glukokortikosteroid sistemik

36
CLINICAL SCIENCE SESSION KORTIKOSTEROID SISTEMIK Oleh : Adrian Sebastian Suhendro (1301-1213-0637) Rizky Martina (1301-1213-0664) Shendy Ardaneswari ( Sedang Proses) Preceptor : Rasmia Rosmawi , dr. SpKK (K) BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Upload: adhiwinataaman709

Post on 12-Sep-2015

80 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

GLUKOKORTIKOSTEROID SISTEMIK

CLINICAL SCIENCE SESSION

KORTIKOSTEROID SISTEMIKOleh :

Adrian Sebastian Suhendro (1301-1213-0637)

Rizky Martina (1301-1213-0664)Shendy Ardaneswari ( Sedang Proses)Preceptor :

Rasmia Rosmawi , dr. SpKK (K)

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2015PENDAHULUAN

Dengan bertambah banyaknya jenis glukokortikosteroid atau glukokortikoid dan meluasnya pemakaian kortikosteroid dalam ilmu kedokteran, pemakaian preparat ini perlu diperhatikan efektivitas, indikasi, kontraindikasi, dan efek samping akibat pemakaian obat ini.

Glukokortikosteroid merupakan suatu preparat yang banyak digunakan untuk pengobatan, khususnya di bidang dermatologi dengan kemampuan imunosupresif dan anti-inflamasinya. Sejak tahun 1949, Hench dan kawan-kawanmenemukan manfaat kortison pada pengobatan penderita rheumatoid arthritis. Sejak itu glukokortikosteroid diakui bermanfaat pada pengobatan kelainan kulit.

Glukokortikoid atau kortisol atau hidrokortison merupakan suatu hormon yang secara alamiah diproduksi di zona fasikulata korteks adrenal. Sekresi hormon ini dipengaruhi oleh hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang dihasilkan sel-sel basofil kelenjar hipofise anterior. Hormon ini berasal dari gugus kolesterol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal, melalui serangkaian proses enzimatik, kolesterol diubah menjadi pregnanolon, lalu menjadi progesterone dan akhirnya membentuk kortisol atau hidrokortison.

Nama glukokortikosteroid digunakan atas dasar kemampuan hormon ini mempengaruhi homeostasis glukosa. Proses ini terjadi secara biokimiawi berupa glukoneogenesis dengan membentuk glukosa hepatik dari asam amino yang diperoleh dari katabolisme glukosa ekstrahepatik, sehingga meningkatkan deposit glikogen hepar dan kadar glukosa darah.

Telah banyak dilakukan penelitian tentang efek glukokortikosteroid pada kulit. Namun, hiperkortisolisme endogen masih belum diketahui dengan pasti dan penyakit iatrogenik akibat pemakaian glukokortikosteroid sintetik menjadi sangat sering ditemukan.

Hasil penelitian secara in vivo dan in vitro mengenai aksi glukokortikosteroid pada kulit menunjukkan kortisol dapat mengurangi masa jaringan ikat dermis yang terbentuk akibat efek langsung fibroblast dermis. hormon ini menurunkan sintesis dan akumulasi dan mempengaruhi komposisi glikosaminoglikan melalui receptor-mediated mechanisms. Glikokortikosteroid meningkatkan collagen cross-linking dan menurunkan aktivitas kolagenase, tetapi tidak mempengaruhi proporsi kolagen tipe I dan III. Walaupun glukokortikosteroid menghambat produksi kolagen, atrofi dermis merupakan cerminan terjadinya penurunan jumlah fibroblast dermis.

Tampaknya glukokortikosteroid mengatur variasi diurnal aktivitas mitotic epidermis. Puncak mitotic berhubungan secara terbalik dengan kadar kortisol serum dan efek ini mungkin diperankan adenilsiklase.

Glukokortikosteroid menghambat pertumbuhan rambut hewan percobaan, efek ini berpengaruh pada permulaan fase anagen dan aktivitas mitotic. Namun, adanya glukokortikosteroid endogen yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya hipertrikosis, sedangkan defisiensi hormon ini mengakibatkan rambut aksila rontok. Dari keadaan ini diduga hormon ini pada beberapa bagian tubuh berperan pada proses pemeliharaan pertumbuhan rambut.

Hormon ini sangat berperan pada system imun dan reaksi inflamasi. Efek imunosupresi ini merupakan salah satu dasar pemakaian glukokortikosteroid sebagai obat anti-inflamasi, sedangkan steroid-induced immunomodulation berperan pada keadaan fisiologis dan beberapa keadaan hiperkortisolisme endogen.

Efek lain adalah berperan pada produksi interleukin dan sitokin lain, kemotaksis neutrofil, jumlah sel Langerhans, aksi factor pertumbuhan seperti epidermal growth factor dan platelet-derived growth factor, dan sintesis prostanoid dengan inhibisi fosfolipase A. Efek anti-inflamasi ini juga disebabkan adanya stabilisasi lisosom, hambatan pelepasan protease dan mediator lain.

Kulit merupakan tempat utama terjadi degradasi dan interkonversi glukokortikosteroid dan hormon steroid lain. Interkonversi kortison dan kortisol berkaitan dengan efek adanya kelebihan hormon. Kortisol memiliki efek dan reaksi inflamasi yang lebih besar pada kulit bila dibandingkan dengan kortison.

Untuk menghindari atau mengurangi efek samping dan meningkatkan efektivitas serta keamanan pemakaian glukokortikosteroid, perlu mengetahui mekanisme aksi obat ini.

BIOLOGI

Produksi glukortikosteroid diatur oleh aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Corticotropin-releasing hormone (CRH), suatu hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus, merupakan regulator sekresi kortikotropin yang paling poten. Hormon ini mentransfer sistem hipofiseal portal ke pituitari dan merangsang sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH). Adrenocorticotropic hormone berasal dari suatu molekul prekursor, yaitu pro-opiomelanocortin yang mengembangkan molekul lain selain ACTH, termasuk lipoprotein , endorphin , dan alpha melanocyte stimulating hormone (a MSH). Adrenocorticotropic hormone masuk ke dalam sistem sirkulasi merangsang korteks adrenal mensekresi kortisol yang menimbulkan negative feedback terhadap sekresi ACTH pituitari.

Secara alamiah glukokortikosteroid yang ditemukan adalah kortisol atau hidrokortison. Bahan ini disintesis dari kolesterol di korteks adrenal. Pada keadaan normal, kurang dari 5% kortisol yang berada di dalam sirkulasi adalah dalam bentuk tidak terikat dan kortisol bebas ini merupakan molekul terapeutik aktif. Kortisol sisanya adalah dalam bentuk tidak aktif, dimana 95% terikat pada cortisol-binding globulin (CBG) yang juga disebut sebagai trankortin dan 5% terikat pada albumin.

Sekresi kortisol setiap hari berkisar antara 10 20 mg dengan waktu puncak diurnal yaitu sekitar jam 8 pagi. Plasma half-life kortisol adalah 90 menit. Bahan ini terutama dimetabolisme di dalam hepar dan sifat hormonalnya berperan pada setiap jaringan dalam tubuh. Hasil metabolitnya diekskresikan melalui ginjal dan hati.

Mekanisme aksi glukokortikosteroid melibatkan difusi pasif glukokortikosteroid melalui membran sel, disertai dengan mengikat pada soluble receptor protein dalam sitoplasma. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian bergerak menuju inti sel dan meregulasikan transkripsi gen target dalam jumlah yang terbatas. Beberapa diantaranya yang paling penting tampaknya memiliki efek inhibisi pada faktor-faktor transkripsi activator protein (AP) 1 dan nuclear factor (NF)KB, bergandengan dengan peningkatan suatu inhibitor NF-KB yaitu IKBa.

Glukokortikoid menurunkan sintesis sejumlah molekul pro-inflamasi termasuk sitokin, interleukin, molekul adhesi, dan protease. Hormon ini juga menghambat mediator inflamasi lain, seperti cyclooxygenase-2 dan bentuk nitric oxide synthase yang terinduksi.

Hormon ini meningkatkan sintesis molekul-molekul penting lain seperti annexin 1 dan 2. Annexin dapat mereduksi aktivitas fosfolipase A2 yang dapat mereduksi pelepasan asam arakhidonat dari fosfolipid membran, membatasi pembentukan prostaglandin dan leukotrin.

Hormon ini juga dapat meningkatkan molekul penting lain seperti lipokortin 1. Mekanisme aksi lipokortin sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, tetapi efek biologinya adalah menurunkan aktivitas fosfolipase A2 yang menurunkan pelepasan asam arakhidonat dari fosfolipid membran, sehingga prekursor pembentukan prostaglandin dan leukotrin menjadi berkurang.

Glukokortikosteroid sangat berperan pada replikasi dan pergerakan sel. Hormon ini menginduksi terjadinya monositopenia, eosinopenia, dan limfositopenia. Limfositopenia yang terjadi akibat glukokortikosteroid lebih berefek pada sel T dibandingkan dengan sel B. Limfositopenia ini tampaknya disebabkan akibat adanya redistribusi sel, dimana sel-sel ini bermigrasi dari sirkulasi ke jaringan limfoid lain. Di samping itu, diduga glukokortikosteroid juga menginduksi terjadinya apoptosis. Peningkatan leukosit polimorfonuklear sirkulasi berhubungan dengan midgrasi sel dari sumsum tulang dan removal rate dari sirkulasi yang berkurang, dan adanya hambatan apoptosis neutrofil.

Glukokortikosteroid mempengaruhi aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi sel. Hormon ini berperan pada tingkat mediator inflamasi dan reaksi imun yang terlihat dengan adanya inhibisi sintesis atau pelepasan interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF). Demikian pula fungsi makrofag termasuk fagositosis, antigen processing dan cell killing dihambat oleh kortisol. Efek ini mempengaruhi immediated dan delayed hypersensitivity.

Hormon ini juga lebih mensupresi fungsi monosit dan limfosit baik T helper 1 (TH1) maupun T helper 2 (TH2) daripada leukosit polimorfonuklear. Efek ini penting diketahui, karena penyakit infeksius granuloma seperti tuberkulosis cenderung mengalami eksaserbasi dan kekambuhan pada pengobatan glukokortikosteroid jangka lama. Sel-sel pembentuk antibosi seperti limfosit B dan sel plasma relatif resisten terhadap efek supresi glukokortikosteroid. Untuk mensupresi produksi antibodi diperlukan dosis glukokortikosteroid yang tinggi.FISIOLOGI

Setiap manusia yang berada dalam keadaan stres akan mengalami peningkatan produksi hormon glukokortikosteroid. Sebab aktivasi aksis hipofisis adrenal ini belum diketahui dengan pasti, tetapi terdapat beberapa hipotesis faktor-faktor yang berperan terjadinya ktivasi aksis hipofisis adrenal ini: Adrenalin

Pelepasan adrenalin oleh medula adrenal saat stres dapat merangsang hipofisis anterior. Namun, pengaruh aksi adrenalin terhadap produksi steroid adalah terlalu lambat.

Kadar kortikosteroid yang beredar kurang

Terdapat hubungan antara kadar adrenokortikotropin (ACTH) dengan steroid yang beredar. Pada keadaan stres terjadi penurunan steroid dan peningkatan output ACTH. Ini terjadi akibat adanya feedback machanisms.

Pengendalian hipotalamus

Adanya rangsangan pada hipotalamus menyebabkan terjadinya sekresi ACTH.

Pengaruh hipofisis posterior

Dengan adanya stres pada hipofisis posterior memproduksikan pitresin dan ini merangsang hipofisis anterior mengekskresikan ACTH.

Perubahan kadar elektrolit

Pengaruh perubahan ini penting pada proses produksi mineralokortikosteroid dan glukokortikosteroid.

FARMAKOLOGI

Pada saat diberikan hidrokortison dalam dosis sedang dan tinggi, efek mineralokortikoidnya mengalami kerusakan dan terjadi sintesis kortisol yang memiliki kemampuan anti-inflamasi yang lebih besar dan retensi cairan yang lebih kecil. Dengan mensubstitusi struktur steroid dasar pada cincin 3 heksana dan pentana menghasilkan plasma half-life dan potensi anti-inflamasi serta retensi sodium yang berbeda. Pada umumnya, kebanyakan analog sintetik kurang mampu mengikat CBG, yaitu hanya sekitar 70%. Ini menunjukkan obat ini bertendensi menimbulkan efek samping walaupun pada dosis yang rendah. Kelompok 11 betahidroksil yang terdapat dalam kortisol merupakan bahan esensial. Kortison dan prednison adalah senyawa 11 keto, baru aktif setelah diubah menjadi senyawa 11 betahidroksil berupa kortisol dan prednisolon di dalam hepar. Penderita dengan penyakit hepar berat pada umumnya tetap dapat mempertahankan kemampuan mengubah senyawa 11 keto ini.

Efek farmakologi glukokortikosteroid berupa:

Efek anti-inflamasiEfek anti-inflamasi primer glukokortikosteroid adalah mengurangi akumulasi sel pada tempat peradangan, menghalangi perlekatan granulosit pada epitel pembuluh darah tempat peradangan, dan menghambat produksi kolagen dengan menghambat aktivitas proline hydroxylase.

Efek imunosupresif

Pada hipersensitivitas tipe lambat, kortisol dapat menghambat kelebihan limfokin sel target. Efek imunosupresif glukortikosteroid terjadi terhadap pembentukan antibodi dan imunitas selular. Efek supresi ini masih sedikit diketahui.

Sintesis deoxyribonucleic acid (DNA)

Glukokortikosteroid dapat menghambat sintesis DNA dan mitosis epidermis dalam waktu 30 jam setelah aplikasi.

Vasokonstriksi

Fungsi ini ikut berperan pada peningkatan efek anti inflamasi.

Metabolisme

a. Elektrolit

Hormon ini menyebabkan retensi natrium, klor, dan cairan dengan keluarnya cairan intraselular ke ekstraselular. Selain itu juga mengakibatkan kehilangan ion kalium, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan, hipotensi, dan metabolisme alkali. Hormon ini juga dapat meningkatkan produksi asam lambung dan pepsin di lambung sehingga mempermudah terjadinya ulkus peptikum.

b. Karbohidrat

Kortikosteroid menimbulkan efek katabolisme karbohidrat, sehingga mengakibatkan terjadinya hiperglikemia dan resistensi terhadap insulin. Hal ini terutama disebabkan adanya peningkatan glukoneogenesis dari protein, lemak, dan prekursor karbohidrat lain di dalam hati.c. Lemak

Hormon ini mengakibatkan penghancuran lemak dengan membentuk badan-badan keton, peningkatan lemak serum dan kolesterol.

d. Protein

Efek glukokortikosteroid pada metabolisme protein mengakibatkan katabolisme protein dan anti anabolisme. Oleh sebab itu, pemberian glukokortikosteroid dosis tinggi pada anak-anak akan mengakibatkan penghambatan pertumbuhan.

e. Jaringan mesenkim

Efek hormon kortiokosteroid terhadap jaringan mesenkim berupa penekanan respon sel-sel yang berperan pada peradangan lokal.

Tabel 1. Perbandingan aktivitas farmakologi glukokortikosteroid sistemik

Potensi glukokortikoid ekuivalen (mg)Potensi mineralokortikoidPlasma half-life (menit)Duration of action (jam)

Short-acting

Hidrokortison

(kortisol)200,8908 12

Kortison251308 12

Intermediate-acting

Prednison50,256024 36

Prednisolon50,2520024 36

Metilprednisolon4018024 36

Triamsinolon4030024 36

Long acting

Deksametason0,75020036 54

PENGUNAAN TEURAPEUTIK GLUKOKORTIKOID SISTEMIK

Sebelum mulai pengobatan dengan glukokortikosteroid, perlu dipertimbangkan keuntungan hasil pengobatan yang diharapkan dengan efek samping yang dapat timbul. Untuk pengobatan jangka panjang perlu dipertimbangkan pemberian pengobatan alternatif atau tambahan lain. Demikian pula, perlu dipertimbangkan penyakit lain yang diderita oleh penderita seperti diabetes melitus, hipertensi atau osteoporosis yang dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping yang tidak diinginkan.

Pemilihan Glukokortikosteroid

Sejumlah pertimbangan yang perlu dipikirkan dalam rangka pemilihan glukokortikosteroid, antara lain:

1. Sebaiknya pilih preparat glukokortikosteroid yang efek mineralokortikoidnya minimal guna menurunkan risiko terjadinya retensi natrium

2. Pemberian pengobatan prednison atau obat sejenisnya secara jangka panjang dengan half-life intermediate dan afinitas reseptor steroid yang relatif lemah dapat menurunkan kemungkinan timbulnya efek samping. Sebaliknya, pemakaian jangka lama preparat glukokortikosteroid dengan half-life yang lebih lama dan afinitas reseptor GS yang tinggi seperti deksametason dapat meningkatkan resiko timbulnya efek samping tanpa disertai efek teurapetik yang lebih baik.

3. Bila penderita tidak respons terhadap kortison atau prednison, perlu dipertimbangkan pemberian substitusi bentuk aktif kortison atau prednison.

4. Metilprednisolon yang berpotensi tringgi dengan kemampuan retensi natrium yang rendah dapat digunakan pada pulse-therapy.

CARA PEMBERIAN PENGOBATAN DAN SKEMA DOSIS

Glukokortikoid sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuscular dan intravena. Jalur dan regimen pemberian tergantung pada keadaan keparahan penyakit yang akan diobati.

Pemberian GS intralesi dilakukan untuk kelainan yang hanya terdiri dari beberapa lesi atau untuk lesi yang resisten untuk pengobatan. Konsentrasi yang diberikan tergantung pada tempat penyuntikan dan keadaan lesi. Konsentrasi yang lebih rendah, yaitu sebesar 2-3 mg/ml digunakan untuk lesi di wajah guna mencegah terjadinya atrofi kulit. Sedangkan untuk keloid dibutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 40 mg/ml. Pada keadaan tertentu yang membutuhkan efek menyokong seperti pada pengobatan keloid atau alopesia areata, dapat digunakan jenis GS long acting seperti aristopan yang dapat diberikan secara tunggal atau dalam bentuk campuran dengan triamsinolon asetonid. Sehubungan dengan aksi triamsinolon asetonid lebih panjang dibandingkan prednison, maka dapat terjadi efek samping seperti supresi aksi hipotalamus pituitari adrenal (HPA) dan miopati. Oleh sebab itu, cara pemberian pengobatan ini sangat baik untuk membatasi dosis triamsinolon asetonid bulanan total menjadi 20 mg agar tidak menekan aksi HPA.

Pada pemberian intramuscular, terdapat beberapa kekurangan yaitu keanehan absorpsi dan kesulitan pengendalian dosis harian.

Pada pemberian GS secara oral, pilihan yang paling sering digunakan adalah prednison. Pemberian GS biasanya diberikan setiap hari atau 2 hari sekali. Namun untuk penyakit akut dapat diberikan dengan dosis harian terbagi. Dosis inisial paling sering diberikan secara harian guna mengendalikan proses penyakit dengan dosis berkisar antara 2,5 mg sampai beberapa ratus mg setiap hari. Bila pengobatan GS diberikan kurang dari 3-4 minggu , maka penghentian pengobatan tidak perlu diberikan secara tappering. Pemberian dosis terendah preparat golongan short acting setiap 2 hari sekali dapat mengurangi terjadinya efek samping. Sehubungan kadar kortisol dapat mencapai puncak pada jam 8 pagi hari, pada saat itu efek penekanan aksis HPA paling sedikit dan supresi sekresi ACTH oleh pituitari mencapai maksimal. Oleh sebab itu, pemberian GS pada pagi hari dapat mengurangi terjadinya efek supresi aksis HPA. Kadar GS malam hari adalah rendah, ini mengakibatkan sekresi ACTH normal. Pemberian prednison dosis rendah yaitu sekitar 2,5-5 mg pada malam hari digunakan untuk meningkatkan supresi adrenal. Digunakan untuk meningkatkan supresi adrenal pada kasus akne atau hirsutism akibat kelainan adrenal.

Pemberian glukokortikosteroid secara intra vena dilakukan pada 2 keadaan, yaitu :

1. Untuk menekan stress yang terjadi pada penderita yang menderita penyakit akut, menjalankan tindakan pembedahan atau penderita yang mengalami supresi adrenal akibat pengobatan glukokortikoid harian.

2. Untuk penderita dengan penyakit tertentu seperti pioderma gangrenosum yang resisten, pemfigus dan pemphigoid bulosa berat, lupus eritematosus sistemik berat atau dermatomiositis, guna dapat mengendalikan penyakit secara cepat dan mengurangi kebutuhan pengobatan steroid oral jangka lama atau dengan dosis tinggi.

Efek samping serius yang dapat terjadi pada pemberian intravena antara lain: reaksi anafilaksis, seizure, aritmia dan sudden death. Efek samping lain termasuk hipotensi, hipertensi, hiperglikemia, gangguan elektrolit dan psikosis akut. Pemberian pengobatan dilakukan secara lambat selama 2-3 jam guna mengurangi terjadinya efek samping. Pada pengobatan glukokortikosteroid memerlukan pemeriksaan elektrolit serum sebelum dan sesudah pulse therapy, khususnya pada penderita yang juga mendapat pengobatan diuretik.

Cara pemberian preparat glukokortikosteroid sistemik:

Dosis harian tunggal (single daily dose)

Keuntungan cara pemberian pengobatan ini adalah :

a. Pasien lebih mudah mengingat

b. Efek hambatan terhadap aksis hipothalamus-hipofisis-adrenal akan jauh lebih kurang dibandingkan dengan cara pemberian divided dose dengan jumlah dosis yang sama.

Setiap hari kortisol diproduksi oleh korteks adrenal sesuai dengan cicardian rhythm yang sangat tergantung pada hipothalamus, ini akan merangsang kelenjar hipofise mensekresikan hormon ACTH yang dapat mempengaruhi produksi kortisol di zona fasikulata korteks adrenal.

Sekresi kortisol diatur oleh negative feedback mechanism. Pada waktu kadar kortisol plasma tinggi, keadaan ini akan menghentikan pelepasan corticotropin release factor oleh hipothalamus dan mengakibatkan penurunan sekresi ACTH, demikian sebaliknya.

Kadar kortisol plasma mencapai kadar maksimal pada jam 8 pagi dan akan menurun sampai mencapai kadar minimal pada sekitar 12 jam kemudian. Sehubungan dengan efek hambatan endogen terhadap aksis hipothalamus-hipofisis-adrenal mencapai maksimal pada jam 8 pagi, maka pemberian kortikosteroid eksogen pada saat yang sama sesuai dan bertepatan dengan cicardian rhythm ini, sehingga dapat mengurangi terjadinya sefek supresi hormon tersebut terhadap korteks adrenal.

Dosis Harian Terbagi (divided dose)

Cara pemberian dosis ini tidak sebaik bila dibandingkan dengan cara pemberian dosis harian tunggal. Cara pemberian pengobatan ini dilakukan dengan tujuan memperoleh efek antiinflamasi dan imunologi secara terus-menerus. Bila keadaan penyakit telah dapat diatasi secara adekuat, cara pemberian pengobatan ini harus digantikan dengan cara pemberian yang dapat menimbulkan efek anti inflamasi dan imunosupresi yang ringan.

Dosis selang-seling (alternate- day dose)

Dengan cara pemberian GS ini diharapakan dapat memperoleh hasil pengobatan yang cukup baik untuk menanggulangi penyakit dan secara bersamaan dapat mengurangi terjadinya efek samping akibat preparat GS jangka lama.

Cara pemberian ini biasanya digunakan untuk mempertahankan efek supresi imun dan antiinflamasi yang telah dicapai pada pemberian pengobatan setiap hari.

Pemberian dosis selang-seling ini dapat diberikan dengan cara :

Melipatgandakan dosis harian, lalu esok harinya tidak diberikan pengobatan. Cara pemberian pengobatan ini sering menyebabkan flare-up.

Meningkatkan dan menurunkan dosis pada hari yang berturut-turut dengan jumlah dosis yang sama sampai mencapai dosis 2 hari sekali.

Skema Dosis

Pemberian pengobatan dengan GS dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

1. Mulai dengan dosis tinggi, lalu diturunkan ke dosis rendah (high-low). Cara pemberian ini biasanya dilakukan pada kasus akut atau life saving.

2. Mulai dari dosis rendah, lalu dinaikkan ke dosis tinggi (low-high). Pada cara pemberian ini sering mengalami kesulitan mencapai dosis pemeliharaan yang ideal.

3. Dosis menetap atau konstan. Pada saat ini, lebih disenangi cara pemberian dengan dosis menetap. Bila belum memperoleh hasil pengobatan yang diharapkan, maka dosis pemberian dapat dinaikkan.

4. Dosis intermitten. Perlu diperhatikan pada saat dilakukan tappering off, penurunan dosis pengobatan GS tidak boleh lebih dari 12,5 mg dan dosis yang diturunkan ini harus dipertahankan selama 2-3 hari. Bila gejala klinik memburuk pada saat penurunan dosis, maka harus dilakukan penetapan ulang dosis pengobatan.INDIKASI PENGOBATAN GLUKOKORTIKOSTEROID SISTEMIK

Terdapat beberapa pengobatan indikasi mayor dan relatif pada pengobatan glukokortikosteroid.

1. Indikasi mayor

a. Pemfigus vulgaris

b. Penyakit erupsi bulosa hebat yang brhubungan dengan eritema multiforme

c. Eritroderma

d. Dermatitis eksfoliativa

2. Indikasi relatif

Drug eruption, dermatitis kontak, sindrom Steven Johnson, neurodermatitis, dermatitis atopik, eksema idiopatik, dermatitis seboroik, psoriasis generalisata, liken planus, arcoidosis, dan alopesia

Penyakit kulit yang diobati dengan glukokortikosteroid oral antara lain :

1. Penyakit lepuh berat, seperti : pemfigus, pemphigoid bulosa, pemfigoid sikatrial, dermatosis bulosa IgA linear, epidermolisis bulosa akuisita, herpes gestasiones, eritema multiformis, dan nekrolisis epidermal toksik.

2. penyakit jaringan ikat, seperti : dermatomiositis, lupus eritema sistemik, mixed connective tissue diseases, eosinophilic fascilitis dan relapsng polychondritis

3. Vaskulitis

4. Neurophilic dermatosis seperti pioderma gangrenosum, acute febrile neurophilic dermatosis dan Behcets disease

5. Sarkoidosis

6. Reaksi lepra tipe I

7. Capillary hemangioma

8. Panniculitis

9. Urtikaria atau angioedema

Pengobatan glukokortikosteroid jangka pendek dapat diberikan pada :

1. Dermatitis berat seperti dermatitis kontak, dermatitis atopik, fotodermatitis, dermatitis eksfoliativa dan eritroderma.

2. Akne dan hirsutisme akibat sindrome adrenogenital yang tidak responsif terhadap pengobatan konservatif dapat diberikan pengobatan glukokortikosteroid dosis rendah pada malam hari.

Pengobatan glukokortikosteroid masih bersifat kontroversi pada penyakit :

1. Eritema nodosum

2. Liken planus

3. Cutaneous T cell lymphoma

4. Discoid lupus erythematosus

INDIKASI KONTRA PENGOBATAN GLUKOKORTIKOSTEROID SISTEMIK

1. Indikasi kontra absolut : tuberkulosis aktif, resistensi primer

2. Indikasi kontra mayor tapi relatif : ulkus peptikum, psikosis, diabetes melitus, osteoporosis, riwayat epilepsi, obesitas

3. Indikasi kontra mayor : insufisiensi kardiovaskular, insufisiensi ginjal, hipertensi derajat berat, klimakterium dan histeria

EFEK SAMPING GLUKOKORTIKOSTEROID SISTEMIK

Faktor-faktor yang berperan terjadinya resistensi atau suseptibilitas terjadinya efek samping akibat kortikosteroid antara lain:

1. Faktor seks : pria lebih toleran dibandingkan dengan wanita

2. Usia : anak-anak, remaja, dan dewasa muda lebih jarang mengalami efek samping dibandingkan orang tua

3. Lamanya pengobatan

4. Pada wanita menopause, toleransi lebih buruk

5. Obesitas : penderita obesitas cenderung tidak toleran terhadap pengobatan kortikosteroid

Efek samping yang dapat terjadi pada pengobatan glukokortikosteroid, antara lain :

1. Sistem kardiovaskular

Dapat terjadi hipertensi, arterosklerosis, infark miokard, mudah mengalami perdarahan sehingga mudah terjadi ekimosis, perdarahan gastrointestinal dan menoragi

2. Sistem pernapasan

Dapat menyebabkan menghebatnya penyakit tuberkulosis laten

3. Saluran pencernaan

Dapat mengakibatkan ulkus peptikum, perforasi ulkus dan hematemesis4. Ginjal

Dapat mengakibatkan retensi cairan, glukosuria renal, dan azetemia akibat peningkatan pembentukan urea dan pelepasan kalium yang sering mengakibatkan kematian

5. Kulit

Dapat menimbulkan akne, hirsutism, striae, ekimosis, purpura, furunkel, abses, impetigo, dan pigmentasi difus.

6. Saraf dan Jiwa

Efek samping sistem saraf dan jiwa akibat pengobatan glukokortikosteroid sistemik, antara lain :

- Reaksi minor: terjadinya euforia, depresi, gelisah, mudah tersinggung dan insomnia

- Reaksi mayor berupa psikosis manik depresif, shizophrenia, paranois, acute toxic confusal state dan epilepsi

7. Sistem endokrin

Glukokortikosteroid dapat meningkatkan berat badan, penimbunan lemak yang berlebihan di wajah (moon face) dan daerah interscapular (buffalo hump) dan supra kalvikular, striae di tungkai dan abdomen, erupsi akneiformis, edema, gangguan menstruasi, astenia, kelemahan otot, penurunan libido, ekomosis spontan, osteoporosis, hipertrikosis, ginekomastia dan poli sitemia

8. Lain-lain

Disamping kelainan-kelianan di atas, juga dapat timbul :

Atrofi adrenal yang bersifat sementara atau menetap. Efek samping ini terjadi akibat pemakaian GS jangka lama dan timbulnya efek rebound akibat penghentian obat yang terlalu cepat. Manifestasi efek samping ini berupa kelemahan otot hebat, hipotensi, nausea, diureisi dan penekanan pernapasan.

Diabetes melitus

Hipotiroid

Kesulitan penyembuhan luka, fraktur patologik, osteoporosis, penekanan tanda-tanda dan gejala penyakit dan penurunan resistensi tubuh.

Interaksi obatGlukokortikosteroid dihubungkan dengan sejumlah interaksi obat. Obat-obat yang dapat berinteraksi dengan obat lain, seperti: barbiturat, fenitoin dan rifampisin yang dapat menginduksi enzim mikrosomal hepatik yang dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid sistemik. Obat-obat seperti kolestiramin, kolestipol dan antasida dapat menghambat absorpsi glukokortikoid sistemik. Glukokortikosteroid dapat mereduksi kadar salisilat serum dan meningkatkan kebutuhan dosis warfarin yang lebih tinggi pada pengobatan antikoagulasi.

Efek samping imunologiGlukokortikosteroid mempengaruhi reaksi hipersensitivitas lambat dengan menghambat sel-sel limfosit dan monosit. Pemberian prednison dengan dosis harian 15 mg atau lebih dapat mensupresi respons terhadap reaksi tuberkulin.

Perhatian khusus pada wanita hamil dan menyusuiGlukokortikosteroid dapat melintasi plasenta, tetapi tidak bersifat teratogenik. Pada wanita yang menyusui dan mendapatkan pengobatan glukokortikoid sistemik, perlu dilakukan monitoring bayinya terhadap adanya supresi adrenal dan pertumbuhan.

STRATEGI UNTUK MENGURANGI EFEK SAMPING GLUKOKORTIKOIDEvaluasi sebelum pengobatanUntuk memperkecil kemungkinan terjadinya efek samping akibat glukokortikoid sistemik, perlu dilakukan penilaian sebelum diberikan pengobatan, termasuk: riwayat penyakit pasien dan keluarganya, adanya faktor-faktor predisposisi seperti diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit-penyakit lain yang dapat terpicu akibat pengobatan dengan steroid. Sebelum diberikan pengobatan glukokortikoid sistemik perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan berat badan.

Pada pengobatan jangka lama, sebelum pemberian pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan baseline spinal bone-density dengan melakukan pemeriksaan compuiered tomography (CT), dual-photon absorptiometry atau dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dan pemeriksaan mata dan tes mantoux. Pemeriksaan untuk mencari adanya infeksi dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.

Evaluasi selama pengobatan

Pada kunjungan untuk penilaian hasil pengobatan, pada penderita yang mendapat pengobatan glukokortikoid sistemik jangka lama harus dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:a.Pada anamnesis: perlu ditanya adanya poliuria, polidipsia, nyeri abdominal, demam, gangguan tidur dan efek psikologi.

b.Pada pemeriksaan fisik: perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan berat badan.

c.Pemeriksaan laboratorium: perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit serum, gula darah puasa, kadar kolestrol dan trigliserida, feses untuk mencari adanya perdarahan tersamar.

d.Pemeriksaan mata: perlu dilakukan untuk mencari kemungkinan terjadinya katarak atau glaukoma.

Tindakan preventif DietDiet yang diberikan harus rendah kalori, lemak dan natrium dengan tinggi protein, potasium dan kalsium. Intake protein adalah penting untuk mengurangi terjadinya steroid induced nitrogen washing. Konsumsi alkohol, kopi dan nikotin harus dikurangi dan melakukan olahraga.

InfeksiPenderita dengan tes mantoux positif harus diberikan pengobatan profilaksis dengan isoniazid. Pada penderita anergi harus dilakukan pemeriksaan foto toraks sebelum diberikan pengobatan guna mencari bukti adanya tuberkulosis yang diderita sebelumnya. Pada penderita yang mengalami demam atau adanya infeksi fokal harus dievaluasi dengan pemeriksaan kultur dan tindakan diagnosis lain.

Komplikasi gastrointestinalWalaupun masih merupakan masalah yang kontroversi hubungan antara adanya peningkatan insidensi ulkus peptikum dengan pemberian pengobatan glukokortikoid sistemik. Namun kemungkinan terjadinya ulkus peptikum pada penderita yang mendapatkan pengobatan dengan glukokortikoid sistemik dan preparat antiinflamasi nonsteroid adalah 9 kali lipat lebih besar.

Pada penderita yang memiliki 2 atau lebih faktor risiko seperti adanya pemberian preparat antiinflamasi nonsteroid, riwayat adanya ulkus peptikum, penyakit keganasan atau dosis total glukokortikoid sistemik melebihi 1.000 mg, harus diberikan pengobatan profilaksis. Pengobatan profilaksis yang dapat diberikan termasuk pemberian antasida, H2 receptor blockers seperti cimetidine, rantidine, nizatidine, atau famotidine bersamaan dengan makan malam atau proton pump inhibitors seperti prilosec atau prevacid. Supresi adrenalPada penderita yang mendapat pengobatan glukokortikoid sistemik lebih dari 3-4 minggu harus dilakukan penilaian kemungkinan adanya supresi adrenal yang perlu dilakukan tapering glukokortikoid sistemik untuk memulihkan aksis HPA. Tindakan tapering merupakan tindakan terbaik dengan pemberian dosis harian tunggal menjadi dosis selang-seling (alternate-day dose). Langkah pertama adalah menurunkan dosis harian secara bertahap sampai 40-50 mg prednison. Kemudian dosis pemberian dapat tetap dipertahankan konstan pada 1 hari dan dikurangi 5 mg pada hari berikutnya, sampai 5 mg/hari atau dosis steroid dinaikkan pada 1 hari dan dikurangi pada hari berikumya dengan dosis yang sama.

Setelah dosis prednison mencapai 5 mg pada hari berikutnya, perlu dinilai pemberian dosis pemeliharaan. Pengukuran kadar kortisol plasma jam 8 pagi dilakukan 4 minggu setelah dosis pemberian telah mencapai 5 mg. Dosis pagi prednison diberikan sampai diperoleh hasil kadar kortisol plasma. Bila kadar kortisol plasma kurang dari 10 mg/dl. Dosis alternate-day prednison harus dikurangi 1 mg setiap 1 sampai 2 minggu dan mencapai dosis pemeliharaan sebesar 2 mg/hari. Kemudian dilakukan pemeriksaan ulang kadar plasma kortisol jam 8 pagi setiap 2 bulan sampai kadar kortisol plasma lebih besar dari 10 mg/dl. Pada saat itu, pemberian glukokortikoid sistemik pemeliharaan dapat dihentikan.

Penyembuhan atau pemulihan aksis HPA dapat berlangsung lebih dari 9 bulan. Pada umumnya insufisiensi adrenal akan pulih dalam waktu 1 tahun setelah penghentian pengobatan glukokortikoid sistemik. Untuk menilai pemulihan adrenal, dapat dilakukan pemeriksaan ACTH stimulation test setelah penghentian pengobatan pemeliharaan glukokortikoid sistemik.

OsteoporosisUntuk mencegah terjadinya osteoporosis, pemberian suplemen kalsium dan vitamin D, sulih hormon seks, melakukan program olahraga latihan beban dan restriksi natrium merupakan pengobatan lini pertama.

AterosklerosisPada penderita yang mendapat pengobatan dengan glukokortikoid sistemik perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah, lipid serum dan kadar glukosa secara seri. Adanya kelainan hasil laboratorium harus diobati dengan pemberian diet yang tepat dan bila perlu diberikan pengobatan dengan obat. Pada penderita yang merokok, harus dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokok. Hormon seks wanita dapat mencegah terjadinya aterosklerosis, oleh sebab itu pada penderita wanita menopause perlu diberikan pengobatan sulih hormon (hormone replacement therapy = HRT).

Nekrosis avaskularPendeteksian dini kelainan ini adalah penting untuk mencegah terjadinya penyakit sendi degeneratif yang memerlukan penggantian sendi. Sekitar 20% hasil pemeriksaan sinar-X penderita nekrosis avaskular adalah normal. Untuk mendeteksi kelainan ini pemeriksaan bone scan dan magnetic resonance imaging MRI) adalah lebih sensitif. Penderita harus ditanyakan adanya nyeri dan keterbatasan gerak pada sendi. Bila terdapat keluhan tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan sinar-X, bone scan atau MRI. Bila hasil MRI menunjukkan adanya kelainan ini, maka penderita harus dirujuk ke ahli ortopedi.DAFTAR PUSTAKA

1. Chrousos, George. Adrenocorticosteroids and Adrencortical Antagonists. IN :Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th ed. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2004 : 641-658.

2. Guyton, Arthur C; Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 1997 : 1203-1219.

3. Hamzah, Mochtar. Dermatoterapi. Dalam : Djuanda, Adhi, Hamzah, Mochtar, Aisah, Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3. Jakarta. Fakultas Kedokteran Indonesia. 2002 : 326 329.

4. Mycek, Mary, Harvey, Richard, Champe, Pamela, Fisher, Bruce. Kortikosteroid Adrenal. Dalam : Mycek, Mary, Harvey, Richard, Champe, Pamela, Fisher, Bruce, editor. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta. Widya Medika. 1995 : 276 - 281.