fungia scutaria final editing

5
Fungia scutaria Kingdom : Animalia Phylum : Coelenterata Class : Anthozoa Ordo : Sclerentinia Famili : Fungidae Genus : Fungia Spesies : Fungia scutaria Fungia scutaria berasal dari kelas anthozoa. Anthozoa adalah kelas da-ri anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Coelente-rata . Anthozoa berasal dari bahasa Yunani , anthos berarti bunga, dan zoon berarti hewan. Anthozoa berarti hewan yang bentuknya seperti bunga atau he-wan bunga yang meliputi anemoon laut serta hewan-hewan karang . Anthozoa hi-dup sebagai polip. Tubuh Anthozoa berbentuk silinder pendek. Pada salah satu ujung terda- pat mulut berupa celah yang dikelilingi oleh tentakel yang mengandung nema- tosista. Ujung yang lain berupa lempeng yang berfungsi untuk melekatkan di-ri pada suatu dasar. Di bawah mulut terdapat kerongkongan yang disebut sto- modeum. Sepanjang stomodeum, pada satu sisi atau ke-dua sisi terdapat suatu saluran sempit yang bersilia yang biasa disebut dengan sifonoglifa yang me-rupakan alat pernapasan/respirasi yang paling sederhana. Di bawah stomodeum terdapat rongga gastrovaskuler yang terbagi menjadi beberapa ruang kecil o-leh sekat-sekat yang berasal dari dinding kerongkongan. Pada sekat ini ter-dapat nematosista yang mengeluarkan racun untuk melumpuhkan mangsanya. Fungia scutaria merupakan hewan karang yang hidup soliter, biasa dise-but non-kolonial yang hidup bebas dan tidak melekat pada dasar laut. Fungia scutaria berbentuk diskoid atau memanjang dan bisa tumbuh keukuran yang sa- ngat besar. Ukuran polip panjangnya bisa mencapai 17cm (6,7 inchi) dan ter- tanam dalam lubang berbentuk cangkir dikenal sebagai corallite yang dikeli- lingi oleh bahan berkapur. Lapisan ini adalah tulang rusuk sempit yang di- kenal sebagai septae, dimana masing-masing mempunyai lobus berbentuk sungut tinggi di tengah. Septae ber ruang un-lobed gigi dan lobus berbentuk sungut lanjut pada interval dimana kesenjangan septae. Bagian bawah karang memben- tuk ruang bekas luka akibat pelepasan mereka dari dasar laut sebagai Fungia remaja. Warnanya bervariasi, sering menjadi coklat, kuning atau biru dengan lobus berbentuk sungut kontras.Polip memiliki pusat celah seperti mulut se- jumlah kecil pendek, lonjong tentakel. Polip Fungia Scutaria merupakan hewan sederhana dengan bagian-bagian tu-buh sebagai berikut: Mulut terletak di bagian atas, dikelilingi oleh tentakel yang berfung- si untuk menangkap mangsa dari perairan(Suharsono 1996; Timotius 2003) dan sebagai alat pertahanan diri (Timotius, 2003. Tenggorokan pendek, rongga tubuh (coe-lenteron) merupakan saluran pen- cernaan. Tubuh terdiri atas dua lapisan, ektoderm dan endoderm (gastro-dermis), diantara keduanya dibatasi oleh lapisan mesoglea (Timotius, 2003). La- pisan ektoderm mengandung nematokista dan sel mukus, sedangkan lapisan endodermisnya mengandung simbion zooxanthellae (Suharsono, 1996).

Upload: ayu-andriyani

Post on 02-Aug-2015

59 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fungia Scutaria Final Editing

Fungia scutaria

Kingdom : AnimaliaPhylum : CoelenterataClass  : AnthozoaOrdo : SclerentiniaFamili : FungidaeGenus : FungiaSpesies : Fungia scutaria

Fungia scutaria berasal dari kelas anthozoa. Anthozoa adalah kelas da-ri anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Coelente-rata. Anthozoa berasal dari bahasa Yunani, anthos berarti bunga, dan zoon berarti hewan. Anthozoa berarti hewan yang bentuknya seperti bunga atau he-wan bunga yang meliputi anemoon laut serta hewan-hewan karang. Anthozoa hi-dup sebagai polip.

Tubuh Anthozoa berbentuk silinder pendek. Pada salah satu ujung terda-pat mulut berupa celah yang dikelilingi oleh tentakel yang mengandung nema-tosista. Ujung yang lain berupa lempeng yang berfungsi untuk melekatkan di-ri pada suatu dasar. Di bawah mulut terdapat kerongkongan yang disebut sto-modeum. Sepanjang stomodeum, pada satu sisi atau ke-dua sisi terdapat suatu saluran sempit yang bersilia yang biasa disebut dengan sifonoglifa yang me-rupakan alat pernapasan/respirasi yang paling sederhana. Di bawah stomodeum terdapat rongga gastrovaskuler yang terbagi menjadi beberapa ruang kecil o-leh sekat-sekat yang berasal dari dinding kerongkongan. Pada sekat ini ter-dapat nematosista yang mengeluarkan racun untuk melumpuhkan mangsanya.

Fungia scutaria merupakan hewan karang yang hidup soliter, biasa dise-but non-kolonial yang hidup bebas dan tidak melekat pada dasar laut. Fungia scutaria berbentuk diskoid atau memanjang dan bisa tumbuh keukuran yang sa-ngat besar. Ukuran polip panjangnya bisa mencapai 17cm (6,7 inchi) dan ter-tanam dalam lubang berbentuk cangkir dikenal sebagai corallite yang dikeli-lingi oleh bahan berkapur. Lapisan ini adalah tulang rusuk sempit yang di-kenal sebagai septae, dimana masing-masing mempunyai lobus berbentuk sungut tinggi di tengah. Septae ber ruang un-lobed gigi dan lobus berbentuk sungut lanjut pada interval dimana kesenjangan septae. Bagian bawah karang memben-tuk ruang bekas luka akibat pelepasan mereka dari dasar laut sebagai Fungia remaja. Warnanya bervariasi, sering menjadi coklat, kuning atau biru dengan lobus berbentuk sungut kontras.Polip memiliki pusat celah seperti mulut se-jumlah kecil pendek, lonjong tentakel.

Polip Fungia Scutaria merupakan hewan sederhana dengan bagian-bagian tu-buh sebagai berikut:

Mulut terletak di bagian atas, dikelilingi oleh tentakel yang berfung-si untuk menangkap mangsa dari perairan(Suharsono 1996; Timotius 2003) dan sebagai alat pertahanan diri (Timotius, 2003.

Tenggorokan pendek, rongga tubuh (coe-lenteron) merupakan saluran pen-cernaan.

Tubuh terdiri atas dua lapisan, ektoderm dan endoderm (gastro-dermis), diantara keduanya dibatasi oleh lapisan mesoglea (Timotius, 2003). La-pisan ektoderm mengandung nematokista dan sel mukus, sedangkan lapisan endodermisnya mengandung simbion zooxanthellae (Suharsono, 1996). 

Sistem saraf, otot, dan reproduksi masih sederhana namun telah berkembang dan berfungsi dengan baik (Suharsono, 2004).

Makanan Fungia Scutaria adalah zooplankton (Castro and Huber, 2005) yang ditangkap dengan menggunakan sel penyengat (cnidoblast)yang terdapat di ek-todermis tentakel nya. Sel penyengat tersebut dilengkapi dengan alat penye-ngat (nematocyst)yang mengandung racun. Sel penyengat hanya aktif pada saat ada mangsa (zooplankton), terutama pada saat malam hari. (Timotius,2003).

Sistem kerja nematocyst, nematosit berada pada kapsul seluler. Dalam sel tersebut terdapat benang yang berpilin yang terbungkus dan memiliki tekanan (Seperti per). Saat mangsa menyentuh tentakel polip, nematosit terpicu. Pe-nutup pada jaringan sel pada operculum tersebut langsung terbuka. Saat ope-

Page 2: Fungia Scutaria Final Editing

rculum terbuka benang-benang yang ada didalamnya langsung keluar. Pada bag-ian paling kanan benang tersebut kemudian menyebar. Benang tersebut bentuk nya seperti jarum yang langsung menyuntikkan racun pada mangsa. Saat mangsa telah lumpuh polip mengerakkan mangsa kemulut nya kemudian nematosit terse-but kembali kedalam kapsul (http://www.solcomhouse.com).

Fungia Scutaria memperoleh sebagian besar energi dan nutrisi nya melalui dua cara yaitu melalui hasil fotosintesis oleh zooxanthelae atau secara la-ngsung menangkap zooplankton dari kolom perairan (Lesser,2004). Fungia scu-taria adalah hermaprodit . Telur dan sperma yang di keluarkan melalui mulut dan setelah pembuahan, berkembang menjadi Planula larva yang merupakan bag-ian dari plankton. Setelah beberapa waktu ini menetap di dasar laut dan me-ngalami metamorfosis. Remaja Fungia Scutaria menempel pada substrat dan mu-lai makan, ekstrusi kerangka keras dan berkembang. Tahap selanjutnya mereka terlepas dari basis mereka dan hanyut sekitar di dasar laut.

Reproduksi Fungia Scutaria terjadi secara seksual dan aseksual. Reprodu-ksi aseksual terjadi melalui proses pertunasan, fragmentasi, polip bailout, dan parthenogeneis. Reproduksi secara seksual terjadi melalui proses peleb-uran inti gamet jantan dengan inti gamet betina.

Berdasarkan proses pertemuan antara sel gamet jantan dan betina terda-pat dua tipe reproduksi, yaitu planulator (brooding) dan spawning. Pada ti-pe brooding, sel telur dan sperma tidak dilepaskan ke kolom air. Zigot ber-kembang menjadi larva planula dalam tubuh polip induk, selanjut nya planula dilepaskan ke kolom air. (Timotius, 2003).

Pertumbuhan Fungia scutaria merupakan hasil reproduksi aseksual dengan cara pembentukan polip-polip baru melalui proses pertunasan (budding). (Ri-chmond 1997 dalam Spotts dan Spotts 2001). Pembentukan polip baru tersebut terjadi dalam dua cara yaitu pertunasan intra-tentakular dan ekstratentaku-lar. Pada pertunasan intratentakular, polip lama membelah menjadi dua polip baru sedangkan pada pertunasan ekstratentakular polip baru tumbuh pada rua-ng diantara dua atau lebih polip lama. Seiring pertumbuhan nya, polip-polip baru akan membentuk rangka kapur sendiri sehingga masa koloni menjadi lebih besar. 

Pembentukan rangka kapur Fungia scutaria melibatkan dua proses, yaitu klasifikasi dan fotosintesis. Proses klasifikasi dan fotosintesis pada kar-ang berlangsung pada tempat yang berbeda, fotosintesis dilakukan oleh zoox-anthellae berlangsung pada sel endoderm pada lapisan oral sedangkan klasi-fikasi berlangsung pada lapisan aboral karang, yaitu pada lapisan ECF (ext-racytoplasmic calcifying fluid) yang terletak di bawah lapisan epitel cali-coblastic

Fungia scutaria terdapat di Samudra Hindia pada lereng terumbu bagian atas terutama dimana ada gerakan yang cukup dari air sebagai akibat dari t-indakan gelombang. Hal ini biasa nya ditemukan pada pasir atau tempat tidur dari fragmen karang. Hal ini sering dikaitkan dengan spesies lain dari Fu-ngia. Selain itu, Fungia Scutaria juga banyak ditemukan di Taman laut Buna-ken dan di Taman Nasional Wakatobi, sulawesi Tenggara. Fungia scutaria tum-buh subur pada suhu air >18°C, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlu-kan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23°C– 25°C, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar antara 36– 40°C. Kedalaman perairan <50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25m atau kurang. Salini-tas air yang konstan berkisar antara 30– 36 0/00. Perairan yang cerah, ber-gelombang besar dan bebas dari sedimen. Saat ini keberadaan Fungia scutaria mulai terancam keberadaannya karena factor kompetisi serta predator. Selain itu maraknya penggunaan obat terlarang dalam penangkapan ikan juga mempeng-aruhi keberadaan Fungia scutaria.

Siklus hidup Fungia scutaria dimulai beberapa jam setelah adanya peri-stiwa mass spawning. Sel sperma akan membuahi ovum 1 – 2 jam setelah spawn-ing,dilanjutkan pembelahan zigot selama ±18 jam. Zigot akan berkembang men-jadi larva planula yang melayang mengikuti arus di kolom perairan selama ±4 hari, lalu mulai mencari substrat yang cocok untuk menempel. Planula akan menempel pada substrat bila substrat tersebut memenuhi syarat dan mendukung pertumbuhannya. Substrat harus cukup kokoh, tidak ditumbuhi alga, penetrasi cahaya mencukupi, sedikit atau tidak terjadi sedimentasi, dan arus yang ada tidak terlalu kuat (mencukupi untuk adanya makanan). Setelah menempel, pla-nula akan segera tumbuh menjadi polip dan mengalami kalsifikasi. Daur hidup Fungia scutaria akan berulang ke tahap awal lagi. (Timotius, 2003). Manfaat

Menghasilkan senyawa semacam alelopati yang bermanfaat dalam dunia me-dis sebagai senyawa karsinogen

Penghasil senyawa kapur

Page 3: Fungia Scutaria Final Editing

sebagai tempat hdiupnya ikan-ikan yang banyak dibutuhkan manusia untuk pangan, seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor kuning, dll

sebagai benteng ” pelindung pantai dari kerusakan yang disebabkan oleh gelombang atau ombak laut

sebagai tempat untuk wisata. Karena keindahan warna dan bentuknya, ba-nyak orang berwisata bahari.

sumber daya laut yang memilki nilai potensi ekonomi tinggi laboratorium alam untuk penunjang pendidikan dan penelitian

Page 4: Fungia Scutaria Final Editing

Daftar pustakaperikananunila.wordpress.comfaridmuzaki.blogspot.com/2011/01/biologi-karang.htmlhttp://en.wikipedia.org/wiki/Fungia_scutariaTimotius, S. 2003. “Biologi Karang”. Makalah Training Course: Karakteristik Biologi Karang. PSK – UI; Yayasan Terangihttp://www.solcomhouse.comLesser, M.P. 2004. “Experimental Biology of Coral Reef Ecosystems”. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 300 (2004): 217 – 252.

Ayu AndriyaniM0412012