gangguan keseimbagan dan pendengaran senior.docx
TRANSCRIPT
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PENDENGARAN DAN
KESEIMBANGAN
A. Anatomi
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi 3 bagian:
telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
1. Telinga luar
Telinga luar adalah bagian telinga yang terdapat sebelah luar
membran timpani. Bagian ini terdiri dari daun telinga (pinna) dan saluran
yang menuju membran timpani (meatus akustikus eksternus), yaitu
disebelah liang telinga luar. Telinga luar melindungi telinga tengah dan
telinga dalam dengan memelihara lingkungan yang stabil.
2. Telinga tengah
Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak antara membran
timpani dan kapsul telinga dalam tulang-tulang dan otot yang terdapat
didalamnya beserta penunjangnya, tuba eustachius dan sistem sel-sel
udara mastoid. Telinga tengah adalah terowongan yang berhubungan
dengan telinga luar melalui membaran timpani dan berhubungan dengan
telinga dalam melalui tingkap oval dan tingkap bundar. Telinga tengah
mempunyai tiga tulang (rangkaian osikel) terdiri atas maleus, inkus, dan
stapes. Ketiga osikel ini menghantarkan gelombang suara dari telinga luar
menuju koklea.
3. Telinga dalam
Koklea dan kanalis semisirkularis di telinga dalam bertanggung
jawab masing-masing untuk proses pendengaran dan keseimbangan.
Koklea berupa sebuah tabung melingkar pilar tulang, menyerupai bentuk
rumah keong.
Diseluruh panjangnya koklea, koklea diagi menjadi tiga
kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklearis yang
buntu, yang juga dikenal sebagai skala media, membentuk kompartemen
tengah. Saluran ini berjalan sepanjang saluran tengah koklea, hampir
1
mencapai ujungnya. Kompartemen atas yakni skala vestibuli mengikuti
kontur bagian dalam spiral, dan skala timpani, kompartemen bawah,
mengikuti kontur luar spiral. Cairan di dalam dukuts koklearis disebut
endolimfe. Skala vestibuli dan skala timpani keduanya mengandung cairan
yang sedikit berbeda yaitu perilimfe. Daerah di luar ujung duktus koklearis
tempat cairan di kompartemen atas dan bawah berhubungan disebut
helikotrema. Skala vestibuli disekat dari rongga telinga oleh jendela oval,
tempat melekatnya stapes lebang kecil berlapis membran lainnya yakni
jendela bundar, menyekat skala timpani dari telinga tengah. Membran
vestibularis yang tipis memisahkan duktus koklearis dari skala vestibuli.
Membrana basilaris membentuk lantai duktus kolearis, memisahkan dari
skal timpani. Membrana basilaris sangat penting karena mengandung
organ Corti, organ untuk indera pendengaran.
Organ Corti yang terletak diatas membrana basilaris, diseluruh
panjangnya mengandung sel-sel rambut yang merupakan reseptor untuk
suara. Sel-sel rambut menghasilkan sinyal saraf jika rambut
dipermukaannya secara mekanis mengalami perubahan bentuk berkaitan
dengan gerakan cairan di telinga dalam. Rambut-rambut ini secara
mekanis terbenam didalam membrana tektorial, suatu tonjolan mirip tenda
rumah yang menggantung di atas sepanjang organ Corti.
2
B. Fisiologi 1. Fisiologi sistem pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang
telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani
bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang
berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan foramen
ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran
diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe dan
membran basalis ke arah bawah dan perilimfe dalam skala timpani akan
bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar. Pada waktu
istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok, dan dengan terdorongnya
membran basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini
berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium
dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang N. VIII, kemudian
meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui
saraf pusat yang ada di lobus temporalis.
2. Fisiologi sistem keseimbanganBagian dari alat vestibulum atau alat keseimbangan
berupa tiga saluran setengah lingkaran yang dilengkapi
dengan organ ampula (kristal) dan organ keseimbangan
yang ada di dalam utrikulus clan sakulus. Ujung dari setup
saluran setengah lingkaran membesar dan disebut ampula
yang berisi reseptor, sedangkan pangkalnya berhubungan
dengan utrikulus yang menuju ke sakulus. Utrikulus
maupun sakulus berisi reseptor keseimbangan. Alat
keseimbangan yang ada di dalam ampula terdiri dari
kelompok sel saraf sensori yang mempunyai rambut dalam
tudung gelatin yang berbentuk kubah. Alat ini disebut
kupula. Saluran semisirkular (saluran setengah lingkaran)
peka terhadap gerakan kepala. Alat keseimbangan di dalam
utrikulus dan sakulus terdiri dari sekelompok sel saraf yang
3
ujungnya berupa rambut bebas yang melekat pada otolith,
yaitu butiran natrium karbonat. Posisi kepala
mengakibatkan desakan otolith pada rambut yang
menimbulkan impuls yang akan dikirim ke otak.
OTITIS EKSTERNA
A. Definisi
Istilah umum yang menckup semua proses peradangan yang mengenai kulit liang telinga luar. Yang dimaksud dengan otitis eksterna ialah radang liang telinga akut maupun kronik yang disebabkan infeksi bakteri, jamur, dan virus. Faktor yang mempermudah radang telinga luar ialah perubahan pH di liang telinga yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa proteksi terhadap infeksi menurun. Pada keadaan udara yang hangat dan lembab, kuman dan jamur mudah tumbuh. Predisposisi otitis eksterna yang lain adalah trauma ringan ketika mengorek telinga.
B. Gejala
Berbagai otitis eksterna mempunyai gejala yang serupa, karena lebih tergantung pada struktur liang daripada etiologinya. Gejala permulaan adalah rasa gatal pada liang telinga, disebabkan dimulainya peradangan. Gejala ini sering tidak dapat dibedakan dengan rasa menggelitik di kedalaman yang berjalan menjalar ke telinga dan berasal dari muara tuba Eustachius yang mengalami peradangan ringan. Sensasi yang menjalar ini sering digunakan sebagai pemandu ketika memasang kateter tuba Eustachius. Biasanya disertai rasa gatal di daerah tenggorok di dasar tonsil. Gerakan otot palatum dapat mempengaruhi rasa menggelitik ini, sedangkan gerakan daun telinga tidak berpengaruh. Sebaliknya terjadi rasa gatal yang disebabkan oleh otitis eksterna.
Dengan bertambah beratnya proses ini rasa gatal meningkat menjadi rasa nyeri yang mungkin menjadi cukup hebat. Hal ini disebabkan oleh edem yang menyertainya dan menekan liang telinga yang terkena. Tiap gerakan daun telinga atau tulang rawan liang telinga, seperti untuk mengunyah, menimbulkan rasa nyeri. Eksudasi dan pembengkakan ini dapat menyebabkan gangguan akibat tersumbatnya liang telinga.
Mula-mula sekret encer, tetapi segera menjadi purulen dan kental bila bercampur dengan sel-sel nanah dan epitel yang terkelupas. Dalam bentuk kronis sekret hanya sedikit atau tidak ada, dan terbentuk gumpalan dalam liang telinga,
4
yang biasanya berbau amis atau busuk, karena reaksi bakteri saprofit atau jamur dalam liang telinga.
Gejala-gejala toksik dengan demam menandakan adanya penyebaran limfatik. Adenopati akan jelas didaerah segitiga servikal anterior bagian atas, daerah parotis atau kelompok tulang belakang telinga akibat penyebaran infeksi ini.
C. Klasifikasi
Otitis kesterna dapat dibagi dalam bentuk terlokalisir dan difus serta dalam bentuk akut dan kronis.
D. Diganosis
1. Otitis eksterna akut terlokalisirMerupakan infeksi folikel rambut, bermula sebagai folikulitis
kemudian biasanya meluas menjadi furunkel.Pada kasus dini dapat terlihat pembengkakan dan kemerahan difus di
daerah liang telinga bagian tulang rawan, biasanya posterior atau superior. Pembengkakan ini dapat sampai menyumbat liang telinga. Setelah terjadi lokalisasi akan timbul pustula. Pada keadaan ini terdapat rasa nyeri hebat sehingga pemeriksaan sukar dilakukan. Biasanya tidak terdapat sekret sampai absesnya pecah.
2. Otitis eksterna akut difusAdalah penyakit yang terutam timbul apada musim panas dan
merupakan bentuk otitis eksterna yang paling umum. Cuaca panas dan
5
lembab menyebabkan pembengkakan stratum korneum kulit sehingga menyumbat saluran folikel.
Sewaktu terjadi heperemia dan edem kulit liang telinga, timbul rasa gatal hebat yang berangsur-angsur berubah menjadi rasa nyeri. Liang telinga meradang dan menjadi bengkak difus yang terasa nyeri bila daun telinga digerakan. Terdapat sekresi cairan serosa. Sementara penyakit makin berlanjut, cairannya menjadi seropurulen dan edem menyumbat sebagian atau seluruh liang telinga dan menutupi gendang telinga. Meskipun proses ini biasanya terbatas pada liang telinga, lekuk intertragus dan lobul dapat juga terkena karena iritasi oleh cairan yang keluar. Papul dan vesikel kecil-kecil timbul pada permukaan kulit, tetapi tidak selalu terliahat karena sulitnya pemeriksaan.
3. Otitis eksterna kronis difusJamur, biasanya Aspergillus niger, Actinomyces atau ragi,
menimbulkan warna kemerahan kronis yang superfisial pada kulit dinding liang telinga bagian tulang. Terbentuk eksudat berbau amis yang tampak keriput berwarna abu-abu seperti kertas penghisap tinta yang basah. Pada permukaan selaput yang agak tebal ini akan tampak filamen-filamen jamur. Jika selaput ini diangkat tampak kulit licin kemerah-merahan.
Pada infeksi jamur timbul rasa gatal terus-menerus dan hebat tetapi jarang menjadi nyeri. Menifestasi sistemik jarang terjadi kecuali bila disertai infeksi bakteri yang biasanya disebabkan garukan pada telinga.
E. Tatalaksana
1. Otitis eksterna akut terlokalisir
6
Terapinya bergantung pada keadaan furunkel. Bila sudah menjadi abses, diaspirasi secara steril untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan antibiotika dalam bentuk salep seperti polymixin B atau bacitracin, atau antiseptik (asam asetat 2-5% dalam alkohol 2%). Kalau dinding furunkel tebal dilakukan insisi, kemudian dipasang salir (drain) untuk mengalirkan nanahnya. Dapat ditambahkan pula obat analgetika.
2. Otitis eksterna akut difusPengobatannya ialah dengan memasukkan tampon yang mengandung
antibiotika ke dalam liang telinga, supaya terdapat kontak yang baik antara
obat dengan kulit yang meradang. Kadang – kadang diperlukan obat
antibiotika sistemik.
3. Otitis eksterna kronis difus
Pada pemeriksaan pertama, membran yang lembab harus dibersihkan dengan irigasi dan penghisapan secara hati-hati. Kulit dibawahnya tampak hiperemis dan mudah berdarah. Kulit ini harus dioles dengan metakrosol asetat. Bila terdapat infeksi bakteri sekunder, telinga harus dibedaki dengan campuran polimiksin B dan kloramfenikol. Untuk ini dibutuhkan 250 mg bubuk polimiksin B dan 3 gram bubuk kloramfenikol, dimasukan dalam alat peniup bubuk. Sesudah hiperemi mulai berkurang, dapat diberi alkohol encer, dan bubuk serta metakrosol dihentikan secara bertahap.
7
OTITIS MEDIA AKUT
Otitis media akut (OMA) adalah otitis media yang berlangsung selama 3 minggu atau kurang karena infeksi bakteri piogenik. Penyakit peradangan telinga tegah telah banyak berubah akibat penggunaan antibiotik secara luas, banyak bentuk penyakit seperti yang diuraikan dalam kepustakaan lama saat ini tidak dijumpai lagi. OMA terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba Eutachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Patogenesis
Umumnya otitis media berasal dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri melalui trauma yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edem pada mukosa tuba Eutachius bagian faring yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung menuju nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh penjamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.
Stadium
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Stadium oklusi tuba Eustachius terdapat sumbatan tuba Eustachius yang
ditandai oleh retraksi membrana timpani akibat tekanan negatif dalam telinga
tengah karena terjadinya absorpsi udara. Selain retraksi, membrana timpani
8
kadang-kadang tetap normal atau hanya berwarna keruh pucat atau terjadi
efusi. Stadium oklusi tuba Eustachius dari otitis media supuratif akut (OMA)
sulit kita bedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan virus
dan alergi.
2. Stadium Hiperemis (Pre Supurasi)
Stadium hiperemis (pre supurasi) akibat pelebaran pembuluh darah di
membran timpani yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis,
edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen
(nanah). Selain itu edema pada mukosa telinga tengah makin hebat dan sel
epitel superfisial hancur. Ketiganya menyebabkan terjadinya bulging
(penonjolan) membrana timpani ke arah liang telinga luar. Pasien akan tampak
sangat sakit, nadi & suhu meningkat dan rasa nyeri di telinga bertambah hebat.
Anak selalu gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak. Stadium supurasi yang
berlanjut dan tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan ruptur membran
timpani akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani.
9
Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan. Nekrosis ini
disebabkan oleh terjadinya iskemia akibat tekanan kapiler membran timpani
karena penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan
akibat tromboflebitis vena-vena kecil.
Keadaan stadium supurasi dapat kita tangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan membuat luka insisi pada
membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang
telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan mudah menutup kembali
sedangkan ruptur lebih sulit menutup kembali. Bahkan membran timpani bisa
tidak menutup kembali jika membran timpani tidak utuh lagi.
4. Stadium Perforasi
10
Stadium
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga
sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah
ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi
(berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian
antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah
menjadi lebih tenang, suhu menurun dan bisa tidur nyenyak.
Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret (nanah)
tetap berlangsung selama lebih 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih
1,5-2 bulan maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).
5. Stadium Resolusi
Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal
hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen tidak
ada lagi. Stadium ini berlangsung jika membran timpani masih utuh, daya
tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Stadium ini didahului oleh
sekret yang berkurang sampai mengering.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi
otitis media supuratif kronik (OMSK). Kegagalan stadium ini berupa membran
timpani tetap perforasi dan sekret tetap keluar secara terus-menerus atau hilang
timbul.
Otitis media supuratif akut (OMA) dapat menimbulkan gejala sisa
(sequele) berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret
menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani.
Gejala klinik
11
Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan disamping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat betuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil dengan gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat sampai 39,50C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur memebran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh tenang dan anak tertidur tenang.
Tatalaksana
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
1. Stadium oklusiPada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eutachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang, untuk itu diberikan obat tetes hidung. HCL efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (anak < 12 tahun) atau HCL efedrin 1 % dalam larutan fisiologik untuk yang berumur diatas 12 tahun dan pada orang dewasa. Sealin itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotik diberikan apabila penyebab penyakit adalah kuman, bukan virus atau alergi.
2. Stadium presupurasiPada stasium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika. Antibiotik yang dianjurkan adalah yang dari golongan ampisilin atau penisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didaptkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan pemberian antibiotik dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/Kg BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis atau eritromisin 40mg/kg BB/hari.
3. Stadium supurasiPada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila timpani masih utuh. Dengan mirigotomi gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari.
4. Stadium perforasi
12
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat sekret keluar berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
5. Stadium resolusiPada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setalah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis. Bila OMA berlajut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu sentengah bulan atau dua bulan, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronik (OMSK). Pada pengobatan OMA terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan kegagalan terapi. Risiko tersebut digolongkan menjadi risiko tinggi kegagalan terapi dan risiko rendah.
13
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata (OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut otitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK adalah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, dan daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk.
ETIOLOGI
Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada
anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari
nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor
predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan down’s syndrom.
Faktor host yang berkaitan dengan insiden OMSK yang relatif tinggi adalah
defisiensi immun sistemik. Penyebab OMSK antara lain:
14
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi
mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi,
dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi
sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum,
diet, tempat tinggal yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah
insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai
faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis
media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya.
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari
otitis media akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor
apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi
kronis.
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir
tidak bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode
kultur yang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah
Gram- negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
5. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara
normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun
15
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar
terhadap otitis media kronis.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi
dibanding yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian
penderita yang alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-
toksinnya, namun hal ini belum terbukti kemungkinannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius.
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh
edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih
belum diketahui. Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk
mengevaluasi fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak
mungkin mengembalikan tekanan negatif menjadi normal
Patogenesis OMSK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini
merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang
sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Perforasi
sekunder pada OMA dapat terjadi kronis tanpa kejadian infeksi pada telinga
tengah missal perforasi kering. Beberapa penulis menyatakan keadaan ini sebagai
keadaan inaktif dari otitis media kronis. Suatu teori tentang patogenesis
dikemukan dalam buku modern yang umumnya telah diterima sebagai fakta.
Hipotesis ini menyatakan bahwa terjadinya otitis media nekrotikans, terutama
pada masa anak-anak, menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga.
Setelah penyakit akut berlalu, gendang telinga tetap berlubang, atau sembuh
dengan membran yang atrofi yang kemudian dapat kolaps kedalam telinga tengah,
memberi gambaran otitis atelektasis. Hipotesis ini mengabaikan beberapa
kenyataan yang menimbulkan keraguan atas kebenarannya, antara lain:
i. Hampir seluruh kasus otitis media akut sembuh dengan perbaikan lengkap
membran timpani. Pembentukan jaringan parut jarang terjadi, biasanya ditandai
oleh penebalan dan bukannya atrofi.
16
ii. Otitis media nekrotikans sangat jarang ditemukan sejak digunakannya
antibiotik. Penulis (DFA) hanya menemukan kurang dari selusin kasus dalam 25
tahun terakhir. Di pihak lain, kejadian penyakit telinga kronis tidak berkurang
dalam periode tersebut.
iii. Pasien dengan penyakit telinga kronis tidak mempunyai riwayat otitis akut
pada permulaannya, melainkan lebih sering berlangsung tanpa gejala dan
bertambah secara bertahap, sampai diperlukan pertolongan beberapa tahun
kemudian setelah pasien menyadari adanya masalah.
GEJALA KLINIS
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas
kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan
yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi.
Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat
disebabkan infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar
setelah mandi atau berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya
sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi
kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil,
berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret
telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.
Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan
polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu
sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya
di jumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan
pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena
daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif
17
ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20
db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan
fiksasi dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih
dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena
putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak
sebagai penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus
diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi
perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui
jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis
supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran
tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kokhlea.
3. Otalgia (nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan
suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya
drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan
pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh
adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya.
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat
erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang
akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
18
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.
Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum .
PEMERIKSAAN KLINIK Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas.
Pemeriksaan Radiologi. 1. Proyeksi Schuller
Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen.
2. Proyeksi Mayer atau Owen, Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran.
4. Proyeksi Chause III Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom.
Bakteriologi Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa,
Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp.
PENATALAKSANAANPrinsip pengobatan OMSK adalah :
1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani.2. Pemberian antibiotika :
a. Topikal antibiotik ( antimikroba)b. Sistemik.
19
Pengobatan untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain:
1. Mastoidektomi sederhana ( simple mastoidectomy)2. Mastoidektomi radikal3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi 4. Miringoplasti.5. Timpanoplasti6. Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach tympanoplasty)
Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran
KOMPLIKASI
A. Komplikasi ditelinga tengah :1. Perforasi persisten2. Erosi tulang pendengaran3. Paralisis nervus fasial
B. Komplikasi telinga dalam1. Fistel labirin2. Labirinitis supuratif3. Tuli saraf ( sensorineural)
C. Komplikasi ekstradural1. Abses ekstradural2. Trombosis sinus lateralis3. Petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat1. Meningitis2. Abses otak3. Hindrosefalus otitis
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3 macam lintasan :
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak2. Menembus selaput otak.3. Masuk kejaringan otak.
20
GANGGUAN PENDENGARAN DAN WICARA PADA ANAK
I. PENDAHULUAN
Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan audiologi. Pada sisi lain pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini mungkin (Soepardi dkk., 2008).
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang-kadang disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalai gangguan pendengaran lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara (delayed speech) (Soepardi dkk., 2008).
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf).Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar. Sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang
21
sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (Soepardi dkk., 2008).
II. PERKEMBANGAN AUDITORIK
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, upaya untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar habilitasi pendengaran sudah dapat simulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung (Soepardi dkk., 2008).
III. PERKEMBANGAN AUDITORIK PRENATALTelah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat memberikan respon terhadap suara yang ada di sekitarnya, namun reaksi janin masih bersifat reflex seperti reflex moro, terhentinya aktivitas (cessation reflex) dan auro palpebral. Kuczwara dkk (1984) membuktikan respon terhadap suara berupa reflex auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia 24-25 minggu (Soepardi dkk., 2008).
IV. PERKEMBANGAN WICARA
Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula perkembangan kemampuan bicara. Kemampuan wicara dan berbahasa pada seseorang hanya dapat tercapai bila input sensorik (auditorik) dan notorik dalam keadaan normal (Soepardi dkk., 2008).
Awal dari proses belajar bicara terjadi pada saat lahir, sulit dipastikan usia absolute tahapan perkembangan bicara, namun pada umumnya akan mengikuti tahapan sebagai berikut (Tabel 1) (Soepardi dkk., 2008).
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar, oleh karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan adanya gangguan pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal beriku ini perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak (Tabel 2) (Soepardi dkk., 2008).
22
Tabel 1. Tahapan perkembangan bicara (Soepardi dkk., 2008).
23
Tabel 2. Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak (Soepardi dkk., 2008).
Usia Kemampuan Bicara
12 Bulan
18 Bulan
24 Bulan
30 Bulan
Belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi.
Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti.
Perbendaharaan kata < 10 kata.
Belum dapat merangkai 2 kata.
V. PENYEBAB GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI/ ANAK
24
Usia Kemampuan
Neonatus
2-3 bulan
4-6 bulan
7-11 bulan
12-18 bulan
Menangis (reflex vocalization)Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung (cooing)Suara seperti berkumur (gurgles)
Tertawa dan mengoceh tanpa arti (Babling)
Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup (vowel) dan huruf mati (konsonan).Suara berupa ocehan yang bermakna (true babbling atau lalling), seperti “pa..pa..da..da..”
Dapat menggabung kata atau suku kaya yang tidak mengandung arti, terdengar seperti bahasa asing (jargon).Usia 10 bulan mam;u meniru suara sendiri (echolalia)Memahami arti “tidak”, mengucapkan salam.Mulai member perhatian terhadap nyanyian atau musik.
Mampu menggabungkan kata atau kalimat pendek.Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai arti (true speech)Usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuhn dan nama mainannya.Usia18 bulan mamou mengucapkan 6-10 kata.
Penyebab gangguan pendengaean pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat trejadinya gangguan pendengaran yaitu pada masa prenatal, perinatal dan postnatal (Soepardi dkk., 2008).
1. MASA PRENATAL1.1 Genetik herediter1.2 Non genetik seperti gangguan / kelainan pada masa kehamilan, kelainan
struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi yodium) (Soepardi dkk., 2008).Selama kehamiln, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti TORCHS dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan (Soepardi dkk., 2008).Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat dan thalidomide (Soepardi dkk., 2008).Selain itu, malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian (Soepardi dkk., 2008).
2. MASA PERINATALBeberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan factor resiko terjadinya gangguan pendengaran/ketulian seperti premature, BBLR (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis) (Soepardi dkk., 2008).Umumnya ketulian yang terjadi akibat factor prenatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat berat (Soepardi dkk., 2008).
3. MASA POSTNATALAdanya infeksi bakteri atau virus seperti rubella, campak, parotis, infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telingan tengah, trauma temporal juga dapat meneybabkan tuli saraf atau tuli konduktif (Soepardi dkk., 2008).
VI. PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus dketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi/anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal seorang bayi telah
25
memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran (Soepardi dkk., 2008).
Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak jauh lebih sulit dan memerlukan ketelitiian dan kesabaran. Selain itu pemeriksa harus memiliki pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi/anak dengan taraf perkembangan motorik dan auditorik, berdasarkan pertimbangan tersebut adakalanya perlu dilakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan tambahan untuk melakukan konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya (Soepardi dkk., 2008).
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi dan anak (Soepardi dkk., 2008):
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)2. Timpanometri3. Audiometri Nada murni4. Oto Acoustic Emission (OAE)5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)Tes ini berdasarkan respon aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan
merupakan respon yang disadari (voluntary respon). Metode ini dapat mengetahui seluruh sistim auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. BOA penting untuk mengathui respon subjektif sistim auditorik pada bayi dan anak dan jug abermanfaat untuk penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing aid fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi, namun pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia bayi.
Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari 60 dB), idealnya pada ruang kedap suara. Sebagai sumber bunyi sumber sederhana dapat digunakan tepuk tangan, tambur, bola plastic berisi pasir, remasan kertas minyak, bel, terompet karet, mainan yang mempunyai frekuensi tinggi.
Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa dipakai alat buatan pabrik seperti baby reactometer, Neometer, Viena Tone.
Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut. Pemeriksaan BOA dibedakan atas Behavioral reflex Audiometry dan Behavioral response Audiometry.
26
a. Behavioral Reflex AudiometryDilakukan pengamatan respon tingkah laku yang bersifat reflex
sebagai rekasi terhadap stimulus bunyi.Respon tingkah laku yang dapat diamati antara lain :
menngedipkan mata (auropalpebral reflex), melebarkan mata, mengerutkan wajah, berhenti menyusu, denyut jantung meningkat, reflex moro (paling konsisten). Refleks auropalpebral dan moro rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi menjadi bosan sehingga tidak memberikan respon walaupun dapat mendengar. Stimulus intensitas zekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker, jadi merupakan metode sound field atau dikenal juga sebagai Free field test. Stimulus juga juga dapat diberikan melalui noisemaker yang dapat dipilih intensitasnya. Pemeriksaan ini tidak dapat menentukan ambang dengar.
Bila kita mengharapkan terjadinya reflex Moro dengan stimulus bunyi yang keras sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis, sehingga menyulitkan observasi selanjutnya.
b. Behavioral Response AudiometryPada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan
menghasilkan pola respon khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horizontal dan dengan bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13-16 bulan.
Teknik Behavioral Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah Tes Distraksi dan Visual Reinforcement Audiometry (VRA).
Tes DistraksiTes ini dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan
stimulus nada murni. Bayi dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan memperlihatkan mainan yang tidak terlalu menarik perhatian; selain memperhatikan respon bayi. Pemeriksa kedua berperan memebrikan stimulus bunyi, misalnya dengan audiometer yang terhubung dengan pengeras suara.
27
Respon terhadap stimulus bunyi adalah menggerakkan bola mata atau menoleh ke arah sumber bunyi. Bila tidak ada respon terhadap stimulus bunyi, pemeriksaan diulangi sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan telinga dilakukan lagi 1 minggu kemudia. Seandainya tetap tidak ada respon, harus dilakukan pemeriksaan audiologik lanjutan yang lebih lengkap.
Visual Reinforcement AudiometryMulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-7 bulan dimana kontol neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada masa ini respon unconditioned beralih menjadi respon conditioned. Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respon conditioned yang diperkuat dengan stimulus visual dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi akan memberikan respon orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber bunyi. Dengan intensitas yang sama diberikan stimulus bunyi saja (tanpa stimulus visual), bila bayi member respon diberi hadiah berupa stimulus visual. Pada tes VRA juga diperlukan 2 orang pemeriksa. Pemeriksaan VRA dapat digunakan untuk menentukan ambang pendengaran, namun karena stimulus diberikan melalui pengeras suara maka respon yang terjadi merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik.
2. TimpanometriPemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah.
Gambaran Timpa nometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif di telinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali kea rah luar (oleh gendang telinga). Pada orang dewasa atau bayi berusia diatas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668, 678, atau 1000 Hz).Terdapat 5 jenis timpanogram, yaitu :1. Tipe A (normal)
28
2. Tipe AD (diskontinuitas tulang-tulang pendengaran)3. Tipe AS (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)4. Tipe B (cairan di telinga tengah)5. Tipe C (gangguan fungsi tuba eustachius)
Gambar 1. Gambaran 5 jenis Timpanogram (Michele and Ruth 2008).
Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan timpanogram tidak mengikuti ketentuan di atas.
29
Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah normal.
Refleks akustik pada bayi juga berbeda dengan orang dewasa. Dengan menggunakan probe tone frekuensi tinggi, refleks akustik bayi usia 4 bulan atau lebih sudah mirip dengan dewasa.
3. Audiometri Nada murniPemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer dan hasil pencatatannya disebut sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang kooperatif. Sebagai sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara (air conduction) melalui headphone pada frekuensi 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang (bone conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang biasa digunakan antara 10-100 dB (masing-masing dengan kelipatan 10), secara bergantian pada kedua telinga. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian.
4. Oto Acoustic Emission (OAE)Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energy bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju liang telinga. Peristiwa ini mirip dengan peristiwa echo. Produk sampingan koklea ini selanjutnya disebut sebagai emisis otoakustik (otoacoustic emission). Koklea tidak hanya menrima dan memproses bunyi tetapi juga dapat memproduksi energy bunyi dengan intensitas rendah yang berasak dari sel rambut luar koklea (outer hair cells)
Terdapat 2 jenis OAE yaitu Spontaneous OAE (SPOAE) dan Evoked OAE. SPOAE adalah mekanisme aktif koklea untuk memprouksi OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun tidak semua orang dengan pendengaran normal mempunyai SPOAE. EOAE hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik yang dibedakan menjadi Transient Evoked OAE (TEOAE) dan Distortion Product OAE (DPOAE). Pada TEOAE
30
stimulus akustik berupa click sedangkan DPOAE menggunakan stimuklus berupa 2 buah nada murni yang berbeda frekuensi dan intensitasnya.
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi koklea yang objektif, otomatis (menggunakan criteria pass/lulus dan refer/tidak lulus), tidak invasive, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir (Universal Newborn Screening).
Pemeriksaan tidak harus di ruang kedap suara, cukup di ruangan yang tenang. Pada mesin OAE generasi terakhir, nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang terjadi selama pemeriksaan. Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga. Hal tersebut menyebabkan nilai sensitifitas dan spesifisitas OAE tinggi. Untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe sesuai ukuran liang telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi dan anak kooperatif.
Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negative dari obat ototoksik, diagnosis neuropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dengar, skrining pemaparan bising (NIHL) dan sebagai pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea.
5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)Istilah lain dari BERA adalah Auditory Brainstem response (ABR). BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistim auditorik, bersifat obyektif dan tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa dan penderita koma
BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan n.VIII, pusat-pusat neural dan traktus di dalam batang otak) sebagai respon terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang diberikan melalui headphone, insert probe, bone vibrator. Untuk memperoleh stimulus yang paling efesien sebaiknya digunakan insert probe. Stimulus click merupakan impuls listrik dengan onset cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms), menghasilkan respon pada average frequency antara 2000-4000 Hz. Tone burst juga merupakan stimulus dengan durasi singkat namun memiliki frekuensi spesifik.
31
Salah satu factor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah menentukan masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai terjadi EP untuk masing-masing gelombang (gel I-gel V). dikenal 3 jenis masa laten : masa laten absolute dan masa laten antargelombang serta masa laten antar telinga. Masa laten absolut gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I. Masa laten antargelombang adalah selisih waktu antar gelombang, misalnya masa laten antar gelombang I-III, III-V, I-V. masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa laten absolute gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemanjangan masa laten fisiologik yang terjadi bila intensitas stimulus diperkecil. Terdapatnya pemanjangan masa laten pada beberapa frekuensi menunjukkan adanya gangguan konduksi.
Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak yang usianya kurang dari 12-18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten, amplitude dan morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar maupun orang dewasa.
32
Gambar 2. Gambaran normal ABR pada dewasa muda (Michele and Ruth 2008).
VII. DETEKSI DINI GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI
Identifikasi dan intervensi awal dapat mencegah gangguan psikosial, pendidikan dan linguistik yang berat. Intervensi pada umur 6 bulan akan dapat membuat anak dengan gangguan pendengaran untuk berkembang normal dalam aspek bahasa dan bicara sepanjang ia bersama dengan anggotanya (Michele and Ruth 2008).
Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1998 di Universitas Kolorado, menemukan bahwa periode kritis untuk identifikasi dan intervensi, yaitu usia kurang dari 6 bulan. Pada tahun 1998, Yoshinaga-Itano dan Sedey et al, membandingkan kemampuan reseptif dan ekspresif bahasa pada anak-anak
33
dengan berbagai derajat gangguan pendengaran dengan anak-anak yang tidak memiliki gangguan pendengaran. Beberapa temuan yang ada antara lain (Michele and Ruth 2008) :
Anak-anak dengan gangguan pendengaran yang dididentifikasi pada umur 6 bulan mempunyai kecerdasan reseptif, ekspresif dan total bahasa disbanding dengan anak-anak yang diidentifikasi pada umur 7-12, 13-18, 19-24 dan 25-34 bulan.
Perbedaan statistik ini tidak tergantung pada variabel demografi seperti : umur, jenis kelamin, etnik, jenis komunikasi, derajat gangguan dengar, status sosioekonomi dan ada atau tidaknya disabilitas lain.
Tidak ada perbedaan signifikan dalam kemampuan bahasa yang ditemukan di antara kelompok anak-anak yang diidentifikasi ketika usia mereka lebih dari 6 bulan.
Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak relative sulit, karena akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Program skrinning sebaiknya diprioritaskan pada bayi dan anak yang mempunyai resiko terhadap gangguan pendnegaran. Untuk maksud tersebut Joint Committee on Infant Hearing (2000) menetapkan pedoman registrasi resiko tinggi terhadap ketulian sebagai berikut (Michele and Ruth 2008) :
Untuk bayi 0-28 hari1. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU selama 48 jam
atau lebih.2. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang
diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau konduktif.3. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang
menetap sejak masa anak-anak.4. Anomali kraniofasial termasuk kelainan morfologi liang telinga.5. Infeksi intrauterine seperti toksoplasma, rubella, virus cytomegalo,
herpes, sifilis
Untuk bayi 29 hari-2 tahun1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,
keterlambatan bicara, berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan.2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendnegaran yang menetap sejak
masa anak-anak.
34
3. Keadaan atau stigmata yang behubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, konduktif atau gangguan fungsi tuba eustachius.
4. Infeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural termasuk meningitis bakterialis.
5. Infeksi intrauterine sperti toksoplasma, rubella, virus cytomegallo, herpes, sifilis.
6. Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonates, terutama hiperbilirubinemia yang memerlukam transfuse tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yag progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis.
8. Adanya kelainan neurodegenerative seperti Hunter Syndrome dan kelainan neuropati sensomotorik misalnya Friedrich’s ataxia, Charrot-Marie Tooth syndrome
9. Trauma kapitis.10. Otitis media yang berulang atau menetap diserta efusi telinga tengah
minimal 3 bulan.
Bayi yang mempunyai salah satu faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang tidak memiliki faktor resiko. Bila terdapat tiga buah faktor resiko, kecenderungan menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor resiko itu. Pada bayi yang baru lahir yang di rawat di ruangan intensif (ICU) resiko untuk mengalami ketulian 10 kali lipat dibandingkan bayi normal (Michele and Ruth 2008).
Namun indicator resiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi sekitar 50 % gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan pendengaran tanpa memiliki faktor resiko dimaksud. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing Creening (NHS) (Michele and Ruth 2008).
Saat ini baku emas pemeriksaan skrining pendengaran pada bayi adalah pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) dan Automated ABR (AABR) (Soepardi dkk., 2008).
35
Dikenal 2 macam program NHS, yaitu (Soepardi dkk., 2008) :
1. Universal Newborn Hearing Creening (UNHS)Bertujuan melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada semua bayi baru lahir. Upaya skirining pendengaran ini sudah dimulai pada usia 2 hari atau sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk bayi yang lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki program UNHS paling lambat pada usia 1 bulan sudah melakukan skrining pendengaran.
2. Targeted Newborn Hearing ScreeningDi Negara berkembang program UNHS masih sulit dilakukan karena memerlukan biaya dan SDM yang cukup besar dan harus didukung oleh suatu peraturan dari pemerintah setempat. Atas dasar pertimbangan tersebut kita dapat melakukan program skrining pendengaran yang lebuh selektif dan terbatas pada bayi yang memiliki gangguan pendengaran.
36
Presbikusis ( Tuli Saraf Pada Geriatri )
Definisi
Presbikusis adalah tuli saraf sensori neural frekuensi
tinggi, umumnya terjadi pada usia 65 tahun, simetris kiri dan
kanan. Presbikusis dapat mulai pada frekuensi 100 Hz atau lebih.
Etiologi
Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan akibat
dari proses degenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai
hubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makanan,
metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau
bersiat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran secara
berangsur merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor
tersebut di atas.
Biasanya terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Progesifitas
penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin,
pada laki-laki lebih cepat dibandingkan dengan perempuan.
Patologi
Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur
koklea dan N.VIII. Pada koklea perubahan yang mencolok adalah
atrofi dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ
korti .
Proses atrofi disertai dengan perubahan vaskular juga
terjadi pada stria vaskularis. Selain itu tedapat pula perubahan
berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan
saraf. Hal yang sama terjadi juga pada myelin akson saraf.
37
Klasifikasi
Berdasarkan perubahan patologik yang terjadi presbikusis
digolongkan menjadi 4 jenis yaitu , (1) sensorik, (2) neural, (3)
metabolik (strial presbycusis), (4) mekanik (cochlear
presbycusis).
Jenis patologi
Sensorik lesi terbatas pada koklea. Atrofi
organ korti, Jumlah sel-sel
rambut dan sel-sel penunjang
berkurang.
Neural sel-sel neuron pada koklea dan
jaras auditori berkurang
Metabolic atrofi stria vaskularis . potensial
mikofonik menurun, fungsi sel
dan keseimbangan
biokimia/biolektrik koklea
berkurang.
Mekanik terjadi perubahan gerakan
mekanik duktus Koklearis ,
atrofi ligamentum spiralis,
Membrane basilaris lebih kaku.
Gejala klinik
Keluhan utama presbikusis berupa berkurangnya
pendengaran secara perlahan-lahan dan progresif, simetris pada
kedua telinga. Kapan berkurangnya pendengaran tidak diketahui
pasti.
38
Keluhan lainnya adalah telinga berdenging (tinitus nada
tinggi) pasien dapat mendengar suara percakapan, tetapi suit
untuk memahaminya, terutama bila diucapkan dengan cepa di
tempat dengan latar belakang yang riuh. Bila intensitas suara
ditinggikan akan timbul rasanyeri di teinga, hal ini disebabkan
oleh faktor kelelahan saraf ( recruitment).
Diagnosis
Dengan pemeriksaan otoskopi : tampak membrane timpani
suram, mobilitasnya berkurang. Pada tes penala didapatkan tuli
sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan
suatu tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris.
Pada tahap awal terdapat penurunan yang tajam setelah
frekuensi 2000 Hz. Gambaran ini khas pada presbikusis jenis
sensorik dan neural. Kedua jenis presbikusis ini paling sering
ditemukan.
Garis ambang dengar pada audiogram jenis metabolic dan
mekanik lebih mendatar kemudian pada tahap berikutnya
berangsur-angsur terjadi penurunan. Pada semua jenis
presbikusis tahap lanjut juga terjadi penurunan pada frekuensi
yang leih rendah.
Pemeriksaan audiometri tutur menunjukkan adanya
gangguan diskriminasi wicara. Keadaan ini jelas terlihat pada
presbikusis jenis neural dan koklear.
Penatalaksanaan
39
Rehabilitasi sebagai upaya mengembalikan fungsi
pendengaran dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar
(hearing aid).
Pemasangan alat bantu dengar hasilnya akan lebih
memuaskan bila dikombinasikan dngan latihan membaca ujaran
(speech reading) dan latihan mendengar (audiotory training);
prosedur latihan tersebut dilakukan bersama ahli terap wicara
(speech teraphist).
GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING
Apabila telinga normal terpapar bising pada intensitas yang merusak selama
periode waktu yang lama akan terjadi penurunan pendengaran yang temporer,
yang akan mengghilang setelah beristirahat beberapa menit atau beberapa jam.
Kurang pendengaran temporer ini merupakan fenomena yang fisiologis dan
disebut sebagai perubahan ambang temporer (temporary threshold shift = TTS).
Diduga terjadi di sel rambut organ Corti dan mungkin berhubungan dengan
perubahan metabolik sel rambut, perubahan kimia di dalam cairan kimia dalam
atau perubahan vaskuler di telinga dalam. Bila pemaparannya lebih lama dan atau
intensitasnya lebih besar, akan tercapai suatu tinngkatan ketulian yang tidak dapat
40
kembali lagi ke tingkat pendengaran semula. Keadaan tersebut disebut ketulian
akibat bising (noised induced hearing loss) atau perubahan ambang permanen
(permanent threshold shift/PTS)
Penelitian oleh Glorig dan stafnya menghasilkan fakta-fakta penting seperti
berikut ini sehubungan dengan perubahan ambang temporer dan permanen.
1. TTS yang diakibatkan pemaparan bising 100 dB atau lebih selama satu hari
adalah sebesar 0 dB sampai 40 dB.
2. Pemaparan bising industri yang khas menyebabkan perubahan temporer
yang terbesar pada 4000 dan 6000 Cps (siklus per detik).
3. Kebanyakan dari perubahan temporer terjadi selama 2 jam pemaparan
pertama.
4. Jumlah perubahan temporer dan lokasi frekuensinya berbeda dengan jumlah
dan frekuensi perubahan permanen yaitu, makin banyak perubahan
permanen pada suatu frekuensi, makin sedikit perubahan temporer pada
frekuensi tersebut.
5. Penyembuhan dari TTS kebanyakan terjadi dalam waktu 1 atau 2 jam
setelah pemaparan bising berhenti.
6. Tampaknya ada hubungan yang jelas antara TTS dengan PTS:
a. Suatu bising yang tidak menyebabkan ketulian temporer tidak akan
menyebabkan ketulian permanen.
b. Konfigurasi audiogram yang terlihat pada TTS yang singkat akan serupa
dengan yang ditemukan pada PTS.
Penelitian eksperimental pada TTS menunjukan bahwa pemaparan yang
terus menerus dan pemaparan yang intermiten minimbulkan efek yang berbeda
pada telinga. Bila suatu bising dibunyikan selam satu menit dan dimatikan satu
menit, misalnya, maka biasanya gangguan temporer (TTS) akan setengah dari
apabila bising itu terus-menerus. Bila efek yang sama terjadi untuk ketulian
permanen dan bila pekerja mendapat masa yang relatif sunyi beberapa kali selama
sepanjang hari, maka perubahan jangka panjang yang terjadi akan lebih sedikit
daripada bila pemaparannya terus menerus.
41
Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari penurunan kemampuan pendengaran akibat
bising berupa adanya stres mekanis dan metabolik pada organ sensorik auditorik
bersamaan dengan kerusakan sel sensorik atau bahkan kerusakan total organ Corti
di dalam koklea.
1. Proses mekanis
Berbagai proses mekanis yang dapat menyebabkan kerusakan sel rambut akibat
pajanan terhadap bising meliputi:
1) Aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat menyebabkan robeknya
membran Reissner sehingga cairan dalam endolimfe dan perilimfe
bercampur yang mengakibatkan kerusakan sel rambut.
2) Gerakan membran basilar yang kuat dapat menyebabkan gangguan organ
Corti dengan percampuran endolimfe dan kortilinfe yang mengakibatkan
kerusakan sel rambut.
3) Aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat langsung merusak sel
rambut dengan melepaskan organ Corti atau merobek membran basilar.
Proses diatas biasanya dapat dilihat pada pajanan terhadap bising dengan
intensitas tinggi dan gangguan pendengaran akibat bising terjadi dengan cepat.
2. Proses metabolik
Proses metabolik yang dapat merusak sel rambut akibat pajanan bising
meliputi:
1) Pembentukan vesikel dan vakuol di dalam retikulum endoplasma sel rambut
serta pembengkakan mitokondria dapat berlanjut menjadi robeknya
membran sel dan hilangnya sel rambut.
2) Kehilangan sel rambut mungkin disebabkan kelelahan metabolik akibat
gangguan sistem enzim yang esensial untuk produksi energi, biosintesis
protein dan pengangkutan ion.
3) Cidera stria vaskularis menyebabkan gangguan kadar Na, K, dan ATP. Hal
ini menyebabkan hambatan proses transpor aktif dan pemakaian energi oleh
42
sel sensorik. Kerusakan sel sensorik menimbulkan lesi kecil pada membran
retikular bersamaan dengan percampuran cairan endolimfe dan kortilimfe
serta perluasan kerusakan sel sensorik lain.
4) Sel rambut luar lebih mudah terangsang suara dan membutuhkan energi
yang lebih besar sehingga menjadi lebih rentan terhadap cidera akibat
iskemia.
5) Mungkin terdapat interaksi sinergis antara bising dengan pengaruh lain yang
merusak telinga.
Pemeriksaan pada gangguan pendengaran
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan,
pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis pernah
berkerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup
lama biasanya lima tahun atau lebih. Riwayat pekerjaan harus meliputi informasi
pekerjaan sekarang dan semua pekerjaan sebelumnya (khususnya yang
berhubungan dengan pajanan terhadap bising, termasuk pekerjaan paruh waktu).
Informasi dan pajanan lingkungan lain juga harus diperoleh. Riwayat medis harus
menentukan apakah pegawai pernah menderita sakit telinga sebelumnya. Dan
apakah dia pernah minum obat ototoksik, misalnya streptomycin. Pemeriksaan
fisik telinga harus menyingkirkan adanya serumen, infeksi dan perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan audiologi, penala didapatkan hasil Rinne positif,
Webber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach
memendek.
Uji Rinne membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara
pendengaran pasien. Tangkai penala yang bergetar ditempelkan pada mastoid
pasien (hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terdengar; penala kemudian
dipindahkan ke dekat telinga sisi yang sama (hantaran udara). Telinga normal
masih akan mendengar penala melalui hantaran udara, temuan ini disebut Rinne
positif (HU>HT). Hasil ini dapat dijelaskan sebagai hambatan yang tak sepadan.
Pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural juga akan memberi
Rinne positif seandainya sungguh-sungguh dapat mendengar uji penala, sebab
43
gangguan sensorineural seharusnya mempengaruhi baik hantaran udara maupun
hantaran tulang (HU>HT).
Istilah Rinne negatif dipakai bila pasien tidak dapat mendengar melalui
hantaran udara setelah penala tidak lagi terdengar melalui hantaran tulang
(HU>HT).
Uji Schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa.
Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang ditempelkan pada
mastoidnya tidak lagi didengar. Pada saat itu, pemeriksa memindahkan penala ke
mastoidnya sendiri dan menghitung (dalam detik) ia masih dapat menangkap
bunyi.
Uji Schwabach dikatakan normal bila hantaran tulang pasien dan pemeriksa
hampir sama. Uji Schwabach memanjang atau meningkat bila hantaran tulang
pasien lebih lama bila dibandingkan dengan pemeriksa, misalnya pada kasus
pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih dapat mendengar penala
setelah pasien tidak mendengarnya, maka dikatakan Schwabach memendek.
Uji weber adalah seperti mengingat kembali pengalaman yang tidak asing,
yaitu mendengarkan suara sendiri lebih keras bila satu telinga ditutup. Gagang
penala yang bergetar ditempelkan ditengah dahi dan pasien diminta melaporkan
apakah suara terdengar di telinga kiri, kanan atau keduanya.
Umumnya pasien mendengar bunyi penala pada telinga dengan konduksi
tulang yang lebih baik atau dengan komponen konduktif yang lebih besar. Jika
nada terdengar di telinga yang dilaporkan lebih buruk, maka tuli konduktif
dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar pada telinga yang lebih baik, maka
dicurigai sensorineural pada telinga yang terganggu. Fakta bahwa pasien
mengalami lateralisasi pendengaran pada telinga dengan gangguan konduksi dan
bukannya pada telinga yang lebih baik mungkin terlihat aneh bagi pasien dan
kadang-kadang juga pemeriksa.
Uji weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif maupun sensorineural (campuran), atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal. Klinis harus
44
melakukan uji Weber bersama uji lainnya dan tidak boleh diintrepretasi secara tersendiri.
PENATALAKSANAAN
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya
dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin
dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga yaitu
berupa sumbat telinga ( ear plugs ), tutup telinga ( ear muffs )
dan pelindung kepala ( helmet ). Oleh karena tuli akibat bising
adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap ( irreversible ),
bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan
berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba
pemasangan alat bantu dengar ( ABD ). Apabila pendengarannya
telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun
tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan
psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya. Latihan
pendengaran ( auditory training ) juga dapat dilakukan agar
pasien dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD
secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir ( lip
reading ), mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa
isyarat untuk dapat berkomunikasi.
Penyakit Meniere
Definisi Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah kekacauan dari aliran cairan-cairan
dari telinga dalam. Meskipun penyebab dari penyakit Meniere
tidak diketahui, ia mungkin berakibat dari kelainan dalam cara
cairan telinga dalam. Pada kebanyakan kasus-kasus hanya satu
45
telinga yang terlibat, namun kedua telinga mungkin dipengaruhi
pada kira-kira 10% sampai 20% dari pasien-pasien. Penyakit
Meniere secara khas mulai antara umur 20 dan 50 tahun
(meskipun telah dilaporkan pada hampir semua kelompok umur).
Pria-pria dan wanita-wanita sama-sama dipengaruhi. Gejala-
gejala mungkin hanya gangguan minor, atau dapat menjadi
melumpuhkan, terutama jika serangan-serangan dari vertigo
berat/parah, seringkali, dan terjadi tanpa peringatan. Penyakit
Meniere juga disebut idiopathic endolymphatic hydrops.
Patofisiologi
Gejala klinis penyait Meniere disebabkan oleh adanya
hidrops cairan endolimfa pada koklea dan vestibulum. Hidrops
yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan
oleh:
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri
2. Berkurangnya tekanan osmotik pada ujung kapiler
3. Meningkatnya tekanan osmotik ruang ekstrakapiler
4. Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga
terjadi penimbunan cairan endolimfa
Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal ditemukan
pelebaran dan perubahan morfologi pada membran Reisner.
Terdapat penonjolan ke dalam skala vestibuli, terutama di
daerah apeks koklea helikotrema. Sakulus juga mengalami
pelebaran yang dapat menekan utrikulus. Pada awalnya
penekanan skala media dimulai pada apeks koklea, kemudian
dapat meluas kebagian tengah dan basal koklea. Hal ini yang
dapat menjelaskan terjadinya tuli saraf nada rendah pada
penyakit Meniere.
46
Gejala klinis
Terdapat trias atau sindrom Meniere yaitu vertigo, tinitus
dan tuli sensorineural terutama nada rendah. Serangan pertama
sangat berat yaitu vertigo disertai muntah. Setiap kali berusaha
untuk berdiri dia merasa berputar, mual dan terus muntah lagi.
Hal ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu,
meskipun keadaannya berlangsung baik. Penyakit ini bisa
sembuh tanpa obat dan penyakit ini bisa sembuh sama sekali
pada serangan kedua kalinya dan selanjutnya, penyakit ini
dirasakan lebih ringan, tidak seperti serangan yang pertama kali.
Pada penyakit menire vertigonya periodik yang makin mereda
dengan serangan-serangan berikutnya.
Pada setiap serangan biasanya disertai dengan gangguan
pendengaran dan dalam keadaan tidak ada serangan,
pendengaran dirasakan baik kembali. Gejala lain yang menyertai
serangan adalah tinitus, yang kadang-kadang menetap,
meskipun diluar serangan. Gejala yang lain menjadi tanda
khusus adalah rasa penuh di dalam telinga.
DIAGNOSA
Diagnosa dipermudah dengan dengan dibakukannya kriteria
diagnoasa, yaitu:
1. Vertigo hilang timbul
2. Fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf
3. Menyingkirkan kemungkinan penyebab dari sentral,
misalnya tumor N.VIII
Bila gejala-gejala khas pnyakit Meniere pada anamnesis
ditemukan, maka diagnosis penyakit Meniere dapat ditegakan.
47
Pemeriksaan fisik dilakukan hanya untuk meguatkan
dignosis penyakit ini. Bila dalam anamnesis terdapat riwayat
fluktuasi pendengaran, sedangkan pada pemeriksaan terdapat
tuli sensorineural, maka kita sudah dapat mendiagnosis penyakit
Meniere, sebab tidak ada penyakit lain yang dapat menyebabkan
adanya perbaikan dalam tuli sensorineural, kecuali pada
penyakit Meniere. Dalam hal yang meragukan kita dapat
membuktikan adanya hidrops dengan tes gliserin. Selain itu tes
gliserin ini juga berguna untuk menentukan prognostik tindakan
operatif pada pembuatan “shunt”. Bila terdapat hidrops maka
diduga operasi akan berhasil dengan baik.
PENGOBATAN
Pada saat datang biasanya diberikan obat simtomatik,
seperti sedatif, dan bila diperlukan dapat diberikan obat
antimuntah. Bila diagnosis telah ditemukan, pengobatan yang
paling baik adalah sesuai dengan penyebabnya. Khusus untuk
Meniere diberikan obat-obat vasodilator perifer untuk
mengurangi tekanan hidrops endolimfa. Dapat pula tekanan
endolimfa ini disalurkan ke tempat lain dengan jalan operasi
“shunt”. Obat-obat anti iskemia dapat pula diberikan sebagai
obat alternatif dan juga diberikaan obat neurotonik untuk
menguatkan sarafnya.
48
BENIGN PAROXIMAL POSITIONAL VERTIGO
Benign Paroximal Positional Vertigo (BPPV) adalah pusing yang disebabkan oleh debris yang terkumpul pada kanal semisirkularis di dalam telinga dalam yang mempengaruhi fungsinya. Insiden penyakit meningkat pada pertambahan usia, tetapi terlihat juga pada setiap usia. Pada orang-orang yang berusia lebih dari 50 tahun sekitar setengah dari kasus gejal pusing disebabkan oleh BPPV. Pada umumnya, sekitar 20% pusing disebabkan oleh BPPV dan 9% setiap orang tua mempunyau BPPV.
Gejala
Gejala BPPV meliputi vertigo, disorientasi, disequilibrum, ketidakseimbangan dan mual. Gejal yang paling khas dari BPPV adalah perasaan berputar hebat paling kurang 5 sampai 15 detik. Aktivitas yang dapat menimbulkan gejala pada setiap orang bervariasi tetapi selalu meliputi pergerakan atau perubahan posisi kepala atau tubuh. Pasien mungkin sensitif terhadp suatu posisi yang pasti. Kira-kira 30% pasien mendapat serangan ulang gejal BPPV. Riwayat timbulnya gejala vertigo dimulai ketika menggunakan hair dryer, ketika mencuci rambut di salon kecantikan, memindahkan benda dar atas rak-rak dapur.
PatofisiologiBPPV terjadi akibat dari perubahan posisi kepala yang cepat dan tiba-tiba
seperti saat berguling di tempat tidur, membungkuk, atau menengadah ke atas, dan biasanya akan disertai sensasi pusing yang sangat berat, yang berlangsung bervariasi pada masing-masing penderita, vertigo dapat berlangsung hanya beberapa menit hingga berhari-hari dan dapat disertai dengan gejala mual dan muntah. Beberapa dugaan yang
49
dikemukakanoleh para ahli adalah kemungkinan adanya trauma pada alat keseimbangan, infeksi, sisa pembedahan telinga, faktor degeneratif karena usia dan kelainan pembuluh darah. Mekanisme pasti terjadinya BPPV masih samar. Tapi penyebabnya sudah diketahui pasti yaitu debris yang terdapat pada kanalis semisirkularis biasanya pada kanalis posterior. Debris berupa kristal kalsium karbonat itu dalam keadaan normal tidak ada. Diduga debris itu menyebabkan perubahan tekanan endolimfe dan defleksi kupula sehingga timbul gejala vertigo.
Untuk memahami patofisiologi terjadinya BPPV, dibutuhkan pemahaman tentang anatomi dan fisiologi normal dari kanalis semisirkularis. Setiap telinga bagian dalam mengandung i 3 kana l i s s emi s i rku l a r i s . Mas ing -mas ing kana l t e rd i r i da r i k ru r a yang ujungnya melebar (ampulla) yang terletak berdekatan dengan krista ampullaris (reseptor saraf). Krista ampullaris memiliki cupula, yang mendeteksi aliran cairan dalam kanalis semisirkularis. Jika seseorang tiba-tiba menoleh ke kanan, cairan dalam kanal horizontalkanan akan tertinggal, menyebabkan cupula terdeviasi ke kiri (ke arah ampulla, atauampullopetal). Deviasi ini berikutnya akan diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang menegaskan bahwa posisi kepala sedang berputar ke kanan. Ketidakcocokan informasi sensorik antara gerakan kepala dan deviasi cupula inilah yang menghasilkan sensasi vertigo.
Teori Cupulolithiasis Pada tahun 1962, Harold Schuknecht, MD, mengusulkan teori cupulolithiasis sebagai penjelasan untuk BPPV. Melalui pemeriksaan photomicrograph, beliau menemukan pa r t i ke l ba so f i l i k a t au dens i t a s yang adhe ren t e rhadap cupu l a t e r s ebu t . Be l i au menduga bahwa kana l s emi s i rku l a r i s pos t e r i o r akan l eb ih s ens i t i f t e rhadap gravitasi dikarenakan partikel padat yang melekat pada cupula tersebut. Teori ini dianalogkan dengan situasi benda berat yang melekat pada puncak tiang, di mana berat ekstra akan membuat tiang tidak stabil dan sulit mempertahankan posisinetral. Bahkan, tiang cenderung terlempar dari satu sisi ke sisi lainnya tergantung pada a r ah i t u d imi r i ngkan . Se t e l ah pos i s i t e r s ebu t t e r capa i , be r a t pa r t i ke l t e r s ebu t akanmemper t ahankan pos i s i cupu l a kemba l i ke ne t r a l . Ha l i n i t e r ce rmin da r i nys t agmus persisten dan menjelaskan sensasi pusing ketika pasien melentur ke belakang.
Teori Canalithiasis Pada tahun 1980, Epley memperkenalkan teori-teorinya tentang canalithiasis. Beliau berpikir bahwa gejala BPPV jauh lebih konsisten dengan partikel bebaS bergerak (canaliths) di kanalis semisirkularis posterior daripada partikel melekat pada cupula tersebut. Sementara kepala ditegakkan, partikel di kanalis semisirkularis posterior berada pada posisi yang tergantung–gravitasi. Ketika kepala melentur ke belakang (supinasi), partikel berputar sampai sekitar 90 ° sepanjang arkus kanalis semisirkularis posterior. Setelah lag sesaat (inersia), gravitasi akan menarik partikel menuruni arkus. Hal in imenyebabkan aliran endolimfe untuk menjauh dari ampula dan menyebabkan cupula terdefleksi. Defleksi cupular menghasilkan nystagmus. Teori canalithiasis dibuktikan lebih
50
lanjut oleh Parnes dan McClure pada tahun1991 dengan penemuan partikel bebas-bergerak dalam kanalis semisirkularis posterior setelah dilakukan pembedahan Faktor Predisposisi
Sehingga kini etiologi pasti BPPV masih belum diketahui. Meskipun penelitian-pene l i t i an be lum meng iden t i f i ka s i penyebab t ungga l gangguan BPPV, namun pa rapene l i t i dan t enaga med i s s epaka t bahwa t e rdapa t bebe rapa f ak to r p r ed i spos i s i yang mendukung terjadinya BPPV termasuklah kurangnya aktivitas, alkoholisme akut, operasimayor, dan penyakit sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan neurologis lengkap sangat penting dalam membantu menegakkan diagnosa BPPV karena kebanyakan pasien turutmengidap penyakit telinga bagian dalam secara bersamaan, sebagai berikut:
Idiopatik - 39%Trauma - 21%Penyakit telinga - 29%Otitis media - 9%Neuritis vestibular - 7%Ménière disease- 7%Otosklerosis - 4%Penyakit sistem saraf pusat (SSP) - 11%Insufisiensi vertebra basilar - 9%Neuroma akustik - 2%Vertigo servikal - 2%
Gejala Klinis dan Diagnostik Pende r i t a BPPV b i a sanya akan men imbu lkan ke luhan j i ka
t e r j ad i pe rubahan pos i s i kepa l a pada sua tu keadaan t e r t en tu . Pa s i en akan mera sa be rpu t a r a t au mera sa sekelilingnya berputar jika akan ke tempat tidur, berguling dari satu sisi ke sisi lainnya, bangkit dari tempat tidur di pagi hari, mencapai sesuatu yang tinggi atau jika kepala ditengadahkan ke belakang. Biasanya vertigo hanya berlangsung 5-10 detik.
Kadang-kadang pada penderita BPPV dapat disertai rasa mual dan seringkali pasien merasa cemas. Penderita biasanya menyadari keadaan ini dan berusaha mengh inda r inya dengan t i dak me lakukan ge rakan yang dapa t men imbu lkan ve r t i go . Vertigo tidak akan terjadi jika kepala dalam posisi tegak lurus atau berputar secara aksial tanpa ekstensi. Pada hampir sebagian besar pasien, vertigo akan berkurang dan akhirnya berhenti secara spontan dalam jangka waktu beberapa hari sampai beberapa bulan, tetapi kadang-kadang dapat juga sampai beberapa tahun. BPPV khususnya dapat dibedakan dari Menière disease karena biasanya pada BPPV tidak terjadi gangguan pendengaran atautelinga berdenging (tinnitus).
Diagnosis BPPV dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan THT, uji posisi dan uji kalori. Pada anamnesis, penderita BPPV sering mengeluhkan kepala terasa pusing berputar pada perubahan posisi
51
kepala dengan kondisi tertentu. Secara klinis vertigo terjadi pada perubahan posisi kepala dan akan berkurang serta akhirnya berhenti secara spontan setelah beberapa waktu. Pada pemeriksaan THTsecara umum tidak didapatkan kelainan berarti. Pada uji kalori, gerakan mata yang abnormal menunjukan adanya kelainan fungsi di telinga bagian dalam atau saraf yang menghubungkannya dengan otak. Nistagmus adalah gerakan mata yang cepat dari kiri ke kanan atau atas ke bawah.
Arah dari gerakan tersebut bisa membantu dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus bisa dirangsang dengan menggerakkan kepala penderita secara tiba-tiba atau dengan meneteskan air dingin ke dalam telinga.
U j i pos i s i dapa t memban tu membedakan l e s i pe r i f e r a t au s en t r a l s eka l i gus mendiagnosa BPPV, yang paling baik dan mudah adalah dengan melakukan manuver Dix-Hallpike: penderita duduk tegak, kepalanya dipegang pada kedua sisi olehpemeriksa, lalu menggerakkan kepala pasien dengan cepat ke kanan, kiri dan kembali ketengah. Pada lesi perifer, dalam hal ini positif BPPV, akan didapatkan nistagmus posisi dengan gejala:
1. Mata berputar dan bergerak ke arah telinga yang terganggu dan mereda setelah 5-20 detik.
2. Disertai vertigo berat.3 . Mula gejala didahului periode laten selama beberapa detik (3-10 detik).4. Pada u j i u l angan akan be rku rang s ampa i mengh i l ang
( fatigue), tetapi juga berguna sebagai cara diagnosis yang tepat. Berbeda dengan lesi sentral, periode laten tidak ditemukan, vertigo dan nistagmus berlangsung lebih dari 1 menit, dan bila diulang gejala tetap ada (non fatigue).
Terapi
Pi l i han pengoba t an un tuk pena t a l aksanaan BPPV ada l ah obse rva s i , med ika s i vestibulosuppresan, rehabilitasi vestibular, reposisi canalith, dan pembedahan.
Observasi: Sejak BPPV adalah jinak dan gejalanya dapat berkurang dan menghilangtanpa pengobatan dalam beberapa minggu ke bulan, ada beberapa argumentasi mengatakan bahwa penatalaksanaan BPPV cukup dengan observasi sederhana.
Medikas i ve s t i bu lo supp re san : Pengoba t an i n i b i a sanya t i dak menga t a s i ve r t i go tersebut secara tuntas, malah cenderung dihindari karena penggunaan obat vestibulosuppresan yang berkepanjangan hingga lebih dari 2 minggu dapat mengganggu mekanisme adaptasi susunan saraf pusat terhadap abnormalitas vestibular perifer yangsudah t e r j ad i . Se l a in i t u , e f ek s amp ing yang t imbu l b i s a be rupa kan tuk , l e t a rg i , dan perburukan keseimbangan.
Rehabilitasi vestibular:
52
Rehabilitasi vestibular adalah terapi non-invasif yang bisa sukses setelah melewati jangka waktu yang panjang. Pasien dapat diinstruksikan lewat latihan Cawthorne yang membantu dalam penyebaran partikel.
Reposisi Canalith: Sejak rasio manfaat-resikonya sangat tinggi setelah dilakukan penelitan, reposisi canalith tampaknya menjadi pilihan pertama di antara semua modalitas peng oba t an yan g t e r s ed i a . Rep os i s i pa r t i k e l d iw ak i l i o l eh dua man uve r u t ama yang dikembangkan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Perancis. Kedua metode inimerupakan manuver Epley dan manuver Semont. Manuver Epley ini bertujuan untuk mengembalikan debris dari kanalis semisirkularis posterior ke vestibular labirin. Angka keberhasilan manuver Epley dapat mencapai 100%bila dilatih secara berkesinambungan. Bahkan, uji Dix-Hallpike yang semula positif menjadi negatif. Angka rekurensi ditemukan 15% dalam 1 tahun. Setelah melakukanmanuver Epley, pasien disarankan untuk tetap tegak lurus selama 24 jam untuk mencegahkemungkinan debris kembali lagi ke kanal semisirkularis posterior. Bila pasien tidak adaperbaikan dengan manuver Epley dan medikamentosa, operasi dapat dipertimbangkan.
53
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger, J.J., 1997, Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 2. Ed ke 13, Binarupa Aksara, Jakarta.
Bloom JC, David RB. Vertigo and Other Forms of Dizziness: Benign Paroxysmal Positioning Vertigo. Clinical Adult Neurology. 3 rd Edition. New York: Demos Medical;2009. page 104 – 07
Hain TC. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Vestibular Disorders Association(VEDA). [online] Updated: Feb , 2003 [cited 2011 maret 24] Available from: URL:http://www.tchain.com/otoneurology/disorders/bppv/bppv.html
Jeyaratnam, J., Koh,D., 2009, Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja, Suryadi. (alih
bahasa), Sihombing., Elseria,R.N., dan Widyastuti, P. (ed), EGC, Jakarta
Li JC, Epley J. Vertigo & Dizziness: Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online]Updated: Mar 18, 2010 [cited 2011 maret 24] Available from: URL:http://www.emedicine.medscape.com/ article/884261-print
Pratignyowati, 2004, Survey Penurunan Kemampuan Pendengaran Karena
Kepaparan Bising di PT (Persero) Angkasa Pura II Bandara Sukarno Hatta
Tahun 2004, Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program
Studi Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta, (Tesis).
Ropper AH, Brown RH. Deafness, Dizziness and Disorders of Equilibrium: BenignPositional Vertigo. Adams & Victor’s Principles of Neurology. 8 th Edition. New York:McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005. page 261 - 62.
54
Sasongko, D.P., 2000, Kebisingan Lingkungan, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Sherwood, L, 2001, Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem, Pendit, Brahm U. (alih
bahasa), Santoso, Beatricia, I. (ed), EGC, Jakarta
Simic PJ, Plantz SH. Benign Positional Vertigo (BPV) Symptoms, Causes, Treatments.[online] Updated: Aug, 2005 [cited 2011 maret 24] Available from: URL:http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=590256
Simon RP, Greenberg DA, Aminoff MJ. Disorders of Equilibrium: Benign PositionalVertigo. Clinical Neurology. 7th Edition. New York: Lange Medical Books/McGraw-HillMedical Publishing Division; 2009. page 107 – 09
55