hardja-pamekas, Nur Syam, Goenawan Wanaradja, dll, sering menyempitkan makna korupsi sebagai perbuatan curang manusia semata, yang merugikan keuangan negara. Selama korupsi dipandang sebatas “penyakit jiwa” yang menjadi duri dalam kekuasaan, maka korupsi tetap tinggal membusuk.

Di Indonesia, banyak yang berharap dengan revitalisasi moral, akar korupsi dapat dimatikan. Korupsi bukan berakar dari moral penguasa. Korupsi buah dari sistem kekuasaan. Sistem kekuasaan yang berwatak kolonial memutus hubungan antara negara dan warganya, sehingga penguasa dengan mudah menggunakan otoritas kekuasaan untuk memperkaya diri.

Anti-Korupsi SoekarnoBung Karno dengan tajam melihat

persoalan korupsi di tanah air sebagai warisan kolonialisme. Tanpa men-jungkir-balikkan watak kekuasaan kolonial maka pemerintahan koruptif akan tetap tumbuh subur. Hak-hak sosial-ekonomi rakyat akan dirampok terus oleh penguasa korup.

Misalnya kapitalis birokrat (kabir), menunggangi kekuasaan untuk mem-perkaya diri, termasuk dengan cara

masyarakat baru. Karena itu, Soekarno meletakkan perjuangan melawan korupsi dalam kerangka perjuangan nation.

Perjuangan menentang kolonialisme merupakan perjuangan merombak tatanan masyarakat lama (kolonial). Segala susunan masyarakat, baik itu undang-undang, politik, ekonomi, sosial, budaya, pemerintah dan aparatur negara, semua harus dirombak sesuai dengan “nation and character building”. Perjuangan ini disebut Bung Karno sebagai perjuangan Semesta Berencana (overall planing), yang menyangkut seluruh penghidupan rakyat. Ini meru-pakan basis menghapus watak pejajah Belanda yang sudah tertanam 350 tahun, dan basis bagi pembangunan masyarakat adil-makmur.

Dalam pembangunan semesta, korupsi digolongkan sebagai faktor penghambat pembangunan. Sejak tahun 1959, dimana gelombang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing semakin sering terjadi, Pemerintah Soekarno mengontrol ketat penyelewengan yang mungkin dilakukan aparat negara dengan membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan).

Pada tahun 1962, dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Lembaga baru itu, bekerja mengumpul-kan daftar kekayaan pejabat negara. Jika dibandingkan dengan ICAC (Inde-pendent Commission Against Corrup-tion) di Hongkong yang tergolong maju di Asia dalam gerakan pem-berantasan korupsi, kebijakan itu baru dimulainya pada tahun 1970-an. Melalui keputusan Presiden No.275/1963, kewenangan Paran diperkuat: dapat menyeret koruptor ke Meja-hijau. Pemberantasan korupsi dimulai dari tingkat atas. Lembaga dan perusahaan negara yang rawan korupsi menjadi incaran. Paran menyelamatkan uang negara lumayan besar dikala itu, sampai 11 miliar rupiah.

Meskipun tak dapat ditutupi bahwa politisi di dalam pemerintahan Soekarno tidak lepas dari korupsi, namun Sukarno sendiri punya kesungguhan (willingness) untuk memberantas korupsi. Paran yang mestinya memperkuat stabilitas peme-rintahan progresif dan keinginan

oleh Agus Pranata, Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Anti-Korupsi dan Anti-Kolonialisme Soekarno

INSPIRASI

Page 6: Gotong Royong Edisi 3

perubahan revolusioner. Karena itu, memberikan ruang politik kepada rakyat secara langsung melalui dewan-dewan sektor seperti buruh, petani, pelajar, dan sebagainya, menjadi keha-rusan dalam sistem demokrasi saat itu. Namun yang disayangkan, sebelum semua gagasan Semesta berjalan, Soekarno dijatuhkan, komando pembe-rantasan korupsi yang dipegangnya juga terhenti.

Retooling pemerintahan lamaPemerintahan lama adalah pemerin-

tahan yang berwatak kolonial. Bung Karno menilai bahwa alat (tool) yang lama mesti di retool atau diganti dengan alat yang baru. Alat baru ini harus meng-abdi kepada cita-cita proklamasi, yakni mengembalikan Indonesia ke rel revolusi.

Soekarno melihat bahwa segala pe-rubahan yang terjadi sepanjang priode revolusi physical (1945-1950) dan priode survival (1950-1955), telah banyak me-lenceng dari tujuan Indonesia merdeka, kolonialisme berusaha untuk kembali menjajah, karena itu, revolusi Indonesia bertujuan mengembalikan cita-cita ke-merdekaan yang sesuai dengan Panca-sila dan UUD 1945. Karena itu pula, re-tooling alat negara dan apartusnya menjadi syarat mutlak bagi perubahan revolusioner.

Retooling merupakan jalan keluar untuk mengganti pemerintahan yang tidak produktif dan aparatus korup. Soekarno pun membentuk Kotrar (Retooling Aparat Revolusi). Kotrar yang dipimpin langsung presiden, yang di-bantu Soebandrio dan Ahmad Yani ini tidak sempat bekerja. Kekuatan kontra-revolusi telah lebih dulu menjatuhkan-nya.

Partai Sosialis Indonesia (PSI), Masyumi, Militer, Mahasiswa dan ke-kuatan pro-imperialisme lainnya, ter-

Soekarno, justru terjebak dalam konflik kekuasaan. Nasution, dari kalangan militer, yang memimpin Paran meng-gunakan kewenangannya untuk mele-mahkan Soekarno dan perjuangan anti-imperialisnya. Soeharto bahkan menu-ding Soekarno tidak becus memberan-tas korupsi: “Segala kebija-kan politik dan ekonomi berpusat di Istana”. Isu Istana sebagai sarang korupsi pun merebak.

Belakangan baru banyak yang sadar kalau isu korupsi yang dipolitisasi di masa itu, adalah salah-satu muslihat politik kolonial untuk memecah belah kekuatan polit ik nasional (de-Soekarnoisasi) dan menjatuhkan pemerintahan anti-imperialisme.

Ketiga, korupsi sebagai akibat dari mismanagement aparatus negara. Pembangunan Semesta (Overall) meng-usahakan sistem pemerintahan yang sehat, yang melikuidasi watak pemerin-tahan kolonial menjadi pemerintah nasional yang mengabdi pada rakyat.

Ada empat cara perbaikan mena-jemen aparatus negara: (1) memberikan kewenangan kepada instansi peme-rintah untuk mengatur “kebijaksanaan” politik, ekonomi dan sosial bagi rakyat. Setiap instansi pemerintah diberikan peran aktif untuk menciptakan program sosial yang lebih baik, dan mengeluar-kan kebijakaan yang menguntungkan buat rakyat.

Jika kekuasaan kolonial dijalankan dengan zakelijk atas nama undang-undang untuk menindas rakyat, maka pemerintahan baru yang dijalankan dengan semangat “kebijaksanaan” sesuai Pancasila dan konstitusi UUD 1945.

Banyak yang mengatakan penge-lolaan negara yang buruk akan cende-rung bertindak korup. Karena itu, (2) pemerintah mengadakan pemangkas birokrasi dan meningkatkan pelayanan kepada rakyat. Serta (3) peningkatan tenaga-ahli dan sumberdaya aparatus negara.

Dan terakhir, (4) menghidupkan potensi rakyat. Presiden Soekarno di tahun 1959, menyatakan pembangunan semesta berencana baru dapat terjamin berhasil baik, apabila pembangunan itu tidak saja mempunyai tujuan untuk membentuk masyarakat adil dan mak-mur, tetapi juga harus didukung oleh rakyat sendiri yang diikut sertakan dalam menyusun, mengesahkan, me-nilai, mengawasi, dan melaksanakan pembangunan itu.

Soekarno melihat bahwa tenaga rakyat/partisipasi rakyat menjadi kunci

libat bersama CIA dalam penggulingan Soekarno, seperti yang dikatakan oleh Harold Crouch. Aksi-aksi mahasiswa banyak dibekengi oleh militer. Peme-rintahan Soekarno pun dilemahkan dengan isu korupsi. Bung Karno sendiri diserang sebagai pemimpin absolut (diktator) yang koruptif. Kata-kata sejarawan Inggris Lord Acton (1887) menjadi salahsatu amunisi kudeta: “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.

Koran Mahasiswa Indonesia tahun 1960-an, milik Angkatan 66: Rahman Toleng, selaku pemimpin redaksi kala itu, terang-terang menuding pribadi Soekarno dan pemerintahannya dengan gosip korupsi. Setelah rezim Soeharto berkuasa, Rahman Toleng Cs, mendapat “hadiah kehormatan” sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sampai sekarang, tuduhan Soekarno dan pemerintahannya sarang korupsi tidak terbukti, lebih banyak gosip dari-pada fakta. Sebaliknya, Angkatan 66 yang terhormat itulah yang melahirkan kekuasaan diktator Orde Baru (militer) yang dikenang sebagai pemerintahan koruptif (KKN).

Reto0ling aparatus korup mungkin tak akan pernah terdengar lagi. Sebab, selama 9 tahun priode pemerintahan SBY berkuasa, tidak satupun pejabat korup yang di retool karena korupsi, se-baliknya para koruptor bersemayam di Istana.

Jika ingin Indonesia bebas dari korupsi, maka perjuangan anti-korupsi mesti diletakkan dalam perjuangan anti-imperialisme seperti pengalaman sebelumnya,—bukan saja karena domi-nasi modal asing yang begitu besar disegala bidang penghidupan rakyat— agar watak kekuasaan kolonial yang masih tersisa terbabat habis sampai keakarnya. ***

Jika ingin Indonesia bebas dari korupsi, maka perjuangan anti-korupsi mesti diletakkan dalam perjuangan anti-imperialisme... “

Page 7: Gotong Royong Edisi 3

RESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghabis-kan 839 juta rupiah hanya Puntuk urusan bajunya. Untuk

penyusunan pidatonya saja, Presiden SBY pun harus menggerus dana APBN sebesar 1,9 milyar . Sedangkan untuk kebutuhan pengamanan pribadi, presiden SBY juga menggelontorkan uang APBN sebesar 52 milyar .

Rata-rata pejabat di negeri ini seperti itu. Mereka “tega” hidup mewah di tengah-tengah kemiskinan yang men-cekik rakyatnya. Mereka juga kebal dengan kritik dan tidak punya rasa malu lagi. Kalaupun ada yang rela hidup sederhana, maka perilaku orang itu dianggap anomali dalam kehidupan politik sekarang.

Tetapi dulu, ketika Republik Indonesia ini baru lahir, para pemimpin-nya hidup sangat sederhana. Pernyataan kemerdekaan pun berlangsung sederhana: bendera merah-putih hanya digerek di sebatang bambu yang baru saja dipotong. Bendera kebangsaan pun hanya dua potong kain, merah dan putih, yang dijahit sendiri oleh istri Presiden.

Ketika baru saja dilantik menjadi Presiden, Bung Karno hanya meraya-kannya dengan “lima puluh tusuk sate ayam”. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta pengangkatan-ku sebagai kepala negara,” kenang Bung Karno dalam buku otobiograf i , Soekarno penyambung lidah rakyat.

Ketika itu presiden belum punya mobil kepresidenan. Sudiro, seorang pejuang dan aktivis Menteng 31, meng-ambil paksa mobil buck besar milik Kepala Jawatan Kereta Api Jepang. Mobil itu sanggup memuat tujuh orang dan merupakan mobil paling mewah di Jakarta saat itu.

Juga, pada saat itu, untuk menyebar-kan semangat kemerdekaan kepada rakyat, maka dibikinlah 10 juta bendera merah-putih. Semua bendera itu dibuat dari kertas biasa, lalu diserbakan ke seluruh pelosok tanah air.

Saat itu presiden belum menerima gaji. Jangankan untuk membeli pakaian mahal, kebutuhan untuk makan saja kadang tidak memadai. Pernah terjadi, pada suatu malam, Bung Karno dan menteri-menterinya menggelar rapat darurat. Malam sudah larut, tetapi tidak

rupiah

rupiah

ada kopi dan sepotong roti pun untuk disantap. Tukimin, salah seorang pembantu Bung Karno, mengambil inisiatif untuk keluar mencari makanan.

Lalu, soal pakaian. Jika kita lihat pakaian Bung Karno di era itu, ia tampak gagah dengan uniform semi-militer. Rupanya, sebagian besar pakaian Bung Karno itu dijahit sendiri. Pernah suatu hari Bung Karno mendapat hadiah berupa pakaian bekas milik korp tentara wanita Australia. Ia mempermak sendiri pakaian wanita itu dan mengubahnya menjadi sebuah uniform seorang presiden.

Ketika sekutu dan NICA mulai masuk Jakarta, situasi pun tidak aman. Presiden Soekarno berkali-kali men-dapat ancaman pembunuhan, bahkan berkali-kali diberondong peluru. Alhasil, bung Karno dan istrinya harus berpindah-pindah tempat dan kadang-kadang menginap di rumah penduduk.

Kadang-kadang, seperti diceritakan-nya kepada Cindy Adams, Soekarno harus tidur meringkuk dalam tikar di atas ubin yang lembab. Istrinya, Fatmawati, pun harus bersabar untuk tidur di atas tikar itu.

Pada tahun 1946, ketika Ibukota sudah pindah ke Jogja, Bung Karno berkantor di gedung bekas kantor Gubernur di jaman Belanda. Gedung itu sama sekali tidak memiliki perabot. Semua isinya sudah diangkut Jepang.

Alhasil, ketika presiden akan mene-rima tamu-tamu negara, Bung Karno pun kebingungan mencari perabot rumah tangga. “Apa akal kita untuk mendapatkan piring,” tanya Bung Karno kepada Mutahar, protokol istana negara saat itu.

“Mudah saja,” jawab Mutahar dengan

tenang. Ia lalu pergi ke sebuah restoran Tionghoa dan meminjam sendok dan barang pecah-belah di sana. Tetapi tidak ada taplak meja. Mutahar pun kembali mengetok pintu rumah penduduk dan meminjam taplak meja warna putih di sana.

Pernah suatu hari, ketika Presiden menyambut tamu dari Filipina, yang disajikan hanyalah secangkir air putih. “Kami tidak punya anggur. Jadi dia hanya minum air, karena itulah yang ada pada kami,” kata Bung Karno.

Kesederhanaan semacam ini bukan hanya terjadi pada Bung Karno. Seba-gian besar pemimpin Republik saat itu adalah orang-orang sederhana. Jenderal Soedirman, panglima besar TNI saat itu, hanya menerima pakaian kiriman Bung Karno. Pakaian itu lalu dijahit oleh Soedirman, lalu dipergunakan pada upacara HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1949.

Lihat pula kisah Bung Hatta, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 1950-an, ia sangat ingin memiliki sepatu Bally—sepatu bermutu tinggi saat itu. Karena tidak punya uang yang cukup, Bung Hatta menabung cukup lama untuk bisa membeli sepatu bermerek itu.

Begitulah kesederhanaan para pe-mimpin Republik saat itu. Akan tetapi, di dalam kesederhanaan itu terdapat semangat dan pengabdian yang sangat besar. Mereka rela berkorban apapun demi bangsa dan rakyatnya.

Mungkin, jika Lord Acton melihat kehidupan pemimpin Indonesia saat itu, ia tidak akan buru-buru menge-luarkan kesimpulan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” ***

Kesederhanaan Pemimpin Di Awal Berdirinya Republik

Oleh Ulfa Ilyaskader Partai Rakyat Demokratik

(PRD)

INSPIRASI

Page 8: Gotong Royong Edisi 3

LAMPUNG, 12 Oktober 2012 | Komite Pimpinan Wilayah Partai

Rakyat Demokratik (KPW-PRD) Provinsi Lampung menuntut pihak kepolisian agar segera menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan petani.

Pernyataan itu keluar menyusul pemanggilan 6 orang petani dari kecamatan Padang Ratu, Lampung Tengah, oleh kepolisian daerah (Polda) L ampung. Pihak Polda sendir i mengaku, pemanggilan tersebut terkait pelaporan PT. Sahang mengenai dugaan pencurian buah sawit.

Para petani sendiri memenuhi surat pemanggilan itu. Kemarin, 11 Oktober 2012, mereka mendatangi kantor Polda, dengan didampingi oleh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Enam petani itu adalah Konan, Hendri, Sriyono, Ciptadi, Sapon, dan Kenyur.

“Laporan perusahaan (PT. Sahang)

PRD Lampung: STOP KRIMINALISASI PERJUANGAN PETANI!

PRD SERUKAN REFORMASI AGRARIA UNTUK PETANI

itu tidak tepat. Merekalah yang justru telah merampas paksa tanah milik petani. Bahkan, ketika IUP-B PT.Sahang itu sudah berakhir, tanah petani tak segera dikembalikan,” kata Sekretaris PRD Lampung, Rahmad.

Rahmad mengatakan, selama beberapa tahun terakhir para petani berjuang untuk mendapatkan kembali tanahnya. Alhasil, perjuangan itu pun mulai menemukan titik terang.

“Sekarang ini, tim penyelesaian konflik agraria bentuk pemerintah kabupaten Lampung Tengah sudah dibentuk. Kita berharap mereka bekerja lebih giat. Mereka harusnya segera meredistribusi tanah milik petani,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan oleh Ketua KPK PRD Lampung Tengah, Ahmad Tohari. Ia mengendus ada upaya kriminalisasi terhadap perjuangan p e t a n i . “ K i t a t a h u a d a u p aya kriminalisasi. Tapi kami masih

menghargai undangan kepolisian, maka kami datang memenuhi panggilan itu,” katanya.

I a m e n g a j a k p e t a n i t e t a p memperkuat soliditas dan solidaritas dalam perjuangan. Katanya, pihak perusahaan akan menggunakan segala macam cara untuk menghalangi petani mendapatkan kembali hak-haknya.

Untuk diketahui, pada tanggal 24 September 2012 lalu, pihak Pemkab Lampung telah sudah mengeluarkan surat perintah pengosongan lahan 238,0630 Ha ex HGU PT. Sahang. Pemkab juga menuntut penghentian segala bentuk aktivitas pengelolaan yang dilakukan oleh PT SBL, PT L a m b a n g J a y a , d a n s e j u m l a h perorangan selambat-lambatnya tanggal 24 Oktober 2012. (Saddam Cahyo)

baca KORAN BORJUIS Anda Dibutakanbaca KORAN PERGERAKAN... Anda Tercerahkan

...

PALEMBANG, 25 September 2012 Partai Rakyat Demokratik (PRD)

menegaskan supaya reformasi agraria sesuai UU Pokok Agraria Tahun 1960 dilaksanakan dengan konsisten, sehingga petani bisa memiliki lahan pertanian sesuai dengan kebutuhan hidup mereka.

Undang-undang tersebut jelas mengatur tentang kepemilikan lahan oleh petani bukan perusahaan atau pemodal besar yang kini tampak merajalela menguasai tanah, kata Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Palembang, Eka Syahruddin ketika berunjuk rasa memperingati Hari Tani di Palembang, Senin (24/9).

Menurut dia, reformasi agraria berarti penghapusan atas kepemilikan lahan oleh perusahaan. Faktanya kini sebagian besar lahan pertanian sudah dikuasai atau dimiliki perkebunan besar, bukan hanya milik perusahaan lokal dan nasional saja tetapi juga asing.

Ia mengatakan, pihaknya juga menuntut pemerintah menjamin pasar produk pertanian, karena kini

| komoditas lokal cenderung menjadi “anak tiri” di negeri sendiri akibat serbuan berbagai produk dari luar negeri.

Kebijakan pemerintah dalam menjadikan produk lokal sebagai tuan di rumah sendiri, akan mendorong pertumbuhan ekonomi petani menjadi berkembang. Dia menambahkan, dukungan anggaran untuk infrastruktur pertanian, seperti pembangunan irigasi dan penyediaan alat dengan teknologi modern serta kredit modal yang dipermudah juga mendorong sektor pertanian maju.

Penghentian berbagai bentuk kekerasan dalam menangani konflik agraria, juga diharapkan menjadi langkah yang diambil pemerintah dalam mendukung kesejahteraan masyarakat petani.

Aksi yang diawali dari Bundaran Air Mancur Palembang tersebut dan diikuti puluhan pengunjuk rasa dengan berjalan kaki berakhir di DPRD Sumsel.

Ketua Komisi II DPRD Sumsel Budiarto ketika menerima pengunjuk

rasa mengatakan prinsipnya mereka sepakat dengan tuntutan massa aksi, termasuk menegakkan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.

Te r k a i t d e n g a n m e n d o ro n g kesejahteraan petani, pihaknya telah membuat peraturan daerah tentang per l indungan l ahan per tan ian berkelanjutan. Selain itu, dewan juga telah menerbitkan peraturan daerah tentang jaminan kredit daerah, di mana petani dapat meminjam modal tanpa agunan.

Sementara, di tempat terpisah pada hari yang sama juga berlangsung aksi unjuk rasa sejumlah petani dari Kabupaten Ogan Ilir di Pelataran Benteng Kuto Besak dilanjutkan ke kantor Badan Pertanahan Nasional.

Aksi ini juga menyampaikan tuntutan antara lain agar pihak BPN tidak lagi memperpanjang izin HGU perkebuan tebu PTPN VII yang bersengketa lahan dengan warga setempat. (Ant/OL-2)